Kajian Performansi Mesin Genset Diesel Satu Silinder Dengan Bahan Bakar Campuran Solar Dan Serbuk Kulit Padi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biomassa
Biomassa berasal dari kata bio dan massa. Biomassa adalah bahan organik yang
dihasilkan melalui pross fotosintetik, baik berupa produk maupun buangan. dan istilah
ini mula-mula digunakan dalam bidang ekologi untuk merujuk pada jumlah hewan
dan tumbuhan. Setelah isu goncangan minyak terjadi, makna kata itu diperluas
melebihi bidang ekologi dan maknanya kini menjadi “sumber daya biologi sebagai
sumber energi”, dikarenakan ada desakan agar sumber energi alternatif (baru)
dipromosikan. Hingga kini masih belum ada definisi yang spesifik untuk biomassa dan
definisinya bisa berbeda dari satu bidang ke bidang yang lain. Dari perspektif
sumber daya energi, definisi umumnya adalah biomassa merupakan segala sesuatu
yang bermassa dan memiliki nilai kalor serta bersifat organik. Seiring dengan itu,
biomassa tidak hanya mencakup berbagai jenis tanaman pertanian, kayu,
tumbuhan perairan, pertanian konvensional yang lain, kehutanan, sumber daya
perikanan tetapi juga mencakup sisa fermentasi alkohol, dan limbah industry organik
lainnya.
Agar biomassa bisa digunakan sebagai bahan bakar maka diperlukan
teknologi untuk mengkonversinya. Terdapat beberapa teknologi untuk konversi
biomassa, dijelaskan pada Gambar 2.1. Teknologi konversi biomassa tentu saja
membutuhkan
perbedaan pada alat yang digunakan untuk mengkonversi
biomassa dan menghasilkan perbedaan bahan bakar yang dihasilkan. Untuk
menghasilkan biomassa serbuk kulit padi ini kita mengunakan teknologi proses
mekanik yakni size reduction (Pengurangan Ukuran).
5
Universitas Sumatera Utara
Drying
MECHANICAL
PROCESS
Size Reduction
Densification
Direct Combustion
Pyrolysis
THERMO-CHEMICAL
PROCESS
BIOMASS
Steam, Heat
Fuel gas, Bio-oil, Char
Gasification
Synthesis gas
Liquefaction
Hydrocarbons, Bio-oil
Co-Firing
BIOLOGICAL
PROCESS
Pellets, Briquettes
Fermentation
Anaerobic Digestion
Steam, Heat
Alcohol
Biogas, Fertilizer
Gambar 2.1 Teknologi Konversi Biomassa [lit.14]
2.2
Komposisi Bahan Baku
Padi merupakan suatu tanaman yang sudah tidak langka lagi di
Indonesia. Karena pada umumnya masyarakat indonesia mengkonsumsi
beras sebagai makanan pokoknya. Adapun klasisfikasi tanaman padi
secara biologi yaitu:
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas
: Commelinidae
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus
: Oryza
Spesies
: Oryza sativa L.
6
Universitas Sumatera Utara
Kulit biji padi memiliki kerapatan jenis (bulk densil)1125 kg/m3,
dengan nilai kalori 1 kg kulit biji padi sebesar 3300 k. kalori, serta
memiliki bulk density 0,100 g/ ml, nilai kalorikulit biji padi antara 3300 3600 kkalori/kg dengan konduktivitas panas 0,271 BTU. Kulit biji padi
dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai
kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan energi atau
bahan bakar ataupun sebagai adsorpsi pada logam-logam berat. Kulit biji
padi tersusun dari jaringan serat-serat selulosa yang mengandung banyak
silika dalam bentuk serabut-serabut yang sangat keras. Pada keadaan
normal, kulit biji padi berperan penting melindungi biji beras dari
kerusakan yang disebabkan oleh serangan jamur, dapat mencegah reaksi
ketengikan karena dapat melindungi lapisan tipis yang kaya minyak
terhadap kerusakan mekanis selama pemanenan, penggilingan dan
pengangkutan.
Ditinjau dari komposisi kimiawinya, komposisi kulit biji padi
mengandung beberapa unsur penting sebagai yang tercantum pada tabel
2.1
Tabel 2.1. Komposisi Kimia Kulit biji padi
Sumber: http://www.digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Undergraduate225465.pdf
(% berat) Komponen
% Berat
Kadar air
32,40 – 11,35
Protein kasar
1,70 – 7,26
Lemak
0,38 – 2,98
Ekstrak nitrogen bebas
24,70 – 38,79
Serat
31,37 – 49,92
Abu
13,16 – 29,04
Pentosa
16,94 – 21,95
7
Universitas Sumatera Utara
2.3
Sellulosa
34,34 – 43,80
Lignin
21,40 – 46,97
Sejarah Penggunaan Bahan Bakar Padat Pada Mesin Pembakaran
Dalam
Upaya untuk menjalankan mesin reciprocating pada bahan bakar padat dalam
bentuk debu/ serbuk dibagi dalam tiga periode utama, dimulai dengan karya-karya
Rudolf Diesel pada tahun 1892. Sejak studi pertama yang dipimpin oleh Diesel,
banyak ICES berbahan bakar padat telah dikembangkan, tetapi tidak ada yang
mencapai skala komersial. Dalam kebanyakan kasus, digunakan bahan bakar
padat bubuk batu bara, dalam bentuk kering atau dicampur dengan minyak diesel
atau air. Sumber daya ini relatif murah dan sebagian besar masih tersedia di
seluruh dunia dibandingkan dengan minyak mentah. Periode pertama, sebagian
besar dibuat di Jerman dengan batubara kering, dan berakhir dengan Perang Dunia
II dan menyebabkan banyak perbaikan ICE
berbahan bakar debu batu bara
dimana penelitian ini banyak dikembangkan oleh rudolf diesel. Hambatan terbesar
pada pengoperasian mesin dan tampaknya telah diselesaikan antara tahun 1930
dan tahun 1940. Periode kedua dilakukan di Amerika Serikat antara tahun 1945
dan 1973. Penelitian mencari penyebab penurunan dari keausan mesin ke tingkat
lebih lanjut yang diamati dengan solar murni . Masalah utama, yaitu ukuran bahan
bakar dan penyampaian ke silinder dengan waktu yang tepat , namun belum
terpecahkan . Untuk alasan ini , penelitian lain yang dipimpin di Amerika Serikat
selama periode yang sama berfokus pada penggunaan batu bara bentuk bubuk
dalam suspensi dalam bahan bakar diesel atau air . Kombinasi seperti ini disebut
Coal Diesel slurries ( CDS ) dan Coal Water slurries ( CWS ) .
