Mmemaksimalkan Sumberdaya Desa untuk Memajukan Pembangunan Nasional.

JUDUL BUKU:

MEMAKSIMALKAN SUMBER DAYA DESA UNTUK MEMAJUKAN
PEMBANGUNAN NASIONAL

OLEH: GPB SUKA ARJAWA

KATA PENGANTAR

Buku sederhana ini dibuat untuk memberikan sumbangan pikiran terhadap pembangunan yang
ada di pedesaan. Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, memberikan pemikiran bahwa
sesungguhnya Indonesia mempunyai potensi lain dari pada yang lain dibandingkan dengan
negara-negara lain di dunia. Potensi itu tidak adalah sumber daya yang ada di desa. Apabila
undang-undang ini dijalankan dengan baik, maka Indonesia mempunyai ciri tersendiri dalam
kasanah internasional, yakni kesejahteraan yang bersumber dari desa. Karakteristik masyarakat
Indonesia adalah pedesaan yang berkehidupan agraris. Maka, jika mampu memaksimalkan ini,
Indonesia memberikan sumbangan pikiran kepada dunia, bahwa kemajuan dan kesejahteraan
sosial itu tidak saja bersumber atau berasal dari kota, tetapi juga dari desa.
Untuk itulah penulis mencoba menuangkan pemikiran atau menafsirkan apa yang ada di
dalam undang-undang tersebut. Buku ini sebagian besar merupakan penafsiran atau gagasan
penulis sendiri, yang dengan demikian, jelas memberikan kesempatan kepada pemikiran atau

gagasan lain untuk menambah atau mengkritisi apa yang ada di dalam buku ini. Tidak lepas
juga, pasti akan kekurangan atau kekeliruan dalam tulisan ini. Karena itu

gagasan-gagasan

pembanding sangat diperlukan. Tentu akan sangat bermanfaat positif kalau kemudian muncul
buku-buku lain yang mengupas tentang potensi sumber daya pedesaan.
Sebagian isi yang dimuat dalam buku ini pada awalnya merupakan hasil penelitian
penulis yang kebetulan mengambil tempat di Kecamatan Kerambitan. Dari wilayah itulah,
kemudian dituangkan berbagai macam kelebihan-kelebihan yang ada di pedesaan yang apabila
diberdayakan secara maksimal, pasti akan mampu memberikan sumbangan positif kepada warga
desa. Tidak lepas juga diungkapkan disini bahwa munculnya pemikiran dan penelitian tentang
sumber daya desa ini, bukan semata-mata didorong oleh munculnya Undang_undang No. 6
Tahun 2014 itu, akan tetapi penulis memang meyakini bahwa sesungguhnya desa mempunyai
sumber daya yang mampu diberdayakan. Apabila mampu memberdayakan itu, hidup di desa
tentu akan mampu menyamai kehidupan di kota, bahkan lebih baik dibandingkan dengan kota.
Pemberdayaan yang berhasil akan dapat menekan arus urbanisasi.
Dalam konteks ini, penulis prihatin melihat bagaimana sumber daya manusia yang masih
muda-muda di desa, harus menghabiskan waktu, tenaga dan uang yang lumayan besar untuk
sengaja bekerja di kota (Denpasar atau Badung), dengan menempuh perjalanan satu jam bahkan


lebih dari desa hanya untuk bekerja di kota. Bayangkan, dua atau tiga jam perjalanan bolak-balik
dari desa ke kota tersebut, apabila dimanfaatkan untuk memberdayakan sumberdaya desa, pasti
akan mampu memberikan penghasilan yang lebih besar, dengan fisik yang lebih sehat. Dengan
cara memberdayakan desa itulah maka sawah, tegalan atau kebun lainnya tidak terbengkalai
semata-mata tergiur oleh janji-janji pekerjaan di kota yang belum tentu mampu memberikan
kepuasan dalam hal penghasilan.
Tentu juga buku ini diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahun kepada
mahasiswa, terutama di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Fakultas Hukum, serta
masyarakat umumnya yang tertarik dengan masalah-masalah pedesaan.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang ikut membantu
sampai terbitnya buku ini. Dan akhirnya penulis persembahkan buku ini kepada anggota
pasukan keluarga kami, istri I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, anak-anak I Gusti Ayu Agung
Putri Indria Saraswati dan I Gusti Bagus Rama Raditya Mahardika.

Hormat

GPB Suka Arjawa

BAB I

DESA DALAM KONTEKS PERUNDANG-UNDANGAN

Sekitar tiga bulan menjelang berakhirnya tahun 2014, masyarakat diramaikan dengan
diskusi tentang pilihan, apakah Bali akan memakai desa dinas atau desa pakraman (adat) sebagai
desa “resmi” di Bali sesuai dengan tuntutan Undang-Undang No. 6 tahun 2014, yang mengatur
tentang Desa. Fenomena ini hampir sama dengan awal tahun 2014 ketika diselenggarakan
berbagai pertemuan dan seminar tentang desa yang akan menjadi pilihan bagi Bali dalam
kerangka undang-undang tersebut. Diskusi masalah ini sempat diselenggarakan di Universitas
Udayana, diikuti oleh berbagai pihak termasuk komponen masyarakat. Di luar pertemuan yang
diselenggarakan di kampus, diskusi informal bisa dilihat dari berbagai perbincangan ringan di
pertemuan masyarakat, semisal saat ada upacara adat atau melayat ke tempat orang meninggal.
Bagaimanapun, desa dinas dan desa pakraman ini, harus mendapatkan perhatian dari
masyarakat agar kelak tidak mendapatkan gangguan. Keputusan memilih satu desa dapat
menimbulkan berbagai macam akibat.

Gangguan secara fisik dapat saja terajdi, misalnya

berupa pembongkaran hak milik karena tanah itu, diklaim oleh krama. Di beberapa tempat di
Bali, tenah dan rumah yang ditempati warga bisa diambilalih oleh desa pakraman, jika memang
ketahuaan sejarah penempatan rumah dan pekarangaan tersebut. Disamping itu, gangguan

psikologis bisa berupa rasa menyesal telah melakukan pilihan yang salah dalam pengajuan desa
yang dimaksudkan sesuai dengan yang dituntut oleh undang-undang No. 6 tahun 2014 tersebut.
Dalam konteks seperti ini, ganggaun pesikologis tersebut dapat terjadi di dalam satu desa.
Desa, dalam pengertian Undang-undang No. 16 Tahun 2014

adalah

kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara
kesatuan Republik Indonesia.
Dari pengertian ini saja dapat dikatakan bahwa desa itu, benar-benar mandiri dan mampu
melaksanakan kemandiriannya itu di dalam wilayah kesatuan negara Republik Indonesia.
Sebagai wujud desa mandiri, maka

hal pertama yang harus dilihat adalah bagaimana

mewujudkan kemandirian tersebut. Ini akan sangat terkait dengan sumber daya yang dimiliki

