BALINESE MENS PERSPECTIVE ON CONFLICT AND RESOLUTION.

BALINESE MEN’S PERSPECTIVE ON CONFLICT AND RESOLUTION
Ida Ayu K. Widihapsari, Kadek Fitriyanthi, Yohanes K. Herdiyanto, David H. Tobing,
Ida Ayu H. Dharasasmita.
Center for Health and Indigenous Psychology (CHIP), Universitas Udayana
idaayu.kusumaastuti@gmail.com

ABSTRAK
Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang terkenal dengan kekayaan budaya dan
adat istiadatnya, seperti tarian tradisional yang beragam, penyelenggaraan upacara agama
yang beragam, serta memiliki ritual dan aturan tertentu yang unik yang tidak dimiliki oleh
daerah lainnya. Keanekaragaman tersebut mampu menarik minat masyarakat luar untuk
berbondong-bondong pergi ke Bali, bahkan menetap di Bali. Masyarakat pendatang yang
menetap di Bali seringkali merasakan perbedaan budaya dan adat istiadat sehingga
perbedaan tersebut dapat memicu konflik di antara kedua masyarakat tersebut. Soejono
Soekanto menyebutkan bahwa sumber konflik pada umumnya adalah ras, gender,
kebudayaan, dan sebagainya. Nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai adat dalam konflik antar
etnik atau ras tidak akan pernah habis sebagai sumber konflik sehingga konflik-konflik
tersebut potensial dapat terjadi tanpa batas waktu (Sarwono, 2005).
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Sampel penelitian ini merupakan 2
orang laki-laki dengan etnis Bali. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara untuk
memperoleh data mengenai sumber konflik dan resolusinya. Data kualitatif yang diperoleh

dianalisis dengan theoretical coding. Theoritical coding terdiri dari open coding, axial
coding, dan selective coding.

Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil mengenai sumber konflik dan
resolusinya. Berdasarkan hasil wawancara, sumber konflik dapat dibagi menjadi tiga
kategori. Sumber konflik yang pertama adalah terkait agama, yang terdiri dari hari raya
keagamaan, cara berdoa, keyakinan, persepsi tentang kurban suci, doktrin agama, aturan
khusus, dan volume adzan. Kategori kedua adalah kebersihan, dan kategori ketiga adalah
bahasa yang meliputi dialek dan penggunaan istilah. Resolusi dari konflik tersebut dapat
dibagi menjadi dua, yaitu internal yang meliputi menghindar, introspeksi diri, dan
membiarkan, serta eksternal yang meliputi diskusi, mediasi, asertif, memberikan informasi,
berdebat, dan toleransi.
Kata kunci : laki-laki Bali, sumber konflik, resolusi konflik
1

ABSTRACT
Bali is one of the islands in Indonesia, which is famous with the diversity of cultures and
traditions, such as traditional dances, organizing various religious ceremonies, and has
specific rituals and unique rules that are not owned by the other regions. Diversity is able
to attract people in droves outside to go to Bali, even settled in Bali. Immigrant

communities who settled in Bali often feel the differences in culture and customs so that
these differences can lead to conflict between the two communities. Soejono Soekanto
mentions that the sources of conflict in general are race, gender, culture, and so on.
Religious values and traditional values in inter-ethnic or racial conflict will never be
exhausted as a source of conflict so that potential conflicts can occur indefinitely
(Sarwono, 2005).
This research uses a phenomenological approach. The sample is two men with ethnic Bali.
Data were collected by interviews to obtain data regarding the sources of conflict and its
resolution. Qualitative data is analyzed with the theoretical coding. Theoretical coding
consists of open coding, axial coding, and selective coding.
From the research that has been done, the results obtained regarding the sources of conflict
and its resolution. The sources of conflict which is obtained based on the results of the
interview can be divided into three categories. The first source of conflict is related to
religion, which consists of religious ceremony, how to pray, belief, perception of the
kurban suci, religious doctrines, special rules, and the Adzan’s volume. The second

category is cleanliness, and the third category is a language that includes the used of terms
and dialect. The Conflict resolutions can be divided into two, that is internal and external
resolutions. The internal resolution such as avoidance, self introspection, and leave in, and
the external resolutions such as discussion, mediation, assertive, giving information,

debate, and tolerance.

