Perlindungan Hukum terhadap Dosen Perguruan Tinggi Swasta yang di-PHK

BAB II
SISTEM PERJANJIAN KERJA YANG DILAKUKAN OLEH PERGURUAN
TINGGI SWASTA DENGAN DOSEN

A. Perjanjian Kerja Menurut Peraturan Perundang-undangan
1. Kitab Undang Hukum Perdata
Istilah perjanjian kerja ini menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja,
yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi
berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan
kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat tentang
perburuhan.32 Dengan demikian adalah kurang tepat bila Wirjdono Prodjodikromo
menggunakan istilah perburuhan untuk menunjuk istilah perjanjian kerja. Sedangkan
untuk perjanjian kerja beliau menggunakan istilah persetujuan perburuhan bersama.33
Prof. Subekti juga menggunakan secara kurang tepat istilah persetujuan perburuhan
untuk perjanjian perburuhan diberinya nama persetujuan perburuhan kolektif.34
Perjanjian

kerja

yang


dalam

bahasa

belanda

biasa

disebut

Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam berbagai pengertian. Pengertian yang

32

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2003),

hal 70
33

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu dalam

Imam Soepomo, Ibid.
34
Subekti dan Tjirosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan Keempat, hal
358-362 dalam Imam Soepomo, Ibid

18
Universitas Sumatera Utara

pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601 a KUH Perdata, mengenai perjanjian
kerja disebutkan bahwa :
“perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu si buruh,
mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak lain, si majikan untuk
suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”
Selain itu pengertian mengenai perjanjian kerja yang menerangkan bahwa
perihal pengertian tentang perjanjian kerja, mengemukakan bahwa ;
“perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh,
mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya,
majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan
membayar upah”35
Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai perjanjian kerja,

khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601 a KUH Perdata tersebut
dikemukakan perkataan “dibawah perintah” maka perkataan inilah yang merupakan
norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian kerja dengan
perjanjian perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “dibawah”

ini mengandung arti

bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk pada pihak lainnya,
atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain berarti ada unsur wewenang perintah
dan dengan adanya wewenang perintah berarti antara kedua belah pihak ada
kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi disini ada pihak yang
kedudukannya di atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di
35

Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Alumni,1977), hal 63

Universitas Sumatera Utara

bawah, yaitu yang diperintah.36 Maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh
mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari pihak majikan.

Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan yang satu, yaitu si
buruh atau pekerja, adalah tidak sama dan seimbang dengan pimpinannya yaitu
kedudukan si buruh berada di bawah, jika dibandingkan dengan kedudukan dari pihak
majikan. Dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja, maka
kedudukan hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam kedudukan yang sama
atau seimbang.
Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada
umumnya seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu seperti yang ditentukan
pada Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah
suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut perikatan yang di
dalamnya terdapat hak dan kewajiban masing masing pihak. Jelas di dalam pasal
tersebut bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama
dan seimbang.
Ketentuan tentang perjanjian kerja antara para pihak yang mengadakan
perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang
sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai aspek yang melingkari disekelilingnya (Sosial dan Ekonomi), maka kenyataan menunjukkan bahwa

36


Djumaji, Perjanjian Kerja, (Jakarta: Bina Aksara,1977), hal 14

Universitas Sumatera Utara

kedudukan dan derajat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut
menjadi tidak sama dan seimbang.
Selanjutnya jika dilihat dari segi obyeknya, maka perjanjian itu mirip dengan
perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu
menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan pembayaran
tertentu. Namun perbedaannya antara satu dengan yang lainnya, bahwa pada
perjanjian kerja ada terdapat gabungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dan
majikan. Sedangkan pada perjanjian pemborongan tidak ada hubungan semacam itu,
melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya mandiri.37
Perjanjian kerja merupakan bukti dari suatu ikatan hukum yang mengatur
serta melahirkan hak dan kewajiban. Perihal perjanjian menurut R.Wirjono
Prodjodikoro:
“…perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dan
orang, lebih tegas lagi antara seorang tertentu dan orang lain tertentu. Artinya
hukum BW tetap memandang suatu perjanjian sebagai perhubungan hukum di
mana seorang tertentu, berdasarkan atas suatu janji, berwajib untuk

melakukan sesuatu hal, dan orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan
kewajiban itu.38
1.a.Unsur-Unsur Di Dalam Perjanjian Kerja
Dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan
Pasal 1320 KUH Perdata tersebut masih juga menjadi pegangan dan harus diterapkan,

37

Sri Soedewi Maschun Sofwan, Hukum Bangunan, (Yogyakarta: Perjanjian Pemborongan
Bangunan,1982), hal 52
38
R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum perjanjian, (Bandung : Mandar
Maju,2000),hal. 7 Beberapa ahli hukum memiliki perbedaan paham tentang verbintenis . R.Wirjono
Prdjodikoro menyebut verbintenis sebagai perjanjian, sedangkan J.Satrio menyebut dengan perikatan

Universitas Sumatera Utara

agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan
konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap berpedoman

pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain yang
harus mereka penuhi, menurut seorang pakar hukum perburuhan dari negeri Belanda,
yaitu Mr.M.G.Rood, beliau menyebutkan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada,
manakala di dalam perjanjian kerja tersebut telah memenuhi 4 syarat yaitu berupa
unsur-unsur yang terdiri dari:39
1. Adanya Unsur Work atau Pekerjaan
Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang
diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja
tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri, haruslah
berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja. Pekerja yang melaksanakan
pekerjaan atas dasar perjanjian kerja tersebut, pada pokoknya wajib untuk
melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak itu bebas untuk melaksanakannya
perkerjaannya itu, untuk dilakukan sendiri atau menyuruh pada orang lain untuk
melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan
dari perjanjian kerja. Bahkan di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, dinyatakan
bahwa upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan.

