Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan | Nugroho | Jurnal Pemikiran Sosiologi 30000 68520 1 PB

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No.2, November 2013

Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan
Oleh
Heru Nugroho1

Abstrak
Multikulturalisme dan politik anti kekerasan di Indonesia menghadapi kondisi problematis saat ini,
pengalaman negara mengelola perbedaan tidak berbading lurus dengan kondisi lapangan yang
menunjukkan meningkatnya konflik horizontal. Kasus kekerasan antar etnis dan umat beragaman di
Yogyakarta yang terjadi di pertengahan tahun 2014 ini telah menyentak kita bahwa multikulturalisme
dan politik anti kekerasan bukanlah proyek temporer negara. Melainkan sebuah pemahaman dan cara
berpikir yang perlu dikembangkan terus-menerus oleh semua pihak, sehingga multikulturalisme sebagai
filosofi yang mengarahkan semua pihak agar mau saling mendengar dan memahami satu sama lain, tanpa
harus menanggalkan prinsip dan keyakinan pribadinya. Revitalisasi dan penegakan filosofi
multikulturalisme menjadi rujukan untuk melakukan penguatan peran politik rakyat di hadapan negara,
membudayakan diskusi publik dalam proses pengambilan dan penentuan kebijakan, optimalisasi peran
dan fungsi institusi lokal sebagai instrumen resolusi konflik dan negara harus mampu menjadi katalisator
dalam pemberian peran ekonomi politik. Adapun hasil akhirnya diharapkan warga yang heterogen bisa
hidup bersama-sama meskipun berbeda etnis, agama dan ras, sehingga mereka dapat saling
menghormati dan memunculkan sikap toleransi.


Kata kunci: multikulturalisme, politik anti kekerasan, revitalisasi
Abstract

Multiculturalism and anti-violence politic in Indonesia are facing a problematic condition recently; the
state’s experience on the management of difference is not similar to the reality that shows the increasing
amounts of horizontal conflicts. The violence cases based on ethnic and religion showed that
multiculturalism and anti-violence politic are not just a temporary state project, but a process of
understanding and a way of thinking that needs to develop by every stake holders so that
multiculturalism as a philosophy that can direct every people to listen and understand each other without
sacrifice their personal principles and beliefs. Revitalization and establishment of multiculturalism
philosophy become the reference to reinforce the political role of people against the state, to promote
public discussion in the decision making process, optimization on the role of local institution as an
instrument of conflict resolution and state has to be able to become a catalyst on the distribution of
economy and politic. As a result, heterogeneity of citizens can live together despite the difference of
ethnic, religion and race so they can respect each other and raise the tolerance attitude.
Keywords: multiculturalism, anti-violence politic, revitalization

1


Heru Nugroho adalah Guru Besar pada Departemen Sosiologi, Fisipol UGM.

1

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan
Heru Nugroho

A. Pendahuluan

tinggalnya. Begitu pula tindakan kekerasan massa

Di tengah-tengah hingar bingarnya para

yang

calon

Sekelompok


orang yang

melakukan

aksi

SARA bukanlah

dikenal

anarkisme

agama

Katolik

Kejadian ini tepatnya di
Kecamatan

peristiwa


yang

asing,

tetapi

kecenderung akan terus berulang di negara yang
memiliki kemajemukan ini kalau tidak ada kebijakan

rumahnya.

dari negara yang tegas.

Kelurahan Sukoharjo,

Kejadian demi kejadian dalam setiap peristiwa

(28/5/2014). Selang beberapa hari kemudian massa


konflik SARA tersebut selalu menimbulkan korban,

yang beringas melakukan aksi brutal berupa

namun negara sepertinya tidak hadir menuntaskan

perusakan tempat ibadah agama Kristen di

akar persoalan dari pangkal masalah konflik yang

Kelurahan

terjadi. Penyelesaian hanya bersifat permukaan,

Pangukan,
Sleman

Kabupaten

dan


Sleman

Kabupaten

Ngaglik,

di

rumah

merupakan kejadian yang sering terjadi dan ada

terhadap

sekelompok warga yang sedang melakukan aktivitas
peribadatan

pembakaran


yaitu

dikatakan bahwa konflik horizontal yang berbau

berbau SARA.

tidak

Lampung,

bermukim di sana. Dari kenyataan ini dapat

masyarakat Yogyakarta tiba-tiba dikejutkan oleh
kekerasan

Propinsi

penghancuran tempat ibadah warga etnis Bali yang

pelaksanaan pemilu presiden Indonesia 2014,


peristiwa

di

pembantaian,

presiden dan wakilnya mempersiapkan diri untuk

suatu

terjadi

Kecamatan

(1/6/2014).