Key words : Balinese men, sources of conflict, conflict resolutions.

2

LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang memiliki suku, bahasa, agama,
budaya, dan adat istiadat lainnya yang beragam. Keragaman tersebut memiliki ciri khas
masing-masing, dan tersebar dari Sabang sampai Merauke, sehingga Indonesia dapat
digambarkan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang maknanya meskipun berbeda
- beda tetapi pada hakikatnya Indonesia tetap adalah satu kesatuan (Supriatna & Ruhimat,
2002). Salah satu pulau di Indonesia yang terkenal dengan kekayaan budaya dan adat
istiadatnya adalah Bali.
Sejak dahulu, Bali dikenal karena memiliki warisan budaya yang unik, seperti tarian
tradisional yang beragam, penyelenggaraan upacara agama yang beragam, serta memiliki
ritual dan aturan – aturan dalam masyarakat yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya.
Kenaekaragaman tersebut mampu menarik minat dan perhatian masyarakat luar, baik yang
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka berbondong-bondong pergi ke Bali
dengan tujuan beragam, mulai dari hanya sekedar untuk refreshing, menyelesaikan tugas

yang terkait dengan pekerjaan, mencari pekerjaan, bahkan saat ini banyak masyarakat
pendatang yang mulai menetap di Bali.
Masyarakat pendatang yang memutuskan untuk menetap di Bali seringkali akan
merasakan perbedaan antara budaya dan adat istiadat tempat asal mereka dengan budaya
dan adat istiadat Bali yang begitu kental. Perbedaan tersebut tidak akan menjadi hal yang
berarti apabila masyarakat pendatang bisa menyesuaikan diri dan mentolerir perbedaan
yang ada, terlebih lagi di Bali telah tersedia fasilitas – fasilitas yang dapat memudahkan
masyarakat pendatang untuk melakukan aktivitas kesehariannya, mulai dari tempat makan,
tempat ibadah, dan tempat-tempat untuk melakukan aktivitas lainnya.
Semua fasilitas tersebut ternyata tidak membuat semua masyarakat pendatang dapat
menyesuaikan diri dengan mudah. Seringkali, perbedaan budaya dan aturan yang ada
justru memicu konflik di antara masyarakat Bali dan masyarakat pendatang. Hal ini sejalan
dengan suatu teori yang menyatakan bahwa sumber konflik pada umumnya adalah ras,
gender, dan kebudayaan. Nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai adat dalam konflik antar
etnik atau ras juga tidak akan pernah habis sebagai sumber konflik sehingga konflikkonflik tersebut potensial dapat terjadi tanpa batas waktu (Sarwono, 2005). Salah satu
konflik yang telah terjadi di Bali diberitakan dalam harian online Tribun.com pada tanggal
23 Maret 2015, yaitu seorang mahasiswa berinisial NIM menuliskan komentar negatif di
media sosial facebook mengenai hari raya Nyepi dan mengarah pada penghinaan bagi umat
3


Hindu di Bali, yang menimbulkan respon negatif dan kecaman dari pihak masyarakat Bali.
Kejadian tersebut bukan untuk pertama kalinya, namun pada tahun sebelumnya kejadian
yang sama pernah terjadi, bahkan pelaku pernah ditahan karena penghinaan terhadap hari
raya Nyepi.
Konflik tersebut akan memicu perpecahan jika terus menerus dibiarkan tanpa adanya
solusi yang jelas dan tepat. Jika konflik ini dibiarkan terjadi berlarut-larut, maka semboyan
Bhineka Tunggal Ika tidak akan sesuai jika digunakan untuk menggambarkan Indonesia.