39

M.G.Rood, mengemukakan ketentuan tentang unsur unsur yang harus dipenuhi di dalam

perjanjian perjanjian kerja tersebut, sewaktu bertindak sebagai tenaga penatar terhadap dosen dosen
Hukum Perburuhan seluruh Indonesia, di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, (risalah Seminar) tanggal
7 sampai dengan 19 Agustus 1989

Universitas Sumatera Utara

Ketentuan tersebut di atas, bisa disebut When do not work, do not get pay,
maksudnya dari kalimat tersebut adalah jika seseorang tidak mau bekerja, maka
berarti seseorang tersebut tidak berkehendak untuk mendapatkan upah. Walaupun
demikian di dalam pelaksanaannya, jika seseorang atau pihak pekerja, sewaktu akan
melaksanakan pekerjaannya sebagai implementasi dari isi yang tercantum dalam
perjanjian kerja, akan tetapi berhalangan.40 Ternyata ketentuan tersebut bisa
dikesampingkan, yaitu dalam pelaksanaannya tenyata pekerjaan tersebut bisa
diwakilkan atau digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah
diberitahukan dan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak lain, yaitu si
majikan selaku pemberi kerja. Ketentuan ini bisa didapat dalam Pasal 1383 KUH
Perdata jo 1603 a KUH Perdata jo Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang
Perlindungan Upah.
Adapun bunyi dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 1383 KUHPerdata berbunyi:

“suatu perjanjian untuk berbuat sesuatu tak dapat dipenuhi oleh seseorang dari
pihak ketiga berlawanan dengan kemauan si berpiutang ini mempunyai
kepentingan supaya perbuatannya dilakukan sendiri oleh si berpiutang”.

40

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan,(Jakarta:Djambatan,1983), hal 35

Universitas Sumatera Utara

Adapun bunyi Pasal 1603 a KUHPerdata adalah:
“buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan izin majikan
ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya” (Pasal 1383
KUHPerdata)
2. Adanya Unsur Service atau Pelayanan41
Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai manifestasi
adanya perjanjian kerja tersebut, pekerja haruslah tunduk pada perintah orang lain,
yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk dan di bawah perintah orang lain, si
majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa si pekerja dalam
melaksanakan pekerjaannya berada di bawah wibawa orang lain, yaitu si majikan.

Dengan adanya ketentuan tersebut maka seorang dokter misalnya dalam
melaksanakan tugasnya, yaitu memeriksa dan atau mendiaknosa pada pasiennya atau
seorang notaris yang melayani kliennya, mereka itu dalam melakukan pekerjaannya,
tidak bisa disamakan dengan pengertian melaksanakan perjanjian kerja.
Alasannya, karena unsur service dalam melakukan pekerjaan tersebut tidak
terdapat di dalamnya. Sebab mereka itu dalam melakukan pekerjaannya, tidak
tunduk dan di bawah perintah orang lain. Karena mereka mempunyai keahlian
tertentu yang tidak dipunyai dan dikuasai si pemberi kerja, yaitu si pasien atau klien.
Di samping itu, di dalam melaksanakan pekerjaannya pekerjaan itu harus bermanfaat
bagi si pemberi kerja, misalnya jika dalam suatu perjanjian kerja yang mereka buat,
dinyatakan bahwa bidang pekerjaan yang dijanjikan adalah suatu pekerjaan
41

Ibid

Universitas Sumatera Utara

pengerasan atau pengaspalan jalan. Maka pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya
haruslah bermanfaat bagi si pemberi kerjanya, misalnya sejak si pekerja bekerja
memecah batu dan menghamparkannya di sepanjang jalan yang sedang diperkeras

atau di aspal. Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan bahwa prinsip dalam
unsur ini adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh si pekerja dan harus
bermanfaat bagi si pemberi kerja, dan sesuai dengan apa yang dimuat di dalam isi
perjanjian kerja.
Karena itu jika suatu pekerjaan yang tujuannya bukan untuk memberikan
manfaat bagi si pemberi kerja, tetapi mempunyai tujuan untuk kemanfaatan si pekerja
itu sendiri. Maka tujuan si pekerja melakukan pekerjaan misalnya untuk kepentingan
praktek seorang siswa atau mahasiswa, maka perjanjian tersebut jelas bukan
merupakan perjanjian kerja.
3. Adanya Unsur Time atau Waktu Tertentu
Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundangundangan. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tidak boleh
melakukan kehendak dari si majikan dan juga boleh dilakukan dalam kurun waktu
seumur hidup, jika pekerjaan tersebut dilakukan selama hidup dari pekerja tersebut, di
sini pribadi manusia akan hilang, sehingga timbullah apa yang dinamakan
perbudakan dan bukan perjanjian kerja.42 Pelaksanaan pekerjaan tersebut di samping
harus sesuai dengan isi dalam perjanjian kerja, juga si majikan. Dengan kata lain
42

