Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Peradilan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Studi Kasus Setya Novanto Ketua DPR RI Periode 2014-2019)

(1)

(Studi kasus Setya Novanto ketua DPR RI periode 2014-2019)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : Renaldi Hendryan NIM : 1112048000043

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

i

(Studi kasus Setya Novanto ketua DPR RI periode 2014-2019)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh: Renaldi Hendryan NIM: 1112048000043

Pembimbing I Pembimbing II

Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum. Ismail Hasani, S.H., MH.

NIP. 196111011993031002 NIP. 197712172007101002

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

ii

RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (STUDI KASUS SETYA NOVANTO KETUA DPR RI PERIODE 2014-2019) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada program studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 30 September 2016 Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. NIP: 19691216 199603 1 001

PANITIA UJIAN:

Ketua : Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH (……….) NIP: 196911211994031001

Sekretaris : Nur Rohim Yunus, L.L.M (……….)

NIP: 197904162011011004

Pembimbing I : Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum. (……….)

NIP: 196111011993031002

Pembimbing II: Ismail Hasani, S.H, M.H (……….)

NIP: 197712172007101002

Penguji I : Dr. Kamarusdiana, S.Ag., M.H. (……….)

NIP: 197202241998031003

Penguji II : Nur Rohim Yunus, L.L.M. (……….)


(4)

iii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, September 2016


(5)

iv

SETYA NOVANTO KETUA DPR RI PERIODE 2014-2019). PROGRAM STUDI Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. x + 73 halaman + 4 halaman Daftar Pustaka.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam peradilan anggota DPR RI pada kasus Setya Novanto ketua DPR RI periode 2014-2019. Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam menyelesaikan kasus ini yang mana seharusnya mengeluarkan putusan terkait kasus tersebut. Sebagaimana sudah tertuang dalam undang-undang MD3 Tahun 2014 Pasal 146 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan putusan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat (1). Dalam hal pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak (2). Skripsi ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara ilmiah yaitu dalam ranah kajian ilmu hukum, maupun secara praktis dan akademis.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan normatif empiris. pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Bahan hukum yang digunakan penulis ada tiga yaitu bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Hasil dari analisis dan penelitian ini mengungkap bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan selaku lembaga yang berwenang mengadili kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR tak dapat memenuhi kewenangan nya sesuai yang telah diatur dalam UU MD3 atau peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Beracara MKD. Karena pada penyelesaian kasus ini MKD tidak mengeluarkan putusan apapun.

Kata Kunci : DPR, Anggota DPR, Mahkamah Kehormatan Dewan,

Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.


(6)

v

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KEWENANGAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM PERADILAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (Studi kasus Setya Novanto ketua DPR RI periode 2014-2019)” dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkankan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat.

Tidak lupa ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua tercinta ibunda Rosidah Nursa’at dan ayahanda John Hendry. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis baik secara materiil maupun immateriil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(7)

vi

4. Ismail Hasani, S.H., MH. Selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta masukan kepada penulis disela-sela kesibukannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.

5. Segenap Dosen serta staf Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas mendidik dan membimbing penuliis dari semester 1 hingga selesai penulisan skripsi ini.

6. Adik tercinta Relby Reynanda Azzahra, kakak-kakak Rossiana Deniari dan Aditya Pradana Putra yang telah memberikan dukungan dan semangatnya serta yang telah menemani penulis sejak kecil hingga selesainya penulisan skripsi ini.

7. Kekasih tercinta Lisa Fauziah Putri, S.pd atas dukungan moril, cinta dan kasih sayangnya kepada penulis selama ini dan tanpa lelah menemani penulis sejak penyusunan skripsi hingga selesai.

8. Teman-teman dan sahabat-sahabat tercinta dari Ilmu Hukum Angkatan 2012 Muhammad Yusuf, Sigit Ganda P, Dimas Anggri, Agie Zaky, Ade Kurniawan, Said Agung Sedayu, Muchtar Ramadhan, Muhammad Ansyori, Muhammad Raziv, Bagdhady Zanjani, Irvan Zidniy, M. Ariq Siregar, Murtadlo, Alif, Denny Fernandes, Farid Muhajir, dan teman-teman lainnya terimakasih atas kebersamaan dan keceriaannya selama ini.

9. Kelompok KKN Kayu Alyasa Gustiyono, Raka Dewo, Nadhira Gofur, Alvina Rahmawati, Pinto dan lainnya yang telah memberikan kesan dan persahabatan kepada penulis.


(8)

vii

dukungan serta motivasi dan juga atas kebersamaan dan pelajaran yang bisa penulis petik dari kalian semoga kita sukses bersama.

11. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga senantiasa dalam perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT.

Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 29 September 2016 Penulis


(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 9

E. Kerangka Konseptual ... 12

F. Metode Penelitian... 12

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II DPR SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ... 17


(10)

ix

C. Teori Perwakilan ... 32

D. Teori Mandat ... 35

BAB III MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN SEBAGAI ALAT KELENGKAPAN DPR RI A. Alat Kelengkapan DPR RI ... 38

B. Latar Belakang Mahkamah Kehormatan Dewan ... 50

C. Keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan... 53

D. Tugas, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan ... 54

BAB IV KASUS SETYA NOVANTO DAN PENYELESAIAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN A. Duduk Perkara Kasus Setya Novanto ... 57

B. Mekanisme Penyelesaian Kasus Oleh MKD ... 60

C. Analisis Penyelesaian MKD Terhadap Kasus Setya Novanto ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77


(11)

(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap penyimpangan di dalamnya.1 Hukum sendiri ada di dalam sebuah masyarakat yang berfungsi untuk menciptakan keamanan, ketentraman dan keteraturan di dalam berkehidupan dan hukum sendiri memiliki mekanisme untuk saling mengawasi.2 Sedangkan sanksi atau hukuman ada karena adanya hukum sebagai akibat dari perilaku yang melanggar aturan.

Negara adalah suatu organisasi yang hidup yang harus mengalami segala peristiwa yang menjadi pengalamannya tiap-tiap benda yang hidup. Plato (348-427 S.M.) mengatakan bahwa negara adalah suatu tubuh yang senantiasa maju, berevolusi terdiri dari orang-orang. Adapun menurut Grotius atau Hugo De Groot (1438-1645) bahwa negara adalah ibarat suatu perkakas yang dibuat manusia untuk melahirkan keberuntungan dan kesejahteraan umum. Berbeda dengan kedua pendapat tersebut, Karl Marx (1818-1883) berpendirian lain lagi, mengatakan bahwa negara adalah

1

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar_Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 1

2


(13)

suatu alat kekuasaan bagi manusia (penguasa) untuk menindas kelas manusia yang lainnya.3

Indonesia termasuk salah satu negara kesatuan. Negara kesatuan disebut juga dengan uniterisme atau eenbeistaat, ialah suatu negara merdeka dan berdaulat, dimana di seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah, jadi tidak terdiri dari beberapa daerah yang berstatus negara bagian (deelstaat) atau negara dalam negara. Dengan demikian dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijakan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah, di dalam maupun di luar negeri.4

Pemerintahan merupakan alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan. Oleh karenanya, pemerintah seringkali menjadi personifikasi sebuah negara. Pemerintah menegakkan hukum dan memberantas kekacauan, mengadakan perdamaian dan menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Pemerintah yang menetapkan, menyatakan dan menjalankan kemauan individu-individu yang tergabung dalam organisasi politik yang disebut negara, pemerintah adalah badan yang mengatur urusan sehari-hari,

3

Trianto dkk, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Prestasi Pustaka 2007), h. 118

4


(14)

yang menjalankan kepentingan-kepentingan bersama. Pemerintah melaksanakan tujuan-tujuan negara, menjalankan fungsi-fungsi kesejahteraan bersama.5

Indonesia membagi 3 kekuasaan untuk menjalankan tata pemerintahan. Yaitu lembaga eksekutif (Presiden), lembaga legislatif (MPR, DPR & DPD), serta lembaga yudikatif (MK, MA. dll). Ketiga lembaga negara ini memiliki tugas dan fungsi yang saling berkaitan satu sama lain. Sehingga ketiga lembaga negara ini tetap menjalankan tugas dan fungsinya tanpa ada tumpang tindih jabatan atau memiliki kekuasaan berlebihan dari apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Undang-Undang.