Selama dua periode ini, studi kebanyakan eksperimental. Periode ketiga dari
tahun 1973 sampai sekarang dan meliputi tes skala penuh mesin dengan slurries
serta beberapa studi teoritis dan keanekaan hayati , masih terutama dilakukan di
Amerika Serikat , dengan dana yang besar dari Departemen Energi .
Secara Garis Besar Perkembangan Sejarah penggunaan bahan bakar padat
pada mesin pembakaran dalam yaitu:
1.
1892-1945: bahan bakar bubuk kering
8
Universitas Sumatera Utara
Upaya Jerman untuk menjalankan mesin pembakaran internal pada serbuk
batubara kering telah diterbitkan oleh Soehngen pada tahun 1976. Selama periode
ini, mesin diesel diuji dengan debu batu bara. Tapi tak satu pun dari teknologi
yang dikembangkan telah mencapai skala komersial. Dalam penelitian ini
diketahui bahwa batubara adalah bahan bakar pembakaran lambat, untuk mesin
diesel kecepatan rendah. Dengan demikian, semua mesin Jerman dikembangkan
dan dirancang untuk berjalan di kecepatan rpm 1001000. Perbaikan teknologi
terkait menyebabkan 200 paten. Pada tahun 1940, dilaporkan upaya Jepang untuk
menjalankan 75 HP, untuk 6 silinder serbuk batu bara pada
mesin dengan
kecepatan 2000 rpm. Lain pula dengan penelitian yang dipimpin oleh Belousov.
Banyak tambahan data yang menarik yang diperoleh, termasuk angka dan
deskripsi bubur pembakaran dalam kondisi mesin. Selama hampir setengah abad,
tujuannya adalah jelas biaya. Keuntungan yang diperoleh adalah pada perbedaan
harga minyak dengan batubara. Sangat sedikit data pada kualitas batubara yang
tersedia. Rudolf diesel Pada tahun 1892 mencoba untuk menjalankan ICE pada
debu batu bara, tapi berhenti karena penanganan sulit. Bubuk bahan bakar
difumigasi melalui pemvakuman pipa mesin. Diesel terfokus pada minyak mentah
yang jauh lebih mudah untuk memanipulasi.
2.
Rudolf Pawlikowski
Mulai tahun 1916, bekas rekan kerja Diesel mampu untuk pertama kalinya
menjalankan ICE pada debu batu bara. Dalam perusahaanya yang bernama
Kosmos, Pawlikowsko membangun delapan mesin dengan bahan bakar batubara
yang disebut motor rupa dengan menambahkan chmaber di mesin. Dimana bahan
bakar bubuk batu baru dinyalakan. Tekanan dikembangkan selama di prapembakaran injeksi pembakaran utama dichamber dan bahan bakar yang tersisa
pada tekanan rendah diinjeksi langsung. Pawlikowski juga mencoba untuk
memecahkan masalah dengan mengembangkan sistem penyesusaian tertentu
cincin piston sehingga membatasi bagian abu di bak mesin. Perusahaan The
COSMOS ini ditutup pada tahun 1928. Karya Pawlikowski berhenti pada tahun
1945 dan memimpin untuk 30 paten Mulai tahun 1925, atas dasar penelitian
9
Universitas Sumatera Utara
Pawlikowski itu, empat Perusahaan Jerman mengembangkan mesin mampu
berjalan pada batubara debu kering.
3.
I-G Farben Industrie
Ini perusahaan Jerman yang membangun dua mesin yang berbeda antara tahun
1925 , dan 1929 serta tiga mesin yang lebih kecil untuk penelitian. Perusahaan ini
mengadopsi sistem mesin Pawlikowski.
Mereka mampu membatasi tingkat
keausan dengan mengintegrasikan cincin dengan dinding silinder, sehingga
mereka dapat menyesuaikan secara terus menerus selama menjalankan.
Pembersihan liners silinder, ditutupi dengan partikel yang tidak terbakar,
dilakukan dengan meniup udara terkompresi, air atau minyak mentah pada akhir
fase buang.
4.
Schichau Werke Ge Antara 1930 dan 1939,
Konsep mesin yang digunakan masih sama dengan Pawlikowsko. Schichau adalah
orang pertama yang mencoba penggunaan paduan keras berdasarkan baja dan
Chrome, Nikel, Silicon dan Mangan, untuk meningkatkan ketahanan aus. Dengan
menggunakan paduan ini, mereka mampu mengurangi tingkat keausan. Mereka
juga mengembangkan katup bola, khusus untuk debu, dalam rangka
meningkatkan kualitas selama operasi mesin. Mesin ini diklaim telah berjalan
selama 6000 h. Penelitian ini kemudian dihentikan karena secara ekonomi
5.
I. Bruenner Machinenfabrik
Penelitian ini dilakukan pada periode 1930-1945. Mereka memulai
penelitian ini di Universitas Dresden dengan mengubah sistem injeksi. Sistem
injeksi debu dipergunakan untuk peningkatan laju aliran bahan bakar. Kecepatan
maksimum sampai 1200 rpm. Penting untuk dicatat bahwa mereka sengaja
bekerja dengan 60 mikron partikel yang mengandung 21% berat abu,
menyebabkan tingkat pembakaran yang tinggi dan keausan yang lama. Penelitian
ini berakhir karena hal ekonomis
6. Hanomag
10
Universitas Sumatera Utara
Hanomag merupakan perusahaan Jerman yang mengembangkan salah satu
mesin berbahan bakar debu batu bara antara tahun 1935 dan 1945. Sangat sedikit
informasi tetap sedangkan mesin mereka diklaim telah berjalan selama 700 jam.
Debu diinduksi dalam prechamber untuk 0.7% vol dari silinder utama, selama
fase masuk, sehingga memungkinkan rendah tekanan injeksi (24-29 bar). Selama
fase kompresi, bahan bakar padat dicampur dengan udara dalam cara yang sangat
efektif, yang mengarah ke Proses pengeringan yang baik dan awal devolatilisasi
diikuti oleh pengapian dan pembakaran di dalam ruang utama. Mereka mengalami
masalah pengapian dini dan pembuangan partikel yang tidak terbakar dalam
prechamber tersebut. Kekuranganya adalah
mesin tidak dapat berjalan pada
kecepatan tinggi dan proyek ini ditinggalkan. Mesin Hanomag hancur selama
Perang Dunia kedua.
7. 194-1973: (periode pasca-perang):
Penelitian tentang batubara ICE terus terjadi di Amerika Serikat. Caton
dan Rosegay terakhir selama periode ini. Dalam rangka untuk membatasi
kesulitan konsumsi bahan bakar untuk mesin, campuran batubara dengan air
(CWS) atau solar (CDS) digunakan. Sebenarnya, bubur berperilaku seperti cairan.
