Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

(1)

TESIS

Oleh

JULIANA ROSALI HARAHAP

107011018/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JULIANA ROSALI HARAHAP

107011018/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

2. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Nama : JULIANA ROSALI HARAHAP

Nim : 107011018

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISA HUKUM PENETAPAN AHLI WARIS

(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR 1229/PDT.G/2010/PA/MDN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :JULIANA ROSALI HARAHAP Nim :107011018


(6)

manusia. Dengan adanya harta maka kebutuhan setiap orang dapat terpenuhi. Harta kekayaan dapat membuat orang bahagia atau malah membuat orang menderita. Dalam kehidupan masyarakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta, terutama harta warisan. Hukum waris Islam adalah suatu hukum yang adil untuk menjawab sengketa permasalahan yang menyangkut pembagian harta warisan. Hukum waris Islam menjadi alternatif penyelamat munculnya pertikaian dalam proses pembagian harta warisan. Islam adalah agama yang adil. Bagian-bagian para ahli waris telah ditetapkan secara adil jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan porsi kedekatan seorang ahli waris terhadap si pemilik harta. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini ialah mengenai cara/proses mendapatkan penetapan ahli waris, lembaga-lembaga yang berhak mengeluarkan penetapan ahli waris, serta alasan-alasan yang menyebabkan Hakim Pengadilan Agama menolak membatalkan penetapan ahli waris.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, atau dengan kata lain melihat hukum dari aspek normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat para ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.

Surat keterangan waris merupakan surat yang isinya menerangkan tentang kedudukan ahli waris dan hubungannya dengan pewaris. Dengan adanya surat keterangan waris tersebut ahli waris dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta peninggalan pewaris. Terkait dengan penetapan ahli waris, maka prosedur yang harus ditempuh ialah mengajukan surat permohonan Penetapan Ahli Waris ke Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedangkan bagi mereka yang beragama selain Islam, maka surat permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri. Lembaga-lembaga yang berhak mengeluarkan penetapan/surat keterangan ahli waris ialah : pengadilan negeri, pengadilan agama, notaris, balai harta peninggalan, serta kelurahan/kecamatan.


(7)

people fight to one another because of property, especially because of inheritance. It becomes an alternative for solving the dispute in the process of bequeathing inheritance. Islam is an equitable religion. The portion of inheritance has been divided fairly among the heirs, according to ther relationship with the testators. The problems discussed in this research were about the method/process of how to specify the right heirs, about the institution which were authorized to specify the rigth heirs, and about the reasons why the judges in the Religious Court reject to cancel the specification of heirs.

The theory used in this research was the theory of justice with judicial normative method since this research used library research or documentation study which was aimed at legal prosivisons relevant to the problems of the research, viewed from the normative aspects. In this kind of method, legal pronciples, legal provisions, jurisprudence, and legal advisers opinions would be analyzed deeply. The data were gathered by performing library research and interviews.

Certificate of Inheritance explains the position of heirs and their relationship with testators. By this Certificate of Inheritance, the heirs can perform legal action on the inheritance. The procedure of specifying the heirs is by presenting Certificate of Inheritance to the Religious Court (for Moslems) as it is stipulated in Article 49b of Law No.3/2006 on the Amandement of Law No. 7/1989 on Religious Court. For people other than Moslems, Certificate of Inherritance is presented to the District Court. The institution which have the authority to issue Certificate of Inheritance are District Court, Religious Court, Notary, Legacy Office, and Kelurahan/Subdistrict Administration.


(8)

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat kehidupan, kesehatan, dan kekuatan sehingga dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini yang berjudul “Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)” dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam, sehingga kita dapat keluar dari zaman kegelapan dan kebodohan.

Dibalik terselesaikannya tesis ini, ada banyak pihak yang telah membantu, membimbing, dan memberikan semangat kepada penulis. Untuk itu, penulis haturkan rasa terimakasih yang amat sangat kepada yang terhormat Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA. PhD., Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA., dan Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga kepada semua pihak yang telah berkenan memberikan masukan dan arahan dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil sampai


(9)

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar dibangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.


(10)

8. Guru-guru penulis, dari TK, SD hingga SMA yang dengan sabar mendidik dan mengajar penulis agar menjadi anak yang pintar, berguna bagi nusa dan bangsa. 9. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2010 yang telah memberikan warna pada penulis, dalam menjalani hari-hari di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Terkhusus untuk sahabat-sahabat ku, Dyna Filisia, SH, M.Kn., Masyithah, SH, dan Rima Paramita Sita, SH yang telah banyak memberikan dukungan, dan bantuan, yang telah mengisi hari-hari dan memberikan warna dalam hidup penulis, yang selalu memberi keceriaan dan kebahagiaan yang tak terhingga. Terima kasih banyak.

Khusus kepada kedua orang tua penulis, Ali Sutan Harahap, SE dan Hj. Rosmiah Nasution, Apt. Merekalah yang telah membesarkan dan mendidik penulis agar mampu menjalani hidup dengan berani, bijaksana, jujur, dan peduli terhadap sesama. Serta senantiasa mengajarkan Ilmu Padi; Makin Berisi, Makin Merunduk pada penulis. Mereka memiliki peran sangat penting dan tak terhingga, rasanya ucapan terimakasih saja tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan wujud penghargaan penulis. Kepada kedua adik ku tersayang, Ismail Sati Alom Hrp dan Ade Ayu Lanniari Hrp, terima kasih karena sudah sabar menghadapi omelan, ocehan,


(11)

sayang.

Penulis menyadari, bahwa tulisan ini masih sangat jauh dari sempurna. Masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi isi dan cara penyajiannya. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Seperti kata pepatah “Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba”.Untuk itu dengan kerendahan hati dan tangan terbuka, penulis menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan dan kesempurnaan isi dari tesis ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Medan, Desember 2012 Penulis,


(12)

1. Nama : Juliana Rosali Harahap 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 1 Juli 1987 3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Belum Menikah

5. Agama : Islam

6. Alamat : Jl. Harapan Pasti no.67, Medan 7. No. Handphone : 0813-62-106-107

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Ali Sutan Harahap, SE

2. Nama Ibu : Dra. Hj. Rosmiah Nasution, Apt (almh) 3. Nama Adik : Ismail Sati Alom Harahap

Ade Ayu Lanniari Harahap III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Al-azhar Medan

Tahun 1993-1999

2. SMP : SMP Al-azhar Medan

Tahun 1999-2002

3. SMA : SMA Negeri 17 Medan

Tahun 2002-2005

4. Perguruan Tinggi (S1) : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2005-2009

5. Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahu 2010-2012


(13)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 8

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 9

G. Metode Penelitian ... 16

BAB II PROSES UNTUK MENDAPATKAN PENETAPAN AHLI WARIS ... 21

A. Tinjauan Umum Tentang Pewarisan ... 21

1. Pengertian Pewarisan ... 21

2. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Sunnah ... 30

3. Asas, Rukun dan Syarat Hukum Waris Islam ... 33

4. Penyebab dan Penghalang Terjadinya Pewarisan ... 39

B. Prosedur Permohonan Penetapan Ahli Waris ... 42

C. Teknis Persidangan ... 48

1. Kedudukan dan Kompetensi Pengadilan Agama ... 48


(14)

