Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan Islam

Oleh:

Rizka Hendariah

NIM 108011000043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013


(2)

Sltripsi:

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dar Kegur.ual (FITK) untuk Memenuhi Peisyaratan Memperoleh Geiar Sarjana

Pendidikan Islam (S.pd.I)

Oleh :

Rizka Hendariah 108011000043

Di Barvah Bimbingan:

Drs. Masan A.F. M.Pd

NrP. 19510716 198103

r

005

PROGRAM

STT,IDI

PENDIDIKAN

AGAMA

ISLAM

FAKITILTAS ILMLT

TARBIYAH

DAN KEGI-]RUAN

UNIVERSITAS

ISLAM NEGERI

SYARII HIDAYATULLAH

JAKAPJA

2013


(3)

Anak'fanpa KekerasaD) disusur oleh Rizka Hcndariah, NIM. 108011000043. Progianl studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu 1'arbiyah dan Keguruan, Universilas Islam Negeri Syarif llidayatullah Jakafia. Telah melalui bimbingan dan dinyatakar sa11 sebagai karya ilmia.h yeng berhak untuk Ciujikan paCa sidang

mLrnaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkal oleh fakultas.

Jakarta, 1I Desernber 2012

Yang mengesahkan, Pcmbimbing

D$. Masar AF., M.Pd NIP. 195107r6198103 r 005


(4)

Hida)atullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 23 April 2013 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak mernperoleh gelar Sarjaoa S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Panitia Ujian Munaqasah Ketua Panitia (ketua

Jurusan/Prodi)

Tanggal

.lakarta,23

Ap

l2013 Tanda tangan

Bahrissalim. MA

NIP: 19803071 99803 1 002

Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Dls. Sapiudin Shiddiq. MA NIP: 196?0328 200003 1 001 Penguji

I

Drs. Rusdi Jamil. MA

NIP: 19621231 199503 1 005 Perguji

II

Siti Khadiiah. MA

NIP: 19700727 199703 2 00,1

-t"l)

*.t=-L^*!.L.

)t

/

M<\

1011 engetahui:

i Nawawi. MA

it


(5)

Nama

N]M

Program Studi Alamat

Rizka Hendariah 10801 r 000043

Perdidikar Agama Islam

Kemanggisan Rt 001/012 No. 44D Kec. Palmerah Kel. Palmerah, Jakarta Bamt 11480

MENYATAKAII DENGAIT SESI]NGGUIINYA

Bahwa

Skipsi

yang berjudul Konsep Pendidikan

Anak

dalam Keluarga (Mendidik Anak Tanpa Kekerasan) adalah benar hasil karya sendfui di bawah bimbingan dosen:

Nama Pembimbing : Drs. MasaB AI., M.Pd

NIP

:19510716 198103

t

005

Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila iertrukti bahwa skripsi ini bukar hasil karya ssndfui.

Jakarta

ll

Desember 2012


(6)

i

Pendidikan anak dalam keluarga dengan mengedepankan kekerasan merupakan pendidikan yang tidak dianjurkan dalam agama. Kekerasan diartikan sebagai perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau badan menjadi tidak nyaman. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang berbagai macam perilaku atau pola asuh orangtua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga dengan mengedepankan cinta dan kasih sayang, serta menghindari perilaku kekerasan dari berbagai pendapat para ahli dan media cetak serta mengetahui konsep pendidikan anak dalam keluarga tanpa melalui kekerasan, sehingga tidak ada lagi orangtua atau pendidik mendidik anak dengan kekerasan. Jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan (Library Research) yaitu menganalisa data yang telah diperoleh melalui surat kabar, jurnal pendidikan anak serta buku-buku tentang pendidikan anak dalam keluarga yang mengedapankan kasih sayang dalam penyampaiannya. Metode penelitian ini adalah metode kepustakaan atau (Library Research). Teknik pengumpulan data yaitu dengan mengumpulkan buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil penelitian lainnya dari berbagai perpustakaan. Analisa data dengan cara analisis isi (Content Analysis).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mendidik anak dengan cara kekerasan akan tidak efektif. Dilihat dari kacamata Pendidikan Islam, pendidikan dengan kekerasan bukanlah pendidikan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Pendidikan melalui kekerasan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kekerasan verbal dan kekerasan non verbal (kekerasan psikologis dan fisik). Konsep pendidikan anak tanpa kekerasan dapat dilakukan dengan memahami arti anak sesungguhnya dan mencintainya karena Allah SWT., samakan pandangan orangtua, selalu mendoakan kebaikan kepada anak, mendidik dengan keteladanan, menasehati melalui perkataan yang baik, menjalin komunikasi yang baik antara orangtua dan anak, tidak membedakan jenis kelamin, pendidikan yang demokratis bukan otoriter, hargai perilaku baik anak, memberi hukuman yang tidak kasar dan tidak menyakitkan.Untuk menghindari pendidikan kekerasan terhadap anak dengan menggunakan prinsip dalam memberikan hukuman yaitu: beritahu kesalahannya, hukuman bertahap, tidak boleh keluar kata kasar, kesalahan anak menjadi bahan evaluasi orangtua, mengukum atas dasar prilaku, adil dan konsisten dalam menghukum, serta menghukum dengan tujuan memperbaiki bukan menyakiti. Dampak pendidikan dengan kekerasan bagi anak diantaranya: anak menjadi stres atau depresi, mogok melakukan sesuatu, berbohong karena takut dimarahi, mencoba berontak, menyandang predikat “anak nakal”, menurunkan tingkat kecerdasan, trauma yang berlanjut, menghambat proses perkembangan jiwa, menyebabkan anak menjadi durhaka. Sebagai rekomendasi pengkajian ini, disarankan perlu adanya penyuluhan dan bimbingan sosial terhadap keluarga dengan pembelajaran keluarga untuk menghindari tindakan sewenang-wenang, dan penerapan pola asuh yang bijaksana.


(7)

ii

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, segala puji hanyalah milik Allah Ta’ala, Pencipta semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah SAW., beserta keluarga, para sahabat, dan para siapa saja yang selalu berittiba’, mengikuti sunnah-sunnah beliau sampai akhir zaman. Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT., penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak tanpa Kekerasan)”.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa kehadiran skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Pada kesempatan ini, perkenankan penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih layak penulis sampaikan kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA

2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bahrissalim, MA

3. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Sapiuddin Shiddiq, M.A

4. Drs. Masan A.F., M.Pd. yang telah banyak memberikan sumbangsihnya dalam membimbing penulisan dan penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini 5. Seluruh dosen, staf, dan karyawan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak memberikan pengetahuan, pemahaman, dan pelayanan selama melaksanakan studi

6. Seluruh staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Daerah Nyi Ageng Serang Jakarta, Perpustakaan Departemen Sosial RI, Perpustakaan Komisi Nasional


(8)

Perlindungan Anak Indonesia, yang telah memberikan kemudahan selama penyusunan laporan skripsi ini

7. Ayahanda tercinta Bapak Nandan Suhendan dan Ibunda tersayang Ibu Herliyah yang tak kenal lelah memberikan motivasi moril dan materil kepada ananda, pengorbanannya yang senantiasa mendorong dan mendo’akan ananda untuk berjuang dan menyelesaikan studi

8. Untuk adik-adik manis Hanni Khairunisa, Hanna Khairunisa, Nabillah Nurjihan, dan Rizqillah yang kesediaan kalian mendo’akan, menemani, dan membantu menghadirkan banyak inspirasi

9. Fachrizal Dwi Ramandharu, SH yang selalu hadir menemani, memberikan motivasi, dan mendengarkan curahan hati adinda

10.Teman-teman terbaik Siti Qory Maryam, Haifa Sayuti Usman, Dina Nurina, Nidaul Islamiyyah yang selalu bersedia untuk saling berbagi dan menemani saat susah maupun senang

11.Untuk Abu Dzar Al-Ghifari, Ahmad Ubay, Fatimatuzzahra, Khairul Bariyyah dan teman-teman seperjuangan mahasiswa PAI “B” angkatan 2008 yang telah sama-sama berjuang dalam studi. Terima kasih kalian telah menjadi sahabat dan tempat berbagi ilmu, cerita, tawa, dan tangis. Thanks for everything my best friends

12.Serta semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis tidak dapat membalas kebaikan semua pihak yang terlibat, semoga Allah SWT., membalas dengan kebaikan dan dapat melahirkan kebaikan yang berikutnya. Aamiin.


(9)

Sungguh, kekurangan dan kesalahan terdapat di sana-sini dalam skripsi ini adalah murni dari penulis sebagai manusia biasa yang penuh dengan kelemahan, baik dari sisi pengetahuan maupun yang lainnya. Dengan segala kerendahan hati, maka saran-saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca, akan senantiasa penulis harapkan.