oleh desa tersebut. Di Bali, dalam konteks desa ini, baik desa pakaraman maupun desa dinas

yang disebut juga dengan keperbekelan, sesungguhnya dapat dipilih menjadi desa sesuai dengan
amanah dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Indonesia menurut data biro pusat statistik,
jumlah desa ada sebanyak 81.635 desa (Kompas 3 Juli, 2015, hal. 5)
Dalam pandangan Padjung (2015), nafas utama dari Undang-undang Desa ini adalah
rekognisi dan subsidiaritas. Asas tersebut mengandung arti bahwa pemerintah mengakui desa
sebagai kesatuan hukum masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat atas dasar asal-usulnya
dan atau hak tradisionilnya. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, desa tidak menjadi bawahan
dari kota atau kabupaten tetapi merupakan pemerintahan yang berbasis masyarakat (kombinasi
antara self governing community dan local self government) yang berhubungan langsung dengan
kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Sedangkan asas

subsidiaritas mempunyai arti bahwa

negara menyerahkan kewenangan lokal berskala desa kepada desa bersangkutan. Artinya ada
sejumlah kewenangan desa yang tidak perlu melalui pelimpahan kewenangan dari pemerintah
kabupaten/kota.
Satu hal yang harus dilihat dari keberadaan undang-undang ini adalah bahwa pusat
otonomi daerah yang kini ada di kabupaten, seolah berpindah ke wilayah desa dengan adanya

dana dan kewenangan yang cukup besar di desa, baik untuk mengelola keuangan maupun
memberdayakan masyarakat dan sumber daya yang ada. Karena itulah kemudian sumberdaya
manusia yang diperlukan untuk menggerakkan kewenangan tersebut harus betul-betul
diperhatikan.

Berlakunya undang-undang ini juga menjadi tanggung jawab bersama untuk

mencapai cita-cita bersama demi memberdayakan desa.
Keinginan untuk melakukan pemberdayaan sesungguhnya merupakan cita-cita lama.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah telah menyebut
tiga tingkat pemerintahan daerah, yaitu tingkat I (provinsi), tingkat II (kabupaten/kota) dan
tingkat III (desa). Akan tetapi penjelasan undang-undang ini mengatakan bahwa sesuai dengan
keadaan masyarakat, hanya dapat diadakah dua tingkat terlebih dahulu. Undang-undang No. 5
Tahun 1979 menyatakan titik berat otonomi daerah ada di pedesaan (Kompas, 2 Juli 2015: 5).
Namun kedua titik berat itu dipandang kurang berhasil.
Secara sosiologis, terbentuknya undang-undang, aturan atau apapun yang sifatnya
normatif bertujuan untuk menciptakan ketertiban di masyarakat atau mencita-citakan
kesejahteraan sosial. Hal ini dapat diwujudkan dengan menaati aturan dan ketentuan yang
tercantum di dalam undang-undang tersebut. Wujud perundangan jelas terdiri dari berbagai pasal


yang menentukan tingkah gerak kita dalam berinteraksi secara sosial. Telah ada aturan-aturan
yang mengatur tentang tingkah gerak manusia, baik di lingkungannya sendiri maupun di
lingkungan wilayah lain.
Dengan demikian, ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang desa ini,
tidak lain yang diinginkan adalah

menciptakan ketertiban masyarakat khususnya dalam

menjalankan kehidupannya sebagai warga desa serta mengejar cita-cita kesejahteraan sosial itu.
Tentu juga desa yang dimaksudkan mampu berjalan secara manajerial sesuai dengan undangundang yang ada serta peraturan pemerintah yang menjadi aturan lanjutannya. Undang-undang
tentang desa ini sangat penting di Indonesia karena secara mayoritas, sebagian besar dari habitat
Indonesia itu

desa, dan sebagian besar dari masyarakat Indonesia

hidup di pedesaan.

Munculnya undang-undang ini boleh dikatakan terlambat, dalam hal mengadaptasi model
pembangunan.
Kalau dilihat dari semangat yang ada pada Undang Undang No. 6 Tahun 2014 ini, maka

ada beberapa hal yang dapat dikatakan menjadi tujuannya. Yang pertama adalah upaya
memperbarui dan memperbaiki perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya. Undangundang ini secara jelas menginginkan masyarakat desa mampu memanfaatkan potensi sumber
daya yang ada. Ketentuan demikian, kurang mendapat penekanan pada produk perundangan
sebelunya, khususnya yang menekankan pada keberadaan desa. Kedua demi memberikan
kemandirian kepada masyarakat desa untuk mengelola aset yang dimiliki. Bantuan keuangan
yang diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta berbagai kerjasama yang
dilakukan, bertujuan untuk mengelola aset yang dimiliki oleh masing-masing desa. Ketiga,
memperlihatkan demokratisasi yang lebih menukik kepada masyarakat Indonesia. Artinya ideide yang berasal secara langsung dari rakyat, dapat disalurkan dan dapat dipakai untuk
meningkatkan kesejahteraan. Dan keempat adalah dalam kerangka menghadapi globalisasi,
khususnya tahun 2015, adalah masyarakat bebas ASEAN. Demokrasi yang dimaksudkan disini
adalah munculnya berbagai ide, kreasi dan pendapat dari masyarakat paling bawah demi
mencapai kesejahteraan mereka. Pemerintah yang ada di atasnya, mendukung pengelolaan itu.
Dan dengan cara itulah kemudian masyarakat Indonesia menghadapi persaingan global. Untuk
mencapai hal itu, pencerdasan, kreatifitas serta kemandirian mau tidak mau harus menjadi
landasan dari masyarakat desa setelah berlakunya undang-undang ini. Karena itulah kemudian
memerlukan banyak pentahapan untuk mencapai keberhasilan undang-undang ini.

Dalam Undang-Undang No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, ada dua pengertian
yang menyangkut desa, yakni desa dan kelurahan. Yang dimaksudkan dengan desa adalah suatu
wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di

dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah,
langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 ayat a). Wilayah di bawah desa disebut dengan
dusun yang masih merupakan lingkungan pelaksanaan pemerintahan desa.
Sedangkan kelurahan merupakan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk,
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat, yang tidak berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Di bawah lurah yang merupakan lingkungan kerja
pelaksnaan kelurahan, disebut dengan lingkungan. Secara geografis, kelurahan tersebut berada
perkotaan atau berdekatan dengan kota.
Undang-Undang Republik Indonesia No 19 tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk
peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik
Indonesia (Undang-undang tentang Desapraja), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
desapraja dalam undang-undang tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batasbatas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan
mempunyai harta benda sendiri.
Secara sosiologis, pengertian desa menurut Undang-Undang yang disebutkan diatas
masih longgar karena letak desa tersebut tidak harus jauh di pedalaman seperti di pegunungan
atau mempunyai jarak dengan kota. Pemahaman tradisionil masyarakat tentang desa selalu
mengacu kepada hal yang mempunyai jarak dengan kota, dimana kehidupan tradisional lekat
dengan kehidupan itu. Perbedaan antara desa dengan kota terletak pada


sikap masyarakat

terhadap tradisionalitas tersebut. Biasanya yang membedakan adalah sikap dan tindakan rasional.
Atau dengan cara pandang lain, adalah sikap praktis dalam kehidupan, dimana sikap praktis ini
lebih diacu kepada proses waktu yang dihabiskan dalam menyelesaikan sesuatu. Di kota
misalnya, orang memasak memakai

listrik atau kompor gas. Di desa memakai kayu api.

