Rujuk kepada Hukum Buatan Manusia

Hukum Menjadikan Undang-Undang Buatan
Manusia Sebagai Rujukan
Hukum Menjadikan Undang-Undang Buatan Manusia Yang Bertentangan Dengan Islam Sebagai
Rujukan[1]
Berhukum dengan undang-undang yang bertentangan dengan Islam adalah kufur secara mutlak tanpa melihat
isi hatinya bila syari’at Islam digantikan, namun bila syari’at Islam masih dijadikan rujukan hukum akan tetapi
dalam masalah tertentu si hakim menyeleweng dari putusan hukum yang semestinya, maka ini bisa kafir, bisa
fasiq, dan bisa dhalim tergantung i’tiqad, berikut rinciannya:
Allah shalallaahu ‘alaihi wa sallam berfirman:

‫م ال ل ن‬
‫ه فنرأول نئ ف ن‬
‫ما أ نن لنز ن‬
(٤٤) ‫ن‬
‫كاففررو ن‬
‫م ين ل‬
‫ك هر ر‬
‫ل الل ل ر‬
‫م بف ن‬
‫حك ر ل‬
‫ن لن ل‬

‫ون ن‬
‫م ل‬
“Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” (Al
Maidah: 44)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

‫ل‬
‫وما ل نم تحك ر ن‬
‫جع ن ن‬
‫ما أ نن لنز ن‬
‫م‬
‫ب اللهف وني نت ن ن‬
‫خي لررلوا ف‬
‫ه إ فل ل ن‬
‫ه ب نأ ن‬
‫سه ر ل‬
‫ل الل ر‬
‫ل الل ر‬
‫م ل‬
‫مت رهر ل‬

‫م أئ ف ل‬
‫ل ن ل ل‬
‫ن ن‬
‫م ب فك فنتا ف‬
( ‫ديث حسن رواه ابن ماجه‬
‫ح ف‬
‫م ) ن‬
‫ب ني لن نهر ل‬
“Dan selagi pemipin mereka tidak memutuskan perkara dengan kitab suci Al Qur’an, dan mereka memilih-milih
hukum yang diturunkan Allah, niscaya Allah akan menjadikan kehancuran mereka pada diri mereka”(Hadits
hasan riwayat Ibnu Majaah)
Ketahuilah, sesungguhnya berhukum dengan hukum selain Allah ‘Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya shalallaahu
‘alaihi wa sallam itu ada banyak macamnya, camkanlah apa yang telah ditulis oleh Al Imam Muhammad Ibnu
Ibrahim Al Asy Syaikh rahimahullah dalam kitabnya Tahkimul Qawanin, beliau berkata: “Sesungguhnya hakim
yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah itu adalah kafir, baik kekufuran i’tiqadyang
mengeluarkan dari agama (Islam), ataupun kekufuran amal yang tidak mengeluarkan dari agama.
Adapun yang pertama yaitu kekufuran i’tiqad, maka ini banyak macamnya:
o
Si hakim yang berhukum dengan hukum selain apa yang diturunkan Allah itu mengingkari
keberhakkan/kebenaran hukum Allah dan Rasul-nya.

o

o

Si hakim yang berhukum dengan hukum selain apa yang diturunkan Allah itu tidak mengingkari
bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu adalah haq, namun dia meyakini bahwa hukum selain RasulNya shalallaahu ‘alaihi wa sallam lebih baik, lebih sempurna, dan lebih mencakup dari hukum beliau.
Dia tidak meyakini bahwa hukum itu lebih baik dari hukum Allah dan Rasul-Nya, namun dia meyakini
bahwa hukum itu sama dengan dengan hukum-Nya.

o

Dia tidak meyakini keberadaan hukum si hakim yang menghukumi dengan hukum selain apa yang
diturunkan Allah itu sama dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, apalagi kalau sampai ia meyakini bahwa
hukum itu lebih baik dari hukumnya, namun ia meyakini meyakini bolehnya berhukum dengan hukum
yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya.

