2006 perlawanan tanpa kekerasan

Pengantar i

Perlawanan Tanpa-Kekerasan:
Cerita-cerita dari Daerah Konflik
di Indonesia

Editor Bahasa Indonesia:

Arifah Rahmawati
Moch. Faried Cahyono
Frans de Djalong

CSPS Books
2006

ii Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Perlawanan Tanpa-Kekerasan:
Cerita-cerita dari Daerah Konflik di Indonesia
Copyright © 2006 CSPS BOOKS. All rights reserved


Cetakan Pertama Mei 2006
Editor Bahasa Indonesia: Arifah Rahmawati
Moch. Faried Cahyono
Penyelaras Edisi Inggris-Indonesia: Frans de Djalong
Penerjemah ke Bahasa Inggris: Frans de Djalong
Editor Bahasa Inggris: Helen Jenks Clarke
Layout dan Sampul: Syarafuddin
sampul dibuat berdasarkan ide kolektif para peneliti
teks pada sampul belakang: Arifah Rahmawati

ISBN 979-98203-5-9 (Edisi Bahasa Indonesia)
ISBN 979-98203-4-0 (Edisi Bahasa Inggris)
Diterbitkan atas kerjasama oleh

CSPS BOOKS
Center for Security and Peace Studies (CSPS)
Universitas Gadjah Mada
Sekip K-9 Yogyakarta 55281
I N D O N E S I A
Phone/Facs. (62-274) 520733

www.csps.ugm.ac.id
dan

Alliance for Self-reliant Peacebuilding (ASP)
serta

Quaker International

Pengantar iii

Kalau Saudara-Saudara berani
menyentuh mereka, maka langkahi
dulu mayat saya
“Robby dan al-Kitab di Tangan”

iv Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Pengantar v

Pengantar

Benarkah hanya kekerasan yang bisa digunakan
untuk melawan kekerasan, kekejaman, dan
ketidakadilan? Benarkah hanya kekerasan sebagai
satu-satunya alternatif bagi penyelesaian masalah?
Jawabnya adalah TIDAK. Masih banyak cara-cara
tanpa kekerasan yang bisa dipilih dan digunakan
untuk menghadapi ketidakberuntungan serta
penderitaan yang ada di sekitar kita. Buku yang
sedang Anda baca ini merupakan kumpulan cerita
yang menggambarkan berbagai upaya perlawanan
tanpa kekerasan (non-violence resistance) yang
dilakukan oleh orang-orang biasa yang hidup di
wilayah konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan
Sulawesi Tengah.
Cerita-cerita seperti ini sangat jarang diketahui
dan didengar –untuk tidak mengatakan diabaikan–
oleh masyarakat luas. Perlawanan tanpa kekerasan
memang bukan sebuah upaya yang populer ketika
wacana yang lebih banyak disampaikan dan disebarkan
melalui media komunikasi kita adalah wacana tentang

kekerasan dan kekerasan.
Program penerbitan buku ini dimulai dengan
sebuah training tentang Penelitian Sosial dan Penulisan
Cerita di Yogyakarta dan Ambon. Setelah training,
teman-teman yang ada di lapangan melakukan
identifikasi cerita, mulai dengan mendengarkan gosip
sampai mencatat cerita-cerita yang banyak diedarkan

vi Perlawanan Tanpa-Kekerasan

dari mulut ke mulut. Cerita-cerita tersebut kemudian
ditelusuri dalam kerangka sebuah penelitian sosial.
Banyak peristiwa menarik dialami oleh teman-teman
di lapangan, mulai dari dicurigai sebagai mata-mata
lawan, pencari sumbangan, dan ditolak karena dikira
wartawan. Beberapa cerita yang telah ditulis oleh
teman-teman tidak semuanya bisa kami sertakan
karena pertimbangan sensitivitas isu dan masalah
keamanan para pelakunya yang sampai detik ini
masih tidak menentu. Dengan alasan yang sama maka

beberapa nama dalam cerita juga kami samarkan.
Demikian pula tempat kejadiannya.
Sebagai sebuah penelitian sosial antropologis,
penulisan cerita ini tidak dimulai dengan pemahaman
atau definisi mengenai kekerasan dan perlawanan
tanpa kekerasan. Tetapi justru setelahnya, kami
semua yang terlibat dalam proyek ini memiliki
pemahaman bersama mengenai apa itu perlawanan
tanpa kekerasan. Perlawanan tanpa kekerasan (nonviolence resistance) dalam pemahaman kami adalah
sebuah tindak aktif yang dilakukan oleh individu atau
sekelompok kecil orang (masyarakat awam atau elit)
secara spontan. Pengertian ini berbeda dengan tanpa
kekerasan aktif (active non-violence) dimana biasanya
dilakukan secara massal dan terencana (demonstrasi,
mogok kerja, boikot, dsb). Boleh jadi pemahaman
kami tentang perlawanan tanpa kekerasan ini tidak
sempurna. Tapi kami berharap pemahaman ini bisa
memberikan kontribusi bagi upaya pendidikan serta

Pengantar vii


kampanye tanpa kekerasan yang sudah mulai dilakukan
di Indonesia.
Dengan selesainya penulisan buku ini maka saya
ingin mengucapkan penghargaan dan terimakasih
kepada teman-teman para penggali dan penulis cerita
dari Pontianak, Poso, dan Ambon. Mereka semua
telah berkomitmen dan bekerja keras untuk
mewujudkan proyek ini. Kata penghargaan dan
terimakasih juga ingin saya sampaikan kepada orangorang yang telah bersedia berbagi cerita dan
pengalaman mereka. Tanpa ijin dan kesediaan mereka
maka buku ini tidak akan pernah terwujud.
Terimakasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan
pada teman-teman di Pusat Studi Keamanan dan
Perdamaian Universitas Gadjah Mada yang sejak
awal setia mengawal proyek ini: Faried, Titik, Dody,
Vicky, dan Syaraf. Ucapan terimakasih juga saya
sampaikan kepada Helen Clarke dan Pacharanapun
Tinnabal yang telah membantu mengedit cerita
dalam versi bahasa Inggris. Akhirnya penghargaan

dan terimakasih saya sampaikan kepada South East
Asia Quaker International Affairs (SEAQIAR),
khususnya kepada Bob dan Helen Clarke, yang telah
memberikan kepercayaan dan dukungan sepenuhnya
bagi terwujudnya proyek ini.
Harapan kami adalah bahwa pada akhirnya
perlawanan tanpa kekerasan akan menjadi sebuah
pilihan yang berdaya untuk menghadapi persoalanpersoalan yang melingkupi rakyat dan bangsa

viii Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Indonesia, saat ini dan di masa yang akan datang.
Selamat Membaca!
Yogyakarta, Agustus 2005
Koordinator Program
Arifah Rahmawati

Pengantar ix

Daftar Isi

Pengantar -----------------------------------------------------------------------------

v

Daftar Isi -------------------------------------------------------------------------------

ix

Pendahuluan -----------------------------------------------------------------------

