MAKALAH PENELITIAN RIJAL AL HADIS

PENELITIAN RIJAL AL HADIS
(Revisi)

Dipresentasikan dalam Seminar Kelas Semester I Program
Magister
UIN Alauddin Makassar pada Mata Kuliah Ulumul Hadis

Oleh
SY. JAPAR SADIQ
N I M 80100212177

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. HJ. ANDI RASDIANAH
Dra. ST. AISYAH, M.A., Ph.D

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR

1


2013

2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah penulisan dan pembukuan hadis dan ilmu hadis
telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang,
sejak

zaman

Nabi

Muhammad,

sahabat,

tabi’in


dan

seterusnya hingga mencapai puncaknya pada pada abad
ketiga hijriah. Perjuangan keras dari para ilmuan hadis dalam
menyeleksi hadis telah menghasilkan berbagai metode hingga
melahirkan kaidah-kaidah penelusuran hadis. Kaidah-kaidah
tersebut pada akhirnya berkembang menjadi ilmu tersendiri
yang disebut ilmu hadis.
Perkembangan keilmuan mencapai puncak kejayaannya,
sekaitan dengan ilmu hadis lebih banyak mengacu pada
metode-metode

yang

dipergunakan

pada

abad


ketiga

tersebut.
Al-Qur’an mengajarkan agar seseorang tidak mencela
orang lain. Akan tetapi untuk kepentingan agama yang lebih
besar, kepentingan penelitian hadis sebagai salah satu
sumber ajaran Islam, kejelekan atau kekurangan pribadi
peribadi periwayat dalam kaitannya dengan periwayatan
hadis sangat perlu dikemukakan, karena penelitian terhadap
pribadi periwayat dalam kaitannya penelitian hadis tidak
hanya ditujukan kepada hal-hal yang terpuji (ta’dil ) saja,
tetapi juga hal-hal yang tercela (jarh ). Salah satu dasar kritik
sanad adalah ilm al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu ini dipakai untuk

3

menyeleksi kualitas periwayat hadis. Orang-orang sanad
merupakan perawi-perawi hadis, merekalah yang menjadi
pokok pembicaraan dalam ilmu rijalul hadis.

Ilmu inilah yang menjadi parameter dalam menilai
orang-orang yang ada pada sanad sebuah hadis. Dengan
didasarkan pada orang-orang yang ada pada sanad dari sisi
ta’dil dan jarh sehingga dapat memberikan gambaran tentang
kualitas hadis yang sampaikannya apakah hadis tersebut
dapat diterima dan atau ditolak, karena dipastikan bahwa
tidaklah mungkin orang-orang yang memiliki integritas tinggi
menyampaikan sesuatu yang tidak bersumber dari nabi, inilah
yang menjadi landasan pokok dari penelitian rijalul hadis.

B. Rumusan Masalah
Dari

uraian

tersebut,

penulis

akan


mengemukakan

beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apa dan bagaimana ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jar Wa
Ta’dil?
2. Bagaimana sikap kritikus hadis dalam menilai Rijal alHadis?
3. Kitab-kitab apa saja yang dapat dijadikan rujukan?

4

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Rijal al-Hadis
Sebelum dikemukakan pengertian ilmu Rijal al-Hadis,
terlebih dahulu akan diberikan pengertian kata “rijal”. Rijal
merupakan jamak dari kata rajul, artinya kaum pria.1
Totok Jumantoro mengemukakan bahwa ilmu Rijal alHadis adalah:

‫ن‬

‫ح ه‬
‫م‬
‫م م‬
‫ل اَلررنواَةم م‬
‫نآ م‬
‫م ي هب م ن‬
‫سي منرهه م‬
‫عل م م‬
‫م ن‬
‫واَ م‬
‫ح ن‬
‫ث فمي مهم ع ن م‬
‫م‬
‫ن وناَ مت منباَمع اَ مت منباَ م‬
‫ص ن‬
‫عه م م‬
‫اَل ص‬
‫حاَ ب نةم نواَلنتاَب معمي م ن‬

Artinya:

Suatu ilmu yang di dalam ilmu itu dibahas tentang
keadaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup
mereka, baik mereka dari golongan sahabat, golongan
tabi’in dan tabi’it-tabi’in2

Sementara itu, Subhi al-Shalih memberikan pengertian
Rijal al-Hadis sebagai berikut:

‫علم يعرف به رنواَة اَلحديث من حيث اَننهم رواَة للحد‬
3
".‫يث‬
Artinya:
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam
kapasitasnya sebagai perawi hadis.

1M. Rasir Ibrahim, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Apollo, t. t), h. 105.
2Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Cet.II; PT. Bumi Aksara, Jakarta: 2002), h. 208
3Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmu al Malayin,
t.t.), h.110.


5

Dari pengertian tersebut, dipahami bahwa ilmu Rijal alHadis merupakan ilmu yang sangat penting posisinya dalam
mengetahui

kondisi

para

rawi,

karena

dalam

ilmu

ini

dijelaskan riwayat hidup perawi, mazhab yang dipegangi

serta keadaan para perawi dalam menerima hadis.
Hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Sanad itu ialah
para perawi, dengan sanad lah mana yang diterima, mana
yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak.
Dialah jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum
Islam. Dengan demikian, mengetahui keadaan para perawi
yang menjadi sanad merupakan separuh pengetahuan.4
Para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat Nabi
sampai generasi mukharriyul hadis (periwayat dan sekaligus
penghimpun hadis) telah tidak dapat dijumpai secara fisik,
karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali
keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan
mereka di bidang periwayatan hadis, diperlukan informasi
dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik rijal
(periwayat) hadis. 5
Pengetahuan

yang

membahas


berbagai

hal

yang

berhubungan dengan perawi hadis, tidak hanya berkenaan
dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan
dengan hal-hal yang tercela.6
4Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet.IV;
PT. Pustaka Rizki Putra,) h. 132.
5M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h.72.
6Ibid.

