PENGEMBANGAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI SISWA DEAFBLIND :Studi kasus di SLB Helen Keller Yogyakarta.

(1)

vii DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAK………. i

PERNYATAAN……… ii

KATA PENGANTAR……….. iii

DAFTAR ISI………... vii

DAFTAR TABEL………. x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Fokus Penelitian……… 5

C. Pertanyaan Penelitian……… 5

D. Tujuan Penelitian……….. 6

E. Manfaat Penelitian……… 6

F. Penjelasan Konsep……… 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komunikasi………. 9

B. Gambaran tentang Deafblind……… 10

1. Pengertian Deafblind……….. 10

2. Faktor Penyebab Deafblind……….... 11

3. Karakteristik Deafblind……….. 12

C. Komunikasi untuk Anak Deafblind……….. 14

1. Kemampuan Komunikasi Anak Deafblind………. 14

2. Media Komunikasi Anak Deafblind……… 16

3. Pengembangan Komunikasi Anak deafblind…………... 16

D. Penelitian-penelitian Terdahulu……….. 19

BAB III METODOLOGI PENELTIAN A. Pendekatan Penelitian……… 21

B. Strategi Penelitian……….. 21

C. Informan Penelitian………... 23

D. Setting Penelitian………... 25

E. Instrumen Penelitian……….. 25

F. Skema Alur Penelitian……… 26

G. Tehnik Pengumpulan Data………. 27


(2)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 32

1. Cara Siswa Deafblind Berkomunikasi secara Ekspresif dan Reseptif dengan Guru dan Teman Sebayanya a. Cara Berkomunikasi dengan Guru………

32

b. Cara Berkomunikasi dengan Teman Sebaya………. 33

2. Hambatan yang Dihadapi Guru ketika Melakukan Komunikasi dengan Siswa Pada Saat Pembelajaran…... 35 3. Program Sekolah untuk Pengembangan Komunikasi Siswa Deafblind……….. 36 B. Pembahasan Penelitian 1. Pembahasan tentang Cara Siswa dalam Berkomunikasi secara Ekspresif dan reseptifnya dengan Guru dan Teman Sebaya……….. 40 2. Pembahasan tentang Hambatan yang dihadapi Guru Ketika Melakukan Komunikasi dengan Siswa Pada Saat Pembelajaran……… 42 3. Pembahasan tentang Program Sekolah untuk Pengembangan Komunikasi Siswa Deafblind…………. 44 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Cara Siswa Deafblind dalam Berkomunikasi secara Ekspresif dan Reseptif dengan Guru dan Teman Sebayanya……… 46 2. Hambatan yang dihadapi Guru Ketika Melakukan Komunikasi dengan Siswa Saat Pembelajaran………… 46 3. Program Sekolah untuk Pengembangan Komunikasi Siswa Deafblind……….. 47 B. REKOMENDASI 1. Untuk Guru………. 48

2. Untuk Sekolah……… 49

DAFTAR PUSTAKA……….. 50

KISI-KISI PENELITIAN………... 53


(3)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Seorang individu dilahirkan dengan berbagai macam indera yang sangat dibutuhkan untuk penguasaan konsep sepanjang kehidupan mereka. Semua indera yang dimiliki diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam perkembangan mereka selanjutnya. Namun tidak semua individu memiliki kemampuan indera yang sempurna. Ada beberapa individu yang dilahirkan atau pada proses perkembangan dalam hidupnya mengalami hambatan pada inderanya.

Semua indera yang dimiliki oleh seorang anak akan dipergunakan mereka dalam proses perkembangan, proses pemerolehan informasi, proses berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, proses berkomunikasi dengan orang lain dan sebagainya. Dalam banyaknya kekompleks-an kegunaan indera tersebut, diperlukan juga kesempurnaan bentuk dan fungsi dari indera yang ada pada diri seseorang. Hal ini ditujukan agar seseorang tersebut dapat memiliki kualitas hidup yang ideal.

Misalnya saja untuk suatu proses yang ideal dalam berkomunikasi, seseorang harus dapat mengoptimalkan indera-indera mereka yang dapat berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi dan merespon komunikasi dari lingkungan sekitarnya. Secara ideal mereka harus memiliki telinga yang berfungsi dengan baik sebagai alat pendengaran, pemahaman yang baik pula untuk mampu menyerap, mengolah dan merespon pesan yang diterimanya, dan juga memiliki alat bicara yang dapat berfungsi dengan baik sehingga dapat digunakan dalam merespon pembicaraan atau komunikasi yang sedang terjadi kepada dirinya, ini adalah contoh ketika proses komunikasi itu menggunakan sarana


(4)

bicara. Namun komunikasi yang sebenarnya adalah sesuatu yang kompleks dan lebih dari itu.

Menurut Kirk dalam Permanarian (2007) mengatakan bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi melalui bicara dan bahasa, tekanan, kecepatan, intonasi, kualitas suara, pendengaran, pemahaman, ekspresi muka, dan gerak isyarat tangan. Komunikasi dapat terjadi secara verbal, non-verbal, maupun kombinasi keduanya.