1

Sulawesi Tengah --------------------------------------------------------------Abang Didi: Ikhlas Ditahan Polisi -------------------Ahmad Yani: Menggadai Diri
Demi Keamanan --------------------------------------------------Aziz Lapatoro: Rindu
Silaturahmi yang Fitri -------------------------------------Iskandar Lamuka: Menolak Jihad
dengan Kekerasan ----------------------------------------------Ibu Ruaedah: Kisah Sirup Orson
dan Valium ------------------------------------------------------------Ibu Tati -------------------------------------------------------------------------John Tongku: Berperang Melawan Isu ---------Keluarga Lahmudian Sabarotja -----------------------Ngkai Naromba: Sang Penjaga Kampung ---Pak Tua Mispar: Merayakan
Idul Fitri Sendirian -------------------------------------------Opa Sontje Karepoan
dan Pesta Padungku -----------------------------------------Pak Dian -----------------------------------------------------------------------Pak Tabunggi: Sang Kepala Desa -------------------Samsul: Sang Penjual Ikan --------------------------------Elit Lokal Berjuang untuk Perdamaian -------Tinagari, Perempuan Pemberani ---------------------


21
25
31
35
41
45
49
53
59
65
69
73
79
83
87
91
95

x Perlawanan Tanpa-Kekerasan


Maluku ----------------------------------------------------------------------------------- 99
Abang Ris and Pembunuhan
Tukang Ojek ----------------------------------------------------------- 103
Raja Amahusu: Penggagas Perdamaian ------- 107
Grace and Ibunya ----------------------------------------------------- 111
Jusman dan Kuasa Pela Gandong ------------------- 117
Abdulgani Fabanyo:
Pembawa Pesan Perdamaian ------------------------ 121
Robby dan al-Kitab di Tangan ---------------------------- 127
Ustadz Iwan dan Diplomasi Sepakbola --------- 131
Kalimantan Barat ------------------------------------------------------------- 137
Anwar: Dari Pengemudi Bis Menjadi
Penggiat Perdamaian ---------------------------------------- 141
Endang: Melindungi Para “Tamu” ------------------- 149
Eni Dewi Kurniawati: Guru Perdamaian ----- 153
Mas Abdullah: Sang Negosiator ------------------------ 159
Maya Satrini: Sang Pelindung --------------------------- 165
Muhammad dari Pancaroba:
Menghapus Dendam------------------------------------------- 169
Pasak Piang: Sebuah Desa Damai ------------------- 175

PEMUDA: Organisasi Perdamaian ------------------ 183
Sastra dan Tata: Pahlawan
Para Pengungsi ----------------------------------------------------- 189
Tosin dari Kampung Simpang Tujuh ------------- 197
Abdus Syukur: Enam Hari
Memberantas Kekerasan ---------------------------------- 203
Alamat Kontak ------------------------------------------------------------------- 216
Para Peneliti dan Penulis -------------------------------------------- 217

Pendahuluan

1

Pendahuluan
Buku ini adalah hasil kerjasama di antara tiga
lembaga perdamaian yang bekerja di Indonesia, yakni
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKPUGM), ASP (Alliance for Self-reliant Peacebuilding),
dan Quaker International Affairs Representatives
Program for Southeast Asia (SEAQIAR)1. Dengan
mengambil model kemitraan ketiganya telah
berpartisipasi dalam proyek Nonviolence Resistance.
Ketiga lembaga yang aktif dalam upaya-upaya
perdamaian pada tingkat komunitas ini, ingin
mendokumentasikan bagaimana masyarakat akar
rumput, sebagai aktor yang hidup di tengah-tengah
konflik kekerasan, memiliki kapasitas dan pengalaman
untuk memakai pendekatan mereka sendiri (selfreliant approaches) dalam mengatasi konflik. Kami
juga ingin merekam bagaimana resistensi nir-kekerasan
ditunjukkan dalam situasi kekerasan yang aktual
ataupun yang potensial sebagai suatu terobosan kreatif menuju masyarakat cinta damai. Besar harapan
bahwa buku ini bisa membakar semangat perjuangan
kalangan pegiat perdamaian—masyarakat akar rumput,
organisasi kemasyarakatan, komunitas, LSM perdamaian, akademisis, dan tokoh-tokoh politik—untuk
tidak henti-hentinya melakukan transformasi dan
resistensi tanpa kekerasan.
1

SEAQIAR adalah program American Friends Service Committee
yang berlokasi di Philadelphia, Amerika Serikat. Program ini
memiliki perwakilan di Asia Tenggara.

2 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Koordinator program ini, seorang peneliti andal
dari PSKP-UGM, telah sukses dalam mengorganisir
dan menyelenggarakan kajian, serangkaian pelatihan,
memimpin suatu tim lapangan untuk mengumpulkan
cerita dari daerah konflik, sampai pada finalisasi
kegiatan dokumentasi dan proses publikasinya. Tim
lapangan adalah para penulis studi-studi kasus
resistensi, yang dalam buku ini disajikan dalam
bentuk cerita dari tiga provinsi. Mereka juga membuat
kata pengantar untuk kumpulan dari Sulawesi Tengah
dan Kalimantan Barat. Seluruh cerita dan dua
pengantar kemudian dialihbahasakan oleh staf PSKP
untuk edisi bahasa Inggris. Selain itu, koordinator
program membuat kata pengantar dalam dua bahasa
untuk kumpulan cerita dari Maluku. Untuk distribusi
buku edisi berbahasa Inggris akan dikerjakan ASP.
Lembaga-Lembaga Kerja Sama
PSKP UGM didirikan pada tahun 1996 sebagai
respon terhadap tuntutan akan pengetahuan yang
lebih komprehensif dalam konteks masyarakat
penelitian. Pusat studi ini amat tergerak untuk selalu
menyebarluaskan pemahaman yang lengkap mengenai
perkembangan terbaru dalam konsep dan isu
keamanan dan perdamaian, mendorong terbitnya
kesadaran publik akan pentingnya isu perdamaian
dan keamanan nasional, regional, dan internasional.
Untuk sampai kepada tujuan besar ini, PSKP menjalin
kerja sama dengan lembaga-lembaga lain, baik dalam
negeri maupun luar negeri.

Pendahuluan

3

Adapun tiga program utama yang menjadi
orientasi kegiatan lembaga ini, resolusi konflik,
reformasi sektor keamanan, dan pembangunan
perdamaian dengan fokus pada tujuh isu area: 1.
multi kulturalisme dan konflik etnis dan agama; 2.
otonomi daerah dan self-determination; 3. konflik
kebijakan publik dan governance; 4. reformasi sektor
keamanan; 5. demokratisasi dan masyarakat sipil; 6.
manajemen krisis; 7. advokasi hak asasi manusia.
Dalam pendekatan dan strateginya, pusat studi
ini dengan kepeduliannya yang besar memberikan
prioritas tinggi pada isu keamanan manusia, hak asasi
dan kebutuhan dasar manusia, demokrasi, inisiatif
lokal, pemberdayaan kapasitas, dan gender. Sementara
untuk memperkuat jaringannya, PSKP memelihara
hubungan kemitraan yang baik dengan pemerintah,
LSM, institusi pendidikan, dan elemen masyarakat
sipil yang terikat kepentingan serupa.
ASP (Alliance for Self-reliant Peacebuilding)
berdiri pada tahun 2005, sebagai sebuah jaringan
transnasional bagi lembaga-lembaga perdamaian masyarakat sipil. Anggota inti dari jaringan ini antara
lain, Society for Health, Education and Environtment
for Peace di Yogyakarta; Khmer Ahimsa di Phnom
Penh, Kamboja; dan Peace and Community Action di
Colombo, Sri Langka.
ASP bergerak dalam upaya pemberdayaan
kapasitas komunitas yang dilanda konflik. Tujuan
besarnya adalah mengurangi kekerasan, memperkuat
keadilan, dan menggalakkan perdamaian mereka