Untuk mencegah hal tersebut, diperlukan kesadaran dari seluruh masyarakat, baik itu anakanak hingga lansia, maupun dari berbagai latar belakang budaya dan etnis yang ada di
Indonesia. Metode resolusi konflik sangat membantu kita untuk mengetahui sifat dan
fungsi konflik, membedakan bentuk konflik produktif dengan destruktif, serta
mengidentifikasi strategi resolusi konflik yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik
(Liliweri, 2005).
Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apa
saja yang menjadi sumber konflik antara masyarakat Bali dan masyarakat pendatang
dipandang dari sudut masyarakat Bali, serta resolusi apa yang ditawarkan untuk mengatasi
konflik tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi seluruh
masyarakat, sehingga konflik akibat perbedaan agama, budaya dan adat istiadat lainnya
dapat diatasi dan diminimalisir.


TINJAUAN PUSTAKA
Konflik
Konflik adalah suatu proses yang terjadi ketika tindakan satu orang mengganggu
tindakan orang lainnya, dan biasanya proses ini akan meningkat bila dua orang saling
interdependen (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Jika dilihat dari pengertian bahasa, konflik
berasal dari bahasa Latin configere yang berarti saling memukul, dengan kata lain bisa saja
terjadi tindakan saling memukul dalam kodisi konflik. Definisi ini tentunya masih sempit
mengingat pada saat ini konflik tidak hanya terbatas pada tindakan memukul atau tindakan
fisik lainnya, melainkan dapat terwujud dalam bentuk lainnya ( Murdiyatmoko, 2007)
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa konflik adalah suatu proses sosial ketika
seseorang atau sekelompok orang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang
pihak lawan yang disertai kekerasan atau ancaman. Pernyataan lain mengenai konflik
dikemukakan oleh Ralf Dahrendrof, bahwa setiap orang cenderung menyimpan potensi
4

konflik di dalam dirinya. Pada hakikatnya anggota-anggota masyarakat terbagi ke dalam
kelompok – kelompok tertentu walaupun tidak secara terbuka atau tidak terlihat dengan
jelas (Murdiyatmoko, 2007).
Sumber Konflik
Dugaan awal terkait sumber konflik adalah ras, gender, kebudayaan, dan sebagainya.

Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa konflik dapat bersumber dari hubungan
antarindividu atau antarkelompok. Salah satu teori yang mengemukakan konflik
antarindividu adalah teori dari Rapaport yang bernama teori dilema terdakwa (prisoners’
dilemma ). Dalam kehidupan sehari-hari, teori dilema terdakwa ini dapat menjelaskan

mengapa dua orang atau dua kelompok yang saling bermusuhan tidak mau saling
berdamai, walaupun keduanya sama-sama menderita kerugian (Sarwono, 2005).
Dalam praktiknya, tidak semua konflik berasal dari sumber-sumber yang terbatas.
Dilema sosial yang menyangkut nilai-nilai, misalnya, dapat terjadi terus menerus karena
sumber konfliknya terletak pada nilai-nilai itu sendiri. Nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai
adat dalam konflik antar etnik atau ras tidak akan pernah habis sebagai sumber konflik
sehingga konflik-konflik tersebut potensial dapat terjadi tanpa batas waktu (Sarwono,
2005).
Resolusi Konflik
Fisher (dalam Liliweri, 2005) menyebutkan beberapa istilah untuk menyelesaikan
konflik yakni :
a.

Pencegahan konflik bertujuan mencegah timbulnya kekerasan dalam konflik


b.

Penyelesaian

konflik

bertujuan

mengakhiri

kekerasan

melalui

persetujuan

perdamaian
c.

Pengelolaan konflik bertujuan membatasi atau menghindari kekerasan melalui atau

mendorong perubahanan pihak-pihak yang terlibat agar berprilaku positif

d.

Resolusi konflik bertujuan menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun
hubungan baru yang relatif dapat bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang
bermushan

e.

Transformasi konflik mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih
luas dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan ke kekuatan
positif.