Tridadi,

Akibat


aksi

temporer dan tidak substansial. Penegakan hukum

kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang

terkesan lemah, ragu-ragu dan tidak berdaya

tidak bertanggung jawab ini, beberapa orang

menghadapi gejolak konflik horizontal yang terjadi.

mengalami luka yang cukup parah, bangunan rumah

Dalam masyarakat yang majemuk, keberadaan

dan tempat peribadatan yang hancur serta adanya

negara dirancang tidak untuk melindungi kaum


seorang jurnalis dari stasiun televisi Kompas TV

minoritas,

yang luka dan dirampas kameranya ketika sedang

kelompok

meliput peristiwa tersebut, serta situasi sosial yang

berkewajiban

tidak kondusif untuk terwujudnya keberagaman

memberikan jaminan keamanan dan ketentraman

keyakinan.

bagi semua warga negara. Kehadiran institusi


nampaknya

korban

jiwa, harta

dan

melindungi,

Eksistensi
mengayomi

negara
dan

dan hak-hak hidupnya yang dijamin oleh undangundang. Namun kenyataannya, manakala terjadi
konflik yang berbau SARA kehadiran institusi

berlangsung di negara ini selama pasca reformasi.
misalnya

mayoritas.

keberadaan

situasi yang mengancam kedamaian, keselamatan

semakin marak terjadi di tanah air

hanyalah dua kejadian dari banyak kejadian yang

saja

membela

warganya ketika mereka dihadapkan pada satu

benda

sejalan dengan demokratisasi. Ilustrasi di atas

Sebut

pula

negara harus benar-benar dirasakan oleh setiap

Aksi-aksi brutal, diskriminatif dan anarkis yang
memakan

bukan

negara terkesan terlambat, penyelesaian yang

aksi kekerasan berupa

mengambang, dan solusi yang tidak jelas muaranya.

penyerangan dan pembunuhan terhadap pengikut

Korban-korban akibat konflik horizontal

aliran Ahmadiyah dan pengikut Syiah yang disertai

sudah

berjatuhan, banyak seminar dan diskusi dilakukan

dengan penghancuran tempat ibadah dan tempat
2

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan
Heru Nugroho

untuk memformulasi solusi penyelesaian, namun

mengkhawatirkan

jawaban yang tegas atas pertanyaan

horizontal ini adalah disintegrasi bangsa. Untuk itu

apakah

formulasi solusi sudah sesuai dengan harapan? ,

tulisan

konflik

agar

jawaban selalu sama dari waktu ke waktu, yaitu jauh

persatuan dan kesatuan bangsa ini dapat

tetap

panggang dari api, artinya solusi yang ditawarkan

terjaga keutuhannya, dan masyarakat hidup dalam

tidak terbukti keampuhan dan efektivitasnya. Hal ini

suasana

terbukti dari konflik yang selalu berulang dan terus

upaya penguatan kembali kesadaran masyarakat

terjadi. Semboyan kebhinekaan di Indonesia yang

tentang makna multikulturalisme dalam kehidupan

berarti mengakui adanya pluralitas dalam berbagai

berbangsa

sendi kehidupan tidak dapat menjadi jaminan

karena paradigma multikulturalisme dipandang

bahwa semua warga sudah terbebas dari ancaman

merupakan instrumen yang dapat merekatkan

dan intimidasi manakala

integrasi bangsa secara demokratis.

memiliki

bertujuan

terjadinya

menggarisbawahi

mereka

ini

dengan

yang nyaman maka dirasa perlu suatu

dan bernegara. Hal ini disebabkan

perbedaan dalam suatu sendi kehidupan, meskipun
identitas yang dimiliki itu adalah hak azazi
B. Menguji Konsep Multikulturalisme

hidupnya.