Lembaga-lembaga tersebut dalam praktik dan implementasi nya juga membutuhkan pengawasan agar tidak menyalahi peraturan yang ada dan agar tetap dalam jalur yang benar dalam menjalankan tugas nya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Setiap lembaga-lembaga mempunyai Tupoksi (Tugas pokok dan Fungsi) nya masing-masing, dimana semua nya telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilat Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau yang lebih dikenal dengan singkatan Undang-Undang MD3.

Setiap lembaga-lembaga negara memiliki alat kelengkapan, dimana alat kelengkapan ini dibentuk dan dijalankan oleh anggota dari setiap lembaga-lembaga negara tersebut untuk membantu setiap lembaga negara dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. MPR memiliki alat kelengkapan Pimpinan dan Panitia ad hoc. Sedangkan alat kelengkapam DPR terdiri atas

5


(15)

Pimpinan, Badan Musyawarah (Bamus), Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerjasama Antar-Parlemen, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), Panitia Khusus (Pansus) dan alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan DPR tentang Tata Tertib.6

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki satu alat kelengkapan yang bertujuan untuk menjaga kehormatan dan keluhuran para wakil rakyat yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Alat kelengkapan itu adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (selanjutnya disingkat MKD). Sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 & 2 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 yang berbunyi: “Mahkamah Kehormatan Dewan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Dari pengertian pasal 119 ayat 1 & 2 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 tadi dapat diketahui dengan jelas dan pasti apa tujuan utama dibentuknya alat kelengkapan DPR yang bernama Mahkamah Kehormatan Dewan ini. Tujuan utama dari dibentuknya MKD ini adalah untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, setiap anggota DPR (termasuk juga

6


(16)

ketua DPR) dalam menjalankan tugas nya tidak bisa bertindak diluar batas yang telah di tetapkan oleh Undang-Undang atau peraturan lain mengenai DPR.

Sehubungan dengan peran dan tugas MKD dalam menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat. Penulis tertarik untuk meneliti sebuah kasus yang berkaitan dengan Ketua DPR RI Periode 2014-2019 yaitu Setya Novanto dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik lantaran diduga meminta sejumlah saham kepada PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia beberapa waktu lalu.

Menanggapi kasus Setya Novanto MKD selaku alat kelengkapan DPR RI yang memiliki peran dan tugas untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dan memiliki tugas, fungsi dan wewenang yang salah satunya untuk memutus suatu perkara yang diduga dilakukan oleh anggota DPR yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPD (UU MD3) yang mengatur tentang Tata Tertib dan Kode Etik. MKD justru menutup kasus tersebut tanpa memberikan putusan apapun. Ini kiranya bertentangan dengan Tugas, Fungsi dan Wewenang yang dimiliki oleh MKD sebagai salah satu alat kelengkapan yang dimiliki oleh DPR.

Permasalahan tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan memahami bagaimana kewenangan MKD selaku alat kelengkapan DPR RI dalam menyelesaikan kasus pelanggaran kode etik yang menyangkut anggota DPR RI. Oleh karena itu, penulis mengambil judul tentang Kewenangan Mahkamah


(17)

Kehormatan Dewan dalam sidang etik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (studi kasus Setya Novanto).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu melebar maka penulis hanya membatasi masalah pada Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai alat kelengkapan DPR RI dalam sidang etik anggota DPR RI terkait kasus pelanggaran kode etik anggota DPR RI dalam studi kasus Setya Novanto hanya pada aspek Hukum Tata Negara.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalahnya akan dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran Kode Etik anggota DPR?

b. Bagaimana mekanisme Mahkamah Kehormatan Dewan dalam penyelesaian kasus pelanggaran kode etik anggota DPR RI Setya Novanto?

c. Apakah penyelesaian kasus Setya Novanto sudah sejalan dengan kewenangan dan tujuan Mahkamah Kehormatan Dewan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan di atas, tulisan ini bertujuan untuk:


(18)

a. Mengetahui kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran Kode Etik anggota DPR.

b. Mengetahui mekanisme Mahkamah Kehormatan Dewan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode Etik anggota DPR RI Setya Novanto.

c. Mengetahui apakah penyelesaian kasus Setya Novanto telah sesuai dengan kewenangan dan tujuan Mahkamah Kehormatan Dewan.

2. Manfaat Penulisan

a. Manfaat Teoritis

1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan menuangkan hasil-hasil penulisan tersebut dalam tulisan;

2) Menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dari bangku kuliah untuk diaplikasikan dalam praktik di lapangan;

3) Untuk memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya, maupun dalam bidang ketatanegaraan khususnya yakni dengan mempelajari literatur yang ada serta perkembangan hukum yang timbul dalam masyarakat.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis tulisan ini bertujuan menggali lebih dalam, serta sebagai bahan rujukan di masa yang akan datang tentang alat kelengkapan DPR RI. Selain itu, di dalam tulisan ini juga terdapat kasus-kasus terkini yang akan menambah pengetahuan serta kepekaan terhadap situasi hukum yang ada dalam masyarakat.


(19)

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam penelitian skripsi ini penulis merujuk kepada buku serta skripsi terdahulu dengan membedakan apa yang menjadi fokus masalah dalam rujukan dengan fokus masalah yang penulis terbitkan, diantaranya:

No Nama / Judul

skripsi, tesis, dan buku / Tahun

Subtansi Perbedaan dengan

penulis

1. Muhammad Iqbal

Hidayatullah, Problematika pemberi izin penyidikan oleh mahkamah kehormatan dewan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana Skripsi ini membahas tentang pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD

Skripsi ini berbeda dengan penelitian penulis yang menitik-beratkan kepada Kewenangan MKD duntuk tidak memberikan putusan dalam sidang etik, berbeda dengan skripsi ini yang membahas tentang penyidikan


(20)

2. Rizqi Ramadhani, Dilema badan kehormatan DPR antara penegak etika anggota dewan dan kepentingan fraksi

(studi kasus video pornografi

Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan BUMN) Skripsi ini menganalisa mengenai penegakkan kode etik oleh alat kelengkapan tetap DPR yang bernama Badan Kehormatan (BK DPR)

Perbedaan antara skripsi ini dengan Penulis adalah bahwa yang menjadi objek utama dalam skripsi ini adalah Badan Kehormatan (BK DPR). Berbeda dengan penulis yang mengangkat tentang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

3. Jimly Asshiddiqie,

perkembangan dan konsolidasi lembaga negara pasca reformasi Buku ini menjelaskan tentang kedudukan lembaga negara, termasuk

kedudukan DPR RI

Perbedaan dengan skripsi penulis yaitu buku ini membahasa tentang kedudukan


(21)

Pasca reformasi berdasarkan UUD 1945 dan juga Fungsi dan tugas DPR RI

pasca reformasi, sedangkan penulis hanya berfokus pada DPR RI nya saja.

4. Bivitri Susanti,

Mahkamah Kehormatan

Dewan Dalam Konteks Negara Hukum

Jurnal ini lebih menjelaskan

tentang posisi atau kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam sebuah negara hukum secara umum. Perbedaan jurnal ini dengan skripsi penulis adalah dalam skripsi penulis lebih menekankan tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam mengadili sidang Anggota DPR RI tidak hanya kedudukan MKD secara umum.


(22)

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

Penulis dalam pembahasan skripsi memakai teori dan konsep terkait istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Teori Perwakilan

Teori yang diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakil.

2. Teori Mandat

Teori ini lebih mengajarkan sistem keterwakilan melalui sebuah lembaga atau parlemen. Yaitu rakyat sebagai pihak terwakil dan lembaga parlemen sebagai pihak wakil.

3. Alat kelengkapan

Adalah sebuah unit kerja yang dibentuk untuk membantu menjalankan tugas dan fungsi DPR RI.

4. Mahkamah Kehormatan Dewan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 119 Mahkamah Kehormatan Dewan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.


(23)

Menurut Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR RI Pasal 1 DPR RI adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah: 1. Tipe Penelitian

Studi ini menggunakan studi penelitian yuridis normatif dengan judul Hukum Lembaga Negara terkait dengan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk tidak memberikan putusan dalam sidang etik anggota DPR RI (studi kasus Setya Novanto). Dalam kaitan nya, penulis mengacu pada peraturan perundang-undangan, gejala hukum serta norma-norma yang ada dalam masyarakat.