Penetapan Ahli Waris ... 71

1. Penetapan Ahli Waris yang Dikeluarkan Oleh Pengadilan Negeri ... 71

2. Penetapan Waris yang dikeluarkan Oleh Pengadilan Agama ... 73

3. Penetapan Waris yang Dibuat Oleh Notaris ... 74

4. Keterangan Waris yang Disaksikan dan Dibenarkan oleh Kelurahan dan Diketahui oleh Camat ... 75

5. Surat Keterangan Waris yang Dikeluarkan oleh Balai Harta Peninggalan ... 76

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB HAKIM MENOLAK PEMBATALAN PENETAPAN AHLI WARIS ... 77

A. Analisis Kasus ... 77

B. Faktor-faktor Penyebab Hakim Menolak Pembatalan Penetapan Ahli Waris ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. KESIMPULAN ... 92

B. SARAN ... 93


(15)

Beschikking : penetapan

Different principles : prinsip perbedaan

Dubius : penafsiran ganda/mendua

Duplik : jawaban dari tergugat

Economic Equality : kesetaraan/persamaan ekonomi

Equal Right : prinsip kesetaraan

Faraidh : hukum waris dalam Islam

Fuqaha : ahli hukum islam

Immateriele goederen : barang-barang yang tidak berwujud benda

Impartiality : prinsip ketidakberpihakan

Judicial power : kekuasaan kehakiman

Kalalah : tidak meninggalkan anak dan ayah

Legitime portie : bagian mutlak

Mahjub : tidak mendapatkan warisan

Mirats : kewarisan

Muamalah : hubungan antar manusia

Nasabiyah : karena hubungan darah

Niet ontvankelijke verklaard : tidak dapat diterima

Plaatsvervulling : penggantian tempat

Qadha : menyelesaikan

Reciprocal benefits : keuntungan yang bersifat timbal balik

Replik : jawaban atas tanggapan tergugat

Research : penelitian

Sababiyah : yang timbul karena hubungan perkawinan yang sah.

Tirkah : harta peninggalan


(16)

SAW : Salallahu ‘alaihi wasallam

SWT : Subhanahu wata’ala

Q.S. : Qur’an Surah

Stb : Staatsblad

Jo : Juncto

HIR : Het Herziene Indonesisch Reglement

RBg : Reglement tot Regeling van het

Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madoera

RT/RW : rukun tetangga/rukun warga

VOC : vereenigde oost indische compagnie


(17)

people fight to one another because of property, especially because of inheritance. It becomes an alternative for solving the dispute in the process of bequeathing inheritance. Islam is an equitable religion. The portion of inheritance has been divided fairly among the heirs, according to ther relationship with the testators. The problems discussed in this research were about the method/process of how to specify the right heirs, about the institution which were authorized to specify the rigth heirs, and about the reasons why the judges in the Religious Court reject to cancel the specification of heirs.

The theory used in this research was the theory of justice with judicial normative method since this research used library research or documentation study which was aimed at legal prosivisons relevant to the problems of the research, viewed from the normative aspects. In this kind of method, legal pronciples, legal provisions, jurisprudence, and legal advisers opinions would be analyzed deeply. The data were gathered by performing library research and interviews.

Certificate of Inheritance explains the position of heirs and their relationship with testators. By this Certificate of Inheritance, the heirs can perform legal action on the inheritance. The procedure of specifying the heirs is by presenting Certificate of Inheritance to the Religious Court (for Moslems) as it is stipulated in Article 49b of Law No.3/2006 on the Amandement of Law No. 7/1989 on Religious Court. For people other than Moslems, Certificate of Inherritance is presented to the District Court. The institution which have the authority to issue Certificate of Inheritance are District Court, Religious Court, Notary, Legacy Office, and Kelurahan/Subdistrict Administration.


(18)

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat kehidupan, kesehatan, dan kekuatan sehingga dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini yang berjudul “Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)” dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam, sehingga kita dapat keluar dari zaman kegelapan dan kebodohan.

Dibalik terselesaikannya tesis ini, ada banyak pihak yang telah membantu, membimbing, dan memberikan semangat kepada penulis. Untuk itu, penulis haturkan rasa terimakasih yang amat sangat kepada yang terhormat Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA. PhD., Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA., dan Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga kepada semua pihak yang telah berkenan memberikan masukan dan arahan dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil sampai


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai suatu masyarakat yang sedang membangun seperti halnya Indonesia, hukum senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada yang telah dicapai sebelumnya. Menghadapi kenyataan seperti itu peranan hukum semakin menjadi penting dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan sebagaimana yang telah ditetapkan. “Fungsi hukum dalam pembangunan tidak sekedar sebagai alat pengendalian sosial saja, melainkan lebih dari itu, yaitu melakukan upaya untuk menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan”.1 Dengan kata lain fungsi hukum adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Islam sebagai suatu agama dan jalan hidup yang berdasarkan pada firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah rasul. Setiap orang Islam berkewajiban untuk bertingkah laku dalam hidupnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, setiap orang Islam hendaknya memperhatikan tiap langkahnya untuk membedakan antara yang benar dan yang

1Otje Salman,Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, 1993,


(20)

salah. Prinsip-prinsip ini adalah kebutuhan dan kepentingan pengenalan terhadap hukum Islam (syari’ah).

Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil-adilnya. Dalam kehidupan masyarakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan. Pembagian harta warisan diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat di dalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan. Dengan adanya sistem pembagian harta warisan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang tertib, teratur dan damai.

Di Indonesia pada saat ini masih terdapat beraneka ragam sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia, yaitu : sistem hukum kewarisan perdata barat yang didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sistem hukum kewarisan adat yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai daerah di lingkungan hukum adat, dan sistem hukum kewarisan Islam yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja berada di dunia ini. Akan tetapi corak suatu negara dan kehidupan masyarakat di negara tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di negara itu.2

Pengertian waris dalam bahasa Indonesia ialah pusaka, yakni harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal menjadi hak yang bisa dimiliki oleh para

2


(21)

ahli waris dari orang yang meninggal tersebut. Para ahli waris itu bisa menjadi ahli waris karena hubungan darah dengan si pewaris, atau karena hubungan perkawinan dengan si pewaris. Para ahli waris itulah yang mengambil-alih harta warisan itu secara otomatis, artinya tanpa perlu surat menyurat resmi atau di umumkan secara resmi di depan umum, asal saja semua ahli waris itu (tidak seorangpun dari mereka yang menentangnya) sepakat mengenai pembagian harta warisan itu.3

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan Islam ini bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad para ulama. Hukum waris menduduki tempat yang amat penting dalam hukum Islam. Al-Qur’an mengatur tentang hukum waris dengan jelas dan rinci. Hal ini dikarenakan sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Di samping itu juga, hukum waris menyangkut tentang harta benda yang apabila tidak diselesaikan akan menimbulkan sengketa diantara para ahli waris. Syari’ah Islam memberikan hak diantara orang yang mendapatkan warisan itu secara tertib sesuai dengan proporsinya, sesuai dengan hak masing-masing ahli waris. Pembagian waris menurut hukum fiqih Islam disebut juga dengan pembagian waris menurut faraidh, artinya pembagian waris yang sudah ditentukan bagian-bagiannya. Ketentuan-ketentuan pembagian waris dalam Islam bukan saja mengenai berapa besar bagiannya, tetapi juga ditentukan siapa-siapa diantara para ahli waris itu sebagai ahli waris utama (ahli waris primer) dan siapa-siapa diantara mereka yang menjadi ahli

3


(22)

waris biasa.4 Jika ahli waris utama itu masih hidup maka ahli waris biasa tidak mendapatkan harta warisan, sebab mereka terdinding (terhijab).