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang

Kebhinekaan di Indonesia bisa disepadankan
dengan sifat
Bhineka

multikultur,
Tunggal

sehingga

juga ditafsirkan sebagai ideologi, namun yang pasti

paham

itu

Ika memiliki semangat

kelompok kebudayaan yang saling berbeda dengan

bagian integral yang keberadaannya pada satu sisi

hak dan status sosial politik yang sama dalam

merupakan satu kekayaan budaya, dan menjadi

masyarakat

spesifikasi bangsa ini, tetapi pada sisi lain kalau
hati-hati

juga

di dalam pengelolaannya bisa

mengarah pada

terjadinya

friksi

yang

mengarah

disintegrasi. Tidak

pada

dapat

yang

asimilasi yang

dipungkiri

abad

Dampak

menjadi

norma

dan
dalam

19

budaya

(Neil

Bissondath,

menghendaki
secara

2002).
adanya

nomatif,

sementara

antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda
dengan cara

mengurangi

perbedaan-perbedaan

sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru. Jadi

baik sosial, politik, ekonomi, maupun bidang
yang

Multikulturalisme

asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu

sangat mengganggu stabilitas di berbagai bidang,

saja

ke

kesatuan

tingkat lokal ini kalau dibiarkan berlarut-larut akan

tentu

telah

Monokulturalisme

dimaksud berupa tingginya angka

penjuru nusantara. Konflik yang terjadi pada

dan

negara.

paradigma negara bangsa (nation-state) sejak awal

kejadian konflik horizontal yang terjadi di berbagai

lainnya,

suatu

bertentangan dengan monokulturalisme

bahwasannya reformasi di Indonesia membawa

ikutan

sering digunakan untuk menggambarkan

dalam

terjadinya

dampak ikutan yang bersifat negatif.

modern. Istilah multikulturalisme

kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda

sosial

budaya dan berdampak pada terjadinya konflik
horizontal

sebuah konsep tentang upaya yang

menghendaki adanya persatuan dan berbagai

multikulturalisme. Multikultur di Indonesia adalah

tidak

adalah

multikulturalisme

lebih
3

adalah

suatu

filosofi

yang

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan
Heru Nugroho

mengarahkan semua pihak agar mau saling

sebagainya. Kedua, sebagai implikasi pemahaman di

mendengar dan memahami satu sama lain, tanpa

atas maka kultur-kultur kemudian tidak lagi

harus

dipahami sebagai produk jadi atau hasil aktivitas

menanggalkan prinsip dan keyakinan
filosofi

manusia. Kultur harus dipahami sebagai bentuk

warga

proses kontinum aktivitas dan dinamika anggota

suatu negara yang heterogen bisa hidup bersama-

kelompoknya. Dalam masyarakat multikultural, nilai

sama meskipun berbeda etnis, agama dan ras,

kultural ini akan saling berinteraksi dan melengkapi

sehingga mereka akan dapat saling menghormati

satu sama lain dengan mendasarkan diri pada

dan muncul sikap toleransi (Bond, 2006).

kesetaraan dan toleransi (Parekh, 2001). Istilah

pribadinya.

Dengan

penegakan

multikulturalisme ini maka

Secara

metodologis

diharapkan

politik

multikulturalisme mengandung tiga

multikulturalisme

menawarkan kesetaraan bagi

setiap

yakni

anggota

tertentu untuk merespon pluralitas itu. Oleh karena

setiap

itu,

kelompok masyarakat mengidentifikasikan dirinya
masing-masing.

Dengan

kata

lain,

yang

selama

ini

dipertentangkan

multikulturalisme

pragmatik

politik

melainkan

bukanlah doktrin politik
sebagai

cara

pandang

kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di

multikulturalisme mengakomodasi sekaligus dua
hal

dengan kebudayaan, konsep ini

menunjuk kepada pluralitas kebudayaan dan cara

masyarakat dalam hal hak-hak kewarganegaraan
dengan memberikan kesempatan bagi

terkait

komponen,

dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan,

yaitu

artinya perbedaan menjadi asasnya, dan gerakan

kesetaraan dan perbedaan. Gagasan ini dianggap

manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka

mampu meredam konflik vertikal dan horisontal

bumi semakin intensif maka multikulturalisme itu

yang terjadi dalam masyarakat di negara-negara

harus

dengan tingkat heterogenitas tinggi, akibat adanya

diterjemahkan

multikultural yaitu sebagai

tuntutan pengakuan atas keberadaan dan keunikan

kedalam

kebijakan

politik

pengelolaan

perbedaan kebudayaan warga negara.

