Welcome to ePrints Sriwijaya University - UNSRI Online Institutional Repository
s
* 0
t
7
o
O t
6 E o
"t'
I
Z 0 13
o
9:B
LAPORAN PENELITIAN
STUDI TENTANG PENERAPAN
E FFECTIYES OCCUPATION
PRINCIPLE
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WILAYAII NEGARA
OIeh:
MADA APRIANDI ZI]HIR
ll-rP. 132 282178
Dibiayai Oleh:
Dana DlK-suplemen Universitas Sriwijaya Tahun Anggaran 2004 Kontrak
Nomor Og2t23tDIK-S/2004 Tanggal I Januari
FAKULTAS HUKUM
UNTVERSITAS SRIWIJAYA
2004
2(X}4
II}ENTITA$ DAII PENGESAHAN USUL PETIELITIAN
Judul Penelitian
1.
.
STUDITENTANGPENERAPA}I
EFFECTIYES OCCUPATION
PNNCTPLE DALAM
PET{I{ELESAIAN SENGKETA
b. Bidang llmu
c. KatEgCIri Penelitian
2.
KetuaPeneliti
L. Nama Lerykap dau Gelar
b. JenisKelamin
d.
Golongangan/PangkatA{IP
Jabatan Fungsional
e. Jabatan Shuktural
f. Fakultas/Jurusan
g. Ifusat Penelitian
- Iv{ada Apriandi Zuhir, S.H.
- Iaki-laki
- IlUalPenata Mlu&/132282118
- kktor
- TidakAda
- Huhm/Ilmu }Iukum
- Lemb*gaPenelitiar Universitas
Jumlah Anggota Peneliti
Lokasi Penelitian
I"amaPenelitian
Biaya yang Diperh*an
:
-
c.
).
4.
5.
6.
WILAYAHNEGARA
- Hukum Intsrnasional
-II
Sriwiiaya
I {Satu) Orang
lalernbang danlakallta
6 (enam) Bulan
Rp.2.250.000,- {Dua J*a Dua Ratus
Lirm Puluh Ribu tupi*hj
Inderalaya, Oktober 2004
KetuaPeaeliti,
6,1
Z*
fr?
f
Hasan, SH.,MH.
Dr. h R.H.\_d Saleh, M.Sc.
N.r.P. 130531?91
I'
II
\
ABSTRACT
The research entitled "Study on Implementation of Effectives Occupation Principle"
intends to get better known and to get description and also to mention developing of
international law concerning to territorial jurisdiction dispute resolution as in ICJ's
decisions, basis of the facts and legal consideration and altemative ways to prevent
any territorial jurisdiction disputes. The research has been done through a method
based on some activity phases such as sampling arba and txget and source of data,
technique of data collecting and data analysis. Type and source of data are collected
by purposive sampling method. Furthermore analysed by means of qualitative
descripiive with juridical normative approach and the last, to get conclusion through
inductive method. The results show that developing of international law concerning
to territorial jurisdiction dispute resolution as in ICJ's decisions based on Effectives
Occupation Principle, ICJ conclude that sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau
Ligita belongs to Malaysia on the basis of the facts and legal consideration that
Indonesia cannot proved the intentiorl and will to act as sovereign (i.e.activities
evidencing an actual, continued exercise of authority over the islands). Alternative
ways to prevent any territorial jurisdiction disputes between Indonesia and other
border states is strengthening our law especially on national territory matters.
,n
F"
llt
\
ABSTRAK
q
Penelitian yang berjudul "Studi Tentang Penerapan Effictives'Occupation Principle
dalam Penyelesaian Sengketa Wilayah Negara" ditujukan untuk mengetahui
perkembangan teori hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa wilayah
negara berkaitan dengan penambahan wilayah negara sebagaimana yang terkandung
dalam Putusan ICJ pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara
Indonesia dan Malasyia terutama berkaitan dengan penerapan Effectives Occupation
Principle, alasan teoritik kekalahan Indonesia pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan dan upaya antisipatif penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia
dan negara-negara. Penelitian ini dilakukan melalui metode yang berdasarkan pada
tahap-tahap kegiatan seperti penentuan lokasi penelitian, teknik pengumpulan data
dan analisa datz. Data yang dikumpulkan secara purposive sampling. Selanjutnya
dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan pendekatan yuridis normative dan
akhirnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan mengunakan metode induktif. Dari
hasil penelitian ini disimpulkan bahwa perkembangan teori hukum internasional
mengenai penyelesaian sengketa wilayah negara dan penambahan wilayah negara
dewasa ini, sebagaimana yang terkandung dalam putusan-putusan lvlahkamah
Internasional (International Court of Jusice/ICf, pacr. umunnya didasarkan pada
effectwe occupation principle yang drjalankan oleh para pihak yang bersengketa
untuk menentukan pihak mana yang memiliki hak kedaulatan atas wilayah tersebut.
Secara teoritik, Indonesia kalah pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Dalam Putusan ICJ dikarenakan Indonesia tidak dapat membuktikan adanya tindakan
effectwes (intention and will) yang dilakukan Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa-sengketa wilayah yang ada adalah
dengan membuat identifikaii, inventarisir, pemberian nama dan aturan-aturan hukum
sekaligus mendepositkannya ke PBB berkaitan dengan persoalan wilayah terutama
mengenai pulau-pulau terluar Indonesia.
iv
\
KATA PENGANTAR
Sebagai suatu negara kepulauan terbesar
di dunia, dengan lebih dari
17. 000 pulau dengan garis pantai yang mencapai 81.000 km serta luas wilayah yang
mencapai
7,9
jutakm2, secara positif memberikan keuntungan bagi wilayah Negara
Kesatuan Republik IndoneSia, tapi disisi lain juga memberikan dampak yang negatif
dalam hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga berkaitan
dengan
pengklaiman atas hak-hak dan batas-batas wilayah. Potensi konflik ini dapat memicu
sengketa yang lebih ltras serta mengandung potensi instabilitas kawasan regional.
Putusan ICJ berkaitan dengan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan merupakan suatu kasus yang menarik untuk dibahas baik dari sudut pandang
teori khususnya hukum internasional maupun pengaruhnya terhadap Indonesia.
Atas dasar itu, alhamdulilah penelitian yang dibiayai oleh Dana DIK-
Suplemen Universitas Sriwijaya Tahun Anggaran 2004, dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Harapannya agar hasil penelitian yang disadari masih terdapt
kekurangannya ini dapat bermanfaat dan tentunya kritik dan saran yang membangun
akan selalu kami terima.
Terimakasih
't
DAFTAR ISI
Halaman
HALA]V{r{N MUKA
IDENTITAS DAN PENGESAHAN
.........
....
ii
ABSTRACT
lv
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB
1.
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Metode
Penelitian
.....:...
6
BAB II PEMBA}IASAN ...
A. Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
B. Perkembangan Teori Hukum Internasional Mengenai
10
l0
.
Penyelesaian
Sengketa Wilayah Negara dan Penainbahan Wilayah Negara Dikaitkan
dengan Penerapan Effectwe Occupation Principle dalam Putusan ICJ
C. Tinjauan Teoritis Atas Kekalahan Indonesia
D. Upaya-Upaya Antisispatif Penyelesaian Sengketa Wilayah
......
28
44
Antara
48
Indonesia dan Negara-Negara Tetangga
1.
BAB III PENUTUP
53
A. Kesimpulan
53
B. Saran-Saran
54
DAFTAR PUSTAKA
vl
LAMPIRAN
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
1.
Peta
2.
Batas Negara Kesatuan Republik tndonesia
,i
t
,*
I
vii
l
I
I
)
BAB
1.
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Sebagai suatu negara kepulauan, secara
fisik Indonesia merupakan
negara
terbesar ke-5 didunial yang dibatasi oleh 2 Matra, yaitu matra laut yang berbatasan
dengan sepuluh negara (Australia, Malaysi4 Singapura, India, Thailand, Vietnam,
Philipina, Palau, Papua New Guinea dan Timor Leste), dan di daratan berbatasan
dengan tiga negara (Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste)-2
Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention
on the Law of the,SeaAJNCLOS) 1982, secara positif memberikan keuntungan bagi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi disisi'lain juga memberikan
dampak yang negatif dalam hubungan lndonesia dengan negara-negara tetangga
berkaitan dengan pengklaiman atas hak-hak dan batas-batas wilayah. Potensi konflik
ini
dapat memicu sengketa yang lebih luas serta mengandung potensi instabilitas
kawasan regional.
Beberapa permasalahan perbatasan antara Indonesia dan negara-negara
tetangga yang belum terselesaikan secara tuntas tidak hanya menyangkut persoalanpersoalan batas-batas
fisik yang disepakati semata, namun juga menyangkut
cara
hidup masyarakat di daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan
' Luas wilayah Indonesia semakin bertambah di karenakan perjuangan atas prinsip wawasan
nusantara yang termuat dalam Deklarasi Juanda Tahun 1957 yang kemudian diakui dalam Konvensi
Hukum Laut Internasional 1982. Menurut data resmi Pemerintah, panjang garis pantai tetap (Baseline\
81.000 KM2, tapi menurut World Data Center di New York, panjang garis pantai tetap
Indonesia
Indonesia hanya + 61. 000 KM2. Pada saat kemerdekaar\ kawasan laut Indonesia hanya 100. 000 KMz,
setelah berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS) ietZ, luas kawasan laut Indonesia bertambah 3. 000 Yo menladi 3. 100. 000 KM2,
yang terdiri dan 2.800. 000 KM2 perairan kepulauan dan 300. 000 KM2laut wilayah. Lihat Kompas
"Banyak Potensi Laut Tidak terjamah" Jumat 3 Desember 1999.
2 Hari Sabarno, "Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan dan Pengelolaan Pulau-pulau
Indonesia", Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. 1.
+
'l
lain di sekiar wilayah perbatasan. Potensi konflik dan beberapa persoalan perbatasan
dan sengketa wilayah antara Indonesia dan negara-negara tetangga itu diantaranya:
1.
Indonesia dan Singapura mengenai batas laut teritorial berkaitan dengan
perubahan batas kedua negara
di Selat Malaka
sebagai akibat dampak dari
kegiatan reklamasi yang dilakukan Singapura.
2.
tndonesia dan Malaysia mengenai perbedaan pemahaman rezim laut dengan
Malaysia
di bagian tltara
Selat Malaka, Selat Singapura dan Laut Cina
Selatan.
3.
Indonesia dan Philipina berkaitan dengan perbedaan secara firndamental
mengenai perbatasan wilayah laut. Hal ini disebabkan karena undang-undang
Philipina telah menetapkan garis batas lautnya, sedangkan Pemerintah
Indonesia menyatakan dalam peraturan perundang-undangan.
4.
Indonesia dan Australia pasca kemerdekaan Timor Lorosae, garis batas laut
antara Indonesia dengan Australia memerlukan penataan ulang, walaupun
persetujuan garis batas landas kontinen pernah dilaksanakan pada tahun 1971
dan1972, serta persetujuan garis balas ZEE pada tahun 1981.
5. Indonesia dan Papua New Guinea (PNG) berkaitan dengan aspek kultural.
6. Indonesia dan Vietnam mengenai penentuan batas wilayah berkaitan dengan
penentuan landas kontinen.
7.
Indonesia dan Republik Rakyat China (RRC) mengenai perbedaan pandangan
tentang batas perairan, khususnya di perairan Natuna.
8. fndonesia
dan India mengenai perbatasan perairan territorial di sekitar Pulau
Andaman dan Nicobar.
g.
Indonesia dan Palau mengenai batas ZonaEkonomi Ekslusif (ZEE) di Pulaupulau Asia dan pulau-pulau Mapia yang terdapat di utara Papua.
10. Indonesia dan
Timor Lorosae yang belum memiliki perjanjian batas wilayah
laut.3
Putusan Mahkamah Internasion
al (International Court of JusticellCJ)
pada
tanggal 17 Desember 2002 membuat bangsa Indonesia tersadar bahwa luasnya
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memuat potensi konflik dan
menrerlukan perhatian yang serius.
Konflik Sipadan-Ligitan yang mencuat sejak
Tahun 1969 antaralndonesia dan Malasyia, diputuskan oleh ICJ dengan memberikan
kedaulatan penuh atas kedua pulau tersebut kepada Malaysia atas dasar effective
occupation yang telah dilakukan Malaysia.