4 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

secara mandiri. Aliansi ini mensponsori pertukaran
para pegiat perdamaian, mengembangkan sejumlah
metode guna mendorong terobosan pembangunan
perdamaian yang berdikari, dan menawarkan
kesempatan bagi para staf organisasi perdamaian
berbasis komunitas untuk meningkatkan keahlian
mereka. ASP sendiri telah ikut berpartisipasi dalam
serangkaian diskusi tentang proyek resistesi nirkekerasan yang hasil-hasilnya tertuang dalam buku
ini. Sekretariat ASP berlokasi di Yogyakarta. Lembaga
ini pun berencana akan emanfaatkan karya yang
bersifat kolegial ini dalam kegiatannya membangun
perdamaian berbasis komunitas yang berdikari.
SEAQIAR menyediakan kesempatan bagi
masyarakat akar rumput dan para aktivis untuk
mengatasi persoalan konflik secara damai melalui
aksi, dialog dan keikutsertaan dalam pembuatan
keputusan yang secara langsung mempengaruhi
kehidupan mereka. Lembaga ini juga mengusung
alternatif-alternatif baru yang positif sifatnya dalam
memerangi ketimpangan yang terjadi. Program
tersebut telah direalisasikan di banyak negara di
kawasan Asia Tenggara untuk memperkuat keamanan
komunitas, toleransi antar etnis dan antar agama,
dan mendorong terbentuknya kepemimpinan
komunitas yang kuat. Sampai sekarang lembaga ini
mencurahkan perhatian pada tema penguatan
keamanan komunitas, pluralisme, dan toleransi antara
etnis dan agama. Berkat konferensi, lokakarya, dan
konsultasi, para aktivis di seluruh kawasan ini

Pendahuluan

5

memperoleh kesempatan untuk memperbaharui dan
mengembangkan strategi, mengordinasi kegiatan dan
memperluas serta memperkuat jaringan mereka.
Perwakilan ini merangsang dialog dan aksi agar
kepekaan masyarakat akan keamanan semakin
meningkat. Metode-metode lokal untuk mengurangi
kekerasan dan strategi-strategi nir-kekerasan untuk
memberdayakan dan melindungi hak-hak komunitas
didukung secara serius. SEAQIAR mengidentifikasi
dan memberi dukungan kepada para pencipta
perdamaian, dan menyatukan serta menggalakan
orang-orang di kawasan ini untuk memelihara
perdamaian dan merealisasikan inisiatif-inisiatif
keadilan.
ANV dan NVR
Perlawanan atau resistensi tanpa kekerasan
(nonviolent resistance/NVR) berbeda dari active
noviolence (ANV), yang juga dikategorikan sebagai
aksi tanpa kekerasan. ANV dikenal secara luas dan
dipergunakan sebagai sebuah cara memperbaiki
ketidakadilan. Cara ini adalah suatu aksi kolektif,
tidak jarang berkembang menjadi sebuah gerakan
perdamaian, atau digunakan oleh gerakan ini. Model
ini menuntut kepemimpinan yang handal, dan akan
lebih efektif kalau pemimpin tersebut merupakan
pribadi yang karismatis. ANV seringkali diarahkan
untuk memberantas ketidakadilan yang berakar pada
negara atau tepatnya otoritas negara, kendati hal ini
juga bisa menjadi efektif dalam situasi ketidakseim-

6 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

bangan kekuasaan ekonomi. Mereka yang terlibat dalam ANV memiliki sebuah rencana aksi yang nantinya
akan menghasilkan sebuah perubahan pemahaman
mengenai isu yang dimunculkan oleh pihak yang
mempersoalkannya, atau idealnya diharapkan akan
terjadi pergeseran dalam pendulum kekuasaan. ANV
dikatakan telah berhasil kalau sudah terjadi
transfromasi struktur sosial. Dengan perkataan lain,
perubahan keseimbangan kekuasaan memungkinkan
transformasi relasi antara para aktivis ANV dan
kelompok yang berkuasa. Dalam hal ini, masyarakat
diberikan pemberdayaan. Karena itu, tujuan ANV
sebetulnya adalah melembagakan sebuah perubahan
dalam keseimbangan kekuasaan dan dengan demikian,
membuatnya menjadi sesuatu yang bisa diterima.
Dengan kehadiran pihak ketiga, biasanya media
massa, aksi ANV semakin efektif dengan cara
mempublikasikan ketimpangan yang ada dalam isu
tersebut. Media sangat potensial dalam
menginformasikan peristiwa-peristiwa perlawanan
tanpa kekerasan kepada publik yang lebih luas dan
mengkondisikannya sebagai sebuah wacana yang
tidak kalah populer dari berita-berita kekerasan.
Kalau peran ini dimainkan media secara sungguhsungguh, maka bisa dipastikan akan muncul dukungan
masyarakat terhadap para pegiat perdamaian yang
melawan kekerasan dengan kekuatan cinta dan
toleransi. Mereka kemudian bisa mendapatkan posisi
yang lebih efektif dalam mengubah relasi kekuasaan.

Pendahuluan

7

Tidak beda dari ANV, NVR memiliki banyak
bentuk aktualisasi sebagaimana bisa disimak pembaca
dalam buku ini. Resistensi nir kekerasan tidak jauh
beda dari active nonviolence karena cara ini juga
adalah sebuah terobosan untuk mengubah relasi
kuasa yang timpang, sekurang-kurangnya untuk
sementara waktu. Dan itu pun hanya mungkin terjadi
kalau para aktor sendirilah yang mengembangkannya
menjadi ANV atau sebuah gerakan perdamaian.
NVR adalah sebuah tindakan yang spontan
sekaligus berisiko bagi mereka yang memakai
pendekatan ini. Orang-orang yang terlibat tentulah
kumpulan individu yang berani dengan cara-cara
perlawanan tanpa kekerasan. Seringkali karena
kesungguhan dalam memerangi kekerasan, mereka
menjadi terasing atau diasingkan oleh mayoritas
orang yang berpartisipasi dalam konflik kekerasan.
Spontanitas dan komitmen pribadi sebagai karakter
dasarnya kemudian merefleksikan konteks di mana
tindakan ini diambil sebagai sebuah pilihan. NVR bisa
saja dilakukan ketika kekerasan sedang terjadi, dalam
situasi kerusuhan, pertikaian, dan bahkan dalam
medan perang sekalipun. Meski risikonya bisa jadi
sangat ekstrim, keberanian mereka tetaplah suatu hal
yang sangat mengagumkan!
Media massa hampir tidak pernah berada di
tempat ketika perlawanan tanpa kekerasan terhadap
kekerasan itu terjadi. Meski demikian, media tetap
bisa memberitakan aksi-aksi NVR dan dengan cara itu

8 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

media mengajak orang lain untuk mendukung tindakan
yang berorientasi perubahan ini. Sama halnya dengan
para penulis kisah dalam buku ini, mereka pun tidak
berada persis di tempat kejadian atau melihat secara
langsung bagaimana para tokoh cerita itu bergulat
dengan maut demi kerukunan dan perdamaian. Akan
tetapi, berkat usaha mereka membeberkan efektivitas
dari NVR, mereka berpotensi membuka jalan menuju
suatu upaya NVR yang sistematis atau sebuah
gerakan perdamaian yang terorganisir dengan baik.
Baik ANV maupun NVR sama-sama menjadi “weapons
of the weak” Keduanya memperkuat inisiatif
menyingkirkan ketidakadilan.
Konflik di Indonesia
Indonesia tidak pernah luput dari konflik
komunal. Karena masyarakatnya yang amat majemuk,
maka tidak terlalu mengherankan kalau ketimpangan
ekonomi, dominasi politik dan hegemoni budaya
selalu saja terjadi. Begitu pula perpindahan penduduk
dari satu daerah ke daerah lain yang telah berlangsung
berabad-abad akhirnya menyatukan berbagai kelompok
masyarakat dalam persaingan satu lain
memperebutkan kekuasaan dan sumber daya. Seluruh
cerita dalam buku ini diambil dari peristiwa-peristiwa
kekerasan komunal di Sulawesi Selatan, Maluku dan
Kalimantan Barat. Di ketiga propinsi inilah konflik
kekerasan antar kelompok masyarakat berlangsung
dalam waktu yang lama beberapa tahun terakhir ini.