Ini modifikasi pendingin bahan bakar yang memungkinkan penggunaan sistem
injeksi diesel konvensional. Jadi pada masa ini batu bara atau bahan bakar padat
sudah dicampur dengan bahan bakar cair dan mengunakan mesin diesel
konvesional.
8. 1973-sekarang: Terutama batubara / air lumpur sebagai bahan bakar
Berbagai program yang dipimpin selama periode ini juga dianggap masalah emisi.
Amerika Serikat memutuskan untuk mengembangkan teknologi yang didasarkan
pada batubara, sebagian besar tersedia di wilayah mereka sendiri. Departemen
Energi AS (DOE) menyediakan dana besar untuk proyek-proyek termasuk
perkembangan mesin batubara, baik dalam skala laboratorium atau dalam kondisi
nyata, seperti kereta api aplikasi atau pembangkit listrik. Pada tahun 1975 di
Inggris, untuk alasan yang sama kemerdekaan energik, Perkins Mesin LTD
11
Universitas Sumatera Utara
meninjau kemungkinan penggunaan debu batu bara di mesin pembakaran dalam,
terutama dalam bentuk bubur.
2.4
Mesin Diesel
Mesin diesel juga disebut “Motor Penyalaan Kompresi” oleh karena
penyalaannya dilakukan dengan menyemprotkan bahan bakar ke dalam udara
yang telah bertekanan dan bertemperatur ringgi sebagai akibat dari proses
kompresi di dalam ruang bakar. Agar bahan bakar diesel dapat terbakar dengan
sendirinya, maka perbandingan kompresi mesin diesel harus berkisar antara 15 –
22, sedangkan tekanan kompresinya mencapai 20 – 40 bar dengan suhu 500 – 700
0
C. Aplikasi dari motor diesel banyak pada industri-industri sebagai motor
stasioner ataupun untuk kendaraan-kendaraan dan kapal laut dengan ukuran yang
besar. Hal ini dikarenakan motor diesel mengkonsumsi bahan bakar ± 25% lebih
rendah dari motor bensin, lebih murah dan perawatannya lebih sederhana
(Kubota, S., dkk, 2001).
Mesin diesel menghasilkan tekanan kerja yang tinggi, itu sebabnya
konstruksi motor diesel lebih kokoh dan lebih besar. Disamping itu, mesin diesel
menghasilkan bunyi yang lebih keras, warna dan bau gas yang kurang
menyenangkan. Namun dipandang dari segi ekonomi, bahan bakar serta polusi
udara, motor diesel masih lebih disukai (Mathur, 1980).
Siklus diesel (ideal) pembakaran tersebut dimisalkan dengan pemasukan
panas pada volume konstan (Y. A. Çengel and M. A. Boles, Thermodynamics: An
Engineering Approach, 5th ed, McGraw-Hill, 2006.).
12
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Diagram P-v
Keterangan Gambar:
P
= Tekanan (atm)
V
= Volume Spesifik (m3/kg)
q in
= Kalor yang masuk (kJ)
q out
= Kalor yang dibuang (kJ)
Diagram T-S
Gambar 2.3 Diagram T-S Mesin Diesel
Keterangan Grafik:
13
Universitas Sumatera Utara
1-2 Kompresi Isentropik
2-3 Pemasukan Kalor pada Volume Konstan
3-4 Ekspansi Isentropik
4-1 Pengeluaran Kalor pada Volume Konstan
2.4.1 Prinsip Kerja Mesin Diesel
Prinsip kerja mesin diesel 4 tak sebenarnya sama dengan prinsip kerja
mesin otto, yang membedakan adalah cara memasukkan bahan bakarnya. Pada
mesin diesel bahan bakar di semprotkan langsung ke ruang bakar dengan
menggunakan injector. Dibawah ini adalah langkah dalam proses mesin diesel 4
langkah :
1. Langkah Isap
Pada langkah ini piston bergerak dari TMA (Titik Mati Atas) ke TMB
(Titik Mati Bawah). Saat piston bergerak ke bawah katup isap terbuka yang
menyebabkan ruang didalam silinder menjadi vakum,sehingga udara murni
langsung masuk ke ruang silinder melalui filter udara.
2. Langkah kompresi
Pada langkah ini piston bergerak dari TMB menuju TMA dan kedua katup
tertutup. Karena udara yang berada di dalam silinder didesak terus oleh
piston,menyebabkan terjadi kenaikan tekanan dan temperatur,sehingga udara di
dalam silinder menjadi sangat panas. Beberapa derajat sebelum piston mencapai
TMA, bahan bakar di semprotkan ke ruang bakar oleh injector yang berbentuk
kabut.
3. Langkah Usaha
Pada langkah ini kedua katup masih tertutup, akibat semprotan bahan
bakar di ruang bakar akan menyebabkan terjadi ledakan pembakaran yang akan
meningkatkan suhu dan tekanan di ruang bakar. Tekanan yang besar tersebut akan
mendorong piston ke bawah yang menyebkan terjadi gaya aksial. Gaya aksial ini
dirubah dan diteruskan oleh poros engkol menjadi gaya radial (putar).
4. Langkah Buang
14
Universitas Sumatera Utara
Pada langkah ini, gaya yang masih terjadi di flywhell akan menaikkan
kembali piston dari TMB ke TMA, bersamaan itu juga katup buang terbuka
sehingga udara sisa pembakaran akan di dorong keluar dari ruang silinder menuju
exhaust manifold dan langsung menuju knalpot
Begitu seterusnya sehingga terjadi siklus pergerakan piston yang tidak
berhenti. Siklus ini tidak akan berhenti selama faktor yang mendukung siklus
tersebut tidak ada yang terputus. Untuk lebih jelas, prinsip kerja mesin diesel
dapat dilihat pada gambar 2.2.
Langkah isap
Langkah kompresi Langkah usaha
Langkah Buang
Gambar 2.4 Prinsip Kerja Mesin Diesel [Lit.13]
2.4.2 Performansi Mesin Diesel
a. Nilai Kalor Bahan Bakar.
Reaksi
kimia
antara
bahan
bakar
dengan
oksigen
dari
udara
menghasilkan panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan
bahan bakar dibakar sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific
Value, CV). Bedasarkan asumsi ikut tidaknya panas laten pengembunan
uap air dihitung sebagai bagian dari nilai kalor suatu bahan bakar, maka
nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai kalor atas dan nili
kalor bawah.