Djumialdji, Loc,cit, hal 16

Universitas Sumatera Utara

dalam rangka pelaksanaan pekerjaannya, si buruh tidak boleh bekerja dalam waktu
seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, dan juga pelaksanaan
pekerjaannya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan,
kebiasaan setempat dan ketertiban umum.
4. Adanya Unsur Pay atau Upah
Jika seseorang yang bekerja, dalam melaksanakan pekerjaannya bukan
bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah selain
upah, maka pelaksanaan pekerjaan tersebut sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan
dari perjanjian kerja. Selanjutnya jika seseorang yang bekerja tersebut bertujuan
untuk mendapatkan manfaat bagi diri si pekerja dan bukan untuk bertujuan mencari
upah. Maka unsur keempat dalam suatu perjanjian kerja ini, yaitu unsur pay atau
upah, maka hubungan tersebut bukan implementasi dari pelaksanaan suatu perjanjian
kerja. Upah maksudnya adalah imbalan prestasi yang wajib dibayar oleh majikan
untuk pekerjaan itu.43
Jika pekerja diharuskan memenuhi prestasi yaitu melakukan pekerjaan di
bawah perintah orang lain yaitu si majikan, maka majikan sebagai pihak pemberi
kerja wajib pula memenuhi prestasinya, berupa pembayaran atas upah. Dalam hal
menguraikan tentang upah, adalah merupakan kewajiban yang esensial dari majikan,
juga merupakan suatu hubungan kontraktual antara penerima kerja, yaitu si buruh
dengan pemberi kerja, yaitu si majikan. Pemberian si majikan, yang sifatnya tidak
43

M.G.Rood, Hukum Peburuhan (Bahan Penataran) Fak.Hukum Unpad, Bandung 1989, hal 3

Universitas Sumatera Utara

wajib, sesuai dengan yang ditentukan di dalam perjanjian kerja atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang sifatnya tidak mengikat untuk
dilaksanakan, maka pemberian tersebut tidak bisa dikategorikan atau diklasifikasikan
sebagai upah, sebagai misalnya berupa bonus, persenan dan tunjangan Hari raya dan
lain sebagainya. Karena yang disebut dengan upah, adalah imbalan yang diberikan
oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus-menerus.
Pembayaran upah itu pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang,
namun demikian dalam praktek pelaksanaan sesuai dengan peraturan perundangundangan, tidak mengurangi kemungkinan pemberian upah dalam bentuk barang,
tetapi jumlahnya harus dibatasi.
1.b.Bentuk dan Isi Perjanjian Kerja
Tidak ada 1 (satu) pun peraturan yang mengikat bentuk dan isi perjanjian,
karena dijamin dengan Asas Kebebasan Berkontrak yakni suatu asas yang
menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian)
yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak tersebut
dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dengan memperhatikan Pasal
1320, Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata.
1.c.Kewajiban Para Pihak Menurut KUH Perdata
Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur/memuat
hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Takaran hak dan kewajiban
masing-masing pihak haruslah seimbang. Oleh sebab itu, hakikat hak pekerja/buruh

Universitas Sumatera Utara

merupakan kewajiban pengusaha dan sebaliknya hak pengusaha merupakan
kewajiban pekerja/buruh.

Kewajiban para pihak diatur dalam KUH Perdata sebagai berikut :
a. Kewajiban pekerja/buruh
1.Melaksanakan tugas/pekerjaan sesuai yang diperjanjikan dengan sebaikbaiknya (Pasal 1603 KUH Perdata);
2.Melaksanakan pekerjaannya sendiri, tidak dapat digantikan oleh orang
lain tanpa izin dari pengusaha (Pasal 1603 a KUH Perdata);
3.Menaati peraturan dalam melaksanakan pekerjaan (Pasal 1603 b KUH
Perdata);
4.Menaati peraturan tata tertib dan tata cara yang berlaku di rumah/tempat
majikan bila pekerja tinggal di sana (Pasal 1603 c KUH Perdata);
5.Melaksanakan tugas dan segala kewajbannya secara layak (Pasal 1603 d
KUH Perdata);
6.Membayar ganti-rugi atau denda (Pasal 1601 w KUH Perdata)

b. Kewajiban Pengusaha
1.Membayar upah kepada pekerja (Pasal 1602 KUH Perdata);
2.Mengatur pekerjaan dan tempat kerja (Pasal 1602 u,v,w dan y KUH
Perdata);
3.Memberikan cuti/libur (Pasal 1602 v KUH Perdata);
4.Mengurus perawatan, pengobatan pekerja (Pasal 1602 x KUH Perdata);

Universitas Sumatera Utara

5.Memberikan surat keterangan (Pasal 1602 z KUH Perdata)

2. Undang-Undang Ketenagakerjaan
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003. Perjanjan kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang
dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Syarat-syarat perjanjian kerja pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu
syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil diatur dalam Pasal 52 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 54
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Syarat materiil dari perjanjian kerja berdasarkan ketentuan, dibuat atas dasar:44
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila perjanjian kerja yang dibuat itu bertentangan dengan ketentuan huruf
a dan b maka akibat hukumnya perjanjian kerja itu dapat dibatalkan, dan apabila
betentangan dengan ketentuan huruf c dan d maka akibat hukumnya perjanjian kerja
itu adalah batal demi hukum, kemudian kita kaji lebih jauh sebenarnya ketentuan

44

Pasal 52 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Universitas Sumatera Utara