Seorang individu dengan fungsi-fungsi indera yang ideal dapat melakukan komunikasi atau memperoleh informasi tanpa hambatan. Namun ada beberapa individu yang mengalami ketidakberfungsian indera dengan baik sehingga menjadikan mereka mengalami hambatan dalam proses komunikasinya. Hambatan pada indera yang dimiliki oleh seseorang biasanya secara langsung maupun tidak langsung akan membuat indera yang lain menjadi sangat potensial sebagai pengganti indera yang telah rusak. Misalnya saja pada kondisi tunanetra, secara langsung maupun tidak langsung indera pendengaran menjadi salah satu indera yang sangat optimal berkembang untuk mendapat konsep pengetahuan dan menjadi salah satu alat yang penting dalam komunikasi dengan lingkungan luar seorang individu tersebut, begitupun sebaliknya ketika pendengaran yang mengalami kerusakan maka penglihatanlah yang menjadi hal utama untuk memperoleh pengetahuan. Namun jika kedua indera tersebut mengalami kerusakan seperti yang dialami oleh seorang anak deafblind, maka akses untuk berkomunikasi dan memperoleh pengetahuan menjadi sangat sulit.

Keadaan seperti diatas akan dialami oleh seorang anak deafblind atau anak dengan hambatan kombinasi antara penglihatan dan pendengarannya, mereka mengalami ketidakberfungsian indera pendengaran dan penglihatannya sehingga mengalami


(5)

3 permasalahan dalam komunikasinya. Walaupun hanya sedikit kasus deafblind yang benar-benar secara total dalam kebutaan dan ketulian, banyak kasus deafblind dimana masih ada sisa dari salah satu diantara penglihatan dan atau pendengarannya yang masih dapat difungsikan walaupun dengan kondisi yang sangat minimum (Barbara Miles, 2008) Dampak secara umum seorang anak deafblind adalah permasalahan komunikasinya, karena pendengaran dan penglihatan adalah jalan utama seseorang dalam berkomunikasi. Anak-anak deafblind ini mengalami kesulitan dalam memperoleh informasi dari luar yang mengakibatkan minimnya informasi yang mereka terima.dampak lainny adalah mereka tampak pasif dan terisolasi dari dunia sekitarnya.

Seorang anak dengan hambatan penglihatan dan pendengaran memiliki suatu pengalaman yang unik terhadap dunia. Anak pada umumnya memiliki mata dan telinga yang dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dunia ini adalah seluas mata memandang dan setajam telinga mendengar. Namun pada anak deafblind pada awal kehidupan mereka, mereka akan merasa dunia ini sangat sempit. Pengalaman atau pengetahuan mereka tentang dunia ini hanya sebatas ujung jari yang dapat dijangkau, dan seberapa besar kesempatan yang dimilikinya untuk bergerak. Hal itulah yang menyebabkan informasi yang diperoleh oleh seorang anak deafblind menjadi sangat minim.

Kurangnya informasi yang mereka miliki membuat mereka cenderung pasif dan defensive terhadap orang lain disekitar mereka. Anak deafblind juga mengalami ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan lingkungannya secara bermakna. (Nawal & Thawani, tanpa tahun) Ketidakmampuan mereka berkomunikasi bukan disebabkan karena mereka tidak dapat berkomunikasi melainkan karena anak-anak deafblind


(6)

memiliki kesenjangan pengalaman dengan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan mereka lebih banyak pasif dan menarik diri.

Menurut Perkins Activity and Resource Guide, anak-anak yang mengalami deafblind cenderung akan mudah menjadi frustasi, bermasalah dengan kedisiplinannya, terlambat dalam perkembangan social, emosional dan kognitif karena ketidakmampuan mereka dalam berkomunikasi.

Hasil dari studi pendahuluan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kemampuan mereka dalam berkomunikasi memang sangat-sangat minim, pasif dan tidak ada inisiatif yang berarti yang muncul dari dalam diri mereka. Terlihat saat itu bahwa anak-anak deafblind ini selalu menyendiri dan tidak mampu membuat kontak dengan lingkungan sekitarnya. Walaupun sebenarnya kebutuhan akan komunikasi seorang anak deafblind sama halnya seperti manusia sebagai mahluk sosial yang lain. Mereka memiliki keinginan dan berharap lingkungannya ini dalam hal ini lingkungan sekolahnya atau gurunya memahami apa yang mereka inginkan saat itu. Dan ketika keinginan itu tidak mampu terbaca oleh lingkungannya ada rasa frustasi yang tampak dalam diri anak deafblind ini.

Hal yang sangat dirasakan oleh peneliti adalah ketika tidak dapat berkomunikasi dengan anak deafblind saat berada di sekolah, ada penolakan dari anak dengan cakaran dan juga ada ketidakpedulian anak dengan kedatangan orang baru., sehingga yang tampak adalah sikap anak deafblind yang sangat tertutup dengan lingkungannya.

Anak-anak dengan kondisi deafblind cenderung pasif terhadap lingkungannya, mereka tampak tidak memiliki inisiatif untuk mengawali komunikasi walaupun hanya untuk sekedar menyapa temannya, hal ini tampak pada saat dilakukannya studi


(7)

5 pendahuluan. Hampir semua siswa deafblind tidak tampak berusaha membuat kontak dengan sekitarnya. Mereka tampak selalu diam menunggu stimulasi dari lingkungan disekitarnya.