Nilai kalor atas (High Heating Value,HHV), merupakan nilai kalor
yang diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan kalorimeter
15
Universitas Sumatera Utara
dimana hasil pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar
sehingga sebagian besar uap air yang terbentuk dari pembakaran
hidrogen mengembun dan melepaskan panas latennya. Secara teoritis,
besarnya nilai kalor atas (HHV) dapat dihitung bila diketahui komposisi
bahan bakarnya dengan menggunakan persamaan Dulong :
�
HHV = 33950 + 144200 (H 2 - 2 ) + 9400 S ........................... (2.1) [Lit. 6 hal 128]
8
Dimana: HHV = Nilai kalor atas (kJ/kg)
C
= Persentase karbon dalam bahan bakar
H2
= Persentase hidrogen dalam bahan bakar
O2
= Persentase oksigen dalam bahan bakar
S
= Persentase sulfur dalam bahan bakar
Nilai kalor bawah (low Heating Value, LHV), merupakan nilai kalor
bahan bakar tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan uap air.
Umumnya kandungan hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15 %
yang berarti setiap satu satuan bahan bakar, 0,15 bagian merupakan
hidrogen. Pada proses pembakaran sempurna, air yang dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar adalah setengah dari jumlah mol hidrogennya.
Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap air yang terbentuk
pada proses pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang
memang sudah ada didalam bahan bakar (moisture). Panas laten
pengkondensasian uap air pada tekanan parsial 20 kN/m2 (tekanan yang
umum timbul pada gas buang) adalah sebesar 2400 kJ/kg, sehingga
besarnya nilai kalor bawah (LHV) dapat dihitung berdasarkan persamaan
berikut :
LHV = HHV – 2400 (M + 9 H 2 ) .......................................... (2.2) [Lit. 6 hal 128]
Dimana: LHV = Nilai Kalor Bawah (kJ/kg)
16
Universitas Sumatera Utara
M
= Persentase kandungan air dalam bahan bakar (moisture)
Dalam perhitungan efisiensi panas dari motor bakar, dapat
menggunakan nilai kalor bawah (LHV) dengan asumsi pada suhu tinggi
saat gas buang meninggalkan mesin tidak terjadi pengembunan uap air.
Namun dapat juga menggunakan nilai kalor atas (HHV) karena nilai
tersebut umumnya lebih cepat tersedia. Peraturan pengujian berdasarkan
ASME (American of Mechanical Enggineers) menentukan penggunaan nilai
kalor atas (HHV), sedangkan peraturan SAE (Society of Automotive
Engineers) menentukan penggunaan nilai kalor bawah (LHV).
b. Daya Poros
Daya mesin adalah besarnya kerja mesin selama waktu tertentu. Pada
motor bakar daya yang berguna adalah daya poros, dikarenakan poros tersebut
menggerakan beban. Daya poros dibangkitkan oleh daya indikator , yang
merupakan daya gas pembakaran yang menggerakan torak selanjutnya
menggerakan semua mekanisme, sebagian daya indikator dibutuhkan untuk
mengatasi gesekan mekanik, seperti pada torak dan dinding silinder dan gesekan
antara poros dan bantalan. Prestasi motor bakar pertama-tama tergantung dari
daya yang dapat ditimbulkannya. Semakin tinggi frekuensi putar motor makin
tinggi daya yang diberikan hal ini disebabkan oleh semakin besarnya frekuensi
semakin banyak langkah kerja yang dialami pada waktu yang sama. Dengan
demikian besar daya poros itu adalah :
�� =
2�.(�.�)
60
.......................................................................... (2.3) [Lit. 3 hal 46]
Dimana :
P B = daya ( W )
T = torsi ( Nm )
n = putaran mesin ( Rpm )
17
Universitas Sumatera Utara
c. Torsi
Torsi adalah perkalian antara gaya dengan jarak. Selama proses usaha
maka tekanan-tekanan yang terjadi di dalam silinder motor menimbulkan suatu
gaya yang luar biasa kuatnya pada torak. Gaya tersebut dipindahkan kepada pena
engkol melalui batang torak , dan mengakibatkan adanya momen putar atau torsi
pada poros engkol. Untuk mengetahui besarnya torsi digunakan alat
dynamometer. Biasanya motor pembakaran ini dihubungkan dengan dynamometer
dengan maksud mendapatkan keluaran dari motor pembakaran dengan cara
menghubungkan poros motor pembakaran dengan poros dynamometer dengan
menggunakan kopling elastik.
PB =
T=
2�.( �.� )
60
�� .60
2�.�
........................................................................... (2.4) [Lit. 3 hal 46]
................................................................................. (2.5) [Lit. 3 hal 46]
d. Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (SFC)
Konsumsi bahan bakar spesifik merupakan salah satu parameter prestasi
yang penting di dalam suatu motor bakar. Parameter ini biasa dipakai sebagai
ukuran ekonomi pemakaian bahan bakar yang terpakai per jam untuk setiap daya
kuda yang dihasilkan.
SFC =
ṁf =
� ̇ � � 10 3
��
........................................................................ (2.6) [Lit. 6 hal 56]
��� � 8 � 10 −3
Dengan :
�
� 3600 .................................................... (2.7) [Lit. 6 hal 56]
SFC = konsumsi bahan bakar spesifik (kg/kw.h)
P B = daya (W)
ṁf = konsumsi bahan bakar
sgf = spesifik grafity
18
Universitas Sumatera Utara
t = waktu (jam)
e. Efisiensi Thermal
Kerja berguna yang dihasilkan selalu lebih kecil dari pada energi yang
dibangkitkan piston karena sejumlah enegi hilang akibat adanya rugi-rugi mekanis
(mechanical losses). Dengan alasan ekonomis perlu dicari kerja maksimium yang
dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar. Efisiensi ini disebut juga
sebagai efisiensi termal brake
(thermal efficiency, η b ).