Pendahuluan

9

Sebelum konflik kekerasan terjadi, kelompokkelompok masyarakat,2 umumnya Muslim dan Kristen,
hidup rukun dalam komunitas-komunitas yang saling
bercampur. Bagaimanapun juga, penonjolan garis
agama hanyalah tampilan permukaan dari sebuah
lukisan konflik yang buram, yang dengan mudah
membentuk kubu terhadap satu sama lain. Coba
simak yang dituturkan Iskandar Lamuka dalam “Menolak Perang Jihad”, bahwa ia dan rekan-rekannya “…
menyadari kalau pertikaian yang sedang berkecamuk
itu bukanlah persengketaan antar agama, melainkan
akibat yang tak terhindarkan dari lebarnya kesalahpahaman dan dendam di antara dua komunitas,
Muslim dan Kristen.”
Orang-orang yang selamat dari amukan kekerasan, dari banyak fakta yang ada, mencari
perlindungan di tenda-tenda pengungsian atau mencari
suaka di tempat lain yang lebih aman. Mereka
terpecah belah dan dipersatukan kembali dalam
komunitas yang terpisah. Terbanyak dari kumpulan
cerita dalam buku ini adalah tindakan-tindakan nekat
yang tujuannya tidak lain untuk terus menjalin
hubungan dengan kelompok atau orang-orang dari
komunitas lain.
Komentator-komentator dari Indonesia seringkali
menggambarkan konflik yang terjadi dalam dua
kategori yang baku, yakni konflik horisontal dan
2

Kelompok-kelompok ini tidak harus didasarkan pada etnisitas.
Banyak kelompok etnis menghasilkan komunitas Muslim dan
komunitas Kristen.

10 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

konflik vertikal, sebagai akibat dari perilaku dan
kebijakan negara, militer dan polisi, intervensi
kalangan bisnis dari luar daerah, atau karena ulah
segelintir tokoh daerah yang hendak merebut
kekuasaaan dengan cara yang tidak biasa. Para penyusup atau provokator tidak jarang dipersalahkan atau
dijadikan kambing hitam, meski tidak tersedia banyak
bukti yang meyakinkan. Seluruh cerita yang terkumpul
dalam buku ini mengungkapkan sedemikian banyak
upaya membangun perdamaian dengan cara melawan
kekerasan horisontal dalam komunitas. Sangat sedikit
kisah yang menceritakan perlawan terhadap tokoh
atau pejabat daerah. Meski demikian tidaklah berarti
perlawanan terhadap relasi vertikal yang timpang itu
tidak ada sama sekali. Kebetulan saja kisah semacam
itu belum terdokumentasi dalam buku ini.
Pengantar singkat untuk kumpulan cerita dari
Sulawesi Tengah, Maluku, dan Kalimantan Barat,
menjelaskan konflik secara umum dari masing-masing
daerah tersebut, terutama sejarah konfliknya terhitung
dari masa yang paling dekat dengan peristiwa kekerasan. Sama halnya dengan konflik-konflik lain di
seluruh dunia, orang Indonesia cenderung memahami
konflik yang terbatas ini dengan sejumlah sterotip
yang umum: “Beginilah sikap dan tindakan orang
Kristen” atau “Begitulah kelakuan orang Islam”. Menarik bahwa dari catatan-catatan dalam ketiga pengantar tersebut, sterotip tersebut tampak terlalu sempit
jika dibandingkan dengan kompleksnya situasi konflik

Pendahuluan

11

itu sendiri.
Konflik dan Kekerasan
Konflik dan kekerasan seringkali diartikan secara
tumpang tindih. Karena penting sekali untuk membedakan konflik sebagai ‘suatu ketidaksesuaian gagasan, pertentangan kepentingan, dan ketidakcocokan
antar pribadi’,3 dari pengertian kekerasan (termasuk
betrokan, kerusuhan, dan perkelahian) seperti yang
dipergunakan dalam buku ini. Konflik tidaklah buruk
atau destruktif kalau saja ia dapat diatasi dengan
cara-cara damai. Malah konflik bisa berlaku sebagai
momentum bagi lahirnya ide-ide bernas, strategi yang
efektif dan solusi yang mencerahkan, sebagai pijakan
bagi gerak maju yang mantap. Sementara kekerasan
dalam seluruh manifestasinya adalah sesuatu yang
bersifat menghancurkan. Konflik yang direalisasikan
dengan perilaku yang kejam hanya akan menghasilkan
lebih banyak kekerasan baru.
Tim Lapangan dan Sejumlah Persoalan
Poyek NVR diawali dengan sesi pelatihan tentang
penelitian sosial dan penulisan-cerita oleh koordinator
program untuk proyek ini, yang diselenggarakan di
3

The American Heritage ® Dictionary of the English Language,
Fourth Edition Copyright © 2000 by Houghton Mifflin Company.
The international Online Training Program on Intractable
Conflict of the Conflict Research Consortium (University of
Colorado, USA) mendefenisikan konflik-konflik utama sebagai,
“ketidaksesuaian kepentingan, kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi, perbedaan nilai yang fundamental, atau perjuangan
untuk mendapatkan keadilan.” Konflik Utama dan FaktorFaktor Komplikasi

12 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Yogyakarta pada bulan Desember 2004. Dua belas
peserta laki-laki dan perempuan dari Kalbar dan
Sulteng hadir dalam acara ini. Mereka adalah staf
organisasi perdamaian yang bekerja di tingkat
komunitas akar rumput. Juga hadir sebanyak tujuh
orang dari Yogyakarta, sebagian besar dari PSKPUGM, dan dua wakil SEAQIAR. Karena tim lapangan
dari Ambon tidak bisa hadir, maka koordinator
program menyelenggarakan acara yang sama di
Ambon. Tim-kerja lapangan menghabiskan waktu
selama empat bulan dengan mengumpulkan dan
menulis cerita perlawanan tanpa kekerasan yang
termuat di sini dan kemudian wakil dari masingmasing tim berkumpul di Yogyakarta pada bulan Mei
untuk mendiskusikan kegiatan dokumentasi dan
proses publikasi buku ini.
Semua anggota tim telah menunjukkan komitmen
mereka pada konsep perdamaian, perlawanan tanpa
kekerasan, dan pada proyek ini secara keseluruhan.
Tentu saja proses pengumpulan dan penulisan
meminta waktu luang dan kerja keras, dan pada
beberapa kejadian, tokoh-tokoh masyarakat mencurigai
motivasi di balik kerja kemanusiaan ini. Tidak ada
satupun dari mereka yang tidak bertemu dengan
masalah.
Di Kalimantan Barat, kendala utama dalam
menyelesaikan proyek NVR adalah kondisi geografis
dari komunitas-komunitas yang terisolir. Mereka
harus lebih sering bepergian ke wilayah pedalaman
demi mengumpulkan dan melengkapi bahan-bahan

