RENAISANS KEDUA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
RENAISANS KEDUA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
(Drs. Muhammad Azhar, MA.)
Secara ideal, seharusnya pendidikan Muhammadiyah, termasuk program kelembagaan
Muhammadiyah lainnya, bertumpu pada landasan filosofis kerangka pemikiran keislaman
Muhammadiyah sebagaimana telah ditetapkan oleh Majelis Tarjih dan PPI (Pengembangan
Pemikiran Islam) sebagai think-tank Muhammadiyah. Sebagaimana dimaklumi, kerangka
pemikiran Muhammadiyah saat ini secara metodologis bertumpu pada tiga keyword yakni:
bayani, burhani dan ‘irfani. Pendekatan bayani lebih mengacu pada pemahaman keislaman
yang bersifat tekstual-normatif. Paradigma ini mengandaikan adanya keterikatan yang
“rigid” dengan Al-Quran-Hadis yang cenderung kurang memberikan ruang gerak ijtihad
secara agak lebih luas. Pendekatan bayani ini bisa juga disebut dengan model pendekatan
doktriner-tekstual-normatif.
Secara burhani, pendidikan di Indonesia selama ini – termasuk di dalamnya berbagai
lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah – disinyalir memiliki berbagai
kelemahan. Misalnya, kurangnya keterkaitan organik antara skill yang dimiliki alumni
pendidikan dengan kebutuhan riil di masyarakat khususnya dengan dunia lapangan kerja
(paradigma link and match). Lembaga pendidikan lebih banyak melahirkan output
ketimbang outcome. Selain itu, efektivitas pengajaran agama terasa kurang relevan dengan
kondisi sosial yang dihadapi umat.
Secara irfani, lembaga pendidikan Muhammadiyah – boleh jadi karena background
modernitasnya yang bercirikan rasionalitas dan materialitas-birokratik – dirasakan secara
sistemik (secara personal bisa saja muncul kreativitas guru/dosen) kurang menyentuh pada
wilayah-wilayah spiritualitas (yang supra-rasional dan immaterial). Pola pendidikan yang
serba bayani menyebabkan model pengajaran menjadi terasa “kering”, mengingat
paradigma pergerakan Muhammadiyah yang modernistik di atas sudah barang tentu
berimplikasi pada amal usaha di bidang pendidikan.
Sebagai contoh, sistem penerimaan siswa atau mahasiswa baru biasanya yang
menjadi mainsteram pemikiran adalah soal “berapa jumlah infaq yang akan diterima dari
seorang siswa”. Jadi, sejak awal, paradigma material sudah mengedepan ketimbang
pertimbangan
non-material
kemanusiaan.
Akibatnya,
lembaga
pendidikan
Muhammadiyah menjadi tergolong “elit” secara fisik-material, namun “alit” secara
mental-spiritual. Maka, ribuan alumni yang lahir dari rahim pendidikan Muhammadiyah tidak
terlalu bisa diharapkan secara optimal menjadi leader yang memiliki kekayaan spiritual secara
kontekstual, karena sejak awal penerimaan sampai berbagai proses yang dilalui siswa/mahasiswa
hingga output – bukan outcome – yang dijejalkan kepada anak didik/mahasiswa adalah kalkulasi
materialistik tadi. Kalaupun diajarkan “pelajaran agama” (semisal AIK), itu hanya sebagai
pelengkap semata untuk menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Muhammadiyah
adalah lembaga yang bersifat agamis. Sayang sekali, kurikulum dan proses pendidikan
Muhammadiyah yang ada dewasa ini, umumnya, tidak terlalu kondusif untuk mewujudkan citacita awal Muhammadiyah didirikan. Ironi memang. Maka untuk ke depan, pertimbangan dimensi
burhani – keterkaitan ilmu-ilmu yang dipelajari dengan tuntutan zaman/realitas sosial; serta
aspek ‘irfani, sangat tinggi waktunya untuk mulai digali kembali secara lebih mendalam.