Jakarta, 11 Desember 2012 Penulis,


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Hasil Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORETIK ... 10

A. Acuan Teori ... 10

1. Konsep Pendidikan Anak ... 10

2. Konsep Pendidikan Keluarga ... 22

3. Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga ... 34

4. Konsep Mendidik Anak Tanpa Kekerasan ... 37

B. Pandangan Islam Terhadap Kekerasan dalam Keluarga ... 41

C. Hasil Penelitian yang Relevan ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A. Objek dan Waktu Penelitian ... 46

B. Metode Penelitian ... 46

C. Fokus Penelitian ... 48

D. Prosedur Penelitian ... 48

BAB VI TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Temuan Hasil Analisis Kritis Deskriptif ... 49

B. Temuan Hasil Analisis Kritis Komparatif ... 53

C. Pembahasan ... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75


(11)

C. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN ... 81


(12)

vii


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam amandemen keempat UUD 1945 tahun 2002, lahir pasal baru yang secara khusus bicara soal perlindungan anak, yaitu pasal 28 B ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.1

Tanggung jawab kependidikan anak adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari ketiga lembaga tersebut salah satunya adalah keluarga. “Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, tentu akan terlambatlah pertumbuhan anak tersebut”.2

Anak adalah belahan jiwa yang berjalan di atas bumi. Karena mereka para orangtua atau pasangan suami istri merasakan makna hidup setelah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Semua yang dilakukan para orangtua adalah untuk membawa mereka kepada kehidupan yang baik. Mereka adalah

1

Tim Buku Pintar, Undang-Undang Dasar dan Perubahannya UUD No.23 Tahun 2002 BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Buku Pintar, 2011), Cet. II, h. 32.

2

Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV Ruhama, 1995), Cet. II, h. 47.


(14)

generasi masa depan. Di bahu mereka terdapat harapan dan cita-cita bangsa baik dengan tanggung jawab mereka atas masyarakat dan negara atau tanggung jawab paling mulia yaitu menyebarkan dakwah Islam. Kondisi anak saat ini akan sangat mempengaruhi terhadap kondisi bangsa yang akan datang. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi orangtua untuk memperhatikan anak-anak karena mereka memegang tanggung jawab di hadapan Allah dalam mengasuh dan menunjukan anak kepada jalan kebaikan. Melalui keluargalah anak-anak dapat belajar segala hal yang baik untuk bekal kehidupan. Keluarga dimanapun harus mampu mengemban tugas mulia menghasilkan generasi baru yang berkualitas. Kelak akan dijumpai masyarakat yang sejahtera lahir dan batin serta damai, dan bermartabat, demokratis, serta saling menghormati dalam keberagamaan. Menurut sabda Rasulullah SAW., anak juga merupakan investasi akhirat:

ه ا لوس ر َّ ا ةرْي ر ىبا ْنع

ها ىىل

ق مَىسو ْيىع

ا

ا: ل

ا

ام

ا

مدآ نْب

عطقْنا

ىمع

َّا

اىث ْنم ا

ا ب عف ْي مْىع ْوا يراج ق ل

ّو ْو

) مىسم اور( ّ ْوعْ ي حّال

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Jika seorang anak Adam meninggal dunia, maka semua (pahala) amalnya terputus, kecuali (pahala) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang selalu memanjatkan do’a untuknya.” (HR. Muslim).3

Untuk melahirkan generasi yang berkualitas, maka anak mempunyai hak dan kebutuhan untuk mendapatkan kasih sayang, perhatian makanan yang cukup dan bergizi, kesehatan yang baik, bermain, pengembangan spiritual dan moral, pendidikan, serta memerlukan lingkungan keluarga dan sosial yang mendukung kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan. Masa anak-anak adalah masa belajar dan masa berkembangnya aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia, seperti perkembangan fisik,

3

Imam Nawawi, Ringkasan Riyadhush Shalihin, Terj. Dari Mukhtashor Riyaadhush Shoolihiin oleh Abu Khodijah Ibnu Abdurrohim, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), Cet. I, h. 56.


(15)

kematangan intelektual, emosi, dan hubungan sosial. Pada masa ini, mereka mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum, membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh, belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya, mulai mengembangkan peran sosialnya, mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar, untuk membaca, menulis, dan berhitung.

Setiap hari baik melalui media cetak, elektronik, dan secara langsung banyak ditemui adanya anak yang mendapat perlakuan kasar, diperlakukan sewenang-wenang, disakiti, disiksa baik fisik maupun mentalnya. “Sekitar 60% orangtua diduga melakukan tindak kekerasan. Dengan dalih mendisiplinkan anak dan mengatasnamakan pendidikan, mereka menjewer, menampar, memukul, mencaci maki, padahal bukan kepatuhan yang muncul setelahnya.”4

Berdasarkan data Komisi Pelindungan Anak, kasus tindak kekerasan terhadap anak tahun 2004 mencapai 544 kasus. Tahun 2005 meningkat menjadi 736 kasus, dan Januari 2006 telah terjadi 69 kasus. Jumlah ini diyakini lebih banyak lagi dan merupakan fenomena gunung es mengingat banyaknya kasus yang tidak terlaporkan maupun yang sengaja dirahasiakan karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga maupun masyarakat sekitar.5

“Adapun jumlah anak korban tindak kekerasan dan perlakuan salah pada tahun 2004 mencapai 48.526 kasus.”6 “Menurut kompilasi dari 9 surat kabar nasional tanggal 10 Desember 2009 menyebutkan jumlah anak yang membutuhkan perlindungan khusus dan perlakuan salah terhadap anak, sekitar 7.778 anak. Sedangkan pada tingkat lokal di Bayumas tercatat 36 korban tindak kekerasan pada anak dalam keluarga atau rumah tangga.”7

Kekerasan pada anak merupakan refleksi kegagalan pengasuhan yang berlangsung lintas generasi, oleh sebab itu pemotongan siklus kekerasan

4

Suryani, Kebutuhan Pelayanan Sosial Bagi Anak Korban Tindak Kekerasan dalam Keluarga,Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, 1 Maret 2010), Vol. 34, h. 47.

5

Harian Kompas, 3 Maret 2006

6

Suryani, loc. cit. h. 36. Departemen Sosial Republik Indonesia, dalamhttp//www.google.co.id/anakkorbantindakkekerasan

7


(16)

harus dimulai dari keluarga. Hal yang perlu diperhatikan dalam memutus siklus kekerasan dalam kehidupan bukan dimulai dengan mengajarkan apa itu kekerasan pada anak, melainkan orang dewasalah atau orangtua sebagai pendidik yang belajar untuk tidak melakukan kekerasan dalam keluarga atau kehidupan. Keluarga memiliki potensi yang besar untuk menekan tindak kekerasan terhadap anak. Untuk itu perlu adanya kasih sayang, perhatian, dan perlindungan yang harus diberikan kepada anak agar tumbuh kembang dalam atmosfer yang penuh dengan cinta kasih dan perdamaian.

Mendidik anak hendaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dengan menyadari kembali bahwa anak adalah amanah Allah SWT., yang harus dipertanggungjawabkan di akhir masa kehidupan setiap orangtua. “Orangtua dan keluarga boleh saja tidak memiliki harta melimpah, tetapi mereka tidak boleh kehilangan cinta dan kasih sayang terhadap anak. Sebab, cinta dan kasih sayang adalah kebutuhan elementer yang mutlak harus diperoleh seorang anak pada masa tumbuh kembang”. 8 Anak yang kehilangan cinta dan kasih sayang akan tumbuh dengan penuh deviasi dan patologis (keadaan berupa penyimpangan perilaku dalam bentuk merugikan atau merusak diri sendiri dan orang lain). Sebaliknya, anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kokoh, penuh cinta, dan jauh dari eksploitasi, akan lahir sebagai generasi yang berkarakter, dan pada gilirannya akan menjadi warga masyarakat dan warga negara yang berkarakter pula.

Walaupun pada umumnya masyarakat, khususnya para orangtua sudah mengetahui betapa pentingnya peran orangtua bagi pertumbuhan dan pendidikan anak, tetapi pada kenyataannya masih banyak orangtua yang tidak melaksanakan cara-cara mendidik anak dengan baik. Masih saja ada orangtua yang mendidik anaknya dengan cara yang keliru, seperti: menggunakan kata-kata yang kasar untuk menasehati, kurangnya memberikan penghargaan terhadap keberhasilan yang anak capai untuk membesarkan hatinya, perilaku membanding-bandingan kasih sayang dan prestasi anak dengan anak yang

8

Maria Ulfah Anshor dan Abdullah Ghalib, Parenting with Love, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010), Cet. I, h. 8.


(17)

lain, menggunakan kekerasan dalam mendidik (memukul, mencubit, menjewer, dan sebagainya), bahkan terjadinya eksploitasi anak. Pelaku tindak kekerasan dan eksploitasi anak bukanlah oleh negara sebagaimana terjadi pada masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh perorangan dan kelompok masyarakat atau non state actor. Maka jadilah sebagaimana mudah ditemukan di surat kabar, televisi, atau internet, orangtua dengan mudah menjual bayinya, keluarga dekat memperdagangkan saudara dekatnya, ayah dan ibu kandung memaksa anak-anaknya mengemis, bahkan melacurkannya. Seolah-olah tidak ada lagi cinta dalam hubungan orangtua dengan anak, yang ada hanya hubungan kepentingan transaksional. Nilai anak rupanya telah berubah, dari anak sebagai amanah Allah SWT., menjadi anak sebagai nilai ekonomi. Padahal dalam Al-Qur’an dijelaskan janganlah kamu menghilangkan anakmu karena takut miskin. Sesungguhnya Allah lah Maha Pemberi Rizki. Sebagaimana firman-Nya dalam (Q.S. Al-An’am [6]: 151)

Katakanlah (Muhammad): "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah [membunuhnya] melainkan dengan sesuatu [sebab] yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami [nya]” (Q.S. Al-An’am [6]: 151)


(18)