2. Pendekatan Masalah

Dalam hal ini penulis melakukan pendekatan normatif empiris, pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.7

3. Bahan Hukum

7

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)


(24)

Bahan hukum yang di gunakan antara lain:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundang-undangan, catataan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau putusan-putusan hukum.8 Bahan hukum yang terdapat di tulisan ini antara lain UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Tata Tertib (Tatib) DPR RI.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara, Konstitusi, Negara, Lembaga Legislatif, Skripsi tentang Hukum Tata Negara, Jurnal-Jurnal atau materi hukum lain nya yang mendukung penulisan ini.

c. Bahan non Hukum

Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti kamus hukum, ensiklopedia, berita hukum dan lain-lain.

4. Metode Pengumpulan Data

8


(25)

Metode pengumpulan data dalam penulisan ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, serta bahan non hukum yang telah di dapatkan kemudian dipadukan dan disusun sesuai dengan hierarkinya.

5. Analisis Data

Teknis analisis data dalam penelitian ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul yang penulis ambil. Kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi undang-undang tersebut.

Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis tersebut adalah: pertama, semua bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek bahasannya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi, yakni diuraikan dan dijelaskan tentang objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan


(26)

Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan penjelasan menyeluruh tentang isi skripsi, maka sistematika penulisan skripsi sebagai berikut:

BAB I, Pendahuluan. Dalam bab ini dijelasakan latar belakang masalah,

perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan

(review) kajian terdahulu, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II, Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat

Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Dalam bab ini dijelaskan mengenai Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Teori Perwakilan, dan Teori Mandat.

BAB III, Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai alat kelengkapan DPR RI.

Dalam bab ini, akan dijelaskan tentang alat kelengkapan DPR RI, latar belakang pembentukan MKD, Keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan serta Tugas, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan.

BAB IV, Kasus Setya Novanto dan Penyelesaian Oleh Mahkamah

Kehormatan Dewan. Bab ini merupakan inti dari penelitian skripsi, dalam bab ini

akan dibahas duduk perkara, Penyelesaian oleh MKD, analisis penyelesaian MKD terhadap kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh anggota DPR RI.


(27)

BAB V, Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian skripsi ini, dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran.


(28)

BAB II

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

INDONESIA A. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ialah salah satu lembaga negara dalam struktur ketatangeraan Indonesia. DPR merupakan lembaga pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, atau sebagai lembaga legislatif. Fungsi DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 20A Ayat (1), adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.9 Diantara ketiga fungsi DPR itu, fungsi pengawasan bagi DPR dapat menjadi fungsi yang sangat vital diantara fungsi-fungsi lainnya, sebab melalui fungsi pengawasan ini lembaga ini sebenarnya dapat melindungi kepentingan rakyat. Dengan fungsi ini DPR dapat mengawasi pelaksanaan kewajiban yang diemban oleh lembaga negara lainnya yaitu lembaga eksekutif.

Selain itu, dalam sistem negara yang demokratis fungsi kontrol (pengawasan) merupakan konsekuensi logis dalam memperbaiki diri.10 Karena keseimbangan diantara cabang-cabang kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus tetap terjaga agar tidak terjadi tumpang tindih kekuasaan atau bahkan dominasi yang

9

A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kompas 2009), h. 310

10

Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalisa Indonesia, 1983), h. 82


(29)

dimiliki oleh salah satu cabang kekuasaan diantara cabang kekuasaan yang lain. Jika dikaitkan dengan hukum tata negara, fungsi pengawasan ini dapat berarti sebagai penyeimbang diantara lembaga-lembaga negara demi tercapainya tujuan bernegara sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan kata lain pengawasan ini berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegaraan sesuai hukum yang berlaku.11

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali tiga (tiga) hak, yakni:

A. Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

B. Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

C. Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:

a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;

b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau

11

Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia : 30 Tahun Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 285


(30)

c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Selain hak-hak tersebut diatas, DPR juga memiliki beberapa hak antara lain, hak mengajukan pertanyaan yaitu hak yang dimiliki anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah baik secara lisan maupun tertulis terkait dengan tugas dan wewenang DPR. Kemudian ada hak menyampaikan usul dan pendapat adalah hak untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah maupun DPR. Dan terakhir hak imunitas, yaitu kekebalan hukum dimana setiap anggota DPR tidak dapat dituntut dihadapan dan diluar pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan maupun tertulis dalam rapat-rapat yang diadakan oleh DPR.

Biasanya, dalam berbagai konstitusi negara-negara berdaulat diadakan perumusan mengenai tugas pembuatan undang-undang (legislasi) dan tugas pelaksanaan undang-undang itu (eksekutif) ke dalam dua kelompok pelembagaan yang menjalankan peranan yang berbeda. Meskipun demikian, apabila ditelaah secara mendalam, tidak satu pun teks konstitusi maupun praktik dimanapun yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif itu secara kaku. Baik


(31)

dalam rumusan formal apalagi dalam kenyataan praktik, fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif selalu bersifat tumpang tindih.12

Selain itu, dalam menjalankan tugasnya Lembaga legislatif juga bertugas untuk menjalankan konstitusi. Dalam pengertian sederhana, konstitusi adalah suatu dokumen yang berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi.13 Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas stukturnya, mulai dari organisasi mahasiswa, perkumpulan masyarakat di daerah tertentu, serikat buruh, organisasi-organisasi kemasyarakatan, organisasi-organisasi politik, organisasi-organisasi bisnis, perkumpulan sosial sampai ke organisasi tingkat dunia seperti, perkumpulan ASEAN, European

Communities (EC), World Trade Organization (WTO), Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB), dan sebagainya semuanya membutuhkan dokumen dasar yang disebut konstitusi.14

Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Bahkan negara yang tidak memiliki satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap memiliki aturan-aturan yang tumbuh. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu

12

Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI Press, 1996), h. 95

13

Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blacksrone Press Ltd., 1997), h. 3

14

Satya Arinanto & Nunuk Triyanti, ed,. memahami hukum dari konstruksi sampai implementasi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada 2009), h.217


(32)

adalah rakyat. Jika negara itu menganut paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi.15

Di Indonesia prinsip kedaulatan yang dianut adalah kedaulatan rakyat, oleh karena itu sumber legitimasi konstitusi berasal dari rakyat. Tugas dan peran lembaga-lembaga negara utama adalah menjalankan konstitusi berdasarkan kedaulatan rakyat Indonesia. Ajaran kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya pemilihan umum yang menghasilkan dewan-dewan rakyat yang mewakili rakyat dan yang dipilih langsung atau tidak langsung oleh seluruh warga negara yang dewasa. Para dewan inilah yang sangat berkuasa.16

Perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen ini biasanya dikenal dengan adanya dua sistem, yaitu sistem unikameral dan sistem bikameral. Sistem unikameral terdiri atas satu kamar, sedangkan sistem bikameral mempunyai dua kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.17 Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menganut sistem yang agak mendekati sistem bikameral, yaitu terdiri atas dua kamar melalui kehadiran Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwkilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini masih dianggap tidak sempurna karena masih terbatasnya DPD dalam dunia perpolitikan di Indonesia.