6

B. Teknik Menetapkan Jarh wa ta’dil
Para ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu

teknik atau teori agar penelitian terhadap periwayat hadis
dapat lebih objektif, sebagai berikut:

‫ اَلتعاَد يل مقد ن م على اَلجرح‬.1
Artinya: at-ta’dil didahulukan atas al-jarh.7
Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh
seorang kritikus dan dinilai tercelah oleh kritikus lainnya,
maka yang dipilih adalah kritikan yang bersifat pujian.
Alasannya,

sifat

dasar

periwayat

hadis

Sedangkan

sifat

tercela

kemudian.

Karenanya, bila sifat dasar berlawanan dengan

merupakan

adalah

terpuji.

yang

datang

sifat

sifat yang datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah
sifat dasarnya.
H/915

M),

Pendukung teori ini oleh an-Nasa’i (w. 303

namun

pada

umumnya

ulama

hadis

tidak

menerima teori tersebut, karena kritikus yang memuji tidak
mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang
dinilainya, sedang

kritikus

yang

mengemukakan celaan

adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat
yang dinilainya.

‫دم على اَلنتعد يل‬
‫ اَلجرح مق ن‬.2
Artinya: al-jarh didahulukan atas atta’dil.8

7Ibid., h. 77
8Ibid., h. 78.

7

Maksudnya, bila seorang kritikus dinilai tercela oleh
seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka
yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan.
Alasannya adalah kritikus yang menyatakan celaan
lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Dan
dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan
baik dari pribadi kritikus hadis, dan persangkaan baik itu
harus

“dikalahkan”

bila

ternyata

ada

bukti

tentang

ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.
Pendukung teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh,
dan ulama ushul fiqh.
Dikatakan oleh Imam Ahmad, “setiap rawi yang telah
ditetapkan ‘adalah-nya tidak akan diterima pen-tarjih-an dari
seseorang kecuali telah betul-betul dan terbukti bahwa
keadaan rawi itu mengandung sifat jarh.”9

‫دل اَل‬
‫دل فاَ لحكم للمع ن‬
‫ اَذاَ تعاَ رض اَلجاَ رح واَلمع ن‬.3
‫سر‬
‫اَذاَ ثبت اَلجرح اَلف ن‬
Artinya:
Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang
memuji dan yang mencela, maka yang harus
dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali
apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan
tentang sebab-sebabnya.10

Maksudnya, apabila seorang periwayat dipuji oleh
seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya,
9Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A.
zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya (cet.I; Bandung: Gema
Media Pusakatama, 2003), h. 40.
10M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 78.

8

maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah
kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela
menyertai

penjelasan

tentang

bukti-bukti

ketercelaan

periwayat yang yang bersangkutan.
Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan sebabsebab

ketercelaan

periwayat

yang

dinilainya

lebih

mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada
kritikus

yang

hanya

mengemukakan

pujian

terhadap

periwayat yang sama.
Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik
hadis. Namun, sebagian dari mereka ada yang menyatakan
bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan haruslah
relevan dengan upaya penelitian. Dan bila kritikus yang
memuji telah mengetahui juga sebab-sebab ketercelaan
periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa
sebab-sebab ketercelaannya itu memang tidak relevan, maka
kritikannya yang memuji tersebut yang harus dipilih.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kontradiktif
antara jarh dan ta’dil hanya bisa terjadi bila betul-betul tidak
ditemukan jalan penyelesaiannya. Sedangkan kontradiktif
yang masih memungkinkan dihilangkan tidak dikatakan
kontradiktif, bahkan bisa ditempuh cara lain yaitu tarjih.11
(dicari yang lebih unggul).
Seperti seorang rawi di-rajh dengan penilaian fasik
karena diketahui kefasikannya, tetapi taubat rawi itupun

11Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, op.cit., h. 79.

9

diketahui. Dengan demikian, rawi tersebut tidak termasuk
jarh/berdusta pada Rasulullah.

‫ اَذاَ كاَن اَلجاَرح ضعيفاَ فل يقبل جرحه للنثقة‬.4
Artinya:
Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan
adalah orang yang tergolong da’if, maka kritikannya
terhadap orang yang siqah tidak diterima.12
Maksudnya, apabila yang mengkritik adalah orang yang
tidak siqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang tidak
siqah, maka kritikan orang yang tidak siqah tersebut harus
ditolak.
Alasannya, orang yang bersifat siqah dikenal lebih
berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak
siqah, dalam hal ini dapat dikemukakan pernyataan al-A’raj
(w.117 H)13 berkata bahwa Abu Hurairah banyak menerima
hadis adri Nabi Muhammad saw, selalu hadir pada majlis Nabi
Muhammad saw. dan tidak akan lupa apa yang telah
didengarnya dari Nabi Muhammad saw. Pernyataan al-A’raj
menunjukkan bahwa Abu Hurairah merupakan periwayat
hadis yang siqah, karena Al-A’raj tergolong kritikus yang siqh.

‫ ليقبل اَلجرح اَل بعد اَلت ننثبت خشية اَلشاباَه فى‬.5
‫اَلجروحين‬
Artinya:
Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti
secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya
kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.14
12M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 52

13Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis. Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 52.

10

Maksudnya,

apabila

nama

periwayat

memiliki

kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain,
lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan,
maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat
dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat
adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut.
Alasanya, suatu kritikan hris jelas sasarannya. Dalam
mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik
haruslah

jelas

dan

terhindar

dari

keragu-raguan

atau

kekacauan. Pendukung teori ini adalah ulama ahli kritik hadis.