Wiryono mengemukakan pengertian warisan ialah bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.5 Sedangkan menurut Pitlo hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan diatur, yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.6 Hukum kewarisan mengatur hubungan antara seseorang dengan benda dikarenakan ada orang meninggal dunia, artinya satu sisi mungkin sekali orang memperhatikan hukum kewarisan karena mengatur benda dihubungkan dengan subjek (orang) yang mempunyai hubungan dengan benda tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf a disebutkan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Pengertian hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam di fokuskan pada ruang lingkup hukum kewarisan Islam, yaitu hukum

4

Ibid

5Wiryono Projodikoro,Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1980, hal.8 6

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal.7


(23)

kewarisan yang berlaku bagi orang Islam saja. Adapun tujuan hukum waris Islam adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar bermanfaat kepada ahli waris secara adil dan baik. Untuk itu Islam tidak hanya memberikan warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi juga dari kedua belah pihak baik garis keatas, garis kebawah, atau garis kesamping, sehingga hukum waris Islam bersifat bilateral individual.7 Sedangkan Salim H.S mengatakan bahwa hukum waris adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur mengenai pemindahan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang diterima, serta hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga.8

Penyelesaian kewarisan tidaklah mutlak harus secara pembagian faraidh, walaupun semua ahli waris dan pewaris adalah beragama Islam. Mereka para ahli waris jika atas kehendaknya sendiri secara sepakat bulat ingin membagikan harta warisan mereka secara hukum adat hingga anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama maka pembagian itu dianggap sah dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam, sebab para ahli waris dapat melakukan perdamaian diantara mereka dalam pembagian harta warisan tersebut.9

Hukum waris Islam adalah suatu hukum yang adil untuk menjawab sengketa permasalahan yang menyangkut pembagian harta warisan. Hukum waris Islam menjadi alternatif penyelamat munculnya pertikaian dalam proses pembagian harta warisan. Islam adalah agama yang adil. Bagian-bagian para ahli waris telah ditetapkan secara adil jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan porsi kedekatan seorang ahli waris terhadap si pemilik harta. Namun demikian hak bagian harta waris

7

Tamakiran,Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Pioner Jaya, Bandung, 1987, hal. 85

8Salim H.S,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.138 9Hasbullah Bakri,Op cit, hal.217


(24)

pada kondisi tertentu dapat terputus kepada ahli waris dengan beberapa faktor. Ditetapkannya hukum waris Islam memiliki banyak hikmah dan manfaat, diantaranya adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar dapat bermanfaat kepada ahli waris secara adil dan baik, mencegah terjadinya pertumpahan darah akibat proses pembagian harta warisan, memberikan rasa keadilan bagi penerima hak warisan.

Salah satu contoh kasus yang terjadi yaitu antara nyonya SR sebagai penggugat dan nyonya YS sebagai tergugat. Bahwa yang menjadi pokok permasalahannya adalah penggugat mengajukan gugatan tentang pembatalan penetapan waris nomor 3/Pdt.P/2010/PA Mdn terhadap tergugat sekaligus memohon agar ditetapkan sebagai ahli waris yang sah berdasarkan hukum. Bahwa pada mulanya almarhum nyonya UK menikah dengan tuan AS dan dikaruniai seorang anak yang bernama MS. Kemudian tuan AS menikah lagi dan dari pernikahannya tersebut lahirlah seorang anak yaitu nyonya SR (penggugat). Sedangkan nyonya YS (tergugat) merupakan anak dari tuan MS. Bahwa antara penggugat dan tergugat mempunyai hubungan kekeluargaan, yaitu penggugat merupakan saudara seayah dengan almarhum tuan MS, dimana tuan MS ini adalah anak kandung satu-satunya dari almarhum nyonya UK dan juga merupakan ayah dari tergugat.

Permasalahan muncul karena penggugat beranggapan bahwa ia (penggugat) berhak atas harta warisan dari almarhum nyonya UK dikarenakan penggugat merupakan anak tiri dari almarhum nyonya UK, maka penggugat tidak termasuk ahli waris dari almarhum nyonya UK, sebab penggugat hanya mempunyai hubungan


(25)

hukum kewarisan dari silsilah tuan AS, baik keatas maupun kebawah. Sedangkan tergugat adalah merupakan cucu dan satu-satunya ahli waris dari almarhum nyonya UK. Dengan demikian tergugat mempunyai hak terhadap harta warisan dari nyonya UK tersebut.

Oleh karena penetapan ahli waris nomor 3/Pdt.P/2010/PA Mdn adalah penetapan tentang keahliwarisan almarhum nyonya UK dalam penetapan mana tergugat adalah sebagai cucu dan satu-satunya ahli waris maka tergugat berhak atas harta warisan yang ditinggalkan almarhum nyonya UK. Sedangkan penggugat tidak mempunyai hubungan hukum dengan pewaris dalam penetapan ahli waris tersebut, dan dengan demikian penggugat bukanlah sebagai pihak yang patut (persona standi in judicio) dalam mengajukan gugatan pembatalan penetapan nomor 3/Pdt.P/2010/PA Mdn.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai pembatalan penetapan ahli waris. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan nomor 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses untuk mendapatkan penetapan ahli waris ?

2. Lembaga-lembaga mana sajakah yang berwenang dalam mengeluarkan atau membuat penetapan/surat keterangan ahli waris ?


(26)

3. Apa yang menyebabkan hakim menolak pembatalan penetapan ahli waris ? C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui proses mendapatkan penetapan ahli waris.

2. Untuk mengetahui lembaga-lembaga yang berwenang dalam mengeluarkan penetapan/surat keterangan ahli waris.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan hakim menolak pembatalan penetapan ahli waris.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan penambahan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan dalam hal penetapan ahli waris.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat dalam hal mengetahui secara jelas tentang penetapan ahli waris.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Kenotariatan Universitas


(27)

Sumatera Utara penelitian mengenai “Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi kasus Putusan Pengadilan Agama Medan no.1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli, oleh karenanya tesis ini dapat di pertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.10 Fungsi teori adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang di amati.11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.12

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang di amati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif maka kerangka teori di arahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami penetapan ahli waris. Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori keadilan.

10JJJ. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203 11

Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal.35


(28)

“Dalam bukunyaA Theory of JusticeJohn Rawls mengemukakan bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur berfikir untuk menghasilkan keadilan. Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu ia melihat tentangEqual Rightdan jugaEconomic Equality. DalamEqual Rightdikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitudifferent principlesbekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jikabasic righttidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akanvalidjika tidak merampas hak dasar manusia”.13

“Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik(reciprocal benefits)bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal, yaitu pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah”.14

Keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain. Pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan rakyat sendiri wajib menaati pemerintah selama pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis. Dengan kata lain keadilan

13

Ibnu,Teori Keadilan,http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/12/01/teori-keadilan-john-rawls/, Teori Keadilan, diakses pada tanggal 31 Mei 2012.