Konflik ini muncul pada tahun 1969 ketika kedua rregara mengadakan
perundingan untuk menetapkan batas landas kontinen. Pada saat itu terjadi perdebatan
berkaitan dengan kepemilikan Pulau Sipadan-Ligrtan. Jika dikaitkan dengan
penetapan batas landas kontinen, maka effectives occupation tidak dapat diterapkan,
hal ini dapat dilihat pada Art. 77 ayat (3) LINCLOS yang merumuskan:
The rights of the coastal state over ihe continental shelf do not depend on
occupaiiori, effictive or naiional, or on aiq, express proclamation.
Jelas terlihat dari
Art. 77 ayat (3) bahr*a hak suatu negara pantai tidak
tergantung pada pendudukan (okupasi) baik
eftktif
maup'.rn tidak.
Dasar pertimbangan utama putusan ICJ yaitu effictives occupation principle.
Menurut ICI, conventional title atau treaty based title (penentuan hak atas
pedanjian) oleh Indonesia maupun chain
of title theory
dasar
(penentuan atas dasar
pewarisan hak) oleh Malaysia sama lemahnya, karena tidak terdapat bukti-bukti
hukum yang dapat mendukung klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pulau
sengketa tersebut.a
TNI Bernard Kent Sondakh, "Peran TM Angkatan Laut Dalam Pengamanan
RI" Diskusi FH Univ. Indonesi4 Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. 5-7.
o
ICJ luga berpendapat tidak ada bukti dokumen authentik yang dapat meyakinkan bahwa
'
Laksamana
dan Pemberdayaan Pulau Terluar
kedua pulau sengketa termasuk kedua bagian dari wilayah kekuasaan Belanda atau Inggris. Karena itu,
ICJ tidak melihat alternatif lain kecuali menguji doktrin effectives sebagai suatu fakra hukum yang
.l
Prinsip okupasi merupakan warisan dari konsep hukum Romawi, Kalau kita
kaji
penggunaan
ffictives
occupation dalam putusan ICJ, occupation atau
pendudukan itu sendiri adalah pendudukan terhadap terra nullius (wilayah yang tidak
bertuan atau tidak berada di bawah kekuasaan suatu negara) yang mengandung dua
unsur pokok, yaitu penemuan (discovery) dan pengawasan yang efektif
(administration).
Berdasarkan gambaran padalatar belakang diatas, menarik untuk di kaji baik
secara teoritik maupun praktek-praktek internasional yang berkaitan dengan
penggunilan occupation principle terutama pada putusan ICJ dalam kasus sengketa
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
B.
Perumusan Masalah
Di dalam
penelitian ini, fokus utama yang akan diangkat adalah berkaitan
dengan effectives ocupation principle khususnya bagi Indonesia dalam kaitannya
dengan sengketa-sengketa wilayah Indonesia, maka perumusan masalahnya adalah
sebagaiberikut
1.
,
Bagaimana perkembangan teori hukum internasional mengenai penyelesaian
sengketa wilayah negara berkaitan dengan penambahan wilayah negara
sebagaimana yang terkandung dalam Putusan ICJ pada kasus sengketa Pulau
Sipadan dan Pulau Ligrtan antara Indonesia dan Malasyia, terutama berkaitan
dengan penerapan
2.
ffi ct iv e occupat ion pr inc ip
I e?
Mengapa secara teoritik, Indonesia kalah pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan?
3.
Upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk dapat
menyelesaikan sengketa-sengketa wilayahnya
yalg ada di masa yang akan
datang?
berdiri sendiri. Lebih lanjut
/icjwrvw/idecisions. htm.
lihat
mengenai Decisions ICJ dapat diakses pada http: www.icj-cij.org
't
principle, faktor-faktor yang secara teoritik mengakibatkan kekalahan lndonesia
dalam kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dan upaya antisipatif
penyelesaian sengketa wilayah arrtara Indonesia dan negara-negara tetangga.
i.
Lokasi Penelitian
penelitian
ini
akan dilakukan pada
2 (dua) lokasi, yaitu D.K.I Jakarta dan
Kota Palembang. Berdasarkan atas pertimbangan relevansinya dengan tujuan
penelitian, maka penarikan sample dilakukan secara Purposive Sampling, sehingga
sampel dalam penelitian ini adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f
4.
DepartemenLuarNegeri R[;
DepartemenDalamNegeriRl;
Badan koordinasi Strategi Pertahanan Nasional (Bakorsfianas);
Badan koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal);
Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) di Palembang; dan
kmbaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;
Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
a.
ini meliputi:
Data Sekunder
Dalam penelitian ini data sekunder merupakan data pokok. Data sekunder
tersebut diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan hukum secara
meliputi:
1)
Bahan hukum primer, diantaranYa
1.
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982;
2.
Statuta ICJ, Konvensi- konvensi dan Treaties.
3. UU No. 4lPrpll960 tentang Perairan Indonesia;
4. UU No. 711985 Ratifikasi UNCLOS 1982;
5. UU No. 611996 tentang Perairan Indonesia;
teliti
yang
I
6.
Konsideran Putusan ICJ pada Kasus Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara
Indonesia dan Malasyia.
2) Bohan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti : hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar
atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro,
dokumen pribadi atau pendapat da/, kalangan pakar hukum termasuk dalam
bahan hukum sekunder
3)
ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian.s
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum, kamus hukum, majalah, dan jurnal ilmiah.6 Surat kabar, majalah
mingguan juga menjadi bahan bagi penelitian
majalah mingguan
itu
ini
sepanjang surat kabar dan
memuat informasi yang relevan dengan objek kajian
penelitian ini.
b. Data Primer
Adapun data primer atau data dasar dalam penelitian ini diperlukan untuk
memberi pemahaman secara jelas, lengkap, dan komprehensif terhadap, data
sekunder.
5. Metode
TL
Pengumpulan Data
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research)
atau studi dokumentasi. Penelitian kepustakaan dilakukan unfirk mendapatkan teori-
teori hukum atau dottrin hukum, asas-asas hukum dan pemikiran konseptual serta
penelitian pendahulu yang berkaitan dengan objek kajian penelitian ini yang dapat
berupa Konvensi-Konvensi Internasional, Treaties, peraturan perundang-undangan,
literatur dan karya tulis ilmiah lainnya.
tRonny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakartq
1982,14m.24.
uPeriksa
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Radjawali Press, Jakarta, 1990, Hlm. l4-15.
.!
b. Data Pimer
Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (Field Research).
Penelitian lapangan yang dilakukan merupakan upaya memperoleh data primer
berupa dokumen-dokumen dan keterangan atau informasi dari responden.
6.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Datayangdiperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan,
selanjutnya akan dilakukan proses Editing atau pengeditan data. Hal
ini dilakukan
agar akurasi data dapat diperiksa dan kesalahan dapat diperbaiki dengan cara
menjajaki kembali ke sumber datanya.
Setelah pengeditan data selesai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah
pengolahan data yang akan dilakukan dengan cara Coding.atau pemberian kode-kode
tertentu, kemudian data dikelompokkan atau diklasifikasikan sesuai dengan
kelompok atau unit analisis yang telah ditetapkan.
Setelah pengolahan data selesai dilakukan, selanjutnya akan dilakukan analisis
data secara Destcriptif-Analitis-Kualitatif, dan khusus terhadap data dalam bpntuk
konvensi-konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional serta
Putusan ICJ pada Kasus Sengketa Pulau Sipadan-LigStan antara Indonesia dan
Malasyia dilalrukan kajian isi (Content Anatysis), untuk kemudian diambit suatu
kesimpulan sehingga pokok permasalahan yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini
dapat tedawab.
!
l0
BAB
tr
PEMBAHASAN
A.
Sengketa Pulau Sipadan Dan Pulau Ligitan
Dua pulau yang berada
di dekat
pulau besar Kalimantan itu sebenarnya
merupakan dua pulau kecil yang tidak berpenghuni. Pentingnya dua pulau ini
sehingga dipersengketakan adalah dikarenakan kedua pulau
ini bisa dijadikan titik
untuk menentukan lebar laut wilayah, landas kontinen dan zona ekonomi ekslusif
karenanya kepentingan ekonomi sangat dominan dalam sengketa pulau ini disamping
mempertahankan keutuhan wilayah.
7
Secara geograpis kedua pulau
ini terletak di laut Celebes. Ligitan merupakan
pulau yang sangat kecil dengan koordinat 4" }g'lintang utara dan 118o 53' lintang
selatan. Pulau ini terletak pada 21 mil laut dari Tanjung Tutop, di Semporna
Peninsula, dekat pulau Kalimantarg secara permanen tidak dihuni.
Sedangkan Sipadan, walaupun lebih besar dari Ligitan, luasnya sekitar,0. 13
km3, dengan koordinat 4o 06' lintang utara dan 118" 37' lintang selatan. Sekitar 15
mil
laut dari Tanjung Tutop dan 42 mil laut dari pantai timur Pulau Sebatik. Pulau ini
terletak pada 600-700 m permukaan laut. Pada dasarnya pulau
ini
seperti juga
Ligitan, tidak dihuni sampai tahun 1980-an yang kemudian menjadikan daerah ini
sebagai tempat pariwisata.
Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan arrtara Indonesia dan Malaysia
muncul ketika kedua negara melakukan perundingan pembahasan landas kontinen
pada tahun 1969. Perselisihan muncul dari perbedaan penafsiran atas perjanjian 1891
yang dibuat oleh Inggris dan Belanda untuk membagi Kalimantan (Borneo). Untuk
selanjutnya sengketa
ini dicoba untuk diselesaikan di tingkat pemerintahan
kedua
negara selama bertahun-tahun, namun mengalami kegagalan.
'
Hikmahanto Juwana, "Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan",
Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. l.
\
1t
Upaya diplomatis mulai drjajagr oleh kedua negara pada tahun 1988 atau
hampir sepuluh tahun setelah pihak Malaysia diketahui menerbitkan peta yang
memasukan kedua pulau
itu
sebagai bagian dari wilayahnya (197\.8 Isu status
kepemilikan tersebut mulai dibicarakan dalam pertemuan tingkat tinggi antara
Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahatir Mohammad
di Joryakarta,
Juni
1988. Upaya mencari penyelesaian sengketa secara politis dilakukan dengan berbagai
serangkaian perundingan yang dilakukan secara bertahap. Perundingan dilakukan,
baik pada tingkat pejabat teknis (Joint Working Group on Sipadan and Ligitan/JWG),
pejabat senior (Senior Offcial Meeting), hingga forum pertemuan tingkat Menteri
Luar Negeri (Joint Commission Meeting). Pada September 1994, kedua Kepala
Pemerintahan bahkan melakukan terobosan dengan cara menunjuk wakil pribadi
masing-masing untuk mencari penyelesaian masalah ini. Untuk keperluan tersebut,
wakil khusus (special representative) yang ditunjuk masing-masing,
Mensesneg
Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, mengadakan 4 pertemuan,
yakni di Jakarta padz tanggal 17 Juli 1995 dan 26 September 2005 serta di
Kualalumpur tanggal 22 September 1995 dan 21 Juni 1996. dalam serangfuian
negosiasi tersebut, kedua negara tidak menyentuh opsi penyelesaian secara politis,
misalnya dengan membagi dua pulau sengketa atau pengelolaan kedua pulau itu
secara bersama-sama. Yang dilakukan oleh kedua negara adalah bertukar argumentasi
hukum dimana baik Indonesia maupun Malaysia berupaya mematahkan argumentasi
hukum yarug diajukan masing-masing. Untuk memperkuat dalil hukum yang
diajukannyq kedua negara kemudian menyampaikan dokumen-dokumen dan bukti-
bukti yang diasumsikan dapat mendulcung klaimnya masing-masing. Upaya ini
dilakukan dengan pertimbangan masing-masing memiliki dasar hukum yang lebih
kuat untuk mendukung klaimnya. Opsi penyelesaian dengan cara pengelolaan secara
bersama-sama juga sulit dilakukan karena kedua negara lebih menekankan pada
* N.
Hasan Wirajuda . "Kasus Sipadan-Ligitan: Masalah Pengisian Konsep Negarq Proses
Ligitan" Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5
Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Februari 2003 Hlm. 8
I
keinginan untuk memperolah kejelasan mengenai status kepemilikan atas Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan. Sedangkan upaya penyelesaian melalui mekanisme
ASEAN, Malaysia memperlihatkan keengganannya dengan alasan forum
dikhawatirkan tidak dapat bersikap netral karena Malaysia memiliki sengketa
kewilayahan yang serupa dengan Singapura (Pulau Batu Puteh) dan Philipina
(Sabah). Selain itu, aturan pelaksanaan High Council ASEAN yang merupakan bagian
dari Treaty Amity
& Cooperation
1976 baru berlaku pada bulan Juli 2001. Upaya
penyelesaian secara hukum akhirnya direkomendasikan wakil khusus pada tahun
1996 setelah mencermati kesulitan mendapatkan solusi politis yang dapat disepakati
kedua negara. Pertimbangannya antara lain mengingat bahwa klaim kepemilikan
kedua pulau itu merupakan masalah hukum dan bahwa isu tersebut sangat sensitif
dalam hubungan kedua negara. Oleh karenanya disarankan perlunya jalur hukum
yaitu melalui Mahkamah InternasionaU Internotional Court of Justice (ICJ). Pada
tahun 1997 kedua pemerintahan akhirnya sepakat atas Special Agreement
for
the
Submission to the ICJ the Dispute Between Indonesia ond Malaysia Concerning the
Sovereignty Over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan untuk menyerahkan peneptuan
kedua wilayah ini ke International Court ofJusticellCJ.