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 itu mengadopsi ketentuan Pasal
1320 BW. Perjanjian kerja adalah salah satu bentuk perjanjian, sehingga harus
memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 BW.
Suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi unsur-unsur yang terdapat
di dalam yaitu sebagai berikut:45
1. Adanya sepakat;
2. Kecakapan berbuat hukum;
3. Hal tertentu;
4. Causa yang dibenarkan.
Sepakat yang dimaksudkan adanya kesepakatan antara pihak pihak yang
melakukan perjanjian. Di dalam hubungan kerja yang dijadikan dasar adalah
perjanjian kerja, maka pihak pihaknya adalah buruh dan majikan. Kesepakatan yang
terjadi antara buruh dan majikan secara yuridis haruslah bebas. Dalam arti tidak
terdapat cacat kehendak yang meliputi adanya dwang, Dwaling dan bedrog
(penipuan, paksaan, dan kekhilafan).46 Dwang (Unsur paksaan):

47

paksaan terhadap

badan (fisik) dan paksaan terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh
terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh undang-undang, tetapi dalam
hal ini, di dalamnya undang-undang ada suatu unsur paksaan yang diizinkan oleh
Undang-undang, yakni paksaan dengan alasan akan dituntut di muka hakim, apabila

45

Pasal 1320 KUHPerdata
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan (Bandung : Citra Aditya, 2010), hal 98
47
Ibid
46

Universitas Sumatera Utara

pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang telah ditetapkan. Dwaling (Unsur
Kekeliruan):48 Kekeliruan dapat terjadi dalam 2 (dua) kemungkinan, yaitu kekeliruan
terhadap orang atau subjek hukum dan kekeliruan terhadap barang atau objek hukum.
Kekeliruan terhadap orang, misalnya perjanjian akan mengadakan pertunjukan lawak,
akan tetapi undangan untuk pelawaknya salah alamat, karena namanya sama.
Kekeliruan terhadap barang, misalnya jual-beli yang diberikan salah, karena
barangnya sama dan yang berbeda ialah tahunnya. Bedrog (Unsur Penipuan):49
apabila terjadi suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar.
Suatu perjanjian yang mengandung salah satu unsur paksaan, kekeliruan, ataupun
penipuan dapat dituntut pembatalannya sampai batas jangka waktu 5 tahun seperti
dimaksud oleh Pasal 1454 KUH Perdata. Kenyataannya dalam hubungan kerja buruh
terutama yang unskillabour tidak secara mutlak menentukan kehendaknya. Hal ini
terjadi karena buruh hanya mempunyai tenaga yang melekat pada dirinya untuk
kompensasi di dalam hubungan kerja. Buruh tidak mempunyai kebebasan untuk
memilih pekerjaan yang sesuai dengan kehendaknya apabila ia tidak mempunyai
skills yang memadai.
Subekti50 menyebutkan sepakat sebagai perizinan, yaitu kedua subjek hukum
yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai halhal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang
satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama
48

Ibid, hal 99
Ibid
50
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta:Intermasa, 1987), hal 17
49

Universitas Sumatera Utara

secara timbal balik. Saat terjadinya sepakat tidak diterangkan dalam BW.Hoffman
menyatakan perlu pernyataan kehendak (Wisverklaring) dari kedua belah pihak.51
Kehendak dinyatakan cacat apabila terdapat kekhilafan, paksaan, dan penipuan pada
saat terjadinya sepakat.
Syarat kedua dari sahnya perjanjian adalah adanya kecakapan bertindak.
Sesuai Pasal 69 Undang-undang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa anak boleh
bekerja antara umur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun
dengan pertimbangan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.
Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan harus
memenuhi syarat-syarat : (Pasal 69 ayat (2) Undang-undang ketenagakerjaan)
a. Izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. Keselamatan dan kesehatan kerja;
f. Adanya hubungan kerja yang jelas;dan
g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketentuan Pasal 1320 ayat (2) BW, yaitu adanya kecakapan untuk membuat
perikatan. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada

51

Subekti, Ibid, hal 55

Universitas Sumatera Utara

asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah
cakap menurut hukum.52
Onbekwaamheid dapat dianggap sebagai suatu cacat kehendak (wilsgebrek),
tetapi dasarnya bukan suatu keadaan yang abnormal seperti pada paksaan, kesesatan,
dan penipuan (dwang,dwaling,bedrog), akan tetapi berdasarkan Undang-undang
sendiri yang karena beberapa hal tidak memberikan kekuatan yang normal kepada
kehendak beberapa orang tertentu.53
Batasan yang diberikan undang-undang terdapat dalam ketentuan Pasal 1330
BW, yaitu tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah :
1. Orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang orang perempuan.
Ketentuan Pasal 1330 BW untuk sekarang tidak berlaku semuanya karena
sejak adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) yaitu hak dan kewajiban istri adalah
seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Selanjutnya ketentuan Pasal 31 ayat (2)
Undang-undang Perkawinan, yaitu masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum. Dengan demikian apabila seorang wanita dewasa yang kemudian
kawin, tidak akan berakibat ia akan kehilangan status kedewasaannya.