5

Resolusi konflik menurut Morton (dalam Liliweri, 2005) adalah sekumpulan teori
dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik, meneliti
strategi terjadinya konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik. Metode resolusi
konflik sangat membantu kita untuk mengetahui sifat dan fungsi konflik, membedakan

bentuk konflik produktif dengan destruktif, mengidentifikasi strategi resolusi konflik.
Laki – Laki Bali
Masa dewasa merupakan suatu periode transisi dari rentang usia remaja akhir hingga
usia pertengahan dua puluh (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Papalia membagi masa
dewasa ke dalam tiga tahapan yakni dewasa awal, dewasa madya, dan dewasa akhir. Masa
dewasa awal dimulai usia 20 - 40 tahun, dimana orang-orang yang berada dalam rentang
usia dewasa muda akan mencapai kemandirian, kontrol diri, dan tanggung jawab. Fase
dewasa madya dimulai usia 40 - 65 tahun. fase dewasa akhir terjadi ketika usia 65 tahun
keatas (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Laki-laki adalah orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau memasuki usia
dewasa mempunyai jakun dan terkadang terlihat berkumis (KBBI, 2015). Laki-laki bali
adalah orang yang berusia 20 tahun – 40 tahun , dimana tumbuh dan tinggal di Bali, serta
hidup sebagai orang bali. Mereka beragama hindu, mengerti dan mengetahui tentang
budaya Bali.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
dan lain sebagainya, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah (Moleong, 2014). Pendekatan fenomenologi merupakan pandangan
berpikir yang menekankan fokusnya pada pengalaman - pengalaman subjektif manusia dan
interpretasi-interpretasi dunia. Istilah fenomenologi sering juga digunakan sebagai
anggapan umum untuk menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe
subjek yang ditemui (Moleong, 2014).
Sampel penelitian ini merupakan dua orang laki-laki dengan etnis Bali yang
berdomisili di Denpasar. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara yang digunakan
6

untuk memperoleh data mengenai konflik dan resolusinya pada masyarakat Bali.
Wawancara dilakukan dengan panduan pertanyaan (guideline) yang berhubungan dengan
konsep mengenai konflik dan resolusinya yang diperdalam dengan probing dari peneliti.
Data kualitatif yang diperoleh kemudian dianalisis dengan theoretical coding, yang
terdiri dari open coding, axial coding, dan selective coding. Fungsi theoretical coding
diibaratkan seperti payung yang mencakup kode - kode dan kategori lainnya. Theoritical
coding mengintegrasikan dan mensintesis kategori yang berasal dari koding dan

analisisnya (Sald, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN
I.

HASIL

Berdasarkan hasil penelitian, sumber konflik dapat dibagi menjadi tiga kategori.
Sumber konflik yang pertama adalah terkait agama, yang terdiri dari hari raya keagamaan,
cara berdoa, keyakinan, persepsi tentang kurban suci, doktrin agama, aturan khusus, dan
volume adzan. Kategori kedua adalah kebersihan, dan kategori ketiga adalah bahasa yang
meliputi dialek dan penggunaan istilah. Resolusi konflik dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu resolusi konflik yang bersifat internal yang meliputi menghindar,
introspeksi diri, dan membiarkan, serta resolusi konflik yang bersifat eksternal yang
meliputi diskusi, mediasi, asertif, memberikan informasi, berdebat, dan toleransi. Kedua
bagan selective coding yang merupakan hasil akhir penelitian dapat dilihat pada lampiran.

II. PEMBAHASAN
Sumber Konflik
Berdasarkan hasil wawancara kepada dua orang subjek, sumber konflik dapat
digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu agama, kebersihan, dan bahasa. Sumber konflik
pertama yang akan dibahas adalah agama. Kedua subjek mengatakan bahwa hari raya
keagaamaan dapat menimbulkan konflik antara masyarakat Bali dengan masyarakat
pendatang. Kedua subjek berkomentar tentang postingan yang dibuat masyarakat
pendatang di facebook mengenai hari raya Nyepi, yang mengatakan bahwa hari raya Nyepi
menyebabkan ia tidak bisa pergi keluar rumah. Menurut subjek, masyarakat pendatang
tersebut juga sempat menghina hari raya Nyepi, sehingga hal tersebut memicu kemarahan
masyarakat Bali.