Memasak dengan kompor gas jauh lebih cepat dibandingkan dengan memakai kayu api. Di kota
angkutan digunakan dengan mobil, di desa masih dengan jalan kaki atau memakai kuda. Inilah
beberapa indikator apabila membandingkan kehidupan desa dengan kota di masa lalu. Dari
konteks lingkungan, desa lebih bersih udaranya dibanding kota yang polutif.

Desa menurut Undang-undang No 6 Tahun 2014 adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki

batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,

dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (pasal 1, huruf 1.).
Ada satu frasa penting dalam pengertian desa seperti yang tercantum dalam pengertian
itu, yakni hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan. Jika dilihat dari sejarahnya, kota pun merupakan desa sebelum kemudian
mendapatkan perkembangan baru dengan lebih banyaknya penduduk dan ragam profesi yang ada
di wilayah kota itu. Akan tetapi, hak-hak tradisionil yang mampu di pertahankan di daerah itu,
apapun bentuknya, memungkinkan tumbuh, berdiri dan hadirnya desa di wilayah kota. Tentu
dengan batasan wilayah yang dimiliki. Di Bali, sesungguhnya tidaklah terlalu sulit melihat
kehadiran desa demikian di dalam kota. Desa adat atau desa pakraman, hadir dan ada di
lingkungan kota karena desa pakraman ini mempunyai wilayah sendiri dan mengayomi praktik
tradisionil dari masyarakat yang beragama Hindu.
Dibandingkan dengan pengertian desa dalam undang-undang yang lain, pengertian desa
yang dimaksudkan pada Undang Undang No. 6 Tahun 2014 terlihat lebih komplit karena
mengandung frase tradisional seperti yang diungkapkan diatas. Frase ini penting, paling tidak
untuk menjembatani alam pikiran dan persepsi masyarakat, tentang pengertian desa yang ada
jarak dengan kota dan desa yang lebih mempunyai sifat tradisional tersendiri.
Dilihat dari sisi kemandiriannya, seluruh undang-undang yang disebutkan itu
menekankan bahwa desa merupakan wilayah dengan masyarakatnya yang boleh mengurus
rumah tangganya sendiri, yang tentu saja dalam koridor negara Republik Indonesia. Adanya
pengakuan terhadap desa yang membolehkan mengurus rumah tangganya sendiri ini berkaitan
dengan berbagai kondisi adat setempat atau lingkungan dan sejarah dari desa tersebut. Dalam
konteks Indonesia, kemandirian ini penting demi memberi kebebasan bagi komunitas yang ada
di wilayah desa itu untuk menyerap kebiasaan dan adat istiadat yang ada. Indonesia merupakan
negara yang Bhineka Tunggal Ika dengan berbagai ragam suku, agama dan kebiasaan yang ada
sehingga memengaruhi kehidupan sosial di wilayah tersebut. Desa juga mempunyai keragaman
lingkungan seperti misalnya lingkungan pegunungan, pantai, dataran rendah dan sebagainya.

Itulah yang menjadi alasan mengapa desa dipandang

berhak mempunyai otonomi untuk

mengurus rumah tangganya sendiri.
Hanya saja dari tiga pengertian desa ditas, hanya undang-undang No 19 tahun 1965 yang
menekankan bahwa setiap desa mempunyai harta benda sendiri. Dua undang undang lainnya,
meski tidak menyebutkan tentang harta benda, lebih menyebutkan dengan sumber dana dari desa
tersebut. Setidaknya, dalam penjelasan undang-undang ini, dapat dikatakan bahwa pencatuman
harta benda tersebut terjadi karena beberapa alasan. Disebutkan bahwa pada jaman Orde Lama,
ada keinginan untuk membagi habis wilayah Indonesia menjadi daerah tingkat I, II, dan III,
maka desapraja ini hendak dijadikan wilayah peralihan untuk menjadi daerah tingkat III. Daerah
inilah yang dengan dasar pasal 18 UUD 1945, kelak akan dijadikan sebagai daerah tingkat III
yang sifatnya otonom juga. Karena sifatnya otonom itulah maka diperlukan adanya harta benda
tersebut. Daerah tingkat III yang dimaksudkan itu sesuai dengan asal-usulnya yang mempunyai
sifat tradisionil. Jadi harta benda ini dimaksudkan untuk membiayai keadmistrasian desapraja
yang mempunyai asal-usul berbeda dengan yang lainnya.
Selanjutnya, harta benda ini juga mempunyai arti untuk memutus hubungan dengan
model-model feodal di masa itu. Harta benda inilah yang menjadi salah satu penghasilan dari
desapraja, yang dapat digunakan untuk kepentingan desapraja, seperti membayar pamong dan
sebagainya. Di jaman feodal masih dijumpai adanya penggunaan tenaga kerja tanpa bayaran atau
tanah bengkok untuk membayar kepala desa.
Meskipun tidak dinyatakan secara jelas soal harta benda desa, tetapi dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1979, harta benda itu secara tersurat dimuat pada bagian kedelapan,
tentang kekayaan desa, dimana yang dimaksudkan dengan itu adalah tanah-tanah kas desa atau
usaha yang dilakukan oleh desa tersebut. Seperti juga Undang_undang No 5 Tahun 1979, pada
Undang-Undang No 6 Tahun 2014, tidak dicantumkan secara jelas harta benda desa di dalam
definisi. Akan tetapi undang-undang ini mencantumkan secara lengkap apa yang dimaksud
dengan aset desa. Diantara yang dimaksudkan itu adalah pada bagian kedua, pasal 76 dan 77
mengupas tentang aset desa, dimana dua pasal ini terdiri dari 9 ayat, dengan pasal 76 ayat 2
terbagi lagi menjadi lima huruf yang menyatakan tentang aset desa. Aset itu diantaranya adalah
kekayaan desa yang diperoleh atas beban Anggaran Pendapat dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Kekayaan desa
yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis. Kekayaan desa yang diperoleh dari

pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundaangundangan. Hasil kerjasama desa, dan kekayaan desa yang berasal dari perolehan lainnya yang
sah. Pada ayat 4 disebutkan bahwa kekayaan milik desa yang berupa tanah disertifikatkan atas
nama pemerintah desa.
Demikian banyaknya aturan tentang aset desa ini disebabkan karena desa kelak
diharapkan menjadi sentra pembangunan negara, yang mampu bersaing dalam dunia global.
Dalam pertimbangan konsiderans Undang-undaang No. 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa desa
telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar
menjadi kuat, maju mandiri dan demokratis sehingga menjadi landasan yang kuat dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera. Pertimbangan ini bisa dikatakan sebagai salah satu alasan demikian rinci aset yang
disebutkan dalam perundangan ini. Dengan aset yang kuat, diharapkan pemberdayaan desa agar
maju, kuat dan mandiri, akan bisa terlaksana. Disamping itu, pasal 78 dari undang-undang ini
secara garis besar menentukan bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, penanggulangan kemiskinan sampai dengan
memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Ini menandakan bahwa
tujuan pembangunan itu akan bisa dicapai apabila dilakukan dengan memanfaatkan aset desa
yang komplit dan berdaya guna.
Satu hal yang menjadi kelebihan dari Undang-Undang No 6 tahun 2014 ini adalah
tentang pembangunan desa. Pada dua undang-undang sebelumnya yang mengatur tentang desa
atau desa praja, tidak ada hal yang secara khusus mengupas tentang pembangunan desa. Malah,
lebih banyak mengatur masalah teknis seperti soal pemilihan kepala desa. Undang-Undang No 6
Tahaun 2014 mengatur dengan rinci pembangunan desa tersebut. Ini jelas mempunyai
keterkaitan dengan konsiderans dari perundangan ini yang menekankan tujuan bahwa desa harus
menjadi kuat, mandiri dan demokratis. Lebih jauh lagi disebutkan bahwa pengaturan desa seperti
dengan pembuatan undang- undang ini mempunyai tujuan untuk menempatkan masyarakat desa
sebagai subyek pembangunan (pasal 4, huruf i). Tidak ada konsepsi seperti ini yang ditekankan
pada dua perundangan lainnya, baik Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa dan Undang-Undang No 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.
Dalam konteks pembangunan nasional Indonesia, tujuan menjadikan masyarakat desa
menjadi subyek pembangunan, merupakan pilihan yang tepat karena karakter geografis dan

lokasi tempat tinggal rakyat Indonesia, lebih banyak di desa. Mereka hidup secara agraris
dengan menempatkan alam sebagai tumpuan utama

kehidupan sosial, individu maupun

keluarga. Dengan karakter seperti ini, maka menempatkan masyarakat desa sebagai subyek
pembangunan merupakan pilihan yang tepat. Pertama, masyarakat akan mampu menyelami
berbagai bentuk pembangunannya karena pembangunan tersebut sesuai dengan model dari
lingkungan yang ada. Kedua, mereka tidak akan terkejut dengan model dan instrumen
pembangunan yang baru, misalnya instrumen yang lebih menekankan pada pembangunan yang
bercirikan kota, seperti menekankan pada penggunaan mesin. Ketiga, pembangunan bisa
dilakukan secara pelan-pelan dan akan menyeleksi kelompok masyarakat yang mampu
mengadaptasi perubahan sosial lebih cepat. Artinya kelompok masyarakat desa yang mampu
mengadaptasi perubahan sosial, dapat menyesuaikan model pembangunannya dengan apa yang
ada di kota.
Pada Undang-Undang No. 6

tahun 2014 ini, pembangunan desa

tersebut boleh

dikatakan dilapis. Dalam arti tidak hanya ada kehendak untuk membangun desa itu sendiri
tetapi juga pembangunan kawasan perdesaan. Pembangunan desa, artinya pembangunan yang
dilakukan di dan oleh masyarakat desa tersebut. Sedangkan pembangunan kawasan perdesaan
adalah pembangunan pedesaan yang ada di lingkungan kabupaten atau kota. Disini, rencana atau
tanggung jawab itu lebih tertekan kepada kota atau kabupaten tempat desa-desa tersebut berada.
Daerah tingkat II inilah yang harus tanggap terhadap cita-cita, rancangan dan inspirasi terhadap
pembangunan desa di kawasan itu.
Sebagai

kelengkapan

teknis

pembangunan

desa,

undang-undang

ini

telah

mencantumkannya secara lebih luas. Secara tradisional, seluruh pembangunan yang berlangsung
di desa tersebut harus didasarkan kepada kearifan lokal yang ada di desa tersebut (pasal 81 ayat
3). Pemilihan kearifan lokal sebagai basis pembimbing pembangunan itu sangat berguna karena
masing-masing desa di Indonesia mempunyai budaya yang sangat beragam. Seperti yang telah
menjadi pemahaman nasional, Indonesia ini merupakan negara yang berbhineka secara sosial
dan budaya, dimana masing-masing budaya itu mempunyai kearifan masing-masing sesuai
dengan adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Karena itu, pembangunan yang menyesuaikan
dengan keraifan lokal ini amat berguna agar masyarakat tidak teralienasi, terasing dengan bentuk
pembangunan,

rencana pembangunan, instrumen pembangunan sampai dengan hasil

pembangunan yang akan terjadi. Dengan demikian, tenaga yang dipakai akan mampu benar-

benar terserap secara utuh karena menyesuaikan dengan iklim sosial masyarakat setempat. Pada
masyarakat yang masih tradisionil dengan basis kekuatan agraris, maka cara gotong royong
untuk melaksanakan pembangunan merupakan pilihan yang lebih

tepat dan membantu.

Sebaliknya, desa yang ada di kota, tidak keliru apabila instrumen pembanguannya memakai
mesin.
Dengan cara memakai kearifan lokal demikian, penyerapan tenaga kerja juga akan lebih
maksimal dari desa tersebut. Tidak akan terjadi banyak pengangguran karena keterampilan yang
dipakai menyesuaikan dengan keadaan setempat.
Seperti halnya pada skala nasional, pembangunan desa inipun mempunyai perencanaan
juga.

Dalam undang-undang ini disebutkan dengan perencanaan pembangunan jangka

menengah yang mempunyai rentang waktu 6 tahun (pasal 79 ayat 2 huruf a). Yang lebih penting
diperhatikan disini adalah bahwa perencanaan pembangunan itu sangat berguna untuk
memberikan skala prioritas terhadap pembangunan yang ada di desa, sesuai dengan karakter
lingkungan dan potensi yang ada di desa tersebut. Sebuah perencanaan pembangunan, apalagi
yang bersifat sosial pasti memerlukan perencanaan sosial. Dalam perencanaan sosial ini, yang
perlu dilibatkan adalah masyarakat dan segenap komponen yang ada di masyarakat tersebut.
Dalam undang-undang ini telah dicantumkan bahwa dalam membuat perencanaan tersebut,
diikutkan masyarakat desa (pasal 80). Secara sosial, disamping merupakan sebuah keharusan,
pelibatan masyarakat setempat itu mempunyai manfaat besar bagi kepentingan di desa tersebut.
Pelibatan masyarakat dalam perencanaan, secara langsung akan menggali potensi-potensi kritis
dan cerdas dari anggota masyarakat desa untuk membuka wawasannya. Perencanaan tentu
memerlukan permusyawaratan dari semua warga yang ada. Keterlibatan ini jelas akan membuat
hasil pembangunan itu merupakan hasil rumusan bersama, sehingga apapun hasilnya akan
menjadi tanggung jawab bersama. Dengan demikian, secara tidak langsung juga akan mampu
menumbuhkan spesialisasi di dalam anggota masyarakat itu. Artinya akan muncul tokoh atau
kelompok atau individu yang secara khusus memperhatikan persoalan air,