15

Satya Arinanto dkk, memahami hukum………. h. 218

16

Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1992), h. 108

17


(33)

B. DPR Menurut Undang-Undang Dasar 1945 1. DPR Sebelum Amandemen UUD 1945

DPR sebagai salah satu cabang kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sejatinya mengalami beberapa perubahan sebelum akhirnya dapat berdiri dan dipandang sebagai salah satu lembaga perwakilan rakyat yang penting dewasa ini. Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno untuk memberlakukan kembali UUD 1945 tentu saja memberikan kesempatan sekali lagi bagi pemerintah Indonesia untuk menggunakan sistem presidensial. Sistem yang berlaku hingga pemerintahan orde baru selama 32 tahun.18

Kedudukan serta peran parlemen selama pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto selama 32 tahun dinilai sangat lemah. Seperti apa yang diungkapkan oleh Dahlan Ranuwihardjo, menurutnya untuk mengukur atau menilai peran dan kedudukan lembaga legislatif ini baik sebelum maupun pasca amandemen hanya ada satu tolak ukur yang pantas dijadikan acuan, yaitu UUD 1945. “untuk membahas dan menilai praktek-praktek ketatanegaraan pada masa lalu dan masa pasca orde baru, kita harus mempergunakan kriteria atau tolak ukur yang sama. Menurutnya kriteria itu adalah UUD 1945.”19

Menurut UUD 1945 sebelum amandemen, peran dan fungsi DPR hanya terbatas pada hak mengajukan rancangan undang-undang. Bunyi pasal 21 ayat (1)

18

Moch. Nurhasim & Ikrar Nusa Bakti, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 23

19

A. Dahlan Ranuwihardjo, Seminar Nasional, Format Lembaga Kepresidenan Menuju Demokratisasi Kehidupan Politik Dimasa Depan, (September 1998), h. 5


(34)

UUD 1945, misalnya, mengatakan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang. Ketentuan tersebut tentu saja menumpulkan peran legislasi dan dinamisasi fungsi lembaga legislatif ini selama kurang lebih 32 (tiga puluh dua) tahun. Peran DPR selama masa itu (sebelum amandemen UUD 1945) tampaknya hanya menjadi lembaga pelengkap dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, unuk melengkapi teori trias politica yang dianut oleh negara ini. Bahkan bisa dikatakan bahwa DPR pada masa itu tidak lebih dari sekedar corong bagi lembga eksekutif.20

Latar belakang keanggotaan DPR hasil pemilu selama Orde Baru mudah diidentifikasi.sebab untuk setiap pemilihan umum, anggota DPR selalu dipilih dari organisasi atau kelompok yang sama, yakni birokrasi, partai politik, pimpinan organisasi kemasyarakatan dan kalangan ABRI. Pada masa pemerintahan Soeharto, semua calon anggota DPR wajib mengikuti proses seleksi yang dikenal dengan istilah

Litsus atau Penelitian Khusus. Litsus diberlakukan untuk semua calon anggota DPR

dari partai politik maupun anggota DPR yang diangkat dari kalangan ABRI dan golongan non ABRI.21

Berdasarkan UUD 1945, lembaga DPR RI memiliki tiga fungsi utama yakni, fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Pelaksanaan ketiga fungsi ini mengalami proses pasang surut sesuai dengan sistem dan situasi politik secara nasional. Pada

20

Formappi, Lembaga Perwakilan Rakyat dI Indonesia : Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Formappi, 2005), h. 75

21


(35)

masa Presiden Soekarno misalnya, Konstituante dibubarkan karena dinilai tidak mampu menyusun UUD. Sedangkan pada masa Presiden Soeharto, DPR berada di bawah dominasi eksekutif sehingga ketiga fungsinya tidak dapat berjalan secara efektif..22

Dominasi eksekutif begitu terasa pada masa orde baru sehingga melumpuhkan tugas, fungsi dan wewenang DPR yang sejatinya merupakan sebuah lembaga perwakilan rakyat. namun pada masa ini DPR seakan tidak berkutik di bawah Eksekutif. Bahkan pemilihan anggota DPR pun ikut didominasi oleh eksekutif yang pada saat itu terkesan sangat superior. Seakan tak bernyali, peran DPR pada masa ini hanya terletak pada pengajuan rancangan undang-undang (Pasal 21 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen).

Hal ini berdampak buruk bagi situasi politik dan sistem pemerintahan yang berjalan di Indonesia. Dominasi eksekutif pada masa orde baru seakan melemahkan peran lembaga negara lain, sehingga pemerintahan pada masa ini dapat berjalan selama 32 tahun tanpa ada yang dapat menghentikan. Namun apakah dominasi eksekutif yang super power terhadap lembaga negara lain bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik? Kenyataannya justru setelah 32 tahun dominasi itu berakhir masih banyak hal yang dijadikan pekerjaan rumah tangga bagi bangsa Indonesia.

Mulai dari sisi ekonomi dimana Indonesia mengalami krisis moneter (finansial), dilanjutkan pada sisi sosial budaya yang hampir musnah karena banyaknya daerah-daerah yang memaksa ingin keluar dari bagian kekuasaan Negara

22


(36)

Republik Indonesia dan membentuk negara mereka sendiri hingga berkurangnya kepercayaan masyarakat akan pemerintah mengakibatkan goncangan dan gejolak yang luar biasa bagi bangsa Indonesia pada saat itu. Pemerintahan yang sudah berjalan selama 32 tahun itu dianggap tidak lagi berpihak kepada rakyat dan lebih mementingkan eksistensi satu pihak sehingga banyak merugikan rakyat Indonesia.

2. DPR Sesudah Amandemen UUD 1945

Orde baru berakhir setelah disampaikannya pernyataan “mundur” atau “berhenti” dari Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 di Istana Negara, Jakarta.23 Proses transisi politik dari masa orde baru menuju reformasi juga ditandai dengan pembenahan institusi kelembagaan negara. Selanjutnya pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 1999 juga merupakan amanat dari MPR menurut ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara.24

DPR merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, keberadaan lembaga perwakilan rakyat diangggap sangat berarti dalam penyelenggaraan sistem ini. Lembaga negara ini merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal

23

A. Malik Haramain & M.F. Nurhuda, Mengawal Transisi Refleksi Atas Pemantauan Pemilu ’99, (Jakarta: Jaringan Masyarakata Pemantau Pemilu Indonesia Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (JAMPPI- PB PMII, 2000), h. 8

24

Armany Aisyah, Pasang Suurut Peran MPR-DPR 1945-2004, (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2004), h. 334


(37)

menentukan kebijakan yang mengikat seluruh rakyat. Lembaga perwakilan atau lembaga legislatif saat ini di berbagai negara disebut dengan nama parlemen.25

Lembaga ini disebut parlemen karena kata parle berarti bicara, artinya mereka harus menyuarakan hati nurani rakyat. Maksudnya setelah mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan rakyat, mereka harus membicarakan dalam sidang perlemen kepada pemerintah. Oleh karena itu, DPR dibentuk di pusat untuk mengkritisi pemerintah pusat dan dibentuk di daerah untuk mengkritisi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten sesuai tingkatannya.26

Dewan Perwakilan Rakyat di negara demokratis disusun sedemikian rupa sehingga ia mewakili mayoritas rakyat. Pemerintah haruslah bertanggung jawab kepadanya. Dewasa ini, anggota parlemen umumnya mewakili rakyat melalui partai politik, yang dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation). Dengan sistem demikian, masyarakat adalah pihak yang diwakili atau selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili opini, sikap dan kepentingannya kepada lembaga perwakilan politik di dalam proses politik dan pemerintahan. Bekerjanya peran dan fungsi badan perwakilan rakyat di satu pihak dan di pihak lain ditentukan oleh perwujudannya sebagai suatu organisasi yang mewadahi proses politik.27

25

Reni Dwi Purnomowati, Implementasi SIstem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 10

26

Inu Kencana Syafiie, Proses Legislatif, (Bandung: Refika Aditama, 2014), h. 55

27

A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), h. 72


(38)

Pasca orde baru, kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan telah diatur dalam UUD 1945. Menurut UUD 1945 DPR mempunyai tugas yang penting di bidang ketatanegaraan Indonesia. Tugas sekaligus fungsi itu dapat dibagi atas,

pertama, fungsi legislatif, kedua, fungsi pengawasan, dan ketiga, fungsi anggaran.