Kompleks memang permasalahan kekerasan terhadap anak. Namun penelitian ini tidak akan membahas permasalahan tersebut secara keseluruhan, yang akan difokuskan adalah bagaimana cara orangtua mendidik anaknya di dalam keluarga dengan baik, sesuai dengan ajaran agama Islam, lebih mendahulukan kasih sayang dibanding menggunakan kekerasan dalam penyampaiannya. Karena pada dasarnya kembali lagi, prestasi generasi tua bangsa ini menjadi tidak berarti jika generasi berikutnya tidak terdidik atau salah didik sebagai generasi penerus. Anak-anak terbentuk karakternya melalui tiga lingkaran pendidikan, seperti dikatakan di paragraf sebelumnya yaitu: keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Salah satu dari ketiga lingkungan pendidikan tadi adalah keluarga. Seperti telah disingung di atas, dewasa ini banyak orangtua yang tidak tahu bagaimana menyalurkan rasa kasih sayang kepada anak secara baik dan benar atau mendekati tepat. Banyak orangtua mendidik anaknya dengan kekerasan, meskipun orangtua melakukan itu didasarkan rasa kasih sayang yang amat teramat sangat kepada anaknya agar anaknya menjadi pribadi yang baik dan dapat menjadi insan kamil serta sebaik-baiknya khalifah di bumi Allah SWT. Anak adalah amanah Allah yang harus dididik dengan sebaik-baiknya didikan. Tentu akan sangat berbeda ketika dewasa, antara anak yang dididik dengan pola kasih sayang, dan dengan anak yang diasuh melalui cara kekerasan dan sikap otoriter.

Sebait puisi Dorothy Law Nolte tentang pendidikan anak yang menggugah kesadaran dalam bukunya Children Learn What They Live, sebagaimana dikutip oleh Asadulloh Al-Faruq bertutur sebagai berikut :

Jika anak dibersarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian

Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri


(19)

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai.9 Berangkat dari hal tersebut, menarik sekiranya penulis membahas mengenai bagaimana ”Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga

(Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang akan dimunculkan, diantaranya :

1. Sebagian orangtua masih menggunakan kata-kata kasar untuk menasehati anak

2. Orangtua kurang memberikan penghargaan terhadap keberhasilan yang anak capai untuk membesarkan hatinya

3. Masih terdapat kekeliruan orangtua dalam memberikan kasih sayang kepada anak

4. Perilaku membanding-bandingan kasih sayang dan prestasi anak dengan anak yang lain

5. Menggunakan kekerasan dalam mendidik seperti: memukul atau menyakiti fisik

6. Kurang memperhatikan kebutuhan anak di rumah

7. Kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya atau membuat anak takut bertanya, dan

8. Ada sebagian orangtua yang mengeksploitasi anak.

C.

Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, karena cukup luasnya mengenai masalah pendidikan anak dalam keluarga, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti hanya pada masalah menggunakan kata-kata kasar untuk

9

Asadulloh Al-Faruq, Ibu Galak Kasihan Anak, (Solo: Kiswah Media, 2011), Cet. I, h.14.


(20)

menasehati anak, kurangnya memberikan penghargaan terhadap keberhasilan yang anak capai untuk membesarkan hatinya, dan menggunakan kekerasan dalam mendidik seperti: memukul atau menyakiti fisik seputar bagaimana sebaiknya perlakuan atau pola asuh orangtua dalam mendidik anak dengan mengedepankan kasih sayang dibanding menggunakan kekerasan. Kekerasan yang dimaksud yaitu nasehat dengan kata-kata kasar disertai menyakiti fisik seperti memukul, mencubit, menjewer, dan sebagainya. Anak di sini adalah bayi yang masih di dalam kandungan hingga anak usia 17 tahun.

Buku-buku yang menjadi acuan pada skripsi ini diantaranya:

1. Buku karangan Maria Ulfah anshor dan Abdullah Ghalib dengan judul Parenting with Love,

2. Buku karangan Asadulloh Al-Faruk dengan judul “Ibu Galak Kasihan Anak,

3. Buku karangan Wendi Zarman dengan judul “Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah itu Mudah dan Lebih Efektif.,

4. Buku karangan Dr. Musthafa Abu Sa’ad dengan judul Istratijiyyah at-Tarbiyyah al-Ijabiyyah (Judul Terjemahan: Smart Parenting, 30 Strategi Mendidik Anak; Cerdas Emosional, Spiritual, Intelektual) yang diterjemahkan oleh Fatkhurozi dan Nashirul Haq.

D.

Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka dalam penulisan skripsi ini, masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

”Bagaimana cara mendidik anak dalam keluarga tanpa menggunakan kekerasan? ”

E.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh informasi tentang berbagai macam perilaku atau pola asuh orangtua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga dengan


(21)

mengedepankan cinta dan kasih sayang, serta menghindari perilaku kekerasan dari berbagai pendapat para ahli dan media cetak

2. Mengetahui konsep pendidikan anak dalam keluarga tanpa melalui kekerasan.

F.

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut :

1. Memberikan informasi kepada para orangtua dan calon orangtua tentang pentingnya mendidik anak dengan cinta dan kasih sayang serta menghindari didikan dengan kekerasan

2. Sebagai informasi kepada umumnya masyarakat, khususnya keluarga atau orangtua maupun calon orangtua tentang pandangan Islam dalam mendidik anak di keluarga

3. Memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan dalam lingkungan keluarga.

4. Memberikan kesadaran kepada masyarakat pada umumnya dan orangtua pada khususnya, bahwa mendidik anak dengan kekerasan akan berakibat buruk bagi perkembangan anak. Dengan demikian orangtua tidak akan melakukan tindakan yang merugikan anak tersebut.


(22)

10

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Acuan Teori

1. Konsep Pendidikan Anak a. Pendidikan

Pengertian pendidikan telah banyak dikemukakan oleh para pakar pendidikan, salah satunya sebagai berikut “Pendidikan adalah pemindahan nilai-nilai, ilmu, dan keterampilan dari generasi tua kepada generasi muda untuk melanjutkan dan memelihara identitas masyarakat tersebut.”8 Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena kondisi psikologisnya. Berkat kemampuan-kemampuan psikologis yang lebih tinggi dan kompleks dibanding dengan binatang inilah yang menjadikan manusia menjadi lebih maju, lebih banyak memiliki kecakapan, pengetahuan, dan keterampilan.

“Kondisi atau kemampuan psikologis yang dimiliki manusia itu merupakan karakteristik psikofisik seorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dan interaksi dengan lingkungannya. Perilaku-perilaku tersebut merupakan manifestasi dan ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor”.9

Dilihat dari kacamata individu “Pendidikan adalah upaya pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi, yaitu

8

Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 163-164.

9


(23)

untuk menggali, mengembangkan, dan memberdayakan kemampuan individual manusia agar ia dapat dinikmati oleh individu dan selanjutnya oleh masyarakat.”10 Dengan kata lain “pendidikan adalah transfer budaya, sementara kebudayaan masyarakat mana pun mengandung unsur akhlak atau etik, estetika, ilmu pengetahuan, dan teknologi”11 tujuan dari adanya pendidikan ini adalah pembentukan pola tingkah laku dan karakter. Dalam pencapaian pembentukan karakter seseorang, hal-hal yang perlu dijadikan kebiasaan tingkah laku adalah sopan santun atau etika, kebersihan dan kerapihan, kejujuran serta disiplin.

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. “Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.”12

Kenyataannya pengertian pendidikan ini selalu mengalami perkembangan, meskipun secara essensial tidak jauh berbeda. Untuk lebih memperkaya pemahaman tentang pendidikan dikemukakan oleh para ahli pendidikan, antara lain sebagai berikut:

1) “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.13

2) “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spirtual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

10

Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al- Husna, 1987), Cet. I, h. 4.

11

Maria Ulfah Anshor dan Abdullah Ghalib, Op.Cit., h. 25.

12

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 1.

13

UU Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 1 Ayat 1), Lihat Departemen Agama RI Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, (Dirjend. Binbaga Islam, Jakarta , 1991/1992), h. 3.


(24)

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”14

3) Menurut Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M) memandang, Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.

4) “Pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya.”15

5) John Stuart Mill (filsuf Inggris, 1806-1873 M) mengemukakan bahwa pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan. 6) H. Horne berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang terus

menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas, dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional, dan kemanusiaan dari manusia.

7) Edgar Dalle menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.

8) M.J. Longeveled menuliskan bahwa pendidikan merupakan usaha, pengaruh, perlindungan, bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.

14

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional .

15


(25)

9) Serta Plato menjelaskan bahwa pendidikan itu membantu perkembangan masing-masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang memungkinkan tercapainya kesempurnaan.

Pendidikan adalah proses pematangan kualitas hidup. Melalui proses tersebut diharapkan manusia dapat memahami apa arti, hakikat hidup, untuk apa, bagaimana menjalankan tugas hidup, dan kehidupan secara benar. Karena itulah fokus pendidikan diarahkan pada pembentukan kepribadian unggul dengan menitikberatkan pada proses pematangan kualitas logika, hati, akhlak, dan keimanan. Puncak pendidikan adalah tercapainya titik kesempurnaan kualitas hidup.16

“Hendaknya pendidikan dilaksanakan dengan memilih tindakan dan perkataan yang sesuai, menciptakan syarat-syarat dan faktor-faktor yang diperlukan”.17 Sehingga membantu seorang individu yang menjadi objek pendidikan supaya dapat dengan sempurna mengembangkan segenap potensi yang ada dalam dirinya, dan secara perlahan-lahan bergerak maju menuju tujuan dan kesempurnaan yang diharapkan.