ladang, sawah,

perekonomian dan sebagainya sehingga hal ini berpotensi mendorong tumbuhnya kecerdasan
warga. Kecerdasan akan menumbuhkan kemajuan desa.
Sebuah perencanaan sosial sudah seharusnya melibatkan berbagai ahli dan melibatkan
masyarakat setempat. Maka, dalam perencanaan sosial di desa ini, ahli-ahli yang ada di desa
akan muncul. Fenomena ini juga akan mendorong

generasi muda desa untuk menempuh

pendidikan sesuai dengan kondisi yang ada di desanya. Jadi mereka akan menjadi ahli sesuai
dengan keadaan lingkungan di desa.
Tanggung jawab desa terhadap pembangunannya juga akan terasa lebih komplit karena
ketentuan

undang-undang ini menyebutkan bahwa apabila ada pembangunan “milik”

pemerintah kota yang berkosentrasi di desa bersangkutan, akan diberikan kepada desa tersebut.
Pasal 79 ayat 6 menyebutkan bahwa program pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang
berskala lokal desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanannya kepada desa. Secara
sosial maupun politis,

hal ini telah menyiratkan bahwa

desa merupakan sentral dari

pembangunan, sesuai dengan karakter yang ada di desa tersebut. Campur tangan pemerintah
kepada pembangunan desa dikhawatirkan akan membuat pola dan bentuk pembangunan akan
menyimpang karena tidak sesuai dengan karakter masyarakat desa. Memberikan pelaksanaan
pembangunan kepada desa mempunyai makna bahwa agar pembangunan ini lebih baik, maka
pilihan jenis pembangunan mesti diberikan kepada masyarakat setempat. Atau apabila memang
desa tersebut masih belum mampu melaksanakan pembangunannya secara mandiri yang
disebabkan oleh tenaga ahli, keterampilan ataupun infrastrutur yang kurang, maka pemerintah
daerah tetap tidak mau melaksanakan pembangunan itu secara mandiri tetapi tetap memberikan
kesempatan kepada masyarakat desa untuk melaksanakan, dengan koordinasi kepada pemerintah
daerah. Bentuk koordinasinya tentu saja ditentukan dengan kesepakatan antara kedua belah
pihak. Jadi, boleh dikatakan bahwa secara politis pemerintah daerah memberikan perhatian
lebih banyak kepada desa demi

berbagai macam tujuan yang telah ditetapkan, misalnya

menekan angka kemiskian.
Proyek pengentasan kemiskinan misalnya, lebih sering jatuh kepada pemerintah daerah,
khususnya pemerintah daerah tingkat II. Di jaman Orde Baru, kemiskinan itu lebih banyak ada di
pedesaan. Akan tetapi, sekarang karena sistem ekonomi yang cenderung lebih liberal,
kemiskinan itu tidak hanya ada di desa, akan tetapi juga ada di perkotaan. Undang-Undang No. 6
Tahun 2016 ini tidak mengenal pembedaan secara khusus antara desa dengan kota. Artinya di
kota pun dinyatakan tetap ada desa. Karena itu apabila ada proyek pencegahan kemiskinan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II, maka demi kelancaran dan ketepatsasaran dari
proyek tersebut, pelaksanaan dari hal ini akan lebih baik langsung diberikan kepada desa.
Sebagai sebuah kelengkapan pembangunan, di jaman reformasi diperlukan adanya
informasi. Undang-undang No 6 tahun 2014 memberikan jaminan soal ini. Penyediaaan

informasi ini dilakukan oleh pemerintah kota atau pemerintah daerah kabupaten dalam bentuk
macam-macam. Misalnya pemerintah daerah itu harus mempersiapkan fasilitas perangkat keras
maupun lunak, jaringan sampai dengan sumber dayanya. Apabila dilihat dari sisi keterbukaan
dan tanggung jawab, penyediaan sarana ini merupakan upaya memberikan keterbukaan kepada
dua pihak.

Pemerintah memberikan perangkat informasi itu guna memberikan aliran

pengetahuan kepada masyarakat di desa, sampai ke sektor yang paling kecil, terhadap berbagai
informasii pembangunan. Hal ini mempunyai beberapa manfaat. Yang pertama, memberikan
aliran pengetahuan kepada masyarakat tentang metode, keahlian, keterampilan sampai dengan
berbagai kebutuhan dalam pembangunan. Masyarakat akan dapat pengetahuan untuk
membangun selokan yang baik misalnya, melalui internet yang telah disediakan di desa.
Masyarakat pun akan dapat mendiskusikan tentang kebutuhan campuran semen untuk membuat
dinding bagunan. Jadi, informasi ini akan dapat langsung diakses oleh masyarakat yang paling
bawah. Kedua, memberikan informasi tentang ragam wujud pembangunan di desa. Aparat desa
dan juga masyarakat harus rajin membuka informasi melalui perangkat yang ada karena melalui
hal inilah pemerintah daerah akan menginformasikan berbagai berita, pengumuman dan
sebagainya tentang pembangunan di desa. Ini misalnya bisa dilihat dalam bentuk jenis
pembangunan apa

yang mendapatkan pembiayaan dari pusat. Atau bagaimana alokasi

pembiayaan tersebut dan waktu yang ditetapkan untuk proyek pembangunan di desa. Juga
tentang petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Ketiga, akan memberikan keterbukaan. Baik anggota
masyarakat, pemerintah daerah, maupun aparat desa sama-sama mengetahui berbagai informasi
tentang pembangunan desa secara terbuka. Jumlah dana yang diperlukan, dana yang dihabiskan
sampai sarana dan jangka waktu pembangunan itu, semuanya dapat diakses secara terbuka baik
oleh masyarakat desa setempat maupun oleh pemerintah. Keempat, keterbukaan informasi ini
sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab. Bagi masyarakat tanggung jawabnya adalah
memantau jalannya proyek pembangunan, sekaligus memberikan kritik dan sumbangan pikiran
terhadap proyek pelaksanannnya itu, baik kepada pemerintah daerah maupun kepada aparat desa.
Dalam hal pelaksanaan negara yang bersih, cara seperti ini akan mampu menekan dan
menghindari korupsi karena keterbukaan itu telah dilakukan di berbagai bidang. Melalui
keterbukaan informasi ini juga pemerintah dapat mengontrol pembangunan di desa, apabila
misalnya pembangunan itu dibawah koordinasi pemerintah.