7

Sumber konflik kedua yang berkaitan dengan agama adalah mengenai cara berdoa.
Subjek pertama mengatakan bahwa ia pernah berdebat dengan temannya karena temannya
mengatakan bahwa orang Hindu menyembah pohon dan menyembah patung berhala. Hal
tersebut menimbulkan perdebatan karena subjek merasa bahwa agama Hindu tidak
menyembah pohon dan patung berhala, tetapi hal itu berkaitan dengan konsep Tri Hita
Karana dalam agama Hindu.

Subjek pertama juga mengatakan bahwa persepsi tentang kurban suci juga menjadi
sumber konflik dengan masyarakat pendatang. Subjek menyatakan bahwa ia tidak setuju
jika sapi dijadikan hewan kurban, karena sapi merupakan hewan yang disucikan dan
merupakan kendaraan dari Dewa Siwa, yang mana Dewa Siwa merupakan manifestasi dari
Tuhan.
Menurut subjek pertama, doktrin agama juga menjadi sumber konflik. Ia mengatakan
bahwa dosen di kampusnya pernah diajak ke Gereja sehingga akhirnya berpindah agama
dari agama Hindu menjadi Agama Kristen. Hal tersebutlah yang dinamakan pendoktrinan
agama dan menurut subjek hal tersebut dapat menyebabkan adanya konflik. Aturan khusus
yang dimiliki oleh masing-masing agama juga menimbulkan konflik diantara masyarakat
Bali dan pendatang. Menurut subjek pertama, masyarakat Bali pada umumnya memiliki
istilah sukla dan reged. Masyarakat pendatang pada umumnya tidak mengenal aturan
khusus, misalnya untuk menjemur pakaian. Subjek mengatakan bahwa ia pernah
berkunjung ke tempat kost temannya yang berasal dari luar Bali, dan ia melihat pakaian
yang di jemur di atas rumah, padahal menurut orang Bali hal tersebut tidak dibenarkan
karena terkait dengan istilah sukla dan reged tersebut.
Sumber konflik terakhir yang berkaitan dengan agama adalah mengenai volume
adzan yang terdengar di lingkungan subjek. Ia mengatakan bahwa di Bali terdapat
loudspeaker mengumandangkan adzan saat pagi hari, padahal hal tersebut tidak relevan

jika dilakukan di Bali. Masalah tentang keyakinan dalam agama lain, seperti agama Kristen
yang menyebutkan bahwa oranng-orang yang menyembah Yesus adalah anak-anak Tuhan,
juga menjadi sumber konflik menurut subjek pertama. Ia mengatakan bahwa pernyataan
tersebut membuatnya berdebat dengan temannya karena ia merasa bahwa orang-orang
yang beragama Hindu juga merupakan anak Tuhan, bukan hanya orang-orang yang
menyembah Yesus saja.
Agama merupakan sumber konflik yang paling umum terjadi di masyarakat. Hal ini
sejalan dengan pernyataan bahwa nilai-nilai keagamaan konflik antar etnik atau ras tidak
8

akan pernah habis sebagai sumber konflik sehingga konflik-konflik tersebut potensial
dapat terjadi tanpa batas waktu (Sarwono, 2005).
Sumber konflik yang kedua adalah mengenai kebersihan. Hal ini dialami oleh
keluarga subjek pertama, yang mana saat itu ibunya pernah berdebat dengan tetangga yang
berasal dari luar Bali karena masalah pembuangan limbah oleh tetangganya yang
mengakibatkan lingkungan rumahnya menjadi tercemar. Soerjono Soekanto