o

Dan yang paling besar dan paling dahsyat serta paling nampak pembangan-pembangkangannya
terhadap syari’at, paling nampak penolakannya terhadap hukum-hukum syari’at, dan paling nampak

penentangannya terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan paling nyata penyerupaannya terhadap

o

mahkamah-mahkamah syari’at, dari sisi persiapan, pengayaan, irsyad, ta’shil, tafri’, tasykil, tanwi’,
penetapan hukum, keharusan (iltizam), dan referensi-referensi serta sandaran. Sebagaimana
mahkamah-mahkamah syar’iyyah memiliki referensi-referensi yang menjadi sandaran, yaitu rujukan
seuanya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam, maka mahkamahmahkamah ini juga memiliki referensi/rujukan, yaitu undang-undang (qanun) yang diambil dari berbagai
macam syari’at dan undang-undang yang banyak jumlahnya, seperti undang-undang Prancis, undangundang Amerika, undang-undang Inggris, dan undang-undang lainnya, serta dari aliran-aliran berbagai
ahlul bid’ah yang menisbatkan diri kepada syari’at ini dan yang lainnya.
Apa yang dijadikan hukum oleh para pemimpin suku dan kabilah di kawasan pedalaman dan yang
lainnya berupa dongeng-dongeng leluhur dan nenek moyang mereka yang mereka namakan hukum
adat (atau nama apa saja) yang diwariskan secara turun-temurun mereka memutuskan hukum
dengannya, dan mendorong orang untuk berhukum kepadanya disaat ada persengketaan, karena
merasa betah dengan hukum-hukum jahiliyyah, dan berpaling serta enggan terhadap hukum Allah dan
Rasul-Nya, falaa haula walaa quwwata illaa billaah.

Adapun bagian kedua, dari dua macam kekufuran hakim yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan
Allah, yaitu yang tidak mengeluarkan dari agama adalah: Telah lalu bahwa penafsiran Ibnu ‘Abbas radliyallahu
‘anhuma terhadap firman Allah ‘Azza Wa Jalla “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,

maka

mereka

adalah

orang-orang

kafir” mencakup

bagian

itu,

yaitu

perkataan

beliau radliyallahu


‘anhuma: “kufrun duna kufrin” dan perkataannya, kufur yang dimaksud itu bukan yang kalian yakini”. Yaitu
syahwat dan hawa nafsunya mendorong dia untuk menghukumi dalam satu permasalahan bukan dengan hukum
yang diturunkan Allah, dengan disertai keyakinannya bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu adalah yang haq,
dan pengakuannya atas dirinya dengan kesalahan serta menyalahi petunjuk.
Ini meskipun tidak mengeluarkan dia dari agama Islam, namun sesungguhnya itu merupakan maksiat yang
paling dahsyat dan lebih besar dari dosa-dosa besar, seperti zina, minum khamr, mencuri, sumpah palsu, dan
yang lainnya, karena maksiat yang Allah namai dengan kekufuran lebih besar dari maksiat yang tidak dinamai
dengan kekufuran.[2]
Anda bisa melihat beliau rahimahullah menjelaskan dalam empat macam pertama status yang berhubungan
dengan zuhud (pengingkaran) si hakim yang berhukum dengan bukan hukum Allah atas kebenaran (al
haqqiyyah)

hukum

Allah

dan

Rasul-Nya, pengunggulan bukan


hukum

Allah

atas

hukum

Allah, pensejajaran hukum-Nya dengan yang lainnya, danpembolehan berhukum dengan selain hukum Allah,
namun tatkala beliau menuturkan nomor ke lima, beliau tidak menyebutkan quyud (batasan-batasan) tadi,
karena yang ke lima itu sudah berupa undang-undang yang disusun sedemikian rupa, berbeda dengan empat
macam sebelumnya yang dimana si hakim itu hanya berhukum kepada selain hukum Allah dalam permasalahan
tertentu saja sedangkan hukum Allah tetap sebagai rujukan dan hukum yang tetap berlaku, maka penghukuman
sebagai orang kafir yang murtad dari Islam itu harus diperhatikan batasan-batasan empat di atas, namun bila
dalam masalah ini tidak terdapat salah satu batasan yang empat itu, maka statusnya tergolong pada kufrun duna
kufrin. Adapun bila menjadikan hukum selain apa yang diturunkan Allah itu sebagaiqawanin (undang-undang),
maka kekafiran/kemurtaddannya itu tidak perlu adanya keyakinan-keyakinan empat di atas.
Syaikh Muhammad berkata lagi: Dan adapun yang dikatakan padanyakufrun duna kufrin, adalah bila dia
berhukum kepada selain Allah dengan masih ada keyakinan bahwa dia itu berbuat maksiat dan bahwasanya
hukum Allah itulah satu-satunya yang haq, terus perbuatan (berhukum) ini hanyalah yang terjadi darinya sekali-


