Tinjauan Sifat-sifat Produksi dan Upaya Perbaikan Mutu Genetik Ayam Kampung.

TINJAUAN SIFAT-SIFAT PRODUKSI DAN UPAYA PERBAIKAN
MUTU GENETIK AYAM KAMPUNG

Oleh :
I Gede Suranjaya

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

KATA PENGANTAR
Upaya perbaikan mutu genetik ternak unggas lokal seperti ayam kampung nampaknya
belum banyak dilakukan. Ayam kampung adalah bangsa ternak unggas lokal yang penyebaran cukup tinggi didaerah Bali. Ternak ini memilki potensi yang sangat penting dalam kehidupan social budaya masyarakat di Bali. Produktivitas ayam kampung baik produksi telur
maupun dagingnya masih perlu ditingkatkan. Melalui beberapa upaya perbaikan mutu gentiknya diharapkan dapat dihasilkan ayam kampung dengan mutu dan produktivitas yang unggu yang nanti sangat diharapkan oleh semua pihak. Paper yang berjudul “Tinjauan Sifat-Sifat
Produksi dan Upaya Perbaikan Mutu Genetik Ayam Kampung” ini dibuat dengan maksud
untuk didokumentasikan di Perpustakaan Pusat Universitas Udayana Bukit Jimbaran. Di dalam paper dicoba dibahas tentang kekhasan dan karakteristik sifat-sifat produksi ayam kampung dan upaya-upaya alternatif perbaikan mutu genetiknya sebagai acuan bagi usaha peningkatan mutu genetik dan produktivitasnya.
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepa yang terhormat Dekan Fakultas Peternakan atas ijin yang diberikan serta kepada yang terhormat Kepala
UPT Perpustakaan Pusat Universitas Udayana di Bukit Jimbaran atas dapat diterimanya
karya ilmiah ini untuk dapat didokumentasikan.
Disadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan dan keterbatasannya, sehingga saran dan koreksi dari pembaca sangat diharapkan untuk lebih menyempurnakannya.

Sebagai akhir kata, besar harapan penulis semoga karya tulis ini dapat bermanfaat.

Denpasar, Januari 2016
Penulis

2

DAFTAR ISI
halaman
Kata Pengantar ..............................................................................................

i

Daftar Isi .........................................................................................................

ii

PENDAHULUAN............................................................................................

1


ASAL USUL AYAM KAMPUNG .................................................................

3

SIFAT-SIFAT PRODUKSI AYAM KAMPUNG .........................................

5

Sifat-sifat Produksi Telur ..............................................................................

5

Pemanenan .....................................................................................................

7

Dewasa Kelamin .............................................................................................

8


Mortalitas ........................................................................................................

8

PERKEMBANGAN PRODUKSI ..................................................................

11

UPAYA PERBAIKAN MUTU GENETIK AYAM KAMPUNG ..................

13

Upaya Seleksi Pada Bangsa Murni .................................................................

13

Perbaikan Genetik melalui Desa Pembibitan ...............................................

14


Metoda Breeding Cara Kortlang ...................................................................

16

PENUTUP ......................................................................................................

18

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

19

3

PENDAHULUAN
Ayam kampung atau ayam sayur, disebut pula ayam buras atau beberapa sebutan
lainnya adalah bangsa ternak unggas lokal dengan sifatnya yang khas yaitu memiliki daya
adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan alam serta mampu menampilkan produktivitas yang tinggi pada managemen pemeliharaan yang sederhana. Secara umum jenis unggas
ini telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat terutama di perdesaaan dan terdapat hampir

di seluruh daerah dengan kondidsi yang beragam. Ternak ini juga diyakini memiliki tingkat
penyebaran dan pemerataan populasi tertinggi diantara bangsa ternak lokal lainnya.
Populasi ayam kampung di Indonesia saat ini berdasarkan data Statistik Peternakan
dan Kesehatan Hewan tahun 2011 adalah 264,3 juta ekor dan pada 2012 naik menjadi 285,2
juta ekor atau terjadi peningkatan sebanyak 7,3%. Ayam kampung penting dikembangkan
karena merupakan ternak yang banyak diusahakan oleh peternak terutama di pedesaan,
sebagai sumber pendapatan keluarga dan merupakan ternak asli Indonesia yang mudah
beradaptasi dengan lingkungan dan bibitnya tersedia (Ditjennak & Keswan, 2013). Sementara
untuk di Bali menurut BPS (2013) berdasarkan sensus pertanian tahun 2013 populasi ayam
kampung di Bali ada sekitar 1.629.496 ekor, ayam ras petelur 3.678.620 ekor dan ayam ras
pedaging populasinya sekitar 35.927. 520 ekor. Usaha pemeliharaan ayam kampung di Bali
sebagian besar dilakukan secara tradisional dengan melibatkan sekitar 96.925 orang peternak.
Secara genetis kelompok-kelompok yang ada sekarang disinyalir merupakan keturunan dari individu-individu yang mampu melewati proses seleksi alam. Pada kondisi alam
tanpa campur tangan manusia baik dari segi perbaikan pakan maupun sistem pemeliharaannya, ayam kampung masih mampu berproduksi. Walaupun hal tersebut hanya sebatas untuk
mempertahankan keberadaannya yang masih disertai dengan tingkat kematian yang tinggi. Di

4

pihak lain ayam kampung adalah ternak yang sampai saaat ini masih menjadi andalan yang
utama sebagai sumber protein hewani baik dari produksi dagingnya maupun telornya.