14 Heru, Teori Keadilan,


(29)

berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.

“Menurut Qutb, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan dalam Islam menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu dan kelompok, masalah ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi dalam kemampuan individu. Ia berpihak pada kesamaan kesempatan dan mendorong kompetisi. Apa yang diformulasikan Qutb adalah gagasan tentang keadilan sosial yang bersifat kewahyuan. Yaitu bahwa umat Islam harus mengambil konstruksi moral keadilan sosial dari Al-Qur’an yang telah diterjemahkan secara konkret dan sukses oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya”.15

Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Oleh karenanya pertanyaan tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak mugkin satu. Dengan kata lain persepsi orang mengenai apa itu hukum adalah berbeda-beda dan beraneka ragam, tergantung dari sudut pandang setiap orang memandang hukum tersebut.

Dalam banyak hal harta kekayaan adalah hal yang paling penting dalam hukum kewarisan. Secara terminologi, mirats (kewarisan) berarti warisan harta kekayaan yang dibagi dari seseorang yang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Mirats menurut syari’ah adalah undang-undang sebagai pedoman antara orang yang meninggal dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan dengan kewarisan. Pewarisan harta meliputi semua harta yang dimiliki berkaitan dengan

15Nur Rahmat,Keadilan sosial Dalam Islam,http://insistnet.com/index.php?option=com

content&task=view&id=112&itemid=26, Keadilan Sosial Dalam Islam, diakses pada tanggal 31 mei 2012


(30)

harta kekayaan dan hak-hak lain yang tergantung di dalamnya, seperti utang piutang, hak ganti rugi, dan sebagainya. Aturan tentang kewarisan dalam syariah berdasarkan prinsip bahwa harta peninggalan yang dimiliki almarhum yang meninggal harus dibagikan kepada keluarganya berdasarkan hubungan darah dan hubungan perkawinan yang mempunyai hak yang paling kuat. Syari’ah Islam memberikan hak diantara orang yang mendapatkan warisan itu secara tertib sesuai dengan proporsinya masing-masing.

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam kewarisan yaitu :16

1. Pewaris benar-benar telah meninggal dunia (meninggal secara hakiki), atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia (meninggal secara hukmi), yaitu sebenarnya pewaris yang dinyatakan meninggal itu tidak dapat disaksikan, tetapi karena dengan dugaan kuat dia telah meninggal dunia, maka supaya ahli waris tidak menanti-nanti dalam kesamaran hukum waris, mereka meminta Pengadilan Agama untuk menetapkan matinya pewaris secarahukmi.

2. Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal. Maka, jika dua orang yang saling mempunyai hak waris satu sama lain meninggal bersama-sama atau berturut, tetapi tidak dapat diketahui siapa yang mati lebih dulu diantara mereka tidak terjadi waris-mewarisi.

3. Hubungan kewarisan yang sah. Maksudnya benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau dengan kata lain benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris yang bersangkutan berhak waris.

Adanya berbagai sebab dan syarat warisan belum cukup menjadi alasan adanya hak waris bagi ahli waris. Baik ahli waris dari pihak laki-laki maupun perempuan dapat terhalang menjadi ahli waris dengan salah satu sebab sebagai berikut :


(31)

1. Berbeda agama antara pewaris dan ahli waris. Alasan penghalang ini adalah hadist nabi yang mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak mewaris atas harta orang yang non muslim, begitu juga sebaliknya.

2. Membunuh.

Yang dimaksud dengan membunuh disini adalah membunuh dengan sengaja yang mengandung unsur pidana, bukan karena membela diri atau sebagainya. 3. Menjadi budak orang lain.

Hukum waris Islam mempunyai prinsip yang dapat di simpulkan sebagai berikut :17

1. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang di kehendaki.

2. Warisan adalah ketetapan hukum. Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu membuat surat pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim.

3. Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada yang jauh.

4. Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian tertentu kepada beberapa ahli waris.

5. Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atas harta warisan. Anak yang sudah besar, yang masih kecil, atau yang baru saja lahir, semuanya berhak atas harta warisan orangtuanya. Namun, perbedaan besar kecilnya bagian di adakan sejalan dengan besar kecilnya beban kewajiban yang harus di tunaikan dalam keluarga.

6. Hukum waris Islam membedakan besar kecilnya bagian tertentu ahli waris di selaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, di samping memandang jauh dekat hubungannya dengan si pewaris.

17


(32)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep merupakan alat yang di pakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.18 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.19

Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari yang abstrak menjadi sesuatu yang konkret, yang disebut dengan defenisi operasional.20 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran ganda/mendua (dubius) dari suatu istilah yang di pakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus di defenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini di rumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

18Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.397

19Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal.7

20

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal.10


(33)

1. Waris adalah : harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal untuk di bagikan kepada yang berhak menerimanya.21

2. Pewaris adalah : orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan (agama) beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.22

3. Ahli waris adalah : orang yang pada saat meninggal dunia (pewaris) mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.23

4. Harta peninggalan adalah : harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

5. Harta waris adalah : sejumlah harta milik orang yang meningal dunia (pewaris) setelah diambil sebagian harta tersebut untuk biaya-biaya perawatan jika ia menderita sakit sebelum meninggalnya, penyelenggaraan jenazah, penunaian wasiat harta jika ia berwasiat, dan pelunasan segala utang-utangnya jika ia berutang kepada orang lain sejumlah harta.24

6. Pembatalan penetapan hak waris adalah : suatu perbuatan yang membatalkan hak waris dari seseorang dikarenakan tidak adanya hubungan hukum dengan si pewaris, yang menyebabkan tidak berhaknya seseorang mewarisi harta warisan dan tidak termasuk kedalam golongan ahli waris.

21H. Mukhlis Lubis,Ilmu Pembagian Waris, Pesantren Al-Manar, Medan, 2011, hal.1 22Ibid

23

Ibid

24A. Sukris Samardi,Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT. Raja


(34)

G. Metode Penelitian

Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat di defenisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.25 Usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah yang disebut dengan metodologi penelitian.26 Sebagai suatu penelitian yang ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian di awali dengan pengumpulan data hingga analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut :

1. Sifat Penelitian

Rancangan tesis ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Deskriptif maksudnya dari suatu penelitian diperoleh gambaran secara sistematis dan rinci tentang permasalahan yang akan di teliti. Analisis maksudnya berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan di analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan. Jadi deskriptif analitis maksudnya adalah untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data baik primer maupun sekunder, langsung di olah dan di analisis untuk memperjelas data secara kategoris, penyusunan secara sistematis, dan di kaji secara logis.27 Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan

25Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang,

2009, hal. 91

26

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yokyakarta, 1973, hal.5

27Joko.P.Subagyo,Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997,


(35)

pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.

