Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya Kesepakatan Untuk Menikah Terhadap Harta Kekayaan Pemberian Seorang Pria Terhadap Wanita (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Awal dari kehidupan berkeluarga adalah dengan melaksanakan perkawinan
sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, kelak

dapat mengakibatkan timbulnya masalah dalam kehidupan

keluarga. Sedangkan hidup sebagai suamiistri diluar perkawinan (pernikahan) adalah
perzinahan.Perzinahan adalah perbuatan terkutuk dan termasuk salah satu dosa besar.
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu
mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam
suatu pergaulan hidup.Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang
telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan.
Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah
satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturanaturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum

adat).1Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan
adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Di lain pihak
hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak
berubah, yaitu hukum adat ang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang
1

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat
Dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 34.

1

Universitas Sumatera Utara

2

ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis.
Perkawinan

merupakan


bagian

hidup

yang

sakral,

karena

harus

memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Perkawinan menuntut
kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan fisik dan mental. Untuk itu,
sebelum melangkah ke jenjang perkawinan harus selalu dimulai dengan suatu
persiapan yang matang. Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa
dimulai oleh persiapan yang matang dalam perjalanannya akan banyak mengalami
kesulitan. Apalagi jika perkawinan hanya bertolak dari pemikiran yang sederhana dan
pemikiran emosional semata. Dalam perkawinan dibutuhkan pemikiran yang rasional
dan dapat mengambil keputusan atau sikap yang matang, karena perkawinan itu

sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan
manusia.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19974 tentang
perkawinan, terdapat beberapa hukum yang mengatur perkawinan diantaranya: 2
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama yang
telah diresipir dalam Hukum Adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat.
3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama kristen berlaku Huwelijk
Ordonantie Christen Indonesia (S. 1993 No.74).
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan.
5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan
Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka masing-masing.
6. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan eropa dan
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
2

Penjelasan butir 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Universitas Sumatera Utara

3

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangperkawinan tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu syarat untuk dapat mewujudkan
tujuan perkawinan adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah
masak jiwa raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan
perkawinan.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa "Perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai usia 16 tahun".
Diantara hikmah dari sebuah pernikahan ialah:3
1. Pemeliharaan terhadap masing-masing dari sepasang suami-istri dan
penjagaan terhadap keduanya.
2. Menjaga masyarakat dari kejelekan dan rusaknya akhlak sehingga kalau

sekiranya tidak ada pernikahan sungguh niscaya tersebarlah berbagai
bentuk akhlak yang jelek di antara kaum pria dan wanita.
3. Masing-masing dari pasangan suami istri dapat merasakan kesenangan
satu sama lainnya dengan ditunaikan kewajiban baginya dari hak-hak dan
hubungan kekeluargaan. Sehingga seorang lelakilah yang akan
memelihara wanitanya dan yang akan menunaikan nafkah bagi wanita
tersebut baik berupa makanan, minuman, tempat tinggal maupun pakaian
dengan baik.
4. Merupakan sarana untuk menyembungkan antara keluarga dan suku
sehingga berapa banyak dua keluarga yang saling berjauhan tidak saling
mengenal satu sama lainnya, dengan adanya pernikahan menghasilkan
kedekatan dan hubungan di antara keduanya.
5. Melanggengkan suatu jenis manusia dengan jalan yang benar sehingga
3

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal.

10-11.

Universitas Sumatera Utara


4

pernikahan itu menjadi sebab bagi (kelangsungan) keturunan yang
menyebabkan berlangsungnya (kehidupan) manusia.
Lelaki dan wanita lajang hendaklah menyiapkan diri menuju pernikahan yang
sesuai dengan tuntunan agama dan aturan negara.Jika belum memiliki cukup
kekuatan motivasi untuk menikah, perhatikanlah berbagai tujuan mulia dari
pernikahan yang dituntunkan agama.Menikah itu bukan semata-mata penyaluran
hasrat biologis, namun menikah merupakan sarana terbentuknya masyarakat, bangsa
dan negara yang kuat serta bermartabat.4
Terlepas dari mulianya tujuan dan maksud suatu pernikahan maka banyak
upaya-upaya masyarakat untuk dapat mewujudkan pernikahannya. Salah satu konsep
yang hidup di tengah masyarakat tersebut adalah apa yang disebut dengan istilah
berpacaran. Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang
pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa
ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan
persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.Secara
lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa
penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar

keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah
tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan
pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu

4

Cahyadi
Takariawan,
"Tujuan-Tujuan
Mulia
Menikah
dan
Berkeluarga",
Melalui
http://www.dakwatuna.com/2013/11/09/41935/tujuan-tujuan-mulia-menikah-dan-berkeluarga/ax zz37qCpKfQ8,
Diakses tanggal 20 Juni 2014

Universitas Sumatera Utara

5


melakukan aktifitasnya.
Suatu hal yang dipercaya lahir dari proses berpacaran tersebut adalah adanya
upaya untuk saling mengenal pribadi masing-masing bagi insan yang melakukannya,
dan dipercaya tahap pacaran oleh sebagian pelakunya adalah langkah ke depan untuk
seterusnya dapat melangsungkan pernikahan. Sebagian lagi pelaku pacaran
menganggap bahwa pacaran adalah masa untuk mengumbar janji, dan sebagian
lainnya berupaya untuk memperkaya diri sendiri dengan konsep pacaran.Apapun
tujuan pacaran tentunya berbeda konsep dan tujuannya bagi individu yang
melakukannya.
Terdapat berbagai variasi dari pelaksanaan perkawinan di Indoneia
diantaranya perkawinan yang tidak dicatatkan dikenal dengan berbagai istilah seperti
kawin bawah tangan, nikah siri, nikah secara agama, yakni perkawinan yang
dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor
pencatatan nikah, nikah tamasya, yakni perkawinan yang dipublikasikan di media
masa dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang
beragama Islam, kantor catatan sipil bagi yang beragama non Islam.
Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula pencatatan
perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu peristiwa

hukum.5 Akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan satu-satunya alat

5

Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU
No.1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluarga

Universitas Sumatera Utara

6

bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena itu akta nikah
dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi bukan alat bukti yang
menentukan. Karena yang menentukan keabsahan suatu perkawinan adalah menurut
agama.6
Pembahasan yang akan dicoba diteliti dalam penelitian proposal ini adalah
untuk melihat suatu akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah oleh
salah satu satu pasangan, sementara pasangan yang lain telah berkoban secara
material sewaktu berlangsungnya masa pacaran tersebut.
Keadaan sebagaimana digambarkan dari latar belakang uraian di atas banyak

terjadi di tengah masyarakat.Dimana pasangan yang sudah berjanji saling menikah
dan melengkapi janji-janji tersebut dengan persiapan untuk berumah tangga seperti
rumah dan peralatannya serta hal-hal lainnya kandas di tengah jalan.Selain
memberikan suatu akibat kerugian material berupa harta benda maka batalnya
pernikahan yang yang telah direncanakan juga secara moril memberikan akibat
kepada masing-masing pasangan.
Sebagai bahan kajian dalam penelitian tesis ini adalah Putusan Pengadilan
Negeri Medan 01/Pdt.G/2013/PN Mdn antara Penggugat Herman Surya, yang
memberi kuasa kepada Zakaria Bangun dan Ramlin Barus melawan Tergugat
Indriany Kusuma.
Sengketa antara para pihak sebagaimana disebutkan di atas bermula di sekitar
dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, di Hotel RedTop, pada hari
sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hal.4.
6
Ibid, hal.6.