Penelitian dan survey lapangan tentang keberadaan ternak ini harus diakui telah banyak pula dilakukan oleh perguruan tinggi, balai penelitian, pusat penelitian dan pengembangan peternakan serta masih banyak lagi dari pihak lain. Namun demikian sampai saat ini belum ada rekomendasi yang dapat dipakai secara luas ataupun perlakuan layak yang dapat diterapkan dalam upaya ikut membantu pengembangan dan peningkatan produktivitas ayam
kampung. Pengumpulan data produktivitas, studi tentang karakteristik dan sifat-sifat produksi
ayam kampung masih diperlukukan dalam upaya lebih banyak memiliki data dasar sebagai
acuan dari program peningkatan mutu genetik yang direncanakan.

5

ASAL-USUL AYAM KAMPUNG
Ayam buras (bukan ras) merupakan kumpulan dari sejumlah ayam yang tidak termasuk dalam bangsa ayam ras. Beberapa bangsa yang termasuk ayam buras antara lain: ayam
kate, ayam pelung, ayam Bangkok, ayam bekisar, ayam hutan, bangsa ayam kampung dan
masih banyak lagi yang lainnya. Ayam kampung merupakan salah satu ayam buras yang sangat dikenal oleh masyarakat khususnya di daerah perdesaan dan merupakan bagian terbesar
dari ayam buras yang ada (Rasyaf, 2011). Selanjutnya dikatakan bahwa ayam kampong biasanya banyak terdapat di pulau-pulau padat penduduk dengan populasinya 94% berada didaerah perdesaan. Iskandar et al. (1991) menggunakan istilah ayam kampung (ayam sayur)
dengan sebutan ayam buras yang memiliki ciri-ciri campuran dari jenis ayam kedu, pelung
atau nunukan. Penggunaan istilah ayam kampung dan yang lainnya belum ada kesepakatan
bersama yang telah dibakukan.
Hutt (1949) mengemukan bahwa ayam termasuk dalam sub ordo Galli, familia Phasianidae, genus Gallus dan species Gallus domestikus. Sementara Kingston (1979) menyebutkan ayam kampung adalah varietas-varietas ayam hutan (Gallus gallus) bersifat setengah
liar yang terdapat di perdesaan di seluruh Indonesia. Jarak genetik ayam lokal Indonesia dengan ayam hutan yang ada tercantum seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Matrik jarak genetik antara masing-masing pasang pada 7 bangsa ayam digunakan
pada 16 lokus dihitung dengan menggunakan persamaan Nei Hashiguchi et al.,
1982)

Jenis Ayam

1

2

3

4

5

1. A lokal Indonesia

0

2. A hutan merah (Fil)

0,0101


0

3. A hutan merah (Thai)

0,0341

0,0204

0

4. A hutan merah (Ind)

0,0110

0,0322

0,0581

0


5. A hutan Ceylon

0,0117

0,0021

0,0271

0,0335

0

6. A hutan hijau

0,1581

0,01940 0,2257

0,1345


0

7. A hutan abu-abu

0,0114

0,0019

0,0338

0,0001

0,0246

6

0

6


Ayam kampung (Indonesia) paling dekat jarak genetiknya dengan ayam hutan merah
Filiphina, yaitu 0,0101. Jarak genetiknya dengan ayam hutan merah Indonesia (Gallus gallus)
yaitu 0,110, lebih dekat dari pada terhadap ayam hutan hijau yaitu 0,1581. Hal ini nampak
dari jarak genetik yang pernah dilaporkan oleh Hashiguchi et al. (1982) sebesar 0,0110 atau
memiliki kesamaan genetik sebesar 0,9890 dibandingkan 0,8419. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa ayam hutan merah sering kali dinyatakan sebagai nenek moyang ayam budidaya yang ada sekarang ini (Hutt, 1949).

Gambar 1. Pemeliharaan ayam kampung semi intensif

Gambar 2. Pemeliharaan ayam kampung secara ekstensif
7

SIFAT – SIFAT PRODUKSI AYAM KAMPUNG
Sifat Produksi Telur.
Ayam kampung masih memiliki sifat mengeram dan mengasuh anak yang tinggi seperti layaknya sifat unggas liar. Bangsa burung dan unggas liar biasanya bertelur dalam periode atau disebut dengan istilah clutch, jumlah telur yang dihasilkan per periode hamper seragam dalam species. Ayam-ayam hutan bertelur sebanyak 12-20 butir per periode (Romanof
and Romanof 1963).
Pada Tabel 2. ditampilkan produksi ayam kampung pada pemeliharaan secara tradisional dan semi intensif hasil survey di Banyumas yang dilakukan oleh Mugiyono et al.
(1989) dan di Gunung Kidul oleh Nataamidjaja (1986). Sementara hasil survey Kingston dan
Creswell (1982) dengan pencatatan data setiap minggu sampai satu bulan dengan waktu pencatatan selama 12 bulan dan hasil penelitian Prasetyo (1989) dengan perlakuan 1 yaitu induk
diberi mengeram kemudian anak segera dipisahkan setelah menetas ditampilkan seperti pada
Tabel 3. Penelitian induk pada kedua penelitian itu dilakukan secara tradisional yaitu dilepas
atau diumbar.
Tabel 2. Produksi telur ayam kampung pada pemeliharaan tradisional dan semi intensif
Sifat Produksi