‫ اَلجرح اَلناَ شائ عن عداَوة دنيونية ليعتد ن به‬.6
Artinya:
Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami
permusuhan dalam masalah keduniawian tdak perlu
diperhatikan.15
Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat
tertentu

memiliki

perasaan

yang

bermusushan

dalam

masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik
dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.
Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah
dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur.
Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan
periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlakuk tidak
jujur karena didorong oleh rasa kebencian.16
14M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 80
15Ibid.,h. 81.
16Ibid.

11

Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya
masing-masing, maka menurut penulis, yang harus dipilih
adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih
objektif

terhadap

para

periwayat

hadis

baik

yang

berhubungan dengan intergritas kepribadiannya maupun
kapasitas intelektualnya.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa apabila
seorang rawi di-jarh oleh para ahli kritik yang siqah sebagai
rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Dan
apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima.
Para ulama Dalam menetapkan Rijal al-Hadis, telah
melaksanakan sebuah usaha untuk mengkritik perawi dan
menerangkan keadaan-keadaan mereka. Ada tiga peristiwa
penting yang mengharuskan adanya kritik atau penelitian
para perawi (sanad) hadis.17 Pertama, pada zaman Nabi
Muhammad saw. tidak seluruh hadis tertulis, kedua, sesudah
zaman Nabi Muhammad saw, terjadi pemalsuan hadis,
ketiga, perhimpunan hadis secara resmi dan massal terjadi
setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis. Hadis
sebagai sumber ajaran Islam meniscayakan adanya kepastian
validitas bersumber dari Nabi Muhammad saw.
Ulama ahli

hadis telah membuat kaidah dalam

menetapkan orang-orang yang boleh diterima dan ditolak
riwayatnya. Mana yang boleh ditulis hadisnya dan mana yang
17Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (cet.I: Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h.11.

12

tidak. Dan mereka menerangkan mana orang-orang yang
tidak boleh sama sekali diterima hadisnya; lahirlah ilmu Jarhi
wa Ta’dil.18

C. Segi-segi Rijal al-Hadis yang Diteliti
Para ulama hadis melakukan penelitian Rijal al-hadis
dengan

menggunakan

metode

yang

beragam.

Dapat

diklasifikasikan menjadi dua bentuk, pertama, Tarikhur Ruat,
kedua, Jarh wat Ta’dil. Untuk memberikan gambaran tentang
kegiatan penelitian mereka dapat dilihat dalam bentuk buku:
a. Kitab-kitab Tarikh al-Ruwat
Kitab Tarikh al-Ruwat ini berisi sejarah perawi-perawi
hadis. Membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi
dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa yang pernah
mengambil hadis dari padanya. Dan diterangkan pula dimana
dan kapan ia wafat. 19
Untuk

menulis

kitab

Tarikh

al-Ruwat,

ulama

menggunakan metode berikut:
1. Mengelompokkan perawi berdasarkan angkatan tertentu
yang disebut Thabaqat.
2. Menyusun periwayat berdasarkan tahun, dalam hal ini
penulisnya menyebutkan tahun wafat perawi, lalu menulis

18TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., h. 79.
19Fathur Rahman, Ikhtiar Mushthalahul Hadis (Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974),
h. 292.

13

biografinya dan riwayat yang disampaikan. Ini dapat dilihat
dalam kitab Tarikh al-Islam oleh al-Dzahabi.20
3. Menyusun periwayat secara alfabetis, metode seperti ini
sangat membantu para penulis yang membahas apara
periwayat hadis.
4. Menyusun

periwayat

berdasarkan

mengemukakan

para

mengemukakan

keutaman

menyebutkan

para

ulama

dari
suatu

sahabat

negeri,
satu

penulisnya
negeri

negeri,

yang

dan

kemudian

ada

disana,

menjadikannya tempat tinggal atau hanya sekedar lewat
saja, lalu menyebutkan semua periwayat secara alfabetis.
5. Menyususn berdasarkan Asma (nama asli) perawi Kun’ya,
Alqab Ansab (keturunan), dan berdasar ikhwah dan akhwat
(saudara laki-laki dan saudara perempuan).
b. Kitab-kitab Al-jarh wa al-Ta’dil21
Sehubungan dengan kitab Tarikh al-Ruwat, kitab Al-jarh
wa

al-Ta’dil

memberi

informasi

tentang

kualitas

pribadi

seorang perawi, baik dari segi integritas kepribadiannya
maupun dari segi kapasitas intelektualnya.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa usaha para
ulama hadis dalam mengerahkan segala kemampuannya
untuk melakukan penelitian terhadap rijal al-hadis dalam
dalam rangka memberikan justifikasi tentang kredibilitas para
perawi hadis, dan juga sebagai upaya untuk mengenal lebih
20Lihat, M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis’Ulumuhu wa Mushthalahahu (Beirut: Darul
Fikr, 1989), h.225.
21Fathur Rahman, Ikhtiar Mushthalahul Hadis., op.cit., h. 295.

14

dekat para periwayat hadis agar dapat mengetahui lebih rinci
tentang

kondisi

periwayat

tersebut.

Sehingga

dapat

menentukan maqbul atau mardatnya suatu hadis.

D. Kaidah al-Jarh wa Ta’dil
Jarh menurut bahasa berarti luka. Kata jarh lebih
banyak digunakan dalam bentuk abstrak (non fisik) dan juga
dalam bentuk konkrit (fisik).22
Menurut istilah, jarh adalah penolakan seorang rawi
yang hafal (hafidz) dan kuat daya ingatnya (mutqin’) terhadap
periwayatan perawi karena adanya cacat yang mencederakan
atau terhadap periwayat rawi fasik, rawi tadlis, rawi pendusta,
rawi syadz, dan lain sebagainya.23
Jadi Jarh itu adalah pengungkapan kecacatan perawi
hadis. Dengan pengungkapannya itu bisa menggunakan
periwatannya karena hal itu merupakan cacat dalam segi
‘adalah

(keta’dilan)

atau

cacat

dalam

segi

kedhabit-an

mereka.
Adapun Ta’dil menurut bahasa mempunyai beberapa
arti: 1) menegakkan, misalnya orang menegakkan hukum; 2)
membersihkan, misalnya orang membersihkan sesuatu; 3)
membuat seimbang, misalnya orang membuat seimbang
dalam penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil mempunyai tiga

22M.Rasir Ibrahim, kamus Arab-Indonesian, op.cit., h. 28.
23Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil,op.cit., h. 28.