Dasar utama klaim kedaulatan Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan
adalah treaty based
tittle
atau conventional
tittte terutama pada penafsiran atas Pasal
IV Konvensi 1891 yang menrmuskan;
"From 4" l0' north latitude on the east coast the boundary-line shall be
continued eastward along that parallel, across the Island of Sebittik: that
portion of the island situated ta the north of that parallel shall belong
unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south
of that parallel to the Netherlands.'D
'
Lebih jelas dapat
/imma isummaries doc.htm.
diakses
pada http ://wlvw-.icj-cij.org/icjwww/idocket/iimmasummaries
-t
13
Garis 4" 10' ini memberikan petunjuk tentang batas kepemilikan Belanda dan
Inggris di sebelah selatan dan utara garis 4" l0' tersebut adalah memotong Pulau
Sebatik dan terus menjulur ke laut di arah sebelah timur pulau tersebut. Pada oral
proceedings-nya, Indonesia menyampaikan argumen alternatif bahwa apabila ICJ
menolak hak atas dasar Konvensi 1891, maka dasar lainnya adalah bahwa Indonesia
merupakan negara successor dari Kesultanan Bulungan, dikarenakan sebelumnya
Raja inilah yang memiliki kewenangan atas pulau-pulau tersebut yang kemudian
diserahkan ke Belanda.
10
Sedangkan Malaysia mengklaim kedaulatan atas kedua pulau tersebut atas
dasar pewarisan hak (chain of tittte theory), dimana pulau-pulau tersebut didapatkan
Malaysia dengan mendasarkan transfer kepemilikan melalui dua cara yaitu
penyerahan wilayah dengan jalur Sultan Sulu ke Spanyol ke Amerika Serikat ke
Inggris ke Malaysia. Kedua yaitu melalui tindakan privat akibat leasing.dengan alur
British Nrtrth Borneo Company (BNBC)-Sultan Sulu ke Spanyol ke Amerika Serikat
ke Dent-Overbeck (BNBC) ke Inggris ke Malaysia. Selain itu Malaysia juga
mengajukan argumen alternatifrrya dengan mendasarkan pada fakta-fakta a{anya
pengelolaan yang damai dan berkesinambungan (continuous peaceful possession)
yang dilakukan oleh Inggris dan juga Malaysia terhadap pulau tersebut.rr
Sengketa kedua pulau
ini mulai diperiksa oleh ICJ pada bulan November
1998, didasarkan pada special agreement antara Indonesia dan Malaysia yang
ditandatangani di Kualalumpur pada tanggal
14
3l Mei
1997 danmengikat padatanggal
mei 1998.
Dalam memutuskan sengketa ini terdapat 15 orang hakim ICJ yaitu; Gilbert
Guillaume berkewarganegaraan Perancis sebagai ketua, Jiuyong
Shi
berkewarganegaraat China sebagai wakil ketua. Sedangkan hakim anggota adalah
Shigeru Oda berkewargafiegaraan Jepang, Raymond Ranjeva berkewarganegaraan
Madagaskar, Geza Herezegh berkewarganegaruan Jerman, Abdul
r0
"
G.
Koroma
Lebihjelas dapat diakses pada http://www.icj-cij.org/icjwwwTigenralinformation.htm
Ibid
"!
t4
berkewarganegaraat Sierra Leone, Vladen
S. Vereshchetin berkewarganegaraan
Russia, Rosalyn Higins berkewarganegaraafi Inggris, Gonzalo Parra-Aranguren
berkewarganegaraan Venezuela, Pieter H. Kooijmans berkewarganegaran Belanda,
Fransisco Rezek berkewarganegaraan Brazil,
Awn
Shawkat Al-Khasanwneh
berkewarganegaraan Yordania, Thomas Buergenthal berkewarganegaraan Amerika
Serikat, Nabil Elaraby berkewargane garaorn Mesir.
Masing-masing negara kemudian menunjuk hakim ad-hoc. Indonesia memilih
Mr. Mohamed Shahabuddeen
Gregory Weeramantry.
dan Malaysia menunjuk Mr.
Namun setelah pengunduran
Christopher
diri Mr. Shahabuddeen,
Indonesia menunjuk Mr. Thomas Franck untuk menggantikannya.
Secara garis besar proses pengajuan sengketa
ini ke ICJ adalah sebagai
berikutr2:
L
1998/35
2.
1998t31
ll
3.
t999l4A
16 September
4.
2000114
5.
20a0/33
6.
200u0'l
7.
2001/13
2 November 1998
Indonesii and Malasyia jointly
bring dispute over islands to the
International Court of Justice
November 1998 Fixing of the time limits for the
filling of written pleadings
I
The Court extends the time limit for
the filing of a counter-memorial by
each of the parties
1,2May 2004 New extension of the time limit for
the filing of a counter-memorial by
each of the parties
20 October 2000 Fixing of the time limits for the
filling of a Reply by each of the
Parties
15
March 2001 The Philippines requests permission
to intervene in the proceedings
22May 2001 Application for the permission to
intervene bv the Phillinnines- the
" Secara keseluruhan proses ini dapat diakses pada ICJ Press Releases http://w-rvw.icjcij.org/icjwwdigenralinformation.htm tanggal akses 25 Api.l 2004
15
intervene by the Phillippines- the
Court will hold public hearings
from 25 to 29 june 2001
8.
z00y18
9.
2A0tD6
29 lune2A0l Conclusion of the public hearings
on the application for permission to
intervene by the Phillippines- the
Court ready to consider its
iudgement
19 October 2001
Application for the permission to
intervene by the Phillippines- the
Court to deliver its judgement on
Tuesday 23 October 2001 at 3 p.m.
23 October 2001 Summary of the judgement 0f 23
October 2001
10.
200ll2&bis
11
2001128
t2
2002109
13March2002 The Court will hold public hearings
from 3 to 12 June 2002
13
2002114
23May 2402 Schedule of public hearings to be,
held from 3 to 12 June 2002
t4
2002n6
12
15
2002136
t6
2002139bis
17.
2002t39
23 October 2001 The Court finds that the
Application of the Phillippines for
permission to intervene cannot be
granted
Jwe2A02 Conclusion of the public hearings
Court re,ady to consider its
iudgement
28 November 2002 Court to deliver its judgement on
Tuesday 17 December 2002 at 10
a.m
20 December 2002 Summary of the judgement of 17
December 2002
17 December 2002 The Court finds that sovereignty
over the islands of Ligitan and
Sipadan belongs to Malasyia.
Untuk menyimpulkan suatu putusan atas sengketa ini, ICJ menggunakan tiga
pertanyaan pokok yaitu:
-!
t6
1.
Apakah Indonesia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian
yang dibuat antara Belanda dan Inggris pada tahun l89l sebagaimana yang
diargumentasikan oleh pihak Indonesia?
Apakah Malaysia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan pewarisan hak
(chain of tittle)sebagaimana diargumentasikan oleh pihak Malaysia?
3.
Apakah penjajah Indonesia dan Malaysia (Belanda dan Inggris) sebagaimana
diargumentasikan oleh kedua belah pihak yang bertikai telah menunjukan
keberadaannya sebagai pemilik pulau tersebut sebagaimana yang
diterminologikan dalam bahas Perancis effect
iv ites' ?
pada saat diperiksa, tanggal13 Maret 2001 berdasarkan Pasal 62 Statuta ICJ,
Filipina mengajukan intervensi didasarkan pada pengklaimannya atas Sabah sebagai
bagian dari wilayah Filipina. Dalam sengketa ini, - Sabah digunakan oleh Malaysia
sebagai sandaran wilayah dalam mengklaim kedua pulau yang disengketakan. Namun
intervensi Filipina ini kemudian ditolak oleh ICJ dalam putusannya padatanggal23
Oktober
2001.13
,
pada pokok pertanyaan pertama mengenai apakah Indonesia berhak atas
kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian yang dibuat antata Belanda dan Inggris
pada tahun 1891 sebagaimana yang diargumentasikan oleh pihak Indonesia, ICJ
berpendapat bahwa penafsiran kata-kata dalam Pasal
l89l
IV dan penafsiran perjanjian
ke dalam bentuk peta, tidak bisa dijadikan dasar pemberian kedaulatan.
Berikut summory of the judgement of 17 December 2002 berkaitan dengan
interpretation of the 1891 Convention oleh ICJ;
The court notes that Indonesia is not a party to the Vienna
Convention 23 May 1969 on the Law of Treaties; the Court would
nevertheless recall thot, in accordance witlt customary international
law, reflected in Articles 3I and 32 of that Convention:
13 Pertimbangan
iseff alinformation. htm
penolakan
ini dapat diakses pada http://www.icj-cij.or8/icjw*-/
17
"a treaQl must be interpreted in good faith in accordance with the
ordinary meaning to be given to its terms in their context and in the light
of its object and purpose. Interpretation must be based above all upon
the text of the treaty. As a supplementary meosure recourse may be had
to meons of interpretation such as the preparatory work of the treaty
and the circumstances of its conclusion."
It further recalls that, with respect to Article 31, paragraph 3, it has had
occasion to state that this provision also reflects customary law,
stipulating that there shall be taken into occount, together with the
context, the subsequent conduct of the porties to the treaty, i.e., "ony
subsequent agreement" (subpara. fu)) and "any subsequent practice"
(subpara. &)) ...'o
Sedangkan summary
of the judgement of 17 December 2002 yang
berkaitan dengan text of Article
IV of the l89l Convention,ICJ
merumuskan;
... With respect to the terms of Article IV, Indonesia maintains thst this
Article contains nothing to suggest that the line stops at the east coast of
Sebatik Island. According to Malaysia, the plain and ordinary meaning
of the words "across the Island of Sebrttik" is to describe, "in English
and in Dutch, a line that crosses Sebatikfrom the west coast to the east
coast and goes nofurther".
The Court notes that the Parties dffir as to how the preposition'
"across" (in the English) or "over" (in the Dutch) in thefirst sentence of
Article IV of the I89l Convention should be interpreted. It
acknowledges that the word is not devoid of ambiguity and is capable of
bearing either of the meanings given to it by the Parties. A line
established by treaty may indeed pass "across" an island and terminate
on the shores of such island or continue beyond it.
The Parties also disagree on the interpretation of the part of the same
sentence which reads "the boundary-line shall be continued eastward
along that parallel [4" I|'northJ". In the Court's view, the phrase
"shall be continued" is also not devoid of ambiguity. Article I of the
Convention defines the starting point of the boundary between the two
States, whilst Articles II and III describe how that boundary continues
from one port to the next. Therefore, when Article IV provides that "the
boundaryJine shall be continued" again from the east coast of Borneo
along the 4" l0'N parallel and across the island of Sebatik, this does
ra
http://w'ww icj-cij.org/icjwwdidocket/iimmasummaries/imma
isummaries-doc.htm.
.t
19
Having examined the other maps produced by the Porties, the Court
finds that, in sum, with the exception of the map annexed to the
the cartographic material submitted by the
Parties is inconclusive in respect of the interpretation of Article IV of
the 1 89 I Convention....
lgl5 Agreement (see above),
Kesimpulan lainnya dari ICJ berkaitan dengan hak yang didasarkan atas
pewarisan (Title
by succession) yang
diargumentasikan oleh Indonesia bahwa
Indonesia merupakan pihak successor dari Belanda, yang mendapatkan hak tersebut
melalui kontrak antara Belanda dan Sultan Bulungan sebagai original title-holder,
adalah sebagai berikut;
...The Court observes that it hos already dealt with the various controcts
of vassalage concluded between the Netherlands and the Sultan of
Bulungan when it considered the 1891 Convention. It recalls that in the
1878 Contract the island possessions of the Sultan were described as
,,Terekkan
[TarokanJ, Nanoekan [NanukanJ and Sebittikh [SebatikJ,
with the islets belonging thereto". As amended in 1893, this list refers to
the three islands and surrotmding islets in similar terms while taking
into account the division of Sebatik on the basis of the l89l Convention.