Khusus untuk fungsi pengawasan, beberapa pakar tatanegara, misalnya Ismail Suny, membaginya dalam tiga bentuk: pertama, mengontrol eksekutif (control of

executive); kedua, mengontrol anggaran dan belanja negara (control of expenditure);

dan ketiga, mengontrol atas pajak (control of taxation).28

Penegasan pertama kali tentang tindak lanjut fungsi parlemen dalam bentuk tugas dan wewenang diatur dalam tatib (tata tertib) DPR berdasarkan Keputusan DPR Gotong Royong Nomor 10/DPR-RI/III/1966-1969.29 Pada hakikatnya tiga fungsi utama DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga fungsi ini selalu bersentuhan dengan fungsi lainnya, misalnya ketika DPR menghasilkan Undang-Undang yang kemudian disetujui bersama dengan Presiden, maka DPR harus mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan produk Undang-Undang oleh lembaga Eksekutif yakni Presiden.30

Perubahan pertama terhadap UUD 1945 terjdi pada 19 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 Oktober 1999. Dalam perubahan ini, terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam membentuk

28

A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun………. h. 78

29

Ronny Bako, Rancangan Disertasi Untuk Ujian Pra Promosi, 2003, h.4

30

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 184


(39)

Undang, yang diatur dalam Pasal 5, berubah menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan Dewan Perwakilan Rakyat memgang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20). Perubahan pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan Presiden beralih ke tangan DPR. Rumusan Pasal 20 (baru) berbunyi sebagai berikut:

1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.31

Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari sebelumnya di tangan Presiden dan dialhikan kepada DPR merupakan langkah konstitusional untuk

31

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), h. 166-167


(40)

meletakkan secara tepat fungsi-fungsi lembaga negara sesuai bidang tugasnya masing-masing yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Perubahan UUD 1945 yang tercakup dalam materi tentang Dewan Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk memberdayakan DPR dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya.32

Untuk melaksanakan fungsinya tersebut, sesuai dengan amanat UUD 1945 setelah diamandemen, parlemen mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

1) Membentuk Undang-Undang;

2) Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); 3) Melaksanakan pengawsan terhadap pelaksanaan Undang-Undang,

pelaksanaan APBN dan kebijakan Pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan Ketetapan MPR RI;

4) Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal pengangkatan duta besar dan penerimaan duta negara lain;

5) Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal pemberian amnesti dan abolisi

6) Membahas hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),

32


(41)

yang disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR untuk dipergunakan sebagai bahan pengawasan;

7) Memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan

perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain serta meratifikasi perjanjian internasional yang dilakukan oleh Preiden;

8) Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; 9) Melaksanakan hal-hal yang ditugaskan kepada DPR oleh Ketetapan

MPR RI dan/atau Undang-Undang.33

C. Teori Perwakilan

Perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakil dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil.34 perwakilan dalam konteks teori modern merupakan mekanisme hubungan antara penguasa dan rakyat. Maka hubungan antara penguasa dan rakyat harus harmonis serta harus memiliki tanggungjawab penuh kepada seluruh masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan, guna terciptanya keseimbangan dalam menjalankan roda pemerintahannya.35

Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan rakyat tidak lagi

33

A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun………. h.77

34

Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 1

35


(42)

dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga perwakilan. Sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada masalah perwakilan ini, pertama menyangkut pihak yang diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang mewakili, dan ketiga berkaitan dengan bagaimana hubungan serta kedudukannya.36

Tata pemerintahan perwakilan demokratis meniscayakan hubungan fungsional yang harus terjalin antara (anggota) dewan perwakilan rakyat dengan pemerintah terpilih, yakni dewan menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat, pemerintah memenuhi kepentingan dan kebutuhan rakyat yang terpantulkan dari aspirasi dan kepentingan yang disuarakan perwakilan politik, kemudian pemerintah terpilih mengakomodasi hsil pengawasan dan koreksi dewan untuk menyempurnakan kebijakan pemenuhan kebutuhan masyarakat.37

Secara singkat dalam teori perwakilan ini, rakyat bertindak selaku pihak terwakil memberikan aspirasi serta kepercayaan mereka akan kebutuhan dalam hidup bernegara dan berbangsa kepada para anggota dewan melalui lembaga perwakilan rakyat sebagai wakil yang dipilih oleh rakyat secara demokratis. Perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak didasarkan atas kepentingan masyarakat secara menyeluruh bukan untuk kepentingan sepihak baik untuk si terwakil maupun si

36

Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat, (Medan: Syah Kuala University Press, 2008), h. 41

37

Sebastian Salang, dkk, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), h. 195


(43)

wakil. Melalui teori ini diharapkan terjadi keseimbangan dan keselarasan antara rakyat dan lembaga perwakilan rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan.

Dalam dunia Islam istilah perwakilan atau sebagaimana yang kita ketahui sebagai kepemimpinan dalam suatu masyarakat telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat As-Sajdah (32) ayat 24 seperti dikutip sebagai berikut:

ﺎَﻛَواﻮُﻧﺎَﻳﺂِﺑﺎَﻨِﺘَﻧﻮُﻨِﻗﻮُﻳ

ۖ◌

ْﻢُﻬْـﻨِﻣًﺔﱠﻤِﺋَﺄَﻧوُﺪْﻬَـﻳﺎَﻧِﺮْﻣَﺄِﺑﺎﱠﻤَﻟاوُﺮَـﺒَﺻ

ﺎَﻨْﻠَﻌَﺟَو

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar . Dan adalah mereka meyakini

ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah (32) :24).

Perwakilan atau kepemimpinan telah disebutkan dalam Al-Qur’an oleh karena itu, untuk menjaga kestabilan dan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, perlu adanya keselarasan antara rakyat dan pemimpin atau perwakilan. rakyat yang dipimpin harus mentaati segala bentuk peraturan dan kebajikan yang dibuat oleh pemimpin untuk masyarakat. Ketaatan terhadap pemimpin juga telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa (4) ayat 59 sebagai berikut:

ْﻢُﺘْﻋَﺯﺎَﻨَﺗ ْﻥِﺈَﻓ ۖ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ِﺮْﻣَ ْﻷﺍ ﻲِﻟﻭُﺃَﻭ َﻝﻮُﺳﱠﺮﻟﺍ ﺍﻮُﻌﻴِﻁَﺃَﻭ َ ﱠﷲ ﺍﻮُﻌﻴِﻁَﺃ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ َﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎَﻬﱡﻳَﺃ ﺎَﻳ

ُﻦَﺴْﺣَﺃ َﻭ ٌﺮْﻴَﺧ َﻚِﻟ َٰﺫ ۚ ِﺮِﺧ ْﻵﺍ ِﻡْﻮَﻴْﻟﺍَﻭ ِ ﱠﻟﺎِﺎ َﻥﻮُﻨِﻣْﻣُﺗ ْﻢُﺘْﻨُﻨ ْﻥِﻥ ِﻝﻮُﺳﱠﺮﻟﺍَﻭ ِ ﱠﷲ ﷲَﻟِﻥ ُ ﻭﱡﻭُﺮَﻓ ﻓ ْﻲَﻲ ﻲِﻓ

ًﻼﻳِﻭْﺄَﺗ

“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu


(44)

D. Teori Mandat

Cara melaksanakan kekuasaan negara ialah senantiasa mengingat kehendak dan keinginan rakyat. Jadi, tiap tindakan dalam melaksanakan kekuasaan negara tidak bertentangan dengan kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa sedapat mungkin berusaha memenuhi segala keinginan rakyat.38 Dalam pelaksanaannya Lembaga Perwakilan Rakyat atau parlemen atau dalam hal ini DPR berperan sebagai lembaga yang menampung aspirasi rakyat dan menyuarakan aspirasi tersebut kepada pemerintah. Hal ini berarti ada satu keterkaitan antara rakyat sebagai pihak yang memberi amanat atau mandat dan parlemen sebagai pihak yang menerima dan menjalankan amanat atau mandat tersebut.

Partisipasi masyarakat dalam perwakilan politik berawal dari ide atau konsepsi demokrasi sebagai gambaran tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam teori mandat, wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik. Oleh karena itu, wakil hendaknya selalu berpandangan, bertindak dan bersikap sejalan dengan mandat yang diberikan terwakil dalam melaksanakan tugasnya.39 Dalam hubungan antara rakyat dan pemerintah atau sebagai pihak yang terwakili dengan pihak yang mewakili terdapat beberapa teori mandat yaitu:

38

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h. 43-44

39

Lili Romli, ed., DPR RI Periode 2009-2014: Catatan Akhir Masa Bakti, (Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR Republik Indonesia, 2013), h. 22


(45)

1. Mandat Imperatif

Menurut ajaran ini si wakil bertugas dan bertindak di lembaga perwakilan sesuai dengan instruksi yang telah diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak diluar instruksi tersebut dn apabila ada hal-hal baru yang tidak terdapat dalam instruksi tersebut maka si wakil harus mendapat instruksi baru yang diwakilinya baru dapat melaksanakannya.