(dalam

Murdiyatmoko, 2007) menyatakan bahwa perbedaan antara orang perorangan dan
perbedaan kebudayaan yang disebabkan oleh kepribadian seseorang sedikit banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya, sehingga sadar atau tidak sadar, pola pikir
dan kepribadian orang tersebut kemudian dapat menyebabkan pertentangan antar
kelompok-manusia. Dalam hal ini, perbedaan perorangan terkait dengan pola membuang
limbah dapat menjadi sumber konflik antara masyarakat pendatang dan masyarakat Bali.
Sumber konflik yang terakhir adalah terkait dengan bahasa. Dalam kategori bahasa,
terdapat dua sumber konflik yaitu masalah aksen dan penggunaan istilah. Subjek kedua
menyatakan bahwa ia pernah berdebat dengan temannya yang berasal dari Sulawesi karena
penggunaan istilah dalam bahasa Sulawesi yang diangap aneh dan kemudian dijadikan
bahan ejekan sehingga temannya tersebut merasa tersinggung. Sumber konflik lainnya
adalah dialek orang Jakarta yang sempat menimbulkan kesalahpahaman teman-teman
subjek yang berasal dari Bali. Subjek menyatakan bahwa teman-temannya menganggap
dialek orang Jakarta mencerminkan kesombongan dan menimbulkan rasa tidak nyaman
sehingga secara tidak langsung menciptakan konflik kecil diantara teman-teman subjek
yang berasal dari Bali dan berasal dari Jakarta. Hal ini sejalan dengan pernyataan Raharjo
(2009) bahwa perbedaan nilai-nilai dalam suatu budaya, salah satunya yang terkait dengan
bahasa dan adat istiadat dapat menjadi sumber konflik diantara kelompok – kelompok
masyarakat.
Resolusi Konflik
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 2 orang subjek di dapatkan hasil
bahwa resolusi konflik di kelompokkan menjadi dua kategori yakni resolusi konflik yag
berisfat internal dan resolusi konflik yang bersifat eksternal. Kategori resolusi konflik
eksternal dibagi menjadi mediasi, memberikan informasi, berdebat, toleransi, diskusi.
Kategori resolusi konflik internal terdiri dari membiarkan, introspeksi diri, dan
membiarkan.
9

Kedua subjek mengatakan mediasi dapat digunakan sebagai resolusi konflik. Subjek
pertama menyatakan bahwa dalam menghadapi konflik, kita tidak harus menggunakan
kekerasan, tetapi dapat menggunakan mediasi. Mediasi dapat digunakan untuk
menyelesaikan konflik yang dihadapi dengan melibatkan pihak lain, misalnya camat.
Subjek kedua menyatakan bahwa jika ada konflik yang terjadi misalnya diantara temantemannya, maka dia akan bertindak sebagai pihak yang menengahi permasalahan dan
berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Pernyataan ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa untuk melakukan pengendalian terhadap konflik, ada pihak lain yang
dilibatkan menjadi mediator agar kekerasan tidak berlanjut. Mediator dapat memeberikan
saran untuk menyelesaikan konflik tanpa adanya paksaan dari mediator dan kedua pihak
yang berkonflik dengan sukarela mengikutinya (Murdiyatmoko, 2007).
Memberikan informasi juga dapat menjadi alternatif untuk resolusi konflik. Subjek
pertama menyebutkan bahwa ketika ada konflik tentang hari raya Nyepi, kita sebagai
orang Bali sebaiknya memberikan ilmu pengetahuan secara baik-baik terkait agama yang
diakui di Indonesia dan terkait makna hari raya Nyepi itu. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Summaryanto pada tahun 2010, yang menyebutkan bahwa salah satu hal yang
harus dilakukan sebelum mengatasi konflik adalah dengan cara memastikan bahwa pihak
yang diajak berkonflik memperoleh fakta dan mengetahui fakta yang mendasari adanya
konflik tersebut. Dengan kata lain, konflik biasanya terjadi karena seseorang tidak
mengetahui informasi terkait sumber konflik, sehingga memberikan informasi dapat
menjadi resolusi konflik yang tepat.
Berdebat merupakan resolusi konflik berikutnya yang disampaikan oleh subjek
pertama. Ia mengatakan bahwa semenjak mengenal orang dari agama yang berbeda dan
terlibat konflik terkait agama dengan mereka, yang dilakukan subjek pertama kali adalah
berdebat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Berdebat yang dimaksud disini adalah
berdebat secara argumentatif, dimana subjek pertama selalu mempertahankan konsep
hindunya. Debat bukanlah kegiatan yang terisolasi untuk kompetisi khusus, melainkan
bagian dari kehidupan politik, moral, dan sehari-hari. Debat adalah proses dimana
pendapat di ungkapkan, di dukung, dan di perdebatkan. Perdebatan pendapat harus
dikemukakan dengan jelas, penalaran dan bukti merupakan pendukung argument kita, dan
dipertahankan terhadap pandangan yang bertentangan. Argumen harus didukung oleh bukti
dan analisis (Branham, 2011).