budaya kelompok etnis dalam masyarakat tersebut.
Dengan demikian memberikan keleluasaan bagi

Ada tiga model kebijakan multikultural negara

berbagai identitas kelompok untuk melaksanakan

untuk menghadapi keanekaragaman etnis, suku,

kehidupannya secara lebih otonom.

kelas, gender, agama dan lain- lain. Pertama, model

Memahami

multikulturalisme

yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas

membutuhkan

adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa

pemahaman yang lebih arif bagi konsep-konsep di
dalamnya. Pertama, konsep

keragaman

memperhatikan aneka ragam suku, bangsa, agama

dalam

dan bahasa, dan

masyarakat multikultural tidak hanya berlaku untuk

perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang,

identitas etnis atau kesukuan, melainkan juga bagi

bukan kolektif, berhak untuk dilindungi negara

identitas lainnya seperti ras, kelas, gender dan

sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai

agama. Masing-masing kelompok dalam masyarakat

penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi

berhak mengidentifikasi dirinya dengan perangkatperangkat

yang

nasionalisme bekerja sebagai

dasar pembentukan negara dan menjadikannya

membentuk identitas tersebut,

sebagai masa lampau saja.

apakah bahasa, sikap, nilai praktek politik dan
4

Model

kebijakan

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan
Heru Nugroho

ini dikhawatirkan terjerumus ke

memperjuangkan hak-hak minoritas, khususnya

dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan

kelompok minoritas itu adalah kaum perempuan.

untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional

Ketika memperjuangkan hak minoritas (khususnya

berada ditangan suatu kelompok elite tertentu.

perempuan), wacana multikulturalisme dinilai tidak

Kedua, model nasionalitas etnik, yang mendasarkan

konsisten. Dalam filosofi multikulturalisme terlihat

kesadaran

multikultural

kuat

yang

bahwa jaminan atas hak-hak kaum minoritas yang

darah

dan

ditawarkan hanya berlaku di wilayah publik, belum

nasional

di ruang privat dimana kaum perempuan kerap

(founders). Selain itu kesatuan bahasa juga

ditempatkan. Kondisi tersebut menegaskan hanya

merupakan ciri nasional etnik ini. Model ini

kelompok

dianggap sebagai model tertutup karena orang luar

sementara yang minoritas dimarjinalkan. Karena

yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah

minoritas maka mereka dianggap tidak setara dan

dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan

karena itu tidak perlu didengar (Spivak, 1987).2

diperlakukan sebagi orang asing. Ketiga, model

Tidak hanya itu hak-haknya juga dibuat tidak sama

multikultural etnik yang mengakui eksistensi dan

bahkan ditindas jika bersuara. Disini terlihat bahwa

hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model

multikulturalisme

ini keaneka ragaman menjadi realita yang harus

kebebasan dan pemenuhan diri perempuan sebagai

diakui dan diakomodasi negara dan identitas serta

kelompok yang termarginalkan belum nampak. Hal

asal usul warga negara diperhatikan.Isu-isu yang

ini cukup beralasan karena hampir seluruh nilai

muncul karena penerapan kebijakan ini tidak

yang berakar pada budaya (culture) bersifat sangat

hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi

patriakis dan mensubordinasi perempuan, sehingga

juga isu mayoritas/minoritas, dominan tidak

kebebasan

dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi

dianjurkan dalam multikulturalisme akan dijadikan

karena ternyata mayoritas tidak selalu berati

pembenaran

dominan, karena berbagai kasus menunjukan

perempuan.

kolektif

etnik

yang

landasannya

adalah

hubungan

kekerabatan

dengan

para

pendiri

bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi.