Tradisional

Semi Intensif

Koef. Keragaman

Produksi telur (butir)

11,171,921

12,561,72

17,19 vs 13,69

46,003,45

9,42 vs 7,50

85,8311,04

3,34 vs 12,87

10,00-15,002
Berat telur (g)

42,894,041
31,00 – 40,002

Daya tetas (%)

93,333,121

Keterangan :
1
2

). Mugiyono et al. (1989)
). Nataamidjaja (1986)

8

Penelitian yang lain oleh Gultom et al. (1989) pada pemeliharaan secara intensif dengan menggunakan ransum R1 (protein 16%, EM 2700kkal/kg pakan), R2 (protein 16% dan
EM 2400 kkal/kg pakan, R3 (protein 14% dan EM 2700 kkal/kg pakan) dan R4 (protein 14%
dan EM 2400 kkal/kg pakan) memberikan respon produksi yang tidak berbeda nyata. Produksi telur (hen house) dari ke-4 perlakuan berkisar antara 17-21 persen per ekor dengan rataan 19,11% per ekor, hen day berkisar antara 19-23% dengan rataan 21%, sedangkan berat
telur berkisar antara 41-46 g/butir dengan rataan 44,69 g/butir.
Pada pemeliharaan tradisional (ekstensif) dengan menghilangkan kesempatan mengasuh anak, ternyata meningkatkan rataan produksi telur dari hanya 26,5 butir menjadi 72 dan
82 butir per tahun atau terjadi kenaikan 172 dan 232%, sedangkan daya tetas relative sama
yaitu berturut-turut 79,21; 81,57; dan 82% (Kingsto dan Creswell, 1982 dan Prasetyo, 1989).
Di perdesaan atau pada tempat dengan lahan pertanian yang cukup luas seperti di daerah transmigrasi keberadaan serangga, cacing tanah dan sejenisnya merupakan sumber protein yang potensial untuk ayam kampung. Di pihak lain ayam kampung juga dapat bertindak
sebgai pengontrol populasi serangga-serangga tersebut karena bila keadaan populasi serangga
terlalu tinggi malah merupakan hama bagi lahan pertanian petani.
Tabel 3. Performans produksi telur ayam kampung pada pemeliharaan secara tradisional
Sifat Produksi
Produksi telur per periode (butir)
Produksi telur per tahun (butir)
Bobot telur (g/butir)
Daya tetas (%)
Jarak antara periode (hari)

Jawa Barat1)
9,001,00
72,009,00
41,003,00
82,00
42,004,00

Semarang2)
I
11,73
66,50
79,21
147,10

II
12,60
88,13
81,57
43,30

Keterangan :
1
) Kingston dan Creswll (1982)
2
). Prasetyo (1989)

9

Perbaikan kondisi pemeliharaan dapat meningkatkan baik jumlah produksi telur maupun pada bobot telur ayam kampung. Dari hasil penelitian Mugiyono et al. (1989) yaitu pada
perbaikan sistem pemeliharaan dari ekstensif ke semi ekstensif dapat menaikkan rataan produksi telur dari 11,17 menjadi 12,56 butir atau meningkat 12,44% dan rataan bobot telur dari
42,89 menjadi 46,0 g/butir atau 7,25%. Namun daya tetas telur sebaliknya mengalami penurunan yaitu dari 93,39 menjadi 85,03% atau sebesar 8,36%. Hal ini diduga disebabkab oleh
kekurangan mineral mikro karena induk tidak mendapat sumber mineral yang memadai dari
pakannya.
Pada pemeliharaan intensif dengan menghilangkan sifat mengerami telur dan mengasuh anaknya dapat meningkatkan produksi telurnya sebesar 110% (Prasetyo, 1989) dan 154%
(Rukmiasih & Hardjosworo, 1989). Dari kedua hasil penelitian itu bila hanya sifat mengasuh
anaknya saja ditiadakan, maka akan meningkatkan produksi telur masing-masing 37,82% dan
111,15%. Ayam kampung yang diberi pakan mengandung protein 14 dan 16% memberikan
respon yang relatif sama ayitu 19,17 – 22,78% hen day atau 70-83 butir. Jumlah ini hamper
sama dengan pemeliharaan ekstensif yang hanya diberi kesempatan mengeram saja yaitu 72
butir (Kingston & Creswell, 1982) dan 88 butir (Prasetyo, 1989).
Pemanenan
Pada pemeliharaan tradisional Kingston & Creswell (1982) mendapatkan bobot tubuh
sebesar 1027307 gram pada umur 20 minggu dan pada umur 16 minggu pada pemeiharaan
semi intensif didapatkan bobot badan sebesar 975,10112,02 g (Mugiyono et al., 1989). Sedangkan pada pemeliharaan intensif Creswell dan Gunawan (1982) memperoleh rataan bobot
badan berkisar 708-1036 g pada umur 12 minggu.
Pergeseran cara pemeliharaan dari ekstensif ke semi intensif dapat mempercepat waktu panen. Walaupun kondisi ini sangat beragam dari satu penelitian dengan penelitian lainnya. Hal ini terjadi diduga disebabkan oleh faktor genetik yang sangat beragam pada ayam
10