Bukankah lembaga pendidikan merupakan lembaga keilmuan. Maka sebagai medan ilmu,
sekolah/kampus yang didalamnya terkait kurikulum, guru/dosen, buku-buku harus terus menerus
dilakukan perubahan. Tidak hanya sekedar puas mengulang-ngulang dari tahun ke tahun model
kurikulum, buku teks serta wawasan guru/dosen yang ada. Bukankah dalam dunia ilmu tidak
dikenal kata “istiqomah” atau status quo. Iman – secara intrinsik – memang harus istiqomah,
tetapi begitu kita memasuki wilayah tentang cara-cara mempelajari dan mengajarkan
kedalaman iman, dia sudah masuk wilayah keilmuan. Yang namanya ilmu, ya harus senantiasa
mengikuti perkembangan rahim zaman. Kita harus membedakan secara tegas antara akidah
dengan ilmu/kuliah akidah. Akhlaq dengan ilmu/kuliah akhlaq. Bahkan secara lebih luas,
antara agama dan ilmu/kuliah agama. Sebagaimana pesan Nabi “didiklah generasimu, karena
mereka akan hidup di zaman yang samasekali berbeda dengan zamanmu”. Secara aksiomatikfilosofis, setiap generasi pasti memiliki episteme zamannya masing-masing.
Kasus MK AIK: Beberapa Pendekatan Baru
Dalam tulisan singkat ini, penulis sengaja lebih memfokuskan contoh tentang penerapan
mata kuliah AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan) di lembaga pendidikan/PTM yang ada.
Kalau kita cermati melalui pendekatan yang lebih bersifat metodologis – tidak semata-mata
ideologis-politis, apalagi pertimbangan ekonomis dari “oknum pengajar AIK” tertentu - maka
pengajaran mata kuliah AIK sebenarnya bisa diterapkan melalui beberapa pendekatan,
sesuai dengan tantangan zaman yang kini berkembang: pertama, pendekatan normatifteologis. Model pertama inilah yang umumnya masih berjalan di berbagai lembaga PTM kita
yang umumnya lebih mengedepankan pembacaan atas tesk-teks (Al-Quran-Hadis) semata
sebagaimana tercermin dalam buku Kuliah Akidah atau Kuliah Akhlaq, dan semisalnya.
Kalau kita cermati secara lebih mendalam, pola normatif-teologis ini lebih mengarah
kepada kebaikan personal-elitis. Maka setelah mendapatkan kuliah akidah-akhlaq ini diharapkan
mahasiswa menjadi lebih agamis. Tetapi jarang kita sadari - ya karena jarang merenung saja
atau kurang melakukan refleksi/telaah ulang (sebagai konsekwensi keilmuan) – bahwa
realitas membuktikan dimana di luar mata kuliah AIK masih ada puluhan ilmu-ilmu
“sekuler” (nir-spirituality/nir-religiosity) yang diserap oleh mahasiswa yang – juga - dalam
kenyataannya lebih dinomorsatukan oleh mahasiswa bahkan oleh “rezim” akademis di
sekolah/PTM bersangkutan. Secara jangka panjang ini berimplikasi pada lahirnya alumni
sekolah/sarjana PTM yang hanya memiliki sikap keberagamaan yang berkepribadian ganda
(split personality). Semangat keberagamaannya hanya sebatas wacana religiositas yang ia
dapatkan secara bayani tadi yakni agama hanya sebatas dalam wilayah “akidah-akhlaq
secara skriptural” atau kurang melingkupi aspek kehidupan, karena puluhan mata kuliah
lain masih diberi “zat perasa” yang secara diametral berbeda dengan apa yang ada dalam
mata kuliah AIK. Akhirnya, pemahaman dan penghayatan agama ujung-ujungnya hanya
kembali ke wilayah personal dan wilayah ritual saja, sementara untuk mengharungi berbagai
wilayah
kehidupan
politik,
ekonomi,
sosial,
budaya,
iptek
(sesuai
dengan
jurusan/fakultas/keilmuan) masing-masing, umumnya mahasiswa masih “diwarnai” oleh nilainilai yang materialistik-sekularistik.
Bila pendekatan normatif-teologis ini masih dipertahankan, tidak salah kalau ada
yang mengatakan bahwa sistem pendidikan di Muhammadiyah umumnya masih berwatak
dikotomik-sekularistik. Di masa lalu, dapat kita pahami, bahwa para pendahulu
Muhammadiyah sudah punya niat baik untuk mengintegrasikan antara nilai keagamaan dan
keduniawian. Tetapi karena konteks zaman waktu itu yang berbeda dengan kondisi kita dewasa
ini, serta keterbatasan metodologi atau akses keilmuan dan informasi, sudah merupakan
kemajuan yang luar biasa apa yang telah diwariskan kepada kita khususnya model kuliah AIK.
Tetapi generasi kita sekarang ini menghadapi zaman yang samasekali berbeda dan begitu sangat
terbuka. Maka, tidak sewajarnya kita merasa puas dengan apa yang diwariskan oleh para
pendahulu kita yang hidup di zaman lalu.