10

Subjek pertama juga menyebutkan toleransi antar umat beragama dapat menjadi
resolusi konflik dengan tujuan tidak memperparah keadaan. Toleransi itu penting dimiliki
antar umat beragama, misalnya terkait masalah mengecilkan volume loud speaker pada
saat pagi hari. Subjek menyatakan hal tersebut terjadi karena tidak adanya keinginan untuk
bertoleransi. Konsep toleransi yang dimaksud mencakup berbuat baik dan peduli terhadap
sesama manusia tanpa melihat perbedaan agama, dan salah satu wujud sikap toleransi
adalah kepedulian kepada sesama. Sikap toleransi ini memungkinkan seseorang untuk
bersikap adil kepada semua orang dan tidak bersikap membeda-bedakan, serta mampu
memahami bahwa setiap orang memiliki perbedaan satu sama lainnya (Sutardi, 2007).
Toleransi dapat digunakan untuk mencegah konflik, karena konflik berasal dari
ketidakmampuan seseorang untuk menerima dan memahami perbedaan yang ada.
Kedua

subjek

juga

menyebutkan

bahwa

diskusi

dapat

dilakukan

untuk

menyelesaikan konflik yang terjadi. Subjek pertama menambahkan bahwa masyarakat
pendatang yang melakukan penghinaan terhadap pulau Bali hanya mengeluarkan energi
negatif jadi tidak usah kita menanggapinya dengan energi negatif juga, maka dari itu
mendiskusikan penyebab konflik dapat dilakukan untuk meluruskan konflik yang terjadi
antara masyarakat Bali dan masyarakat pendatang. Memfasilitasi komunikasi dengan cara
selalu memperbaharui komunikasi, informasi, dan melibatkan semua pihak yang
berkonflik salah satunya dapat dilakukan dengan diskusi bebas, yaitu membiarkan kedua
pihak yang berkonflik menyepakati persetujuan yang konstruktif tanpa ada tekanan dari
pihak luar (Liliweri, 2005).
Subjek kedua mengatakan ketika terlibat konflik dengan temannya, dia bersikap
asertif dengan meminta maaf karena dia yang salah. Apabila temannya yang berasal dari
luar bali memulai konflik misalnya saling mengejek satu sama lain, maka subjek kedua
akan mengkomunikasikan perasaan tidak nyamannya. Hal tersebut juga disampaikan oleh
subjek pertama, bahwa komunikasi yang asertif merupakan solusi dari setiap konflik yang
ada. Ann Jackman (2005) dalam bukunya menyebutkan ada empat sikap yang dapat kita
pilih ketika berhadapan dalam situasi bernegosiasi yakni asertif, agresif, manipulatif, dan
pasif. Perilaku subjek sesuai dengan sikap asertif yang dimaksudkan yakni dia menerima
karakteristik positif dan negatif dalam diri, kemudian menerapkannya ke pihak lawan, agar
menemukan win-win solution (Jackman, 2005).
Kategori resolusi konflik internal yang disebutkan subjek pertama adalah
membiarkan saja. Terkait kasus penghinaan terhadap hari raya Nyepi di media sosial,
11