kampung itu. Bobot badan pada umur 20 minggu pada pemeliharaan tradisional di Jawa Barat diperoleh sekitar 720-1334 g/ekor dengan koefisien keragaman 29,89% (Kingston &
Creswell, 1982) sedangkan di Gunung Kidul diperoleh rataan bobot badan 746,922,6 g pada
umur antara 4-5 bulan (Nataamidjaya, 1986) dan pada pemeliharaan semi intensif pada umur
4 bulan diperoleh bobot badan 863-1087 g dengan koefisien keragaman 11,49%, sedang pada
pemeliharaan intensif bobot badan yang diperoleh sebesar 1039 g pada umur 12 minggu. Sementara secara umum permintaan pasar menghendaki bobot hidup ayam kampung yang dijual hendaknya berkisar antara 0,7-0,9 kg atau rata-rata sekitar 0,8 kg per ekor.
Dewasa Kelamin
Pemeliharaan intensif dengan pemberian pakan dengan kandunagn protein 20% pada
umur 0-8 minggu, pakan dengan 16% pada umur 8-20 minggu dan pakan 17% protein pada
umur lebih besar 20 minggu, dewasa kelaminnya dapat dicapai pada umur 145 hari, sementara pemberian pakan dengan protein  13,6% protein pada umur 8-20 minggu dewasa kelaminnya dicapai pada umur 151 hari (Creswell dan Gunawan, 1982), Sedangkan Hardjosubroto dan Atmodjo (1977) pada pemeliharaan dengan pemberian pakan dengan kandungan protein 23% dan EM 3200 kkal/kg pakan pada umur 0-6 minggu, protein 21% dan EM 3200
kkal/kg pada umur 6-12 minggu dan protein 15% dan EM 2850 kkal/kg pakan pada umur lebih besar dari 12 minggu mendapatrkan dewasa kelamin pada umur 202 hari. Dinyatakan
bahwa sifat dewasa kelamin ini tidak dapat dipakai sebagai ukuran produktivitas, karena faktor ini untuk ayam kampung sementara hanya mempercepat waktu untuk dapat menghasilkan
telur.
Mortalitas
Mortalitas atau kematian akan menjadi faktor pembatas produksi selain waktu mengeram dan mengasuh anaknya pada ayam kampung. Kindston dan Creswell (1982) mendapatkan tingkat kematian masih cukup tinggi yaitu diatas 20% pada pemeliharaan tanpa diser11

tai program vaksinasi. Pada penelitian Purwono (1986) mendapatkan tingkat kematian sampai umur 2 bulan pada kelompok ayam kampung yang divaksin sebesar 1,25% lebih rendah
dibandinkan dengan kelompok yang tidak divaksin yaitu sebesar 24,4%. Pada umur 3 bulan
tingkat kematiannya adalah 7,5% pada kelompok yang divaksin dan 34,94% pada kelompok
yang tidak divaksin, kedua kelompok tersebut dipelihara secara intensif. Urutan tertinggi penyebab kematian pada ayam kampung adalah penyakit ND (Newcastle Disease) baik pada
pemeliharaan ekstensif maupun intensif. Ada kecenderungan ayam dewasa lebih tahan terhadap ND, namun dilain pihak pada pemeliharaan intensif sekalipun penyakit ND ini masih
menjadi penyebab utama kematian pada ayam kampung.
Pada pemeliharaan ekstensif mortalitas tertinggi terjadi pada kelompok umur 0-6
minggu yaitu rata-rata 68% dari angka kematian yang terjadi pada umur 0-24 mingu, sedang
secara umum angka kematian pada berbagai kelompok umur sangat beragam yaitu berkisar
antara 13-80%. Perubahan sistem pemeliharaan dari ekstensif ke semi intensif yang disertai
dengan program vaksinasi terhadap ND (tetelo) yang teratur dapat menurunkan jumlah kematian. Pemeliharaan intensif tanpa program vaksinasi pada umur 0-2 bulan angka kematian
masih tinggi yaitu 24,4% dibandingkan 1,25% pada kelompok yang divaksin, sedangkan pada umur 2-3 bulan pada kelompok yang tidak divaksin angka kematian sebesar 34,9% dibandingkan dengan kelompok yang divaksin yaitu sebesar 7,5%. Secara umum vaksinasi ND
sampai umur 2-3 bulan dapat menurunkan angka kematian berturut-turut sebesar 23,15 dan
27,4% (Puewono,1986), sedangkan Creswell dan Gunawan (1982) mendapatkan angka kematian pada kelompok ayam kampung umur 20 minggu yang diberikan vaksin terjadi kematian sebesar 9,14%.
Vaksin yang terjamin kualitasnya serta waktu vaksinasi yang tepat dapat menurunkan
jumlah kematian pada ayam kampung. Kekebalan ini tidak berdiri sendiri tetapi harus dibarengi dengan kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok (maintenance) baru akan efektif. Jika da12

pat menghindari dari serangan ND melalui program vaksinasi yang tepat, maka tingkat kematian ayam kampung dapat ditekan serendah-rendahnya sehingga jumlah yang dapat dipanen
meningkat dan waktu panen akan relatif lebih cepat.