Salah satu kekhawatiran dari palaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 ini adalah
bahwa pada tahap awal-awal pelaksanannya, sangat rawan dengan tindakan-tindakan koruptif.
Gelontoran dana yang berjumlah sampai milyaran rupiah tersebut, memerlukan pembukuan yang
professional yang akan mencatat segala macam pengeluarannya. Padahal pada sisi lain, seperti
yang telah diketahui oleh masyarakat banyak, profesionalisme birokrasi pada tingkat desa itu
jauh dari sisi memadai. Desa yang dimaksud baik desa dinas maupun desa pakraman (di Bali).
Karena itu dikhawatirkan uang milyaran rupiah tersebut tidak akan dapat digunakan secara baik
dan bergunan apabila tidak dikelola secara prpfesional. Artinya ada kesempatan untuk
melakukan korupsi. Maka, cara keterbukaan

melalui jaringan informasi di pedesaan ini,

dipandang mampu memberikan kontrol agar dana-dana itu tidak digunakan secara sewenangwenang. Artinya untuk memberikan tekanan agar korupsi tersebut tidak muncul, apalagi di
pedesaan.
Pembangunan desa tidak dapat hanya dilaksanakan oleh desa itu sendiri, tetapi juga bisa
dilakukana melalui apa yang disebut dengan Pembangunan Kawasan Perdesaan. Dalam undangundang ini, yang dimaksudkan dengan pembangunan kawasan perdesaan adalah pembangunan
yang merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kabupaten atau kota (pasal 83).
Ketentuan ini

menyertakan bahwa

pembangunan

desa tersebut dapat dilakukan oleh

pemerintah daerah, baik provinsi maupun daerah tingkat dua. Akan tetapi pembangunan itu
dilakukan dalam konteks yang berhubungan antara satu desa dengan desa lainnya. Hubungan
dan interaksi tersebut sangat penting untuk meningkatkan saling kerjasama antar desa di dalam
satu kabupaten. Pembangunan kawasan perdesaan ini mempunyai tujuan untuk mengintegrasikan
antara kebijakan pemerintah, tetapi tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar kearifan lokal
dan lingkungan yang ada di desa. Karena itulah kemudian, rancangan pembangunan kawasann
perdesaan ini dibuat bersama oleh pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah tingkat
II (kabupaten dan kota). Akan tetapi rencana pembangunan kemudian ditetapkan oleh
bupati/walikota sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (pasal 83 ayat 5).
Hal ini memperlihatkan bahwa tujuan pembangunan kawasan perdesaan yang dimaksud
itu agar sesuai dengan kebijakan pusat. Pemerintah propinsi merupakan perwakilan pemerintah
pusat di daerah. Tetapi bagaimanapun pihak yang paling tahu tentang desa dan masyarakat yang
ada di lingkungannya adalah pemerintah daerah tingkat II. Karena itulah rencana pembangunan
itu ditetapkan oleh pemerintah tingkat II melalui pembangunan jangka menengahnya.

Sedangkan pelaksanannya harus melibatkan masyarakat desa. Pembangunan kawasan perdesaan
ini, juga memperlihatkan bahwa pembangunan di kawasan tersebut harus mampu menyesuaikan
diri dengan kawasan daerah tingkat II yang ada di desa tersebut.
Keterkaitan hubungan antara pemerintah kota atau kabupaten, termasuk juga dengan
pemerintah pusat dan propinsi dalam hal pembangunan desa, masih sangat erat. Ini misalnya
terlihat bahwa pembangunan kawasan perdesaan yang dimaksudkan dalam undang-undang ini,
bertujuan paling tidak menyesuaikan dengan model pembangunan yang ada di kota atau
kabupaten. Bahwa penggunaan dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan
pembangunan, sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota. Karena itu, meskipun pembangunan
kawasan pedesaan ini tetap melibatkan aparat dan masyarakat desa, tetap ketentuan lanjutan dari
perencanaan, pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan ini, tetap diatur dalam peraturan
daerah kabupatan/kota.
Ketentuan demikian, disamping bertujuan untuk memberikan bantuan terhadap arah
pembangunan desa, juga dimaksudkan mengontrol pembangunan desa agar menyesuaikan
dengan pola pembangunan di kabupaten/kota. Hal ini penting karena dalam konsep
pembangunan perdesaan itu, lebih menentukan pada pembangunan antar desa yang ada di
kabupaten tersebut. Karena merupakan pembangunan antar desa, dapat saja model dan bentuk
pembangunannya terintegrasi yang menyesuaikan dengan pola pembangunan yang dirancang
kota. Ketentuan pembangunan perdesaan ini mengandung makna tersembunyi. Artinya pembuat
undang-undang ini telah mengetahui bahwa kota-kota di Indonesia itu cepat berkembang, dimana
perkembangannya sering kali menjalar sampai ke desa-desa yang ada di sekitar kota. Agar tidak
memunculkan persoalan-persoalan sosial di kemudian hari, maka kota atau kabupaten mencoba
melihat konteks perkembangan yang ada di kota itu sesuai dengan kebutuhan dan ciri dari
daerah tingkat II yang ada. Sebuah kabupaten telah mempunyai perencanaan jangka menengah,
sehingga pelaksanaan pembangunan di desa haruslah sesuai dengan perencanaan tersebut.
Misalnya, pembangunan diarahkan ke wilayah barat, maka desa-desa yang ada di wilayah timur
mesti menyesuaikan diri dengan rencana tersebut. Sekarang, perluasan permukiman misalnya,
sering kali menggerus desa-desa yang ada di wilayah berdekatan dengan kota atau pusat
kabupaten sehingga justru mampu memunculkan persoalan-persoalan sosial.
Ibu kota kabupaten atau kota sering kali menjadi sasaran urbanisasi akibat pembangunan
yang tidak merata. Karena itu, dalam kaitan dengan pembangunan perdesaan yang menekankan

saling kebersamaan pembangunan antar desa tersebut, sangat berguna untuk menentukan pilihanpilihan pembangunan yang sesuai dengan keunggulan maupun ciri dari kabupaten maupun kota
tersebut. Misalnya untuk mencegah munculnya urbanisasi, maka pemerintah kabupaten dapat
saja membangun industri kopra di desa-desa yang mempunyai sentral pohon kelapa. Pemerintah
kabupaten dapat membuat peraturan tentang perencanaan tersebut, demi menahan arus urbanisasi
yang

kemungkinan terjadi. Di Tabanan Bali, misalnya, wilayah Selabih, Surabrata dan

sekitarnya sanat tepat dipakai sebagai sentra pengolahan kelapa.
Dalam

jangka pendek, terutama di jaman sekarang (2014-2020), yang harus

diperhatikan fokus pembangunannya adalah pada desa-desa yang berdekatan dengan kota
kabupaten.