Pendahuluan

13

cerita. Hal ini sudah pasti makan biaya tersendiri—
bensin untuk sepeda motor, makanan, minuman, dan
penginapan—yang sebelumnya tidak sempat kami
antisipasi dalam anggaran proyek. Mereka diminta
mengumpulkan cerita sambil tidak mengganggu
pekerjaan rutin mereka sendiri, tetapi itu saja sudah
membuat mereka sibuk sekali. Tidak mudah
mendapatkan waktu untuk mengumpulkan cerita,
terutama dari kampung-kampung yang terpencil, dan
menulis kembali dalam bentuknya yang lebih
sempurna. Itulah sebabnya para penulis memilih
mengumpulkan cerita-cerita dari daerah-daerah
perkotaan atau kampung-kampung terdekat di
Kalimantan Barat. Komitmen mereka dalam proyek
ini segera terbaca dari kualitas cerita yang berhasil
mereka kumpulkan.
Tim pengoleksi cerita dari Sulawesi Tengah
menemukan kenyataan bahwa mereka bisa
mendapatkan cerita tentang warga Kristen yang
melawan kekerasan, tetapi mereka juga berusaha
mengumpulkan cerita tentang perlawanan warga
Muslim dalam menghadapi kekerasan massa Kristen.
Tim ini juga berusaha mengikutsertakan warga Muslim
untuk menjadi bagian dari tim tetapi tak satupun
yang diizinkan keluarga. Menjelang tahap akhir
kegiatan pengumpulan cerita, seorang perempuan
Muslim, aktivis sebuah LSM, bersedia turut serta
dalam tim, dan hal lain yang mengejutkan rekan
setimnya adalah bahwa ia lebih mudah mendapatkan
cerita mengenai warga Kristen yang menentang

14 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

kekerasan daripada cerita dari komunitas Muslim.
Walaupun terbanyak dari anggota tim adalah orang
Kristen, cerita yang diperoleh malah lebih banyak
tentang komunitas Islam ketimbang komunitas
Kristen. Penduduk Kristen tampaknya curiga terhadap
motif kegiatan ini. Menurut anggota baru yang
disebutkan di atas, dia berencana memanfaatkan
cerita-cerita ini untuk pendidikan perdamaian di
kalangan perempuan di daerahnya.
Proses pengumpulan cerita di Maluku berjalan
lambat karena dua alasan. Pertama, tak satupun dari
mereka bisa datang mengikuti pelatihan di Yogyakarta.
Berikutnya, dua orang dari tim yang dibentuk sejak
awal mendapat kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan mereka dan harus meninggalkan Maluku.
Itu berarti tim harus merekrut dua anggota baru pada
saat program sudah mulai berjalan. Seluruh anggota
tim adalah mahasiswa/i sekaligus aktivis LSM, dan
mereka pun dikejar waktu yang terbatas. Kendati
demikian, mereka yang sebelumnya sudah berurusan
dengan konflik kekerasan, bersedia memastikan
mereka yang pernah melawan kekerasan sehinga
dengan itu cerita bisa diperoleh.
Beberapa kisah dari Maluku yang berhasil dikumpulkan tim berasal dari wilayah yang tinggi eskalasi
konfliknya. Meski ini bukannya tanpa risiko dan banyak orang yang mempertanyakan motif pengumpulan
cerita, mereka tetap meneruskan pekerjaan mulia ini.
Ambil satu contoh, ketika salah seorang tim yang
beragama Islam sedang mengumpulkan bahan-bahan

Pendahuluan

15

cerita di suatu komunitas Kristen, warga Muslim lalu
menuduh warga Kristen telah menculiknya. Mereka
sulit memahami bahwa seorang Muslim pun bisa
membuat keputusan sendiri untuk masuk ke dalam
komunitas agama lain. Akibatnya kemudian muncul
kabar akan ada serangan untuk membebaskan dirinya
yang ujung-ujungnya memperlambat proses
dokumentasi cerita. Sampai pada akhirnya, tanggal
25 April 2005, sebuah ledakan bom menandai ulang
tahun RMS, dan tim kemudian memutuskan bahwa
terlalu berbahaya kalau kegiatan ini tetap dilanjutkan.
Kendala yang Dihadapi Seluruh Tim
Sebagai aktivis LSM, sebagian besar anggota tim
sudah terbiasa menuliskan laporan untuk organisasi
mereka masing-masing. Menulis studi-studi kasus
tentang perlawanan tanpa kekerasan tentu suatu hal
yang berbeda. Kegiatan semacam ini sama sekali
tidak sama dengan pelatihan merumuskan model
pembangunan perdamaian dalam komunitas. Mereka
belum terlatih dalam menguraikan kisah, apalagi
menuliskannya secara detil untuk dipublikasikan.
Karena itulah mereka harus menyita waktu dari
pekerjaan rutin agar bisa sampai pada standar
penulisan yang memadai.
Banyak pelaku, atau dalam hal ini tokoh cerita,
menegaskan bahwa pengalaman yang mereka alami
bukanlah sesuatu yang heroik dengan citra
kepahlawanan yang kuat, melainkan sesuatu yang
terjadi begitu saja ketika terjadi konflik kekerasan.

16 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Tidak jarang anggota tim berada dalam situasi yang
pelik saat dirinya sadar sedang mendapatkan dan
mengolah peristiwa dalam cerita yang melibatkan
sanak saudara atau kerabatnya. Selain itu, mereka
merasa tidak mudah menjelaskan apa itu ‘perlawanan
tanpa kekerasan’ kalau tidak terlebih dahulu membuka
pikiran orang tentang konsep dasarnya.
Persoalan lain yang ditemui di lapangan adalah
rasa takut penutur cerita bahwa publikasi kisah
mereka bisa membahayakan diri dan keluarganya.
Beberapa penutur berharap agar identitas mereka
tidak perlu ditulis. Ini menjadi alasan beberapa
penulis dianonimkan saja. Dalam sejumlah kasus,
anggota tim merasa lebih nyaman kalau hubungan
kemitraan mereka dengan PSKP, pusat studi yang
kebetulan berada di Yogya ini, tidak perlu
dipublikasikan mengingat kecurigaan dan
ketidaksukaan orang Indonesia bagian timur terhadap
masyarakat Jawa.
Dalam upaya mencari kisah-kisah perlawanan,
tim tidak bisa mengandalkan berita-berita surat kabar
karena memang media massa cenderung mengabarkan
kejadian-kejadian yang dramatis, terutama fragmenfragmen terburuk dari konflik kekerasan, dan
bukannya kabar yang menggembirakan dari adanya
perlawanan tanpa kekerasan. Setelah mengumpulkan
potongan-potongan cerita yang rumit dari pelaku/
penutur yang tidak ingin melewatkan segi-segi yang
detil, para penulis mau tidak mau harus merangkai
semuanya menjadi cerita yang utuh. Tuntutan