Dari berbagai pandangan para tokoh ahli yang dikemukakan di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah serangkaian proses pematangan kualitas hidup yang dilaksanakan secara sadar dan terencana di sekolah maupun di luar sekolah dari generasi tua (orang dewasa) kepada generasi muda serta dilakukan secara berkesinambungan dengan memilih tindakan dan perkataan yang sesuai. Melalui proses tersebut diharapkan manusia dapat mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya dan dapat memahami apa arti, hakikat, untuk apa, serta bagaimana menjalankan tugas hidup dan kehidupan dengan benar. Oleh karena itu fokus pendidikan diarahkan pada pembentukan kepribadian yang unggul dengan menitikberatkan pada proses pematangan kualitas hati, keimanan, akhlak, kepribadian, logika (kecerdasan), serta keterampilan yang kiranya dibutuhkan oleh dirinya,

16

Dedy Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h.2.

17

Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik Anak, (Jakarta: Al-Huda, 2006), Cet. I, h. 4.


(26)

masyarakat, bangsa dan negara. Puncaknya adalah tercapainya kesempurnaan hidup dengan menjalankan syariat Allah SWT.

b. Anak

Anak merupakan amanah bagi orangtua. Amanah tersebut adalah titipan Allah SWT., yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Anak merupakan makhluk ciptaan Allah SWT., yang wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat, dan harga dirinya secara wajar, baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial, maupun budaya tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Anak adalah generasi penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa secara keseluruhan di masa yang akan datang.

Pengertian anak berkaitan dengan batas usia anak. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan tentang batasan yang dipakai berdasarkan kepentingan anak, apakah kepentingan anak mengenai kesejahteraan anak, perkawinan, ketenagakerjaan, atau berkaitan dengan kepentingan pidana, dan kepentingan perdata. Dalam Undang-undang No. 4 tahun 1979 yang mengatur tentang kesejahteraan anak, dinyatakan “anak adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun dan belum kawin.” Jadi jika seorang belum berusia 21 tahun tetapi sudah kawin maka tidak lagi sebagai anak. Batasan ini berbeda dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Bab I Pasal I tentang perlindungan anak menyebut “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”18

Dalam Undang-undang ini tidak dapat perbedaan apakah seseorang itu belum kawin atau sudah kawin. Dengan demikian bagi “seseorang yang berusia dibawah 18 tahun meskipun sudah atau pernah kawin dan mempunyai anak, masih kategori anak.”19

18

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), Cet. I, h. 302.

19

Endang Sumiami, Penddekatan Hukum pada Penanganan Kekerasan dan Penelantaran Anak, (Yogyakarta: UGM/RS. Dr Sardjito, 2002)


(27)

Ketentuan Undang-Undang Perdata menyebutkan, seseorang yang masih dalam kandungan jika kepentingannya menghendaki dianggap sebagai ahli waris jika lahir hidup, tetapi jika lahir mati dianggap tidak pernah ada (Pasal 2 B.W) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan seseorang yang berusia 16 tahun (pada waktu terjadi kasus) dianggap belum dewasa (Pasal 45 KUHP).

PBB tahun 1989 memberi batasan anak di bawah 18 tahun. Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang mengatur perkawinan memberi batasan sebagai berikut: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” (Pasal 7 ayat 1 UU No.4 tahun 1979).

Semua anak terlahir di dunia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran dengan baik dan benar. Hak pendidikan ini bagi anak bersifat komprehensif, baik dalam mengembangkan nalar berfikirnya (pengembangan intelektual), dan menanamkan sikap perilaku yang mulia (penanaman akhlak), memiliki keterampilan untuk kehidupannya, dan menjadikannya sebagai manusia yang memiliki kepribadian yang baik sehingga dapat menjalankan kehidupan sesuai syariat Allah SWT.

Berikut ini adalah pengertian anak menurut firman Allah SWT.,: 1) Merupakan karunia serta nikmat dari Allah SWT.

ۡمأ

ۡـ

ۡمأب م

ٲ

۬

عج ي ب

ۡـ

ۡم

أۡڪ

ا يف ث

“... dan Kami membantu dengan harta kekayaan dan anak, dan kami jadikan kamu kelompok yang besar” (Q.S. Al-Isra[17]: 6) 2) Perhiasan kehidupan dunia

ۡا

ۡ

ي

ۡ

يح

ۡاي

Harta dan anak-anak merupakan perhiasan dunia...” (Q.S. Al -Kahfi[18]: 46)

3) Pelengkap kebahagiaan hidup dalam keluarga


(28)

“... Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai penyenang hati...” (Q.S. Al -Furqon[25]: 74)

4) Sebagai bentuk anugerah Allah SWT., bagi orang yang senang berdzikir dan senantiasa mohon ampun20

Maka aku katakan kepada mereka’ mohon ampunanlah kalian

kepada Tuhan kalian. Sesungguhnya Dia MahaPengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan dengan lebat, dan membanyakan harta, dan anak-anakmu, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan sungai-sungai.” (Q.S. Nuh[71]: 10-12). Dalam pengertian khusus menurut ajaran Islam, anak adalah generasi penerus untuk melanjutkan kelangsungan turunan. Sedangkan dalam arti yang lebih luas, anak adalah generasi penerus yang akan mewarisi kepemimpinan dibidang keagamaan, kebangsaan dan kenegaraan. “Anak harus dijamin hak-hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya, oleh karena itu segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak anak dalam berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi yang tidak berprikemanusiaan harus dihapuskan tanpa kecuali.”21

Pendidikan bagi anak meupakan kebutuhan vital yang harus diberikan dengan cara-cara yang bijak untuk menghantarkan menuju kedewasaan dengan baik. Kesalahan dalam mendidik anak di masa kecil akan mengakibatkan rusaknya generasi yang akan datang. Ayah, Ibu, atau orang dewasa lainnya yang turut mempengaruhi pembentukan

20

Mufidah Ch, Op.Cit., h. 300-301.

21


(29)

kepribadian anaklah yang paling besar pengaruhnya terhadap tumbuh kembang anak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,:

ْطفْا ى ع ي ْ م ك

ْ أ ا ّ ي ْ أ ا ي ا بأف

اسّ ي

Setiap anak lahir dalam keadaan suci, orangtua-nyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Ahmad, Thabrani, dan Baihaqi). (311-312)

Mengacu berbagai peraturan Undang-Undang dan dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih berada di dalam kandungan atau anak adalah seseorang yang berusia di bawah 17 tahun. Hal ini berdasarkan bahwa secara psikologis seseorang yang berusia 17 tahun telah muncul kesadaran akan kepribadian dan kehidupan batiniyah sendiri, sekaligus perkuatan rasa AKU. Anak mulai menemukan nilai-nilai tertentu dan melakukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etnis.22 Dengan kata lain, seseorang yang berusia 17 tahun yang mempunyai kesadaran dan kepribadian sehingga perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Pada usia 17 tahun seorang juga sudah harus mempunyai KTP dan pada usia ini seseorang juga sudah harus mempunyai KTP dan pada usia ini seseorang mempunyai hak kewarganegaraan antara lain untuk menyalurkan aspirasinya melalui pemilihan umum.

Anak merupakan titipan Allah SWT., yang diamanahkan kepada orangtua dan menjadikannya sebagai penyenang hati dan perhiasan dunia yang nantinya amanah Allah SWT., tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya di akhir masa kehidupan setiap individu (orangtua). Karenanya pendidik (orangtua) dapat ditempatkan Allah SWT., di dalam surga maupun neraka. Anak pula yang nantinya akan

22


(30)

melanjutkan kelangsungan hidup keturunan sebagai generasi mewarisi penerus kepemimpinan dalam bidang agama, bangsa, dan kenegaraan.

b. Pendidikan Anak

Bagi orang yang beragama Islam, berbicara pendidikan anak tidak lepas dari pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan anak didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Tujuan pendidikan Islam adalah meningkatkan keimanan, pemahaman, pengetahuan, pengalaman anak didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah serta berakhlak manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.

Dasar pendidikan Islam, dasar atau fundamen dari suatu bangunan adalah bagian dari bangunan yang menjadi sumber kekuatan, keteguhan, serta tetap berdirinya bangunan itu. Pada suatu pohon, dasar itu adalah akarnya. Dasar pendidikan Islam itu adalah Firman Allah SWT., dan Sunnah Rasulullah SAW. Kalau pendidikan diibaratkan bangunan, maka isi Al-Qur’an dan Al-Sunnah-lah yang menjadi fundamennya.23 Sebagaimana firman Allah SWT., dalam Q.S. An-Nisa[4]: 59 sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia

23


(31)

kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa [4]: 59).

Dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Al-sunnah, para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanam rasa fadillah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, jujur. Maka tujuan pokok dan yang paling utama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.24

Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa “tujuan pendidik Islam adalah indentik dengan tujuan hidup setiap Muslim.”25 Tujuan tersebut di dasarkan pada ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah Aku” (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56)

Pendapat lain mengatakan bahwa “tujuan akhir dari pendidikan Islam itu terletak dalam realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara perorangan, masyarakat, maupun sebagai umat manusia secara keseluruhan.”26

...

ي

يّ

ۡ م

ْا

ۡعي

ا إ

ْا

ٓ مأ

ٓام

Dan mereka tidak disuruh melainkan agar menyembah Allah dan dengan ikhlas beragama kepada-Nya...” (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5).