Dewasa ini, diperlukan pendekatan yang lain sebagaimana tercantum di bawah ini yakni
pendekatan kedua, normatif aplikatif (model KHA Dahlan). Pendekatan ini tetap berdasar pada
Al-Quran-Hadis (strategi al-Maunnya KHA Dahlan), namun tidak semata-mata normatifteologis, tapi juga dikembangkan melalui pola kontekstualisasi ayat terkait dengan realitas umat
yang dihadapi. Dimana waktu itu – kini masih kita warisi secara konvensional – KHA Dahlan
mengajak anak didik/umat untuk menolong anak yatim, mendirikan rumah sakit serta lembaga
pendidikan dan dakwah. Pendekatan kedua ini bisa didialogkan/case study kepada mahasiswa
atau melalui kunjungan sosial sesuai dengan realitas tantangan umat saat ini pula.
Pendekatan ketiga adalah pendekatan psikologis (psychological approach). Untuk saat
ini juga sangat relevan untuk mengatasi fenomena kekeringan spiritual khususnya di kalangan
siswa atau mahasiswa. Pola-pola manajemen tauhid/qalbu ala Aa Gym, misalnya, laik
dipertimbangkan melalui studi banding atau “mencuri” pola-pola training yang diterapkan
pesantren Daarut Tauhid Bandung. Terus terang saja, untuk pendekatan ini Muhammadiyah
masih miskin SDM. Pola ketiga ini bisa kita kaitkan dengan pola ‘irfani di atas. Pendekatan
sufistik (Islamic great tradition) – bedakan dengan tarekat (Islamic little tradition ) – sebenarnya
bisa memperkaya pengajaran mata ajar/kuliah AIK dan mata ajar/kuliah lainnya yang relevan.
Keempat adalah pendekatan saintifik (scientific approach). Untuk model ini, saat ini
sebenarnya sudah mulai dikembangkan di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY), dimana setiap dosen yang mengampu mata kuliah umum “diwajibkan”
untuk mengaitkannya dengan nilai-nilai atau konsep-konsep ajaran Islam. Misalnya tentang
sejarah kedokteran Muslim, anatomi tubuh, kesehatan, stress, kloning dan mata kuliah lainnya,
saat ini sudah mulai diintegrasikan. Sehingga muncul istilah “Kedokteran Islam” – mungkin
yang lebih tepat adalah “Kedokteran Islami” (dengan huruf “i”), karena tidak ada ilmu Islam,
Kafir, Hindu, dan sebagainya. Namun yang paling penting adalah secara aksiologis - dan dalam
beberapa hal secara epistemologis-metodologis bahkan ontologis – ilmu-ilmu yang diajarkan
tidak lepas “kendali” dari nilai-nilai spiritual-religius. Dalam konteks ini, mata kuliah akidahakhlaq bisa diblender atau menyatu dalam setiap mata kuliah yang ada dengan diawali dasardasar keislaman yang umum, pada pertemuan satu sampai tiga, misalnya. Karena ini baru
merupakan “eksperimen akademis”, biasanya butuh beberapa kali revisi, hingga satu saat nanti
akan ditemukan sistem pengintegrasian yang lebih mapan, dan setelah mapan tentu harus
direformasi lagi. Seperti teori Thomas Kuhn, ada normal science (ilmu yang sudah mapan),
tetapi lama-kelamaan mengalami krisis dan secara alamiah – akibat perkembangan zaman yang
berimplikasi pada keharusan lahirnya epistemologi keilmuan yang baru - mendorong lahirnya
teori, ilmu dan pendekatan baru (revolutionary science).
Kelima,
pendekatan sosiologis dan antropologis (sociological-anthropological
approach). Model ini secara sederhana bisa melalui pengamatan lingkungan sosial terutama pada
pertemuan kuliah pasca ujian MID, karena secara teoritik sudah didahulukan pada pertemuan
pra-MID. Bila mengajar akidah, bisa saja mahasiswa kita arahkan untuk riset lapangan
mengamati berbagai fenomena sosial yang menyimpang dari prinsip akidah. Atau bila mata
kuliah akhlaq, peserta didik bisa diinstruksikan mengamati berbagai penyimpangan akhlaq
semisal, etika rumah kost, kerusakan ekologis, ketimpangan jender, kekerasan sosial (social
violence), kasus mubazir dengan mengamati sebuah perkantoran yang terkesan mubazir dalam
penggunaan listrik, soal praktek pluralisme internal atau eksternal umat beragama/antar suku dan
golongan, dll. Survey sosial ini bisa disesuaikan dengan konteks lingkungan sekolah/kampus
masing-masing. Materi kuliah Akidah/Akhlaq bisa dipadatkan secara teoritik pada pertemuan
pra-Mid, lalu anak didik – seperti praktek KHA Dahlan - disuruh mencermati lingkungan
sekitarnya.