Hal mendasar yang sangat diperlukan oleh mereka adalah komunikasi. Karena pada dasarnya hal itulah yang akan menyambungkan keadaan mereka dengan lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu penelitian ini sangat penting dan menarik untuk dilakukan karena akan mengungkapkan bagaimana guru mengembangkan komunikasi untuk anak deafblind. Karena hal yang teramat sangat penting adalah keinginan untuk “menormalkan” anak deafblind dalam kemampuannya berkomunikasi sehingga mereka dapat memiliki akses juga terhadap dunia luar. Dan dari hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi bagi semua tertarik pada pembelajaran untuk anak deafblind.

B. Fokus Penelitian.

Dari latar belakang masalah, maka penelitian ini difokuskan pada bagaimanakah pengembangan komunikasi deafblind di SLB Helen Keller.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian yang sudah ditetapkan maka pertanyaan penelitian dirinci sebagai berikut:

1. Bagaimana cara siswa deafblind dalam berkomunikasi secara ekspresif dan reseptifnya ketika berhubungan dengan guru dan teman sebayanya?

2. Apa hambatan yang dihadapi guru ketika melakukan komunikasi dengan siswa pada saat pembelajaran?


(8)

3. Bagaimana program sekolah untuk pengembangan komunikasi siswa deafblind?

D. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan fokus penelitian dan pertanyaan penelitian diatas maka tujuan umum yang akan dicapai dengan selesainya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan komunikasi untuk siswa deafblind, dan selanjutnya tujuan tersebut akan diperinci secara khusus untuk mengetahui:

1. Cara siswa deafblind dalam berkomunikasi secara ekspresif dan reseptifnya dalam berhubungan dengan guru dan teman sebayanya.

2. Hambatan yang dihadapi guru ketika melakukan komunikasi dengan siswa pada saat pembelajaran.

3. Program sekolah untuk pengembangan komunikasi siswa deafblind.

E. Manfaat Penelitian.

Dari hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat untuk:

•••• Bagi Guru: hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan dalam pembelajaran bagi anak deafblind, terlebih utama pada pembelajaran yang berhubungan dengan pengembangan komunikasi bagi anak deafblind.

•••• Bagi masyarakat umum: hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai pengetahuan baru dan salah satu referensi bagi masyarakat yang tertarik masalah pendidikan untuk anak deafblind.


(9)

7 F. Penjelasan Konsep.

1. Anak deafblind

Anak deafblind adalah anak yang mengalami kombinasi hambatan pada penglihatan dan pendengarannya. Pada beberapa kasus hambatan penglihatan dan hambatan pendengaran terjadi secara total, namun pada beberapa kasus yang lain ada salah satu indera antara penglihatan ataupun pendengaran yang masih dapat difungsikan dengan bantuan-bantuan alat tertentu. Dalam keadaan seperti itu menyebabkan seorang anak deafblind mengalami ketidakmampuan komunikasi. Dalam penelitian ini 1 siswa deafblind mengalami ketunarunguan berat sekali dan ketunanetraan total dan 1 siswa deafblind dengan ketunarunguan berat sekali dan tunanetra (persepsi bayangan) 2. Komunikasi

Komunikasi adalah hubungan timbal balik antara satu individu dengan individu yang lain melalui bahasa yang disepakati bersama. Dalam hal ini adalah komunikasi yang dilakukan oleh siswa deafblind dengan guru, teman sebayanya, ataupun personil sekolah yang lain dengan menggunakan bahasa yang telah mereka sepekati dan berlaku dalam proses pembelajaran di sekolah.

3. Pengembangan Komunikasi

Pengembangan komunikasi dalam penelitian ini adalah poin-poin komunikasi yang akan dikembangkan dalam rangka kemajuan komunikasi yang telah dikuasai oleh anak deafblind.


(10)

4. SLB Helen Keller

SLB Helen Keller adalah sekolah luar biasa di Yogyakarta yang secara khusus menampung dan mendidik anak-anak berkelainan ganda dengan keadaan utamanya adalah tunanetra dan tunarungu. Sekolah luar biasa berasrama ini menampung anak-anak deafblind dari usia 4 tahun sampai 14 tahun. Sekolah ini tidak memiliki jenjang seperti halnya SLB pada umumnya, pengelompokan siswa didasarkan pada kelompok usia dan kemampuan dasar yang telah dimiliki anak.


(11)

21 BAB III.

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan membahas tentang pendekatan penelitian, tehnik pengumpulan data, sumber informasi, dan tehnik analisis data.

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif jenis studi kasus. Pendekatan kualitatif menuntut perencanan yang matang untuk menentukan tempat, partisipan, untuk memulai pengumpulan data. (Syaodih, 2006:99). Rencana penelitian ini bersifat berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dalam temuan dilapangan. Sedangkan menurut (Moleong, 2005:6) pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Melalui pendekatan kualitatif ini, peneliti berupaya mengungkapkan secara deskriptif bagaimana pengembangan komunikasi bagi siswa deafblind dalam setting pembelajaran di dalam kelas.

B. Strategi Penelitian.

Studi kasus merupakan kajian yang rinci disuatu latar, suatu obyek, tumpuan atau suatu peristiwa tertentu (Miles dan Huberman, 2007:15) Menurut Bogdan dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci


(12)

terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu.

Menurut Yin (2009: 18) studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak secara tegas, dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan.