15

pengertian, yaitu menegakkan (al-taqwin), membersihkan (altazkiyah) dan membuat seimbang (al-taswiyah).24
Menurut istilah, Ta-dil adalah menyebutkan tentang
keadaan

rawi

yang

diterima

periwayatannya.

Hal

ini

merupakan gambaran terhadap sifat-sifat seorang rawi yang
diterima. 25
Sementara itu, TM. Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan
sebagai berikut:

‫وصف اَلنر اَوي بصفاَت تو جب عداَلة يهدم اَلقبول‬
‫لرواَيته‬
Artinya:
Mendefinisikan

si

perawi

dengan

sifat-sifat

yang

dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak
penerimaan riwayatnya.26

Dapat ditegaskan bahwa menetapkan keta’dilan atau
jarh kepada seseorang memegang peranan yang sangat
penting, bahkan menurut Mahmud Ali Fayyad, menetapkan
keta’dilan itu sama dengan persaksian terhadap bersihnya
seorang perawi, dan menetapkan jarh itu sama dengan
menetapkan bahwa seorang perawi yang di-jarh itu tidak
bermoral

berdasarkan

bukti-bukti

kecacatan

seseorang,

24Ibid. h. 29
25Ibid.
26TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, op.cit., h. 327

16

betapa pentingnya persaksian ini karena pengamalan sunnah
itu bergantung kepadanya.27
Ilmuan hadis menetapkan kaedah al jarh wa ta’dil,
sebagai landasan dalam menilai rawi dalam hadis. Kaedahkaedah jarh dan ta’dil adalah sebagai berikut:
1. Bersandar

kepada

cara-cara

periwayatan

hadis,

sah

periwayatannya, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan
mereka. Ini disebut Naqdun Kharijiun atau kritik yang
datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri
hadis).
2. Berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih
atau

tidak

dan

apa

jalan-jalan

keshalihannya

dan

ketidakshahihannya, ini dinamakan Naqdun Dakhiliyun
atau kritik dari dalam hadis. 28
Dalam kaitannya dengan keadaan para periwayat,
ulama ahli hadis telah menyusun peringkat para periwayat
dilihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka.
Ulama ahli hadis tidak sepakat tentang jumlah peringkat yang
berlaku untuk al-jarh wa at-ta’dil; sebagian ulama membagi
menjadi empat perangkat; yang laim membagi menjadi lima
peringkat; dan yang lain membagi menjadi enam peringkat.29
Menurut Arifuddin Ahmad, perbedaan jumlah peringkat
bagi para periwayat hadis mengenai al-jarh wa at-ta’dil,
27Mahmud Ali Fayyad, Manhaj al-Muhadditsiin fii Dhabth as-Sunnah, diterjmahkan
oleh A. Zarksy Chumaidy (Cet.I;Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 58.
28TM. Hasbi Ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, loc.cit.
29Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Renaisan,
2005) h. 96.

17

sedikitnya disebabkan oleh tiga hal yaitu: (1) karena terdapat
perbedaan pandangan dalam penetapan bobot kualitas
terhadap

periwayatan

tertentu;

(2)

karena

terdapat

perbedaan lafal untuk penyifatan kualitas periwayat yang
sama; (3) karena dari kalangan ulama ada yang tidak
konsisten dalam menyifati periwayat tertentu.30
Dengan

demikian,

dapat

ditegaskan

bahwa

kritik

terhadap para periwayat, ulama ahli hadis cukup hati-hati,
baik dari segi keterpujian maupun dari segi ketercelaan.
Adapun kritik dari dalam hadis (naqdun dakhiliyun),
Arifuddin Ahmad menegaskan bahwa apabila argumenargumen yang diujikan untuk matan hadis bersangkutan
telah memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, maka matan
hadis

bersangkutan

adalah

sahih.

Sebaiknya,

apabila

argumen-argumen yang diajukan tidak memenuhi kaidah
kesahihan matan, maka matan hadis bersangkutan adalah
dhaif pula.

31

Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditegaskan
bahwa, apabila penelitian itu dilakukan secara cermat dan
menggunakan pendekatan yang tepat maka dapat dipastikan
bahwa setiap sanad yang sahih pasti memiliki matan yang
sahih, sebab adanya syadz dan atau illat pada matan tidak
terlepas dari kelemahan pada sanad, hal ini disebabkan
pendekatan

yang

digunakan

dalam

mengambil

natijah

terhadap penelitian sanad ataupun matan kurang tepat.
30Ibid
31 Ibid., h. 128.

18

Misalnya

sikap

periwayat;

yang

longgar

penelitian

dalam

terhadap

menilai

seorang

lambang-lambang

periwayatan yang kurang cermat dan matan hadis yang
diteliti tampak bertentangan dengan matan hadis atau dalil
lain yang lebih kuat dinyatakan sebagai hadis yang dhaif,
padahal, hadis yang bersangkutan mungkin sifatnya berbeda,
yang satu bersifat universal dan yang lain bersifat temporal
atau

lokal,

kekeliruan

disebabkan

oleh

kesalahan

menggunakan pendekatan penelitian.
E. Maratib al-Jarh wa at-Ta’dil
Para
semuanya

perawi
dalam

yang
satu

meriwayatkan
derajat

dari

hadis

segi

bukanlah

keadilan

dan

kedhabitan. Diantara mereka ada yang hafalannya sempurna,
ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula
yang sering lupa dan salah.
Oleh karena itu, para ulama menetapkan tingkatan jarh
dan ta’dil. Dan lafazh-lafazh yang menunjukkan pada setip
tingkatan, sehinga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan, dan
tingkatan jarh ada enam juga.32 Hal ini ditegaskan pula oleh
al-Sakhawi dengan membuat tingkatan al-jarh dan al-ta’dil
menjadi enam tingkatan.33
Inilah urutan (tartib) tingkatan al-jarh dan al-ta’dil
dengan menggunakan bentuk genap (berpasangan) secara
bertingkat mulai dari bentuk al-ta’dil yang paling kuat sampai
32Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol
Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis (cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005),
h. 85.
33Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, op.cit., h. 60.