Keenam, pendekatan arkeologis. Pendekatan ini mungkin bisa menggunakan slide-slide
gambar peninggalan sejarah Islam yang terkait dengan materi kuliah. Misalnya, untuk
meyakinkan mahasiswa tentang Allah, dosen dapat menampilkan di layar OHP tentang mummi
Fir’aun, sebagai salahsatu bukti arkeologis tentang orang-orang yang menentang Tuhan.
Demikian pula model jejak Rasul yang kini sudah banyak beredar dalam berbagai kaset VCD.
Ketujuh, pendekatan filosofis. Model pendekatan ini bisa meniru model training
keislaman mahasiswa di HMI seperti kasus pendalaman NIK (Nilai Identitas Kader) – dulu NDP
(Nilai Dasar Perjuangan). Model ini lebih menguraikan pola pemahaman akidah dan etika secara
lebih rasional-filosofis yang sangat cocok untuk mahasiswa yang bergelut dengan rasionalitas
seperti mahasiswa Fisipol. Untuk pendekatan ini diperlukan kualitas dosen yang mampu
berargumen secara rasional pula, tidak semata-mata mengedepankan ayat-ayat dan hadis belaka
yang terkadang kurang memuaskan dahaga mahasiswa yang rasional. Ini hanya soal pendekatan
saja. Kapasitas dosen tentu disesuaikan dengan kelas yang diampu.
Kedelapan, pendekatan transformatif atau tauhid sosial. Model transformatif ini
misalnya, bisa meminjam 8 konsep teologi Hassan Hanafi, seperti; from God to land; from
eternity to time; from predestination to free will; from authority to reason; from theory to
action; from charisma to mass participation; from soul to body; from eschatology to futurology.
Sedangkan tauhid sosial dapat menggunakan 5 konsep Amien Rais yakni; unity of godhead,
unity of creation; unity of mankind;, unity of guidance; unity of purpose of life. Karena masih
keringnya elaborasi konsep tauhid sosial Amien Rais ini, maka aplikasinya bisa disesuaikan
dengan kreativitas intelektual para dosen yang bersangkutan.
Beberapa Langkah Akademis ke Depan
Untuk lebih meningkatkan kualitas lembaga pendidikan – khususnya – perguruan tinggi
Muhammadiyah, beberapa hal berikut ini juga perlu diperhatikan, antara lain: pertama, perlunya
kontinuitas penerbitan jurnal/majalah pendidikan – semacam Gerbang - dan adanya pertukaran
jurnal/majalah antar sekolah/PTM. Kedua, setiap tahun – bahkan bila perlu setiap awal semester
– para guru/dosen diwajibkan mencantumkan referensi terbaru yang terkait dengan mata kuliah
yang diajarkan. Demikian pula substansi silabi harus selalu ada yang baru. Ketiga, diadakannya
diskusi rutin (majelis ilmu) tingkat fakultas atau antar jurusan yang menyangkut disiplin ilmu
fakultas atau masalah-masalah aktual lainnya yang relevan dengan academic need di masingmasing fakultas. Keempat, pembentukan konsorsium ilmu di bidang disiplin ilmunya masingmasing. Kelima, setiap lembaga pendidikan Muhammadiyah harus terus didorong untuk
menggali potensi teoritik atau keilmuan yang terkait dengan sumberdaya alam di
wilayahnya masing-masing (local genius/local wisdom). Pendidikan kita selama ini lebih
berorientasi pada pusat (nasional) bahkan cenderung mengekor pada hasil-hasil temuan tingkat
global. Padahal alam dan wacana sosial dalam konteks keindonesiaan cukup kaya untuk
dijadikan medan riset. Keenam, setiap lembaga pendidikan Muhammadiyah – khususnya PTM –
perlu menyediakan resource room sebagai wahana sumber keilmuan yang nyaman di lingkungan
perpustakaan. Akses informasi serta dimensi networking antar perpustakaan PTM, nasional
bahkan global, penting pula untuk secara terus menerus dikontesktualkan. Ketujuh, seminar dan
workshop di tingkat jurusan harus selalu dilakukan untuk terus menggali berbagai kemungkinan
ditawarkannya mata kuliah baru. Sebagai contoh, di AS, pasca terjadinya peledakan gedung
WTC, mata kuliah tentang terorism dan Islamic Studies menjadi laris.