The Court further recalls thot it stated above that the words "the islets
belonging thereto" can only be interpreted as referring to the small
islands lying in the immediate vicinity of the three islands which are
mentioned by name, and not to islands which are located at a distance
of more than 40 nauticol miles. The Court therefore connot accept
Indonesio's contention that it inherited title to the disputed islands from
the Netherlands through these contracts, which stated that the Sultanate
in the contracts formed port of the
of Bulungan as described
7
Netherlands Indies-..1
Pada pokok pertanyaan kedua tentang apakah Malaysia berhak atas kedua
pulau tersebut berdasarkan pewarisan hak (choin
of tittle)
sebagaimana
diargumentasikan oleh pihak Malaysia, alasan, jawaban dan kesimpulan ICJ, adalah
sebagai berikut;
t' Ibid
!
2t
Protocol. The Court observes, however, that it cannot be disputed, that
the Sultan of Sulu relinquished the sovereign rights over all ltis
possessions in favour of Spain, thus losing any title he may have had
over islands located beyond the 3-marine-league limit from the coast of
North Borneo. The Court, therefore, is of the opinion that Spain was the
only State which could have laid claim to Ligitan and Sipadan by virtue
of the relevant instruments but that there is no evidence that it actually
did so. It further observes that at the time neither Great Britain, on
behalf of the State of North Borneo, nor the Netherlands explicitly or
implicitly laid claim to Ligitan and Sipadan.
The next link in the chain of transfers of title is the Treaty of
7 November 1900 between the United States and Spain, by whiclt Spain
"relinquish[edJ to the United States all tttle and claim of title . . . to any
and all islands belonging to the Philippine Archipelago" which had not
been covered by the Treaty of Peace of l0 December 1898. The Court
first notes that, although it is undisputed that Ligitan and Sipadan were
not within the scope of the 1898 Treaty of Peace, the 1900 Treaty does
not specifu islonds, apart from Cagayan Sulu and Sibutu and their
dependencies, that Spain ceded to the {Jnited States. Spain nevertheless
relinquished by that Treaty any claim it may have had to Ligitan and
Sipadan or other islands beyond the 3-marineJeaguti limit from the
coast of North Borneo. Subsequent events show that the United States
itself wos uncertoin to which islands it had acquired title under the
1900 Treaty. A temporary atongement between Great Britain and the '
United States was made in 1907 by an Exchange of Notes. This
Exchange of Notes, which did not involve a transfer of territorial
sovereignty, provided for a continuation of the administration by the
BNBC of the islands situated more than 3 marine leaguesfrom the coast
of North Borneo but left unresolved the issae to which of the parties
these islands belonged.
This temporary arrangement lasted until 2 January 1930, when a
Convention was concluded between Great Britain and the United States
in which a line wos drawn separating the islands belonging to the
Philippine Archipelago on the one hand and the islands belonging to the
State of North Borneo on the other hand. Article III of that Corwention
stated that all islands to the south and west of the line should belong to
the State of North Borneo. From a point well to the north-east of Ligilan
and Sipadan, the line extended to the north and to the east. The
Convention did not mention any island by name apart from the Turtle
and Mangsee Islands, which were declared to be under United States
sovereignty. By concluding the 1930 Convention, the United States
relinquished any claim it might have had to Ligitan and Sipadan and to
the neighbouring islands. But the Court cannot conclude eitherfrom the
I
22
of Notes or from the l9j0 Convention or from any
document emanating from the United States Administration in the
intervening period that the United States did claim sovereignty over
these islands. It can, therefore, not be said with any degree of certainty
1907 Exchonge
that by the l9i0 Convention the United States transferred title to Ligitan
and Sipadan to Great Britain, as Malaysia asserts. On the other hand,
the Court cannot let go unnoticed that Great Britain was of the opinion
that as a result of the 1930 Convention it acquired, on behalf of the
BNBC, title to all the islands beyond the 3-marineJeague zone which
had been administered by the Company, with the exception of the Turtle
and the Mangsee Islands. To none of the islands lying beyond the 3marineJeague zone had it ever before laid aformal claim. Whether such
title in the case of Ligitan and Sipodan and the neighbouring islands
was indeed acquired as a result of the 1930 Convention is less relevant
than the fact that Great Britain's position on the effect of this
Conventionwas not contested by any other Stote.
The State of North Borneo was transformed into a colorry in 1946.
Subsequently, by virtue of Article IV of the Agreement of 9 July 1963,
the Government of the United Kingdom agreed to take -"such steps as
[might| be appropriate and ovailable to them to secure the enactment by
the Parliament of the United Kingdom of an Act providing for the
relinquishment. . . of Her Britannic Majesty's sovereignty and
jurisdiction in respect of North Borneo, Sarawak and Singapore" in
favour of Malaysio.
In 1969 Indonesia challenged Malaysia's title to Ligitan and Sipadan
and claimed to have title to the two islands on the basis of the I89I
Convention.
In view of the foregoing, the Court concludes that it connot accept
Malaysio's contention that there is an uninterrupted series of transfers
of title from the alleged original title-holder, the Sultan of Sulu, to
Malaysia as the present one. It has not been established with certainty
that Ligitan and Sipadan belonged to the possessions of the Sultan of
Sulu nor that any of the olleged subsequent title-holders hod a treatybased title to these two islands. The Court con therefore not find that
Malaysia hos inherited a treaty-based title from its predecessor, the
(Inited Kingdom of Great Britain and Northern lreland.ls
Pada pokok pertanyaan kedua
ini,
sebagaimana pada pokok pertanyaan
pertama, ICJ menyatakan bahwa klaim chain of tittle theory dari Malaysia sama
lemahnya dengan klaim conventional tittle oleh Indonesia, dikarenakan tidak dapat
T
lbid
-t
23
dibuktikan di depan ICJ bukti-bukti hukum yang mendukung klaim tersebut. Selain
itu ICJ menyatakan bahwa tidak ada bukti dokumen authentik yang dapat
meyakinkan bahwa kedua pulau tersebut diwarisi Malaysia dari negara-negara
terdahulunya.
Pada pokok pertanyaan yang ketiga tentang apakah penjajah Indonesia dan
Malaysia (Belanda dan Inggris) sebagaimana diargumentasikan oleh kedua belah
pihak yang bertikai telah menunjukan keberadaannya sebagai pemilik pulau tersebut
sebagaimana yang diterminologlkan dalam bahas Perancis effectivites, ICJ
menyimpulkan bahwa Malaysia memiliki sejumlah dokumen yang menunjukan
adanya adrninistrasi berkesinambungan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggns
terhadap kedua pulau sengketa. Tindakan pengelolaan Inggris dibuktikan dengan
beragam pelaksanaan baik
itu
administratif, legislatif dan quasi yudisial yang
diperlihatkan dengan fakta pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu
dan pengumpulan telur penyu sejak 1917, penyelesaian kasus-kasus sengketa
pengumpulan telur penyu
di Pulau Sipadan pada tahun
Sipadan sebagai cagar burung
(bird
1930-an, penetapan Pulau
sanctuaries) dan pembangunan , serta
pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 dtPulau Sipadan dan tahun 1963 di Pulau
Ligitan.
Secara lengkap ICJ menyimpulkan;
...The Court observes that both Parties claim that the effectivitis on
which they rely merely confirm a treaty-based title. On an alternative
basis, Malaysia claims that it acquired title to Ligrtan and Sipadan by
virtue of continuous peaceful possession and administration, without
objectionfrom Indonesia or its predecessors in title.
The Court indicates that, having found that neither of the Parties has a
will consider these
treaty-based title to Ligitan and sipadan,
ffictivitds as an independent and separate issue.
notes that, in support of its arguments relating to effectivitds,
Indonesia citbs patrols in the area by vessels of the Dutch Royol Navy,
activities of the Indonesian Nayy, as well as activities of Indonesian
fishermen. It notes furthe,r that, in regard to its Act No. 4 concerning
Indonesian Waters, promulgated on 18 February 1960, in which its
it
It
-!
24
archipelagic baselines ore defined, Indonesia recognizes that it did not
at thot time include Ligitan or Sipadan as base points for the purpose of
drawing baselines and defining its archipelagic waters and territorial
sea, olthough it argues that this cannot be interpreted as demonstrating
that Indonesia regarded the islands os not belonging to its territory.
As regards its effectivitds on the islands of Ligitan and Sipadan,
Maloysia mentions control over the taking of turtles and the collection
of turtle eggs, allegedly the most important economie activity on
Sipadan for many years- Malaysia also relies on the establishment in
1933 of a bird sanctuary on Sipadan. Maloysia further points out that
the British North Borneo colonial authorities constructed lighthouses on
Ligitan and Sipadan Islands in the early 1960s and that these exist to
this day and are maintained by the Malaysion authorities.
The Court first recalls the statement by the Permanent Court of
International Justice in the Legal Status of Eastern Greenland
(Denmark v. Norw ay) case :
"a cloim to sovereignty based not upon some particular sct or title such
os a treaty of cession but merely upon continued display of authority,
'involves two elements each of which must be shown to exist: the
intention and will to act as sovereign, and some actual exercise or
display of such authority.
Another circumstonce which must be taken into account by any tribunol
which has to adjudicate upon a claim to sovereignty over a particular
territory, is the extent to which the sovereignty is also claimed by some
other Power."
The Permanent Court continued:
"It is impossible to read the records of the decisions in cases as to
territorial sovereignty without observing that in mony coses the tribunal
has been satisfied with very little in the way of the actual exercise of
sovereign rights, provided that the other State could not make out o
superior cloim. This is particularly true in the case of claims to
sovereignty over oreos in thinly populated or unsettled countries."
(P.C.I.J., Series A/8, No. 53, pp. 45-46.)
The Court points out that in particular in the case of very small islands
which are uninhabited or not permanently inhabited -- like Ligitan and
Sipadan, which have been of little economic importance (at least until
recently) - ffictivitds will indeed generally be scarce.
The Court further observes that it cannot take into consideration octs
having taken place after the date on which the dispute between the
Parties crystallized unless such acts are a normal continuation of prior
acts and are not undertaken for the purpose of improving the legal
position of the Party which relies on them. The Court therefore,
primarily, analyses the effectivitds which date from the period before
'
-!
25
1969, the year in which the Parties asserted conflicting cloims to
and Sipadan.
Ligitan
The Court finally observes that it can only consider those acts as
constituting a relevant dtsplay of authority which leave no doubt as to
their specific reference to the islands in dispute as such. Regulations or
odministrative acts of a general nature can therefore be taken as
effectivitds with regard to Ligitan and Sipadan only if it is cleor from
their terms or their effects that they pertained to these two islands.
Turning then to the effictivitds relied on by Indonesia, the Court begins
by pointing out that none of them is of a legislative or regulatory
character. It finds, moreover, that it connot ignore the fact that
Indonesian Act No. 4 of I February 1960, which draws Indonesia's
archipelagic baselines, and its accompanying map do not mention or
indicote Ligitan and Sipadan as relevant base points or turning points.
With regard to a continuous presence of the Dutch and Indonesian
navies in the woters around Ligitan and Sipadan, as cited by Indonesia,
it cannot, in the opinion of the Court, be deduced either from the report
of the commanding fficer of the Dutch destroyer Lyra -- which
patrolled the area in I92l - or from any other document presented by
Indonesia in connection with Dutch or Indonesian naval surveillance
and patrol activities that the naval authorities concerned considered
Ligitan and Sipadan and the surrounding waters to be under the
sovereignty of the Netherlands or Indonesia.
The Court finally observes that activities by private persons such as
Indonesian fishermen, cannot be seen as effectivitds f they do not take
place on the basis of fficial regulations or under governmental
authority. The Court concludes that the activities relied upon by
Indonesia do not constitute acts d titre de souverain reflecting the
intention andwill to oct in that capacity.
With regard to the effectivitds relied upon by Malaysia, the Court first
observes thot pursuant to the 1930 Corwention, the United States
relinquished any claim it might have had to Ligitan and Sipadan and
thot no other State asserted its sovereignty over those islands at that
time or objected to their continued administration by the State of North
Borneo. The Court further observes that those activities which took
place before the conclusion of that Canvention connot be seen as acts "d
titre de sowerain", os Greot Britain did not ot that time claim
sovereignty on behnlf of the State of North Borneo over the islands
beyond the 3-marineJeague limit. Since it, however, took the position
tlrut the BNBC was entitled to administer the islands, a position which
after 1907 was formally recognized by the United States, these
ctdministrative activities cannot be ignored either.