Universitas Sumatera Utara

7


tahun 2004, dimana antara pengggugat dan tergugat bermaksud membina rumah
tangga, dan pada tanggal 6 Juni 2006 penggugat ada membeli satu pintu bangunan
bertingkat bentuk Ruko 3 (tiga) lantai berikut tanah pertapakannya, awalnya untuk
tempat tinggal bersama antara penggugat dengan tergugat, yang terletak di Jalan
Brig.Jend.Katamso No.375-B Medan, pada waktu itu dibuat keatas nama tergugat.
Kemudian rumah tersebut dengan biaya dari penggugat direnovasi. Selain itu
penggugat juga ada memberikan uang pinjaman tunai kepada tergugat sebesar Rp.
62.000.000,. (enam puluh dua juta rupiah). Sehingga apabila ditotal keseluruhan uang
pinjaman yang telah dibayarkan oleh penggugat kepada tergugat sebagaimana
disebutkan diatas berjumlah sebesar Rp.1.052.821.500. (satu milyar lima puluh dua
juta delapan ratus dua puluh satu ribu lima ratus rupiah).
Ternyata hubungan antara penggugat dengan tergugat yang seyogyanya
dilanjutkan dengan perkawinan seutuhnya tidak dilanjutkan walaupun secara adat
Tionghoa telah dilakukan pesta pernikahan di restoran Benteng Medan, dan akhirakhir ini tergugat menghindar dan bermaksud menguasai seluruh harta yang dibeli
dengan uang penggugat yaitu Tanah dan Bangunan berlantai 3 (tiga) yang terletak di
Jalan Brigjend Katamso No.375-B, Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun,
Kota Medan.
Peristiwa selanjutnya tergugat tidak mengembalikan hhutangnya kepada
penggugat, penggugat mengalami kerugian dan kerugian mana wajar dan beralasan
untuk ditanggung oleh tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar 2%(dua persen)
dari Rp.1.052.821.500,- (Satu milyar lima puluh dua juta delapan ratus dua puluh satu

Universitas Sumatera Utara

8

ribu lima ratus rupiah) untuk setiap bulannya yang dihitung mulai sejak gugatan ini
diajukan ke Pengadilan sampai tergugat melunasi semua hhutangnya kepada
penggugat.
Berdasarkan kasus di atas maka dapat dilihat bahwa sengketa yang muncul
adalah disebabkan tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah. Suatu hal yang
menarik dari keadaan di atas adalah bahwa pemberian yang didasari pada bentuk
cinta kasih telah berujung pada sengketa yang dibawa penyelesaiannya ke depan meja
hijau, bukan dengan dasar perkawinan tetapi dengan dasar terjadinya hhutang
pihutang. Kenyataan ini menjadi lebih menarik lagi tatkala hakim dalam putusannya
No. 01/Pdt.G/2013/PN Mdn menerima gugatan penggugat untuk sebagian.Dengan
putusan tersebut maka dapat dikualifikasi bahwa suatu pemberian yang awalnya
adalah suatu bentuk perwujudan dari rasa kasih dan sayang dapat diklaim kembali
menjadi suatu bentuk hhutang pihutang.
Kondisi dari uraian tersebut menjadi daya tarik bagi penelitian untuk
menuangkannya dalam bentuk suatu penelitian karya ilmiah dengan judul “Akibat
Hukum Tidak Dipenuhinya Kesepakatan Untuk Menikah Terhadap Harta Kekayaan
Pemberian Seorang Pria Terhadap Wanita (Analisis Putusan Pengadilan Negeri
Medan Nomor: 01/Pdt.G/2013/PN.Mdn)".
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan dalam pelaksanaan penelitian tesis ini adalah:
1. Bagaimana pandangan hukum menurut KUHPerdata atas uang pemberian seorang
pria kepada seorang wanita dengan tujuan untuk menikah padahal pernikahan