Gambar 3. Vaksinasi ND pada ayam kampung

13

PERKEMBANGAN PRODUKSI
Populasi ayam kampung Indonesia saat ini berdasarkan data Statistik Peternakan dan
Kesehatan Hewan tahun 2011 adalah 264,3 juta ekor dan pada 2012 naik menjadi 285,2 juta
ekor atau terjadi peningkatan sebanyak 7,3%. Ayam kampung penting dikembangkan karena
merupakan ternak yang banyak diusahakan oleh peternak terutama di pedesaan, sebagai
sumber pendapatan keluarga dan merupakan ternak asli Indonesia yang mudah beradaptasi
dengan lingkungan dan bibitnya tersedia (tidak impor). Jika ditinjau dari penyebaran
populasi, sentra ayam lokal asli saat ini ada di seluruh provinsi di pulau Jawa, Bali, Sumatera
Utara, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Utara. Di provinsi tersebut mulai bermunculan peternakan ayam kampung asli
pola intensif (Ditjennak & Keswan, 2013). Sementara di Bali menurut BPS (2013) berdasarkan sensus pertanian tahun 2013 populasi ayam kampung di Bali ada sekitar 1.629.496 ekor,
ayam ras petelur 3.678.620 ekor dan ayam ras pedaging populasinya sekitar 35.927. 520 ekor.
Usaha pemeliharaan ayam kampung di Bali sebagian besar dilakukan secara tradisional, namun ada pula beberapa peternakan yang sudah diusahaakan secara semi intensif dan intensif.
Dengan jumlah petani peternak yabg terlibat yaitu sekitar 96.925 orang.
Berdasarkan dengan data diatas, ternak ayam kampung yang diusahaakan secara intensif sekitar 3,08% dari populasi yang ada. Sisanya masih diusahaakan secara ekstensif dan
semi intensif. Pada umumnya pemeliharaan ayam kampung tidak disertai perkandangan artinya ternak dilepas begitu saja dan jumlahnya mencapai 72,2% dari seluruh populasi peternak (Natamidjaja, 1986). Jika data ini dipakai sebagai patokan sementara, maka jumlah ayam
kampung yang dipelihara secara semi intensif adalah sebesar 100%-3,08%-72,2% = 24,72%.
Dengan perbaikan kondisi pemeliharaan maka produksi telur per periode dapat ditingkatkan, begitu juga dengan bobot telurnya. Dari hasil-hasil penelitian yang disebutkan di
atas perubahan sistem pemeliharaan dari ekstensif ke semi intensif nyata dapat meningkatkan
14

produksi telur per periode dari 11,17 menjadi 12,56 atau mengalami peninngkatan sebesar
12,44% dan berat telur juga mengalami peningkatan dari 42,89 menjadi 46,0 g yaitu naik sebesar 7,25%. Melalui perbaikan kodisi pemeliharaan maka produksi telur per periode dan bobot telur dapat ditingkatkan, namun di lain pihak daya tetas nampaknya mengalami penurunan. Problem ini dapat ditanggulangi dengan menambahkan sumber-sumber mineral pada
ransum sehingga kekurangan mineral pada ayam kampung dapat diatasi.
Pada perbaikan sistem pemeliharaan dari ekstensif ke semi intensif yang disertai dengan program vaksinasi teratur dapat menurunkan tingkat kematian. Namun pada pemeliharaan intensif yang tanpa disertai denghan program vaksinasi maka tingkat kematian juga masih tinggi yaitu 24,4% dibandingkan 1,25% pada kelompok yang divaksinasi ND pada umur
2 bulan. Apabila program vaksinasi dilakukan teratur pada umur 0-6 bulan maka tingkat kematian diharapkan bisa turun sekitar 75% dan pada kelompok dewasa turun 40% dari jumlah
sebelumnya, sementara program vaksinasi yang dilakukan teratur pula pada umur 3 bulan
dapat menurunkan tingkat kematian sebesar 27,4%. Ketersediaan vaksin, kualitas vaksin serta
waktu vaksinasi yang tepat dapat menekan jumlah kematian. Namun kekebalan ini tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus dibarengi pula dengan terpenuhinya pakan kebutuhan hidup
pokok dan untuk kebutuhan berproduksi dan pertumbuhan maka baru akan efektif.
Pergeseran cara pemeliharaan dari ekstensif ke semi intensif juga dapat mempercepat
waktu panen. Nampaknya kondisi ini sangat beragam dari satu daerah dengan daerah lainnya
karena sangat tergantung dengan kondisi lingkungan setempat. Hal ini juga tidak lepas dari
faktor genetik ayam kampung itu sendiri yang masih sangat beragam. Pada pemeliharaan
semi intensif pada umur 4 bulan diperoleh bobot badan 863-1087 g dengan koefisien keragaman 11, 49%, sedang pada sistem intensif diperoleh bobot badan 708-1036 g pada umur 12
minggu.