52
53

Ibid,
Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan (Surabaya:Bina ilmu ,1984), hal 146

Universitas Sumatera Utara

Di bidang hukum ketenagakerjaan, seseorang dikatakan dewasa apabila ia
telah berumur 18 tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1999 tentang pengesahan ILO Nomor 138 mengenai usia minimum
untuk diperbolehkan bekerja (LN Tahun 1999 No 56) yaitu usia minimum yang telah
ditetapkan ialah tidak boleh kurang dari usia tamat sekolah wajib dan paling tidak,
tidak boleh kurang dari 15 tahun. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1),
yaitu usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau
kerja yang karena sifatnya atau karena keadaan lingkungan di mana pekerjaan itu
harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral orang
muda tidak boleh kurang dari 18 tahun. Berdasarkan ketentuan di atas maka
seseorang dapat bekerja apabila usianya telah 18 tahun dan apabila terpaksa maka
usia minimumnya adalah 15 tahun.
Syarat ketiga adalah adanya hal tertentu, maksudnya semua orang bebas
melakukan hubungan kerja, asalkan objek pekerjaannya jelas ada, yaitu melakukan
pekerjaan. Syarat keempat adalah adanya causa yang diperbolehkan. Subekti
menyebutkan sebagai sebab yang halal. Soetoyo menyebutnya sebagai causa yang
diperbolehkan dengan alasan istilah halal lebih mengarah kepada agama.54
Causa

yang diperbolehkan menunjuk pada objek hubungan kerja boleh

melakukan pekerjaan apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Selanjutnya berdasarkan
ketentuan Pasal 53 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa segala
54

Ibid, hal 148

Universitas Sumatera Utara

hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Selanjutnya suatu perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan syarat formil.
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu :
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. Nama, jenis kelamin, dan alamat pekerja/buruh;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang
kurangnya rangkap 2 (dua) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama,
serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1(satu)
perjanjian kerja.
Selain itu, masih terdapat beberapa ketentuan mengenai perjanjian kerja yang
diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu perjanjian kerja
tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
3. Undang-Undang Guru dan Dosen
Undang-undang guru dan dosen yang berlaku saat ini adalah Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2005. Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah
perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau
satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para

Universitas Sumatera Utara

pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundangundangan.55
Menurut Pasal 68 Undang-undang Guru dan Dosen mengatur tentang
pemberhentian dosen sesuai dengan perjanjian kerja yaitu :
(1) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2)
dapat dilakukan setelah dosen yang bersangkutan diberi kesempatan
untuk membela diri;
(2) Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja
atau kesepakatan kerja bersama.
Dan menurut Pasal 67 Undang-undang Guru dan Dosen :
(1) Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai dosen
karena:
a. Meninggal dunia;
b. Mencapai batas usia pensiun;
c. Atas permintaan sendiri;
d. Tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua
belas) bulan karena sakit jasmani dan/atau rohani; atau
e. Berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara
dosen dan penyelenggara pendidikan.
(2) Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai dosen
karena:
a. Melanggar sumpah dan janji jabatan;
b. Melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau
c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan
atau lebih secara terus-menerus.
(3) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi
yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(4) Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) Tahun;

55

Pasal 1 angka (7) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Universitas Sumatera Utara

(5) Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya
sampai 70 (tujuh puluh) tahun;
(6) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang diberhentikan dari jabatan
sebagai dosen, kecuali sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf
b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.
Sementara menurut Pasal 66 Undang-undang Guru dan Dosen juga mengatur
tentang pemindahan dosen berdasarkan perjanjian kerja atau berdasarkan kesepakatan
kerja bersama :
Pemindahan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan berdasarkan perjanjian kerja
atau kesepakatan kerja bersama.
B. Hubungan Kerja Menurut Peraturan Perundang-undangan
Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal
dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan.56 Subjek hukum yang melakukan
hubungan kerja adalah pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Hubungan
kerja merupakan inti dari hubungan industrial.57 Suatu hubungan antara seorang
buruh dan seorang majikan, di mana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya
perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di
satu pihak pekerja/ buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha
memperkerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah.58

56

Hartono, Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1992), hal 10
57
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009),
hal 36
58
Abdul Khakim, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti
2003), hal 24

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian kerja merupakan syarat administrasi dalam memulai hubungan
kerja. Perjanjian merupakan keharusan untuk melindungi buruh.59 Dalam pengertian
yang umum dapat dijabarkan bahwa perjanjian itu bertujuan melindungi kepentingan
para pihak. Apabila timbul sengketa maka perjanjian kerja tertulis merupakan alat
bukti yang sah di pengadilan sehingga perjanjian kerja harus merumuskan pernyataan
kehendak kedua belah pihak secara jelas dan tegas. 60 Penegasan ini paralel dengan
hakikat hukum perburuhan yaitu untuk melindungi buruh.61 Pentingnya peran
perjanjian kerja dalam hubungan kerja mendorong perlunya suatu kesadaran untuk
menempatkan pekerja/buruh dan pemberi kerja setara dan tunduk pada perjanjian
kerja.
Secara formil hubungan kerja dapat dibuktikan dari perjanjian kerja.
Hubungan kerja adalah:62
“hubungan (hukum) antara pengusaha dengan pekerja/buruh (karyawan)
berdasarkan perjanjian kerja. Dengan demikian, hubungan kerja tersebut
adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang
konkrit atau nyata”
Untuk menandai hubungan kerja bahwa:63
“Terdapat tiga unsur yang menentukan adanya hubungan kerja yaitu adanya
pekerjaan yang harus dilakukan, perintah, dan upah. Tanpa adanya salah satu
dari ketiga unsur tersebut maka tidak ada hubungan kerja”