2. Pendekatan penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan/studi dokumen yang ditujukan pada peraturan hukum tertulis dan peraturan hukum lainnya. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, atau dengan kata lain melihat hukum dari aspek normatif.

Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat para ahli hukum, serta memandang hukum secara komprehensif. Artinya hukum bukan saja sebagai seperangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks undang-undang (law in book) melainkan juga melihat bagaimana bekerjanya hukum (law in action).

Suatu penelitian juga dikatakan sebagai kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara-cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu. Dengan kata lain dalam penelitian hukum dengan subjek peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan dapat


(36)

dikategorikan sebagai penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas, penemuan hukum in concreto, sistem hukum, dan sinkronisasi hukum.28

3. Sumber Data

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu berasal dari peraturan perundang-undangan, seperti : Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang-Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama,

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : buku, hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, majalah, makalah, ensiklopedi, dan sebagainya.

Disamping melakukan pengumpulan mengenai bahan hukum, juga dikumpulkan data primer yang dilakukan peneliti dengan melakukan wawancara (interview) dengan narasumber yaitu Hakim Pengadilan Agama Medan Bapak Drs.H.M. Hidayat Nassery.

4. Alat Pengumpulan data

28

Ronny Hanitjo Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal.106


(37)

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini akan dipergunakan alat pengumpulan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara.

a. Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Langkah-langkah ditempuh untuk melakukan studi dokumen di maksud dimulai dari studi dokumen terhadap bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan penetapan ahli waris.

b. Wawancara dengan narasumber yang berhubungan dengan materi penelitian ini. Dalam melakukan penelitian ini digunakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (dept interview) secara langsung kepada Hakim Pengadilan Agama Medan.


(38)

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat di rumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.29 Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan di analisa secara kualitatif yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan mengamati hal-hal yang khusus untuk kemudian ditarik kesimpulan pada hal-hal yang umum. Selanjutnya hasil analisis disusun dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar sesuai dengan masalah yang dibahas.

29


(39)

BAB II

PROSES UNTUK MENDAPATKAN PENETAPAN AHLI WARIS A. Tinjauan Umum Tentang Pewarisan

1. Pengertian Pewarisan

a. Pengertian Hukum Waris Perdata

Indonesia sebagai suatu negara yang beraneka ragam penduduknya menyebabkan hukum yang berlaku juga beraneka ragam. Terdapat lebih dari satu sistem hukum yang ada dan berkembang di masyarakat Indonesia. Berbicara mengenai hukum waris di Indonesia maka terdapat tiga sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia yaitu sistem hukum waris perdata barat, sistem hukum waris adat, dan sistem hukum waris Islam. Sistem hukum waris perdata barat digunakan bagi orang-orang yang mengenyampingkan hukum adat. Sistem hukum waris Islam berlaku bagi mereka yang beragama Islam, dan sistem hukum waris adat berlaku bagi mereka keturunan bumi putera yang non muslim. Ketiga sistem hukum tersebut kesemuanya juga mengatur mengenai harta warisan dan cara-cara pembagiannya.

Hukum waris perdata berlaku bagi : 1). Orang-orang keturunan Eropa.

2). Orang-orang keturunan Tionghoa/Timur Asing, seperti Arab, India.

3). Orang-orang yang menundukkan dirinya secara sukarela terhadap Hukum Perdata.


(40)

Hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk.30 Menurut A.Pitlo hukum waris yaitu kumpulan peraturan yang mengatur mengenai harta kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperoleh baik dalam hubungan antara mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. Sedangkan Subekti dan Tjitrosoedibio mengatakan bahwa waris adalah hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan dari seorang yang meninggal.31

Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian yang terjadi pada seorang anggota keluarga yang memiliki harta kekayaan. Yang menjadi pokok persoalan bukanlah mengenai peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang ditinggalkan. Artinya siapakah yang berhak atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh almarhum tersebut. Dengan demikian bahwa waris disatu sisi berakar pada keluarga dan di sisi lain berakar pada harta kekayaan. Berakar pada keluarga karena menyangkut siapa yang menjadi ahli waris, dan berakar pada harta kekayaan karena menyangkut hak waris atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris/almarhum.

Dari rumusan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam hukum waris yaitu :32

1). Subjek hukum waris yaitu pewaris, ahli waris, dan orang yang ditunjuk berdasarkan wasiat.

30Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.267 31

R. Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum,PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hal. 56


(41)

2). Peristiwa hukum waris yaitu meninggalnya pewaris. 3). Hubungan hukum yaitu hak dan kewajiban ahli waris.

4). Objek hukum waris yaitu harta warisan peninggalan almarhum.

Dalam hukum waris perdata tidak dibedakan antara anak laki-laki dan perempuan atau antara suami dan isteri, mereka semua berhak mewaris. Bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri/suami sama dengan bagian anak jika dari perkawinan itu dilahirkan anak. Dalam hal pewarisan yang dapat diwarisi yaitu hanya hak dan kewajiban yang meliputi bidang harta kekayaan. Tetapi ada juga hak-hak yang sebenarnya masuk dalam bidang harta kekayaan yang tidak dapat diwarisi, seperti hak untuk menikmati hasil dan hak untuk mendiami rumah. Hak-hak tersebut tidak dapat diwarisi karena bersifat pribadi.

Selanjutnya ada juga hak-hak yang bersumber kepada hukum keluarga yang dapat diwarisi, antara lain hak untuk mengajukan tuntutan agar ia diakui sebagai anak, dan hak untuk menyangkal keabsahan seorang anak. Dengan demikian hanya hak dan kewajiban yang meliputi harta kekayaan saja yang dapat diwarisi, namun terdapat beberapa pengecualian.

b. Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum waris adat merupakan salah satu hukum yang memiliki karakteristik tersendiri, selain dari 2 sistem hukum waris lainnya yang dianut oleh negara kita Indonesia, yaitu hukum waris perdata dan hukum waris Islam. Hukum waris adat memiliki aturan tersendiri dalam membagi warisan, apalagi terhadap seseorang yang bukan anak kandung atau disebut dengan anak angkat.


(42)

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta peralihan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda(immateriele goerderen)dari pewaris kepada keturunannya atau para ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta benda itu dapat berlangsung sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.

Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa hukum waris adat adalah : “norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immateriil dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses peralihannya.”33

Soepomo berpendapat bahwa : “hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.”34 Sedangkan menurut Ter Haar Bzn, “hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan baik materiil maupun immateriil dari turunan ke turunan.”35

Kemudian Bushar Muhammad berpendapat bahwa hukum waris adat meliputi “aturan-aturan yang bertalian dengan proses yang terus-menerus dari abad ke abad,

33Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, CV.Haji Masagung,

Jakarta, 1988, hal.161

34

R. Soepomo,Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal.79

35Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti


(43)

ialah suatu penerusan dan peralihan kekayaan baik materil maupun immateril dari suatu angkatan ke angkatan berikutnya.”36

Dengan demikian dari pengertian hukum waris adat yang telah dikemukakan tersebut, maka hukum waris adat mengandung beberapa unsur yaitu :

1). Hukum waris adat merupakan suatu aturan hukum

2). Aturan tersebut mengandung proses penerusan harta warisan

3). Penerusan harta warisan ini berlangsung antara satu generasi kepada generasi berikutnya.