Pendahuluan

17

mengubah cerita yang komplek menjadi sebuah
narasi yang sederhana memang harus dipenuhi
sehingga pembaca terbantu dalam menangkap
keseluruhan isi cerita tersebut.
Masalah lain yang tidak kalah mengejutkan
anggota tim adalah bahwa mereka harus meyakinkan
rekan-rekan dari LSM lain tentang nilai atau manfaat
dari upaya mempublikkan NVR. Beberapa aktivis
menuding tim telah merampas ‘lahan garapan’ mereka.
Untuk itu, anggota tim harus membuka kontak secara
hati-hati dengan aktivis lain untuk menjelaskan
manfaat dan posisi kegiatan ini. Alhasil, rekan-rekan
mereka itu akhirnya tertarik untuk mendapatkan
pelatihan penelitian sosial dan penulisan cerita.
Peluang yang Muncul Dari Pengerjaan Proyek
Anggota tim mendapat kesempatan dan manfaat
dari keselurahan proses pengoleksian dan penulisan
cerita dari orang-orang yang secara langsung bertindak
menentang kekerasan. Kami dari tiga lembaga merasa
gembira bahwa seluruh tim bekerja dengan antusias
karena kami melihat proyek ini sebagai sebuah
kesempatan yang langka untuk semakin memantapkan
kerja pembangunan perdamaian dengan asas
kemandirian komunitas. Kami sependapat dengan
tim lapangan bahwa proyek ini, terlepas dari kendalakendala yang ada, telah memberikan banyak manfaat.
Pertama-pertama adalah bahwa studi-studi kasus
tersebut dikumpulkan secara langsung dari komunitas
tanpa campur tangan pihak ketiga seperti orang luar,

18 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

apakah dari Jawa ataupun orang asing dari negara
lain. Dalam hal ini, cerita diperoleh dari tangan
pertama, dari orang-orang yang hidupnya ibarat telur
di ujung tanduk ketika kekerasan sedang berkecamuk.
Seluruh tim sangat mengharapkan situasi di mana
para pelaku NVR mengisahkan pengalaman mereka
dengan sepenuh hati dan menunjukkan kedekatan
yang intens pada saat yang bersamaan. Anggota tim
mulai mengumpulkan cerita secara perorangan, tetapi
beberapa di antaranya memutuskan untuk bekerja
secara berpasangan karena pertimbangan keamanan
dan juga untuk berbagi peran sebagai pewawancara
dan perekam. Para pelaku, mereka yang telah
mempertaruhkan hidupnya bagi perdamaian, selalu
gembira menyambut anggota tim.
Demikian pula jaringan pertemanan dan jaringan
kerja telah berkembang sedemikian rupa di antara
komunitas dan sesama aktivis terkait dengan
kepentingan mereka dalam proyek ini. Hal ini juga
disebabkan oleh konsistennya anggota tim dalam
memberikan keterangan mengenai apa sesungguhnya
kegiatan yang sedang mereka lakukan.
Tentu suatu hal yang tidak biasa bagi anggota tim
kalau hasil kerja keras mereka dipublikasikan dan ini
dapat memacu semangat mereka untuk terus berkarya.
Lagipula, mereka melihat publikasi tersebut sebagai
cara membangun jaringan yang semakin luas dengan
memperkenalkan hasil pengabdian dan metodologi
kepada rekan-rekan aktivis yang lain. Dengan adanya

Pendahuluan

19

publikasi, besar kemungkinan kerja mereka akan
dikenal di Indonesia dan publik yang lebih luas akan
memanfaatkan informasi ini untuk keperluan
perlawanan yang sama, perlawanan tanpa kekerasan.
Studi-studi kasus tersebut amat berguna untuk
program penyadaran atau pendidikan perdamaian.
Ketika koordinator program dan perwakilan
SEAQIAR mempresentasikan gagasan proyek ini kepada tim, mereka langsung menangkap betapa hasilhasilnya akan sangat berguna. Contoh-contoh kasus
dari apa yang telah dicapai masyarakat akar tumput
semakin mempertebal tekad mereka untuk menentang
kekerasan dan penyalahgunaan otoritas di tingkat komunitas. Hal ini juga mendongkrak rasa percaya diri
mereka dan rekan-rekan mereka dalam mengabdikan
diri tanpa pamrih untuk pendidikan perdamaian.
Para anggota tim berasal dari tiga propinsi
tempat mereka bekerja. Dalam menjalankan tugasnya,
para anggota dari komunitas agama yang berbeda
bekerja dalam satu grup pengoleksi cerita, yang
biasanya tidak lebih dari dua orang. Strategi ini
kemudian menjadi semacam proteksi bagi salah satu
anggota yang tidak berasal dari komunitas agama
yang dituju. Juga dengan itu prasangka yang
menerbitkan suasana tegang dan mempertebal nuansa
konflik kekerasan, bisa disingkirkan. Studi-studi kasus
tersebut merupakan sebuah ilustrasi yang menarik
bahwa orang-orang dengan latar belakang yang berbeda
bisa bekerja sama dengan baik.

20 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Kesimpulan
Resistensi yang efektif terhadap kekerasan selalu
mungkin untuk dilakukan. Meski berbahaya, orangorang yang melawan kekerasan, termasuk mereka
yang selamat untuk mencurahkan pengalaman itu
dalam buku ini, tetap menjalani hidup seperti sebelum
konflik kekerasan terjadi, dan bahkan komitmen
mereka bagi perdamaian semakin militan. Perlawanan
tanpa kekerasan dilakukan tidak lain untuk melindungi
orang-orang kecil yang sama sekali tidak berdaya, dan
untuk mengembalikan kerukunan hidup di antara
kelompok-kelompok yang berbeda suku, agama dan
golongan. Dari sejumlah fakta yang ada, perlawanan
model ini menjelma menjadi suatu kekuatan
perdamaian yang lebih besar atau sebagai sebuah
resolusi konflik yang konkrit. Besar harapan kami,
semoga kumpulan cerita perlawanan tanpa kekerasan
dalam buku ini bisa dijadikan pelajaran dan inspirasi
bagi semakin banyak orang dalam menentang
kekerasan dan menuntaskan ketidakadilan di
komunitas-komunitas lain.
Helen Jenks Clarke
Representatif, 2000-2005
Southeast Asia Quaker International Affairs Representative
Program of American Friends Service Committee

Sulawesi Tengah 21

Sulawesi Tengah

22 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Sulawesi Tengah 23

Konflik di Sulawesi Tengah:
Pengantar Singkat
Konflik berlangsung sejak Desember 1998. Ini
mrupakan tragedi kemanusiaan karena ribuan warga,
baik dari komunitas Muslim maupun Kristen, menjadi
korban. Ratusan orang meninggal, ribuan luka dan
cacat. Ribuan orang harus mengungsi. Ribuan rumah
dan tempat ibadah hancur dibakar. Ribuan anak
putus sekolah, dan menjadi yatim atau piatu.
Perempuan menjadi janda. Secara umum, kaum
perempuanlah pihak yang harus menanggung beban
paling berat atas semua kehilangan itu.
Konflik Poso terdiri tiga babak dramatis yang
masing-masingnya ditandai dengan eskalasi kekerasan
yang tinggi. Konflik Jilid Pertama terjadi pada bulan
Desember 1998, Kelompok Putih (Muslim) menyerang
Kelompok Merah (Kristen). Konflik Jilid Kedua terjadi
pada bulan April 2000, kelompok Kristen membalas
menyerang kelompok Muslim. Konflik Jilid Ketiga
pada bulan Mei 2000, kelompok Muslim membalas
menyerang kelompok Kristen. Antara 2001-2002,
setelah kesepakatan Malino, penyerangan-penyerangan terhadap desa-desa Kristen masih terjadi. Bulan
Agustus 2002, desa Sepe, Silanca, dan Batugencu,
diserang, dibakar, dan dibom. Sementara penembakan,
pengeboman, mutilasi tubuh korban seringkali terjadi
dan lebih bersifat teror yang sporadis. Para pelakunya
lebih banyak tidak teridentifikasi dan tidak mampu
ditangkap polisi.