Dalam penelitian ini pendekatan studi kasus dipilih karena dengan pendekatan ini diharapkan penelitian ini akan focus pada persoalan dan mampu menggali masalah secara lebih mendalam didalam kasus dan mampu dianalisis dengan lebih baik, sehingga dapat didapat kesimpulan yang lebih baik. Selain itu pemilihan studi kasus dianggap sangat cocok, karena dalam penelitian ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan “bagaimana”.

Kasus ini diaanggap sebagai suatu kasus yang menarik untuk diteliti dan diungkap dikarenakan adanya perbedaan yang mencolok tentang pengembangan komunikasi yang ada disekolah ini dengan sekolah yang lain yang pernah peneliti temui saat melakukan studi pendahuluan, jika di sekolah lain pengembangan komunikasi untuk anak deafblind berbasic pendidikan untuk tunanetra yang semua hal dikongkritkan, maka disekolah ini pengembangan komunikasinya didasarkan atas pendidikan untuk anak tunarungu dimana semua anak diharapkan mampu berisyarat maupun berbahasa oral. Maka studi kasus ini akan mengungkap “bagaimana pengembangan komunikasi yang telah berjalan di sekolah ini”


(13)

23 C. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah 2 orang guru yang mengajar dan 2 orang siswa SLB yang mengalami deafblind.

Guru dipilih dengan pertimbangan bahwa guru ini telah pernah mengikuti training tentang pembelajaran untuk anak deafblind diluar negeri,yaitu di Perkins Scholl for The Blind Amerika Serikat. Guru-guru ini menjabat sebagai kepala sekolah dan wakil kepala sekolah dan mengajar anak di kelas, dimana mereka juga bersama seluruh guru di sekolah ini merumuskan program pembelajaran untuk siswa.

1. Profil Guru Profil guru I

Nama : SM (initial)

Jenis Kelamin : Wanita

Pendidikan : S1 PLB

Jabatan : Kepala sekolah

Profil Guru II

Nama : R (initial)

Jenis Kelamin : Wanita

Pendidikan : S1 Non PLB dan

Sertifikasi PLB


(14)

2. Profil siswa. Profil Siswa I

Nama : S (initial)

Usia : 9 tahun

Jenis Kelamin : Wanita

Tempat tinggal : di asrama sekolah

Kondisi dan Kemampuan anak : S adalah seorang siswa deafblind, dengan tunarungu berat sekali dan tunanetra total, dengan kondisi kaki dan tangan lengkap dan dapat difungsikan dengan baik. Dapat berisyarat sederhana misalnya”minta lagi”, S sangat ekspresif, dan tampak lebih socialable. Profil Siswa II

Nama : I (initial)

Usia : 12 tahun

Jenis Kelamin : Pria

Tempat tinggal : di asrama sekolah

Kondisi dan Kemampuan anak : I adalah seorang siswa deafblind, dengan tunarungu berat sekali dan tunanetra (persepsi bayangan) kondisi tangan dan kaki lengkap dan dapat difungsikan dengan baik. Sangat pasif, mampu berisyarat sederhana “menolak sesuatu”, “minta”


(15)

25 D. Setting Penelitian.

Setting didalam penelitian ini adalah pembelajaran yang terjadi di SLB Hellen Keler Yogjakarta. SLB Helen Keller yang terletak di jalan Wates Yogyakarta berdiri sejak tahun 1996, adalah SLB yang melayani anak tunaganda dalam hal ini adalah anak dengan kelainan kombinasi tunanetra dan tunarungu. SLB ini merupakan SLB binaan dari SLB B Dena Upakara yang ada di Wonosobo Jawa Tengah. Karena merupakan binaan dari SLB untuk tunarungu maka pembelajaran untuk anak deafblind di sekolah ini lebih berorientasi pada pengembangan komunikasi selayaknya komunikasi untuk anak tunarungu, misalnya saja pada setiap komunikasi yang dilakukan dengan anak deafblind penggunaan bahasa isyarat (isyarat disentuhkan) lebih tampak sebagai bahasa pengantar dari guru ke anak.

E. Intrumen Penelitian.

Menurut Nasution dalam Sugiyono (2010) menyatakan :

“dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrument penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semua tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian ini. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk mencapainya”

Dalam penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka dalam penelitian


(16)

ini yang akan dikembangkan adalah suatu pedoman penelitian dalam bentuk pedoman observasi dan pedoman wawancara, yang dimana hal itu bertujuan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini.

F. Skema Alur Penelitian

Gambar 3.1 Skema alur penelitian

Keterangan: bahwa penelitian diawali dengan temuan kondisi lapangan yang berbeda dengan sisi ideal dalam teori komunikasi sehingga melahirkan fokus penelitian yaitu Teori Komunikasi ideal Kondisi empiric kemampuan komunikasi siswa deafblind Fokus penelitian: Bagaimana pengembangan ketrampilan komunikasi siswa deafblind Pertanyaan penelitian;

1. Bagaimana cara siswa deafblind dalam berkomunikasi secara ekspresif dan reseptifnya ketika berhubungan dengan guru dan teman sebayanya?