Kedelapan, setiap
sekolah/perguruan tinggi Muhammadiyah diwajibkan untuk memberi bekal hidup bagi setiap
calon alumninya dengan bekal: nilai indeks prestasi di atas batas minimum hingga ke tingkat
maksimum, kursus komputer/akses informasi dan kewiraswastaan, kemampuan berbahasa asing,
tradisi kepemimpinan dan kemahiran menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, sebagai bekal
masa depan saat mereka menjadi alumni perguruan Muhammadiyah. Kesembilan, mendirikan
berbagai pusat studi/pusat informasi di berbagai lembaga pendidikan Muhammadiyah sesuai
dengan kebutuhan wilayah masing-masing. Idealnya Majelis Dikti dapat memenej berbagai pusat
studi di PTM seluruh Indonesia agar tidak terjadi tumpang-tindih antar pusat studi yang ada.
Setiap PTM tentunya dapat mendirikan mengembangkan pusat studi/informasinya masingmasing melalui kerjasama dengan Menristek, LIPI, IIFTIHAR (International of Islamic Forum
for Science, Technology and Human Resources Development) dimana salahsatu tokoh
penggeraknya Habib Chirzin (mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah), Habibie Center, MIFTA
(Muslim Information and Technology Association). Kerjasama ini juga bisa diperluas dengan
berbagai pusat studi dan informasi dalam dan luar negeri lainnya yang relevan dengan kebutuhan
masing-masing wilayah. Dengan adanya media internet sekarang ini, segala bentuk kerjasama
yang akan diwujudkan menjadi lebih akseleratif dan mudah. Kesepuluh, segenap pimpinan PTM
dapat terus aktif menjaring dana penelitian/penulisan buku bagi para dosen, agar dosen tidak
terjebak pada rutinitas mengajar, yang lama kelamaan dosen yang bersangkutan semakin
mengalami pendangkalan intelektual. Demikian pula, perlunya dorongan bagi para dosen untuk
menjadikan karya tulis sebagai karya utama setelah mengajar. Tradisi menulis di jurnal ilmiah,
buku maupun makalah seminar, akan menjadi simbol bagi kualitas PTM yang ada sebagaimana
yang sudah menjadi tradisi rutin di berbagai PT di luar negeri. Paling tidak, setiap tahunnya ada
satu/beberapa karya ilmiah dosen yang dipublikasikan secara luas sebagai standar mutu dari
dosen yang bersangkutan. Alangkah lucunya, di setiap akhir tahun, tidak ada satu karya tulis pun
yang lahir dari “rahim intelektual” sang dosen. Kesebelas, pimpinan PTM secara periodik dan
bergiliran perlu mendorong setiap dosen untuk dapat menetap selama beberapa bulan di luar
negeri, sebagai upaya refreshing sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki. Peningkatan
kualitas dosen akan berdampak positif pula dengan kualitas mahasiswa yang
dibimbingnya.. Keduabelas, Majelis Dikti Muhammadiyah perlu segera mengeluarkan aturan
baru tentang pentingnya alokasi/kuota sekitar – maksimum – 15% penerimaan calon
dosen/karyawan yang benar-benar berasal dari kader Persyarikatan, dengan tetap
mempertimbangkan skill dan kapasitas keilmuan yang dimiliki, dalam rangka mereduksi potensi
“pengangguran” dari dalam Persyarikatan sendiri, sekaligus mengantisipasi adanya social and
psychological gap antara kader Persyarikatan
dengan dosen/karyawan yang
“bukan” murni dari kader Persyarikatan. Aturan main ini penting untuk mengantisipasi
timbulnya resistensi bagi – sebuah kewajaran organisatoris -terakomodasinya kader
Persyarikatan di segenap amal usaha Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Demikianlah beberapa refleksi penulis tentang masa depan dari sistem pendidikan
Muhammadiyah, khususnya di perguruan tinggi. Mudah-mudahan tulisan ini memberikan
inspirasi dan m enjadi bahan diskusi bagi munculnya renaisans kedua pendidikan
Muhammadiyah abad 21. Wallahu a’lam bisshawab
(penulis: Dosen Fakultas Agama Islam UMY)
sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004
(Drs. Muhammad Azhar, MA.)