subjek pertama hanya membiarkan hal tersebut, karena itu merupakan karma buruk yang
dibuat oleh si pelaku dan dia pasti mendapatkan karma buruk tersebut. Pernyataan ini
didukung oleh teori yang hampir sama dengan resolusi konflik dengan cara menghindar,
yang mana kedua cara ini dilakukan karena tidak adanya power untuk memaksa
perubahan, atau karena seseorang belum siap untuk mengambil tindakan untuk
menyelesaikan konflik. (Moore, 1947).
Introspeksi diri dapat dikelompok kedalam resolusi konflik internal. Subjek kedua
menyebutkan juga ketika menghadapi konflik, maka dia akan mengintrospeksi diri sendiri
dan bukan merubah karakterikstik pihak lawan, tetapi merubah diri sendiri untuk
menyesuaikan diri dengan pihak lawan, sehingga konflik tidak meluas. Syahril pada tahun
2012 menyebutkan bahwa introspeksi diri merupakan salah satu akibat positif atau
menguntungkan dari adanya konflik dimana, setelah mengetahui penyebab terjadinya
konflik, pihak yang berkonflik perlahan mengevaluasi dirinya dan konflik yang dialami
(Syahril, 2012)
Subjek kedua juga menambahkan menghindar sebagai resolusi terhadap konflik
berdasarkan pengalamannya. Ia tidak menyukai konflik sehingga ia akan memilih untuk
mengindari konflik yang terjadi. Mayoritas perselisihan biasanya ditangani secara informal
dengan saling menghindari satu sama lain karena mereka tidak menyukai ketidaknyamanan
yang terjadi setelah konflik, tidak menganggap isu yang dipermasalahkan penting. Faktor
tidak adanya power untuk memaksa perubahan, atau faktor belum siap untuk mengambil
tindakan untuk menyelesaikan konflik diantara mereka dapat menjadi penyebab terjadinya
avoidance. (Moore, 1947).
KETERBATASAN PENELITIAN
1.

Kesulitan untuk mencari subjek yang berkenan untuk diwawancara sehingga peneliti
harus mengganti subjek beberapa kali dan hal tersebut mengganggu proses
wawancara yang akan dilaksanakan.

2.

Proses wawancara yang dilakukan hanya dua kali sehingga data yang didapatkan
belum cukup spesifik dan tidak terlalu mendalam.
SARAN
Penelitian selanjutnya diharapkan untuk menggali data yang diperoleh dari penelitian

ini secara lebih spesifik, sehingga didapatkan data terkait konflik yang lebih mendalam
serta resolusi konflik yang lebih konkret dan efektif.
12

DAFTAR PUSTAKA
Jackman, A. (2005). How to negotiate. Jakarta : Erlangga.
KBBI. (2015). Arti Kata Laki. Retrieved Desember 15, 2015, from Kamus Besar Bahasa
Indonesia Online: http://kbbi.web.id/laki.
Liliweri, A. (2005). Prasangka & konflik : komunikasi lintas budaya masyarakat
multikultur. Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara.

Moleong, L. J. (2014). Metodelogi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moore, C. W. (1947). The Mediation Process : practical strategies for resolving conflict
(4th ed.). San Fransisco: Jossey Bass.
Murdiyatmoko, J. (2007). Sosiologi : memahami dan mengkaji masyarakat untuk kelas XI
SMA/MA program IPS. Bandung : Grafindo Media Pratama.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development (10th edition).
(B. Marwensdy, Trans). Jakarta: Salemba Humanika.
Raharjo, A. S. S. (2009). Buku kantong sosiologi SMA IPS. Yogyakarta : Pustaka
Widyatama.
Sald, J. (2009).

The coding manual for qualitative researchers . New Delhi: Sage

Publications.
Sarwono, S. W. (2005). Psikologi sosial : psikologi kelompok dan psikologi terapan .
Jakarta : Balai Pustaka.
Sumaryanto. (2010). Manajemen konflik sebagai salah satu solusi dalam pemecahan
masalah. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.

Supriatna, N., & Ruhimat, M. (2002). Ilmu pengetahuan sosial untuk SMP/MTs. Bandung :
Grafindo Media Pratama.
Sutardi, T. (2007). Antropologi : mengungkap keragaman budaya. Bandung: PT Setia
Purna Inves.
Syahril. (2012). Pengelolaan konflik di sekolah. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, XII, 101102.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas.
Jakarta: Kencana.
Widyaswara, I. E. (2015, Maret 23). PHDI Tanggapi Penghinaan Hari Raya Nyepi di
Medsos.

Retrieved

Desember

19,

2015,

from

Tribun

Bali:

http://bali.tribunnews.com/2015/03/23/phdi-tanggapi-penghinaan-hari-raya-nyepidi-medsos
13

LAMPIRAN
Bagan Selective Coding

14