Di Bali, desa-desa yang ada di wilayah Bali selatan

haruslah mewaspadai

perkembangan perkembangan kota kabupaten ini. Dikhawatirkan desa-desa yang ada di pinggir
kota ini akan diserobot pembangunan sebagai imbas dari kesesakan arus urbanisasi yang
berlangsung di kota. Desa-desa yang ada di wilayah Badung misalnya, sudah sangat sesak oleh
penduduk, pembangunan perumahan, tempat hiburan dan sebagainya sebagai akibat dari
padatnya arus urbanisasi ke kabupaten Badung dan memadati Mangupura. Khusus di kota
Denpasar misalnya, haruslah diperhatikan bahwa semakin sesaknya penduduk di kota akan dapat
menggerus nilai-nilai budaya yang ada di desa-desa yang ada di kota, terutama yang berkaitan
dengan masalah adat dan kebiasaan masyarakat Hindu Bali.
Proses pembangunan perdesaan ini, yang bersesuaian dengan pola pembangunan di
kabupaten akan mempunyai akibat lebih kuat kalau dilakukan secara bersama-sama. Jadi
melakukan kerjasama atau melakukan integrasi pembangunan dengan beberapa desa, akan
mendapatkan hasil yang lebih baik. Ini disebabkan, kesepakatan antar desa itu dapat dipandang
sebagai bendungan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Yang paling tepat, kerjasama
itu harus dilakukan oleh desa-desa yang benar-benar berada di pinggir kota atau dengan fokus
pada desa-desa yang melingkari kota kabupaten.

Landasan Sosiologis Keterikatan Kota dengan Desa
Dalam sejarah perkotaan di Indonesia, pembentukan kota tidak dapat dipisahkan dengan
pembentukan desa terlebih dahulu. Dalam arti, pemukiman padat

di kota diawali oleh

pemukiman yang mirip dengan pedesaan. Sudah menjadi jelas bagi masyarakat Indonesia bahwa
tempat tinggal itu harus berdekatan dengan air dan tanah pertanian. Filosofi ini mirip dengan

cara-cara yang dilakukan oleh orang nomaden atau perkebunan berpindah. Air dan tanah
merupakan penopang kehidupan manusia. Karena itu, desa yang terbentuk pasti berdekatan
dengan sungai atau dengan sumber air. Di Bali, identitas ini terlihat cukup jelas karena hampir di
setiap desa selalu dijumpai sungai atau sumber air. Bahkan juga desa-desa di pegunungan
didirikan berdekatan dengan sumber air.
Dilihat dari konteks perkembangan demikian, dapat dikatakan bahwa di daerah perkotaan
setidaknya ditemukan adanya lebih dari satu sungai, atau sungai yang panjang dan besar. Hal ini
merupakan perkembangan dari keberadaan desa di masa sebelumnya. Kota, dengan demikian
dapat merupakan perkembangan jumlah penduduk dari desa yang berwilayah luas. Atau
merupakan gabungan dari beberapa desa yang berada di sekitar sungai, yang secara geografis
mempunyai wilayah berdekatan. Paling kurang penduduk desa tersebut saling meluber secara
geografis dan akhirnya menyatukan diri menjadi kota. Hal ini misalnya terlihat, dalam kasus di
Bali, di kota, baik di Denpasar, Tabanan, Klungkung dan kota-kota lainnya. Banyak terdapat
desa yang disebut dengan desa pakraman atau desa adat yang merupakan kesatuan masyarakat
tradisionil di Bali. Desa dinas pun terdapat di dalam kota.
Dengan logika perkebangan demikian, maka banyak ciri-ciri ataupun identitas desa
masih melekat pada perkembangan kota. Pola pemukiman misalnya, masih banyak dijumpai pola
pemukiman kampung yang ada di perkotaan. Di Bali, rumah penduduk di kota mempunyai
kesamaan dengan apa yang ada di desa. Pola pemukiman tradisional masyarakat Bali setidaknya
dibagi menjadi empat atau lima bagian. Rumah tidur utama, ada pada bagian barat menghadap ke
timur. Dapur ada di bagian selatan, rumah tempat menyimpan sarana upacara di bagian utara dan
di bagian tengah ada rumah untuk melaksanakan ritual upacara. Pada bagian timur laut,
merupakan lokasi tempat persembahyangan keluarga. Tempat untuk beternak ada di belakang
rumah utama. Model pemukiman seperti itu juga masih terlalu jamak dan dijumpai di kota-kota
di Bali. Demikian juga dengan pola tempat tinggal sosial.
Pola tempat tinggal sosial masyarakat Indonesia, dan juga di Bali sebarannya
mengelompok dan mengembang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Rumah inti yang
merupakan rumah tua, dikelilingi oleh rumah-rumah lain, merupakan pengembangan dari
keluarga inti, yang berdekatan satu sama lain. Artinya dalam satu lingkungan, dijumpai sanak
keluarga yang juga beranak pinak. Di Bali, pola tempat tinggal yang berakar keluarga ini
mengelilingi satu halaman yang luas. Akan tetapi, lama kelamaan halaman ini bertambah sempit

sesuai dengan perkembangan jumlah anggota keluarga yang telah bertempat tinggal. Perumahan
yang ada dihiasi oleh pola-pola perumahan seperti itu. Di Bali, kesatuan kehidupan sosial paling
kecil diatas keluarga, disebut dengan banjar. Menurut sejarahnya, munculnya

kata banjar

tersebut tidak lain disebabkan oleh adanya deretan rumah yang berjajar. Karena itu disebut
dengan banjar. Pola perumahan yang mengelompok sesuai dengan anggota keluarga juga
dijumpai di kota-kota lain di Indonesia. Khusus di Bali, model rumah yang berjajar seperti
berbanjar tersebut, juga dijumpai di kota.
Pola kehidupan sosial kota juga mempunyai korelasi dengan pola kehidupan sosial di
desa, bahkan di kota-kota besar sekalipun. Karena geografisnya luas, terdiri dari ladang dan
persawahan serta perumahan yang tidak demikian banyak, sebagian masyarakat di pedesaan
memelihara hewan dengan cara membiarkannya berkeliaran di ladang. Atau untuk menghindari
adanya pencurian, hewan-hewan besar seperti sapi atau kambing dibuatkan kandang tepat di
belakang rumahnya. Unggas juga dipelihara dengan cara membiarkannya bebas berkeliaran,
sehingga masuk ke pekarangan rumah bahkan ke kamar-kamar tempat masakan dan tempat
tidur. Pola pemeliharaan seperti itu, sampai saat ini masih dijumpai di kota. Di Surabaya
kambing masuk halaman kampus. Di Bali, sapi masih berkeliaran di jalan raya dan perumahan.
Di Jakarta, masih banyak masyarakat yang membuat kandang sapi di belakang rumahnya. Ini
menandakan bahwa latar belakang kota itu, berawal dari desa beserta dengan kehidupannya.
Atau masyarakat yang tinggal di kota itu sesungguhnya mempunyai latar pedesaan.
Dalam konteks demografis, tidak dapat dilepaskan bahwa pertumbuhan berbagai kota di
Indonesia disebabkan oleh derasnya arus urbanisasi. Berbagai perilaku yang dipaparkan di depan
tadi, juga tidak dapat dilepaskan oleh perilaku urbanisasi tersebut. Ketimpangan pembangunan
serta infrastruktur yang tidak mendukung, membuat pembangunan di desa sangat tidak imbang
apabila dikaitkan dengan kota. Jalan yang rusak membuat pola pengangkutan barang kebutuhan
masyarakat menjadi tersendat atau malah mahal. Demikian pula sebaliknya untuk pengangkutan
barang yang ada di desa. Hal inilah membuat kehidupan di desa lebih sulit dibanding dengan
kota. Jawaban untuk menghadapi persoalan ini adalah dengan cara berpindah dan bekerja di
kota. Pada sisi lain, masyarakat desa masih belum mengetahui bagaimana pola dan cara hidup di
kota. Tidak adanya pengetahuan tentang pola kehidupan ini membuat