2. Apa hambatan yang dihadapi guru ketika melakukan komunikasi dengan siswa pada saat pembelajaran?

3. Bagaimana program sekolah untuk pengembangan komunikasi siswa deafblind?

Temuan hasil penelitian

Analisis Kesimpulan: tentang

gambaran pengembangan keterampilan komunikasi


(17)

27 bagaimana pengembangan komunikasi siswa deafblind, kemudian dilanjutkan dengan merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian, selanjutnya didapatkan temuan hasil penelitian yang selanjutnya di analisis dan diambil kesimpulan yaitu tentang gambaran pengembangan keterampilan komunikasi siswa deafblind.

G. Tehnik Pengumpulan Data. 1. wawancara

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara menurut Sugiyono (2008,194) adalah tehnik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil.

Menurut Stewart & Cash dalam Herdiansyah (2010) wawancara adalah sebuah interaksi yang didalamnya terdapat pertukaran atau berbagi aturan, tanggungjawab, perasaan, kepercayaan, motif dan informasi. Wawancara bukanlah suatu kondisi satu orang melakukan/memulai pembicaraan sementara yang lain hanya mendengarkan.

Macam-macam bentuk wawancara menurut Esterberg dalam Sugiyono (2010:73) adalah wawancara terstruktur, wawancara semi terstruktur, dan wawancara tidak terstruktur.

Dalam penelitian ini tehnik wawancara dengan bentuk wawancara semi-terstruktur digunakan sebagai salah satu tehnik untuk memperoleh data yang


(18)

menunjang penelitian. Wawancara ditujukan kepada guru. Tujuan dari penggunaan tehnik wawancara semi-terstruktur pada penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang cara guru berkomunikasi secara ekspresif dan reseptifnya dengan guru dan teman sebayanya, hambatan apa yang dihadapi guru pada saat pembelajaran, dan program sekolah untuk pengembangan komunikasi deafblind.

2. Observasi.

Tehnik selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi. Menurut Sutrisno Hadi (dalam Sugiyono, 2008:203) observasi merupakan suatu proses kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis.

Menurut Cartwright&Cartwright (dalam Herdiansyah, 2010:131) observasi adalah suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati serta ”merekam” perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu, dimana observasi adalah suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis.

Observasi sendiri memiliki beberapa metode dengan cara kerja yang berbeda, macam-macam metode tersebut adalah: Anecdotal record, behavioral cheklist, partisipation chart, rating scale, dan behavioral tallying dan charting.

Dalam penelitian ini menggunakan metode observasi, dengan tehnik yang dipakai adalah anecdotal record dan behavioral checlist dimana peneliti menggunakan panduan beberapa indikator yang biasanya muncul dalam komunikasi, serta membuat catatan-catatan jika muncul hal-hal yang tidak


(19)

29 terdapat indikatornya di dalam checklist. Dalam penelitian ini observasi digunakan untuk mengamati siswa dan guru didalam aktifitasnya selama berada disekolah dalam hal komunikasi.

Observasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data tentang bentuk komunikasi siswa dengan gurun dan teman sebayanya, kondisi fisik sekolah, program-program pengembangan komunikasi yang dilakukan sekolah, dan juga proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, serta mengamati perilaku dan kondisi siswa selama proses sekolah maupun proses pembelajaran, dan lain-lain yang berguna dalam memperkaya data penelitian.

H. Tehnik Analisis Data.

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bogdan & Biklen, dalam Moleong 2005:248)

Selanjutnya tahapan analisis data kualitatif menurut McDrury dalam Moleong (2005: 248) mengatakan sebagai berikut:

i. Membaca/mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data.

ii. Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data.

iii. Menuliskan ‘model’ yang ditemukan. iv. Koding yang telah dilakukan


(20)

Dalam penelitian ini tehnik analisis data yang akan dipakai adalah: 1. Reduksi data

Menurut Miles dan Huberman, 2005:73 ”reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar, yang muncul dari catatan-catatan lapangan.” dalam proses reduksi data ini, peneliti melakukan pilihan-pilihan terhadap data yang hendak dikode, mana yang kurang penting dapat dibuang, mana yang merupakan ringkasan, dan data yang sedang berkembang, sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. 2. Display data

Setelah semua data terkumpul, peneliti melakukan display data atau penyajian data agar mempermudah peneliti untuk mengambil kesimpulan. Miles dan Huberman (dalam Wahyudi, 2005:73) menyatakan bahwa penyajian data adalah menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

3. Verifikasi

Data yang diperoleh sejak semula dicari hubungannya dengan hal-hal yang sering timbul kemudian dicari tema dan diambil kesimpulannya. Kesimpulan itu sebenarnya masih kabur, akan tetapi dengan semakin bertambahnya data maka kesimpulan senantiasa harus diverifikasi selama penelitian berlangsung. (Saptiani, 2006:45)


(21)

31 Suprayogo dan Tabrani, (dalam Wahyudi, 2005:74) menyatakan bahwa verifikasi merupakan perumusan sejak awal hingga akhir suatu kegiatan penelitian untuk menangani kesimpulan secara longgar, tetap terbuka dan skeptis, sehingga tercapai suatu kemampuan final. Setelah semua data terkumpul dan dianalisis maka kesimpulan dapat diambil dan dideskripsikan dalam bentuk uraian.