2. Mandat Bebas

Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Prancis dan Black Stone di Inggris. Ajaran ini berpendapat si wakil dapat bertindak tanpa bergantung instruksi dari yang diwakilinya. Menurut ajaran ini si wakil adalah orang-orang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atas nama rakyat.

3. Mandat Representatif

Dalam teori ini, sang w akil dianggap tergbung dalam lembaga perwakilan (parlemen). Dalam teori ini sang terwakil (rakyat) memilih wakil (anggota parlemen) melalui lembaga perwakilan. Sehingga tidak ada hubungan pasti atau keterikatan dalam bentuk apapun antara wakil dan yang terwakili apalagi pertanggungjawaban dari sang wakil terhadap yang terwakili. Teori ini pada hakikatnya benar-benar mengajarkan bentuk atau sistem keterwakilan secara


(46)

murni. Karena tidak ada hubungan yang pasti antara wakil dan terwakili, maka lembaga perwakilan lah (parlemen) yang mempunyai tanggung jawab terhadap sang terwakil (rakyat).40

Melihat berbagai bentuk dari teori mandat tersebut, teori mandat hampir menuangkan atau menyatakan hal yang sama dengan teori perwakilan, namun dengan bentuk dan sistem yang lebih berbeda. Jadi, menurut kedua teori ini ada suatu hubungan antara rakyat dan wakil rakyat untuk menjalankan suatu roda pemerintahan meskipun hanya mengandalkan sebuah teori tanpa ada suatu peraturan tertulis.

40

Sri Andriyani, “Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD DAN DPRD.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitasa Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. H. 20


(47)

BAB III

MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN SEBAGAI ALAT KELENGKAPAN DPR RI

A. Alat Kelengkapan DPR RI

Dalam menjalankan tugasnya DPR memiliki satuan atau unit kerja yang disebut dengan Alat Kelengkapan DPR RI. Berdasarkan undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyata Daerah (UU MD3) DPR memiliki alat kelengkapan yang bertugas sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang mereka masing-masing. Untuk mendukung kinerja setiap Alat Kelengkapan dibantu oleh unit pendukung. Unit pendukung yang dimaksud terdiri dari tenaga administrasi dan tenaga ahli.

Alat kelengkapan DPR RI juga beragam kedudukannya. Ada alat kelengkapan yang bersifat tetap dan ada juga yang bersifat sementara. Alat kelengkapan yang bersifat tetap adalah alat kelengkapan yang sudah sejak lama terbentuk dan menjalankan tugasnya secara terus-menerus dan berkelanjutan. Sementara alat kelengkapan yang bersifat sementara adalah alat kelengkapan yang dibentuk hanya untuk menyelesaikan suatu isu atau kasus yang sedang terjadi dan menjadi kewenangan DPR untuk menyelesaikannya dan alat kelengkapan ini bubar setelah selesai menjalankan tugas yang diberikan kepadanya. Selain kedudukannya


(48)

perbedaan satu sama lain dari alat kelengkapan DPR ini terletak pada fungsi dan tugas masing-masing alat kelengkapan.41

1. Pimpinan

Pimpinan DPR terdiri dari 1 ketua dan 4 orang wakil ketua yang mana dipilih dari dan oleh anggota DPR. Ketua dan wakil ketua pimpinan dipilih dalam satu paket dan bersifat tetap untuk satu masa periode kepemimpinan DPR (5 tahun). Pemilihan ketua dan wakil ketua pimpinan dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam sidang paripurna DPR. Pimpinan DPR memiliki tugas yang diatur melalui Pasal 31 ayat (1) Tata Tertib (tatib) DPR RI, sebagai berikut:

1) Pimpinan DPR bertugas:

a. memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;

b. menyusun rencana kerja pimpinan DPR;

c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR;

d. menjadi juru bicara DPR;

e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR;

f. mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya; g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga

negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR; h. mewakili DPR di pengadilan;

i. melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi Anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

j. menyusun rencana kerja dan anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna DPR;

k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu;

41

Riris Katharina, ed., Kajian Terhadap Tata Tertib DPR RI, (Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR Republik Indonesia, 2008), h. 41


(49)

l. menindaklanjuti usulan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk membentuk panel sidang dalam hal pelanggaran kode etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian; dan

m. menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh Anggota dalam rapat paripurna DPR.

2. Badan Musyawarah

Badan Musyawarah merupakan salah satu alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Susunan keanggotan alat kelengkapan ini ditetapkan DPR pada masa permulaan keanggotaan dan permulaan tahun sidang. Pimpinan Badan Musyawarah merupakan Pimpinan DPR juga karena jabatannya. Dan oleh karena itu pula, Pimpinan DPR tidak boleh merangkap sebagai anggota atau mewakili fraksi manapun. Menurut peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 50 Badan Musyawarah memiliki tugas yang antara lain:

a. menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna DPR untuk mengubahnya;

b. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan wewenang dan tugas DPR; c. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan

DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas masing-masing;

d. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-undang mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPR;

e. menentukan penanganan suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR;

f. mengusulkan kepada rapat paripurna DPR mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah dibahas dalam konsultasi pada awal masa keanggotaan DPR; dan

g. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna DPR kepada Badan Musyawarah.


(50)

3. Komisi

Komisi merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan jumlah Komisi pada awal masa keanggotaan DPR dan pada masa awal permulaan tahun sidang. Susunan keanggotaan Komisi ditetapkan dalam rapat paripurna DPR sesuai dengan perimbangan dan pemerataan jumlah Anggota tiap-tiap fraksi. berdasarkan Pasal 58 peraturan DPR RI tentang Tata Tertib. Tugas dari Komisi sebagai alat kelengkapan antara lain:

1) Tugas komisi dalam bidang pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang.

2) Tugas Komisi dalam bidang anggaran adalah:

a) mengadakan pembicaraan pendahuluan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang meliputi rencana kerja pemerintah (RKP) serta rencana kerja dan anggaran kementerian dan lembaga (RKAKL) dalam ruang lingkup tugas komisi dan usulan Anggota mengenai program pembangunan daerah pemilihan bersama dengan Pemerintah;

b) mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara serta mengusulkan perubahan rencana kerja dan anggaran kementerian dan lembaga (RKAKL) yang termasuk dalam ruang lingkup tugas komisi dan usulan Anggota mengenai program pembangunan daerah pemilihan bersama dengan Pemerintah;

c) membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan program kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi; d) menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a dan menyampaikan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan huruf c kepada Badan Anggaran untuk disinkronisasi;

e) membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan program kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi berdasarkan hasil sinkronisasi alokasi anggaran kementerian/lembaga oleh Badan Anggaran;


(51)

f) menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam huruf e untuk bahan akhir penetapan APBN;

g) membahas dan menetapkan alokasi anggaran per program yang bersifat tahunan dan tahun jamak yang menjadi mitra komisi bersangkutan;

h) mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan

pelaksanaan APBN; dan

i) membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas komisi.

3) Tugas komisi dalam bidang pengawasan meliputi:

a) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;

b) membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;

c) memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;

d) melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; e) membahas dan menindaklanjuti usulan DPD; dan

f) menjalin hubungan luar negeri, baik dengan institusi negara maupun swasta, sesuai dengan bidang tugas setiap komisi dan dikoordinasikan oleh Badan Kerjasama Antar-Parlemen.

4. Badan Legislasi

Badan Legislasi merupakan alat kelengkapan bentukkan DPR RI yang bersifat tetap. Keanggotan Badan Legislasi berjumlah paling banyak 2 (dua) kali lipat dari jumlah anggota Komisi yang mencerminkan Fraksi dan Komisi. Susunan keanggotaan Badan Legislasi ditetapkan pada masa permulaan keanggotaan DPR, permulaan tahun sidang, dan setiap masa sidang. Badan Legislasi mempunyai tugas yang tertuang dalam Pasal 65 Tata Tertib DPR RI, yaitu sebagai berikut:

a. menyusun rancangan Prolegnas yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPR;


(52)

b. mengoordinasikan penyusunan Prolegnas yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan antara DPR, Pemerintah, dan DPD;

c. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep rancangan undang-undang yang diajukan Anggota, komisi, atau gabungan komisi sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPR;

d. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh Anggota, komisi, atau gabungan komisi di luar prioritas rancangan undang-undang atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam Prolegnas;

e. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugasi oleh Badan Musyawarah;

f. melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang; g. menyusun, melakukan evaluasi, dan menyempurnakan peraturan DPR; h. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap

pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;

i. melakukan sosialisasi Prolegnas; dan

j. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.