24

Moh. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Dari al-Tarbiyyah al-Islamiyyah oleh H. Butami A. Gani, dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. II, hlm. 15.

25

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT

Al-Ma’arif, 1980), Cet. VI, h. 48.

26

H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bina Aksara, 1991), Cet. I, h. 41.


(32)

Tujuan Pendidikan Islam yang ditetapkan dalam Kongres Sedunia tentang Pendidikan Islam sebagai berikut:

Education should aim at the ballanced growth of total personality

of man through the training of man’s spirit, intelect the rational

self, feeling and bodily else. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspect, spiritual, intelektual, imaginative, physical, scientifict, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspect toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realizatoin of complex submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.27

Selain itu, tujuan pendidikan Islam juga dalam rangka menjadikan manusia agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Tujuan ini sejalan dengan ayat sebagai berikut:

ۡ إ

ۡ كب اق

ٓـٕٮ

۬ عاج ى إ

ىف

ۡ

ۡ أ

۬ في خ ض

ۖ

...

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di

muka bumi...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30).

Rumusan tujuan pendidikan Islam juga diarahkan pada terbentuknya manusia yang memiliki sikap hidup yang seimbang antara mementingkan urusan dunia dan mementingkan urusan akhirat.

Rumusan tujuan pendidikan Islam memiliki karakteristik sebagai berikut:28

1) Diarahkan pada terwujudnya manusia yang baik dan ideal, yaitu manusia yang berakhlak mulia, berkepribadian utama, menjadi orang yang taat kepada Allah, melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, bersikap seimbang mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dan terbina seluruh potensinya secara maksimal, baik potensi fisik biologis, intelektual, spiritual, dan sosialnya.

27

Second Word Conference on Muslim Education, International Seminar on Islamic Concept and Curricula, Recommendation, (Islamabad, 15- to 20, March, 1980).

28


(33)

2) Membimbing dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki manusia, baik potensi fisik biologis, intelektual, spiritual maupun sosial dengan berdasarkan pada keimanan dan akhlak mulia.

Kesimpulannya di dalam Islam, tujuan tertinggi pendidikan adalah untuk mewujudkan manusia yang baik. Pengertian manusia baik di sini bukanlah sosok manusia yang kuat, pintar, kaya, berpengaruh atau populer, melainkan manusia yang memahami hakikat dirinya sebagai hamba Allah yang menjadikan kehidupannya sebagai sarana pengabdian kepada-Nya.

Orang yang paling sempurna penghambaannya kepada Allah adalah Nabi Muhammad SAW., Hal itu tercermin dari perilakunya. Beliau adalah contoh ideal dalam segala hal. Bila bicara tentang rumah tangga, beliau adalah suami dan ayah terbaik. Bila bicara mengenai pendidikan, beliau adalah guru yang paling baik. Bila bicara mengenai negara, beliau adalah pemimpin atau negarawan yang paling baik. Bila bicara mengenai peran di masyarakat, beliau adalah anggota masyarakat yang paling baik. Bila bicara mengenai perniagaan beliau adalah pedagang yang paling baik. Bila bicara mengenai pergaulan beliau merupakan sahabat yang paling baik. Pendeknya, semua kebaikan terhimpun pada diri beliau. Itu sebabnya Al-Qur’an menyebutkan:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suru teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21).

Jadi pada dasarnya, visi pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia shaleh. Sedangkan penjabarannya dapat ditemukan pada diri Rasulullah karena semua gambaran mengenai kepribadian yang terbaik


(34)

dapat ditemukan pada diri beliau. Itu sebabnya beliau dijadikan Allah sebagai teladan bagi seluruh manusia.

2. Konsep Pendidikan Keluarga a. Pengertian Keluarga

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan “Keluarga: Ibu, bapak dan anak-anaknya, satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat.”29 Keluarga (kawla warga) merupakan sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang memiliki tempat tinggal dan ditandai kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya, serta berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang anggotanya. Suatu ikatan hidup yang didasarkan karena terjadinya perkawinan, juga bisa disebabkan karena persusuan atau muncul perilaku pengasuhan.

Menurut psikologi, keluarga bisa diartikan sebagai dua orang yang berjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan fungsi yang saling terkait karena sebuah ikatan batin, atau hubungan perkawinan yang kemudian melahirkan ikatan sedarah, terdapat pula nilai kesepahaman, watak, kepribadian yang satu sama lain saling mempengaruhi walaupun terdapat keragaman, menganut ketentuan norma, adat, nilai, yang diyakini dalam membatasi keluarga dan yang bukan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun di atas perkawinan/pernikahan terdiri dari ayah/suami, ibu/istri, dan anak.30

“Keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan anggotanya dalam mencari makna kehidupan.”31

29

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 471.

30

Mufidah Ch, Op.Cit., h. 38.

31

A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), Cet. I, h. 203.


(35)

Sebagaimana yang ditulis Mufidah Ch, “bentuk-bentuk keluarga, keluarga dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:” 32

1) Keluarga inti, yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak, atau hanya ibu atau bapak atau nenek dan kakek.

2) Keluarga inti terbatas, yang terdiri ayah dan anak-anaknya, atau ibu dan anak-anaknya.

3) Keluarga luas (exended family), yang cukup banyak ragamnya seperti rumah tangga nenek yang hidup dengan cucu yang masih sekolah, atau nenek dengan cucu yang telah kawin, sehingga istri dan anak-anaknya hidup numpang juga.

Keluarga memiliki beberapa jenis, Robert R. Bell (1979) mengatakan ada tiga jenis hubungan keluarga: 33

1) Kerabat dekat (conventional kin), kerabat dekat yang terdiri dari individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, seperti suami istri, orangtua, anak, dan antar saudara (siblings).

2) Kerabat jauh (discretionari kin), kerabat jauh terdiri dari individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi atau perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih lemah daripada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi diantara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman, bibi, ponakan, dan sepupu.

3) Orang yang dianggap kerabat (fictive kin), seorang dianggap kerabat karena adanya hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar teman akrab.

32

Mufidah Ch, Loc.Cit., h. 40. Lihat juga Atashendartini Habsjah, Jender dan Pola Kekerabatan dalam TO Ihromi (ed), Bunga Ramapai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004) h. 218.

33

Mufidah Ch, Ibid., h. 41. Liat juga Evelyn Suleema, Hubungan-hubungan dalam Keluarga, dalam TO Ihromi (ed), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 91.


(36)

Dilihat dari fungsinya, menurut Djudju Sudjana (1990) fungsi keluarga, secara sosiologis ada tujuh macam fungsi, yaitu:

1) Fungsi biologis, perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar memperoleh keturunan, dapat memelihara kehormatan serta martabat manusia sebagai makhluk yang berakal dan beradab. Fungsi biologis inilah yang membedakan perkawinan manusia dengan binatang, sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma perkawinan yang diakui bersama.

2) Fungsi edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggotanya dimana orangtua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam dimensi kognisi, afektif maupun skill, dengan tujuan untuk mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan profesional. Pendidikan keluarga Islam sebagaimana firman Allah SWT., dalam Q.S. At-Tahrim[66]: 6 sebagai berikut:

ٓـي

اہيأ

ي

ماء

ْا

ٓ ق

ْا

ۡم سف أ

ۡ أ

ۡم ي

۬ ا

ا

ا ق

سا

ۡ

اّح

Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (Q.S. At-Tahrim[66]: 6)

Fungsi edukatif ini merupakan bentuk penjagaan hak dasar manusia dalam memelihara dan mengembangkan potensi akalnya. Pendidikan keluarga sekarang ini pada umumnya telah mengikuti pola keluarga demokratis dimana tidak dapat dipilah-pilah siapa belajar kepada siapa. Peningkatan pendidikan generasi penerus berdampak pada pergeseran relasi dan peran-peran anggota keluarga. Karena itu bisa terjadi suami belajar kepada istri, bapak atau ibu belajar kepada anaknya. Namun teladan baik dan tugas-tugas pendidikan dalam keluarga tetap menjadi tanggungjawab kedua orangtua.


(37)

3) Fungsi religius, keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral agama melalui moral agama melalui pemahaman, penyadaran dan praktek dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta iklim keagamaan di dalamnya. Dalam Q.S. Al-Luqman: 13 mengisahkan peran orangtua dalam keluarga menanamkan aqidah kepada anaknya sebagaimana yang dilakukan Luqman al-Hakim terhadap anaknya.

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,

diwaktu ia memberi pelajaran; hai ananda, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”(Q.S. Al-Luqman [31]: 13).

Dengan demikian keluarga merupakan awal mula seorang mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Penanaman aqidah yang benar, pembiasaan ibadah dengan disiplin, dan pembentukan kepribadian sebagai seorang yang beriman sangat penting dalam mewarnai terwujudnya masyarakat religius.

4) Fungsi Protektif, dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal segala pengaruh negatif yang masuk di dalamnya. Gangguan internal dapat terjadi dalam kaitannya dengan keragaman kepribadian anggota keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan, dapat menjadi pemicu lahirnya konflik bahkan juga kekerasan. Kekerasan dalam keluarga biasanya tidak mudah dikenali karena berada di wilayah privat, dan terdapat hambatan psikis dan sosial maupun norma budaya dan agama untuk diungkap secara publik. Adapun gangguan eksternal keluarga biasanya lebih mudah dikenali oleh masyarakat karena berada pada wilayah publik. 34

34


(38)

5) Fungsi sosialisasi, adalah berkaitan dengan mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik, maupun memegang norma-norma kehidupan secara universal baik inter relasi dalam keluarga itu sendiri maupun dalam menyikapi masyarakat yang pluralistik lintas suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa, maupun jenis kelaminnya. Fungsi sosialisasi ini diharapkan anggota keluarga dapat memposisikan diri sesuai dengan status dan struktur keluarga, misalnya dalam konteks masyarakat Indonesia selalu memperhatikan bagaimana anggota keluarga satu memanggil dan menempatkan anggota keluarga lainnya agar posisi nasab tetap terjaga.