Secara ideal, seharusnya pendidikan Muhammadiyah, termasuk program kelembagaan
Muhammadiyah lainnya, bertumpu pada landasan filosofis kerangka pemikiran keislaman
Muhammadiyah sebagaimana telah ditetapkan oleh Majelis Tarjih dan PPI (Pengembangan
Pemikiran Islam) sebagai think-tank Muhammadiyah. Sebagaimana dimaklumi, kerangka
pemikiran Muhammadiyah saat ini secara metodologis bertumpu pada tiga keyword yakni:
bayani, burhani dan ‘irfani. Pendekatan bayani lebih mengacu pada pemahaman keislaman
yang bersifat tekstual-normatif. Paradigma ini mengandaikan adanya keterikatan yang
“rigid” dengan Al-Quran-Hadis yang cenderung kurang memberikan ruang gerak ijtihad
secara agak lebih luas. Pendekatan bayani ini bisa juga disebut dengan model pendekatan
doktriner-tekstual-normatif.
Secara burhani, pendidikan di Indonesia selama ini – termasuk di dalamnya berbagai
lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah – disinyalir memiliki berbagai
kelemahan. Misalnya, kurangnya keterkaitan organik antara skill yang dimiliki alumni
pendidikan dengan kebutuhan riil di masyarakat khususnya dengan dunia lapangan kerja
(paradigma link and match). Lembaga pendidikan lebih banyak melahirkan output
ketimbang outcome. Selain itu, efektivitas pengajaran agama terasa kurang relevan dengan
kondisi sosial yang dihadapi umat.
Secara irfani, lembaga pendidikan Muhammadiyah – boleh jadi karena background
modernitasnya yang bercirikan rasionalitas dan materialitas-birokratik – dirasakan secara
sistemik (secara personal bisa saja muncul kreativitas guru/dosen) kurang menyentuh pada
wilayah-wilayah spiritualitas (yang supra-rasional dan immaterial). Pola pendidikan yang
serba bayani menyebabkan model pengajaran menjadi terasa “kering”, mengingat
paradigma pergerakan Muhammadiyah yang modernistik di atas sudah barang tentu
berimplikasi pada amal usaha di bidang pendidikan.
Sebagai contoh, sistem penerimaan siswa atau mahasiswa baru biasanya yang
menjadi mainsteram pemikiran adalah soal “berapa jumlah infaq yang akan diterima dari
seorang siswa”. Jadi, sejak awal, paradigma material sudah mengedepan ketimbang
pertimbangan
non-material
kemanusiaan.
Akibatnya,
lembaga
pendidikan
Muhammadiyah menjadi tergolong “elit” secara fisik-material, namun “alit” secara
mental-spiritual. Maka, ribuan alumni yang lahir dari rahim pendidikan Muhammadiyah tidak
terlalu bisa diharapkan secara optimal menjadi leader yang memiliki kekayaan spiritual secara
kontekstual, karena sejak awal penerimaan sampai berbagai proses yang dilalui siswa/mahasiswa
hingga output – bukan outcome – yang dijejalkan kepada anak didik/mahasiswa adalah kalkulasi
materialistik tadi. Kalaupun diajarkan “pelajaran agama” (semisal AIK), itu hanya sebagai
pelengkap semata untuk menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Muhammadiyah
adalah lembaga yang bersifat agamis. Sayang sekali, kurikulum dan proses pendidikan
Muhammadiyah yang ada dewasa ini, umumnya, tidak terlalu kondusif untuk mewujudkan citacita awal Muhammadiyah didirikan. Ironi memang. Maka untuk ke depan, pertimbangan dimensi
burhani – keterkaitan ilmu-ilmu yang dipelajari dengan tuntutan zaman/realitas sosial; serta
aspek ‘irfani, sangat tinggi waktunya untuk mulai digali kembali secara lebih mendalam.