24 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Persoalan mabuk-mabukkan awalnya dianggap
sebagai pemicu konflik. Tetapi ketika ditelusuri dan
dianalisis, adanya persaingan antar elit politik dalam
memperebutkan kekuasaan merupakan pokok
masalah. Konflik kekerasan meledak persis pada saat
pemilihan bupati dan sekretaris kabupaten tengah
berlangsung. Konflik kekerasan terjadi juga karena
persoalan perebutan proyek. Untuk kepentingan
tersebut ada orang-orang tertentu memobilisasi massa
dan membakar rumah-rumah orang Kristen (kejadian
tahun 1998). Lalu eskalasi kekerasan semakin
meningkat terutama ketika agama dipakai untuk
menyulut kebencian dan kemarahan terhadap satu
sama lain. Dengan adanya identifikasi agama, maka
semakin mudah pula komunitas-komunitas berubah
menjadi gerombolan pembunuh yang kejam dan tak
terkendali.
Kumpulan tulisan ini menunjukkan bahwa Konflik
Poso sebenarnya tak diinginkan sama sekali oleh
sebagian besar orang Poso baik Muslim maupun
Kristen. Pihak-pihak yang kami pilih untuk ditulis
adalah sebagian dari mereka yang menginginkan
perdamaian, namun selama ini suara mereka tenggelam dalam gegap gempita proses rekonsiliasi rekonstruksi sosial-ekonomi pasca konflik. Bagaimanapun
juga, pengalaman dan keberanian mereka untuk
menegakkan kerukunan hidup di tengah situasi kon(Agustanti
flik, patutlah dicatat dan disimak.
Ruagadi)

Abang Didi: Ihklas Menjadi Tahanan Polisi 25

Abang Didi:
Ihklas Menjadi Tahanan Polisi
Melky Mailowa dan Agustanti Ruagadi
“Kamu harus tabah.”
Bekerja sebagai evakuator pengungsi di daerah
konflik bukanlah pekerjaan yang ringan Selain
berbahaya juga mengancam nyawa. Ancaman
penembakan dan peluru nyasar selalu menghantui
para pekerja kemanusiaan ini. Ironisnya seorang
evakuator pengungsi juga bisa disamakan dengan
pelaku perang yang harus dilenyapkan. Inilah yang
dialami Pendeta Rinaldy Damanik atau yang akrab di
panggil Abang Didi oleh masyarakat Tentena. Abang
adalah Sekretaris umum GKST (Gereja Kristen
Sulawesi Tengah) dan juga Koordinator Crisis Centre
GKST selama konflik Poso Jilid 3, bulan April 2000Agustus 2001.
Sebagai Koordinator Crisis Centre GKST, Abang
dan para relawan yang bekerja bersamanya harus
selalu siap mengevakuasi pengungsi dari daerah yang
rawan konflik. Daerah tersebut biasanya daerah yang
sedang mengalami atau mendapatkan ancaman
serangan. Para penduduk desa, umumnya anak-anak,
perempuan dan manula harus segera diungsikan ke
tempat-tempat aman. Bagi warga yang masih kuat
biasanya mengungsi ke hutan-hutan atau kebun

26 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

sekitar desa karena biasanya kendaraan yang tersedia
tidak mencukupi untuk mengangkut seluruh penduduk
desa. Tentena dianggap sebagai salah satu tempat
berlindung yang aman bagi warga Kristen. Sejak
kejadian penyerangan, terdapat dua ribuan pengungsi
Kristen yang diangkut untuk diselamatkan.
Pada tanggal 16 Agustus 2002 itu, Abang Didi
beserta para relawan lainnya berangkat ke Desa
Peleru untuk mengungsikan warga ke Desa Taliwan,
Kecamatan Mori Atas yang lebih aman, sekitar 12
kilometer dari Peleru. Evakuasi berjalan aman.
Esoknya para relawan kembali ke Desa Peleru untuk
membawa harta benda pengungsi yang tersisa, dan
akan diserahkan kembali pada para pengungsi di
Taliwan.
Tapi, tak seperti hari sebelumnya, kali ini para
relawan mendapat masalah. Aparat keamanan dari
kepolisian sudah menunggu. Para relawan pimpinan
Abang Didi digeledah. Polisi juga menggeledah
kendaraan yang mereka bawa. Tiba-tiba saja aparat
kepolisian mengklaim menemukan senjata dan amunisi
di antara barang dalam mobil para relawan. Tentu
saja ini mengejutkan para relawan. Bagaimana
mungkin secara tiba-tiba ada senjata dan amunisi di
mobil mereka. Para relawan pun balik menuduh polisi
sengaja membuat trik untuk menangkap para relawan.
Setelah berdebat cukup lama akhirnya polisi
membolehkan para relawan mengangkuti barangbarang milik para pengungsi untuk dibawa ke Taliwan.

Abang Didi: Ihklas Menjadi Tahanan Polisi 27

Tak ada surat penangkapan buat Abang Didi dan
kawan-kawannya. Sepasukan TNI yang datang
kemudian juga memberikan perlindungan pada para
relawan karena jalanan sudah diblokir massa penyerang
dari kelompok Muslim.
Namun, keesokan harinya, segera beredar kabar
adanya senjata dan amunisi di mobil Abang Didi dan
kawan-kawan, dan polisi akan melakukan penangkapan.
Rencana penangkapan Abang oleh polisi itu, kemudian
diketahui warga. Berita itu membuat warga menjadi
geram dan situasi menjadi tidak tenang. Sebagian
warga merasa Abang bukanlah seorang provokator,
terutama warga masyarakat yang ketika pengungsi
dievakuasi oleh Abang dan rekan-rekannya. Sejumlah
pendeta yang ada diwilayah GKST membuat suatu
peryataan sikap bersama yang berisikan penolakan
atas rencana penangkapan Pendeta Rinaldy Damanik.
Pada tengah hari pukul 22 Agustus 2002, warga
Tentena dikejutkan oleh suara raungan helikopter
polisi. Hampir semua warga dari orangtua hingga
anak-anak, turun ke jalan-jalan. Kantor Sinode Gereja
Kristen Sulawesi Tengah, dekat rumah Abang Didi,
penuh sesak dengan manusia. Mereka dengan tegas
menolak penangkapan Abang Didi. Beberapa di antaranya menyatakan siap mati untuk menyelamatkan
pendeta mereka. Jalan-jalan menuju kantor GKST
juga diblokir. Situasi mencekam. Sebagian warga
mulai memukul tiang telepon berkali-kali sebagai
isyarat kota dalam bahaya.