dua kali saja, adapaun orang-orang yang membuat undang-undang dengan rapi dan tersusun dengan
sedemikian rupa, maka dia itu kafir (murtad) meskipun mereka mengatakan “kami ini salah dan hukum Allah itu
yang paling adil”.[3]
Beliau berkata lagi: Seandainya orang yang menjadikan undang-undang sebagai hukum berkata: “saya meyakini
bahwa undang-undang ini bathil”maka (ucapan ini) tidak ada pengaruhnya, bahkan perbuatannya itu merupakan
penyingkiran akan syari’at, sama halnya seandainya seseorang berkata: “saya menyembah berhala dan dia
meyakini bahwa itu bathil”.[4]
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin berkata: “Status berhukum dengan selain apa yang diturunkan
Allah terbagi dua macam:
I. Hukum Allah dibatalkan/digeser, agar tempatnya diganti dengan hukum lain yang thaghuti, yaitu berhukum
dengan syari’at di antara manusia di hapus/diralat dan digantikan dengan hukum lain buatan manusia, seperti
orang-orang yang menyingkirkan hukum-hukum syari’at dalam muamalah antara manusia dan manggantikannya
dengan

undang-undang

buatan

manusia,


maka

hal

ini

tidak

diragukan

lagi

adalah istibdal(penukaran/penggantian) syari’at Allah ‘Azza Wa Jalla dengan yang lainnya, dan ini merupakan
kekufuran yang mengeluarkan dari agama (Islam), karena orang ini memposisikan dirinya pada kedudukan Sang
Pencipta, dia mensyari’atkan hukum yang tidak diizinkan Allah ‘Azza Wa Jalla di antara hamba-hamba Allah,
bahkan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah ‘Azza Wa Jalla, serta dia menjadikannya sebagai hukum
pemutus urusan di antara manusia, sedangkan Allah ‘Azza Wa Jalla telah menamakannya sebagai sekutu di
dalam firman-Nya:


‫ل‬
‫ن‬
‫شنر ن‬
‫كارء ن‬
‫م ر‬
‫ه‬
‫شنر ر‬
‫م ف‬
‫م ي نأذ ن ل‬
‫ن ال د‬
‫أ ل‬
‫ن ب فهف الل ل ر‬
‫ما ل ن ل‬
‫ن ن‬
‫عوا ل نهر ل‬
‫م ل نهر ل‬
‫م ن‬
‫دي ف‬
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah?”(Asy syuraa: 21)

II. Hukum-hukum Allah ‘Azza Wa Jalla tetap dijalankan seperti biasanya, dan tetap sebagai pemutus dan sebagai
rujukan/acuan, namun ada satu hakim dari hakim-hakim yang ada kemudian dia menetapkan hukum dengan
sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan hukum-hukum itu, yaitu dengan dia berhukum dengan selain apa
yang diturunkan Allah, maka baginya ada tiga keadaan:
1.
Menghukumi dengan apa yang menyelisihi syari’at Allah dengan berkeyakinan bahwa hukum (yang
ia tetapkan) itu lebih utama dari hukum Allah dan lebih bermanfaat bagi hamba-hamba Allah, atau
meyakini bahwa hukum itu sejajar dengan hukum Allah ‘Azza Wa Jalla, atau meyakini bahwa dia boleh
berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka ini adalah kekufuran yang dengannya si
hakim keluar dari agama (Islam) karena dia tidak ridla dengan hukum Allah ‘Azza Wa Jalla, dan dia tidak
menjadikan Allah sebagai pemutus hukum di antara hamba-hamba-Nya
2.
Berhukum dengan apa yang tidak diturunkan Allah dengan berkeyakinan bahwa hukum Allah adalah
yang paling utama dan paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, namun dia keluar dari ketentuan
hukum itu, sedang dia merasa bahwa dia itu beraksiat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, dia hanya
menginginkan berbuat aniaya dan dhalim kepada si terhukum, karena sebab ada permusuhan di antara
dia dengannya, maka dia berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan Allah bukan karena benci
terhadap hukum Allah dan tidak pula istibdal tidak juga meyakini bahwa hukum yang dia tetapkan itu
lebih utama dari hukum Allah atau sejajar dengannya atau (tidak pula) meyakini bahwa boleh
memutuskan dengannya namun karena dia ingin merugikan si terhukum maka ia menetapkan dengan

3.