Jika daya keluaran P B dalam satuan KW, laju aliran bahan bakar m f dalam
satuan kg/jam, maka:
ηb =
��
� � . ��
� 3600 ................................................................... (2.8) [Lit. 3 hal 59]
f. Emisi Gas Buang
Untuk mesin Diesel emisi gas buang yang dilihat adalah opasitas
(ketebalan asap). Adapun Standart nilai opasitas berdasarkan peraturan menteri
negara lingkungan hidup nomor 05 tahun 2006 tentang ambang batas emisi gas
buang
Tabel 2.2 Standard Emisi Gas Buang
Sumber : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun
2006 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kategori
Tahun
Parameter
19
Universitas Sumatera Utara
Pembuatan
CO
HC
(%)
(ppm)
Opacity
(%
HSU)
Berpenggerak Motor Bakar
< 2007
4,5
1200
-
cetus api (bensin)
≥ 2007
1,5
200
-
< 2010
-
-
70
≥ 2010
-
-
40
< 2010
-
-
70
≥ 2010
-
-
50
Berpenggerak Motor Bakar
Penyalaan Kompresi (Diesel)
GVW ≤ 3,5 Ton
GvVW ≥ 3,5 Ton
20
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biomassa
Biomassa berasal dari kata bio dan massa. Biomassa adalah bahan organik yang
dihasilkan melalui pross fotosintetik, baik berupa produk maupun buangan. dan istilah
ini mula-mula digunakan dalam bidang ekologi untuk merujuk pada jumlah hewan
dan tumbuhan. Setelah isu goncangan minyak terjadi, makna kata itu diperluas
melebihi bidang ekologi dan maknanya kini menjadi “sumber daya biologi sebagai
sumber energi”, dikarenakan ada desakan agar sumber energi alternatif (baru)
dipromosikan. Hingga kini masih belum ada definisi yang spesifik untuk biomassa dan
definisinya bisa berbeda dari satu bidang ke bidang yang lain. Dari perspektif
sumber daya energi, definisi umumnya adalah biomassa merupakan segala sesuatu
yang bermassa dan memiliki nilai kalor serta bersifat organik. Seiring dengan itu,
biomassa tidak hanya mencakup berbagai jenis tanaman pertanian, kayu,
tumbuhan perairan, pertanian konvensional yang lain, kehutanan, sumber daya
perikanan tetapi juga mencakup sisa fermentasi alkohol, dan limbah industry organik
lainnya.
Agar biomassa bisa digunakan sebagai bahan bakar maka diperlukan
teknologi untuk mengkonversinya. Terdapat beberapa teknologi untuk konversi
biomassa, dijelaskan pada Gambar 2.1. Teknologi konversi biomassa tentu saja
membutuhkan
perbedaan pada alat yang digunakan untuk mengkonversi
biomassa dan menghasilkan perbedaan bahan bakar yang dihasilkan. Untuk
menghasilkan biomassa serbuk kulit padi ini kita mengunakan teknologi proses
mekanik yakni size reduction (Pengurangan Ukuran).
5
Universitas Sumatera Utara
Drying
MECHANICAL
PROCESS
Size Reduction
Densification
Direct Combustion
Pyrolysis
THERMO-CHEMICAL
PROCESS
BIOMASS
Steam, Heat
Fuel gas, Bio-oil, Char
Gasification
Synthesis gas
Liquefaction
Hydrocarbons, Bio-oil
Co-Firing
BIOLOGICAL
PROCESS
Pellets, Briquettes
Fermentation
Anaerobic Digestion
Steam, Heat
Alcohol
Biogas, Fertilizer
Gambar 2.1 Teknologi Konversi Biomassa [lit.14]
2.2
Komposisi Bahan Baku
Padi merupakan suatu tanaman yang sudah tidak langka lagi di
Indonesia. Karena pada umumnya masyarakat indonesia mengkonsumsi
beras sebagai makanan pokoknya. Adapun klasisfikasi tanaman padi
secara biologi yaitu:
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas
: Commelinidae
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus
: Oryza
Spesies
: Oryza sativa L.
6
Universitas Sumatera Utara
Kulit biji padi memiliki kerapatan jenis (bulk densil)1125 kg/m3,
dengan nilai kalori 1 kg kulit biji padi sebesar 3300 k. kalori, serta
memiliki bulk density 0,100 g/ ml, nilai kalorikulit biji padi antara 3300 3600 kkalori/kg dengan konduktivitas panas 0,271 BTU. Kulit biji padi
dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai
kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan energi atau
bahan bakar ataupun sebagai adsorpsi pada logam-logam berat. Kulit biji
padi tersusun dari jaringan serat-serat selulosa yang mengandung banyak
silika dalam bentuk serabut-serabut yang sangat keras. Pada keadaan
normal, kulit biji padi berperan penting melindungi biji beras dari
kerusakan yang disebabkan oleh serangan jamur, dapat mencegah reaksi
ketengikan karena dapat melindungi lapisan tipis yang kaya minyak
terhadap kerusakan mekanis selama pemanenan, penggilingan dan
pengangkutan.
Ditinjau dari komposisi kimiawinya, komposisi kulit biji padi
mengandung beberapa unsur penting sebagai yang tercantum pada tabel
2.1
Tabel 2.1. Komposisi Kimia Kulit biji padi
Sumber: http://www.digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Undergraduate225465.pdf
(% berat) Komponen
% Berat
Kadar air
32,40 – 11,35
Protein kasar
1,70 – 7,26
Lemak
0,38 – 2,98
Ekstrak nitrogen bebas
24,70 – 38,79
Serat
31,37 – 49,92
Abu
13,16 – 29,04
Pentosa
16,94 – 21,95
7
Universitas Sumatera Utara
2.3
Sellulosa
34,34 – 43,80
Lignin
21,40 – 46,97
Sejarah Penggunaan Bahan Bakar Padat Pada Mesin Pembakaran
Dalam
Upaya untuk menjalankan mesin reciprocating pada bahan bakar padat dalam
bentuk debu/ serbuk dibagi dalam tiga periode utama, dimulai dengan karya-karya
Rudolf Diesel pada tahun 1892. Sejak studi pertama yang dipimpin oleh Diesel,
banyak ICES berbahan bakar padat telah dikembangkan, tetapi tidak ada yang
mencapai skala komersial. Dalam kebanyakan kasus, digunakan bahan bakar
padat bubuk batu bara, dalam bentuk kering atau dicampur dengan minyak diesel
atau air. Sumber daya ini relatif murah dan sebagian besar masih tersedia di
seluruh dunia dibandingkan dengan minyak mentah. Periode pertama, sebagian
besar dibuat di Jerman dengan batubara kering, dan berakhir dengan Perang Dunia
II dan menyebabkan banyak perbaikan ICE
berbahan bakar debu batu bara
dimana penelitian ini banyak dikembangkan oleh rudolf diesel. Hambatan terbesar
pada pengoperasian mesin dan tampaknya telah diselesaikan antara tahun 1930
dan tahun 1940. Periode kedua dilakukan di Amerika Serikat antara tahun 1945
dan 1973. Penelitian mencari penyebab penurunan dari keausan mesin ke tingkat
lebih lanjut yang diamati dengan solar murni . Masalah utama, yaitu ukuran bahan
bakar dan penyampaian ke silinder dengan waktu yang tepat , namun belum
terpecahkan . Untuk alasan ini , penelitian lain yang dipimpin di Amerika Serikat
selama periode yang sama berfokus pada penggunaan batu bara bentuk bubuk
dalam suspensi dalam bahan bakar diesel atau air . Kombinasi seperti ini disebut
Coal Diesel slurries ( CDS ) dan Coal Water slurries ( CWS ) .