15

UPAYA PERBAIKAN MUTU GENETIK AYAM KAMPUNG
Potensi genetik unggas lokal Indonesia yang memiliki nilai ekonomis nampaknya belum tergali keunggulannya karena kurangnya atau belum adanya usaha-usaha seleksi untuk
sifat-sifat tersebut (Hardjosworo, 1995). Keadaan serupa juga terjadi pada ayam kampung.
Walaupun belum mengalami seleksi namun tidak tertutup kemungkinan ayam kampung yang
dipelihara di lingkungan peternak di perdesaan terdapat ayam-ayam yang unggul. Hal itu ditunjukkan dengan masih sangat bervariasinya kemampuan produksi telurnya dan keragaman
genetik yang cukup tinggi. Kondisi seperti itu sudah tentu akan sangat bermanfaat bagi usaha-usaha peningkatan mutu dan pengembangannya.
Menurut Martojo (1979) ada dua alternatif usaha yang dapat dilakukan dalam program pemuliaan ayam lokal di Indonesia yaitu : 1). Melalui program seleksi dalam bangsa
terhadap ayam lokal seperti ayam Kedu, Bangkok, Pelung dan terhadap ayam kampung sendiri, 2). Melalui program persilangan secara terbatas yang dilakukan di balai/pusat penelitian
peternakan atau daerah-daerah non pembibitan murni antara ayam kampung dengan bangsa
luar (impor).
Upaya Seleksi pada Bangsa Murni
Seleksi pada populasi ayam kampung dimaksudkan adalah proses seleksi yang dilakukan di lokasi-lokasi peternakan ayam kampung murni sesuai anjuran Martojo (1979). Program seleksi ini dapat dilakukan dengan mengambil pola yang sama seperti diterapkan pada
program seleksi ayam buras lainnya. Secara garis besar tahapan program yang disarankan itu
adalah sebagai berikut :
1. Seleksi didasarkan terutama pada pencatatan produksi telur pada ayam kampung betina dan pertumbuhan atau besar tubuh pada ayam kampung jantan yang nanti akan digunakan sebagai calon pejantan

16

2. Seleksi dilakukan secara teratur 3 bulan satu kali dengan seleksi individual (mass selection) dengan tekanan pada pejantan, dan dilakukan pula penyuluhan kepada peternak mengenai seleksi dan culling betina. Calon pejantan terpilih dititipkan kepada
penduduk di desa bersangkutan.
3. Dalam hal ini dapat dipilih desa-desa tertentu sebagai pusat pembibitan dimana usaha
seleksi terkonsentrasi dapat dilakukan sehingga terbentuk desa-desa sumber bibit
ayam kampung murni.
Seleksi terkonsentrasi akan berhasil dengan baik jika dilakukan pada kondisi peternak
yang terhimpun dalam kelompok-kelompok peternak. Melalui beberapa peternak andalan pada kelompok peternak itu maka pelaksanaan penyuluhan, proses pencatatan produksi secara
sederhana dan seleksi terhadap ternak sebagai penghasil bibit dapat dilakukan. Proses seleksi
ternak penghasil bibit yang terencana dengan baik pada peternak andalan, maka akan menjadikan peternak penghasil bibit yang baik. Selanjutnya berkembang sebagai kelompokkelompok peternak pembibit dan akhirnya akan terbentuk desa-desa sumber bibit. Melalui
desa-desa sumber bibit ini maka program peningkatan mutu genetik ayam kampung dapat
dilakukan secara meluas.
Perbaikan Mutu Genetik melalui Desa Binaan
Program peningkatan mutu genetik ayam kampung dapat pula dilakukan dengan meniru teknologi village breeding. Teknologi village breeding adalah metoda yang dikembangkan oleh Gunawan, dkk (1995) yang pada dasarnya adalah suatu program seleksi pada itik
Alabio untuk meningkatkan mutu genetiknya. Pada program itu dilakukan evaluasi terhadap
produktivitas ternak itik di desa Amuntai sebagai sentra peternakan itik Alabio Kalimantan
Selatan. Tahapan-tahapan dari metoda itu adalah sebagai berikut :
1. Dilakukan pemilihan populasi itik yang berasal dari 3 peternak itik penhghasil telur
tetas terbaik sebagai populasi dasar dan selanjutnya diikuti dengan program seleksi.
17

2. Dari ketiga peternak terbaik itu dipilih sebanyak 40 ekor pejantan dan 200 ekor betina. Populasi terseleksi dibagi menjadi 40 group yang masing-masing terdiri dari 5
ekor betina dan 1 ekor pejantan. Itik jantan diseleksi berdasrkan informasi produksi
telur kelompok anaknya.
3. Sedangkan untuk populasi control dipilih secara acak dari 20 orang peternak sebanyak
4 ekor jantan dan 60 ekor betina, kemudian dibagi menjadi 4 group yang masingmasing terdiri dari 1 ekor jantan dan 15 ekor betina.
4. Kedua macam populasi itu ditempatkan pada seeorang peternak andalan dan dipelihara dengan sistem pemeliharaan yang sama. Selanjutnya dilakukan pencatatan fertilitas, daya tetas telurnya, produksi telur dan efisiensi pakanya. Estimasi respon terhadap
satu generasi seleksi dihitung berdasarkan perbedaan produktivitas anatara populasi
terseleksi dengan populasi kontrol.
Metoda diatas pada dasarnya adalah tergantung kepada variasi produktivitas anatara
peternak. Kondisi populasi dengan variasi produktivitas yang tinggi adalah memperbesar peluang keberhasilan peningkatan mutu genetik ternak melalui seleksi. Secara teoritis pembentukan populasi dasar yang dipilih dari beberapa peternak akan memberikan respon seleksi
yang lebih besar dari pada hanya menggunakan ternak-ternak dari peternak terbaik saja (Gunawan dan James, 1986). Menurut Gunawan (1995) bahwa melalui metoda village brreding
secara umum dapat meningkatkan produksi telur dari populasi terseleksi yaitu sebesar
6,17%/tahun dengan konversi pakan 0,63 dibandingkan dengan populasi kontrol. Deviasi ini
merupakan ekspresi dari peningkatan mutu genetik pada populasi terseleksi sebagai akibat
respon terhadap seleksi. Peningkatan mutu genetik ini terutama berasal dari hasil seleksi pejantan dimana itik jantan yang digunakan dalam populasi seleksi dipilih berdasarkan produksi
telut rataan dari kelompok anaknya. Selanjutnya dinyatakan pula apabila peningkatan pro-