26
Both the meosures taken to regulate and control the collecting of turtle
eggs ond the establishm
* 0
t
7
o
O t
6 E o
"t'
I
Z 0 13
o
9:B
LAPORAN PENELITIAN
STUDI TENTANG PENERAPAN
E FFECTIYES OCCUPATION
PRINCIPLE
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WILAYAII NEGARA
OIeh:
MADA APRIANDI ZI]HIR
ll-rP. 132 282178
Dibiayai Oleh:
Dana DlK-suplemen Universitas Sriwijaya Tahun Anggaran 2004 Kontrak
Nomor Og2t23tDIK-S/2004 Tanggal I Januari
FAKULTAS HUKUM
UNTVERSITAS SRIWIJAYA
2004
2(X}4
II}ENTITA$ DAII PENGESAHAN USUL PETIELITIAN
Judul Penelitian
1.
.
STUDITENTANGPENERAPA}I
EFFECTIYES OCCUPATION
PNNCTPLE DALAM
PET{I{ELESAIAN SENGKETA
b. Bidang llmu
c. KatEgCIri Penelitian
2.
KetuaPeneliti
L. Nama Lerykap dau Gelar
b. JenisKelamin
d.
Golongangan/PangkatA{IP
Jabatan Fungsional
e. Jabatan Shuktural
f. Fakultas/Jurusan
g. Ifusat Penelitian
- Iv{ada Apriandi Zuhir, S.H.
- Iaki-laki
- IlUalPenata Mlu&/132282118
- kktor
- TidakAda
- Huhm/Ilmu }Iukum
- Lemb*gaPenelitiar Universitas
Jumlah Anggota Peneliti
Lokasi Penelitian
I"amaPenelitian
Biaya yang Diperh*an
:
-
c.
).
4.
5.
6.
WILAYAHNEGARA
- Hukum Intsrnasional
-II
Sriwiiaya
I {Satu) Orang
lalernbang danlakallta
6 (enam) Bulan
Rp.2.250.000,- {Dua J*a Dua Ratus
Lirm Puluh Ribu tupi*hj
Inderalaya, Oktober 2004
KetuaPeaeliti,
6,1
Z*
fr?
f
Hasan, SH.,MH.
Dr. h R.H.\_d Saleh, M.Sc.
N.r.P. 130531?91
I'
II
\
ABSTRACT
The research entitled "Study on Implementation of Effectives Occupation Principle"
intends to get better known and to get description and also to mention developing of
international law concerning to territorial jurisdiction dispute resolution as in ICJ's
decisions, basis of the facts and legal consideration and altemative ways to prevent
any territorial jurisdiction disputes. The research has been done through a method
based on some activity phases such as sampling arba and txget and source of data,
technique of data collecting and data analysis. Type and source of data are collected
by purposive sampling method. Furthermore analysed by means of qualitative
descripiive with juridical normative approach and the last, to get conclusion through
inductive method. The results show that developing of international law concerning
to territorial jurisdiction dispute resolution as in ICJ's decisions based on Effectives
Occupation Principle, ICJ conclude that sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau
Ligita belongs to Malaysia on the basis of the facts and legal consideration that
Indonesia cannot proved the intentiorl and will to act as sovereign (i.e.activities
evidencing an actual, continued exercise of authority over the islands). Alternative
ways to prevent any territorial jurisdiction disputes between Indonesia and other
border states is strengthening our law especially on national territory matters.
,n
F"
llt
\
ABSTRAK
q
Penelitian yang berjudul "Studi Tentang Penerapan Effictives'Occupation Principle
dalam Penyelesaian Sengketa Wilayah Negara" ditujukan untuk mengetahui
perkembangan teori hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa wilayah
negara berkaitan dengan penambahan wilayah negara sebagaimana yang terkandung
dalam Putusan ICJ pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara
Indonesia dan Malasyia terutama berkaitan dengan penerapan Effectives Occupation
Principle, alasan teoritik kekalahan Indonesia pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan dan upaya antisipatif penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia
dan negara-negara. Penelitian ini dilakukan melalui metode yang berdasarkan pada
tahap-tahap kegiatan seperti penentuan lokasi penelitian, teknik pengumpulan data
dan analisa datz. Data yang dikumpulkan secara purposive sampling. Selanjutnya
dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan pendekatan yuridis normative dan
akhirnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan mengunakan metode induktif. Dari
hasil penelitian ini disimpulkan bahwa perkembangan teori hukum internasional
mengenai penyelesaian sengketa wilayah negara dan penambahan wilayah negara
dewasa ini, sebagaimana yang terkandung dalam putusan-putusan lvlahkamah
Internasional (International Court of Jusice/ICf, pacr. umunnya didasarkan pada
effectwe occupation principle yang drjalankan oleh para pihak yang bersengketa
untuk menentukan pihak mana yang memiliki hak kedaulatan atas wilayah tersebut.
Secara teoritik, Indonesia kalah pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Dalam Putusan ICJ dikarenakan Indonesia tidak dapat membuktikan adanya tindakan
effectwes (intention and will) yang dilakukan Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa-sengketa wilayah yang ada adalah
dengan membuat identifikaii, inventarisir, pemberian nama dan aturan-aturan hukum
sekaligus mendepositkannya ke PBB berkaitan dengan persoalan wilayah terutama
mengenai pulau-pulau terluar Indonesia.
iv
\
KATA PENGANTAR
Sebagai suatu negara kepulauan terbesar
di dunia, dengan lebih dari
17. 000 pulau dengan garis pantai yang mencapai 81.000 km serta luas wilayah yang
mencapai
7,9
jutakm2, secara positif memberikan keuntungan bagi wilayah Negara
Kesatuan Republik IndoneSia, tapi disisi lain juga memberikan dampak yang negatif
dalam hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga berkaitan
dengan
pengklaiman atas hak-hak dan batas-batas wilayah. Potensi konflik ini dapat memicu
sengketa yang lebih ltras serta mengandung potensi instabilitas kawasan regional.
Putusan ICJ berkaitan dengan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan merupakan suatu kasus yang menarik untuk dibahas baik dari sudut pandang
teori khususnya hukum internasional maupun pengaruhnya terhadap Indonesia.
Atas dasar itu, alhamdulilah penelitian yang dibiayai oleh Dana DIK-
Suplemen Universitas Sriwijaya Tahun Anggaran 2004, dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Harapannya agar hasil penelitian yang disadari masih terdapt
kekurangannya ini dapat bermanfaat dan tentunya kritik dan saran yang membangun
akan selalu kami terima.
Terimakasih
't
DAFTAR ISI
Halaman
HALA]V{r{N MUKA
IDENTITAS DAN PENGESAHAN
.........
....
ii
ABSTRACT
lv
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB
1.
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Metode
Penelitian
.....:...
6
BAB II PEMBA}IASAN ...
A. Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
B. Perkembangan Teori Hukum Internasional Mengenai
10
l0
.
Penyelesaian
Sengketa Wilayah Negara dan Penainbahan Wilayah Negara Dikaitkan
dengan Penerapan Effectwe Occupation Principle dalam Putusan ICJ
C. Tinjauan Teoritis Atas Kekalahan Indonesia
D. Upaya-Upaya Antisispatif Penyelesaian Sengketa Wilayah
......
28
44
Antara
48
Indonesia dan Negara-Negara Tetangga
1.
BAB III PENUTUP
53
A. Kesimpulan
53
B. Saran-Saran
54
DAFTAR PUSTAKA
vl
LAMPIRAN
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
1.
Peta
2.
Batas Negara Kesatuan Republik tndonesia
,i
t
,*
I
vii
l
I
I
)
BAB
1.
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Sebagai suatu negara kepulauan, secara
fisik Indonesia merupakan
negara
terbesar ke-5 didunial yang dibatasi oleh 2 Matra, yaitu matra laut yang berbatasan
dengan sepuluh negara (Australia, Malaysi4 Singapura, India, Thailand, Vietnam,
Philipina, Palau, Papua New Guinea dan Timor Leste), dan di daratan berbatasan
dengan tiga negara (Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste)-2
Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention
on the Law of the,SeaAJNCLOS) 1982, secara positif memberikan keuntungan bagi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi disisi'lain juga memberikan
dampak yang negatif dalam hubungan lndonesia dengan negara-negara tetangga
berkaitan dengan pengklaiman atas hak-hak dan batas-batas wilayah. Potensi konflik
ini
dapat memicu sengketa yang lebih luas serta mengandung potensi instabilitas
kawasan regional.
Beberapa permasalahan perbatasan antara Indonesia dan negara-negara
tetangga yang belum terselesaikan secara tuntas tidak hanya menyangkut persoalanpersoalan batas-batas
fisik yang disepakati semata, namun juga menyangkut
cara
hidup masyarakat di daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan
' Luas wilayah Indonesia semakin bertambah di karenakan perjuangan atas prinsip wawasan
nusantara yang termuat dalam Deklarasi Juanda Tahun 1957 yang kemudian diakui dalam Konvensi
Hukum Laut Internasional 1982. Menurut data resmi Pemerintah, panjang garis pantai tetap (Baseline\
81.000 KM2, tapi menurut World Data Center di New York, panjang garis pantai tetap
Indonesia
Indonesia hanya + 61. 000 KM2. Pada saat kemerdekaar\ kawasan laut Indonesia hanya 100. 000 KMz,
setelah berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS) ietZ, luas kawasan laut Indonesia bertambah 3. 000 Yo menladi 3. 100. 000 KM2,
yang terdiri dan 2.800. 000 KM2 perairan kepulauan dan 300. 000 KM2laut wilayah. Lihat Kompas
"Banyak Potensi Laut Tidak terjamah" Jumat 3 Desember 1999.
2 Hari Sabarno, "Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan dan Pengelolaan Pulau-pulau
Indonesia", Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. 1.
+
'l
lain di sekiar wilayah perbatasan. Potensi konflik dan beberapa persoalan perbatasan
dan sengketa wilayah antara Indonesia dan negara-negara tetangga itu diantaranya:
1.
Indonesia dan Singapura mengenai batas laut teritorial berkaitan dengan
perubahan batas kedua negara
di Selat Malaka
sebagai akibat dampak dari
kegiatan reklamasi yang dilakukan Singapura.
2.
tndonesia dan Malaysia mengenai perbedaan pemahaman rezim laut dengan
Malaysia
di bagian tltara
Selat Malaka, Selat Singapura dan Laut Cina
Selatan.
3.
Indonesia dan Philipina berkaitan dengan perbedaan secara firndamental
mengenai perbatasan wilayah laut. Hal ini disebabkan karena undang-undang
Philipina telah menetapkan garis batas lautnya, sedangkan Pemerintah
Indonesia menyatakan dalam peraturan perundang-undangan.
4.
Indonesia dan Australia pasca kemerdekaan Timor Lorosae, garis batas laut
antara Indonesia dengan Australia memerlukan penataan ulang, walaupun
persetujuan garis batas landas kontinen pernah dilaksanakan pada tahun 1971
dan1972, serta persetujuan garis balas ZEE pada tahun 1981.
5. Indonesia dan Papua New Guinea (PNG) berkaitan dengan aspek kultural.
6. Indonesia dan Vietnam mengenai penentuan batas wilayah berkaitan dengan
penentuan landas kontinen.
7.
Indonesia dan Republik Rakyat China (RRC) mengenai perbedaan pandangan
tentang batas perairan, khususnya di perairan Natuna.
8. fndonesia
dan India mengenai perbatasan perairan territorial di sekitar Pulau
Andaman dan Nicobar.
g.
Indonesia dan Palau mengenai batas ZonaEkonomi Ekslusif (ZEE) di Pulaupulau Asia dan pulau-pulau Mapia yang terdapat di utara Papua.
10. Indonesia dan
Timor Lorosae yang belum memiliki perjanjian batas wilayah
laut.3
Putusan Mahkamah Internasion
al (International Court of JusticellCJ)
pada
tanggal 17 Desember 2002 membuat bangsa Indonesia tersadar bahwa luasnya
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memuat potensi konflik dan
menrerlukan perhatian yang serius.
Konflik Sipadan-Ligitan yang mencuat sejak
Tahun 1969 antaralndonesia dan Malasyia, diputuskan oleh ICJ dengan memberikan
kedaulatan penuh atas kedua pulau tersebut kepada Malaysia atas dasar effective
occupation yang telah dilakukan Malaysia.
Konflik ini muncul pada tahun 1969 ketika kedua rregara mengadakan
perundingan untuk menetapkan batas landas kontinen. Pada saat itu terjadi perdebatan
berkaitan dengan kepemilikan Pulau Sipadan-Ligrtan. Jika dikaitkan dengan
penetapan batas landas kontinen, maka effectives occupation tidak dapat diterapkan,
hal ini dapat dilihat pada Art. 77 ayat (3) LINCLOS yang merumuskan:
The rights of the coastal state over ihe continental shelf do not depend on
occupaiiori, effictive or naiional, or on aiq, express proclamation.