28 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Pendeta Rinaldy Damanik segera keluar menemui
massa. Ia meminta warga tenang. Ia juga meminta
pengertian warga, dan membolehkan dirinya dibawa
polisi. “Terima kasih atas maksud baik bapak, ibu dan
saudara sekalian. Saya tidak akan lari sebab saya
tidak besalah. Jika mereka ingin menangkap saya,
silakan mereka menangkap di ruang kerja saya,” ujar
Abang Didi.
Pendeta ini lantas pulang ke rumah yang berjarak
sekitar 50 meter dari kantor GKST. Ditemuinya
putrinya yang masih duduk di bangku SMP.
Dijelaskannya situasi sulit yang dihadapi dan
kemungkinan yang akan terjadi. Di luar dugaan sang
putri mengerti dan merelakan ayahnya memenuhi
panggilan polisi untuk membuktikan dirinya tak
bersalah. Sikap tegas massa akhirnya membatalkan
rencana penangkapan Abang Didi pada hari itu.
Demikian pula pada hari-hari berikutnya, tarik ulur
terus terjadi. Polisi tetap ngotot melakukan
penangkapan, sementara warga dan para pendeta
mati-matian tak bersedia menyerahkan Abang Didi.
Selang beberapa minggu kemudian, pada 8
September 2002, Rinaldy Damanik melakukan rapat
lengkap tertutup yang dihadiri oleh Majelis Sinode
dan tokoh-tokoh masyarakat. Dalam rapat itu, ia
menyampaikan keputusannya memenuhi panggilan
polisi dan akan didampingi oleh kuasa hukumnya,
Jhonson Panjaitan SH dari Perhimpunan Bantuan
Hukum Indonesia (PBHI) Jakarta.

Abang Didi: Ihklas Menjadi Tahanan Polisi 29

Malam harinya pada pukul 22.00WITA, mobil
polisi datang menjemput Abang Didi untuk dibawa ke
Mabes Polri di Jakarta. Massa masih keberatan dan
ketegangan antara polisi dan warga Kristen kembali
terjadi. Tiang listrik kembali dipukul-pukul sebagai
pemberitahuan akan adanya bahaya. Sebagian warga
berpakaian hitam-hitam sebagai tanda kesiapan untuk
berperang. Abang Didi menuju kumpulan massa yang
marah dan berkata, “Tenang saudara-saudara. Tenang.
Saya hanya akan diperiksa sebagai saksi bukan
sebagai tersangka. Saya bukan penjahat yang takut
diperiksa. Karena itu, saya minta saudara-saudara
untuk tidak melakukan tindakan anarkis. Saya tidak
menginginkan adanya korban,” demikian katanya.
Massa akhirnya bisa ditenangkan. Abang Didi
lalu dibawa ke Jakarta. Di ibukota negara ini, Pendeta
Rinaldy Damanik ternyata tidak hanya dijadikan
saksi tapi menjadi tersangka dengan tuduhan
kepemilikan atas sejumlah senjata api dan amunisi.
Namun pada pemeriksaan pertama tersebut tidak
terdapat cukup bukti. Pemeriksaan lanjutan akhirnya
dilakukan di Palu. Abang pun diajukan ke pengadilan
dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara.
Bulan berganti bulan dilaluinya dalam penjara
dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Pada tanggal
27 November 2004, akhirnya Abang bebas bersyarat
atas jaminan organisasi Islam Palu, Al Khaerat,
dengan salah satu sesepuhnya adalah Ustadz Idrus Al
Habsyi (Almarhum).

30 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Awalnya sang Ustadz tidak sependapat dengan
pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Sinode
GKST. Tapi, setelah mengikuti perkembangan, ia menyimpulkan Abang adalah korban rekayasa. Guru Tua
–demikian Idrus Al Habsyi biasa dipanggil- sering
menjenguk pendeta Rinaldy Damanik di penjara,
menjalin persahabatan akrab, dan mendukungnya
dengan doa.
Ada satu peristiwa yang selalu membuatnya
teringat pada almarhum Guru Tua. Saat dikembalikan
ke Palu dan menjalani pemeriksaan, pendeta ini
mengalami hari-hari yang berat. Dia sakit keras.
Diantara orang-orang yang datang berkunjung, yang
pertama kali muncul adalah wajah teduh Guru Tua.
Abang masih ingat bagaimana guru tua ini memegangi
tangannya sembari berdoa. “Kamu harus tabah,” ujar
Abang menirukan suara teduh Guru Tua. Abang
merasa mendapat tenaga untuk bangun dan menghadapi pengadilan atas tuduhan yang tak pernah dilakukannya. “Guru Tua menguatkan hati saya, dan
menjadikan saya tenang menghadapi pengadilan,”
ujar pendeta Rinaldy Damanik, yang kini menjabat
Ketua Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah.

Ahmad Yani: Menggadai Diri Demi Keamanan 31

Ahmad Yani:
Menggadai Diri
Demi Keamanan
Ferdy Ebiet Kawani
“…saya bersedia dibawa aparat sebagai jaminan”
Suasana desa Pandajaya, sebuah desa Muslim di
Pamona Selatan Poso, pada pertengahan Juni 2001
siang itu terasa mencekam. Santer terdengar isu
bahwa akan ada serangan dari kelompok merah
(Kristen). Warga segera berkumpul sambil mempersiapkan segala sesuatu untuk mempertahankan
diri. Segala jenis senjata, dari golok, senapan sampai
bom rakitan, dipersiapkan.
Pada saat bersamaan, aparat keamanan sedang
melakukan penyisiran senjata dan bom rakitan dari
rumah ke rumah di desa tersebut. Warga yang
sebelumnya mendapat bocoran tentang rencana
tersebut, segera menyembunyikan senjata mereka di
berbagai tempat termasuk di kebun-kebun dengan
cara ditimbun dalam tanah.
Meskipun demikian, aparat keamanan tidak
mudah dikelabui. Gundukan-gundukan tanah yang
diketemukan di kebun-kebun dekat rumah penduduk
pun dibongkar dan senjata-senjata tersebut disita.
Begitu juga senjata dan bom rakitan di rumah

32 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

penduduk turut diangkut. Tindakan tegas aparat ini
tentu saja ditentang dengan keras oleh seluruh penduduk. Namun, aparat tidak ambil peduli sedikitpun.
Suasana menjadi tidak menentu karena sebagian
warga terlanjur termakan oleh kabar angin bahwa
akan ada serangan dari kelompok Kristen, semakin
banyak berkumpul. Mereka sangat marah karena
senjata untuk mempertahankan diri telah disita oleh
aparat. Kegaduhan pun terjadi ketika mereka mulai
meneriakkan kata-kata protes dan memprovokasi
massa untuk menyerang aparat keamanan. Sebagian
warga mulai melempari aparat dengan batu. Seorang
ibu, sambil menggendong anaknya yang menangis,
tampak berdiri persis di depan mobil petugas dan
berteriak dengan keras, “Kalo kamu mo ambe itu
senjata, lebeh bae kamu tabrak jo kita”. [Kalau kalian
mau mengambil semua senjata itu, lebih baik kalian
tabrak dulu diri saya.]
Teriakan sang Ibu membuat suasana semakin
memanas. Sebagian orang mulai mengepung mobil
petugas. Aparat yang berjumlah hanya beberapa
orang itu dengan sigap mengokang senjata mereka
untuk berjaga-jaga dari serangan massa.
Melihat situasi yang nyaris tidak terkendali,
Kapolsek Pamona Selatan selaku komandan sweeping,
memanggil beberapa tokoh masyarakat untuk
berunding. Setelah pembicaraan alot berlangsung
beberapa saat, beberapa tokoh masyarakat setuju
untuk ikut menenangkan masyarakat. Meskipun de-

Ahmad Yani: Menggadai Diri Demi Keamanan 33

mikian, usaha ini pun tidak cukup berhasil. Masyarakat
tetap saja menolak jika senjata tradisional dan bom
rakitan mereka disita. Mereka berdalih bahwa senjata
dan bom rakitan tersebut tidak digun