Universitas Sumatera Utara

9

tersebut tidak terlaksana?
2. Bagaimana kedudukan hukum kesepakatan untuk menikah terhadap harta
pemberian salah satu pasangan sebelum pernikahan dilangsungkan?
3. Bagaimana hak menuntut pihak pria atas harta pemberian yang dikuasai pihak
wanita yang tidak jadi menikah?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
lebih mendalami segala aspek kehidupan, di samping itu juga merupakan sarana
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis. 7
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan hukum atas uang pemberian seorang pria kepada
seorang wanita dengan tujuan untuk menikah padahal pernikahan tersebut tidak
terlaksana.
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum kesepakatan untuk menikah terhadap harta
pemberian salah satu pasangan sebelum pernikahan dilangsungkan.
3. Untuk mengetahui hak menuntut pihak pria atas harta pemberian yang dikuasai
pihak wanita yang tidak jadi menikah.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis, sebagai berikut:
7

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2008), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

10

1. Secara teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui dan juga
mengembangkan Ilmu Hukum Kenotariatan pada umumnya, khususnya
dilanggarnya kesepakatan untuk menikah dan akibatnya kepada harta kekayaan
pemberian seorang pria kepada calon istrinya, serta menambah pengetahuan dan
wawasan juga sebagai referensi tambahan pada program studi Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
masyarakat

secara umum maupun

juga

pengadilan

berkenaan

dengan

dilanggarnya kesepakatan untuk menikah dan akibatnya kepada harta kekayaan
pemberian seorang pria kepada calon istrinya.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan objek pembahasan tesis
ini belum pernah dilakukan oleh Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Sumatera Utara.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan Pasca Sarjana Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian
yang dilakukan peneliti lebih memfokuskan pada analisis hukum tentang akibat
hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah terhadap harta kekayaan
pemberian seorang pria terhadap wanita dengan mengambil salah satu kasus di

Universitas Sumatera Utara

11

Pengadilan Negeri Medan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor:
01/Pdt.G/2013/PN.Mdn, sehingga penelitian yang dilakukan, baik dari segi judul,
permasalahan serta metode penelitian belum pernah dilakukan oleh peneliti lain,
maka berdasarkan hal tersebut, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Meskipun demikian ada beberapa judul tesis yang dapat diajukan memiliki
suatu hubungan dengan judul penelitian tesis di Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, yaitu:
1. Fitrianty Chuzaiman, Kedudukan Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukumnya
Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, tahun 2009. Penelitian tesis ini mengetengahkan
permasalahan:
a. Bagaimanakah kedudukan perjanjian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan?
b. Bagaimanakah kedudukan perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum
Islam?
c. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian
perkawinan dan penyelesaiannya?
2. Ahmad Yani, Analisis Yuridis Hak Istri ke-2 dan Seterusnya Atas Harta
Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, tahun 2010. Penelitian tesis ini mengambil
permasalahan tentang:

Universitas Sumatera Utara

12

a. Bagaimanakah hak istri ke-2 dan seterusnya atas harta perkawinan menurut
Undang-Undang

Nomor

1

Tahun

1974

tentang

Perkawinan

bila

perkawinannya putus?
b. Bagaimanakah pembagian harta bersama perkawinan poligami menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
c. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan pembagian
harta perkawinan poligami?
Penulis bertanggung jawab sepenuhnya apabila ternyata dikemudian hari
dapat dibuktikan bahwa penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dari
penelitian yang sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,8 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.9Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atas butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau
permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.10 Fungsi teori
dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/ petunjuk dan meramalkan
serta menjelaskan gejala yang diamati. Menurut teori konvensional, tujuan hukum
8

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: FE
UI, 1996), hal. 203.
9
Ibid., hal. 16.
10
M. Soly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penilitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.