4). Harta warisan yang diteruskan tersebut dapat berupa harta yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

Adapun prinsip-prinsip pewarisan menurut hukum adat ialah :37

1). Pewarisan merupakan proses pengoperan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada generasi yang ditinggalkannya, yang tidak selamanya dalam keadaan terbagi-bagi.

2). Proses pengoperan itu dilakukan untuk pertama sekali secara menurun (anak, cucu, cicit, dst), jika tidak ada secara menurun maka dilakukan keatas (orang tua, kakek/nenek), jika keatas juga tidak ada maka dilakukan kesamping (saudara, anak saudara, dst). Jika kesamping juga tidak ada maka berlaku prinsip ahli waris derajat terdekat mendinding ahli waris terjauh.

3). Harta warisan itu tidak hanya harta yang berupa kebendaan, tetapi juga yang tidak berupa kebendaan, dan tidak hanya yang ditinggalkan oleh si pewaris setelah ia meninggal dunia saja, tetapi meliputi juga seluruh harta yang pernah dimiliki pewaris yang sudah diberikan kepada ahli waris semasa hidupnya. 4). Sistem pewarisan dalam hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat

(plaatsvervulling).

5). Hukum waris adat tidak mengenal adanya bagian mutlak (legitime portie).

36

Bushar Muhammad,Pokok-pokok Hukum Adat,Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal.35

37 Runtung Sitepu, Pengertian dan Prinsip-prinsip Pewarisan Dalam Hukum Waris Adat,

bahan kuliah Hukum Waris Adat, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, tanggal 27 September 2011.


(44)

c. Pengertian Hukum Waris Islam

Kematian atau meninggal dunia adalah suatu peristiwa yang pasti akan dialami oleh setiap manusia, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia. Namun yang menjadi permasalahan adalah jika orang tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang lazim disebut harta warisan ataupun tirkah, dengan cara apa kita hendak menyelesaikan atau membagi harta warisan tersebut, hukum apa yang akan kita terapkan dalam penyelesaian harta warisan itu.

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala sisi kehidupan manusia, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta yang ditinggalkan seorang manusia, setelah manusia tersebut meninggal dunia. Hukum yang membahas tentang peralihan harta tersebut dalam ilmu hukum disebut hukum kewarisan, atau dikenal juga dengan hukumfaraid.

Menurut ensiklopedia hukum Islam bahwa kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu wartsa/yartsu/irsan/turas yang artinya ialah mempusakai. Maksudnya ialah ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan siapa yang berhak dan tidak berhak menerima harta pusaka, berapa besar bagian harta yang diterima masing-masing ahli waris, dan juga mengandung aturan setiap pribadi baik laki-laki maupun perempuan berhak memiliki harta warisan.38 Sedangkan menurut bahasa, waris adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, yang tidak hanya mencakup atau berkaitan dengan harta saja tetapi juga mencakup


(45)

non harta benda. Menurut istilah, waris ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup baik berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak.39

Menurut ilmu fiqih, mewaris mengandung arti ialah tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa yang berhak terhadap harta warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing. Fiqih mewaris disebut juga dengan ilmu faraid karena berbicara mengenai bagian-bagian tertentu yang menjadi hak ahli waris.40Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris.

Sedangkan menurut Idris Djakfar dan Taufik Yahya mengemukakan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam Al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebutFaraid.41

Sehingga yang dimaksud dengan hukum kewarisan Islam ialah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan/atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup.

39Mahyudin Syaf,Pelajaran Agama Fiqih,Sulita, Bandung, 1976, hal.116 40

H.A. Djazuli,Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,Prenada Media Group, 2005, hal.48

41Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka


(46)

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.42

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan karena kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan oleh AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi

42


(47)

individu maupun kelompok masyarakat. Allah SWT memerintahkan agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuan-ketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.43

Dalam Q.S. An-Nisa' ayat 13 dan 14 Allah berfirman yang artinya : ”...Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yang taat pada (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar ketentuan (hukum-hukum) Allah dan rasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat menghinakan...”

Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah menyangkut penentuan para ahli waris, tahapan pembagian warisan serta porsi masing-masing ahli waris, yang menekankan kewajiban melaksanakan pembagian warisan sebagaimana yang ditentukan oleh Allah SWT, yang disertai ancaman bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti ketentuanNya, Allah menjanjikan surga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang

43

Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam,PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1989, hal. 5.


(48)

Artinya : “...Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum waris yang telah diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan surga...”

Pedoman untuk menyelesaikan sengketa perebutan harta warisan telah diberikan oleh Allah SWT dalam ketentuan-ketentuan hukum yang disebut hukum faraidh. Pengaturan hukum mengenai pembagian harta warisan ini pada pokoknya terdiri atas penentuan status seseorang sebagai pewaris, harta warisan, ahli waris, dan cara pembagian harta warisan. Harta peninggalan dari seorang pewaris yang beragama Islam, pembagiannya wajib menggunakan hukum waris Islam (faraidh). Kewajiban mempelajari faraidh dan mengajarkannya terdapat dalam hadist-hadist yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.

2. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Sunnah

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang ditentukan Rasulullah. Baik dalam Al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasul, dasar kewarisan itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang secara tersirat, bahkan kadang-kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja.

Di dalam Al-Qur’an cukup banyak ketentuan mengenai pewarisan, setidaknya ada tiga ayat yang memuat tentang hukum waris. Ketiga ayat tersebut terdapat di dalam surat An-Nisaa ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman yang artinya :

“Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan apabila anak tersebut semuanya perempuan (lebih dari dua orang), maka berilah mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan tersebut seorang saja, maka ia memperoleh separuh


(49)

harta. Dan untuk dua orang ibu bapak/orang tua maka bagi mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, apabila yang meninggalkan itu mempunyai anak. Apabila yang meninggal itu tidak mempunyai keturunan sedangkan ahli warisnya hanya ibu dan bapak, maka bagian ibu adalah sepertiga. Apabila pewaris meninggalkan saudara, maka bagian ibu adalah seperenam. Pembagian tersebut dilaksanakan setelah pelaksanaan wasiat yang dibuat pewaris serta setelah dibayarkan utangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, tidak akan kamu ketahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) mendatangkan manfaat kepadamu. Ketentuan ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan lagi maha bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta-harta yang ditinggalkan istri-istrimu, apabila mereka tidak mempunyai anak, dan apabila mereka mempunyai anak maka bagianmu (suami) adalah seperempat dari harta-harta yang ditingglkan istri-istrimu, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangnya. Para isteri memperoleh seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan apabila kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu meninggalkan anak maka istri-istrimu memperoleh seperdelapan bagian, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangnya. Jika seseorang mati, maka baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapat seperenam harta. Tetapi apabila saudara seibu tersebut lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga tersebut, sesudah dilaksanakan wasiat yang dibuat dan dibayarkan segala utang-utangnya, dengan tidak memberikanmudharatbagi ahli waris. Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha penyayang.” (ayat 11-12)

“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah (tidak meninggalkan anak dan ayah), maka katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu, jika seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak tetapi mempunyai seorang saudara perempuan saja, maka bagi saudaranya yang perempuan tersebut mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta perempuan). Jika ia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkannya. Dan jika ahli warisnya terdiri dari seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki adalah dua bagian dari saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu agar kamu tidak sesat. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.”( ayat 176)


(50)

Selain sumber hukum dari Al-Qur’an ada juga beberapa hadist yang berkaitan dengan warisan, antara lain:44

“Dalam kitab Bulughul Maram, hadist dari Ibnu Abbas r.a ia berkata: bersabda Rasulullah SAW, serahkan pembagian warisan itu kepada ahlinya, bila ada yang tersisa maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat”.

“Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas, bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurutnash, dan apa yang tersisa maka berikanlah kepadaashabahlaki-laki yang terdekat kepada si pewaris”.

Sabda nabi Muhammad SAW lainnya adalah:45

“Ibnu Abbas r.a meriwayatkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya, yang lebih utama/yang lebih dekat adalah orang laki-laki”.

“Pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya ilmufaraidhsetengahnya ilmu, ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku (Hadist riwayat Ibnu Majah dan Ad-Darquthuni)”.

Ayat-ayat kewarisan tersebut merupakan ketentuan dari Allah SWT yang menyangkut mengenai siapa-siapa saja yang termasuk ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan maupun karena hubungan perkawinan.

Ilmu faraidh atau waris bersumber dari Al-Qur’an, hadist, dan ijtihad para ulama. Ilmu faraidh merupakan ilmu yang digunakan untuk mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta waris, sehingga orang yang mempelajarinya

44

Afdol,Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil,Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hal. 15-16

45

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004, hal. 19 dan 22


(51)

mempunyai kedudukan tinggi dan mendapatkan pahala yang besar. Hal ini dikarenakan ilmu faraidh merupakan bagian dari ilmu-ilmu Qur’ani dan produk agama. Hanya Allah SWT-lah yang menguasakan ketentuan faraidh dan tidak menyerahkan hal tersebut kepada para nabi-Nya maupun kepada seorang raja, sehingga jelaslah bahwa ilmufaraidhtermasuk ilmu yang mulia dan perkara-perkara yang penting dimana sandaran dari ilmu ini adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasul. 3. Asas, Rukun dan Syarat Hukum Waris Islam

a. Asas Waris

Asas-asas hukum waris Islam yakni : 1. AsasIjbari

Asas Ijbari dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan asas memaksa, maksudnya ialah asas yang terkandung dalam kewarisan Islam itu menciptakan adanya proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Unsur paksaan sesuai dengan arti terminologi tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepadanya sesuai dengan yang telah ditentukan.46

2. Asas Bilateral

Asas bilateral adalah asas yang berlaku secara timbal balik, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Yang mengandung arti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis kerabat keturunan


(52)

laki-laki dan garis kerabat keturunan perempuan.47 Dengan kata lain anak laki-laki berhak menerima warisan dari orangtuanya sebagaimana anak perempuan juga berhak menerimanya, dengan demikian tidak ada diskriminasi jenis kelamin dalam hukum kewarisan.

3. Asas Individual

Bahwa harta warisan yang akan dibagi kepada para ahli waris secara perorangan untuk dimiliki masing-masing ahli waris tersebut secara mutlak. Jadi masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri tanpa terkait dengan ahli waris yang lainnya, menurut kadar bagian masing-masing. Dengan demikian hak perorangan tersebut akan tetap terpelihara.

4. Asas Keadilan Berimbang

Dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan atau kebutuhannya. Bahwa harus terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dalam hukum Islam harta warisan yang ditinggalkan kepada ahli waris merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya, oleh karena itu besar kecilnya bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris seimbang dengan besar kecilnya tanggung jawab yang dipikulnya.

5. Asas Kewarisan Terjadi Semata Akibat Kematian

47Muhibbin Muhammad, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di


(53)

Bahwa pewarisan itu terjadi karena ada yang meninggal dunia. Bahwa pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan ahli waris benar-benar masih hidup pada saat meninggalnya pewaris tersebut. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama yang mempunyai harta tersebut masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun setelah ia mati tidak termasuk ke dalam istilah pewarisan menurut hukum Islam.48

b. Rukun Waris

Menurut bahasa, sesuatu dianggap rukun apabila posisinya kuat dan dijadikan sandaran. Menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, rukun adalah sesuatu yang keberadaannya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu itu hanya bagian dari sesuatu yang lain maupun yang mengkhususkan sesuatu itu. Dengan demikian, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris dimana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya.

Adapun rukun-rukun waris yaitu :49

1) Al-Mawarits yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun matihukmiy.

Matihukmiy maksudnya adalah suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.

48Syafruddin Amir,Op Cit,hal.28 49Ibid,hal. 27


(54)

2) Al-Warits yaitu orang yang masih hidup atau ahli waris termasuk anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi.

3) Al-Mauruts yaitu harta benda yang menjadi warisan. Yang termasuk dalam kategori warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak perdata, hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.

Jika salah satu dari rukun waris tersebut tidak ada, maka waris mewarisi pun tidak bisa dilakukan. Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tapi tidak mempunyai harta yang bisa diwariskan, maka waris mewarisi pun tidak bisa dilakukan karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris.

c. Syarat Waris

Syarat menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya tidak akan ada hukum.Syarat-syarat waris ada tiga :

1). Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).

Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki ataupun secara hukum ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal. Hal ini harus diketahui secara


(55)

pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.

2). Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.

Masih hidupnya para ahli waris, maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.

Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha (ahli hukum Islam) digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.

3). Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.

Diketahuinya posisi para ahli waris, dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan


(56)

kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagaiahlul furudh, ada yang karena ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris :

1). Kerabat hakiki/yang ada ikatan nasab, seperti orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.

2). Sebab pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

3). Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak


(57)

memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

4. Penyebab dan Penghalang Terjadinya Pewarisan

Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena adanya sebab atau syarat mewarisi, namun karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima hak waris.50 Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisi atau terhalang mewarisi adalah sebagai berikut :

a. Perbudakan

Di dalam Al-Qur’an telah digambarkan bahwa seorang budak tidak cakap mengurus hak milik kebendaan dengan jalan apa saja.51 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. An Nahl ayat 75 : “...Allah telah membuat perumpamaan seorang budak yang tidak dapat bertindak sesuatu pun...”

Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris karena dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya.52 Namun pada zaman sekarang ini perbudakan sudah tidak ada lagi.

50

Faturrahman,Ilmu Waris,Al-Ma’arif, Bandung, 1975, hal.83

51

Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta,2009, hal. 76

52


(1)

maupun surat-surat yang berhubungan dengan penetapan ahli waris adalah dokumen-dokumen dan surat-surat yang sebenar-benarnya.

2. Kepada lembaga yang mengeluarkan penetapan ahli waris diharapkan ketelitian dan kecermatannya dalam membuat penetapan ahli waris, sehingga tidak ada celah atau kesempatan bagi pihak yang akan berbuat curang. Tidak hanya menerima begitu saja data atau informasi yang diberikan tapi juga harus meneliti kebenarannya. Kebenaran mengenai ahli warisnya dan kebenaran mengenai data, dokumen, maupun keterangan-keterangan yang diberikan.