mayoritas

sebagai

menjalankan

bagi

yang

bisa bersuara,

jawaban

nilai

praktek

persoalan

kultural

opresi

yang

terhadap

Hal ini tentu saja menjadi paradoks bagi ide

Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas

multikulturalisme. Multikulturalisme menawarkan

kekuasaan dilimpahkan kepada keanekaragaman

kesetaraan bagi setiap anggota masyarakat untuk

kolektif, sebagai konsekuensi pengakuan negara

memperoleh hak-haknya

maka negara mungkin akan diramaikan konflik

dan

memberi ruang

setiap kelompok masyarakat mengidentifikasikan

internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan

dirinya masing-masing. Persoalan akan muncul

melemahkan negara itu sendiri (Poster, 1992).

ketika identitas kelompok tidak memberi ruang bagi
identitas gender dalam masyarakat.

Ada satu kelemahan dari filosofi multikulturalisme
yang patut disoroti bila dikaitkan dengan upaya
2

Merujuk istilah Spivak, kelompok yang dipinggirkan
disebut sebagai sub-altern . Bisakah sub-altern ber-

bicara menjadi adagium yang selalu dilontarkan Spi-vak
dalam berbagai tulisannya.

5

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan
Heru Nugroho

Perempuan kehilangan akses untuk mendefinisikan

jatuh ke dalam jargon-jargon

nilai kelompok serta ekonomi dalam menjalankan

(political identity) yang memang juga mudah sekali

kehidupannya sendiri di masyarakat. Dalam hal ini

jatuh ke dalam fundamentalisme kultural (Frazer,

perempuan menjadi sangat dirugikan karena nilai

2003).

dan praktek dalam kelompok mengabaikan unsur

memunculkan eforia bagi tuntutan pengakuan dan

adalah soal poligami, kawin paksa, KDRT dan

otonomi atas identitas etnis dan kesukuan. Di satu

lazim

sisi reformasi membuka ruang eksistensi bagi setiap

dilakukan karena oleh kelompok diklaim sebagai

identitas kultural yang selama ini diabaikan atas

bagian dan nilai identitas yang mereka anut. Dalam
filosofi multikulturalisme

klaim

nama persatuan dan kesatuan nasional. Disisi lain

tersebut

hal ini akan tidak menguntungkan bagi kelompok

dimungkinkan karena ada jaminan bagi kelompok

minoritas (misal: perempuan). Mengapa demikian,

menjalankan kehidupannya sendiri. Bahkan otoritas

karena

negara sering kali tidak mampu mengintervensi

akan

dipahami sebagai nilai kultural

dalam hal kawin paksa yang menimpa seorang

didominasi

perempuan (Gad Borzilai, 2003).
pemahaman

perempuan

semakin

lokalitas yang sangat patriakis. Apa yang disebut dan

Manusia (HAM), keadilan dan sebagainya, misalnya

pada

kelompok

terpojok dengan nilai identitas kesukuan dan

dengan nilai-nilai universal seperti Hak Asasi

Merujuk

identitas

Begitu pula fenomena reformasi di Indonesia

kesetaraan gender. Beberapa contoh diantaranya

sebagainya. Praktek tersebut menjadi

politik

masih

sangat

oleh kelompok masyarakat laki-laki,

akibatnya identitas perempuan belum mendapat
di

atas, muncul

pengakuan

sebagaimana

identitas

kelompok

argumentasi politik pengakuan multikultur telah

masyarakat lain dan perempuan tetap pada dalam

mengabaikan pentingnya distribusi ekonomi dan

struktur subordinasi kekuasaan laki-laki.

material

yang menentukan basis hidup banyak

orang, termasuk perempuan. Kondisi ini menandai
berkembangnya

sangatlah

ketidaksetaraan

berbahaya

dan

C. Multikulturalisme di Indonesia

ekonomi,

beresiko

Reformasi

untuk

di

Indonesia

berdampak

pada

menyarankan bahwa pengenalan terhadap identitas

mengemukanya isu-isu politik kebudayaan dan

personal

kemudian

ataupun

kolektif

sendiri

dapat

berkembang

sangat

cepat.

menciptakan tujuan bagi masyarakat yang adil

Multikulturalisme menjadi

karena ini dapat mengalihkan masyarakat dari

muncul kepermukaan karena dianggap mampu

pentingnya

menjadi ideologi perekat baru integrasi bangsa.