Universitas Sumatera Utara

13

adalah mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. 11
Menurut W. Friedman, suatu undang-undang harus memberikan keadaan yang
sama kepada semua pihak, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadipribadi tersebut.12 Pembahasan tentang hubungan perjanjian para pihak pada
hakekatnya tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dalam masalah keadilan.
Perjanjian sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu dan lain pihak
menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil.
Berdasarkan uraian di atas maka sebagai wacana dalam penelitian ini diangkat
teori keadilan.Sama halnya dengan konsep hukum yang abstrak, maka demikian pula
konsep tentang keadilan merupakan konsep abstrak dan bersifat subjektif, sesuai nilai
yang dianut masing-masing individu dalam masyarakat.13
Hukum lahir karena adanya tuntutan-tuntutan instrumental terhadap pemeirntah.
Bagaimanapun hukum tidak mungkin dipisahkan dari keberadaan suatu
pemerintah, karena seperti yang pernah dikatakan oleh Donald Black, hukum adalah
pengendalian sosial oleh pemerintah.14Memang benar tidak semua aturan hukum
dibuat oleh pemerintah tetapi suatu aturan barulah dapat dikatakan aturan hukum jika
berlakunya memperoleh legitimasi oleh Pemerintah.
11
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofi dan sosiologi). (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002), hal. 85.
12
W. Friedman, Teori Dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kasus Atas Teori-Teori
Hukum, Diterjemahkan Dari Buku Aslinya Legal Theory, Terjemahan Muhammad. (Bandung: Mandar
Maju, 1997), hal. 21.
13

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Prenada Media Group,
2009), hal. 223.
14
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

14

Demikian juga halnya dalam kaitannya dengan akibat hukum tidak
dipenuhinya kesepakatan untuk menikah terhadap harta kekayaan pemberian seorang
pria terhadap wanita maka harta pemberian tersebut harus dikembalikan kepada pria
tersebut karena hal utama sebab pemberian tidak menjadi kenyataan yaitu
perkawinan. Peraturan dasar perkawinan yang diwujudkan dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia adalah suatu aturan yang berlaku
secara nasional dan memperoleh legitimasi oleh pemerintah perihal perkawinan dan
hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan. Hanya saja dalam perwujudannya di
tengah masyarakat maka ada hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang muncul ke permukaan seperti masalah
pemberian seorang pria kepada seorang wanita dengan adanya tujuan yang igin
dicapai yaitu perkawinan, maka dalam kapasitas ini hukum sebagai wujud
perkembangan masyarakat berusaha menampung keadaan tersebut melalui teori
keadilan.
Teori lain yang berhubungan dengan pembahasan di atas adalah teori
kemanfaatan hukum (utilitarian theory).Utilitarianisme pertama kali dikembangkan
oleh Jeremi Bentham (1748-1831).Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada
zaman itu adalah bagaimana menilai baik Buruknya suatu kebijakan sosial politik,
ekonomi, dan legal secara moral. Dengan kata lain bagaimana menilai suatu
kebijakan publik yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral.
Berpijak dari uraian tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif
adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa

Universitas Sumatera Utara

15

manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang
terkait.15
Bila dikaitkan apa

yang dinyatakan Bentham pada hukum, maka baik

buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh
penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibatakibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesarbesarnya, dan berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya dinilai buruk jika
penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya
memperbesar penderitaan. Sehingga tidak salah tidak ada para ahli menyatakan
bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran
hukum.Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.
Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar
rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibatakibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka
isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara. 16
Dengan keadaan tersebut maka akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan
untuk menikah terhadap harta kekayaan pemberian seorang pria terhadap wanita
harus diatur sedemikian rupa sehingga memberikan kemanfaatan bagi masyarakat
yang diatur dalam hukum itu sendiri.Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313

15

Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal.

93-94.
16

Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), hal. 79-80.

Universitas Sumatera Utara

16

KUH Perdata, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan di
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeenkomst dalam
bahasa Belanda.Kata overeenkomst tersebut lazimnya diterjemahkan juga dengan kata
perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut, sama artinya
dengan perjanjian.
Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.
Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian
merupakan

terjemahan

dari

toestemming

yang

ditafsirkan

sebagai

wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).17
Perbedaan pandangan di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang
berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan, yang dilakukan oleh
subjek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum.
Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai
istilah perjanjian tersebut.Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion
doctorum) perjanjian adalah perbuatan hukum yang didasarkan atas kata sepakat
untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno,
yang mengatakan bahwa ”perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak
atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum”. 18
Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana
17

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1985),

18

Ibid.,hal. 97-98.

hal.97.