Jelas terlihat dari
Art. 77 ayat (3) bahr*a hak suatu negara pantai tidak
tergantung pada pendudukan (okupasi) baik
eftktif
maup'.rn tidak.
Dasar pertimbangan utama putusan ICJ yaitu effictives occupation principle.
Menurut ICI, conventional title atau treaty based title (penentuan hak atas
pedanjian) oleh Indonesia maupun chain
of title theory
dasar
(penentuan atas dasar
pewarisan hak) oleh Malaysia sama lemahnya, karena tidak terdapat bukti-bukti
hukum yang dapat mendukung klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pulau
sengketa tersebut.a
TNI Bernard Kent Sondakh, "Peran TM Angkatan Laut Dalam Pengamanan
RI" Diskusi FH Univ. Indonesi4 Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. 5-7.
o
ICJ luga berpendapat tidak ada bukti dokumen authentik yang dapat meyakinkan bahwa
'
Laksamana
dan Pemberdayaan Pulau Terluar
kedua pulau sengketa termasuk kedua bagian dari wilayah kekuasaan Belanda atau Inggris. Karena itu,
ICJ tidak melihat alternatif lain kecuali menguji doktrin effectives sebagai suatu fakra hukum yang
.l
Prinsip okupasi merupakan warisan dari konsep hukum Romawi, Kalau kita
kaji
penggunaan
ffictives
occupation dalam putusan ICJ, occupation atau
pendudukan itu sendiri adalah pendudukan terhadap terra nullius (wilayah yang tidak
bertuan atau tidak berada di bawah kekuasaan suatu negara) yang mengandung dua
unsur pokok, yaitu penemuan (discovery) dan pengawasan yang efektif
(administration).
Berdasarkan gambaran padalatar belakang diatas, menarik untuk di kaji baik
secara teoritik maupun praktek-praktek internasional yang berkaitan dengan
penggunilan occupation principle terutama pada putusan ICJ dalam kasus sengketa
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
B.
Perumusan Masalah
Di dalam
penelitian ini, fokus utama yang akan diangkat adalah berkaitan
dengan effectives ocupation principle khususnya bagi Indonesia dalam kaitannya
dengan sengketa-sengketa wilayah Indonesia, maka perumusan masalahnya adalah
sebagaiberikut
1.
,
Bagaimana perkembangan teori hukum internasional mengenai penyelesaian
sengketa wilayah negara berkaitan dengan penambahan wilayah negara
sebagaimana yang terkandung dalam Putusan ICJ pada kasus sengketa Pulau
Sipadan dan Pulau Ligrtan antara Indonesia dan Malasyia, terutama berkaitan
dengan penerapan
2.
ffi ct iv e occupat ion pr inc ip
I e?
Mengapa secara teoritik, Indonesia kalah pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan?
3.
Upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk dapat
menyelesaikan sengketa-sengketa wilayahnya
yalg ada di masa yang akan
datang?
berdiri sendiri. Lebih lanjut
/icjwrvw/idecisions. htm.
lihat
mengenai Decisions ICJ dapat diakses pada http: www.icj-cij.org
't
principle, faktor-faktor yang secara teoritik mengakibatkan kekalahan lndonesia
dalam kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dan upaya antisipatif
penyelesaian sengketa wilayah arrtara Indonesia dan negara-negara tetangga.
i.
Lokasi Penelitian
penelitian
ini
akan dilakukan pada
2 (dua) lokasi, yaitu D.K.I Jakarta dan
Kota Palembang. Berdasarkan atas pertimbangan relevansinya dengan tujuan
penelitian, maka penarikan sample dilakukan secara Purposive Sampling, sehingga
sampel dalam penelitian ini adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f
4.
DepartemenLuarNegeri R[;
DepartemenDalamNegeriRl;
Badan koordinasi Strategi Pertahanan Nasional (Bakorsfianas);
Badan koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal);
Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) di Palembang; dan
kmbaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;
Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
a.
ini meliputi:
Data Sekunder
Dalam penelitian ini data sekunder merupakan data pokok. Data sekunder
tersebut diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan hukum secara
meliputi:
1)
Bahan hukum primer, diantaranYa
1.
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982;
2.
Statuta ICJ, Konvensi- konvensi dan Treaties.
3. UU No. 4lPrpll960 tentang Perairan Indonesia;
4. UU No. 711985 Ratifikasi UNCLOS 1982;
5. UU No. 611996 tentang Perairan Indonesia;
teliti
yang
I
6.
Konsideran Putusan ICJ pada Kasus Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara
Indonesia dan Malasyia.
2) Bohan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti : hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar
atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro,
dokumen pribadi atau pendapat da/, kalangan pakar hukum termasuk dalam
bahan hukum sekunder
3)
ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian.s
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum, kamus hukum, majalah, dan jurnal ilmiah.6 Surat kabar, majalah
mingguan juga menjadi bahan bagi penelitian
majalah mingguan
itu
ini
sepanjang surat kabar dan
memuat informasi yang relevan dengan objek kajian
penelitian ini.
b. Data Primer
Adapun data primer atau data dasar dalam penelitian ini diperlukan untuk
memberi pemahaman secara jelas, lengkap, dan komprehensif terhadap, data
sekunder.
5. Metode
TL
Pengumpulan Data
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research)
atau studi dokumentasi. Penelitian kepustakaan dilakukan unfirk mendapatkan teori-
teori hukum atau dottrin hukum, asas-asas hukum dan pemikiran konseptual serta
penelitian pendahulu yang berkaitan dengan objek kajian penelitian ini yang dapat
berupa Konvensi-Konvensi Internasional, Treaties, peraturan perundang-undangan,
literatur dan karya tulis ilmiah lainnya.
tRonny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakartq
1982,14m.24.
uPeriksa
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Radjawali Press, Jakarta, 1990, Hlm. l4-15.
.!
b. Data Pimer
Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (Field Research).
Penelitian lapangan yang dilakukan merupakan upaya memperoleh data primer
berupa dokumen-dokumen dan keterangan atau informasi dari responden.
6.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Datayangdiperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan,
selanjutnya akan dilakukan proses Editing atau pengeditan data. Hal
ini dilakukan
agar akurasi data dapat diperiksa dan kesalahan dapat diperbaiki dengan cara
menjajaki kembali ke sumber datanya.
Setelah pengeditan data selesai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah
pengolahan data yang akan dilakukan dengan cara Coding.atau pemberian kode-kode
tertentu, kemudian data dikelompokkan atau diklasifikasikan sesuai dengan
kelompok atau unit analisis yang telah ditetapkan.
Setelah pengolahan data selesai dilakukan, selanjutnya akan dilakukan analisis
data secara Destcriptif-Analitis-Kualitatif, dan khusus terhadap data dalam bpntuk
konvensi-konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional serta
Putusan ICJ pada Kasus Sengketa Pulau Sipadan-LigStan antara Indonesia dan
Malasyia dilalrukan kajian isi (Content Anatysis), untuk kemudian diambit suatu
kesimpulan sehingga pokok permasalahan yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini
dapat tedawab.
!
l0
BAB
tr
PEMBAHASAN
A.
Sengketa Pulau Sipadan Dan Pulau Ligitan
Dua pulau yang berada
di dekat
pulau besar Kalimantan itu sebenarnya
merupakan dua pulau kecil yang tidak berpenghuni. Pentingnya dua pulau ini
sehingga dipersengketakan adalah dikarenakan kedua pulau
ini bisa dijadikan titik
untuk menentukan lebar laut wilayah, landas kontinen dan zona ekonomi ekslusif
karenanya kepentingan ekonomi sangat dominan dalam sengketa pulau ini disamping
mempertahankan keutuhan wilayah.
7
Secara geograpis kedua pulau
ini terletak di laut Celebes. Ligitan merupakan
pulau yang sangat kecil dengan koordinat 4" }g'lintang utara dan 118o 53' lintang
selatan. Pulau ini terletak pada 21 mil laut dari Tanjung Tutop, di Semporna
Peninsula, dekat pulau Kalimantarg secara permanen tidak dihuni.
Sedangkan Sipadan, walaupun lebih besar dari Ligitan, luasnya sekitar,0. 13
km3, dengan koordinat 4o 06' lintang utara dan 118" 37' lintang selatan. Sekitar 15
mil
laut dari Tanjung Tutop dan 42 mil laut dari pantai timur Pulau Sebatik. Pulau ini
terletak pada 600-700 m permukaan laut. Pada dasarnya pulau
ini
seperti juga
Ligitan, tidak dihuni sampai tahun 1980-an yang kemudian menjadikan daerah ini
sebagai tempat pariwisata.
Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan arrtara Indonesia dan Malaysia
muncul ketika kedua negara melakukan perundingan pembahasan landas kontinen
pada tahun 1969. Perselisihan muncul dari perbedaan penafsiran atas perjanjian 1891
yang dibuat oleh Inggris dan Belanda untuk membagi Kalimantan (Borneo). Untuk
selanjutnya sengketa
ini dicoba untuk diselesaikan di tingkat pemerintahan
kedua
negara selama bertahun-tahun, namun mengalami kegagalan.
'
Hikmahanto Juwana, "Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan",
Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. l.
\
1t
Upaya diplomatis mulai drjajagr oleh kedua negara pada tahun 1988 atau
hampir sepuluh tahun setelah pihak Malaysia diketahui menerbitkan peta yang
memasukan kedua pulau
itu
sebagai bagian dari wilayahnya (197\.8 Isu status
kepemilikan tersebut mulai dibicarakan dalam pertemuan tingkat tinggi antara
Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahatir Mohammad
di Joryakarta,
Juni
1988. Upaya mencari penyelesaian sengketa secara politis dilakukan dengan berbagai
serangkaian perundingan yang dilakukan secara bertahap. Perundingan dilakukan,
baik pada tingkat pejabat teknis (Joint Working Group on Sipadan and Ligitan/JWG),
pejabat senior (Senior Offcial Meeting), hingga forum pertemuan tingkat Menteri
Luar Negeri (Joint Commission Meeting). Pada September 1994, kedua Kepala
Pemerintahan bahkan melakukan terobosan dengan cara menunjuk wakil pribadi
masing-masing untuk mencari penyelesaian masalah ini. Untuk keperluan tersebut,
wakil khusus (special representative) yang ditunjuk masing-masing,
Mensesneg
Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, mengadakan 4 pertemuan,
yakni di Jakarta padz tanggal 17 Juli 1995 dan 26 September 2005 serta di
Kualalumpur tanggal 22 September 1995 dan 21 Juni 1996. dalam serangfuian
negosiasi tersebut, kedua negara tidak menyentuh opsi penyelesaian secara politis,
misalnya dengan membagi dua pulau sengketa atau pengelolaan kedua pulau itu
secara bersama-sama. Yang dilakukan oleh kedua negara adalah bertukar argumentasi
hukum dimana baik Indonesia maupun Malaysia berupaya mematahkan argumentasi
hukum yarug diajukan masing-masing. Untuk memperkuat dalil hukum yang
diajukannyq kedua negara kemudian menyampaikan dokumen-dokumen dan bukti-
bukti yang diasumsikan dapat mendulcung klaimnya masing-masing. Upaya ini
dilakukan dengan pertimbangan masing-masing memiliki dasar hukum yang lebih
kuat untuk mendukung klaimnya. Opsi penyelesaian dengan cara pengelolaan secara
bersama-sama juga sulit dilakukan karena kedua negara lebih menekankan pada
* N.
Hasan Wirajuda . "Kasus Sipadan-Ligitan: Masalah Pengisian Konsep Negarq Proses
Ligitan" Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5
Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Februari 2003 Hlm. 8
I
keinginan untuk memperolah kejelasan mengenai status kepemilikan atas Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan. Sedangkan upaya penyelesaian melalui mekanisme
ASEAN, Malaysia memperlihatkan keengganannya dengan alasan forum
dikhawatirkan tidak dapat bersikap netral karena Malaysia memiliki sengketa
kewilayahan yang serupa dengan Singapura (Pulau Batu Puteh) dan Philipina
(Sabah). Selain itu, aturan pelaksanaan High Council ASEAN yang merupakan bagian
dari Treaty Amity
& Cooperation
1976 baru berlaku pada bulan Juli 2001. Upaya
penyelesaian secara hukum akhirnya direkomendasikan wakil khusus pada tahun
1996 setelah mencermati kesulitan mendapatkan solusi politis yang dapat disepakati
kedua negara. Pertimbangannya antara lain mengingat bahwa klaim kepemilikan
kedua pulau itu merupakan masalah hukum dan bahwa isu tersebut sangat sensitif
dalam hubungan kedua negara. Oleh karenanya disarankan perlunya jalur hukum
yaitu melalui Mahkamah InternasionaU Internotional Court of Justice (ICJ). Pada
tahun 1997 kedua pemerintahan akhirnya sepakat atas Special Agreement
for
the
Submission to the ICJ the Dispute Between Indonesia ond Malaysia Concerning the
Sovereignty Over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan untuk menyerahkan peneptuan
kedua wilayah ini ke International Court ofJusticellCJ.