6) Fungsi rekreatif, bahwa keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga. Fungsi rekreatif ini dapat mewujudkan suasana keluarga yang menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan menghibur masing-masing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang, dan setiap anggota keluarga merasa “rumahku adalah surgaku”. 7) Fungsi ekonomis, yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis

dimana keluarga memiliki aktifitas mencari nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan, dan bagaimana memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikan secara adil, dan proporsional serta dapat mempertanggungjawabkan kekayaan dan harta bendanya secara sosial maupun moral.

Ditinjau dari ketujuh fungsi keluarga tersebut, maka jelaslah bahwa “keluarga memiliki fungsi vital dalam pembentukan individu. Oleh karena itu keseluruhan fungsi tersebut harus terus menerus dipelihara. Jika salah satu dari fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan, maka akan terjadi ketidakharmonisan dalam sistem keteraturan dalam


(39)

keluarga.”35 Terkait dengan pendidikan anak, keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan yang alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan, khususnya bagi anak-anak. Melalui keluargalah anak-anak dapat belajar segala hal yang baik untuk bekal kehidupannya kelak.

b. Pendidikan Anak dalam Keluarga

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, keluarga sekurang-kurangnya terdiri atas ayah, ibu (orangtua), dan anak.

1) Pengertian orangtua

Orangtua dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan: “1) ayah dan ibu kandung, 2) orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli, dan sebagainya), 3) orang yang disegani/dihormati dikampung.”36 Orangtua merupakan sebutan yang umum digunakan bagi bapak dan ibu oleh seorang anak. Sebutan bapak untuk orangtua yang berjenis kelamin laki-laki dan ibu adalah untuk sebutan orangtua yang berjenis kelamin perempuan.

Orangtua adalah yang pertama kali bertanggunng jawab penuh untuk membesarkan anaknya hingga tumbuh menjadi besar dan dewasa, dengan memberikan kasih sayang yang tulus baik berupa moril maupun materil, karena adanya pertalian darah yang erat. Dengan harapan kelak anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas, berguna bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara.

Orangtua dalam hal ini yaitu ayah dan ibu memiliki kedudukan masing-masing. Dimana ayah sebagai kepala keluarga dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Namun pada hakekatnya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dalam memelihara, membina, mendidik, dan mematuhi kebutuhan anak-anaknya.

35

Mufidah Ch, Ibid., h. 42-47. Lihat juga Djudju Sudjana, dalam Jalaludin Rahmat, (ed), KeluargaMuslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 1990).

36

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


(40)

“Islam menegaskan bahwa ayah adalah pemimpin keluarga. Tugas pemimpin keluarga adalah memberi dan mengatur ke mana arah biduk rumah tangga ini akan dituju. Dalam pendidikan anak, ayah menempati posisi yang cukup penting. Penelitian di dunia psikologi modern menunjukan bahwa ternyata pola pengasuhan ayah memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk kepercayaan diri dan kecerdasan anak di masa yang kan datang. Menutrut Erik H. Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan anak, pada masa awal kehidupannya, bayi memerlukan kepercayaan dasar (basic trust). Kehangatan dan kasih sayang yang diperoleh bayi pada saat ini akan membentuk kepercayaan anak terhadap lingkungannya, apakah ia akan percaya”atau tidak dengan orang-orang di sekitarnya.”37

Peran dan kasih sayang orangtua tidak pernah mengenal batas sampai kapanpun, orangtua adalah pendidik yang pertama bagi anak dilingkungan keluarga. Pengorbanan seorang ibu tidak mungkin tergantikan dengan uang sebanyak apapun. Kesulitan semasa hamil, kesakitan melahirkan, serta kesabaran tatkala mengasuh, merawat, dan mendidik anak, semuanya dilakukan dengan penuh ketulusan tanpa mengharap suatu pamrih atau imbalan. Tidak ada keluh kesah dan penyesalan di hatinya. Seperti kata pepatah “Kasih Ibu sepanjang masa hanya memberi tak harap kembali”. Dari pepatah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kasih sayang Sang Ibu terhadap anak-anaknya dilakukan dengan tulus murni dan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun dari anaknya, walaupun pada saat melahirkan nyawa menjadi taruhannya.

Ibu merupakan “madrasah pertama” bagi anaknya, dan tak ayal lagi ibu menjadi sosok yang sangat dicintai dan dihormati. Dari ibu seorang anak belajar memupuk mimpi tentang masa depan dan berlatih menghadapi kerasnya kehidupan. Seorang ibu memiliki kedudukan yang mulia dan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak.

37

Wendi Zarman, Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah itu Mudah dan lebih Efektif, (Bandung: Ruang Kata, 2011), Cet. I, h. 8-10.


(41)

Begitu pula seorang ayah sebagai orangtua kandung laki-laki dan sekaligus sebagai kepala keluarga pasti juga menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, karena ayah merupakan sosok manusia yang sangat diandalkan dalam keluarga. Dalam hal ini Ngalim Purwanto menyatakan, bahwa “peran ayah dalam pendidikan anaknya yang lebih dominan sebagai berikut”:38

a) Sumber kekuasaan di dalam keluarga

b) Penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar c) Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga

d) Pelindung terhadap ancaman dari luar

e) Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan f) Pendidik dalam segi rasional.

2) Tugas dan tanggung jawab orangtua

Orangtua adalah orang dewasa yang memikul tanggung jawab dalam pendidikan sehingga orangtua yang selalu memperhatikan terhadap pendidikan anaknya pasti ia akan menanamkan pendidikan yang mengarah pada intelegensi juga pendidikan agama (moral). Adalah pendidikan akal yang harus diberikan orangtua terhadap anak yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dirinya. Setiap orangtua ingin memberi pelajaran dan pendidikan menurut moral yang dianutnya, agar keturunannya memperoleh kehidupan yang lebih baik. Karena moral itulah yang akan membentuk tingkah laku dalam kehidupannya serta dapat memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Orangtua amat besar dalam mendidik anak dengan pendidikan jasmani, intelektual, dan mental spiritual, baik melalui teladan yang baik atau pengajaran (nasihat-nasihat), sehingga kelak ia dapat memetik tradisi-tradisi yanng benar dan pijakkan moral sempurna.

38

Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teorits dan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1991), h. 91-92.


(42)

Orangtua bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan perkemangan anak, dengan dasar bahwa anak adalah titipan yang dipercayakan Allah SWT., untuk dipelihara dan harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Jadi tugas dan tanggung jawab orangtua dalam mendidik dan memberikan dukungan motivasi, fasilitas, dan perilaku yang baik agar tertanam dalam diri seorang anak pendidikan yang mengarah kepada intelegensi dan pendidikan agama (moral).

Menjadi orangtua berarti siap menjadi seorang pendidik, dan siap dengan pengetahuan untuk mendidik. Mendidik berarti membimbing anak kearah kedewasaan, untuk itu diri orangtua sendiri harus telah dewasa, dan harus menyadari akan tanggungjawabnya sebagai pendidik bagi anaknya.

3) Sikap dan gaya orangtua dari perspektif psikologi

Sangatlah penting bahwa orangtua atau pendidik menyadari ciri-ciri anak didik manakah yang perlu dipupuk untuk menumbuhkan pribadi-pribadi yang kreatif. Biasanya pendidik atau orangtua kurang menyadari dampak dari sikap mereka terhadap perkembangan kepribadian anak.

Beberapa contoh sikap pendidik yang kurang menunjang kreatifitas anak adalah:

a) Sikap terlalu khawatir atau takut-takut, sehingga anak terlalu dibatasi dalam kegiatan.

b) Sikap terlalu mengawasi anak.

c) Sikap yang menekankan pada kebersihan dan keteraturan yang berlebihan.

d) Sikap menuntut kepatuhan mutlak dari anak tanpa memandang perlu mempertimbangkan alasan-alasan anak.

e) Sikap yang lebih tahu dan sikap yang lebih benar.

f) Sikap yang menganggap bahwa berkhayal itu tidak baik, tidak berguna karena membuang-buang waktu.


(43)

g) Sikap mengkritik prilaku dan pekerjaan anak.

h) Sikap yang jarang memberi pujian atau penghargaan terhadap usaha untuk karya anak.

Adapun Santrock, “seorang psikolog pendidikan Universitas Texas mengemukakan ada empat gaya pengasuhan orangtua yang bisa berdampak positif dan negatif terhadap anak.”39 Gaya pengasuhan tersebut adalah:

a) Gaya otoriter (Outoritative Parenting) b) Gaya berwibawa (Authoritarian Parenting) c) Gaya acuh-tak acuh (Neglectful Parenting), dan d) Gaya pemanja (Indulguent Parenting).