3. Hendaknya ada suatu peraturan hukum yang jelas yang mengatur mengenai penetapan waris sehingga ada pedoman yang kuat dalam pembuatan penetapan ahli waris oleh pengadilan maupun lembaga-lembaga yang berwenang.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abdurrahman,Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,Akademika Pressindo, Jakarta, 1992

Abdurrahman, Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, 2009

Afandi, Ali, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Bina Aksara, Jakarta, 1984

Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, Airlangga University Press, Surabaya, 2003

Ali, M.Daud, Asas-asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan III,Rajawali Press, Jakarta, 1993

Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Darul Falah, Jakarta, 2000

Amir, Syafruddin,Hukum Kewarisan Islam,Kencana, Jakarta, 2004

Arifin, Bustanul, Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, PT. Ma’arif, Yogyakarta, 1994

Azhary, Tahir, Bunga Rampai Hukum Islam (Kumpulan Tulisan), Bulan Bintang, Jakarta, 1992

Bakri, Hasbullah,Pedoman Islam di Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1988

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000

Bzn, Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985


(3)

Djakfar, Idris dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta,1995

Djalil, Basiq. H.A,Peradilan Agama di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006

Djamali, R.Abdul, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Konsorsium Ilmu Hukum, Cetakan II,Mandar Maju, Bandung, 1997

Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 5, Cetakan 1, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993

Faturrahman,Ilmu Waris,Al-Ma’arif, Bandung, 1975

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yokyakarta, 1973

Harahap, M.Yahya,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989,Sinar Grafika, Jakarta, 2009

Hasan. A, Al-Faraid,Pustaka Progresif, Jakarta, 1996

H.S, Salim,Pengantar Hukum perdata Tertulis (BW),Sinar Grafika, Jakarta, 2002 Lubis, H. Mukhlis,Ilmu Pembagian Waris, Pesantren Al-Manar, Medan, 2011 Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994

Lubis, Sulaikin, Wismar ‘Ain Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2008

Moelong, Lexy. J,Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993

Muhammad, Kewenangan Mengadili Perkara Warisan Bagi Golongan Penduduk Yang Bergama Islam, Varia Peradilan, Nomor 137


(4)

Muhammad, Abdul Kadir,Hukum Perdata indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990

Muhammad, Bushar, Pokok-pokok Hukum Adat,Pradnya Paramita, Jakarta, 1981 Muhammad, Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum

Positif di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2009

Muhammad, Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2009

Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawir (Kamus Arab-Indonesia), Cet.Pertama, Jakarta, 1996

Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, B.P. Gadjah Mada, Yogyakarta, 1963

Notodisoerjo, R.Soegondo, Hukum Nataiat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta, 1982

Projodikoro, Wiryono, Hukum Kewarisan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1980

Purwaka, I.Gde,Keterangan Hak Mewaris Berdasarkan Ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003

Rahardjo, Satjipto,Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Rasyid, Roihan.A,Hukum Acara Peradilan Agama,CV.Rajawali, Jakarta, 1991 Rofiq, Ahmad,Fiqh Mawaris,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998

Rusyd, Ibnu, Analisa Fiqih Para Mujahid (terjemahan Bidayatul Mujtahid), Juz III, Pustaka Imami, Jakarta, 2002

Salman, Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1993

Samardi, A.Sukris, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997


(5)

Sitepu, Runtung, Pengertian dan Prinsip-prinsip Pewarisan Dalam Hukum Waris Adat,bahan kuliah Hukum Waris Adat, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, tanggal 27 September 2011.

Sjahdeini, Sutan Remi, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, 1993

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995

Soemitro, Ronny Hanitjo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990

Soepomo. R,Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986 Soesilo. R,RIB/HIR dengan Penjelasan, Politea, Bogor, 1979

Subagyo, Joko.P, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997

Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum,PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2005 Syaf, Mahyudin,Pelajaran Agama Fiqih,Sulita, Bandung, 1976

Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Pioner Jaya, Bandung, 1987

Thalib, Sajuti,Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 1995 Thaib, Hasballah,Ilmu Hukum Waris Islam, Medan, 2009

Universitas Al-Azhar Mesir, Komite fakultas Syariah, Hukum Waris, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004

Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, CV.Haji Masagung, Jakarta, 1988

Wuisman, JJJ.M,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, UI-Press, Jakarta, 1996

Yunus, Mahmud, Hukum Warisan Dalam Islam, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1989


(6)

Zuhdi,Masjfuk,Studi Islam, Jilid III,PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1993 B. Undang-undang

Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Kompilasi Hukum Islam

C. Internet

Ibnu,Teori Keadilan, http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/12/01/teori-keadilan-john-rawls/, diakses tanggal 31 Mei 2012.

Heru, Teori Keadilan, http://kumpulan-teori-skripsi.blogspot.com/2011/09/teori-keadilan-adam-smith.html, diakses tanggal 31 mei 2012.

Nur Rahmat, Keadilan Sosial Dalam Islam,

http://insistnet.com/index.php?option=com

content&task=view&id=112&itemid=26, diakses pada tanggal 31 mei 2012. Penetapan Ahli Waris,

http://www.renungan.indah.web.id/2011/05/penetapan-ahli-waris.html,diakses tanggal 17 September 2012

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/11208130149.1693-9336.pdf, diakses pada tanggal 31 Mei 2012

PembaharuanHukumIslam, http://khisni.blog.unissula.ac.id/2011/10/10/pembaharuan- hukum-islam-dan-perwujudan-peraturan-perundangundangan-diindonesia-jurnal,diakses pada tanggal 31 Mei 2012.

Istiqomah, Hukum Waris, http://istiqomah.wordpress.com/2009/03/30/hukum-waris, diakses pada tanggal 7 Juni 2012.

www.badilag.net/data/ARTIKEL/keadilandalamhukumwarisislam.pdf, diakses pada tanggal 7 Juni 2012.


Dokumen yang terkait

Analisa Yuridis Penetapan Ahli Waris Berdasarkan Hukum Waris BW (Putusan Pengadilan Negeri Jember No. 67/Pdt.G/2011/PN.Jr)

5 33 10

ANALISA YURIDIS PENETAPAN AHLI WARIS BERDASARKAN HUKUM WARIS BW (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jember No. 67/Pdt.G/2011/PN.Jr)

2 49 18

Ayah Sebagai Pengasuh Bagi Anak Yang Belum Mumayyiz (Analisis Putusan Perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS)

0 5 0

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Munasakhah Dalam Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77 Pdt.P 2009 Pa Mdn)

0 2 17

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Munasakhah Dalam Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77 Pdt.P 2009 Pa Mdn)

0 0 2

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Munasakhah Dalam Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77 Pdt.P 2009 Pa Mdn)

0 1 28

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Munasakhah Dalam Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77 Pdt.P 2009 Pa Mdn)

0 3 34

BAB II PROSES UNTUK MENDAPATKAN PENETAPAN AHLI WARIS A. Tinjauan Umum Tentang Pewarisan 1. Pengertian Pewarisan a. Pengertian Hukum Waris Perdata - Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

0 1 46

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

2 4 20

ANALISA HUKUM PENETAPAN AHLI WARIS (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR 1229PDT.G2010PAMDN) TESIS

1 4 16