pemenuhan kebutuhan distribusi

salah satu isu yang

dan pengakuan. Hal ini merupakan inti dari tulisan

Integrasi nasional yang

Nancy Fraser di Jurnal New Left Review pada

berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap

tahun1995. Tulisan ini segera menarik perhatian

tidak lagi relevan dengan kondisi dan semangat

banyak pihak, dan memicu perdebatan lanjutan.

demokrasi global yang juga meningkat sejalan

Menurut Fraser teori tentang politik pengakuan

dengan

yang banyak berkembang sekarang ini mudah sekali

kekuasaan
6

reformasi
dalam

selama

tersebut.

ini

dibangun

Desentralisasi

bentuk otonomi

daerah

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan
Heru Nugroho

adalah jawaban bagi tuntutan

memperparah pendangkalan budaya dan membuat

demokrasi tersebut. Namun desentralisasi sebagai

kian senjangnya pola interaksi dan gaya hidup

keputusan politik nasional ternyata kemudian

masyarakat. Proses yang dialami masyarakat

disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari

Indonesia saat ini, sebenarnya tidak terjadi secara

kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar

mendadak, sejak 1960an masyarakat Barat dan

yang isinya luar biasa beraneka ragam suku, agama,

kota-kota besar lain di dunia dipandang telah

kondisi geografis, kemampuan ekonomi bahkan ras.

menjauhi alam modern.3

semenjak

1999

Dimasa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu

Selanjutnya dalam konteks Indonesia, filosofi

adalah politik sentralisasi yang berpusat pada

multikulturalisme kemudian penting diterjemahkan

kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Pada masa

kedalam kebijakan multikultural sebagai politik

kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap

pengelolaan perbedaan kebudayaan dan kehidupan

lebih jauh, selain dari keanekaragaman di atas, juga
persoalan

mayoritas/minoritas,

warga negara. Model kebijakan multikultural yang

dominan/tidak

dikembangkan harus mampu meredam terjadinya

dominan yang juga mengandung kompleksitas

sumbatan interaksi antar

persoalan.

budaya

dan

tetap

memperkokoh adanya persatuan dan kesatuan

Di sisi lain, mutikulturalisme tak hanya di tandai

bangsa. Oleh karenanya, maka dalam revitalisasi

oleh perubahan politik. Tetapi secara sosiologis

nilai-nilai multikulturalisme di Indonesia harus

beriringan

dikedepankan tentang perlunya

terjadi

kebangkitan

pandangan

penguatan

dan

postmodernisme dan neoliberalisme berdampak

pemberdayaan kaum minoritas. Hak-hak kaum

besar dalam kehidupan masyarakat, telah terjadi

minoritas

upaya penyeragaman pola interaksi dan gaya hidup

berhadapan dengan kelompok mayoritas.

di kota-kota besar di Indonesia mulai tahun 1990an.
Postmodernisme

seolah

relativisasi

nilai-nilai

masyarakat

kota.

memperkuat
dan

Kemudian

barang-barang

seluruh

despiritualisasi

apalagi

ketika

penduduk

yang tersebar di seluruh

Indonesia, baik yang berasal dari segala macam ras,

neoliberalisme,

konsumsi,

dilindungi,

Seandainya kita melakukan dengar pendapat dari

arus

suku,

berusaha menarik masyarakat ke arah pasar bebas
pencandu

harus

golongan

kecenderungan

semakin

untuk hidup

3

maka

akan

diperoleh

jawaban bahwa mereka sepakat
berdampingan

secara

damai.

manusia. Baudrillard (1983) menyatakan realitas hanya
simulacra yaitu citra tanpa hakikat. Citra tanpa hakikat
kemudian disebarkan keseluruh dunia melalui media
informasi. Jika realitas tidak ada, maka yang ada hanya
memunculkan citra atau simulasi yang tak bermakna.
Ketiga, nihilisme menguasai jiwa manusia, perasaan
bahwa segalanya tidak bermakna. Nilai-nilai mengalami
keruntuhan. Manusia hanya benda yang digerakkan
kesadaran yang tidak utuh. Apa yang dilakukan tidak
merupakan kehendaknya. Adapun makna subyektif
diberikan ke setiap manusia dengan cara berbeda sesuai
tuntutan keadaan.