18

duksi telur sebesar 6,17% itu konsisten selama 1 tahun, maka hal itu identik dengan peningkatan produksi telur sebanyak kurang lebih 22 butir/tahun.
Metoda Breeding Cara Kortlang.
Metoda ini adalah salah satu cara yang dianjurkan oleh Kortlang (1979) dalam upaya
untuk meningkatkan mutu genetik unggas-unggas lokal di negara berkembang. Metoda ini
terdiri dari tiga tahapan penting yaitu :
1. Sebagai langkah awal adalah diseleksi sejumlah petelur terbaik dengan membuat
flock (kelompok) yang terdiri dari 1200 ekor calon induk dengan umur relatif sama.
Betina itu kemudian dipelihara pada pen (kelompok) kecil yang masing-masing terdiri
dari 12 ekor sehingga seluruhnya terdapat 100 kelompok-kelompok kecil. Ketika betina-betina itu bertelur kira-kira selama 3 bulan semua ernak betina diperiksa setiap 14
hari untuk mengetahui bila mereka masih bertelur, tidak ada kelainan pada oviductnya
dan lain-lainnya. Betina yang rontok bulunya (moulting) segera diambil dan betinabetina yang sedang berproduksi dipisahkan dari yang tidak berproduksi sampai 12 bulan setelah mulai bertelur.
2. Generasi berikutnya ditetaskan dari 500 ekor betina terbaik. Betina-betina itu selanjutnya dipelihara di dalm pen yang lebih kecil dan setiap 8 ekor betina ditempatkan
engan 1 ekor jantan. Dari pen-pen itu diseleksi dilakukan berdasarkan jumlah produksi telur, fertilitas dan keturun-keturunannya diberi tanda pada sayapnya (wing band)
dan ditempatkan di dalam pen tunggal. Dalam pen tunggal betina-betina ayam kampung itu diamati selama 50 minggu untuk jumlah produksi dan besar telurnya.
3. Terakhir setiap 5 ekor betina ayam kampung yang telah terseleksi dikawinkan dengan
seekor jantan yang telah terseleksi pula di dalam pen tunggal. Dengan menetaskan
anak-anaknya di dalam cage progeny (kandang pembibitan), maka bibit yang terbaik

19

dapat diperoleh dan satu perbandingan dapat dibuat antara performans ternak-ternak
yang bersaudara penuh. (fullshib).
Peningkatan mutu genetik ayam kampung melalui program seleksi dapat pula dilakukan dengan metoda ini. Pada metoda ini banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama, meskipun nantinya hasil seleksi akan cukup memuaskan. Kebaikan
dari metoda ini adalah produksi betina akan adapt diamati dengan baik, demikian juga produktivitas pejantannya, sehingga proses seleksi terhadap pejantan dan betina dapat dilakukan
lebih terarah dan terkontrol. Kebaikan lain dari metoda ini adalah lebih efisien dalam menangani ternak betina yaitu dengan memindahkan pejantan tiap hari kepada betina berikutnya.

20

PENUTUP
Ayam kampung adalah sumber daya ternak unggas lokal yang perlu dipertahankan
dan dikembangkan karena sangat berkaitan dan mendukung pola kehidupan masyarakat kita
terutama yang di perdesaan. Untuk itu perlu keterlibatan semua pihak baik lembaga penelitian, dinas terkait maupun swasta yang berkompoten. Dari paper diatas maka dapat diberikan
suatu ilustrasi untuk menjadi pertimbangan dalam program-program pemberdayaan bangsa
unggas ini.
Dalam memproduksi telur dan anak, menyapih anak segera setelah menetas dan memelihara anak secara intensif sampai umur 6 minggu disertai perbaikan sistem pemeliharaan
induk dari ekstensif ke semi intensif adalah tindakan yang paling layak, karena hal ini sangat
dimungkinkan karena tanpa terlalu banyak menambah biaya produksi.
Bergesernya sistem pemeliharaan ayam kampung dari ekstensif ke semi intensif disertai dengan vaksinasi ND yang tepat dan teratur akan memberi peningkatan produksi telur dan
anak sampai siap dijual.
Sangat diperlukan untuk mencari alternative perlakuan yang paling sesuai dengan
kemampuan produksi dilanjutjan dengan program seleksi yang benar dan terarah. Hal ini dilakukan untuk memantapkan sifat-sifat yang memiliki kekhasan suatu kelompok sehingga
akhirnya dapat membentuk bangsa ayam kampung dengan keunggulan tertentu sesuai dengan
potensi dan kebutuhan daerah masing-masing. Program ini sudah tentu baru bisa terlaksana
bila didukung oleh semua pihak disertai dengan penyediaan sarana yang memadai.
Peningkatan mutu genetik ayam kampung melalui seleksi akan dapat mencapai keberhasilan apabila melibatkan peternak yang tergabung dalah wadah kelompok, dilakukan
dilokasi kelompok ternak dan dilaksanakan dengan metoda seleksi yang sesuai dengan kondisi perdesaan dan kelompok peternak yang ada di dalamnya.