Gambar 3.2 Analisis Data Model Interaktif (Sugiyono, 2010:92) Data Display Data

Colection

Data Reduction

Conclution Drawing & Veryfying


(22)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Cara Siswa Deafblind dalam Berkomunikasi secara ekspresif dan reseptif dalam berhubungan dengan guru dan teman sebayanya.

Anak-anak deafblind juga mampu mengirimkan suatu pesan kepada orang di sekitarnya, terlebih kepada gurunya. Secara mudah mereka mengekspresikan hal-hal yang sedang dialami, misalnya saat merasa senang, saat sakit, saat menolak ketika disuruh melakukan sesuatu. Kemampuan ekspresif mereka memang cenderung lebih mudah berkembang dan tampak oleh penglihatan guru secara umum.

Sementara itu komunikasi antara sesama deafblind menjadi sesuatu hal yang sangat sulit dan jarang sekali tampak, hal tersebut dikarenakan kondisi mereka yang sama-sama memiliki hambatan.

Sedangkan untuk kemampuan reseptif, mereka yang cenderung lebih sulit dilihat dari luar dan tampak lebih sulit juga mereka pahami, sehingga yang tampak pada diri seorang anak deafblind adalah anak tanpa inisiatif. Mereka akan tampak lebih sering didorong oleh guru dalam merespon sesuatu hal yang diberikan guru kepada anak.

2. Media yang digunakan Guru dalam Berkomunikasi dengan Siswa Deafblind. Guru menggunakan media kongkrit dan bahasa isyarat secara bersamaan saat berkomunikasi dengan anak. Media kongkrit lebih mengacu pada pemaknaan suatu kegiatan yang akan dilak


(23)

47 3. Hambatan yang dihadapi guru ketika melakukan komunikasi dengan siswa saat

pembelajaran.

Hambatan yang dihadapi guru ketika melakukan komunikasi adalah lebih banyak tentang ketidakmampuan siswa dalam menterjemahkan suatu arti dari suatu simbol yang sedang digunakan dalam proses komunikasi pada saat pembelajaran. Ketidakmampuan tersebut disebabkan karena kondisi dan karakteristik anak deafblind yang memang memiliki keterbatasan.

Hambatan yang terjadi saat komunikasi tidak hanya disebabkan karena sesuatu yang ada pada diri siswa melainkan juga dapat disebabkan dari kesulitan guru dalam menterjemahkan konsep-konsep abstrak kepada simbol kongkrit kepada anak. 4. Program sekolah untuk pengembangan komunikasi siswa deafblind.

Program pengembangan komunikasi untuk siswa deafblind tidak dapat dilepaskan assessment kebutuhan dari siswa itu sendiri. Assessment dibutuhkan untuk pembuatan program bagi setiap anak karena dari assessment tersebut diharapkan mampu mengetahui apa saja yang dapat dikembangkan dan keadaan seperti apa yang sedang dialami oleh seorang anak deafblind saat itu.

Assessment tidak harus selalu berpatokan kepada tes-tes yang formal jika memang hal itu belum ada dan tidak mampu mewakili keadaan anak pada umumnya. Namun lebih penting dari itu bahwa assessment untuk anak deafblind ini adalah pelaksanaan yang terus menerus, setiap mengajar guru harus peka tentang apa yang terjadi pada anak.

Pemilihan media komunikasi yang disesuaikan dengan kemampuan anak juga merupakan hal yang sangat penting sebelum proses pembelajaran itu dilakukan


(24)

karena dengan benda-benda yang mudah dipahami anak dan dengan isyarat yang sederhana sehingga pesan-pesan dari guru diharapkan mampu ditangkap anak dengan baik.

Di sekolah ini pengembangan keterampilan komunikasi diharapkan berujung pada satu titik yaitu anak mampu berkomunikasi secara isyarat. Kemampuan berisyarat pada siswa deafblind disekolah ini adalah merupakan hal dasar yang dipandang penting bagi guru, sehingga sekolah ini pun berharap bahwa selanjutnya anak dapat berbahasa oral atau menggunakan Braille dan sistem jaws bagi siswa yang dapat dikembangkan kearah tersebut.

Evaluasi program yang diadakan diakhir semester dapat dijadikan sebagai acuan oleh guru dalam membuat program pada semester selanjutnya sehingga diharapkan ada suatu kesinambungan program anak dari satu jenjang ke jenjang berikutnya.

Selain hal tersebut pelaksanaan case-conference juga dapat digunakan sebagai acuan guru dalam sistem asesmen on-going di sekolah ini. Kasus-kasus yang dipecahkan bersama memunculkan solusi yang dapat segera dilaksanakan guru saat pengembangan keterampilan komunikasi siswa.

B. REKOMENDASI

1. Untuk guru.

• Karena belum ada panduan baku dalam format asesmen, maka pelaksanaan assesmen yang on-going harus dilakukan setiap saat dimana menuntut kepekaan guru setiap berhadapan dengan siswa.


(25)

49 • Pemilihan simbol untuk dapat dilakukan secara jeli disesuaikan dengan

kemampuan anak dalam memahami simbol benda itu sendiri. • Penggunaan bahasa isyarat disesuaikan dengan kemampuan siswa.

Peningkatan frekuensi interaksi dengan siswa deafblind, sehingga diharapkan mampu merangsang anak untuk meningkatkan kemampuan komunikasi mereka.