5. Badan Anggaran

Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Keanggotaan DPR ditetapkan berdasarkan representasi Anggota dari setiap Provinsi sesuai perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada masa permulaan keanggotaan DPR dan pada masa awal tahun sidang. Susunan keanggotaan terdiri atas Anggota dari tiap-tiap komisi dengan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi. Sesuai Pasal 70 peraturan DPR RI tentang Tata Tertib, Badan Anggaran mempunyai tugas:

1) Badan Anggaran Bertugas:

a) membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum


(53)

dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;

b) menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi yang berkaitan;

c) membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri mengenai alokasi anggaran untuk fungsi dan program Pemerintah dan dana alokasi transfer daerah dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah;

d) melakukan sinkronisasi hasil pembahasan di komisi dan alat kelengkapan DPR lainnya mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;

e) melakukan sinkronisasi terhadap usulan program

pembangunan daerah pemilihan yang diusulkan komisi;

f) membahas laporan realisasi dan perkiraan realisasi yang berkaitan dengan APBN; dan

g) membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

2) Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.

3) Anggota komisi dalam Badan Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi melalui rapat komisi.

6. Badan Kerjasama Antar-Parlemen

Badan Kerjasama Antar-Parlemen (selanjutnya disingkat BKSAP) dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Jumlah anggota BKSAP ditetapkan saat sidang paripurna DPR dan menurut perimbangan dan pemerataan jumlahh anggota dari tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan dan pada permulaan tahun sidang. Dalam peraturan DPR RI tentang Tata Tertib tugas BKSAP tertuang dalam Pasal 75, yang antara lain:

a. mengembangkan, membina, dan meningkatkan hubungan

persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi


(54)

internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain;

b. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;

c. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan

d. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen.

7. Badan Urusan Rumah Tangga

Badan urusan rumah tangga (selanjutnya disingkat BURT) dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Jumlah anggota BURT paling banyak adalah 25 (dua puluh lima) orang atas usul dari komisi dan fraksi berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi di komisi. Anggota BURT ditetapkan pada saat sidang paripurna DPR pada permulaan tahun sidang. Dalam Pasal 90 perauran Tata Tertib DPR menyebutkan tugas-tugas BURT yang antara lain:

a. menetapkan arah kebijakan umum pengelolaan anggaran DPR untuk setiap tahun anggaran dan menyerahkannya kepada Sekretaris Jenderal DPR untuk dilaksanakan;

b. menyusun rencana kerja dan anggaran DPR secara mandiri yang dituangkan dalam program dan kegiatan setiap tahun berdasarkan usulan dari alat kelengkapan DPR dan Fraksi;

c. dalam menyusun program dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, BURT memperhatikan geografis daerah pemilihan Anggota; d. dalam menyusun program dan kegiatan DPR sebagaimana dimaksud

dalam huruf b, BURT dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama;

e. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR; f. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan alat

kelengkapan MPR yang berhubungan dengan kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang ditugasi oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah;


(55)

g. menyampaikan hasil keputusan dan arah kebijakan umum anggaran tahunan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan;

h. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu; dan

i. mengatur alokasi anggaran untuk kunjungan kerja Anggota atau sekelompok anggota komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4).

8. Panitia Khusus & Panitia Kerja

Panitia Khusus adalah alat kelengkapan yang dibentuk oleh DPR dan bersifat sementara. Jumlah anggota Panitia Khusus paling banyak adalah 30 (tiga puluh) orang yang ditetapkan pada saat sidang paripurna DPR. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Panitia Khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota dari tiap-tiap fraksi. dalam melaksanakan tugasnya peraturan Tata Tertib DPR Pasal 96 menyebutkan:

1) Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna DPR.

2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh Badan Musyawarah apabila panitia khusus belum dapat menyelesaikan tugasnya.

3) Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.

Selain panitia khusus DPR juga memiliki panitia kerja (panja). Panja merupakan alat kelengkapan yang dapat dibentuk oleh alat kelengkapan DPR lainnya kecuali pimpinan DPR. Oleh karena itu, susunan keanggotaan panja juga ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya, keanggotaan panja paling banyak berjumlah separuh dari jumlah alat kelengkapan DPR yang membentuknya. Panja


(56)

dipimpin oleh seorang pimpinan alat kelengkapan DPR. Tugas yang diemban oleh panja beserta hal-hal lainnya diatur

9. Mahkamah Kehormatan Dewan

Mahkamah Kehormatan Dewan (selanjutnya disingkat MKD) dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR RI yang bersifat tetap. Tujuan dari dibentuknya alat kelengkapan ini adalah untuk menjaga serta menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. MKD memliki tugas yang tertulis dalam Pasal 2 ayat (2) peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang tata cara beracara MKD yang menyebutkan tugas MKD antara lain:

a. melakukan pemantauan dalam rangka fungsi pencegahan terhadap perilaku Anggota agar tidak melakukan pelanggaran atas kewajiban Anggota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik;

b. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota karena:

1) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 2) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau

berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah;

3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang mengenai pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan/atau

4) melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis


(57)

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. c. mengadakan sidang untuk menerima tindakan dan/atau peristiwa yang

patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik;

d. menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan melakukan tindak pidana;

e. meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan melakukan tindak pidana;

f. meminta keterangan dari Anggota yang diduga melakukan tindak pidana;

g. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan dari pihak penegak hukum kepada Anggota yang diduga melakukan tindak pidana; dan

h. mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan di tempat Anggota yang diduga melakukan tindak pidana.

B. Latar Belakang Mahkamah Kehormatan Dewan

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) Posisi Mahkamah Kehormatan Dewan sudah tercantum jelas yaitu sebagai unit kerja atau alat kelengkapan DPR RI. Latar belakang pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan ini tidak lepas dari berbagai sorotan atau opini publik yang tidak puas atas kinerja dan kapasitas anggota dewan dalam melaksanakan tugasnya. Publik menilai maraknya perilaku yang mencerminkan sifat buruk dari para anggota dewan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadikan masyarakat seakan tidak percaya atau kehilangan


(58)

harapan mereka terhadap para anggota dewan yang mengatasnamakan diri mereka sebagai para wakil rakyat.

Hal ini menjadi tuntutan rakyat untuk melakukan reformasi. Mengingat begitu pentingnya posisi dan peran dari anggota DPR sebagai representasi rakyat tidak menjamin bahwa kinerja dari anggota DPR sudah memuaskan. Banyak anggota DPR yang pernah terjerat kasus hukum ditambah dengan terlalu mudahnya anggota DPR untuk menjadi saksi dalam sebuah kasus, korupsi misalnya. Hal ini menjadikan pandangan rakyat terhadap anggota DPR semakin buruk. Hal tersebut juga diakui oleh wakil Ketua Umum PPP Lukman Hakim Saifuddin, bahwa saat ini parlemen sudah kehilangan kepercayaan rakyat. Karena itu, DPR hasil pemilu 2014 harus lebih baik dari pada sebelumnya42.

Pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam lembaga negara ini merupakan respons atas sorotan publik akan kinerja para anggota dewan yang dinilai buruk tersebut. Bagaimanapun, pada awalnya lembaga ini bernama Dewan Kehormatan (DK) sebelum diresmikan sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap dan berganti nama menjadi Badan Kehormatan (BK) pada tahun 2003 dan kemudian diubah menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) seperti saat ini.43 Suatu hak dan (sekaligus) kewajiban memang melekat dan dilekatkan dalam diri anggota

42

Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014 : Tantangan, Prospek Politik Dan Ekonomi Indoneisa, (Jakarta:Buku Kompas, 2014), h. 131

43

Nur Habibi, “Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”


(59)

legislatif, dan keduanya harus dijalankan secara proporsional ketika seorang anggota legislatif menjalankan perannya di lembaga perwakilan rakyat.44

Pantangan atau larangan-larangan bagi para anggota parlemen telah ada untuk menunjang kinerja MKD dalam menyelidiki dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR. Larangan-larangan tersebut tertuang dalam Keputusan DPR RI tentang Kode Etik DPR RI antara lain pasal 9 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa anggota tidak diperkenankan menggunakan fasilitas perjalanan dinas untuk kepentingan di luar tugas kedewanan; anggota tidak dapat membawa keluarga dalam suatu perjalanan dinas, kecuali dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan atau atas biaya sendiri.