Dasar utama klaim kedaulatan Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan
adalah treaty based
tittle
atau conventional
tittte terutama pada penafsiran atas Pasal
IV Konvensi 1891 yang menrmuskan;
"From 4" l0' north latitude on the east coast the boundary-line shall be
continued eastward along that parallel, across the Island of Sebittik: that
portion of the island situated ta the north of that parallel shall belong
unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south
of that parallel to the Netherlands.'D
'
Lebih jelas dapat
/imma isummaries doc.htm.
diakses
pada http ://wlvw-.icj-cij.org/icjwww/idocket/iimmasummaries
-t
13
Garis 4" 10' ini memberikan petunjuk tentang batas kepemilikan Belanda dan
Inggris di sebelah selatan dan utara garis 4" l0' tersebut adalah memotong Pulau
Sebatik dan terus menjulur ke laut di arah sebelah timur pulau tersebut. Pada oral
proceedings-nya, Indonesia menyampaikan argumen alternatif bahwa apabila ICJ
menolak hak atas dasar Konvensi 1891, maka dasar lainnya adalah bahwa Indonesia
merupakan negara successor dari Kesultanan Bulungan, dikarenakan sebelumnya
Raja inilah yang memiliki kewenangan atas pulau-pulau tersebut yang kemudian
diserahkan ke Belanda.
10
Sedangkan Malaysia mengklaim kedaulatan atas kedua pulau tersebut atas
dasar pewarisan hak (chain of tittte theory), dimana pulau-pulau tersebut didapatkan
Malaysia dengan mendasarkan transfer kepemilikan melalui dua cara yaitu
penyerahan wilayah dengan jalur Sultan Sulu ke Spanyol ke Amerika Serikat ke
Inggris ke Malaysia. Kedua yaitu melalui tindakan privat akibat leasing.dengan alur
British Nrtrth Borneo Company (BNBC)-Sultan Sulu ke Spanyol ke Amerika Serikat
ke Dent-Overbeck (BNBC) ke Inggris ke Malaysia. Selain itu Malaysia juga
mengajukan argumen alternatifrrya dengan mendasarkan pada fakta-fakta a{anya
pengelolaan yang damai dan berkesinambungan (continuous peaceful possession)
yang dilakukan oleh Inggris dan juga Malaysia terhadap pulau tersebut.rr
Sengketa kedua pulau
ini mulai diperiksa oleh ICJ pada bulan November
1998, didasarkan pada special agreement antara Indonesia dan Malaysia yang
ditandatangani di Kualalumpur pada tanggal
14
3l Mei
1997 danmengikat padatanggal
mei 1998.
Dalam memutuskan sengketa ini terdapat 15 orang hakim ICJ yaitu; Gilbert
Guillaume berkewarganegaraan Perancis sebagai ketua, Jiuyong
Shi
berkewarganegaraat China sebagai wakil ketua. Sedangkan hakim anggota adalah
Shigeru Oda berkewargafiegaraan Jepang, Raymond Ranjeva berkewarganegaraan
Madagaskar, Geza Herezegh berkewarganegaruan Jerman, Abdul
r0
"
G.
Koroma
Lebihjelas dapat diakses pada http://www.icj-cij.org/icjwwwTigenralinformation.htm
Ibid
"!
t4
berkewarganegaraat Sierra Leone, Vladen
S. Vereshchetin berkewarganegaraan
Russia, Rosalyn Higins berkewarganegaraafi Inggris, Gonzalo Parra-Aranguren
berkewarganegaraan Venezuela, Pieter H. Kooijmans berkewarganegaran Belanda,
Fransisco Rezek berkewarganegaraan Brazil,
Awn
Shawkat Al-Khasanwneh
berkewarganegaraan Yordania, Thomas Buergenthal berkewarganegaraan Amerika
Serikat, Nabil Elaraby berkewargane garaorn Mesir.
Masing-masing negara kemudian menunjuk hakim ad-hoc. Indonesia memilih
Mr. Mohamed Shahabuddeen
Gregory Weeramantry.
dan Malaysia menunjuk Mr.
Namun setelah pengunduran
Christopher
diri Mr. Shahabuddeen,
Indonesia menunjuk Mr. Thomas Franck untuk menggantikannya.
Secara garis besar proses pengajuan sengketa
ini ke ICJ adalah sebagai
berikutr2:
L
1998/35
2.
1998t31
ll
3.
t999l4A
16 September
4.
2000114
5.
20a0/33
6.
200u0'l
7.
2001/13
2 November 1998
Indonesii and Malasyia jointly
bring dispute over islands to the
International Court of Justice
November 1998 Fixing of the time limits for the
filling of written pleadings
I
The Court extends the time limit for
the filing of a counter-memorial by
each of the parties
1,2May 2004 New extension of the time limit for
the filing of a counter-memorial by
each of the parties
20 October 2000 Fixing of the time limits for the
filling of a Reply by each of the
Parties
15
March 2001 The Philippines requests permission
to intervene in the proceedings
22May 2001 Application for the permission to
intervene bv the Phillinnines- the
" Secara keseluruhan proses ini dapat diakses pada ICJ Press Releases http://w-rvw.icjcij.org/icjwwdigenralinformation.htm tanggal akses 25 Api.l 2004
15
intervene by the Phillippines- the
Court will hold public hearings
from 25 to 29 june 2001
8.
z00y18
9.
2A0tD6
29 lune2A0l Conclusion of the public hearings
on the application for permission to
intervene by the Phillippines- the
Court ready to consider its
iudgement
19 October 2001
Application for the permission to
intervene by the Phillippines- the
Court to deliver its judgement on
Tuesday 23 October 2001 at 3 p.m.
23 October 2001 Summary of the judgement 0f 23
October 2001
10.
200ll2&bis
11
2001128
t2
2002109
13March2002 The Court will hold public hearings
from 3 to 12 June 2002
13
2002114
23May 2402 Schedule of public hearings to be,
held from 3 to 12 June 2002
t4
2002n6
12
15
2002136
t6
2002139bis
17.
2002t39
23 October 2001 The Court finds that the
Application of the Phillippines for
permission to intervene cannot be
granted
Jwe2A02 Conclusion of the public hearings
Court re,ady to consider its
iudgement
28 November 2002 Court to deliver its judgement on
Tuesday 17 December 2002 at 10
a.m
20 December 2002 Summary of the judgement of 17
December 2002
17 December 2002 The Court finds that sovereignty
over the islands of Ligitan and
Sipadan belongs to Malasyia.
Untuk menyimpulkan suatu putusan atas sengketa ini, ICJ menggunakan tiga
pertanyaan pokok yaitu:
-!
t6
1.
Apakah Indonesia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian
yang dibuat antara Belanda dan Inggris pada tahun l89l sebagaimana yang
diargumentasikan oleh pihak Indonesia?
Apakah Malaysia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan pewarisan hak
(chain of tittle)sebagaimana diargumentasikan oleh pihak Malaysia?
3.
Apakah penjajah Indonesia dan Malaysia (Belanda dan Inggris) sebagaimana
diargumentasikan oleh kedua belah pihak yang bertikai telah menunjukan
keberadaannya sebagai pemilik pulau tersebut sebagaimana yang
diterminologikan dalam bahas Perancis effect
iv ites' ?
pada saat diperiksa, tanggal13 Maret 2001 berdasarkan Pasal 62 Statuta ICJ,
Filipina mengajukan intervensi didasarkan pada pengklaimannya atas Sabah sebagai
bagian dari wilayah Filipina. Dalam sengketa ini, - Sabah digunakan oleh Malaysia
sebagai sandaran wilayah dalam mengklaim kedua pulau yang disengketakan. Namun
intervensi Filipina ini kemudian ditolak oleh ICJ dalam putusannya padatanggal23
Oktober
2001.13
,
pada pokok pertanyaan pertama mengenai apakah Indonesia berhak atas
kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian yang dibuat antata Belanda dan Inggris
pada tahun 1891 sebagaimana yang diargumentasikan oleh pihak Indonesia, ICJ
berpendapat bahwa penafsiran kata-kata dalam Pasal
l89l
IV dan penafsiran perjanjian
ke dalam bentuk peta, tidak bisa dijadikan dasar pemberian kedaulatan.
Berikut summory of the judgement of 17 December 2002 berkaitan dengan
interpretation of the 1891 Convention oleh ICJ;
The court notes that Indonesia is not a party to the Vienna
Convention 23 May 1969 on the Law of Treaties; the Court would
nevertheless recall thot, in accordance witlt customary international
law, reflected in Articles 3I and 32 of that Convention:
13 Pertimbangan
iseff alinformation. htm
penolakan
ini dapat diakses pada http://www.icj-cij.or8/icjw*-/
17
"a treaQl must be interpreted in good faith in accordance with the
ordinary meaning to be given to its terms in their context and in the light
of its object and purpose. Interpretation must be based above all upon
the text of the treaty. As a supplementary meosure recourse may be had
to meons of interpretation such as the preparatory work of the treaty
and the circumstances of its conclusion."
It further recalls that, with respect to Article 31, paragraph 3, it has had
occasion to state that this provision also reflects customary law,
stipulating that there shall be taken into occount, together with the
context, the subsequent conduct of the porties to the treaty, i.e., "ony
subsequent agreement" (subpara. fu)) and "any subsequent practice"
(subpara. &)) ...'o
Sedangkan summary
of the judgement of 17 December 2002 yang
berkaitan dengan text of Article
IV of the l89l Convention,ICJ
merumuskan;
... With respect to the terms of Article IV, Indonesia maintains thst this
Article contains nothing to suggest that the line stops at the east coast of
Sebatik Island. According to Malaysia, the plain and ordinary meaning
of the words "across the Island of Sebrttik" is to describe, "in English
and in Dutch, a line that crosses Sebatikfrom the west coast to the east
coast and goes nofurther".
The Court notes that the Parties dffir as to how the preposition'
"across" (in the English) or "over" (in the Dutch) in thefirst sentence of
Article IV of the I89l Convention should be interpreted. It
acknowledges that the word is not devoid of ambiguity and is capable of
bearing either of the meanings given to it by the Parties. A line
established by treaty may indeed pass "across" an island and terminate
on the shores of such island or continue beyond it.
The Parties also disagree on the interpretation of the part of the same
sentence which reads "the boundary-line shall be continued eastward
along that parallel [4" I|'northJ". In the Court's view, the phrase
"shall be continued" is also not devoid of ambiguity. Article I of the
Convention defines the starting point of the boundary between the two
States, whilst Articles II and III describe how that boundary continues
from one port to the next. Therefore, when Article IV provides that "the
boundaryJine shall be continued" again from the east coast of Borneo
along the 4" l0'N parallel and across the island of Sebatik, this does
ra
http://w'ww icj-cij.org/icjwwdidocket/iimmasummaries/imma
isummaries-doc.htm.
.t
19
Having examined the other maps produced by the Porties, the Court
finds that, in sum, with the exception of the map annexed to the
the cartographic material submitted by the
Parties is inconclusive in respect of the interpretation of Article IV of
the 1 89 I Convention....
lgl5 Agreement (see above),
Kesimpulan lainnya dari ICJ berkaitan dengan hak yang didasarkan atas
pewarisan (Title
by succession) yang
diargumentasikan oleh Indonesia bahwa
Indonesia merupakan pihak successor dari Belanda, yang mendapatkan hak tersebut
melalui kontrak antara Belanda dan Sultan Bulungan sebagai original title-holder,
adalah sebagai berikut;
...The Court observes that it hos already dealt with the various controcts
of vassalage concluded between the Netherlands and the Sultan of
Bulungan when it considered the 1891 Convention. It recalls that in the
1878 Contract the island possessions of the Sultan were described as
,,Terekkan
[TarokanJ, Nanoekan [NanukanJ and Sebittikh [SebatikJ,
with the islets belonging thereto". As amended in 1893, this list refers to
the three islands and surrotmding islets in similar terms while taking
into account the division of Sebatik on the basis of the l89l Convention.