2. Untuk sekolah.

• Tujuan akhir suatu pengajaran harus dibuat semaksimal mungkin, namun tetap harus berpedoman pada kemampuan yang dimiliki.

Maintenance program komunikasi deafblind juga harus dilakukan secara menyeluruh antar semua elemen sekolah dan orangtua.

• Sekolah harus lebih aktif dalam mengajak serta orang tua lebih peduli kepada pendidikan untuk anak-anak mereka.

• Perbandingan antara jumlah guru dan siswa hendaknya dapat lebih diperbaiki untuk peningkatan kualitas belajar siswa deafblind yang lebih baik di awal.


(26)

Daftar Pustaka

Gleason Deborah. (2008). Interaksi Dini Dengan Penyandang Buta-Tuli/Tunarungu. National Concorcium On Deaf-Bliness

Herdiansyah, Haris. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika

Johsen, B.H & Skjorten, D.M. 2003. Pendidikan Khusus Sebuah Pengantar. Bandung: SPs UPI

Miles, B & Marianne Rigio. (TT). Memahami Hambatan Penglihatan dan Pendengaran. Materi Training EI-MDVI 2011

Miles, Barbara, (2003), Talking the Language of Hands to the Hands, The National Information Clearinghouse On Children Who are Deaf-Blind Miles, Barbara, (2008), Ikhtisar Hambatan Penglihatan dan Pendengaran, The

National Information Clearinghouse On Children Who Are Deaf-Blind Milles, dan Huberman. 2007. Analisis data kualitatif. Jakarta : UI-Pres

Moleong, C. Lexy. 2005. Metodelogi penelitian kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Permanarian Somad. 2007. Interaksi-Komunikasi Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: SPs UPI

Rawal, N & Vimal Thawani. (TT). Memahami Anak dengan DeadBlind. Materi Training EI-MDVI 2011


(27)

51 Stremel, Kathleen, (2005), Ekspressif Comunication; how Children Send Their

Massages to You, The National Information Clearinghouse On Children Who are Deaf-Blind

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta Sukardi. (2003). Metode Penelitian Pendidikan. Yogyakarta : Bumi Aksara Syaodih, Nana. (2005). Metode penelitian pendidikan. Bandung : PT. Remaja

Rosdakarya

Weningsih, (2009), Komunikasi Pra Simbolik pada Anak Tunanetra-rungu, Skripsi, Jakarta: tidak diterbitkan

Wilson, Rebecca, (2010), Komunikasi Ekspresif, National Concorcium on Deaf-Blindness

Yin, Robert, K (2003). Studi Kasus: Desain dan Metode (Terjemah, M Djauzi Mudzakir), Jakarta: Raja Grafindo Persada


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Cara Siswa Deafblind dalam Berkomunikasi secara ekspresif dan reseptif dalam berhubungan dengan guru dan teman sebayanya.

Anak-anak deafblind juga mampu mengirimkan suatu pesan kepada orang di sekitarnya, terlebih kepada gurunya. Secara mudah mereka mengekspresikan hal-hal yang sedang dialami, misalnya saat merasa senang, saat sakit, saat menolak ketika disuruh melakukan sesuatu. Kemampuan ekspresif mereka memang cenderung lebih mudah berkembang dan tampak oleh penglihatan guru secara umum.

Sementara itu komunikasi antara sesama deafblind menjadi sesuatu hal yang sangat sulit dan jarang sekali tampak, hal tersebut dikarenakan kondisi mereka yang sama-sama memiliki hambatan.

Sedangkan untuk kemampuan reseptif, mereka yang cenderung lebih sulit dilihat dari luar dan tampak lebih sulit juga mereka pahami, sehingga yang tampak pada diri seorang anak deafblind adalah anak tanpa inisiatif. Mereka akan tampak lebih sering didorong oleh guru dalam merespon sesuatu hal yang diberikan guru kepada anak.

2. Media yang digunakan Guru dalam Berkomunikasi dengan Siswa Deafblind. Guru menggunakan media kongkrit dan bahasa isyarat secara bersamaan saat berkomunikasi dengan anak. Media kongkrit lebih mengacu pada pemaknaan suatu kegiatan yang akan dilak


(2)

47 3. Hambatan yang dihadapi guru ketika melakukan komunikasi dengan siswa saat

pembelajaran.

Hambatan yang dihadapi guru ketika melakukan komunikasi adalah lebih banyak tentang ketidakmampuan siswa dalam menterjemahkan suatu arti dari suatu simbol yang sedang digunakan dalam proses komunikasi pada saat pembelajaran. Ketidakmampuan tersebut disebabkan karena kondisi dan karakteristik anak deafblind yang memang memiliki keterbatasan.

Hambatan yang terjadi saat komunikasi tidak hanya disebabkan karena sesuatu yang ada pada diri siswa melainkan juga dapat disebabkan dari kesulitan guru dalam menterjemahkan konsep-konsep abstrak kepada simbol kongkrit kepada anak. 4. Program sekolah untuk pengembangan komunikasi siswa deafblind.

Program pengembangan komunikasi untuk siswa deafblind tidak dapat dilepaskan assessment kebutuhan dari siswa itu sendiri. Assessment dibutuhkan untuk pembuatan program bagi setiap anak karena dari assessment tersebut diharapkan mampu mengetahui apa saja yang dapat dikembangkan dan keadaan seperti apa yang sedang dialami oleh seorang anak deafblind saat itu.