Kemudian pada pasal 11 dinyatakan bahwa anggota dilarang menerima imbalan atau hadiah dari pihak lain sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 13 menyatakan bahwa anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi proses peradilan untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain. Pada pasal 14 dinyatakan bahwa anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili, dan kroninya yang mempunyai usaha atau melakukan penanaman dalam suatu bidang usaha. Dan yang terakhir, pada pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa anggota tidak diperkenankan melakukan hubungan dengan mitra kerjanya dengan maksud meminta atau menerima imbalan atau hadiah untuk kepentingan pribadi.

44


(1)

beberapa kali persidangan dan pada sidang terakhir sebelum seluruh anggota MKD mengeluarkan pendapat dan putusan masing-masing, MKD menerima surat pengunduran diri dari Setya Novanto sebagai ketua DPR RI periode 2014-2019. Setelah menerima surat pengunduran diri tersebut MKD langsung menutup kasus ini tanpa mengeluarkan putusan apakah Setya Novanto bersalah dan pantas diberikan sanksi atau tidak.

3. Meskipun ada beberapa peraturan yang mengatur tentang kewenangan MKD namun dalam implikasinya penyelesaian kasus ini masih jauh dari harapan bahkan dapat dikatakan tidak sempurna karena tidak ada putusan yang dikeluarkan oleh MKD mengenai kasus ini. Sehingga tidak ada bukti otentik atau bukti nyata secara sah apakah Setya Novanto melakukan pelanggaran etik atau tidak. Hal ini tentu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan MKD untuk memberikan putusan.

B. Saran

Setelah melihat dan memahami kasus Setya Novanto atau kasus “papa minta saham” ini penulis memiliki beberapa saran yang ingin disampaikan terkait dengan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam peradilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Studi Kasus Setya Novanto Ketua DPR RI periode 2014-2019). Seorang anggota DPR merupakan cerminan dari rakyat. Oleh karena itu setiap tindakan atau tingkah laku dari seorang anggota DPR pasti menjadi sorotan dari masyarakat. Apalagi seorang Ketua dari salah satu lembaga negara yang


(2)

73

memiliki peran sentral dalam bidang legislatif ini. Tentunya dengan jabatan sebagai seorang ketua DPR berarti memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada anggota yang lain.

Penulis memberi saran dan berharap agar kedepannya tidak ada lagi kasus pelanggaran kode etik semacam ini yang melibatkan anggota DPR ataupun Ketua DPR. Karena bagaimanapun DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang harus menjaga citra dan kehormatannya tanpa harus diadili terlebih dahulu. Masyarakat akan selalu melihat dan menilai setiap kinerja anggota DPR dan sangat bergantung pada MKD jika kasus seperti ini terulang lagi suatu saat nanti.


(3)

74

Aminy, Aisyah, Pasang Suurut Peran MPR-DPR 1945-2004, Jakarta, Yayasan Pancur Siwah, 2004.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Setjen dan kepaniteraan MKRI, 2005.

_______, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2011.

_______, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta, UI Press, 1996. Ali, Ahmad, dkk. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta,

Kencana, 2012.

Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti, Ed, memahami hukum dari konstruksi sampai implementasi, Jakarta, Rajagrafindo persada, 2009.

Bako, Ronny, Rancangan Disertasi Untuk Ujian Pra Promosi, 2003.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Fatwa, A.M., Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Kompas, 2009.

__________, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2004.

Formappi, Lembaga Perwakilan Rakyat dI Indonesia : Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945, Jakarta: Formappi, 2005. Haramain, A. Malik & M.F. Nurhuda, Mengawal Transisi Refleksi Atas Pemantauan Pemilu ’99, Jakarta, Jaringan Masyarakata Pemantau Pemilu Indonesia Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (JAMPPI- PB PMII), 2000.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2010.


(4)

75

____________, Ilmu Negara, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1992.

Kantaparwira, Rusadi, dkk, Perihal Ilmu Politik, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007.

Katharina, Riris, ed., Kajian Terhadap Tata Tertib DPR RI, Jakarta, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR RepublikIndonesia, 2008.

Mahmud Marzuki, Peter Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2010. Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta, Badan Penerbit Iblam, 2006. Muh Kusnardi, dkk. Ilmu Negara, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1995.

Nurhasim Moch. & Ikrar Nusa Bakti, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009.

Purnama, Eddy, Lembaga Perwakilan Rakyat, Medan, Syah Kuala University Press, 2008.

Ranuwihardjo, A Dahlan, Format Lembaga Kepresidenan Menuju Demokratisasi Kehidupan Politik Dimasa Depan, Dalam Seminar Nasional, Borobudur Intel, Jakarta: Continental Hotel, 1998, h. 5 Reni Dwi Purnomowati, Implementasi SIstem Bikameral Dalam Parlemen

Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2005.

Romli, lili, ed., DPR RI Periode 2009-2014: Catatan Akhir Masa Bakti, Jakarta, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR Republik Indonesia, 2013.

Salang, Sebastian, dkk, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan Jakarta, Forum Sahabat, 2009.

Sanit, Arbi, Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta, CV. Rajawali, 1985. Soekanto, Soerjono, dkk. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), Jakarta, Rajawali Pers, 2011.

________, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2007. Soemantri, Sri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik

Indonesia : 30 Tahun Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999.


(5)

Sumaryono, E, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta, Kanisius, 1995.

Syafiie, Inu Kencana, Proses Legislatif, Bandung, Refika Aditama, 2014. Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014 : Tantangan, Prospek Politik

Dan Ekonomi Indoneisa. Jakarta, Buku Kompas, 2014.

Thompson, Brian, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, London, Blacksrone Press Ltd., 1997.

Wahyono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta, Ghalisa Indonesia, 1983.

Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945; Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Bandung, FOKUSMEDIA, 2007.

Al-Qur’an

QS. Al-Maidah (5) : 42 QS. As-Sajdah (32) :24 QS.An-Nisa (4):59 QS. An-Nisa (4): 135 Internet

www.idi.m.wikipedia.org diakses pada 12 Februari 2016 www.dpr.go.id diakses pada 29 Juli 2016

www.merdeka.com diakses pada 29 Juli 2016 www.detik.com diakses pada 30 Juli 2016

www.saldiisra.web.id diakses pada 3 agustus 2016 www.tempo.co.id diakses pada 3 Agustus 2016 Jurnal

Habibi, Nur, “Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” Jurnal Cita Hukum, Juni 2014.


(6)

77

Andriyani, Sri. “Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD DAN DPRD.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitasa Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Berita Dalam Koran

Papa Minta Saham Topik Terpanas 2015, Republika. 23 Desember. 2015 Perundang-undangan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR RI Tahun 2009.

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 16/DPR RI/I/2004-2005 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib.

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.


Dokumen yang terkait

Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas dalam penyelesaian sengketa lahan (studi kasus: sengketa lahan antara PT sumatera Riang Lestari dan PT Sumatera Sylva Lestari dengan Masyarakat Adat Kecamatan Aek Nabara Barumun)

1 100 105

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 56 76

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

3 64 152

Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013

5 57 111

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Hubungan Wakil dengan yang Diwakili (Studi Perbandingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Periode 1999-2004 dengan Periode 2004-2009)

1 45 101

Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Korelasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kedaulatan Rakyat.

8 114 110

Minat Menonton anggota Dewan Perwakilan Daerah Tapanuli Selatan terhadap Berita Politik Di Metro TV ( Studi Korelasi Tentang Tayangan Berita Politik Dan Minat Menonton Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tapanuli Selatan Terhadap Metro TV )

1 39 143

Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara

1 41 285

Problematika Pemberi Izin Penyidikan Oleh Mahkamah Kehormatan Dewan Terhadap Anggota DPR Yang DiDuga Melakukan Tindak Pidana

0 25 97