19

yang terlemah, dan mulai dari bentuk al-jarh yang paling
lemah sampai dengan yang paling kuat.
1. Peringkat ta’dil dan lafal-lafalnya
Tingkat pertama: yang menggunakan bentuk superlatif
dalam penta’dilan atau dengan menggunakan wazan “af
ala”34 yang menunjukkan arti “sangat” dalam kepercayaan,
seperti ucapan:

‫اوثق النا س‬

a.

b. ‫اثبت الناس‬

= orang yang paling dipercaya
= orang yang paling teguh

c. ‫اليه المنتهى فى التثبيت‬
hati dan

= orang yang paling top keteguhan

lidahnya35

Tingkat kedua: dengan mengulang-ulang lafal ‘adalah
dua kali atau lebih baik yang diulangnya itu, bentuk lafaknya
sendiri, seperti ‫ = ثبت ثبت‬orang yang teguh lagi teguh, atau
yang diulangnya itu dalam bentuk maknanya seperti ucapan
mereka ‫ =ثقة حججة‬orang yang dipercayai lagi pula hujja dan ‫ثقة‬
‫ = ثبت‬orang yang dipercayai lagi pula teguh.36
Setiap

pengulangan

lafal

yang

lebih

banyak,

itu

menunjukkan atas kuatnya tingkatan rawi di dalam segi
‘adalah-nya.
Tingkatan ketiga: yaitu lafal yang menunjukkan pada
tingkatan

rawi

yang

mencerminkan

kedhabithan,

atau

menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan

34Syaikh Manna’ AL-Qaththan,op.cit., h. 88.
35

Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa
Ta’dil, Loc. Cit.

36

Ibid., h. 61

20

atas hal itu. Seperti ucapan:

‫ =ثبت‬orang yang teguh (hati

dan lidahnya), ‫ =ثقة‬orang yang tsiqah, ‫ =حججة‬seorang tokoh,
dan,

‫ = متقن‬orang yang meyakinkan (ilmunya).37
Tingkatan keempat: yaitu lafal-lafal yang menunjukkan

kepada

tingkatan

perawi

yang

tidak

mencerminkan

kedhabithan penuh, atau yang menunjukkan adanya keadilan
tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian.
Seperti

ucapan

‫=صدوق‬

jujur,

‫به‬

mengapa

‫لبأس‬tidak

dengannya, menurut selain Ibnu Ma’in, sebab menurut ibnu
Ma’in kalimat adalah tsiqah, kemudian ‫ = لبأس به‬tsiqah.
kemudian

‫ =خيارالناس‬orang pilihan. Imam al-Sakhawi berkata

setelah

menyebutkan

berikut”

sesungguhnya

tingkatan-tingkatan
penetapan

pada

ta’dil
ahli

sebagai

tingkatan-

tingkatan yang dijadikan hujjah dengan keempat tingkatan
yang

pertama,

diantaranya.”38

Ucapannya

bersesuaian

dengan kelompok mu’tadilin ulama al-jarh wa al-ta’dil. Para
pengkaji mengetahui bahwa sebagian ulama mengemukakan
bahwa

pemilik

tingkatan

keempat,

hadisnya

ditulis,

diperhatikan, dan diberitahukan hadisnya sehingga diketaui
kedhabithannya.
Tingkatan kelima: lafal-lafal yang menunjukkan pada
tingkatan perawi yang terlintas persyaratan dhabith, tetapi

37

Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa
Ta’dil,op.t., h. 62.

38

Ibid., h. 64

21

lebih kecil kedhabithannya daripada tingkatan keempat.
Seperti ucapannya:39
.sesuatu mendekati hadisnya =

‫ما اقرب‬

‫حديثه‬
hadisnya baik =

‫صالح‬

‫الحديث‬
guru yang baik =

‫شيخ‬

‫صالح‬
Tingkatan keenam yaitu: lafal-lafal yang menunjukkan
pada tingkatan rawi yang memilki sifat-sifat adalah yang
tidak kuat seperti ucapan:40
insya Allah dia jujur =

‫صدوق ان‬

‫شاءال‬
‫ = ارجو ان ل باس به‬orang yang diharapkan tsiqat atau tidak cacat.
.orang yang sedikit kesalihannya =
‫صويلح‬
ditulis hadisnya, dan =
‫يكتب حديثه‬
dii’tibarkan hadisnya (hanya untuk =
dipertimbangkan hadisnya)

‫يعتبر‬
‫به‬

Adapun hukum tingkatan ini menurut Syaikh Manna alQaththan adalah:

39

Ibid., h. 65.

40

Ibid., h. 67.