Kondisi ini ditandai dengan meredupnya ideologi dan
paham yang lahir dari rasionalisme, neopositivisme dan
ideologi seperti sosialisme, idealisme, patriotisme, dan
lain-lain. Sedangkan karakter yang menonjol dari
perubahan tersebut seperti yang dinyatakan oleh
Foucault (1992), yakni pertama, subyektifitas manusia
telah mati seiring dengan perubahan yang terjadi.
Individu tak lagi memiliki kesadaran utuh, dan tidak
memiliki tuntutan akan kebenaran. Kehidupannya
dikuasai retorika mental, sandiwara kata dan penafsiran
tanda. Manusia hanya berwacana, tanpa tanggungjawab
terhadap apa yang dilakukan; kedua, Penafsiran terhadap
realitas sebagai fiksi yang diciptakan oleh imaginasi

7

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan
Heru Nugroho

Semangat kemajemukan ini merupakan sebuah

sosial yang ada pada setiap masyarakat dan

kredo yang indah yang pernah ada di bumi. Bahkan

keberadaanya justru dapat mewujudkan demokrasi

kalau

kemajemukan

dan budaya. Akibatnya bagi orang awam melihat

merupakan sifat asli masyarakat yang berada di

SARA sebagai hantu, sehingga mudah diprovokasi

kawasan Asia Tenggara pada umumnya dan di

untuk konflik-konflik sosial dengan pemicu salah

Indonesia pada khususnya. Kemajemukan memang

satunya atau beberapa komponennya.

diamati

secara

cermat,

merupakan produk budaya masyarakat di kawasan

Dari tiga model kebijakan multikultural yaitu model

Asia Tenggara yang saat ini masuk ke proses untuk

yang

menuju ke pendewasaan politik demokrasi.

mengedepankan

nasionalitas,

model

nasionalitas dan model kebijakan multikultural
filosofi

etnik yang telah dipaparkan diatas, diakui tidak

multikulturalisme akan membentuk suatu mozaik

satupun dan tiga model kebijakan itu cocok atau pas

kebudayaan dan peradaban yang khas. Hanya saja

untuk diaplikasi di Indonesia. Namun tidak berarti

perlu suatu upaya untuk mencegah terjadinya

bahwa penegakkan paradigma multikulturalisme

negasi terhadap spirit kemajemukan yang selama ini

tidak dapat dilakukan di Indonesia.

Kemajemukan

yang

dibingkai

hidup di bumi indonesia agar tidak mengarah pada
terjadinya disintegrasi. Pada masa Orde Baru dalam
D. Rekomendasi

rangka menegakkan stabilitas politik, komponen
komponen SARA yang berdimensi horisontal seperti

Revitalisasi filosofi multikulturalisme di Indonesia

suku, agama, ras dan komponen yang berdimensi

dapat dilakukan dengan merujuk pada beberapa

vertikal seperti antar golongan (kaya VS miskin,

alternatif cara sebagai berikut: Pertama, meskipun

penguasa VS rakyat) dipandang sebelah

mata

tiga model kebijakan multikultural yang telah

sebagai faktor-faktor disintegratif bangsa. SARA

dipaparkan di atas diakui kurang cocok atau pas

tidak pernah dipahami sebagai kekuatan sentrifugal

untuk diaplikasikan di Indonesia, revitalisasi filosofi

dalam kesatuan bangsa, akibatnya terapi politik

multikulturalisme tetap dapat dilakukan dengan

yang dilakukan oleh rezim adalah penyeragaman

cara mengurangi dominasi peran negara dalam

budaya dan politik dalam konteks stabilitas politik

proses politik agar tidak terjadi distorsi dalam

dibawah tekanan kekuasaan otoriter. Kebijakan

wacana tentang SARA, baik di kalangan masyarakat

politik seperti ini justru tidak menyelesaikan

maupun di kalangan elite politik. Kedua,

persoalan yang dipicu oleh kemajemukan, bahkan

terjadi penguatan peran politik rakyat di hadapan

ada kecenderungan semakin menajam. Bahaya

negara. Negara jangan sampai terlalu banyak

SARA yang dikonstruksikan melalui politik resmi

mengintervensi

dan

kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah.