Selama dua periode ini, studi kebanyakan eksperimental. Periode ketiga dari
tahun 1973 sampai sekarang dan meliputi tes skala penuh mesin dengan slurries
serta beberapa studi teoritis dan keanekaan hayati , masih terutama dilakukan di
Amerika Serikat , dengan dana yang besar dari Departemen Energi .
Secara Garis Besar Perkembangan Sejarah penggunaan bahan bakar padat
pada mesin pembakaran dalam yaitu:
1.
1892-1945: bahan bakar bubuk kering
8
Universitas Sumatera Utara
Upaya Jerman untuk menjalankan mesin pembakaran internal pada serbuk
batubara kering telah diterbitkan oleh Soehngen pada tahun 1976. Selama periode
ini, mesin diesel diuji dengan debu batu bara. Tapi tak satu pun dari teknologi
yang dikembangkan telah mencapai skala komersial. Dalam penelitian ini
diketahui bahwa batubara adalah bahan bakar pembakaran lambat, untuk mesin
diesel kecepatan rendah. Dengan demikian, semua mesin Jerman dikembangkan
dan dirancang untuk berjalan di kecepatan rpm 1001000. Perbaikan teknologi
terkait menyebabkan 200 paten. Pada tahun 1940, dilaporkan upaya Jepang untuk
menjalankan 75 HP, untuk 6 silinder serbuk batu bara pada
mesin dengan
kecepatan 2000 rpm. Lain pula dengan penelitian yang dipimpin oleh Belousov.
Banyak tambahan data yang menarik yang diperoleh, termasuk angka dan
deskripsi bubur pembakaran dalam kondisi mesin. Selama hampir setengah abad,
tujuannya adalah jelas biaya. Keuntungan yang diperoleh adalah pada perbedaan
harga minyak dengan batubara. Sangat sedikit data pada kualitas batubara yang
tersedia. Rudolf diesel Pada tahun 1892 mencoba untuk menjalankan ICE pada
debu batu bara, tapi berhenti karena penanganan sulit. Bubuk bahan bakar
difumigasi melalui pemvakuman pipa mesin. Diesel terfokus pada minyak mentah
yang jauh lebih mudah untuk memanipulasi.
2.
Rudolf Pawlikowski
Mulai tahun 1916, bekas rekan kerja Diesel mampu untuk pertama kalinya
menjalankan ICE pada debu batu bara. Dalam perusahaanya yang bernama
Kosmos, Pawlikowsko membangun delapan mesin dengan bahan bakar batubara
yang disebut motor rupa dengan menambahkan chmaber di mesin. Dimana bahan
bakar bubuk batu baru dinyalakan. Tekanan dikembangkan selama di prapembakaran injeksi pembakaran utama dichamber dan bahan bakar yang tersisa
pada tekanan rendah diinjeksi langsung. Pawlikowski juga mencoba untuk
memecahkan masalah dengan mengembangkan sistem penyesusaian tertentu
cincin piston sehingga membatasi bagian abu di bak mesin. Perusahaan The
COSMOS ini ditutup pada tahun 1928. Karya Pawlikowski berhenti pada tahun
1945 dan memimpin untuk 30 paten Mulai tahun 1925, atas dasar penelitian
9
Universitas Sumatera Utara
Pawlikowski itu, empat Perusahaan Jerman mengembangkan mesin mampu
berjalan pada batubara debu kering.
3.
I-G Farben Industrie
Ini perusahaan Jerman yang membangun dua mesin yang berbeda antara tahun
1925 , dan 1929 serta tiga mesin yang lebih kecil untuk penelitian. Perusahaan ini
mengadopsi sistem mesin Pawlikowski.
Mereka mampu membatasi tingkat
keausan dengan mengintegrasikan cincin dengan dinding silinder, sehingga
mereka dapat menyesuaikan secara terus menerus selama menjalankan.
Pembersihan liners silinder, ditutupi dengan partikel yang tidak terbakar,
dilakukan dengan meniup udara terkompresi, air atau minyak mentah pada akhir
fase buang.
4.
Schichau Werke Ge Antara 1930 dan 1939,
Konsep mesin yang digunakan masih sama dengan Pawlikowsko. Schichau adalah
orang pertama yang mencoba penggunaan paduan keras berdasarkan baja dan
Chrome, Nikel, Silicon dan Mangan, untuk meningkatkan ketahanan aus. Dengan
menggunakan paduan ini, mereka mampu mengurangi tingkat keausan. Mereka
juga mengembangkan katup bola, khusus untuk debu, dalam rangka
meningkatkan kualitas selama operasi mesin. Mesin ini diklaim telah berjalan
selama 6000 h. Penelitian ini kemudian dihentikan karena secara ekonomi
5.
I. Bruenner Machinenfabrik
Penelitian ini dilakukan pada periode 1930-1945. Mereka memulai
penelitian ini di Universitas Dresden dengan mengubah sistem injeksi. Sistem
injeksi debu dipergunakan untuk peningkatan laju aliran bahan bakar. Kecepatan
maksimum sampai 1200 rpm. Penting untuk dicatat bahwa mereka sengaja
bekerja dengan 60 mikron partikel yang mengandung 21% berat abu,
menyebabkan tingkat pembakaran yang tinggi dan keausan yang lama. Penelitian
ini berakhir karena hal ekonomis
6. Hanomag
10
Universitas Sumatera Utara
Hanomag merupakan perusahaan Jerman yang mengembangkan salah satu
mesin berbahan bakar debu batu bara antara tahun 1935 dan 1945. Sangat sedikit
informasi tetap sedangkan mesin mereka diklaim telah berjalan selama 700 jam.
Debu diinduksi dalam prechamber untuk 0.7% vol dari silinder utama, selama
fase masuk, sehingga memungkinkan rendah tekanan injeksi (24-29 bar). Selama
fase kompresi, bahan bakar padat dicampur dengan udara dalam cara yang sangat
efektif, yang mengarah ke Proses pengeringan yang baik dan awal devolatilisasi
diikuti oleh pengapian dan pembakaran di dalam ruang utama. Mereka mengalami
masalah pengapian dini dan pembuangan partikel yang tidak terbakar dalam
prechamber tersebut. Kekuranganya adalah
mesin tidak dapat berjalan pada
kecepatan tinggi dan proyek ini ditinggalkan. Mesin Hanomag hancur selama
Perang Dunia kedua.
7. 194-1973: (periode pasca-perang):
Penelitian tentang batubara ICE terus terjadi di Amerika Serikat. Caton
dan Rosegay terakhir selama periode ini. Dalam rangka untuk membatasi
kesulitan konsumsi bahan bakar untuk mesin, campuran batubara dengan air
(CWS) atau solar (CDS) digunakan. Sebenarnya, bubur berperilaku seperti cairan.