59

H.R.Abdulsallam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) yang telah direvisi,
(Jakarta: Restu Agung, 2009), hal 54
60
Ibid, hal 53
61
Ibid, hal 58
62
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 45
63
Koeshartono dan M.F Shellyana Junaedi, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan
Permasalahannya (Yogyakarta:Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2005), hal 59, baca pasal 1 butir 15
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Universitas Sumatera Utara

Penegasan yang sama tentang syarat hubungan kerja dikemukakan oleh
Soerdarjadi dengan mengatakan bahwa apabila dalam melaksanakan pekerjaan tidak
terdapat unsur pekerjaan, upah dan perintah maka tidak terdapat hubungan kerja dan
bila timbul perselisihan atau beda pendapat sulit diselesaikan dengan Undang-undang
Ketenagakerjaan.64
Dalam kaitannya dengan bentuk perjanjian kerja bahwa :65
“Bentuk perjanjian kerja hendaknya bersifat bebas, artinya perjanjian tersebut
dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Perjanjian kerja yang dibuat secara
tertulis lebih menjamin adanya kepastian hukum”
1.Unsur Hubungan Kerja
Beberapa ahli berpendapat bahwa di dalam perjanjian kerja yang menjadi
dasar hubungan kerja adalah 4 (empat) unsur penting yaitu :
a. Adanya pekerjaan (Pasal 1601 a KUH Perdata dan Pasal 341 KUH
Dagang);
b. Adanya perintah orang lain (Pasal 1603 b KUH Perdata );
c. Adanya upah (Pasal 1603 p KUH Perdata );
d. Terbatas waktu tertentu, karena tidak ada hubungan kerja berlangsung
terus menerus.

64

Soerdarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, (Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2008),

hal 22-23
65

Koeshartono dan M.F Shellyana Junaedi, Op.Cit, hal 60

Universitas Sumatera Utara

2.Subjek Hukum Dalam Hubungan Kerja
Subjek hukum dalam hubungan kerja pada dasarnya adalah pengusaha/
pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
membedakan pengertian pengusaha, perusahaan dan pemberi kerja. Subjek hukum
yang terkait dalam perjanjian kerja pada dasarnya adalah buruh dan majikan. Subjek
hukum mengalami perluasan, yaitu dapat meliputi perkumpulan majikan, gabungan
perkumpulan majikan atau APINDO untuk perluasan majikan. Selain itu terdapat
serikat pekerja/buruh, gabungan serikat pekerja atau buruh sebagai perluasan dari
buruh.
Adapun pengertian pengusaha berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan
adalah:66
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Batasan pengusaha berbeda dengan pemberi kerja. Berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angka (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, pemberi kerja adalah orang
perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan badan lainnya yang
memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk

66

Pasal 1 angka (5) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Universitas Sumatera Utara

lain. Adapun pengertian perusahaan berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan
adalah:67
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik Negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
3.Objek Hukum Dalam Hubungan Kerja
Objek hukum dalam hubungan kerja adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
pekerja. Dengan kata lain tenaga yang melekat pada diri pekerja merupakan objek
hukum dalam hubungan kerja. Objek hukum dalam perjanjian kerja, yaitu hak dan
kewajiban masing masing pihak secara timbal balik yang meliputi syarat-syarat kerja
atau hal lain akibat adanya hubungan kerja. Syarat-syarat kerja selalu berkaitan
dengan upaya peningkatan produktivitas bagi majikan dan upanya peningkatan
kesejahteraan oleh buruh. Antara kepentingan pengusaha dengan kepentingan pekerja
pada hakikatnya adalah bertentangan.
Objek hukum dalam hubungan kerja tertuang di dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja bersama/perjanjian kerja bersama.
Kedudukan perjanjian kerja adalah di bawah peraturan perusahaan, sehingga apabila
ada ketentuan di dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan peraturan
perusahaan maka yang berlaku adalah peraturan perusahaan. Peraturan perusahaan
yang membuat adalah majikan secara keseluruhan. Perjanjian kerja secara teoretis
67

Pasal 1 angka (6) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Universitas Sumatera Utara

yang membuat adalah buruh dan majikan, tetapi kenyataannya perjanjian kerja itu
sudah dipersiapkan majikan untuk ditandatangani buruh saat buruh diterima kerja
oleh majikan.68
Apabila di perusahaan itu sudah ada serikat pekerja, maka antara serikat
pekerja dan majikan dapat membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dahulu disebut
dengan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Ketentuan-ketentuan PKB/KKB memuat
syarat-syarat kerja yang mencerminkan hak dan kewajiban majikan dan buruh.
Pembuatan KKB dapat dilakukan oleh serikat pekerja dan majikan di luar jam kerja
atau diatur sedemikian rupa dibuat di luar kota dengan waktu khusus. Dalam praktik
banyak serikat pekerja yang ada di perusahaan mempersulit terbentuknya KKB secara
cepat.69
4.Klausul Berakhirnya Perjanjian Kerja
Pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan kerja antara
pekerja dengan pengusaha yang menimbulkan berakhirnya hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak. Artinya pekerja sudah tidak mendapatkan upah atau imbalan
dalam bentuk lain dari pengusaha atas pekerjaan yang telah dilakukan dan pengusaha
tidak lagi dapat memberikan perintah untuk dilaksanakan atas pekerjaan yang biasa
diberikan dalam lingkungan badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik

68

Iman Syahputra Tunggal, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan, ( Jakarta: Harvarindo,
2007), hal 17
69
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hal 50

Universitas Sumatera Utara

perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, milik swasta atau milik
negara, serta usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain.70
Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (25) Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
“Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu
hal tertentu mengakibatkan berkahirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
pengusaha”.
Pengakhiran hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berkahirnya hak dan kewajiban antara
pekerja dengan pengusaha. Setelah hubungan kerja berakhir pekerja tidak mempunyai
kewajiban untuk bekerja pada pengusaha dan pengusaha tidak berkewajiban
membayar upah kepada pekerja tersebut.71
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, dalam membuat sebuah perjanjian
dapat menentukan sendiri jangka waktu berlaku perjanjian yang dibuat dan
berakhirnya sebuah perjanjian. Perjanjian yang dibuat berdasarkan pertimbangan
rasional bahwa mereka akan dapat memperoleh manfaat ekonomis dari perjanjian
yang mereka laksanakan dalam jangka waktu tersebut. Jika jangka waktu berlakunya
perjanjian yang ditentukan sendiri sudah berakhir, maka berakhir dan hapuslah
perjanjian tersebut. 72

70

Soedarjadi, Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2009), hal 83
71
Maimun, Op.Cit, hal 94
72
Ibid

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian yang berakhir karena satu di antara dua pihak atau kedua belah
pihak sebagai subjek hukum yang membuat kontrak itu menyatakan mengakhiri
perjanjian, meskipun jangka waktu berlakunya kontrak yang ditentukan oleh undangundang belum berakhir. Pengakhiran kontrak itu tentu saja dengan atau tanpa
persetujuan dari pihak lainnya yang juga membuat kontrak. Hal tersebut dilihat dari
pengusaha sebagai pemberi kerja menyatakan mengakhiri kontrak kerja atau
memutuskan hubungan kerja.73
Mengenai pemutusan hubungan kerja sudah dijelaskan di dalam KUHPerdata
Pasal 1603 n menyatakan bahwa :
Masing-masing pihak dapat memutuskan hubungan kerja tanpa
pemberitahuan pemutusan hubungan kerja atau tanpa mengindahkan aturanaturan yang berlaku bagi pemberitahuan pemutusan hubungan kerja; tetapi
pihak yang berbuat demikian tanpa persetujuan pihak lain, bertindak secara
bertentangan dengan hukum, kecuali bila ia sekaligus membayar ganti rugi
kepada pihak lain atas dasar ketentuan Pasal 1063 q, atau ia memutuskan
hubungan kerja secara demikian dengan alas dan mendesak yang seketika itu
diberitahukan kepada pihak lain.
Dalam praktik, pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya
waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Dimana kedua belah pihak tidak
mempermasalahkan karena kedua belah pihak pekerja dan pengusaha yang
bersangkutan menyadari atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut,
sehingga masing-masing pihak telah berupaya mempersiapkan diri dalam
menghadapi kenyataan itu. 74

73
74

Zaenal Asyhadie, Op.Cit, hal 193
Ibid

Universitas Sumatera Utara

Bagi pekerja PHK berdampak langsung pada jaminan pendapatan (income
security) bagi diri dan keluarganya. Istilah PHK bisa menjadi momok bagi setiap
pekerja karena mereka dan keluarganya terancam kelangsungan hidupnya dan
merasakan derita akibat pemutusan hubungan kerja. Mengingat fakta dilapangan
bahwa mencari pekerjaan tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Semakin
ketatnya persaingan, angkatan kerja harus bertambah dan kondisi dunia usaha yang
selalu fluktuatif sangatlah wajar jika pekerja selalu khawatir dengan ancaman
pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut.75
Sedangkan bagi pengusaha PHK berarti kehilangan pekerja yang selama ini
telah dididik dan memahami prosedur di perusahaannya. Pemutusan hubungan kerja
secara teoretis terbagi dalam 4 (empat) macam yaitu, pemutusan hubungan kerja
(PHK) demi hukum, pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengadilan, pemutusan
hubungan kerja (PHK) oleh pekerja, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh
pengusaha.76 Pemutusan hubungan kerja yang terakhir ini tampaknya lebih dominan
diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan. Hal ini karena PHK oleh pengusaha sering
tidak dapat diterima oleh pekerja sehingga menimbulkan permasalahan. Di samping
perlunya perlindungan bagi pekerja dari kemungkinan tindakan pengusaha yang
sewenang-wenangnya.

75

Eko Wahyudi, Wiwin Yulianingsih, Moh. Firdaus Sholihin, Hukum Ketenagakerjaan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2016 ), hal 86
76
Ibid

Universitas Sumatera Utara

a. Putus demi hukum
Hubungan kerja putus demi hukum berarti putus dengan sendirinya tanpa
diperlukan adanya tindakan salah satu pihak pekerja yang ditunjukkan untuk itu.
Pasal 1603 e KUHPerdata menetapkan bahwa:
“hubungan kerja berakhir jika waktu kerja demi hukum, jika habis waktunya
yang ditetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan undang-undang atau
jika semuanya itu tidak ada menurut kebiasaan.
Pemberitahuan sebelumnya tentang kehendak untuk mengakhiri hubungan kerja
hanya diperlukan:77
a. Jika demikian itu telah diperjanjikan dalam perjanjian yang dibuat tertulis
atau dalam reglemen;
b. Jika menurut aturan undang-undang atau menurut kebiasaan juga dalam
hal lamanya hubungan kerja telah ditetapkan sebelumnya harus ada suatu
pemberitahuan tentang kehendak untuk mengakhirinya, sedangkan kedua
belah pihak sekedar itu diperbolehkan, tidak telah menyimpang dengan
perjanjian yang dibuatnya tertulis atau dalam reglemen.
Sedangkan menurut Undang-undang Ketenagakerjaan bahwa penyebab
pemutusan hubungan kerja karena:78
a. Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan
secara tertulis sebelumnya;
b. Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari
77
78