selain hukum yang diturunkan Allah. Pada keadaan seperti ini kita tidak mengatakan bahwa si hakim itu
kafir, namun kita katakan sesungguhnya dia itu dhalim, aniaya dan lalim.
Berhukum dengan apa yang tidak diturunkan Allah sedang dia meyakini bahwa hukum adalah yang
paling utama dan paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya dan meyakini pula bahwa dia dengan
penetapan hukumnya ini dia bermaksiat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, namun dia memutuskan karena
mengikuti hawa nafsunya, untuk kemashlahatan bagi dia atau si pengadu, maka perbuatan ini adalah
kefasikan dan keluar dari ketaatan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan terhadap tiga status inilah firman
Allah dalam tiga ayat itu ditafsirkan. Firman-nya: “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” buat status yang pertama. FirmanNya:“Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang
yang zalim” buat status yang kedua. Firman-nya: “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik” buat status yang ketiga.[5]

Perhatikanlah! tentu anda bisa melihat bahwa bagian pertama yang Syaikh Al Utsaimin sebutkan sama dengan
bagian kelima dan bahkan yang keenam juga yang dituturkan oleh Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim. Adapun
bagian yang kedua poin pertama yang Syaikh Al utsaimin sebutkan adalah sama dengan empat poin pertama
yang Syaikh Muhammad sebutkan, dan adapun bagian kedua poin kedua dan ketiga dari yang Syaikh Al
Utsaimin sebutkan adalah sama dengan bagian kedua dari macam kufur yang Syaikh Muhammad sebutkan di
akhir, yaitu kufrun duna kufrin.
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy rahimahullah berkata: Dan seperti ini dan lebih buruk darinya (dari hukum
yang dibuat oleh Jenggis Khan yang sudah divonis kafir orang yang melakukannya, pent[6]): orang yang
menjadikan perkataan orang-orang barat sebagai undang-undang yang dijadikan rujukan hukum dalam masalah
darah (pembunuhan dan sejenisnya, pent) kemaluan (perzinahan, perkosaan dan sejenisnya, pent) dan harta,
dan dia mendahulukannya terhadap apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari apa yang terdapat dalam
Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu tanpa diragukan lagi adalah kafir
murtad bila terus bersikeras di atasnya dan tidak kembali mau berhukum dengan apa yang telah diturunkan
Allah, dan tidak bermanfaat baginya nama apapun yang dengannya dia menamai dirinya dan (tidak bermanfaat
juga baginya) amalan apa saja dari amalan-amalan dzahir, baik shalat, saum, haji dan yang lainnya.[7]
Maka dalam masalah ini hendaklah kita hati-hati, janganlah terseret pemikiran yang bertolak belakang, antara
Khawarij yang merupakan anjing-anjing neraka Jahannam dan pemikiran Murji’ah dahulu ataupun Neo Murji’ah
yang berpakaian lebih menarik pada masa kini yang berlabelkan nama yang indah dan berbaju dengan baju
yang menawan yang dhahirnya mencela pemikiran Murji’ah namun bathinnya sama dengan mereka dan
berbeda dengan Ahlussunnah. Semua mengaku Ahlussunnah, siapakah yang sebenarnya…?? semua
mengklaim pengikut salaf, namun siapa yang sebenarnya…?? Nas’alullahasaalama.
Diambil dari artikel:
Ar Rasaail Al Mufidah (Kumpulan Risalah Berfaidah)
[1]
Kumpulan risalah/tulisan ini adalah di antara sekian risalah/tulisan yang saya susun saat saya dahulu masih
berada di barisan salafi maz’um, tapi karena isinya bermanfaat maka saya izinkan untuk disebarkan sekarang,
walaupun ada nukilan dari sebagian syaikh yang saya anggap menyimpang dalam permasalahan sikap terhadap

pemerintah murtad dan permasalahan manhaj lainnya, namun para ulama rujukan Tauhid dan Jihad tidak
mengkafirkan mereka itu, dan mereka juga kadang mengambil ucapan para syaikh itu dalam permasalahan fiqh,
dan di sinipun saya tetap mencantumkan fatwa-fatwa mereka. Saya katakan hal ini agar para ikhwan tauhid tidak
bingung.
[2] Tahkimul Qawanin: 13-21
[3] Al Fatawa: 12/280, 6/189, dinukil dari Raf’ulla’imah
[4] Al fatawa: 6/189, dinukil dari Raf’ulla’imah
[5] Fikhul Ibadat: 60-61 dan Al Qaul Al Mufid: 2/159-162
[6] Lihat Fathul Madjid: 373
[7] Lihat Fathul Madjid: 373, catatan kakinya