21

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistika (2013). Sensus Pertanian 2013. http:www.bps.go.id. (diakses tgl, 25
Januari 2016).
Creswell, D.C. dan B. Gunawan. 1982. Ayam-ayam lokal di Indonesia. Sifat-sifat produksi
pada lingkungan yang baik. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Dinjetnanak & Keswan, 2013. Pembibitan ayam lokal Indonesia terus berkembang. Poultry
Indonesia. 3 Ed. Mei 2013. Jakarta..
Hardjosubroto, W. dan S.P. Atmodjo. 1977. Performans ayam kampung dan ayam kedu. Seminar I Ilmu dan Industri Perunggasan, Cisarua-Bogor.
Hashiguchi, T., T. Nishida, Y. Hayashi and S.S. Mansjoer. 1982. Blood protein variations of
native and the jungle fowl in Indonesia. P:97-109. The research group of overseas
scientific survey.
Hutt, F.B, 1949. Genetiks of the Fowl. 1st.Ed. Mc. Graw-Hill Book Company, Inc., New
York-Toronto-London.
Iskandar, S.E., E. Juarini., D. Zainuddin., H. Resnawati., B. Wibowo dan Sumanto, 1991.
Teknologi tepat guna ayam buras. BPT-Ciawi, Bogor.
Kingston, D.J., 1979. Peranan ayam berkeliaran di Indonesia. Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan II. BPT-Ciawi, Bogor.
Kingston, D.J. dan D.C. Creswell, 1982. Ayam-ayam lokal di Indonesia. Populasi dan sifatsifat produksi di lima desa di Jawa Barat. Balai Penelitian Ternak, Bogor-Indonesia.
Mugiyono, S., Sukardi dan E. Tugiyanti, 1989. Perbandingan pemeliharaan ayam buras secara tradisional dan semi intensif. Proc. Seminar Nasional Unggas Lokal. Fapet-Undip,
Semarang.
Nataamidjaja, A.G. 1989., Status dan kemungkinan pengembangan ayam bukan ras (buras) di
Kabupaten Gunung Kidul. Ilmu dan Peternakan. Vol.2, no. 3. Balai Penelitian Ternak,
Ciawi=Bogor.
Prawirikusomo, S., 1995. Pengembangan usaha ternak unggas rakyat menghadapi globalisasi. Proc. Simposium Nasional Kemitraan Usaha Ternak. ISPI dan BPT-Ciawi, Bogor.
Purwono, S., 1986. Vaksinasi ayam sayur. Poultry Indonesia. No.76/th.VII:34-35. Jakarta.
Rasyaf, M., 1992. Karakteristik ayam buras. Ayam dan Telur. No.80/Oktober-1992. Jakarta.
Hardjosworo, P.S. dan Rukmiasih., 1989. Usaha peningkatan produksi telur ayam kampung
melalui peniadaan kesempatan mengeram dan mengasuh anaknya. Seminar Nasional
Hasil-hasil Penelitian IPB. Lembaga Penelitian IPB-Bogor.
22

Sudaryanti dan T. maryanto, 1989. Komposisi karkas ayam buras dara pada pemeliharaan
tradisional. Proc. Seminar Nasional Unggas Lokal. Fapet-Undip, Semarang.
Sukardi dan Mufti, 1989. Penampilan prestasi ayam buras di Kabupaten banyumas dan pengembangannya. Proc. Seminar Nasional Unggas Lokal. Fapet-Undip. Semarang.
Martojo, H. 1979. Beberapa pemikiran mengenai perbaikan mutu genetik unggas lokal dalam
peternakan tradisional. Proc. Seminar nasional Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan, 5-8 Nopember 1979. Lembaga Penelitian Peternakan. Balitbang Pertanian, Deptan-Bogor.
Gunawan, B. 1987. The application of quantitative genetiks technology in development of
Indonesian layer ducks 1. Genetiks selection within Indonesia native and excotic Khaki Campbell ducks for high eggs production. Media Ilmu dan Peternakan, 25-26 Januari 1995. Balitnak, Ciawi-Bogor.
Gunawan, B., K. Dwiyanto, M. Sbrani dan S.A. Dahlan. 1995. Teknologi village breeding
untuk meningkatkan produktivitas itik Alabio di Amuntai Kalimantan Selatan. Proc.
Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. 25-26 Januari 1995. Balitnak,
Ciawi-Bogor.
Hardjosworo, P.S. 1995. Peluang dan pemanfaatan potensi genetik dan prospek pengembangan unggas lokal. Proc. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. 25-26 Januari 1995. Balitnak, Ciawi-Bogor.

23