Universitas Sumatera Utara

17

seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.19 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu
perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.20 Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum di mana
seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.21
Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses
interaksi atau hubungan hukum dari dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh
pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai
kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah
pihak.Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk
tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak
sah.Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat
pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya (bestaarwaarde) itu.22
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, di antaranya perjanjian
bernama (benoemd) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst).
Perjanjian bernama atau perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama
sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama

19
20

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal. 36.
R.Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Bina Cipta, 1987),

hal. 49.
21

Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok HukumJaminan dan
Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset, 2003), hal.1.
22

Ibid.,hal. 65-66

Universitas Sumatera Utara

18

oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi seharihari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH
Perdata.Kemudian di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama,
yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam KUH Perdata,
tetapi terdapat di dalam masyarakat.
Jumlah perjanjian ini tidak berbatas dengan nama yang disesuaikan dengan
kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya. Lahirnya perjanjian ini di dalam
praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau
partij otonom.23
Pasal 1319 KUH Perdata menegaskan semua perjanjian, baik yang
mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu,
tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam KUH Perdata. Ketentuan
yang mengatur mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III KUH Perdata, yang
memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan,
sehingga hanya berfungsi mengatur saja.
Hukum perjanjian sendiri tercantum dalam Buku III KUH Perdata yang terdiri
dari 18 Bab dan 631 Pasal, dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan 1864 KUH
Perdata. Adapun syarat mengenai sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata, yaitu:24
a.

Adanya kata sepakat
23

24

Ibid.,hal. 67.
Lihat Pasal 1320 KUH Perdata

Universitas Sumatera Utara

19

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian
c. Adanya suatu hal tertentu
d. Adanya sebab yang halal.
Dalam perjanjian juga dilandasi oleh beberapa asas, yaitu:25
1.

2.

3.

4.

5.

Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi: Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan berkontrak
kepada para pihak untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta
d. Menentukan bentuk perjanjiannya, baik lisan maupun tertulis.
Asas Konsensualisme (consensualism)
Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata, yang mana
menentukan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah dengan
adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang berjanji untuk mengikatkan
diri. Asas ini menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak saja.
Asas Kepastian Hukum (facta sunt servanda)
Asas ini merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas facta
sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati subtansi kontrak yang telah dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Maka daripada itu tidak diperbolehkan adanya
suatu intervensi terhadap suatu subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak
yang terkait di dalamnya.
Asas Itikad Baik (good faith)
Asas ini tercantum dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, yang berbunyi:
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini menjelaskan bahwa
para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur diwajibkan untuk melaksanakan
subtansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun
kemauan baik dari para pihak.
Asas Kepribadian (personality)
Merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan
atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.
Dalam membuat suatu perjanjian, selain harus terpenuhinya syarat-syarat
25

Mariam Darus Badrulzaman, dkk.,Kompilasi Hukum Perikatan, dalam rangka Menyambut
Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 65.

Universitas Sumatera Utara

20

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata seperti tersebut diatas, di
perlukan pula asas-asas yang melandasinya, maka dalam hal ini dipergunakan asas
kebebasan berkontrak yang dapat dikaitkan dalam penilitian ini. Asas kebebasan
berkontrak ini sendiri memberikan kesempatan bagi para pihak untuk sebebasbebasnya menimbang dan mencantumkan hasil buah fikiran atau pendapat atau
keinginan para pihak, yang kemudian dituangkan dalam suatu perjanjian dengan tetap
mengindahkan undang-undang yang berlaku.
Kebebasan berkontrak memiliki kaitan dengan penyelesaian perselisihan
yangtimbul dari kontrak/perjanjian. Artinya para pihak bebas memilih/menentukan
cara mereka menyelesaikan sengketa tersebut.Penyelesaian sengketa tersebut dapat
dilakukan melalui pengadilan (litigasi) atau pun di luar pengadilan (non
litigasi).Begitu pentingnya sengketa untuk diselesaikan secepat dan seefisien
mungkin, agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar, maka pada kesempatan
ini, akandikaji lebih lanjut penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang telah memiliki sistemnya tersendiri.
Demikian pula halnya dengan kesepakatan untuk menikah, tentunya memiliki
efektivitas bagi para pihak yang melakukan kesepakatan tersebut seperti
mempersiapkan segala sesuatu untuk melangsungkan suatu perkawinan.Kesepakatan
untuk menikah juga secara lahiriah melahirkan suatu sikap emosi tertentu terhadap
salah satu pasangannya sehingga melahirkan pemberian-pemberian yang merupakan
wujud kepedulian salah satu pasangan kepada pasangan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