Ini modifikasi pendingin bahan bakar yang memungkinkan penggunaan sistem
injeksi diesel konvensional. Jadi pada masa ini batu bara atau bahan bakar padat
sudah dicampur dengan bahan bakar cair dan mengunakan mesin diesel
konvesional.
8. 1973-sekarang: Terutama batubara / air lumpur sebagai bahan bakar
Berbagai program yang dipimpin selama periode ini juga dianggap masalah emisi.
Amerika Serikat memutuskan untuk mengembangkan teknologi yang didasarkan
pada batubara, sebagian besar tersedia di wilayah mereka sendiri. Departemen
Energi AS (DOE) menyediakan dana besar untuk proyek-proyek termasuk
perkembangan mesin batubara, baik dalam skala laboratorium atau dalam kondisi
nyata, seperti kereta api aplikasi atau pembangkit listrik. Pada tahun 1975 di
Inggris, untuk alasan yang sama kemerdekaan energik, Perkins Mesin LTD
11
Universitas Sumatera Utara
meninjau kemungkinan penggunaan debu batu bara di mesin pembakaran dalam,
terutama dalam bentuk bubur.
2.4
Mesin Diesel
Mesin diesel juga disebut “Motor Penyalaan Kompresi” oleh karena
penyalaannya dilakukan dengan menyemprotkan bahan bakar ke dalam udara
yang telah bertekanan dan bertemperatur ringgi sebagai akibat dari proses
kompresi di dalam ruang bakar. Agar bahan bakar diesel dapat terbakar dengan
sendirinya, maka perbandingan kompresi mesin diesel harus berkisar antara 15 –
22, sedangkan tekanan kompresinya mencapai 20 – 40 bar dengan suhu 500 – 700
0
C. Aplikasi dari motor diesel banyak pada industri-industri sebagai motor
stasioner ataupun untuk kendaraan-kendaraan dan kapal laut dengan ukuran yang
besar. Hal ini dikarenakan motor diesel mengkonsumsi bahan bakar ± 25% lebih
rendah dari motor bensin, lebih murah dan perawatannya lebih sederhana
(Kubota, S., dkk, 2001).
Mesin diesel menghasilkan tekanan kerja yang tinggi, itu sebabnya
konstruksi motor diesel lebih kokoh dan lebih besar. Disamping itu, mesin diesel
menghasilkan bunyi yang lebih keras, warna dan bau gas yang kurang
menyenangkan. Namun dipandang dari segi ekonomi, bahan bakar serta polusi
udara, motor diesel masih lebih disukai (Mathur, 1980).
Siklus diesel (ideal) pembakaran tersebut dimisalkan dengan pemasukan
panas pada volume konstan (Y. A. Çengel and M. A. Boles, Thermodynamics: An
Engineering Approach, 5th ed, McGraw-Hill, 2006.).
12
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Diagram P-v
Keterangan Gambar:
P
= Tekanan (atm)
V
= Volume Spesifik (m3/kg)
q in
= Kalor yang masuk (kJ)
q out
= Kalor yang dibuang (kJ)
Diagram T-S
Gambar 2.3 Diagram T-S Mesin Diesel
Keterangan Grafik:
13
Universitas Sumatera Utara
1-2 Kompresi Isentropik
2-3 Pemasukan Kalor pada Volume Konstan
3-4 Ekspansi Isentropik
4-1 Pengeluaran Kalor pada Volume Konstan
2.4.1 Prinsip Kerja Mesin Diesel
Prinsip kerja mesin diesel 4 tak sebenarnya sama dengan prinsip kerja
mesin otto, yang membedakan adalah cara memasukkan bahan bakarnya. Pada
mesin diesel bahan bakar di semprotkan langsung ke ruang bakar dengan
menggunakan injector. Dibawah ini adalah langkah dalam proses mesin diesel 4
langkah :
1. Langkah Isap
Pada langkah ini piston bergerak dari TMA (Titik Mati Atas) ke TMB
(Titik Mati Bawah). Saat piston bergerak ke bawah katup isap terbuka yang
menyebabkan ruang didalam silinder menjadi vakum,sehingga udara murni
langsung masuk ke ruang silinder melalui filter udara.
2. Langkah kompresi
Pada langkah ini piston bergerak dari TMB menuju TMA dan kedua katup
tertutup. Karena udara yang berada di dalam silinder didesak terus oleh
piston,menyebabkan terjadi kenaikan tekanan dan temperatur,sehingga udara di
dalam silinder menjadi sangat panas. Beberapa derajat sebelum piston mencapai
TMA, bahan bakar di semprotkan ke ruang bakar oleh injector yang berbentuk
kabut.
3. Langkah Usaha
Pada langkah ini kedua katup masih tertutup, akibat semprotan bahan
bakar di ruang bakar akan menyebabkan terjadi ledakan pembakaran yang akan
meningkatkan suhu dan tekanan di ruang bakar. Tekanan yang besar tersebut akan
mendorong piston ke bawah yang menyebkan terjadi gaya aksial. Gaya aksial ini
dirubah dan diteruskan oleh poros engkol menjadi gaya radial (putar).
4. Langkah Buang
14
Universitas Sumatera Utara
Pada langkah ini, gaya yang masih terjadi di flywhell akan menaikkan
kembali piston dari TMB ke TMA, bersamaan itu juga katup buang terbuka
sehingga udara sisa pembakaran akan di dorong keluar dari ruang silinder menuju
exhaust manifold dan langsung menuju knalpot
Begitu seterusnya sehingga terjadi siklus pergerakan piston yang tidak
berhenti. Siklus ini tidak akan berhenti selama faktor yang mendukung siklus
tersebut tidak ada yang terputus. Untuk lebih jelas, prinsip kerja mesin diesel
dapat dilihat pada gambar 2.2.
Langkah isap
Langkah kompresi Langkah usaha
Langkah Buang
Gambar 2.4 Prinsip Kerja Mesin Diesel [Lit.13]
2.4.2 Performansi Mesin Diesel
a. Nilai Kalor Bahan Bakar.
Reaksi
kimia
antara
bahan
bakar
dengan
oksigen
dari
udara
menghasilkan panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan
bahan bakar dibakar sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific
Value, CV). Bedasarkan asumsi ikut tidaknya panas laten pengembunan
uap air dihitung sebagai bagian dari nilai kalor suatu bahan bakar, maka
nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai kalor atas dan nili
kalor bawah.