22

a. Untuk tiga tingkatan yang pertama, dapat dijadikan
hujjah, tetapi meskipun sebagian besar mereka lebih
kuat dari sebagian yang lain.
b. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa
dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan
diuji kedhabithan mereka dengan membandingkan hadis
mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dhabith,
jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan
hujjah, jika tidak sesuai maka ditolak, meskipun dia dari
tingkatan kelima yang lebih rendah dari tingkatan
keempat.
c. Sedangkan tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan
hujjah, tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan
sebagai pertimbangan saja bukan untuk pengujian,
karena mereka tidak dhabith.
d. Dengan demikian dapat dtegaskan bahwa rawi-rawi
yang ditolak hadisnya untuk dijadikan hujjah, dalam segi
keagamaannya ialah orang-orang baik dan ‘adalah,
namun

ketercelaanya

hanyalah

dari

segi

kedhabithannya saja (daya hafal dan daya ingat) kurang
baik.41
2. Peringkat Jarh dan lafal-lafalnya.
Tingkatan

pertama:

yang

menunjukkan

adanya

kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan aljarh (kritikan) seperti:

41

Syaikh Manna’ AL-Qaththan,op.cit., h. 89.

23

‫ = لين الحديت‬lemah hadisnya, atau ‫ =فيه مقال‬adanya ada
kelemahan,

dan

‫= او تى‬di dalamnya

‫مقا ل فيه‬

pembicaraan yang paling rendah.
Tingkat kedua: yang menunjukkan adanya kelemahan
terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah,
seperti:

‫=ليحتجج به‬tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya; dan

‫=واه‬hadis lemah; serta ‫ منكر الحديت‬hadis yang ditolak dan juga
‫ =له منا كير‬memiliki hadis-hadis munkar.
Tingkatan ketiga: yang menunjukkan lemah sekali dan
tidak boleh ditulis hadisnya seperti; ‫ =ضعيف ججدا‬lemah sekali,
‫ =ليكتب حديثه‬tidak dicatat

hadisnya,

‫ =طرح حديثه‬hadisnya

dibuang, ‫ =مر دود الحديث‬hadisnya ditolak.
Tingkatan keempat: yang menunjukkan tuduhan dusta
atau pemalsuan
bohong,

hadis, seperti;

‫ =متهم بالكذب‬tertuduh

‫ =متروك الحديث‬hadisnya ditinggikan;

‫ليس بالقوى‬tidak

kuat, ‫ =فيه نظر‬perlu diteliti hadisnya.
Tingkatan kelima: yang menunjukkan sifat dusta atau
pemalsu

dan

pembohong;

semacamnya,

seperti;

‫ = رجال‬orang yang penipu;

‫=كذاب‬orang

yang

‫ =وجضاع‬orang yang

pendusta atau pemalsu hadis; ‫= يكذب‬orang yang berbohong.
Tingkatan keenam: yang menunjukkan adanya dusta
yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan, seperti;
‫فلن اكذب‬

orang yang paling bohong =
‫الناس‬

‫أوضع‬

orang yang paling dusta =
‫الناس‬

24

‫اليه المنتهى فى الو ضع‬

= orang yang paling top kedustaanya42

Adapun hukum tingkatan-tingkatan al-jarh ini, Manna AQaththan menegaskan bahwa:
Untuk dua tingkatan pertama tidak dijadikan sebagai
hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk
diperhatikan saja, dan walaupun orang pada tingkatan kedua
lebih rendah daripada tingkatan pertama sedangkan empat
tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak
boleh ditulis dan tidak boleh dianggap sama sekali.43
Terhadap ta’dil boleh diterima tanpa menyebutkan
alasan dan sebabnya menurut pendapat yang shahih dan
masyhur,

karena

sebabnya

banyak

sehingga

sulit

menyebutkannya.
Sedangkan jarh tidak boleh diterima kecuali dengan
alasannya, karena hal itu terjadi disebabkan satu masalah
dan tidak tulis menyebutkannya. Dan karena setiap orang
berbeda dalam sebab-sebab jarh-nya. Ulama yang men-jarh
seorang

perawi

karena

berdasarkan

pada

apa

yang

diyakininya sebagai jarh. Belum tentu dapat dijadikan alasan
bagi orang lain. Oleh karenanya harus dijelaskan sebab jarh
untuk dapat dilihat apakah itu benar suatu cacat atau bukan.
F. Sikap Kritikus Hadis dalam Menilai Rijal al-Hadis
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik
hadis ada yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar”
42

Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa
Ta’dil, op.ci.t., h. 68-73

43

Syaikh Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadis,
Op.cit.,h. 90

25

(tasahhul), dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni
“moderat” (tasawut).44
Ulama yang dikenal sebagai mutasyaddid ataupun
mutasahil, ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai
kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam
menilai kelemahan atau kepalsuan hadis. An-Nasa’i (wafat
303 H/915 M) dan ‘Ali bin ‘Abdillah bin Ja’far as-Sa’di alMadini (wafat 234 H/849 M) dikenal sebagai mutasyaddid
dalam menilai kesiqaan periwayat, yang berarti juga dalam
menilai kesahihan suatu hadis.
Selanjutnya, Al-Hakim an-Naisaburi (Wafat 911 H/1505
M) dikenal sebagai mutasahil dalam menyatakan kepalsuan
suatu hadis, dan az-Zahabi (wafat 748 H/1348 M) dikenal
sebagai mutawasit dalam menilai periwayat dan kualitas
hadis. penggolongan ini bersifat umum dan tidak untuk setiap
penelitian yang mereka hasilkan.45
Adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam
menilai periwayat dan kualitas hadis tersebut, berarti bahwa
dalam penelitian hadis yang nilai tidak hanya para periwayat
hadis saja, tetapi juga para kritikusnya, dan sekiranya terjadi
perbedaan dalam mengetik, maka sikap kritikus harus
menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan isi kritik
yang lebih obyektif.