sosialisasi melalui

wacana

elit politik,

dalam

setiap

harus

pengambilan

menjadi

Ketiga, dalam penentuan kebijakan maka terlebih

pengetahuan sehari-hari di kalangan orang awam

dahulu harus dilakukan suatu aktifitas diskusi

bahwa keberagaman SARA adalah unsur pemecah

publik. Keputusan diambil dengan mengacu pada

melembaga

secara

sosial

hingga

bangsa. SARA tidak dipahami sebagai kenyataan
8

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan
Heru Nugroho

suara mayoritas yang ditetapkan pada saat diskusi

ekonomi politik yang seimbang kepada setiap etnis

publik di lakukan.

dan budaya.

Keempat, optimalisasi fungsi dan peran institusi

Dengan cara inilah maka diharapkan paradigma

lokal sebagai suatu alat dan media untuk resolusi

multikulturalisme

manakala terjadi konflik harus terus ditingkatkan.

ideologi masyarakat. Dengan itu maka harapan akan

Kelima, negara harus berfungsi sebagai katalisator

tegaknya harmonisasi sosial dapat terwujud, friksi

dalam pemberian peran ekonomi politik yang

yang mengarah pada konflik horizontal dapat

seimbang pada setiap etnik/golongan di bumi

dicegah

Indonesia agar tidak terjadi disparitas sosial, politik,

dikedepankan, sehingga disintegrasi bangsa bisa

ekonomi antar etnis.

dihindari.

E. Kesimpulan

Daftar Pustaka

Salah satu ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan

Baudrillard, Jean. 1983, Simulations, Semiotext(e),

dan

dapat menjadi

politik

Republik Indonesia adalah terjadinya friksi yang

USA.

mengarah pada konflik horizontal. Faktor penyebab

Bond, Ross. 2006.

bangsa

Indonesia

yang

sangat

meminimalisir kemungkinan

revitalisasi

dan

terjadinya

implementasi

Belonging and Becoming:

Bissondath, Neil. 2002. Selling Illusions: The Myth of
Multiculturalism, Toronto: Penguin.

konflik horizontal, salah satunya adalah melalui
upaya

dapat

Vol. 4 (40)

multiheterogen hampir di segala bidang kehidupan.
Untuk

nirkekerasan

dan

National Identity and Exclusion , Sociology,

terjadinya konflik ini salah satunya adalah karena
kondisi

filosofi

Borzilai, Gad. 2003. Communities and Law: Politics

filosofi

and Cultures of Legal Identities. Michigan:

multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan

University of Michigan Press.

bernegara, karena filosofi ini dianggap mampu

Fraser, Nancy, 1995.

From Redistribution to

toleransi di antara warga yang majemuk tanpa harus

Recognition? Dilemmas of Justice in a Post-

kehilangan identitas budayanya dari masing-masing

Frazer, Nancy. 2003. The Radical Imagination:

mengakomodasi adanya perbedaan dan sikap

Socialist Age, New Left Review 212: 68-93.

Between Redistribution and Recognition.

entitas.

Philadelpia, USA.

Merespon hal tersebut filosofi multikulturalisme
perlu

direvitalisasi

dengan

cara

During, Simon. 1992, Foucault And Literature. New

melakukan

York, Routledge.

penguatan peran politik rakyat di hadapan negara,
membudayakan

diskusi

pengambilan

dan

publik

ketika

penentuan

Morton, Stephen. 2003. Gayatri Chakravorty Spivak.

proses

New York: Routledge.

kebijakan,

Parekh, Bikhu. 2001. Rethinking Multiculturalism.

mengoptimalkan peran dan fungsi institusi lokal

Harvard: Harvard University Press.

sebagai instrumen resolusi konflik dan negara harus
mampu menjadi katalisator dalam pemberian peran
9

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Multikulturalisme dan Politik Anti Kekerasan
Heru Nugroho

Poster, Mark. 99 . Postmodernity and the Politics

of Multiculturalism: The Lyotard-Habermas
Debate Over Socia l Theory , Modern Fiction
Studies.

Spivak, Gayatri Chakravorty. 1987. In Other World:
Essays in Cultural Politics. New York:
Methuen

10