Nilai kalor atas (High Heating Value,HHV), merupakan nilai kalor
yang diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan kalorimeter
15
Universitas Sumatera Utara
dimana hasil pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar
sehingga sebagian besar uap air yang terbentuk dari pembakaran
hidrogen mengembun dan melepaskan panas latennya. Secara teoritis,
besarnya nilai kalor atas (HHV) dapat dihitung bila diketahui komposisi
bahan bakarnya dengan menggunakan persamaan Dulong :
�
HHV = 33950 + 144200 (H 2 - 2 ) + 9400 S ........................... (2.1) [Lit. 6 hal 128]
8
Dimana: HHV = Nilai kalor atas (kJ/kg)
C
= Persentase karbon dalam bahan bakar
H2
= Persentase hidrogen dalam bahan bakar
O2
= Persentase oksigen dalam bahan bakar
S
= Persentase sulfur dalam bahan bakar
Nilai kalor bawah (low Heating Value, LHV), merupakan nilai kalor
bahan bakar tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan uap air.
Umumnya kandungan hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15 %
yang berarti setiap satu satuan bahan bakar, 0,15 bagian merupakan
hidrogen. Pada proses pembakaran sempurna, air yang dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar adalah setengah dari jumlah mol hidrogennya.
Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap air yang terbentuk
pada proses pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang
memang sudah ada didalam bahan bakar (moisture). Panas laten
pengkondensasian uap air pada tekanan parsial 20 kN/m2 (tekanan yang
umum timbul pada gas buang) adalah sebesar 2400 kJ/kg, sehingga
besarnya nilai kalor bawah (LHV) dapat dihitung berdasarkan persamaan
berikut :
LHV = HHV – 2400 (M + 9 H 2 ) .......................................... (2.2) [Lit. 6 hal 128]
Dimana: LHV = Nilai Kalor Bawah (kJ/kg)
16
Universitas Sumatera Utara
M
= Persentase kandungan air dalam bahan bakar (moisture)
Dalam perhitungan efisiensi panas dari motor bakar, dapat
menggunakan nilai kalor bawah (LHV) dengan asumsi pada suhu tinggi
saat gas buang meninggalkan mesin tidak terjadi pengembunan uap air.
Namun dapat juga menggunakan nilai kalor atas (HHV) karena nilai
tersebut umumnya lebih cepat tersedia. Peraturan pengujian berdasarkan
ASME (American of Mechanical Enggineers) menentukan penggunaan nilai
kalor atas (HHV), sedangkan peraturan SAE (Society of Automotive
Engineers) menentukan penggunaan nilai kalor bawah (LHV).
b. Daya Poros
Daya mesin adalah besarnya kerja mesin selama waktu tertentu. Pada
motor bakar daya yang berguna adalah daya poros, dikarenakan poros tersebut
menggerakan beban. Daya poros dibangkitkan oleh daya indikator , yang
merupakan daya gas pembakaran yang menggerakan torak selanjutnya
menggerakan semua mekanisme, sebagian daya indikator dibutuhkan untuk
mengatasi gesekan mekanik, seperti pada torak dan dinding silinder dan gesekan
antara poros dan bantalan. Prestasi motor bakar pertama-tama tergantung dari
daya yang dapat ditimbulkannya. Semakin tinggi frekuensi putar motor makin
tinggi daya yang diberikan hal ini disebabkan oleh semakin besarnya frekuensi
semakin banyak langkah kerja yang dialami pada waktu yang sama. Dengan
demikian besar daya poros itu adalah :
�� =
2�.(�.�)
60
.......................................................................... (2.3) [Lit. 3 hal 46]
Dimana :
P B = daya ( W )
T = torsi ( Nm )
n = putaran mesin ( Rpm )
17
Universitas Sumatera Utara
c. Torsi
Torsi adalah perkalian antara gaya dengan jarak. Selama proses usaha
maka tekanan-tekanan yang terjadi di dalam silinder motor menimbulkan suatu
gaya yang luar biasa kuatnya pada torak. Gaya tersebut dipindahkan kepada pena
engkol melalui batang torak , dan mengakibatkan adanya momen putar atau torsi
pada poros engkol. Untuk mengetahui besarnya torsi digunakan alat
dynamometer. Biasanya motor pembakaran ini dihubungkan dengan dynamometer
dengan maksud mendapatkan keluaran dari motor pembakaran dengan cara
menghubungkan poros motor pembakaran dengan poros dynamometer dengan
menggunakan kopling elastik.
PB =
T=
2�.( �.� )
60
�� .60
2�.�
........................................................................... (2.4) [Lit. 3 hal 46]
................................................................................. (2.5) [Lit. 3 hal 46]
d. Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (SFC)
Konsumsi bahan bakar spesifik merupakan salah satu parameter prestasi
yang penting di dalam suatu motor bakar. Parameter ini biasa dipakai sebagai
ukuran ekonomi pemakaian bahan bakar yang terpakai per jam untuk setiap daya
kuda yang dihasilkan.
SFC =
ṁf =
� ̇ � � 10 3
��
........................................................................ (2.6) [Lit. 6 hal 56]
��� � 8 � 10 −3
Dengan :
�
� 3600 .................................................... (2.7) [Lit. 6 hal 56]
SFC = konsumsi bahan bakar spesifik (kg/kw.h)
P B = daya (W)
ṁf = konsumsi bahan bakar
sgf = spesifik grafity
18
Universitas Sumatera Utara
t = waktu (jam)
e. Efisiensi Thermal
Kerja berguna yang dihasilkan selalu lebih kecil dari pada energi yang
dibangkitkan piston karena sejumlah enegi hilang akibat adanya rugi-rugi mekanis
(mechanical losses). Dengan alasan ekonomis perlu dicari kerja maksimium yang
dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar. Efisiensi ini disebut juga
sebagai efisiensi termal brake
(thermal efficiency, η b ).
Jika daya keluaran P B dalam satuan KW, laju aliran bahan bakar m f dalam
satuan kg/jam, maka:
ηb =
��
� � . ��
� 3600 ................................................................... (2.8) [Lit. 3 hal 59]
f. Emisi Gas Buang
Untuk mesin Diesel emisi gas buang yang dilihat adalah opasitas
(ketebalan asap). Adapun Standart nilai opasitas berdasarkan peraturan menteri
negara lingkungan hidup nomor 05 tahun 2006 tentang ambang batas emisi gas
buang
Tabel 2.2 Standard Emisi Gas Buang
Sumber : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun
2006 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kategori
Tahun
Parameter
19
Universitas Sumatera Utara
Pembuatan
CO
HC
(%)
(ppm)
Opacity
(%
HSU)
Berpenggerak Motor Bakar
< 2007
4,5
1200
-
cetus api (bensin)
≥ 2007
1,5
200
-
< 2010
-
-
70
≥ 2010
-
-
40
< 2010
-
-
70
≥ 2010
-
-
50
Berpenggerak Motor Bakar
Penyalaan Kompresi (Diesel)
GVW ≤ 3,5 Ton
GvVW ≥ 3,5 Ton
20
Universitas Sumatera Utara