Assessment tidak harus selalu berpatokan kepada tes-tes yang formal jika memang hal itu belum ada dan tidak mampu mewakili keadaan anak pada umumnya. Namun lebih penting dari itu bahwa assessment untuk anak deafblind ini adalah pelaksanaan yang terus menerus, setiap mengajar guru harus peka tentang apa yang terjadi pada anak.

Pemilihan media komunikasi yang disesuaikan dengan kemampuan anak juga merupakan hal yang sangat penting sebelum proses pembelajaran itu dilakukan


(3)

karena dengan benda-benda yang mudah dipahami anak dan dengan isyarat yang sederhana sehingga pesan-pesan dari guru diharapkan mampu ditangkap anak dengan baik.

Di sekolah ini pengembangan keterampilan komunikasi diharapkan berujung pada satu titik yaitu anak mampu berkomunikasi secara isyarat. Kemampuan berisyarat pada siswa deafblind disekolah ini adalah merupakan hal dasar yang dipandang penting bagi guru, sehingga sekolah ini pun berharap bahwa selanjutnya anak dapat berbahasa oral atau menggunakan Braille dan sistem jaws bagi siswa yang dapat dikembangkan kearah tersebut.

Evaluasi program yang diadakan diakhir semester dapat dijadikan sebagai acuan oleh guru dalam membuat program pada semester selanjutnya sehingga diharapkan ada suatu kesinambungan program anak dari satu jenjang ke jenjang berikutnya.

Selain hal tersebut pelaksanaan case-conference juga dapat digunakan sebagai acuan guru dalam sistem asesmen on-going di sekolah ini. Kasus-kasus yang dipecahkan bersama memunculkan solusi yang dapat segera dilaksanakan guru saat pengembangan keterampilan komunikasi siswa.

B. REKOMENDASI 1. Untuk guru.

• Karena belum ada panduan baku dalam format asesmen, maka pelaksanaan assesmen yang on-going harus dilakukan setiap saat dimana menuntut kepekaan guru setiap berhadapan dengan siswa.


(4)

49 • Pemilihan simbol untuk dapat dilakukan secara jeli disesuaikan dengan

kemampuan anak dalam memahami simbol benda itu sendiri. • Penggunaan bahasa isyarat disesuaikan dengan kemampuan siswa.

Peningkatan frekuensi interaksi dengan siswa deafblind, sehingga diharapkan mampu merangsang anak untuk meningkatkan kemampuan komunikasi mereka.

2. Untuk sekolah.

• Tujuan akhir suatu pengajaran harus dibuat semaksimal mungkin, namun tetap harus berpedoman pada kemampuan yang dimiliki.

Maintenance program komunikasi deafblind juga harus dilakukan secara menyeluruh antar semua elemen sekolah dan orangtua.

• Sekolah harus lebih aktif dalam mengajak serta orang tua lebih peduli kepada pendidikan untuk anak-anak mereka.

• Perbandingan antara jumlah guru dan siswa hendaknya dapat lebih diperbaiki untuk peningkatan kualitas belajar siswa deafblind yang lebih baik di awal.


(5)

Daftar Pustaka

Gleason Deborah. (2008). Interaksi Dini Dengan Penyandang Buta-Tuli/Tunarungu. National Concorcium On Deaf-Bliness

Herdiansyah, Haris. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika

Johsen, B.H & Skjorten, D.M. 2003. Pendidikan Khusus Sebuah Pengantar. Bandung: SPs UPI

Miles, B & Marianne Rigio. (TT). Memahami Hambatan Penglihatan dan Pendengaran. Materi Training EI-MDVI 2011

Miles, Barbara, (2003), Talking the Language of Hands to the Hands, The National Information Clearinghouse On Children Who are Deaf-Blind Miles, Barbara, (2008), Ikhtisar Hambatan Penglihatan dan Pendengaran, The

National Information Clearinghouse On Children Who Are Deaf-Blind Milles, dan Huberman. 2007. Analisis data kualitatif. Jakarta : UI-Pres

Moleong, C. Lexy. 2005. Metodelogi penelitian kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Permanarian Somad. 2007. Interaksi-Komunikasi Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: SPs UPI

Rawal, N & Vimal Thawani. (TT). Memahami Anak dengan DeadBlind. Materi Training EI-MDVI 2011


(6)

51 Stremel, Kathleen, (2005), Ekspressif Comunication; how Children Send Their

Massages to You, The National Information Clearinghouse On Children Who are Deaf-Blind

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta Sukardi. (2003). Metode Penelitian Pendidikan. Yogyakarta : Bumi Aksara Syaodih, Nana. (2005). Metode penelitian pendidikan. Bandung : PT. Remaja

Rosdakarya

Weningsih, (2009), Komunikasi Pra Simbolik pada Anak Tunanetra-rungu, Skripsi, Jakarta: tidak diterbitkan

Wilson, Rebecca, (2010), Komunikasi Ekspresif, National Concorcium on Deaf-Blindness

Yin, Robert, K (2003). Studi Kasus: Desain dan Metode (Terjemah, M Djauzi Mudzakir), Jakarta: Raja Grafindo Persada