44

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,
Op.cit., h.74

45

Ibid. h.75

26

Dalam hubungan ini, ulama telah mengemukakan
beberapa syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan
sebagai al-jarh wal-muaddil;
1. Alim
2. Bertaqwa
3. Wara’
4. Jujur
5. Tidak terkena Jarh
6. Tidak fanatic terhadap sebagai perawi
7. Memahami dengan baik sebab-sebab Jarh.46
G. Kitab-kitab Rujukan
Berikut ini dikemukakan kitab-kitab rijal dengan lebih
mengacu kepada susunan yang dikemukakan oleh Mahmud
At-Tahhan.
a. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat
Nabi

‫ب‬
‫ب بفصى حمصعبر حفة بال صا ح صصححا ب‬
‫ا حل صإبصسبتيصحعا ب‬
Susunan Ibnu’ Abdil-Barr (wafat 463 H/1071 M).

‫اسد العاب فى معر فة الجصحابة‬
Susunan Izud-Din Ibnul-Asir (wafat 630 H/ 1232 M).

‫الصابة فى تمييز الجصحابة‬
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/ 1449 M).
b. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat
hadis yang disusun berdasarkan tingkatan para periwayat
(tabaqatur-ruwah) dilihat dari segi tertentu:
46Noor Sulaiman PL., Antologi Ilmu Hadis. (Cet. II; Gaung Persada Press, Jakarta:
2009), h.177

27

‫الطلبقات الكبرى‬
Susunan Ibnu Sa’ad (wafat 230 H).

‫كتاب تذكرة الحقا ظ‬
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi (wafat 748 H/
1348 M).
c. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis secara
umum:

‫التاريخ الكبير‬
Susunan al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M).

‫الجرح والتعديل‬
Susunan Ibnu Abi Hatim ar-Razi (wafat 328 H).
d. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk
kitab-kitab hadis tertentu:

‫الهد اية و الرشاد فى معر فة أهل الثقة و السداد‬
Susunan Ahmad bin Muhammad al-Kalabazi (wafat 318 H).

‫التذكر ة بر جال العشرة‬
Susunan Muhammad bin ‘Ali al-Husaini (wafat 765 H).
kitab yang membahas para periwayat hadis di kitab-kitab
hadis

dari

keempat

tokoh

mazhab

figh

yang

tidak

dijelaskan oleh Tahzibul-Kamal karya al-Mizzi di atas.

‫تعجيل المنفعة بزواند ر جال ال ئمة الربعة‬
Susunan Ibnu Hajar al-A’Asqalan.

e. Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis:
(1)Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat
yang nilai berkualitas siqah oleh penyusunnya:

28

‫كتاب الثقات‬
Susunan Abul-Hasan Ahmad bin’
Abdilah al-‘Ijli (wafat 261 H)

‫كتاب الثقات‬
Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban
al-Busti (wafat 354 H / 965 M)

‫تاريخ أسماء الثقات ممن نقل عنهم العلم‬
Susunan ‘Umar bin Ahmad bin Syahin (wafat 383 H).
(2)Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat
yang dinilai lemah (da’if) oleh penyusunnya:

‫ الكبير‬-‫الضعفاء‬
Susunan al-Bukhari

‫الجضعفاء – الجصغير‬
Susunan al-Bukhari

‫الضعفاء والمتروكون‬
Susunan an-Nasa’i.

‫كتاب الجضعفاء‬
Susunan Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-Uqaili (wafat
323 H).

‫معر فة المجروحين من المحجدثين‬
Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban
al Busti.
(3) Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat
hadis yang kualitas mereka dipersoalkan:

‫الكا مل فى ضعفاء الجر جال‬
Susunan Abu Ahmad ‘Abdullah

29

‫ميز ان ال عتد ال فى نقد الجرجال‬
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi.

‫ميزان الميز ان‬
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani
f. Kitab-kitab

yang

membahas

para

periwayat

hadis

berdasarkan Negara asal mereka:

‫تاريخ الواسط‬
Susunan Bahsyal (Abul-Hasan Aslam bin Syahl) al-Wasiti
(wafat 288 H)

‫مختصر طبقات علماء افر يقجية وتو نس‬
Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis
di Shahih al-Bukhari.

‫رجال صحيح مسلم‬
Susunan Ahmad bin ‘Ali al-Asfahani (wafat 428 H).

‫الجمع بين رجال الجصحيحين‬
Susunan

Ibnul-Qaisarani

(Muhammad

bin

Tahir

ar-

Maqdisi) (wafat 507H).
Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis
di Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.

‫التعر يف بر جال المؤطا‬
Susunan Muhammad bin Yahya at-Tamimi (wafat 416 H).
Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis
di Muatta’ Malik
(6)

Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis al-

Kutubus-Sittah (enam macam kitab hadis standar, yakni

30

Sahih al-Bukhari Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan
at-Tirmizi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah):

‫الكمال فى أسماء الجرجال‬
Susunan ‘Abdul-Gani al-Maqdisi (wafat 600 H). kitab
tersebut merupakan perintis kitab Rijal yang membahas
para periwayat al-Kutubus Sittah. Kitab-kitab yang berisi
penyempurnaan

‫تهذيب الكمال‬
Susunan Abu-Hajjaj Yusuf bin az-Zaki al-Mizzi (wafat 742
H)

‫اكمال تهذيب الكمال‬
Susunan ‘Alaud-Din Muglataya (wafat 762 H).

‫تذهيب التهذيب‬
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi (wafat 748
H/1348 M).

‫الكاشف فى معر فة من له رواة فى الكتب الجستة‬
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi.

‫تهذيب التهذيب‬
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/1449 M).

‫تقريب التهذيب‬
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani.

‫خلصة تذهيب تهذيب الكمال‬
Susunan Saifud-Din Ahmad ‘Abdillah al-Khazrahji (wafat
924 H).

31

(7)

Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis di

sepuluh kitab hadis, yakni al-Kutubus-Sittah dan kitabkitab dari keempat tokoh mazhab fiqh (Muatta’Malik,
Musnad asy-Syafi’I Musnad Ahmad, dan Musnad yang
dihimpun oleh Husain bin Muhammad bin Khusr dari
hadis-hadis riwayat Abu Hanafiah):

‫تاريخ الجرقة‬
Susunan Muhammad bin Sa’id al-Qusyairi

‫تاريخ داريا‬
Susunan Abu ‘Abdillah ‘Abdul-Jabbar ad-Darani (wafat
370 H).