Bukankah lembaga pendidikan merupakan lembaga keilmuan. Maka sebagai medan ilmu,
sekolah/kampus yang didalamnya terkait kurikulum, guru/dosen, buku-buku harus terus menerus
dilakukan perubahan. Tidak hanya sekedar puas mengulang-ngulang dari tahun ke tahun model
kurikulum, buku teks serta wawasan guru/dosen yang ada. Bukankah dalam dunia ilmu tidak
dikenal kata “istiqomah” atau status quo. Iman – secara intrinsik – memang harus istiqomah,
tetapi begitu kita memasuki wilayah tentang cara-cara mempelajari dan mengajarkan
kedalaman iman, dia sudah masuk wilayah keilmuan. Yang namanya ilmu, ya harus senantiasa
mengikuti perkembangan rahim zaman. Kita harus membedakan secara tegas antara akidah
dengan ilmu/kuliah akidah. Akhlaq dengan ilmu/kuliah akhlaq. Bahkan secara lebih luas,
antara agama dan ilmu/kuliah agama. Sebagaimana pesan Nabi “didiklah generasimu, karena
mereka akan hidup di zaman yang samasekali berbeda dengan zamanmu”. Secara aksiomatikfilosofis, setiap generasi pasti memiliki episteme zamannya masing-masing.
Kasus MK AIK: Beberapa Pendekatan Baru
Dalam tulisan singkat ini, penulis sengaja lebih memfokuskan contoh tentang penerapan
mata kuliah AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan) di lembaga pendidikan/PTM yang ada.
Kalau kita cermati melalui pendekatan yang lebih bersifat metodologis – tidak semata-mata
ideologis-politis, apalagi pertimbangan ekonomis dari “oknum pengajar AIK” tertentu - maka
pengajaran mata kuliah AIK sebenarnya bisa diterapkan melalui beberapa pendekatan,
sesuai dengan tantangan zaman yang kini berkembang: pertama, pendekatan normatifteologis. Model pertama inilah yang umumnya masih berjalan di berbagai lembaga PTM kita
yang umumnya lebih mengedepankan pembacaan atas tesk-teks (Al-Quran-Hadis) semata
sebagaimana tercermin dalam buku Kuliah Akidah atau Kuliah Akhlaq, dan semisalnya.
Kalau kita cermati secara lebih mendalam, pola normatif-teologis ini lebih mengarah
kepada kebaikan personal-elitis. Maka setelah mendapatkan kuliah akidah-akhlaq ini diharapkan
mahasiswa menjadi lebih agamis. Tetapi jarang kita sadari - ya karena jarang merenung saja
atau kurang melakukan refleksi/telaah ulang (sebagai konsekwensi keilmuan) – bahwa
realitas membuktikan dimana di luar mata kuliah AIK masih ada puluhan ilmu-ilmu
“sekuler” (nir-spirituality/nir-religiosity) yang diserap oleh mahasiswa yang – juga - dalam
kenyataannya lebih dinomorsatukan oleh mahasiswa bahkan oleh “rezim” akademis di
sekolah/PTM bersangkutan. Secara jangka panjang ini berimplikasi pada lahirnya alumni
sekolah/sarjana PTM yang hanya memiliki sikap keberagamaan yang berkepribadian ganda
(split personality). Semangat keberagamaannya hanya sebatas wacana religiositas yang ia
dapatkan secara bayani tadi yakni agama hanya sebatas dalam wilayah “akidah-akhlaq
secara skriptural” atau kurang melingkupi aspek kehidupan, karena puluhan mata kuliah
lain masih diberi “zat perasa” yang secara diametral berbeda dengan apa yang ada dalam
mata kuliah AIK. Akhirnya, pemahaman dan penghayatan agama ujung-ujungnya hanya
kembali ke wilayah personal dan wilayah ritual saja, sementara untuk mengharungi berbagai
wilayah
kehidupan
politik,
ekonomi,
sosial,
budaya,
iptek
(sesuai
dengan
jurusan/fakultas/keilmuan) masing-masing, umumnya mahasiswa masih “diwarnai” oleh nilainilai yang materialistik-sekularistik.
Bila pendekatan normatif-teologis ini masih dipertahankan, tidak salah kalau ada
yang mengatakan bahwa sistem pendidikan di Muhammadiyah umumnya masih berwatak
dikotomik-sekularistik. Di masa lalu, dapat kita pahami, bahwa para pendahulu
Muhammadiyah sudah punya niat baik untuk mengintegrasikan antara nilai keagamaan dan
keduniawian. Tetapi karena konteks zaman waktu itu yang berbeda dengan kondisi kita dewasa
ini, serta keterbatasan metodologi atau akses keilmuan dan informasi, sudah merupakan
kemajuan yang luar biasa apa yang telah diwariskan kepada kita khususnya model kuliah AIK.
Tetapi generasi kita sekarang ini menghadapi zaman yang samasekali berbeda dan begitu sangat
terbuka. Maka, tidak sewajarnya kita merasa puas dengan apa yang diwariskan oleh para
pendahulu kita yang hidup di zaman lalu.