Orangtua dengan gaya otoriter (Outoritative Parenting) akan mendesak anak-anaknya untuk mengikuti petunjuk-petunjuk dan menghormati mereka. Untuk itu, mereka tidak segan-segan menghukum anak secara fisik. Orangtua memberi batasan-batasan pada anak-anaknya secara keras mengontrol mereka dengan ketat. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga seperti ini mengalami banyak masalah psikologis yang dapat menghambat mereka untuk belajar. Di rumah mereka cenderung cemas dan merasa tidak aman. Di sekolah, mereka juga tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Dengan demikian mengalami banyak kesulitan dalam bergaul dengan teman-temannya. Mereka memiliki keterampilan berkomunikasi yang sangat rendah sehingga menimbulkan banyak hambatan psikologis.

Orangtua dengan gaya berwibawa (Authoritarian Parenting) akan mendorong anak-anaknya untuk hidup mandiri. Ketika dibutuhkan mereka memberi pengarahan dan dukungan. Bila anak-anaknya membuat kesalahan, orangtua mungkin menaruh tangan di pundak anaknya dan dengan menghibur berkata “kamu tahu, harusnya kamu tidak melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu

39

Monty P, Satia darma, dan Fidelis F. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), h. 123-125.


(44)

bisa mengatasi situasi ini lain kali”. Dengan demikian, anak-anak sudah diajarkan bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri. Anak-anak mengembangkan kemampuan bersosialisasi, percaya diri, dan mampu bekerja sama dengan orang lain. Kesulitan-kesulitan yang mereka alami tidak menjadi beban psikologis yang menghambat mereka untuk belajar.

Orangtua dengan gaya acuh-tak acuh (Neglectful Parenting) akan cenderung bersikap permisif, membolehkan anaknya melakukan apa saja. Biasanya, orangtua tidak terlalu terlibat dalam kehidupan anaknya. Anak-anaknya disini mengalami kekurangan kasih sayang dan kurang mendapat “perhatian” yang sangat mereka butuhkan. Anak-anak seperti ini tidak mampu bersosialisasi dan memiliki kontrol diri yang sangat rendah. Tidak ada kontrol diri ini mengakibatkan banyak masalah psikologis yang mereka hadapi dan mengganggu konsentrasi belajar mereka baik di rumah maupun di sekolah. Selain itu, anak-anak biasanya tidak memiliki motivasi untuk belajar apalagi berprestasi.

Orangtua dengan gaya pemanja (Indulguent Parenting), hampir setiap orangtua dengan gaya pemanja, akan terlalu terlibat dalam urusan anak-anaknya dengan memberikan semua yang diminta oleh anaknya. Orangtua juga sering memberikan anak-anaknya melakukan apa yang mereka inginkan dan mendapatkan dengan cara mereka apa yang mereka maui. Hasilnya, anak-anak dalam keluarga ini biasanya tidak belajar untuk mengontrol diri atas tingkah lakunya dan menemui banyak kesulitan psikologis karena ketidak mandirian mereka atau karena ketergantungan mereka pada orang lain.

“Prof. Dr Singgih D Guna dan Dra. Singgih Gunarsa mengemukakan bahwa corak hubungan orangtua-anak dapat dibedakan menjadi tiga pola, yaitu:” 40

40

Singgih D Gunarsa dan Ny. Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1995), Cet. VII, h. 82-84.


(45)

a) Pola Asuh Otoriter

Pola ini menentukan aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Anak harus patuh dan tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Cirinya : orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat anak tanpa memberikan penjelasan dan alasannya, apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskan, anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan alasan sebelum hukuman diterima, pada umumnya hukuman berbentuk hukuman fisik, orangtua tidak atau jarang memberi hadiah baik berupa kata-kata atau bentuk lain apabila anak berbuat sesuai dengan harapan orang tua.

b) Pola Asuh Demokratis

Pola ini memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan yang tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah pihak, anak dan orangtua. Cirinya: apabila anak harus melakukan aktifitas, orangtua memberikan penjelasan alasan perlunya hal tersebut dilaksanakan, anak diberi kesempatan untuk memberi alasan mengapa ketentuan dilanggar sebelum menerima hukuman, hukuman diberikan berkaitan dengan perbuatannya berat atau ringan tergantung pada pelanggarannya, serta hadiah atau pujian diberikan orangtua. c) Pola Asuh Bebas (Permisif)

Pola ini mengarahkan orangtua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang yang memberi batasan-batasan dari tingkah lakunya. Hanya pada hal-hal yang dianggapnya sudah “keterlaluan” orangtua baru bertindak. Cirinya: tidak ada aturan yang diberikan orangtua, tidak ada hukuman, dan ada anggapan bahwa anak akan belajar dari tindakannya yang salah.


(46)

3. Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga

Keluarga adalah kelompok manusia pertama yang ditemui setiap anak yang baru dilahirkan. Keluarga juga merupakan media pertama dan satu-satunya selama beberapa tahun yang mentransformasikan nilai-nilai, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan anak selanjutnya. “Hal ini akan tampak jelas ketika anak itu kemudian dewasa, anak-anak yang mendapat pengasuhan baik dan memperoleh pendidikan cukup dalam keluarga akan berbeda dengan anak-anak yang pengasuhannya dalam keluarga tidak baik dan tidak memperoleh dasar pendidikan yang cukup”.41 Ada beberapa hal penting yang perlu ditanamkan oleh keluarga muslim kepada anak-anaknya, diantaranya sebagai berikut:

a. Adab kepada Allah

Adab kepada Allah yang paling utama adalah mengesakan Allah (Tauhidullah). Ini merupakan prinsip yang paling utama di dalam Islam karena semua nilai di dalam Islam dibangun atas prinsip ini. Ini pulalah yang menjadi misi utama para Nabi dan Rasul yang diutus Allah ke bumi. Meskipun Nabi dan Rasul diutus dengan syariat yang berbeda-berbeda, namun mereka disatukan oleh misi ini.

Dalam mengajarkan tauhidullah ini, hal pertama yang perlu ditanamkann kepada anak adalah bahwa Allah itu ada, dan Dia tunggal. Hanya ada satu Tuhan, tidak ada Tuhan selain Allah. Ia mencipta, memelihara, dan memiliki segala sesuatu. Ia tidak punya dan tidak memerlukan apapun dalam mengerjakan semua ini. Semua makhluk bergantung kepada-Nya. Tidak pula ada yang serupa dengan-Nya. Ia mengetahui segala yang ada di langit dan bumi dengan serinci-rincinya, serta Ia tidak hanya mengetahui segala yang nampak, tetapi juga segala sesuatu yang tersembunyi.

41

Muchlis M. Hanafi, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Pembangunan Generasi


(47)

Keberadaan Allah dapat dikenali melalui berbagai ciptaan-Nya, baik yang ada di langit dan di bumi. Itu merupakan salah satu hikmah Allah menciptakan alam semesta ini, yaitu sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal-Nya. “Untuk menanamkan keyakinan Allah itu ada, maka ajaklah anak-anak untuk memikirkan berbagai ciptaan Allah yang dikenalnya. Seperti dengan menyelami keindahan yang ada di alam semesta, seperti matahari, bintang, bulan, bumi, gunung, laut, daratan, pepohonan, hewan-hewan, dan termasuk dirinya sendiri.”42

b. Adab kepada Rasulullah

Rasulullah adalah orang yang paling mulia dikalangan manusia. Ia dimuliakan oleh Allah dan seluruh malaikat, serta orang-orang yang beriman. Maka adab kepada Rasulullah adalah dengan cara memuliakan dan menghormati beliau. “Anak-anak hendaknya sejak awal diperkenalkan kepada kepribadian Rasulullah yang mulia sehingga menimbulkan rasa kagum bagi anak-anak. Pengenalan ini termasuk kebiasaan-kebiasaannya, tutur katanya, tingkahlakunya, nasehat-nasehatnya, para keluarganya, para sahabatnya, dan lain-lain.”43

c. Adab kepada Orangtua

Orangtua hendaknya mengajarkan tentang pentingnya untuk berbuat baik kepada orangtua, dengan bersikap hormat, patuh, berbakti dan selalu berkata dengan perkataan dan cara yang baik.

d. Adab kepada Diri Sendiri

Orangtua hendaknya mengajarkan anak tentang hakikat diri sang anak sebagai manusia. Anak perlu diarahkan dan dituntun untuk mengenali hal apa saja yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Hal ini agar cenderung kepada hal-hal yang baik dan menghindari yang buruk. Seperti kata semboyan “Jika kamu mengenal dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu”.

42

Wendi Zarman, Op.Cit., h. 85.

43


(1)

Hanafi,Muchlis M. Tafsir Al-Qur’an Tematik; Pembangunan Generasi Muda. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011.

Harian Kompas, 3 Maret 2006

Hasbullah.Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. Iryani,Siti Wahyu Pengaruh Sikap Orang Tua terhadap Tingkat Kenakalan Anak, Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 33 nomor 3, September 2009.

Kartono,Kartini.Psikologi. Bandung: Alumni, 1979. Kedaulatan Rakyat, Desember 2009.

Langgulung,Hasan.Asas-asas Pendidikan Islam.Jakarta: Pustaka Al- Husna, Cet. I, 1987.

Marimba,Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.Bandung: PT Al-Ma’arif, Cet. VI, 1980.

Mulyasana,Dedy.Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing.Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. I, 2011.

Nata,Abudin.Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Nawawi,Imam.Ringkasan Riyadhush Shalihin, Terj. Dari Mukhtashor Riyaadhush Shoolihiin oleh Abu Khodijah Ibnu Abdurrohim. Bandung: Irsyad Baitus Salam, Cet. I,2006.