21

Apabila kesepakatan untuk menikah tersebut kemudian dibatalkan oleh salah
satu pihak, maka pihak lainnya yang telah berkorban memberikan sejumlah harta
kepada pasangan lainnya tentunya mengalami kerugian yang sedemikian rupa.Oleh
sebab itu pihak yang membatalkan kesepakatan dan telah menerima sejumlah harta
tersebut harus dapat mengembalikannya kepada pasangan lainnya.
2. Konsepsi
Konsep merupakan hal-hal yang dianggap penting sehingga digunakan dalam
hukum, konsep ini sama pentingnya dengan asas maupun standard. Konsep adalah
suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu Peranan proses
yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.26 Kerangka
konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan
dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.27 Konsep dalam penelitian adalah
untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.28
Konsep

diartikan

sebagai

kata

yang

menyatakan

abstrak

yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi
operasional.29 Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu
pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali
bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi
pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu

26

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 397.
Op.Cit., hal.7.
28
Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.34.
29
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hal.3.
27

Universitas Sumatera Utara

22

hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari
sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.30
Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan
dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menguraikan beberapa konsepsi
dan pengertian dari istilah yang digunakan sebagaimana yang terdapat di bawah ini:
a. Akibat hukum adalah akibat daripada perbuatan seseorang yang bertentangan
dengan hukum.
Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh
suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum.Tindakan
yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan
guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.31Lebih jelas lagi
bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan
hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibatakibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang
bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.32Akibat
hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek
hukum yang bersangkutan. Misalnya, mengadakan perjanjian jualbeli maka telah
lahir suatu akibat hukum dari perjanjian jual beli tersebut yakni ada subyek
hukum yang mempunyai hak untuk mendapatkan barang

30
31

32

dan

mempunyai

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.5.
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 243.
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), hal. 71.

Universitas Sumatera Utara

23

kewajiban untuk membayar barang tersebut. Begitu sebaliknya subyek hukum
yang lain mempunyai hak untuk mendapatkan uang tetapi di samping itu dia
mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang. Jelaslah bahwa perbuatan
yang dilakukan subyek hukum terhadap obyek hukum menimbulkan akibat
hukum.33
b. Tidak dipenuhinya

kesepakatan

artinya dilanggarnya

kesepakatan

yang

diperbutan oleh para pihak. Dilanggarnya kesepakatan dalam kajian hukum
perdata disebut dengan wanprestasi.
Wirjono Prodjodikoro, mengatakan: “Wanprestasi adalah berarti ketiadaan suatu
prestasi dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi
dari suatu perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah
pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaan janji untuk
wanprestasi”.34Lebih tegas Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa:
“Apabila dalam suatu perikatan si debitur karena kesalahannya tidak
melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan debitur itu wanprestasi”.35
c. Menikah adalah suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang didalamnya
terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belaah pihak. Janji setia yang terucap
merupakan sesuatu yang tidak mudah diucapkan.
Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mendefinisikan
33
Ahmad Rifa'i, "Akibat Hukum", Melalui http://ahmad-rifai-uin.blogspot.com/2013/
04/akibat-hukum.html, Diakses tanggal 28 Juni 2014.
34
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, 1991), hal. 44.
35
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001), hal. 33.

Universitas Sumatera Utara

24

pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Adapun Pasal 2
Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan: “Perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidza
untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
G. Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian pada hakekatnya, mempunyai metode penelitian
masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan
penelitian.36 Kata metode berasal dari yunani “Methods” yang berarti cara atau jalan
sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja
untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.37
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif.yuridis normatif yang dimaksud
pada penelitian ini adalah, berusaha melakukan pendekatan terhadap dasar hukum
dan menganalisa permasalahan yang ada. Menganalisa hukum baik yang tertulis,
maupun yang di putuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.
Sifat penelitian adalah deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan
untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual, dan akurat
36

Jujun S.Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2002), hal. 328.
37
Koenjtraranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997), hal.16.

Universitas Sumatera Utara

25

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki38 perihal
akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah terhadap harta kekayaan
pemberian seorang pria terhadap wanita (analisis putusan Pengadilan Negeri Medan
Nomor: 01/Pdt.G/2013/PN.Mdn), maksudnya bahwa penelitian ini menelaah dan
menjelaskan serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku ologi
berkenaan dengan akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah
terhadap harta kekayaan pemberian seorang pria terhadap wanita dan analitis di
artikan sebagai kegiatan menganalisa data secara komferenshif tentang akibat hukum
tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah terhadap harta kekayaan pemberian
seorang pria terhadap wanita, dan ditujukan untuk membatasi kerangka studi pada
suatu pemberian, suatu analisis, atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan
untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.
2. Sumber Data
Data penelitian ini meliputi:
a. Data sekunder.
Yaitu data yang didapatkan melakukan penelitian lapangan yang dilakukan di
Pengadilan Negeri Medan.
b. Data Primer:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah
yang baru maupun pengertian baru mengenai studi gagasan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan seperti KUH Perdata, Undang-Undang Nomor
38

Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

26

1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan pelajaran mengenai
bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah
lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum
sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahwa hukum penunjang yang memberi penunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus, majalah maupun internet sebagai pendukung.
3. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data, yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melalui penelitian kepustakaan (Library Research). Untuk

mengumpulkan

data

sekunder maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca,
mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data primer, sekunder
maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif
yaitu merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam
pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan
suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.39
Metode ini tidak bisa dipisahkan dengan pendekatan masalah, spesifikasi

39

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, cetakan keempatbelas, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 101.

Universitas Sumatera Utara

27

penelitian, dan jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian yang dilakukan.
Analisis kualitatif merupakan suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analitis.40
Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang
terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah,
peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media
cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi
kepustakaan.Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara
sistematik, kemudian diolah dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif.
Setelah pengolahan data selesai dilakukan maka akan ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode deduktif, sehingga diharapkan akan dapat memberikan
jawabanatas permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

40

Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Akibat Hukum Ingkar Janji Disebabkan atas Harta Pemberian Sebelum Pernikahan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

0 0 7

Akibat Hukum Ingkar Janji Disebabkan atas Harta Pemberian Sebelum Pernikahan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

0 0 1

Akibat Hukum Ingkar Janji Disebabkan atas Harta Pemberian Sebelum Pernikahan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

0 0 9

Akibat Hukum Ingkar Janji Disebabkan atas Harta Pemberian Sebelum Pernikahan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

0 0 17

Akibat Hukum Ingkar Janji Disebabkan atas Harta Pemberian Sebelum Pernikahan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

0 0 3

Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya Kesepakatan Untuk Menikah Terhadap Harta Kekayaan Pemberian Seorang Pria Terhadap Wanita (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

0 2 14

Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya Kesepakatan Untuk Menikah Terhadap Harta Kekayaan Pemberian Seorang Pria Terhadap Wanita (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

0 0 2

Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya Kesepakatan Untuk Menikah Terhadap Harta Kekayaan Pemberian Seorang Pria Terhadap Wanita (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

0 2 31

Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya Kesepakatan Untuk Menikah Terhadap Harta Kekayaan Pemberian Seorang Pria Terhadap Wanita (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

0 0 4