Imam Soepomo, Op.Cit,hal 166
Pasal 154 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Universitas Sumatera Utara

pengusaha. Berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja
waktu tertentu;
c. Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja sama atau peraturan
perundang-undangan;
d. Pekerja meninggal dunia.
Pemutusan hubungan kerja demi hukum terjadi karena alasan batas waktu
masa kerja yang disepakati telah habis atau apabila pekerja meninggal dunia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja berakhir apabila:
a. Pekerja meninggal dunia;
b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, atau;
d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang
dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

b.Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pekerja
Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja dapat terjadi apabila pekerja
mengundurkan diri atau telah terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan pekerja
minta di PHK. Alasan-alasan mendesak dalam arti Pasal 1603 n adalah keadaan yang
sedemikian rupa sehingga mengakibatkan bahwa tidak pantaslah pekerja diharapkan
untuk meneruskan hubungan kerja.79 Dalam Pasal 1603 p menjelaskan alasan-alasan
mendesak dapat dianggap ada, antara lain:
1. Jika majikan menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan
ancaman yang membahayakan buruh, anggota keluarga atau anggota
79

Ibid, hal 171

Universitas Sumatera Utara

rumah tangga buruh, atau membiarkan perbuatan semacam itu dilakukan
oleh anggota rumah tangga atau buruh lain bawahannya;
2. Jika ia membujuk atau mencoba membujuk pekerja, anggota keluarga atau
anggota rumah tangga buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan atau membiarkan
pembujukan atau percobaan pembujukan semacam itu dilakukan oleh
anggota rumah tangga atau buruh lain bawahannya;
3. Jika ia tidak membayar upah pada waktunya;
4. Jika, dalam hal makan dan pemondokan dijanjikan, ia tidak memenuhinya
secara layak;
5. Jika ia tidak memberikan cukup pekerjaan kepada buruh yang upahnya
ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukan;
6. Jika ia tidak memberikan atau tidak cukup memberikan bantuan, yang
dijanjikan kepada buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil
pekerjaan yang dilakukan;
7. Jika ia dengan jalan lain terlalu melalaikan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya oleh perjanjian;
8. Jika ia, dalam hal yang tidak diwajibkan oleh sifat hubungan kerja,
menyuruh buruh, meskipun buruh menolak, untuk melakukan pekerjaan di
perusahaan seorang majikan lain;
9. Jika hubungan kerja dapat menimbulkan bahaya besar yang mengancam
jiwa, kesehatan, kesusilaan atau nama baik buruh, yang tidak melihat pada
waktu pembuatan perjanjian;
10. Jika buruh, karena sakit atau karena alasan-alasan lain di luar salahnya
menjadi tidak mampu melakukan pekerjaan yang dijanjikan itu. Perjanjian
yang menyerahkan keputusan ke tangan buruh mengenai adanya alasan
mendesak dalam arti Pasal 1603 n, adalah batal.
Berdasarkan ketentuan Pasal 151 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 atas kemauan sendiri tanpa indikasi adanya tekanan/intimidasi dari
pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu
untuk pertama kali. Pengunduran diri pekerja dapat dianggap terjadi apabila pekerja
mangkir paling sedikit dalam waktu 5 hari kerja berturut-turut dan telah dipanggil

Universitas Sumatera Utara

oleh pengusaha 2 kali secara tertulis, tetapi pekerja tidak dapat memberikan
keterangan tertulis dengan bukti yang sah.80
Selain itu, berdasarakan ketentuan Pasal 169 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003, pekerja dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut:81
a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja;
b. Membujuk dan/menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja;
e. Memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan;
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan,
dan kesusilaan pekerja. Sedangkan pekerjaan tersbeut tidak dicantumkan
pada perjanjian kerja.
c. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Oleh Pengusaha
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha merupakan pemutusan hubungan
kerja yang paling sering terjadi karena kesalahan pihak pekerja atau karena kondisi
80

Zainal Asikin, Agustian Wahab, Lalu Husni, Zaeni, Dasar Hukum Perburuhan , (Jakarta:
Raja Grafindo, 2006), hal 177
81
Ibid, hal 178-179

Universitas Sumatera Utara

perusahaan. Pemutusan hubungan kerja karena keterpaksaan terjadi kalau pengusaha
terpaksa harus memutuskan hubungan kerja kepada pekerja karena adanya masalahmasalah yang dihadapi pengusaha dalam hal:82
a. Menghadapi

kesalahan-kesalahan

para

pekerja

yang

tidak

dapat

dipertanggung jawabkan;
b. Menghadapi perusahaan yang semakin menurun perkembangannya.
Lebih tepat mengenai hubungan kerja oleh pengusaha dan majikan didasarkan
pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 158, ayat (1) berbunyi:
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan
alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik perusahaan;
2. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
3. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai