SISTEM PEMILIHAN PIMPINAN DPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD DAN DPRD : PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH.

SISTEM PEMILIHAN PIMPINAN DPR RI DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD DAN DPRD
(PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH)
SKRIPSI
Oleh
ELVIANA CITRA ZEINIYAH
NIM. C03211011

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Program Studi Siyasah Jinayah
SURABAYA
2016

ABSTRAK
Skripsi dengan judul Sistem Pemilihan Pimpinan DPR RI dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(Perspektif Fiqih Siyasah) ditulis untuk menjawab pertanyaan Bagaimana sistem
pemilihan pimpinan DPR RI menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Bagaimana Analisis Fiqih Siyasah
Terhadap sistem pemilihan pimpinan DPR RI menurut Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading)
dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif – analisis.
Hasil penelitian menyimpulkan Dengan sistem seperti ini anggota DPR
tidak bisa memilih pimpinannya dengan kehendaknya sendiri dan juga telah
mengebiri hak-hak konstitusional setiap anggota DPR. Akan tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa pelaksanaan pemilihan pimpinan DPR dengan mekanisme
paket akan menimbulkan persoalan-persoalan baru yang lebih rumit. Pemilihan
ketua DPR dengan Mekanisme paket menimbulkan konflik internal di tubuh
lembaga legislatif itu seperti terjadinya dualism kekuasaan di parlemen. Dalam
Fiqh Siyasah, persoalan sistem pemilihan pimpinan DPR tidak dijelaskan dalam
Islam sehingga dapat dilakukan ijtihad untuk persoalan-persoalan yang tidak ada
landasan hukumnya. Dari penjelasan mengenai pemilihan pimpinan DPR dengan
diatas terdapat sisi yang berbeda mengenai pemilihan pimpinan DPR dengan
pemilihan ahl al hall wa al-‘aqd. Jika dalam pemilihan pimpinan DPR diambil 1
paket calon pimpinan dari setiap fraksi, lalu dimusyawarahkan secara
mufakat.Akan tetapi jika tidak bisa dimusyawarakan secara mufakat maka
dilakukan sistem voting dan yang memperoleh suara terbanyak itulah yang
dipilih. Namun dalam islam pada masa Rasulullah, khalifah Umar ra. Dan pada
masa Bani Umaiyah pemilihan ahl al hall wa al-‘aqd dilakukan dengan cara

ditunjuk oleh khalifah. Dalam masa modern pemilihan Ahl ahl al hall wa al-‘aqd
lebih tepat menggunakan pemilu secara berkala. Namun ada sisi yang sama pula
dalam kedua sistem pemilihan tersebut yaitu dalam pemilihan pimpinan DPR
setiap fraksi menunjuk satu paket calon pimpinan. Sedangkan dalam pemilihan
ahl al hall wa al-‘aqd pada zaman dahulu ditunjuk oleh khalifah/imam.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka kepada DPR sebaiknya dalam
membuat Rancangan Undang-Undang lebih teliti supaya tidak terjadi Pro dan
Kontra dimasyarakat dan tubuh intitusi legislatif itu sendiri. Yang
mengakibatkan hilangnya hak-hak konstitusional para anggotanya. Dan juga
membuat adanya dualism kekuasaan Di dalam isntitusi tersebut.

v

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ............................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii
PENGESAHAN .................................................................................................. iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ............................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah .................................................... 8
C. Rumusan Masalah ............................................................................. 8
D. Kajian Pustaka .................................................................................. 9
E. Tujuan Penelitian .............................................................................. 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian................................................................ 11
G. Definisi Operasional ......................................................................... 11
H. Metode Penelitian ............................................................................. 12
I. Sistematika Pembahasan .................................................................. 16

BAB II SISTEM PEMILIHAN PIMPINAN MENURUT SISTEM
HUKUM TATA NEGARA ISLAM ..................................................... 18
A. Konsep Syura ................................................................................... 18
1. Pengertian dan Dalil Syura ......................................................... 18
2. Prinsip-Prinsip Syura .................................................................. 21
3. Praktik Syura Pada Masa Nabi ................................................... 25

4. Praktik Syura Pada Masa Khulafaur Rasyidin ........................... 28
B. Pemilihan Ahl al-hall wa al-‘aqd ...................................................... 40

viii

1. Pengertian dan Fungsi Ahl al-hall wa al-‘aqd............................ 40
2. Dasar Hukum .............................................................................. 42
3. Syarat-syarat ............................................................................... 45
4. Tugas dan Wewenang ................................................................. 45
5. Pemilihan Ahl al hall wa al ‘aqd ................................................. 46
BAB III PEMILIHAN PIMPINAN DPR RI MENURUT UNDANGUNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR,
DPD, DAN DPRD ................................................................................. 53
A. Eksistensi DPR RI ............................................................................ 53
1. Pengertian DPR RI ...................................................................... 54
2. Kedudukan dan Fungsi ................................................................ 54
3. Tugas dan Wewenang ................................................................. 58
4. Hak dan Kewajiban ..................................................................... 61
B. Sistem Pemilihan Pimpinan DPR RI ................................................ 64
1. Dasar Hukum Pemilihan DPR RI ............................................... 64
2. Pemilihan Pimpinan DPR Menurut Sistem Paket ...................... 66

BAB IV ANALISIS FIQIH SIYASAH TERHADAP SISTEM
PEMILIHAN PIMPINAN DPR RI DALAM UNDANGUNDANG NO 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD,
DAN DPRD ........................................................................................... 75
A. Analisis Terhadap Sistem Pemilihan Pimpinan DPR RI
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 .......................... 75
B. Analisis Fiqih Siyasah Terhadap Sistem Pemilihan Pimpinan
DPR RI Menurut Undang-Undang Nomor 17 ................................ 82
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 92
A. Kesimpulan ...................................................................................... 92
B. Saran ............................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan penulisan sejarah semakin lama semakin berpusat pada

orang-orang yang memegang kekuasaan. Oleh karena itu biografi para
khalifah dan para pejabat tinggi serta orang-orang yang berpengaruh lainnya
juga ikut berkembang. Apalagi pada masa awal perkembangan Islam
masyarakat tampaknya sangat tergantung kepada kepemimpinan seorang
tokoh. Maju mundurnya masyarakat dipandang sebagai karya kepemimpinan
individual.1
Umat Islam dapat terkoyak-koyak oleh berbagai perilaku kolektif
yang cenderung pada konflik. Di masa yang lalu umat dalam kubu yang
berlawanan, karena tidak ada persamaan pandangan. Dengan kata lain, umat
pernah kehilangan identitas politik. Tulisan ini dibuat supaya umat mengerti
identitasnya sendiri, dan untuk umat di luar Islam serta para pengambil
kebijakan supaya tahu keinginan-keinginan politik Islam.2
Menurut Al-Qur’an, harkat dan martabat manusia itu sesunggunya
bukan suatu hal yang tertanam (inheren) dalam dirinya, melainkan pemberian
dari Tuhan. Pada kodratnya manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat
bertindak dan berperilaku secara individual. Namun dalam memenuhi
kebutuhan hidup dan mempertahankan dirinya dari ancaman, manusia

1
2


Badri Yatim, Histroriografi Islam, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), 208
Kuntowijoyo, Identiitas Politik Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, cet 2, 1997), 113-114

1

2

membutuhkan pertolongan dan kerjasama dengan individu lainnya baik yang
bersifat kelompok kecil ataupun dalam skala yang lebih besar yaitu antar
negara.3
Untuk mempertahankan kehidupannya,

manusia membutuhkan

kehadiran seorang pemimpin. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat tepat
bagi masyarakat. Pemimpin akan menghilangkan rasa putus asa masyarakat
dengan menghadirkan aturan-aturan yang jelas. Selain itu, pemimpin juga
menentukan maju mundurnya suatu daerah ataupun bangsa, semua
ditentukan oleh pemimpinnya. Pemimpin yang dimaksud di sini adalah

pemimpin yang semata-mata mau bekerja untuk rakyat. Pemimpin yang tidak
hanya bisa dalam hal-hal pencitraan dirinya semata di depan halayak ramai,
akan tetapi juga mengedepankan semangat dan etos kerjanya yang
terimplementasi dari kebijakan kerjanya untuk mensejahterakan masyarakat.
Menurut ulama fiqh, konsep kepemimpinan (imamah atau khilafah)
merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah agama dan
ketatanegaraan. Penekanan ini berdasarkan bahwa setiap manusia merupakan
pemimpin mulai dari hal yang cakupannya kecil (keluarga) sampai dengan
negara dan segala kebijakannya diminta pertanggungjawabannya atas apa
yang dia pimpin selama hidupnya di atas dunia.4
Dalam kepemimpinan, suksesi kepemimpinan merupakan hal yang
selalu diperbincangkan. Perbincangan ini selalu mengarah pada kriteria

3

Muh. Yusuf Musa, Politik dan Negara Dalam Islam, Terj. M. Thalib, (Surabaya: Pustaka
Pelajar, 1990), 17-18
4
Ibid, 19-20


3

maupun syarat sesorang yang dapat diangkat menjadi pemimpin. Merujuk
pada pendapat Al-Mawardi bahwa kepemimpinan dalam Islam pada
hakikatnya merupakan misi keberlanjutan para pemimpin Khilafah guna
memeliharan agama dan dunia, demi terwujudnya harmonisasi dalam
kehidupan.5 Fungsi yang dimainkan ataupun yang diperankan oleh seorang
pemimpin merupakan sebagai Aktor. Aktor yang memberikan pengaruhnya
dalam menjaga hak dan kelangsungan masyarakat. Oleh karena itu, seorang
pemimpin harus mempunyai kriteria sebagai pemimpin ataupun sebagai
kepala pemerintahan.6
Menurut Al-Mawardi, syarat menjadi pemimpin harus mempunyai
sifat tanggungjawab, yang terdiri dari orang mu’min bertakwa dan beramal
shaleh, memiliki wawasan yang luas, memiliki sifat yang amanat sehingga
dapat bertanggungjawab terhadap negara yang dia pimpin.7
Kepemimpinan merupakan salah satu bentuk alat kelengkapan negara
yang memiliki fungsi besar dalam negara. Hal ini juga sejalan dengan Islam
yang menganggap pemimpin merupakan suatu hal yang sangat strategis.
Tanpa adanya pemimpin sebagai aktor pengambil keputusan,maka negara
tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pemimpin yang baik sangat


5

Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sultaniyyah, Terj. Fadli Bahri, (Kairo Musthafa al-Halabi wa
Aulduhu,1973), 5-6
6
Ibid, 4-6
7
Abu A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Evalusi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam,
alih bahasa Muhammad Al-Bagil,Terj. Muhammad Al-Bagil, (Bandung: Mizan,1993), 69-74

4

dibutuhkan kuhsusnya dalam suatu pemerintahan yang demokratis seperti
adanya partai politik dan pemilihan umum (pemilu) seperti Indonesia.8
Partai politik merupakan media yang menjembatani para masyarakat
untuk menyampaikan aspirasi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan
tertinggi dalam sistem demokrasi. Aspirasi ini kemudian di bawah oleh para
elit politik yang merupakan produk dari parati politik. Partai politik juga
merupakan media atau alat bagi pemerintah untuk merealisasikan welfare


state9 sebagaimana tercantum dalam tujuan dan fungsi pembentukan partai
politik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik.
Namun

demikian,

konsep

tersebut

seakan

terhalang

oleh

dikeluakannya suatu kebijakan. Kebijakan tersebut ialah mengenai pemilihan
pimpinan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 atau yang biasa disingkat UU MD3 melalui sistem paket.
Kebijakan ini menjadikan adanya pro-kontra di masyarakat dan di tubuh
badan legislatif itu sendiri. Pro dan kontra ini diakibatkan dari kuatnya
kekuasaan politik ketika disahkan sebagai undang-undang. Selain itu, juga
terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari peraturan ini.

8

Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2011), 172
9
Welfare state adalah tanggung jawab negara kepada kesejahteraan warganya. Seperti halnya
dalam Encyklopedia Britannica, welfare state diartikan sebagai konsep pemerintahan yang mana
negara mempunyai peran kunci dalam menjaga dan memajukan kesejahteraan warga negaranya.
Dalam konteks ke Indonesian, sebenarnya konsep welfare state sudah ada sejaka berdidri NKRI
yang terdapat dalam bunyi pancasila dan pembukaan UUD 1945 khusuanya alenia ke IV. Lihat di
Alfitri,‛ideologi welfare state dalam dasar negara indonesia: Analisis Putusan Mahkamah
Konstitusi Terkait Jaminan sosial nasional‛,Jurnal Konstitusi,Volume 9, Nomor 3, (September,
2012).

5

Akibat dari disahkannya peraturan ini ialah kemenangan akan diraih
oleh partai koalisi yang terbanyak. Hal ini terjadi dikarenakan partai politik
dapat mengajukan paket calon pimpinan dan dengan koalisi terbanyak pasti
akan mendulang suara terbanyak dan mendapatkan kemenangan. Akibat dari
disahkannya peraturan tersebut melahirkan konflik internal di tubuh badan
legislatif itu sendiri. Hal ini terlihat ketika perebutan posisi pimpinan di
Legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Siapa yang akan menjadi ketua
dan wakil ketua di legislatif (DPR). Keegoisan dari setiap partai yang
kemudian akan menimbulkan konflik politik terkait pemilihan pimpinan
tersebut.
Bau perpolitikan dalam pengesahan kebijakan sangat dirasakan pasca
pemilihan presiden tahun 2014. Wacana pemilihan pimpinan DPR dengan
sistem paket mulai dibahas di parlemen setelah kekalahan Prabowo dari
partai Gerindra dalam pencalonan presiden. Sebagai partai koalisi terbanyak,
pengesahan kebijakan ini terkesan untuk mendapat kekuasaan di parlemen
setelah kalah dalam pencalonan presiden. Fakta inilah yang kemudian
menjadi embrio lahirnya UU MD3.
Kontroversialnya pengesahan kebijakan ini mengakibatkan adanya
usaha yang dilakukan oleh lawan politik Koalisi Indonesia Hebat (KIH),
untuk melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Uji materi ini
khususnya ditujukan pada pembahasan yang tertera pada pasal 84 UU
MD3yang menjelaskan mengenani sistem pemilihan pimpinan Dewan
Perakilan Rakyat (DPR), dari sistem porposional menjadi mekanisme paket.

6

Sistem proporsional berarti partai pemenang pemilihan legislatif (pileg) yang
mendapatkan posisi Pimpinan DPR Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, sedangkan sistem paket merujuk
pada anggota DPR memilih pimpinan berdasarkan partai politik. Maka secara
otomatis pemenang legislatif (pileg), tidak bisa lagi secara leluasa
menentukan kadernya untuk duduk sebagai pimpinan DPR sebagai akibat
dari perubahan dari Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
Tampaknya pemilihan pimpinan DPR melaui mekanisme paket sangat
melukai nilai-nilai keadilan. Disamping itu, juga secara tidak langsung telah
mencabut hak-hak konstitusional setiap anggota badan legislatis. Sistem
paket sebagai input dalam proses dalam demokrasi yang terjadi dalam
tatanan perpolitikan negeri ini, telah mengakibatkan output (konflik) ini
menimbulkan pengaruh kepada sistem itu sendiri, maupun terhadap
lingkungan sistem itu berada.10
Secara materil, Mahkamah Konstitusi menilai UUD 1945 tidak
menentukan bagaimana susunan lembaga DPR termasuk cara dan mekanisme
pemilihan pimpinannya. UUD 1945 hanya menentukan bahwa susunan DPR
diatur oleh UU. Wajar timbul beragam cara pemilihan pimpinan DPR baik
sebelum atau sesudah perubahan UUD 1945 yaitu, ditentukan oleh dan dari
anggota DPR itu sendiri dengan sistem paket atau pencalonan oleh fraksi

10

Mochtar Mass’oed, Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gajah
Mada Press, 1997), 5

7

yang memiliki jumlah anggota tertentu atau ditentukan berdasarkan
komposisi jumlah anggota fraksi diDPR.11
Sistem paket yang digunakan dalam memilih pimpinan DPR tidak
bisa dipisahkan dari kebutuhan perpolitikan di Indonesia yang sesuai dengan
perubahan siklus perpolitikan. Di samping itu, juga tidak adanya kepastian
hukum dalam UU MD3 karena memang dalam UUD 1945 tidak dijelaskan
secara menyeluruh dan hanya mengatur tentang pemilihan anggota DPR,
dengan Partai. Dan di samping itu juga dalam Islam juga tidak dijelaskan
tatanan pemilihan pemimpin dalam lembaga legislatif.
Perubahan pengisian jabatan ketua DPR tidak ditentukan oleh partai
pemenang pemilu melainkan dengan sistem paket. Sistem paket ini ialah 1
ketua dan 4 wakil dipilih dalam satu paket yang bersifat tetap. Pada pasal 84
Ayat (2) UU MD3 menyebutkan bahwa kriteria untuk ketua DPR adalah:
Pimpinan DPR sebagaimna yang terdapat pada ayat (1) dipilih dari
dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.12
Pengesahan UU MD3 ini menimbulkan adanya dualisme kubu di
antaranya Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Masing-masing dari koalisi tersebut saling menunjukkan kekuatanya di
parlemen. KMP merupakan partai oposisi, sedangkan KIH merupakan partai
koalisi pendukung pemerintah. Sebagai partai pemenang pemilu, PDIP
merasa dirugikan dengan disahkannya UU MD3 yang baru ini mengingat
kubu koalisi yang dibangunnya Koalisi Indonesia Hebat (KIH), merupakan
11
12

Lulu Hanifah,‛Berebut Kursi Kepemimpinan‛ Majalah Konstitusi, No. 93 (Oktober 2014), 14
UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.

8

koalisi yang jauh lebih ramping dari koalisi partai oposisi pemerintah Koalisi
Merah Putih (KMP). Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap permasalahan ini.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah

di

atas, maka penulis

mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Sistem pemilihan pimpinan DPR di Indonesia per periode,
2. Sejarah munculnya UU MD3,
3. Sistem Paket Pemilihan pimpinan DPR RI dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014,
4. Sistem paket pemilihan pimpinan DPR RI perspektif fiqih siyasah,
Dari identifikasi masalah di atas ditemukan batasan masalah sebagai
berikut:
1. Sitem Pemilihan Pimpinan DPR RI dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD,
2. Analisis Fiqih Siyasah Terhadap sistem pemilihan pimpinan DPR RI
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pemilihan pimpinan DPR RI menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD?

9

2. Bagaimana Analisis Fiqih Siyasah Terhadap sistem pemilihan pimpinan
DPR RI menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD?
D. Kajian Pustaka
Problematika dalam kepemimpinan Islam, merupakan topik yang
selalu dibahas mulai dari perebutan kekuasaan sepeningal Rasul. Hal ini
menyebabkan dualisme kepemimpinan. Pada masa itu ditandai dengan
pecahnya kubu yang mendukung Ali dan abu bakar sampai pada masa
sekarang. Pada hakikatnya, masalah kepemimpinan ini belum terdapat
ketentuan atau aturan yang pasti. Oleh karena itu, masalah kepemimpinan
dalam Islam menarik untuk diperbincangkan. Masalah ini menjadi lebih
menarik jika dikaitkan dengan masalah sosok pemimpin di Indonesia,
Terutama mengenai persyaratan pengangkatan pemimpin di Legislatif,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sejauh penelusuran penulis, belum ada karya ilmiah yang secara
spesifik membahas tentang pemilihan DPR dengan sistem paket dalam
tinjauan Fiqih Siyasah. Namun demikian, penulis menemukan beberapa karya
ilmiah yang memiliki tema yang sama.
Skripsi yang ditulis oleh Wahyu Efendi yang diterbitkan oleh Institut
Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2004 dengan judul
‚Studi Komparatif Tentang Mekanisme Pemilihan Anggota Legislatif (DPR,
DPD dan DPRD) Menurut UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu tahun

10

2004 dengan pemilihan Ahl al-hall wa al-‘aqd Menurut Al-Maududi‛
berisikan tentang mekanisme pemilihan anggota legislatif pada pemilu tahun
2004 dikomparasikan dengan pemilihan Ahl al-hall wa al-‘aqd menurut AlMaududi.13
Skripsi yang ditulis oleh Sumhari yang diterbitkan oleh Institut
Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2009 dengan judul
‚Tinjauan Fikih Siyasah Terhadap Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
dalam Penguatan Keanggotaan DPR RI ‚ berisikan tentang sistem pemilu
Proporsional terbuka untuk menguatkan kenaggotaan DPR RI ditinjau dari
sisi fikih siyasah..14
Berbeda dengan beberapa karya ilmiah di atas, penelitian ini akan
memfokuskan bagaimana perubahan sistem pemilihan pimpinan DPR RI
yang semula ditentukan oleh partai pemenang pemilu yang diubah melalui
sistem paket. Dalam sistem paket, pemilihan pimpinan dilakukan langsung
dengan 1 ketua dan 4 wakilnya. Sistem pemilihan pemimpin ini ditegaskan
dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD yang kemudian dikaji dalam perspektif Fiqih Siyasah.
E. Tujuan Penelitian
1. Agar mengetahui perubahan sistem pemilihan pimpinan DPR RI.

13

Wahyu Efendi, ‚Studi Komparatif Tentang Mekanisme Pemilihan Anggota Legislatif (DPR,
DPD dan DPRD) Menurut UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu tahun 2004 dengan
pemilihan Ahl al-hall wa al-‘aqd Menurut Al-Maududi‛ (Skripsi-IAIN Sunan Ampel,
Surabaya,2004).
14
Samhuri, ‚Tinjauan Fikih Siyasah Terhadap Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dalam
Penguatan Keanggotaan DPR RI‛ (Skripsi-IAIN Sunan Ampel, Surabaya,2009).

11

2. Agar mengetahui pandangan Fiqih Siyasah terhadap sistem pemilihan
pimpinan DPR RI menurut undang-undang nomor 17 tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Secara teoritis, hasil penelitian ini berguna untuk memberikan
kontribusi dalam khazanah ilmu politik. Selain itu, penelitian ini juga
memberikan sudut pandang lain yaitu Fiqh siyasah, sehingga memberikan
sumbangsih dalam ilmu politik Islam.
Sedangkan secara praktis, penelitian ini juga berguna bagi pelaku
politik maupun masyarakat Indonesia dalam menanggapi dan merespon
tentang pemilihan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR).
G. Definisi Operasional
Mengingat judul dalam penelitian ini adalah ‚Sitem Pemilihan
Pimpinan DPR RI dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 Tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD Perspektif Fiqih Siyasah‛. Guna mendapatkan
gambaran yang lebih jelas, dan agar tidak terjadi kesalah pahaman di dalam
memahami arti dan maksud judul di atas, maka perlu dijelaskan arti kata
sebagai berikut:
1. Sistem pemilihan: Dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket
yang bersifat tetap. Setiap fraksi mengajukan satu paket calon pimpinan
DPR15
15

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

12

2. pimpinan: Pimpinan DPR di dalam pasal 84 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terdiri atas 1
(satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan
oleh anggota DPR.16
3. DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang merupakan
lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara
dalam kekuasaan legislatif17 yang berfungsi pengawasan. Dalam konteks
ini peneliti menfokuskan pada DPR Pusat.
4. Fiqih Siyasah: Merupakan salah satu aspek hukum Islam membicarakan
pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi
mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri.18 Dalam konteks ini
penulis menggunakan konsep Ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai media
analisis.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan (library research) yang meneliti sumber-sumber pustaka
yang dipandang relevan dengan skripsi ini. Sehingga teknik pengumpulan
data skripsi ini19 menggunakan dokumenter, sumber primer dan sekunder

16

Ibid.
Pasal 25 huruf (a) UU RI No. 22 Tahun 2003 Tentang SUSDUK.
18
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam , (Jakarta: Gaya Media
Pratama, cet 1, 2001), 4
19
Bangbang Waluyo, Penelitian Hukum dengan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,1996), h. 50
17

13

yang telah dipublikasikan baik dalam bentuk buku, jurnal ilmiah maupun
dalam bentuk lainnya yang representatif dan relevan dalam skripsi ini.
2. Data yang dikumpulkan
a. Mengenai sistem pemilihan pimpinan DPR RI dalam pasal 84 ayat (2)
UU No.17 tahun 2014.
b. Pandangan Fiqih Siyasah terhadap sistem pemilihan pimpinan DPR
dalam UU No.17 Tahun 2014.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Sumber data Primer, yaitu bahan-bahan data yang mengikat, dan
terdiri dari:
1) UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD,
2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data yang mencakup buku-buku hukum yang memuat
serangkaian teori dan konsep tentang hukum dan memberikan
penjelasan mengenai sumber data primer serta bahan-bahan yang
didapat dari tulisan dan situs internet yang erat kaitannya dengan
masalah yang akan diteliti. Buku-buku tersebut diantaranya yaitu:
1) Imam Amrusi Jaelani dkk, Hukum Tata Negara Islam: Buku

Perkuliahan Program S-1 Jurusan Siyasah Jinayah Fakultas
Syari'ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

14

2) Nikmatul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia.
3) Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia

Pasca Amendemen UUD 1945.
4) Jimly Asshidqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi.
5) C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia.
6) Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah, kontekstualisasi Doktrin politik

Islam.
7) Nanang Tahqiq, Politik Islam.
8) Abd. Muih Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik

dalam Al-Quran.
9) Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam.
10) Abul A'la Al Maududi, terj.Muhammad Al-Bagil, Sistem Politik

Islam.
11) Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam

Rambu-rambu Syariah,
12) Imam Al-Mawardi, terj. Fadli Bahri, Al-Ahkām As-Sulthāniyah,
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal yang sangat penting dalam
proses penelitian, sebab untuk memperoleh hasil penelitian yang baik
sangat ditentukan oleh kualitas data yang diperoleh dalam suatu
penelitian. Kualitas data, sangatlah dipengaruhi oleh siapa narasumber,
bagaimana dan dengan cara apa data-data itu dikumpulkan.20
20

Zainan Mustafa, Mengurai Variabel Hingga Instrumentasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,2009), 92.

15

Dalam hal ini, teknik penggalian data yang akan peneliti lakukan
yaitu studi Dokumentasi karena penulis tidak mungkin mengharapkan
datanya dari penelitian lapangan. Oleh karena itu penelitian ini akan
menggunakan studi dokumentasi untuk menjawab persoalan yang akan
peneliti lakukan.
5. Teknik Pengolahan Data
Seluruh data yang terkumpul akan secara bertahap, yakni dengan
tahapan berikut:
a. Editing, adalah suatu cara untuk menemukan kembali data-data yang
sudah dikumpulkan. Serta meninjau kembali data-data yang sudah ada
untuk diketahui dengan pasti kejelasannya.
b. Organizing Data, yaitu menyusun, mensistematika data-data yang
sudah diperoleh ke dalam kerangka pembahasan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
c. Analizing, yaitu dengan melakukan analisis lanjutan secara kualitatif
terhadap hasil Organizing Data dengan menggunakan teori-teori,
dalil-dalil dan pendapat.
6. Metode Analisis Data
Jenis penelitian ini adalah kajian pustaka yaitu ‚Sistem Pemilihan
Pimpinan DPR RI dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Perspektif Fiqih Siyasah)‛.
a. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
analitis yaitu suatu cara untuk menguraikan atau menggambarkan

16

data yang ada sehingga diperoleh suatu pemahaman secara
menyeluruh. Dalam hal ini yang di diskripsikan adalah hal-hal yang
berhubungan dengan Sistem Pemilihan Pimpinan DPR RI dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (Perspektif Fiqih Siyasah).
b. Deduktif, yaitu pola pikir yang membahas persoalan yang dimulai
dengan memaparkan hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik
suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Dalam penelitian ini penulis
berangkat dari ketentuan umum menganai Sistem Pemilihan
Pimpinan DPR Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD(Perspektif Fiqh Siyasah).
I. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini terdiri dari lima bab dengan sistematika pembahasan
sebagai berikut:
Bab pertama yaitu pendahuluan yang merupakan langkah-langkah
penelitian yang berisi tentang latar latar belakang masalah, Rumusan
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua Membahas tentang Konsep Syura yang terdiri atas,
pengertian dan ladasan hukum syura, praktik syura pada masa Nabi
Muhammad SAW, Praktik syura pada masa Khulafaur Rasyidin dan
Pemilihan pimpinan menurut ahl al-hall wa al-‘aqd, dengan pokok bahasan

17

tentang pengertian dan fungsi ahl al-hall wa al-‘aqd, dasar hukum ahl al-hall

wa al-‘aqd, syarat ahl al-hall wa al-‘aqd, ,tugas dan wewenang ahl al-hall wa
al-‘aqd, dan pemilihan ahl al-hall wa al-‘aqd.
Bab ketiga Membahas mengenai sistem pemilihan pimpinan DPR RI
menurut undang-undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD. Sehingga dapat ditemukan bagaimana eksistensi DPR RI yang terdiri
dari pengertian, fungsi dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan
kewajiban dan sistem pemilihan pimpinan DPR RI.
Bab keempat berisi tentang analisis fiqih siyasah terhadap sistem
pemilihan pimpinan DPR RI dalam undang-undang nomor 17 tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sehingga dapat dijelaskan analisis
terhadap sistem pemilihan pimpinan DPR RI menurut undang-undang nomor
17 tahun 2014 dan dan analisis fiqih siyasah terhadap sistem pemilihan DPR
RI menurut undang-undang nomor 17 tahun 2014.
Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran.

BAB II
SISTEM PEMILIHAN PIMPINAN DPR MENURUT
HUKUM TATA NEGARA ISLAM
A. Konsep Syura
1. Pengertian dan Dalil Syura
Kata syura berasal dari kata kerja syawara>> yusyawiru yang berarti
menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu.
Bentukbentuk lain yang berasal dari kata syawara> adalah tasyawara,
artinya berunding, saling bertukar pendapat; syawir, yang artinya
meminta pendapat atau musyawarah.1 Jadi, syura atau musyawarah
adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan
menukar pendapat mengenai suatu perkara.
Mayoritas ulama syariat dan pakar undang-undang konstitusional
meletakkan musyawarah sebagai kewajiban keislaman dan prinsip
konstitusional yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar
baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash al-Qur’an dan hadis-hadis
nabawi. Oleh karena itu, musyawarah sangat lazim digunakan dan tidak
ada alasan bagi seorang pun untuk meninggalkannya.2
Menurut Muhammad Abduh, secara fungsional musyawarah adalah
untuk membicarakan kemaslahatan masyarakat dan masalah-masalah
masa depan pemerintahan. Dengan musyawarah, rakyat menjadi terdidik
1

M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta, UII Press,
2000),18
2
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), 35

18

19

dalam

mengeluarkan

pendapat

dan

mempraktekkannya,

bukan

mempraktekkan pendapat seorang kepala negara, sekalipun pendapatnya
benar. Karena orang banyak yang bermusyawarah akan jauh dari
melakukan kesalahan dari pada diserahkan kepada seseorang yang
cenderung membawa bahaya bagi umat. Lebih jauh Abduh menjelaskan
bahwa Allah SWT juga mewajibkan kepada para penguasa untuk
membentuk lembaga musyawarah, sebab ia merupakan perbuatan terpuji
di sisi Allah.3
Dalam al-Qur’an, ada dua ayat yang menyebutkan secara jelas
mengenai musyawarah, dan setiap satu dari dua ayat tersebut mempunyai
petunjuk

masing-masing.

Dua

ayat

yang

menerangkan

tentang

musyawarah tersebut antara lain Al-Qur’an surat Ali-Imra@n: 159.

             

            
       

Artinya:
‚Maka

disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya‛.4

3

J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), 220
4
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit J-Art,2005), 103

20

Menurut Farid Abdul Khaliq, perintah pada ayat di atas, sekalipun
ditujukan kepada Rasulullah SAW, tetapi perintah itu juga ditujukan
kepada pemimpin negara Islam di setiap masa dan tempat, yakni wajib
melakukan musyawarah dengan rakyat dalam segala perkara umum dan
menetapkan hak partisipasi politik bagi rakyat di negara muslim sebagai
salah satu hak dari hak-hak Allah yang tidak boleh dihilangkan.
Pelanggaran penguasa atas hak itu termasuk diantara kemungkaran
terbesar, karena begitu besarnya kerusakan dan kemudharatan yang
diakibatkan oleh sikap pelanggaran itu terhadap masyarakat dan negara.5
Al-Qur’an surat Asy-Syu@ra@: 38

        
  

Artinya:
‚Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya

dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki
yang Kami berikan kepada mereka‛.6

Menanggapi ayat di atas, Farid Abdul Khaliq berpendapat bahwa
ayat di atas mengandung penjelasan tentang sifat rakyat yang baik, dan
menyatakan bahwa musyawarah termasuk diantara ciri khas dan
keistimewaannya. Jika surat Ali-Imra@n: 159 menunjukkan bahwa
musyawarah adalah sistem hukum dalam Islam, maka surat Asy-Syu@ra@: 38

5
6

Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, 51.
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit J-Art,2005), 789

21

ini menunjukkan bahwa musyawarah adalah metode hidup. Jadi, kata
musyawarah dalam realitanya lebih luas maknanya dari pada kata
demokrasi, sebab demokrasi seringkali hanya dalam bentuk parlementer,
sedangkan musyawarah adalah metode hidup dalam setiap lembaga
pemerintahan, mulai dari penguasa sampai rakyat biasa.7
Dari penjelasan di atas, terlihat dengan jelas bahwa musyawarah
memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Disamping merupakan
bentuk perintah dari Allah SWT, musyawarah pada hakikatnya juga
dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang
demokratis. Dengan musyawarah, setiap orang yang ikut bermusyawarah
akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh
pendapat yang dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Di sisi lain,
pelaksanaan musyawarah juga merupakan bentuk penghargaan kepada
tokoh-tokoh dan para pemimpin masyarakat, sehingga mereka dapat
berpartisipasi

dalam

berbagai

urusan

dan

kepentingan bersama.

Bahkanpelaksanaan musyawarah juga merupakan bentuk penghargaan
kepada hak kebebasan dalam mengemukakan pendapat, hak persamaan,
dan hak memperoleh keadilan bagi setiap individu.
2. Prinsip-Prinsip Syura
Musyawarah akan membuahkan hasil yang diharapkan secara
optimal, valid dan dapat dipertanggung jawabkan apabila setiap peserta
menjunjung tinggi dan menghormati, dan menjaga prinsip-prinsip dasar
7

Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik …, 52

22

dalam musyawarah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah persamaan
dalam hak dan kewajiban, kebebasan dan keadilan.8
Prinsip yang pertama yang akan kita jelaskan yaitu prinsip
persamaan dalam musyawarah. Dalam kitab suci Al-Qur’an telah
menetapkan suatu prinsip bahwa Islam tidak membedakan siapapun
dalam mentaati peraturan perundang-undangan ataupun hukum, dan tidak
lebih tinggi dari yang lain. Apakah itu pemimpin, para penguasa, ataupun
rakyar jelata sekalipun, tetap menyukai kedudukan yang sama dimuka
hukum.
Al-Qur’an tidak metelolir perbedaan mukmin yang satu dengan
yang lainnya. Laki-laki atau perempuan. Selaras dengan pandangan
tersebut, Al-Qur’an menetapkan prinsip Syura untuk memandu proses
pengambilan keputusan masyarakat.9
Implementasi prinsip persamaan dalam Islam ini, menurut Artani
Hasbi pada dasarnya bertujuan agar setiap orang atau kelompok dan
golongan menemukan harkat dan martabat kemanusiaannya dan dapat
mengambangkan prestasinya dengan wajar dan layak. Prinsip persamaan
ini juga akan menimbulkan sifat saling tolong menolong dan sifat
kepedulian social dalam ruang lingkup luas.10
Prinsip yang kedua yaitu prinsip keadilan. Diantara nilai-nilai
kemanusiaan mendasar yang dibawa oleh Islam dan dijadikan sebagai
8

Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, 35
Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Penerjemah, Ena Hadi, (Bandung:
Mizan, 1993), 122
10
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, 37
9

23

pilar kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat adalah ‚keadilan‛.
Yang dimaksud dengan keadilan adalah memberikan kepada semua yang
berhak akan haknya, baik pemilik hak itu sebagai individu atau kelompok,
atau berbentuk sesuatu, dan bernilai, tanpa melebihi atau mengurangi,
sehingga

tidak

sampai

mengurangi

haknya

dan

tidak

pula

menyelewengkan atau mendzhalimi hak orang lain.11
Prinsip keadilan ini mendapatkan posisi dalam piagam Madinah dan
menjadi salah satu sitem perundang-undangan Negara Madinah. Semua
warga Negara, baik muslim maupun non muslim diperlakukan secara adil
dengan memperoleh hak perlindungan hak persamaan dalam kehidupan
social dan politik. Artinya, sebagai sesama manusia mendapat hak yang
sama untuk mendapat keadilan.12
Prinsip ini tidak disebut secara tegas oleh piagam Madinah. Tetapi
bila dipahami salah satu pasalnya, yakni pasal 17 telah dikutip, yang
menyatakan bahwa bila orang mukmin hendak mengadakan perdamaian
harus ada dasar persamaan dan adil diantara mereka, mengandung
konotasi bahwa untuk mengadakan perdamaian itu harus disepakati dan
diterima bersama.13
Tanpa musyawarah atau Syura persamaan atau adil itu mustahil
dapat dipenuhi, karena didalm Musyawarah semua peserta memiliki
persamaan hak untuk mendapatkan kesempatan secara adil untuk
11

Yusuf Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam. Penerjemah, Setiawan Budi Utomo,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), 128
12
Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, 223-224
13
Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, 208.

24

mengungkapkan pendpat dan pandangan masing-masing terhadap masalah
yang dirundingkan.14
Prinsip yang ketiga aitu prinsip kebebasan. Diantara nilai-nilai
kemanusiaan yang juga sangat diperhatikan oleh Islam adalah
‚kebebasan‛ yang dengannya dapat menyelamatkan manusia dari segala
bentuk tekanan, intimidasi, kediktatoran dan penjajahan. Kebebasan
disini meliputi: kebebasan beragama, kebebasab berfikir, kebebasan
berpolitik, kebebasan sipil dan segala bentuk kebebasan yang hakiki.15
Kata

bebas

disini

sering

disalah

gunakan.

Sebab,

bebas

sesungguhnya bukan berarti lepas dari segla keterkaitan . justru
sebaliknya, bebas di sini selalu mengandalkan keterkaitan dengan normanorma. Begitu juga kebebasan dalam islam bukanlah kebebasan yang
sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang terikat ikatan-ikatan syar’i.
Dan

kebebasan

dalam

sosila

politik

biasanya

disebut

dengan

‚kemerdekaan‛. Kebebasan atau kemerdekaan yang menjadi subtansi
Syura adalah kebebasan dan kemerdekaan dalam masyarakat atau dalam
kelompok.16
Artinya, mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan bentuk
dan sistem musyawarah serta mekanismenya disesuaikan dengan tuntutan
zaman dan tempat serta kebutuhan mereka. Yang penting dalam
pelaksanaan musyawarah itu dan prosedur pengambilan keputusannya,

14

Ibid., 208-209.
Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam, 113.
16
Ibid., 46-47
15

25

mereka tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran Islam, yaitu
kebebasan,

keadilan,

dan

persamaan

dalam

berbicara

dalam

mengemukakan pendapat.17
Prinsip-prinsip

Syura

dalam

pemerintahan

meliputi

aspek

persamaan dalam hak dan kewajiban, kebebasan dan keadilan, karena
dalam Islam seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an diatur bahwa tidak
ada perbedaan di antara manusia, baik muslim maupun non muslim,
antara laki-laki dan perempuan dan antara orang miskin atau rakyat jelata
sekalipun, dan tidak dibedakan pula berdasarkan warna kulit atau
dibedakan berdasarkan suku. Karena itu semuanya dianggap sama di mata
hukum. Dalam arti kata di dalam Syura atau hukum Islam sangat
menjunjung tinggi supremasi hukum. Sehingga segala yang diputuskan
atau ditetapkan dalam Syura dapat bersifat adil. Karena tujuan
bermusyawarah atau Syura adalah menetapkan keputusan yang dapat di
terima oleh semua pihak dan demi kemaslahatan bersama.
3. Praktik Syūrā Pada Masa Nabi
Ada beberapa peristiwa yang membuat Nabi harus melakukan
musyawarah dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini Zhafir al-Qasimi
mengatakan

bahwa

musyawarah

pada

masa

Rasulullah

dapat

diklasifikasikan kepada tiga bentuk. Pertama, Musyawarah yang terjadi
atas dasar permintaan Rasulullah sendiri. Adapun contoh dari ketegori ini
yaitu pada saat sebelum pecahnya perang Uhud. Karena kebimbangan
17

Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, 215-217.

26

antara dua pilihan, apakah berdiam diri saja di dalam kota untuk
menunggu atau menghadang musuh atau pergi keluar (mencari
keberadaan mereka) dalam menghadapi musuh. Akhirnya Rasul meminta
pendapat dengan mengatakan ‚Asyiru ‘alayya‛, ‚Berilah pandanganmu
kepadaku‛.18
Sebelum Rasul meminta pendapat para pemuka kaum muslim dan
pemuka orangorang munafik yang telah dikumpulkannya, beliau telah
mengemukakan pendapatnya serta meminta pandangan para sahabat
terlebih dahulu. Dalam hal ini, Rasul sangat memberi kebebasan kepada
para audiensnya untuk menuangkan pemikirannya. Walaupun Rasul telah
mengemukakan pendapatnya terlebih dahulu, namun hal itu beliau
lakukan tidak lain hanyalah sebagai pemberian gambaran dan bukan untuk
mempengaruhi pemikiran mereka.
Pada kasus di atas, akhirnya sampailah pada titik kesepakatan
dengan mengambil dari suara terbanyak. Namun dalam hal ini, satu hal
yang perlu diingat bahwa keputusan apapun yang didapatkan, keputusan
akhir haruslah dikemukakan oleh Nabi selaku pimpinan sidang pada saat
itu. Nabi tidak akan pernah mau untuk bertindak sendiri kecuali untuk
pemecahan masalah yang memang sudah diwahyukan Tuhan kepadanya.
Kedua, musyawarah yang dimulai oleh sahabat sendiri. Hal ini terjadi
pada saat terjadi perang Badar.19 Pada saat menjelang pertempuran, Rasul

18

Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-bari, Juz XIII, (Kairo: Dar al-Fikr, tt), 343
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press,
1990), h. 16

19

27

memutuskan bagi untuk menempati posisi yang dekat dengan mata air.
Namun hal tersebut mengundang pertanyaan bagi salah seorang dari
kelompok Ansar yang bernama Hubab bin Mundhir. Ia menanyakan
apakah keputusan Nabi itu atas petunjuk Allah, sehingga beliau dan
pasukan Islam tidak boleh bergeser dari tempat itu, atau apakah
keputusan itu beliau ambil sebagai pemikiran strategi perang biasa.
Namun pada saat itu Nabi menjawab bahwa sesungguhnya keputusan itu
beliau ambil bukanlah karena petunjuk Allah namun hanyalah perhitungan
beliau sendiri. Hubab berkata, kalau demikian halnya, wahai utusan Allah,
tempat ini kurang tepat. Karena menurut Hubab, alangkah lebih baiknya
apabila kita lebih maju kemuka, ke mata air yang paling depan. Kita bawa
banyak tempat air untuk diisi dari mata air itu, kemudian mata air itu
ditutup dengan pasir. Apabila nanti kondisinya mengharuskan pasukan
Nabi untuk mundur, maka mereka masih dapat minum dan musuh tidak.
Merasa mendapat saran yang cukup masuk akal, akhirnya Nabi pun
menerima baik saran Hubab untuk bergerak maju menuju lokasi yang
telah dikatakan oleh Hubab sebelumnya.20
Ketiga, yaitu bentuk musyawarah yang posisinya menempati antara
kedua bentuk yang telah dikemukakan sebelumnya. Dengan kata lain,
Rasulullah baru akan mengambil suatu tindakan musyawarah pada saat
menjelang saat-saat pelaksanaan. Salah satu peristiwa yang dapat
digolongkan ke dalam kategori ini adalah, pada saat Rasulullah
20

Ibid.

28

memutuskan untuk mengadakan perdamaian dengan kaum Gathafan
ketika perang Khandaq. Dalam kasus tersebut, Rasul telah menjanjikan
sepertiga hasil buah-buahan dari kota Madinah kepada sekutunya dengan
persyaratan mereka akan menarik pasukannya dari perang tersebut.
Ketika

janji

itu

sudah

akan

dilaksanakan,

Rasul

sempat

bermusyawarah dengan Sa’ad ibn Mu’az dan Sa’ad ibn ‘Ubadah mengenai
usul beliau, namun kedua sahabat itu menolak dengan alasan yang cukup
rasional di mata Rasul, akhir kata Rasul bersedia mundur dari keputusan
awalnya dan memilih untuk mendengar saran para sahabatnya.21
4. Praktik Syūrā Pada Masa Khulafa al-Rasyidin
Berbicara mengenai sejarah perjuangan Nabi, tidak terlepas dengan
adanya kisah pejuang setia para sahabat (al-Khulafa al-Rasyidin). Rasul
yang diutus Allah untuk menyempurnakan akhlaq manusia, telah
menorehkan pelajaran sangat berharga di mata para sahabat. Oleh sebab
itulah dalam pemilihan atau pengangkatan empat al-Khulafa al- Rasyidin
tidak terlepas dari penerapan ilmu Syūrā atau musyawarah yang telah
diterapkan oleh Rasulullah Saw sebelumnya.
a.

Musyawarah di Masa Abu Bakar
Ketika tersiar kabar bahwa Rasulullah wafat, para pemuka
kaum Anshar langsung berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah.22
Pertemuan yang diprakarsai oleh kaum Anshar dari Hazraj ini

21

At-Thabari, Tarikh al-Umam wa al Mulk, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, 1979), 503
Diantara para pemuka yang berkumpul, ada pula para perempuan yang ikut serta dalam
perkumpulan tersebut. Lihat Syekh Muhammad al-Hudhari Bek, Muhadharat Tarikh al-Umam alIslmaiyat, Jilid I, (Kairo: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra, tt), 167

22

29

bermaksud untuk melantik Sa’ad ibn Ubadah sebagai pemimpin
menggantikan Rasulullah. Berita pertemuan di Saqifah tersebut
akhirnya terdengar juga oleh dua tokoh Muhajirin yaitu Abu Bakar
dan Umar. Mereka berdua dan juga ditemani oleh Abu ‘Ubaidah
datang sebagai wakil dari kaum Muhajirin untuk mengadakan
musyawarah terbuka dengan kaum Anshar.
Dalam

musyawarah

tersebut,

mereka

mengemukakan

pendapatnya masingmasing. Kaum Anshar berpendapat bahwa dari
kalangannyalah yang berhak menjadi pengganti (khalifah) Rasulullah
begitupun sebaliknya, pihak Muhajirin pun berpendapat bahwa
pihaknyalah yang lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah pada
saat itu.
Ditengah perdebatan yang semakin tegang, akhirnya Abu Bakar
mewakili kaum Muhajirin mengusulkan agar Muhajirin sebagai Amir
dan Anshar sebagai Wazir. Usulan tersebut langsung ditanggapi oleh
seorang pemuka Anshar yang menyatakan dengan tegas keberatanya
atas usulan yang dikemukakan oleh Abu Bakar tersebut. Ia
mengusulkan agar kaum Anshar menjadi Amir dan Muhajirin pun
sebagai Amir. Hal ini jelas tidak dapat disepakati oleh kaum
Muhajirin yang lebih mementingkan persatuan dibandingkan
perpecahan. Karena apabila usul tersebut terlaksana maka sama

30

halnya dengan membagi umat Islam kepada dua pemerintahan, dan
itu akan memecah persatuan umat Islam.23
Ketika kesepakatan belum juga didapatkan dan situasi semakin
memanas, akhirnya seorang pemuka Anshar yang bernama Basyir ibn
Sa’ad menyatakan denganmlantang kata-kata yang cukup berkesan di
hati kalangan Anshar dan Muhajirin. Ia,mengatakan bahwa, ‚kaum
Muhajirin

lebih

utama

untuk

menjadi

khalifah

karena

Nabi,Muhammad berasal dari Qureys dan kaum Muhajirin pun
berasal dari Qureys‛.
Kata-kata Sa’ad tersebut akhirnya dijadikan kesempatan oleh
Abu Bakar untuk mencalonkan ‘Umar dan Abu ‘Ubaidah yang
notabene berasal dari kalangan Muhajirin. Namun keduanya menolak
pencalonan tersebut. Mereka justru berpendapat bahwa Abu Bakarlah
yang le

Dokumen yang terkait

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Implikasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Terhadap Kewenangan DPR RI Dalam Hal Penentuan Pimpinan DPR Dan Hak Imunitas DPR.

1 35 32

Kewenagan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR,DPR,DPD,dan DPRD

0 7 82

Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Peradilan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Studi Kasus Setya Novanto Ketua DPR RI Periode 2014-2019)

2 12 88

Kewenangan Badan Legislasi Sebagai Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat RI dalam Penyelesaian dan Optimalisasi Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2015-2016

2 17 80

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 3 88

HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD DAN DPRD (Studi Tentang Hak Asasi Manusia).

0 0 6

ANALISIS TERHADAP HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD DAN DPRD DITINJAU DARI PRINSIP NEGARA HUKUM.

0 0 14

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92 Puu-X 2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 0 2

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92 Puu-X 2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 0 17