Natsir, Muhammad.Kapita Selekta.Bandung: Gravenhage, 1954.

P,MontySatia Darma, dan Fidelis F. Waruwu.Mendidik Kecerdasan. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003.

Purwanto,Ngalim Ilmu Pendidikan Teorits dan Praktis.Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1991.

Rahmat, Jalaludin.KeluargaMuslim dalam Masyarakat Modern.Bandung: Remaja Rosyda Karya, 1990.

Ratna, NyomanKutha. Metodelogi Penelitian;Kajian Budaya dan IlmuSosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: PustakaPelajar, Cet.I, 2010.


(2)

80

Sa’ad, Musthafa Abu. Smart Parenting 30 Strategi Mendidik Anak Cerdas Emosional, Spiritual, Intelektual. Jakarta: Maghfirah Pustaka, Cet. II, 2008.

Second Word Conference on Muslim Education, International Seminar on Islamic Concept and Curricula, Recommendation. Islamabad, 15- to 20, March, 1980.

Siti Wahyu Iryani, Relevansi Keluarga Harmonis terhadap Kenakalan Remaja, Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 35 nomor 4, Desember 2011. Suleema,Evelyn.Hubungan-hubungan dalam Keluarga.dalam TO Ihromi (ed),

Bunga Rampai Sosiologi Keluarga.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.

Sumiami,Endang.Penddekatan Hukum pada Penanganan Kekerasan dan Penelantaran Anak.Yogyakarta: UGM/RS. Dr Sardjito, 2002.

Suryani. Kebutuhan Pelayanan Sosial Bagi Anak Korban Tindak Kekerasan dalam Keluarga,Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, 1 Maret, Vol. 34, 2010.

Tarmudji, Tarsis. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Agresifitas Remaja, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.2002.

UU Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 1 Ayat 1), Lihat Departemen Agama RI Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, (Dirjend. Binbaga Islam, Jakarta , 1991/1992).

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 1.

UU RI Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004. Yasin,A. Fatah.Dimensi-dimensi Pendidikan Islam.Malang: UIN Malang Press,

Cet. I, 2008.

Zarman,Wendi.Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah itu Mudah dan lebih Efektif.Bandung: Ruang Kata, Cet. I, 2011.

Zed,Mestika.MetodePenelitianKepustakaan.Jakarta: YayasanObor Indonesia, Cet.II,2008.


(3)

Jurusan

: Pendidikan Agama Islam

Judul Skripsi : Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Tanpa Kekerasarl)

No Judul Buku/Referensi Paraf

Pembimbing BAB

I

1. Zaktah Darudjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (IakaJtat Cy Ruhama, 1995), Cet. II, h. 47

2 Imam Nawawi, Ringkasan Riyadhush Shalihin, Terj. Dari

Mukhtashor Riyaadhush Shoolihiin oleh Abu Khodijah Ibnu Abdurrohim, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), Cet. I, h. 56.

3 Suryani, Kebutuhan Pelayanan Sosial Bagi Arak Korban

Tindak Kekerasar dalam Keluarga Media Informasi

Penelitian Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Badan

Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraar Sosial, 1 Maret

2010), Vol.34, h.47.

4 Harian Kompas, 3 Maret 2006.

,'v1

5 Kedaulatar Rakyat, Desember 2009.

zna

6 Maria Ulfah Aashor dan Abdullah Ghalib, Palenting

vith

Zore, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010), Cet. I, h. 8.

/'i.4

7 Asadulloh Al-Faruq,

Ibu

Galak Kasihan Anak, (Solo:

Kiswah Media, 2011), Cet. I, h.14.

..41'"{

BAB

II

8 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan

Multi.lisipliner, (JakaJta: PT Raja Grahndo Persada, 2009),

h. t63-164.


(4)

82

9 Hasaa Langgulung, lsas-asas Pendidikan Islam, (lakarta:

Pustaka A1- Husna, 1987), CeL I, h. 4.

-4^{

10 Hasbullah, Dasar-dasar

llmu

Pendidikak, (Jakaxta: pT

RajaGrahndo Persada, 2006), h. 1.

1t IJU Nomor

2

Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Pasal 1 Ayat 1), Lihal Departemen Agama RI

Hinlpuan

Perdtulan

Petwldang-unddngah Sistem Pendidil.,on Nasional, (D:qetd. Birbaga Islam, Jakaxta ,

1991/1992),h.3.

.d

t2 Undang-Undang No.

Pendidikan Nasional .

20

Tahm

2003 Tentang Sistem

13

8',7.

Muhammad

Natsir,

Gravenhage, 1954), h.

Kapita

Selekta,

@aadung:

l4

Dedy Mulyasana, Pendidifutn Bermutu dan Berdaya Saing,

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h.2.

,'?"{-15 Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik Andk. (lakaia: Al-Huda, 2006), Cet. I, h. 4.

16 Mufidah

Ch,

Psikologi Keluarga

Islam

Bet-wawasan

Gezder, (Malang: UN-Malang Press, 2008), Cet. I, h. 302.

1',7 Endang Sumiami, Penddekatan Hulcum pada Penanganan

Kekerasan

dan

Penelantaran

Anal<,

(Yogyakaxta:

UGM/RS. Dr Sardjito, 2002)

t8

..-1h.

19 Moh. Athiyah al-Abmsyi, Dasar-datsar Pokak Pendidikan

Islam,

Terj.

Dai

al-Tarbiyyah al-Islamiyyah oleh H, Butami

A.

Gani, dan Djohar Bahry, (Jakafia: Bular Bintang, 1974), Cet. II, hlm. 15,

/{

20 Ahmad D, Marimba, Pengq tat Filsafat Pendidikak L;lam, (Bandung: PT Al-Ma'arif, 1980), Cet. VI, h. 48.

2t

H.M.

Arifin, Ilmu

Pendidikan Islam Suatu Ti jaua


(5)

Teoritis

dan

Praktis

Berfutsarkan

pendekatan

lnteftlisipliner, (Jakarta: Bina Aksara, l99l), Cet. I, h. 41.

,4rd

22 Departemen Pendidikan

Bahasa Indonesia. Edisl 1996),h.47t.

dan Kebudayaan, Kamus Besdr Kedu4 (Jakarta: Balai Pustaka,

23

A.

Falah Yasin,

Di

ensi-dimensi Pendidikan Islam.

(Malang: UIN Malang Press, 2008), Cet. I, h. 203.

24 Depafiemen Pendidikan daa Kebudayaan, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakana: Balai Pustaka, 1999),h.709.

25 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidiktn

@andung: PT Remaja Rosda Ka.rya,

Teotits dan Praktis, t991).h.91-92.

26 Monty P, Satia darma,

Kecetddsak. (Jakafiai

123-12s.

dan Fidelis F.

Was*"t,

Mendidik

Pustaka Populer Obor, 2003), h.

,4r{

2',7 Singgih D Gunarsa daa Ny. Singgih D Guna.rsa, Psi,tologi

Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia,

1995), Cet.

vII,

h. 82-84.

28

Muchlis

M.

Hatafi,

Tafsir

Al-Qur'an

Tematik;

Pembangunan

Generasi

Mudd,(Jakafia:

Lajnah

Pentashihan MushafAI-Qur'an, 2011 ), h. 129.

,M

29 Endang Sumiami, Pendekatan Hukum pada Penangetnan Kekerasan dan Penelantdtd Anak, (Yogyakalta: UGM Dr

Sardiito,2002)

,7{

30 Undang-Undang

2004, Pasal 1.

Republik Indonesia Nomor

23

Tahtm

31 Tarsis Tarmudji, Hubungan

Agresifitas Remaj4 Jurnal

2002. h. 504-518.

Pola Asuh Orangtua dengail

Pendidikan dan Kebudayaan,

32

Siti

Wahlu Iryani, Pengaruh Sikap Orangtua terhadap


(6)

84

Kesejahteraan Sosia| (Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, September 2009), Vol. 33

nomor 3, h. 288.

/'7{

33 Siti

Wallu

Iryani, Relevansi Keluarga Hamonis terhadap

Kenakalan Remaja, Informasi Pehelitian KesejahterAan

So.rial, (Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian

Kesejahteman Sosial, Desember 2011), Vol. 35 nomor 4, h.

314.

BAB

III

34 Mestika Zed, Metode

Penelitian

Kepustakaan, gakatlai

Yayasan Obor Indonesia,20O8), Cet.II, h.3. 35 Suharsimi Arikunto,

Rineka Cipta, 2005),

Manajemen Pe elitian, (Jakafia'. Cet. V, h.321.

PT

,h{

36 Nyoman Kutha Ratna, Metodelogi Penelitian; Kqjiak Budaya dan

llmu

Sosial Humaniora Pada Umumnya,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet.I, h.358. BAB

IV

37 Maria Ulfah Anshor dan Abdullah chalib, Parcnti11g

lith

Zove, @andung: PT Mizan Pustaka, 2010), Cet. I.

38 Asadulloh Al-Faruq,

Ibu

Galak Kasihan Anak, (Solo

Kiswah Media, 2011), Cet. I, h.14.

39 Wendi Zarmaa, Ter yata Mendidik Anak Cara Rasulullah

itu Mudah & Lebih

Efeitf

(Bandung: Ruang Kata, 20l

l),

Cet. I.

o^.

40 Musthafa

Abu

Sa'ad,

S

a/t

Parenting

3A

Sffategi Mendidik Anaft(lakarta: Maghfirah Pustaka, 2008) CeL II.