para urban tersebut

memakai model hidup di pedesaan menuju ke kota, tempatnya bekerja sekarang. Disamping
membuat kandang ayam di perumahan, contoh lain tentang pola hidup desa ini adalah pola

mencuci. Mereka mencuci di belakang gubuk atau lapak tempat berdagang. Padahal lapak itu ada
di jalan di kota atau di trotoar. Akibatnya jalan dan trotoar menjadi kotor karena menjadi tempat
pencucian.
Dengan demikian, kehidupan sosial yang ada di kota tersebut hampir sama dengan apa
yang ada di desa. Dalam konteks sejarah membentukan kota, desa merupakan cikal bakalnya. Ini
dibuktikan dengan adanya beberapa desa yang “melekat”

di dalam kota. Sedangkan pola

interaksi sosial yang ada di kota, mempunyai kesamaan dengan apa yang ada di desa karena kota
dipenuhi oleh kaum urban yang datang dari desa.
Bahkan, kalau dilihat dari kondisi sekarang, meskipun Indonesia sudah masuk kedalam
negara modern secara sosial, tetapi kehidupan-kehidupan model pedesaan tetap terlihat di kota.
Salah satu dari indikator modernnya kehidupan sosial masyarakat adalah penggunaan teknologi.
Kendaraan bermotor, baik yang berjenis mobil maupun kendaraan roda dua, kini sudah dimiliki
oleh sebagian besar masyarakat sampai ke desa. Akses terhadap informasi juga menjadi salah
satu ciri dari masyarakat modern. Dilihat dari sudut ini, penggunaan telepon seluler serta
kepemilikan televisi, memberikan indikasi bahwa sebagian besar masyarakat sudah masuk dalam
ranah modern. Cara mengolah lahan pertanian, sampai cara memasak sekarang sudah lebih
banyak menggunakan tenaga bukan manusia. Penggunaan traktor pertanian sampai dengan alat
pengulik sambal sudah memakai teknologi. Di pedesaan juga banyak dijumpai kompor gas yang
membuat masyarakat tidak lagi mencari kayu bakar untuk memasak di dapur. Sekali lagi, ini
merupakan indikator kemajuan. Di kota-kota hampir seluruhnya dijumpai hal seperti yang
diungkapkan diatas.
Akan tetapi kalau dilihat dari perilaku dan sikap terhadap lingkungan, tindakan sosial
yang dilakukan masyarakat antara desa dengan kota, tidak ada perbedaan yang signifikan.
Perilaku-perilaku desa masih banyak kelihatan di kota. Misalnya seorang pedagang masih
seenaknya membuang sampah di sekitar tempat berjualan atau mencuci piring di sekitar tempat
berjualan. Padahal lokasi berjualan itu di pinggir jalan. Apabila berjualan di desa, dengan lokasi
yang masih luas, tentu cara seperti itu masih dapat dipandang biasa meskipun tidak sopan, akan
tetapi masyarakat kota yang tempatnya sangat sempit, dan penduduknya banyak serta lahan
yang sudah terbagi-bagi, tidak pantas untuk melakukan perbuatan seperti itu. Demikian pula
apabila kita lihat dengan pola pemeliharaan hewan. Di desa, sapi misalnya dipelihara dengan
cara dilepaskan di ladang atau ayam dibiarkan lepas di ladang. Akan tetapi, di kota-kota sekarang

masih sering terlihat sapi yang berjalan liar tanpa dikawal oleh pemiliknya. Atau ayam yang
tidak dikandangkan. Belum lagi dengan cara berbicara yang masih dengan volume keras seperti
di sawah atau di ladang.
Apa yang diungkapkan diatas, merupakan perilaku-perilaku desa yang masih tetap
melekat di kota-kota di Indonesia, yang pada akhirnya memberikan pemahaman bahwa antara
kota dengan desa di Indonesia masih cukup lekat secara sosiologis.

Kepentingan Keterkaitan antara Kota dengan Desa
Undang Undang No. 6 Tahun 2014, tentang Desa, menyatakan bahwa desa itu juga ada
di kota. Pasal 5 menyatakan bahwa desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Sedangkan
pada pasal 1 tentang Ketentuan Umum

ada yang menyebutkan kawasan perdesaan, yaitu

kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Pasal 83 menyiratkan kalau kawasan
perdesaan ini ada di lingkungan wilayah kabupaten/kota. Dengan demikian, desa yang
dimaksudkan dalam undang-undang ini tidak semata-mata seperti yang ada dalam bayangan
orang dengan ciri-ciri seperti jauh dari perkotaan, ada di kawasan pegunungan, sepi dan
sebagainya, tetapi desa juga ada di kota atau perkotaan. Dimana wilayah-wilayah pertanian pun
sebenarnya juga ada di daerah perkotaan, sesuai dengan undang-undang ini.
Ada beberapa hal yang dapat dilihat tentang keterkaitan antara desa dengan kota, apabila
dihubungkan dengan persoalan sosiologis. Yang harus dilihat dari sisi struktural bahwa kota
dapat dikatakan mempunyai perkembangan sosial yang lebih dinamis dibandingkan dengan desa.
Perkembangan kedinamisan itu, tidak sekedar sebagai akibat dari

sarana kota yang lebih

dibanding dengan desa, tetapi berdasarkan kelebihan tersebut tingkat kemampuan intelektual dan
rasionalitas masyarakat kota, pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang
ada di pedesaan. Sekolah dari tingkat rendah sampai dengan perguruan tinggi, lebih banyak di
kota. Berbagai jenis perkantoran, pasar dan pertokoan lebih banyak di kota. Ruang untuk
melakukan diskusi dan dialektika, juga lebih banyak di kota. Termasuk juga dengan arena
hiburan dan ruang untuk saling berinteraksi sosial. Itulah yang membuat