The Court further recalls thot it stated above that the words "the islets
belonging thereto" can only be interpreted as referring to the small
islands lying in the immediate vicinity of the three islands which are
mentioned by name, and not to islands which are located at a distance
of more than 40 nauticol miles. The Court therefore connot accept
Indonesio's contention that it inherited title to the disputed islands from
the Netherlands through these contracts, which stated that the Sultanate
in the contracts formed port of the
of Bulungan as described
7
Netherlands Indies-..1
Pada pokok pertanyaan kedua tentang apakah Malaysia berhak atas kedua
pulau tersebut berdasarkan pewarisan hak (choin
of tittle)
sebagaimana
diargumentasikan oleh pihak Malaysia, alasan, jawaban dan kesimpulan ICJ, adalah
sebagai berikut;
t' Ibid
!
2t
Protocol. The Court observes, however, that it cannot be disputed, that
the Sultan of Sulu relinquished the sovereign rights over all ltis
possessions in favour of Spain, thus losing any title he may have had
over islands located beyond the 3-marine-league limit from the coast of
North Borneo. The Court, therefore, is of the opinion that Spain was the
only State which could have laid claim to Ligitan and Sipadan by virtue
of the relevant instruments but that there is no evidence that it actually
did so. It further observes that at the time neither Great Britain, on
behalf of the State of North Borneo, nor the Netherlands explicitly or
implicitly laid claim to Ligitan and Sipadan.
The next link in the chain of transfers of title is the Treaty of
7 November 1900 between the United States and Spain, by whiclt Spain
"relinquish[edJ to the United States all tttle and claim of title . . . to any
and all islands belonging to the Philippine Archipelago" which had not
been covered by the Treaty of Peace of l0 December 1898. The Court
first notes that, although it is undisputed that Ligitan and Sipadan were
not within the scope of the 1898 Treaty of Peace, the 1900 Treaty does
not specifu islonds, apart from Cagayan Sulu and Sibutu and their
dependencies, that Spain ceded to the {Jnited States. Spain nevertheless
relinquished by that Treaty any claim it may have had to Ligitan and
Sipadan or other islands beyond the 3-marineJeaguti limit from the
coast of North Borneo. Subsequent events show that the United States
itself wos uncertoin to which islands it had acquired title under the
1900 Treaty. A temporary atongement between Great Britain and the '
United States was made in 1907 by an Exchange of Notes. This
Exchange of Notes, which did not involve a transfer of territorial
sovereignty, provided for a continuation of the administration by the
BNBC of the islands situated more than 3 marine leaguesfrom the coast
of North Borneo but left unresolved the issae to which of the parties
these islands belonged.
This temporary arrangement lasted until 2 January 1930, when a
Convention was concluded between Great Britain and the United States
in which a line wos drawn separating the islands belonging to the
Philippine Archipelago on the one hand and the islands belonging to the
State of North Borneo on the other hand. Article III of that Corwention
stated that all islands to the south and west of the line should belong to
the State of North Borneo. From a point well to the north-east of Ligilan
and Sipadan, the line extended to the north and to the east. The
Convention did not mention any island by name apart from the Turtle
and Mangsee Islands, which were declared to be under United States
sovereignty. By concluding the 1930 Convention, the United States
relinquished any claim it might have had to Ligitan and Sipadan and to
the neighbouring islands. But the Court cannot conclude eitherfrom the
I
22
of Notes or from the l9j0 Convention or from any
document emanating from the United States Administration in the
intervening period that the United States did claim sovereignty over
these islands. It can, therefore, not be said with any degree of certainty
1907 Exchonge
that by the l9i0 Convention the United States transferred title to Ligitan
and Sipadan to Great Britain, as Malaysia asserts. On the other hand,
the Court cannot let go unnoticed that Great Britain was of the opinion
that as a result of the 1930 Convention it acquired, on behalf of the
BNBC, title to all the islands beyond the 3-marineJeague zone which
had been administered by the Company, with the exception of the Turtle
and the Mangsee Islands. To none of the islands lying beyond the 3marineJeague zone had it ever before laid aformal claim. Whether such
title in the case of Ligitan and Sipodan and the neighbouring islands
was indeed acquired as a result of the 1930 Convention is less relevant
than the fact that Great Britain's position on the effect of this
Conventionwas not contested by any other Stote.
The State of North Borneo was transformed into a colorry in 1946.
Subsequently, by virtue of Article IV of the Agreement of 9 July 1963,
the Government of the United Kingdom agreed to take -"such steps as
[might| be appropriate and ovailable to them to secure the enactment by
the Parliament of the United Kingdom of an Act providing for the
relinquishment. . . of Her Britannic Majesty's sovereignty and
jurisdiction in respect of North Borneo, Sarawak and Singapore" in
favour of Malaysio.
In 1969 Indonesia challenged Malaysia's title to Ligitan and Sipadan
and claimed to have title to the two islands on the basis of the I89I
Convention.
In view of the foregoing, the Court concludes that it connot accept
Malaysio's contention that there is an uninterrupted series of transfers
of title from the alleged original title-holder, the Sultan of Sulu, to
Malaysia as the present one. It has not been established with certainty
that Ligitan and Sipadan belonged to the possessions of the Sultan of
Sulu nor that any of the olleged subsequent title-holders hod a treatybased title to these two islands. The Court con therefore not find that
Malaysia hos inherited a treaty-based title from its predecessor, the
(Inited Kingdom of Great Britain and Northern lreland.ls
Pada pokok pertanyaan kedua
ini,
sebagaimana pada pokok pertanyaan
pertama, ICJ menyatakan bahwa klaim chain of tittle theory dari Malaysia sama
lemahnya dengan klaim conventional tittle oleh Indonesia, dikarenakan tidak dapat
T
lbid
-t
23
dibuktikan di depan ICJ bukti-bukti hukum yang mendukung klaim tersebut. Selain
itu ICJ menyatakan bahwa tidak ada bukti dokumen authentik yang dapat
meyakinkan bahwa kedua pulau tersebut diwarisi Malaysia dari negara-negara
terdahulunya.
Pada pokok pertanyaan yang ketiga tentang apakah penjajah Indonesia dan
Malaysia (Belanda dan Inggris) sebagaimana diargumentasikan oleh kedua belah
pihak yang bertikai telah menunjukan keberadaannya sebagai pemilik pulau tersebut
sebagaimana yang diterminologlkan dalam bahas Perancis effectivites, ICJ
menyimpulkan bahwa Malaysia memiliki sejumlah dokumen yang menunjukan
adanya adrninistrasi berkesinambungan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggns
terhadap kedua pulau sengketa. Tindakan pengelolaan Inggris dibuktikan dengan
beragam pelaksanaan baik
itu
administratif, legislatif dan quasi yudisial yang
diperlihatkan dengan fakta pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu
dan pengumpulan telur penyu sejak 1917, penyelesaian kasus-kasus sengketa
pengumpulan telur penyu
di Pulau Sipadan pada tahun
Sipadan sebagai cagar burung
(bird
1930-an, penetapan Pulau
sanctuaries) dan pembangunan , serta
pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 dtPulau Sipadan dan tahun 1963 di Pulau
Ligitan.
Secara lengkap ICJ menyimpulkan;
...The Court observes that both Parties claim that the effectivitis on
which they rely merely confirm a treaty-based title. On an alternative
basis, Malaysia claims that it acquired title to Ligrtan and Sipadan by
virtue of continuous peaceful possession and administration, without
objectionfrom Indonesia or its predecessors in title.
The Court indicates that, having found that neither of the Parties has a
will consider these
treaty-based title to Ligitan and sipadan,
ffictivitds as an independent and separate issue.
notes that, in support of its arguments relating to effectivitds,
Indonesia citbs patrols in the area by vessels of the Dutch Royol Navy,
activities of the Indonesian Nayy, as well as activities of Indonesian
fishermen. It notes furthe,r that, in regard to its Act No. 4 concerning
Indonesian Waters, promulgated on 18 February 1960, in which its
it
It
-!
24
archipelagic baselines ore defined, Indonesia recognizes that it did not
at thot time include Ligitan or Sipadan as base points for the purpose of
drawing baselines and defining its archipelagic waters and territorial
sea, olthough it argues that this cannot be interpreted as demonstrating
that Indonesia regarded the islands os not belonging to its territory.
As regards its effectivitds on the islands of Ligitan and Sipadan,
Maloysia mentions control over the taking of turtles and the collection
of turtle eggs, allegedly the most important economie activity on
Sipadan for many years- Malaysia also relies on the establishment in
1933 of a bird sanctuary on Sipadan. Maloysia further points out that
the British North Borneo colonial authorities constructed lighthouses on
Ligitan and Sipadan Islands in the early 1960s and that these exist to
this day and are maintained by the Malaysion authorities.
The Court first recalls the statement by the Permanent Court of
International Justice in the Legal Status of Eastern Greenland
(Denmark v. Norw ay) case :
"a cloim to sovereignty based not upon some particular sct or title such
os a treaty of cession but merely upon continued display of authority,
'involves two elements each of which must be shown to exist: the
intention and will to act as sovereign, and some actual exercise or
display of such authority.
Another circumstonce which must be taken into account by any tribunol
which has to adjudicate upon a claim to sovereignty over a particular
territory, is the extent to which the sovereignty is also claimed by some
other Power."
The Permanent Court continued:
"It is impossible to read the records of the decisions in cases as to
territorial sovereignty without observing that in mony coses the tribunal
has been satisfied with very little in the way of the actual exercise of
sovereign rights, provided that the other State could not make out o
superior cloim. This is particularly true in the case of claims to
sovereignty over oreos in thinly populated or unsettled countries."
(P.C.I.J., Series A/8, No. 53, pp. 45-46.)
The Court points out that in particular in the case of very small islands
which are uninhabited or not permanently inhabited -- like Ligitan and
Sipadan, which have been of little economic importance (at least until
recently) - ffictivitds will indeed generally be scarce.
The Court further observes that it cannot take into consideration octs
having taken place after the date on which the dispute between the
Parties crystallized unless such acts are a normal continuation of prior
acts and are not undertaken for the purpose of improving the legal
position of the Party which relies on them. The Court therefore,
primarily, analyses the effectivitds which date from the period before
'
-!
25
1969, the year in which the Parties asserted conflicting cloims to
and Sipadan.
Ligitan
The Court finally observes that it can only consider those acts as
constituting a relevant dtsplay of authority which leave no doubt as to
their specific reference to the islands in dispute as such. Regulations or
odministrative acts of a general nature can therefore be taken as
effectivitds with regard to Ligitan and Sipadan only if it is cleor from
their terms or their effects that they pertained to these two islands.
Turning then to the effictivitds relied on by Indonesia, the Court begins
by pointing out that none of them is of a legislative or regulatory
character. It finds, moreover, that it connot ignore the fact that
Indonesian Act No. 4 of I February 1960, which draws Indonesia's
archipelagic baselines, and its accompanying map do not mention or
indicote Ligitan and Sipadan as relevant base points or turning points.
With regard to a continuous presence of the Dutch and Indonesian
navies in the woters around Ligitan and Sipadan, as cited by Indonesia,
it cannot, in the opinion of the Court, be deduced either from the report
of the commanding fficer of the Dutch destroyer Lyra -- which
patrolled the area in I92l - or from any other document presented by
Indonesia in connection with Dutch or Indonesian naval surveillance
and patrol activities that the naval authorities concerned considered
Ligitan and Sipadan and the surrounding waters to be under the
sovereignty of the Netherlands or Indonesia.
The Court finally observes that activities by private persons such as
Indonesian fishermen, cannot be seen as effectivitds f they do not take
place on the basis of fficial regulations or under governmental
authority. The Court concludes that the activities relied upon by
Indonesia do not constitute acts d titre de souverain reflecting the
intention andwill to oct in that capacity.
With regard to the effectivitds relied upon by Malaysia, the Court first
observes thot pursuant to the 1930 Corwention, the United States
relinquished any claim it might have had to Ligitan and Sipadan and
thot no other State asserted its sovereignty over those islands at that
time or objected to their continued administration by the State of North
Borneo. The Court further observes that those activities which took
place before the conclusion of that Canvention connot be seen as acts "d
titre de sowerain", os Greot Britain did not ot that time claim
sovereignty on behnlf of the State of North Borneo over the islands
beyond the 3-marineJeague limit. Since it, however, took the position
tlrut the BNBC was entitled to administer the islands, a position which
after 1907 was formally recognized by the United States, these
ctdministrative activities cannot be ignored either.
26
Both the meosures taken to regulate and control the collecting of turtle
eggs ond the establishm