‫ذكر أخبار الصفهان‬
Susunan Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdillah al-Asbahani
(wafat 430 H).

‫تاريخ جرجان‬
Susunan Abul-Qasim Hamzah bin Yusuf as-Sahmi (wafat
427 H).

‫تاريخ بغداد‬
Susunan Ahmad bin ‘Ali bin Sabit al-Khatib al-Bagdadi
(wafat 463 H).
(8)

Kitab-kitab yang membahas ‘illat hadis:

‫علل الحديث‬
Susunan Ibnu Abi Hatim ar-Razi (wafat 328 H).

‫العلل ومعر فة الجر جال‬
Susunan Ahmad bin Hambal

‫العلل‬

32

Susunan Ibnul-Madini (wafat 234 H)

‫الكبير‬-‫العلل‬
Susunan at-Turmuzi (wafat 279 H/892 M).

‫الجصغير‬-‫العلل‬
Susunan at-Turmuzi

‫العلل الوارد ة فى الحاديت النبوجية‬
Susunan a-Daraqutni (wafat 385 H/995 M).47
Judul-judul kitab rijal hadis yang dikemukakan di atas
lebih dari empat puluh macam. Seluruh kitab tersebut
termasuk lengkap dan ideal sekali untuk meneliti sanad
hadis.

47Lihat Mahmud at-Tahhan, Usul at-takhrij wa Dirasat al-Asanid (Riyadl: Maktabah alMa’arif, 1978). h. 168-206.

33

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas, penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Ilmu rijal al hadis adalah ilmu yang sangat tinggi nilainya, dan
besar pengaruhnya. Karena dalam ilmu ini diterangkan
berbagai aspek yang berhubungan dengan para perawi,
terutama integritas kepribadian dan kapasitas keilmuannya.
2. Penetapan

teknik

oleh

para

ulama

ahli

kritik

hadis

dimaksudkan agar penelitian terhadap para periwayat hadis
dapat lebih objektif dalam menentukan apakah hadis tersebut
daapt diterima atau ditolak.
3. Penelitian terhadap berbagai segi rijal al hadis adalah dalam
rangka memberikan justifikasi tentang kredibilitas para perawi
hadis. Juga sebagai upaya untuk mengenai lebih dekat para
periwayat hadis agar dapat mengetahui secara rinci kondisi
periwayat tersebut.
4. Kaedah al-jarh wa ta’dil bertujuan untuk melakukan penelitian
secara

cermat,

baik

terhadap

para

periwayat

maupun

terhadap hadis itu sendiri.
5. Para perawi yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada
dalam satu derajat dari segi keadilan dan kedhabitan. Di
antara mereka ada yang kurang dari hafalan, dan ada pula
yang sering lupa dan salah. Karena itu, para ulama ahli kritik

34

menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil beserta lafal-lafalnya
untuk menentukan hadis yang dapat dijadikan hujjah.
6. Sikap kritikus hadis dalam menilai rijal al hadis berbeda-beda,
ada yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahhul),
dan ada yang “moderat” (tawassut).
7. Kitab-kitab rujukan rijal al hadis sebagai dikemukakan oleh Dr.
Mahmud at-Tahhan lebih dari empat puluh macam dan seluruh
kitab tersebut termasuk lengkap dan ideal untuk meneliti para
perawi hadis dari berbagai aspeknya.

35

DAFTAR PUSTAKA
Ali

Fayyad,

Mahmud,

Manhaj

al-

Muhadditsiin fii Dhabth as-Sunnah,
diterjemahkan
Chumaidy.

oleh

Cet.

I;

A.

Zarkasyi

Jakarta:

CV.

Pustaka Setia, 1998.
Ahmad,

Arifuddin,

Memahami

Paradigma

Hadis

Baru

Nabi.

Cet.I;

Jakarta: Renaisan, 2005.
Al-Shahih,

Subhi,

Ulum

al-Hadis

wa

Mustalahahu. Beirut: Dar al-Ilmu al
Malayin, t.t.
Al-Khatib,

M.

Ajjaj,

Ushul

al-Hadis

‘Ulumuhu wa Mustalahahu. Beirut:
Darul Fikr, 1989.
At-Qaththan, Syaikh Manna’, Mabahis, fi
Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh
Mifdhol Abdurrahman dengan judul
Pengantar Studi Ilmu Hadis. Cet. I;
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
At-Tahhan, Mahmud, Usul at-Takhrij wa
Dirasah al-Asanid. Riyadl: Maktabah
al-Ma’arif, 1978.
Bustamin

dan

Metodologi

M.

Isa

Kritik

H.A.
Hadis.

Salam,
Cet.

I;

36

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004.
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
Cet.IV; Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1999.
Heahim, M. Rasir, Kamus Arab-Indonesia.
Surabaya: Apollo, t.t.
Ismail, M. Syuhudi, Metodolodi Penelitian
Hadits Nabi. Cet.I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis, Cet.II;
PT. Bumi Aksara, Jakarta: 2002.
Muhammad Abdullatif, Abdul Mawjud, Ilmu Jarh wa Ta’dil,
diterjemahkan oleh Al-Zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para
Perawi dan Pengimplementasinya. Cet. I; Bandung: Gema
Media Pusakatama, 2003.
Rahman,

Fathar,

Ikhtisar

Mushthalahul

Hadis. Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1974.
Shihab,

M.

Quraish,

Membumikan

al-

Quran. Cet. XX; Bandung: Mizan,
1999.
Sulaiman PL., Noor. Antologi Ilmu Hadi.
Cet. II; Gaung Persada Press, Jakarta:
2009.

37

Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan
Metodologis.
2003.

Yogyakarta:

Liberty,