Dewasa ini, diperlukan pendekatan yang lain sebagaimana tercantum di bawah ini yakni
pendekatan kedua, normatif aplikatif (model KHA Dahlan). Pendekatan ini tetap berdasar pada
Al-Quran-Hadis (strategi al-Maunnya KHA Dahlan), namun tidak semata-mata normatifteologis, tapi juga dikembangkan melalui pola kontekstualisasi ayat terkait dengan realitas umat
yang dihadapi. Dimana waktu itu – kini masih kita warisi secara konvensional – KHA Dahlan
mengajak anak didik/umat untuk menolong anak yatim, mendirikan rumah sakit serta lembaga
pendidikan dan dakwah. Pendekatan kedua ini bisa didialogkan/case study kepada mahasiswa
atau melalui kunjungan sosial sesuai dengan realitas tantangan umat saat ini pula.
Pendekatan ketiga adalah pendekatan psikologis (psychological approach). Untuk saat
ini juga sangat relevan untuk mengatasi fenomena kekeringan spiritual khususnya di kalangan
siswa atau mahasiswa. Pola-pola manajemen tauhid/qalbu ala Aa Gym, misalnya, laik
dipertimbangkan melalui studi banding atau “mencuri” pola-pola training yang diterapkan
pesantren Daarut Tauhid Bandung. Terus terang saja, untuk pendekatan ini Muhammadiyah
masih miskin SDM. Pola ketiga ini bisa kita kaitkan dengan pola ‘irfani di atas. Pendekatan
sufistik (Islamic great tradition) – bedakan dengan tarekat (Islamic little tradition ) – sebenarnya
bisa memperkaya pengajaran mata ajar/kuliah AIK dan mata ajar/kuliah lainnya yang relevan.
Keempat adalah pendekatan saintifik (scientific approach). Untuk model ini, saat ini
sebenarnya sudah mulai dikembangkan di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY), dimana setiap dosen yang mengampu mata kuliah umum “diwajibkan”
untuk mengaitkannya dengan nilai-nilai atau konsep-konsep ajaran Islam. Misalnya tentang
sejarah kedokteran Muslim, anatomi tubuh, kesehatan, stress, kloning dan mata kuliah lainnya,
saat ini sudah mulai diintegrasikan. Sehingga muncul istilah “Kedokteran Islam” – mungkin
yang lebih tepat adalah “Kedokteran Islami” (dengan huruf “i”), karena tidak ada ilmu Islam,
Kafir, Hindu, dan sebagainya. Namun yang paling penting adalah secara aksiologis - dan dalam
beberapa hal secara epistemologis-metodologis bahkan ontologis – ilmu-ilmu yang diajarkan
tidak lepas “kendali” dari nilai-nilai spiritual-religius. Dalam konteks ini, mata kuliah akidahakhlaq bisa diblender atau menyatu dalam setiap mata kuliah yang ada dengan diawali dasardasar keislaman yang umum, pada pertemuan satu sampai tiga, misalnya. Karena ini baru
merupakan “eksperimen akademis”, biasanya butuh beberapa kali revisi, hingga satu saat nanti
akan ditemukan sistem pengintegrasian yang lebih mapan, dan setelah mapan tentu harus
direformasi lagi. Seperti teori Thomas Kuhn, ada normal science (ilmu yang sudah mapan),
tetapi lama-kelamaan mengalami krisis dan secara alamiah – akibat perkembangan zaman yang
berimplikasi pada keharusan lahirnya epistemologi keilmuan yang baru - mendorong lahirnya
teori, ilmu dan pendekatan baru (revolutionary science).
Kelima,
pendekatan sosiologis dan antropologis (sociological-anthropological
approach). Model ini secara sederhana bisa melalui pengamatan lingkungan sosial terutama pada
pertemuan kuliah pasca ujian MID, karena secara teoritik sudah didahulukan pada pertemuan
pra-MID. Bila mengajar akidah, bisa saja mahasiswa kita arahkan untuk riset lapangan
mengamati berbagai fenomena sosial yang menyimpang dari prinsip akidah. Atau bila mata
kuliah akhlaq, peserta didik bisa diinstruksikan mengamati berbagai penyimpangan akhlaq
semisal, etika rumah kost, kerusakan ekologis, ketimpangan jender, kekerasan sosial (social
violence), kasus mubazir dengan mengamati sebuah perkantoran yang terkesan mubazir dalam
penggunaan listrik, soal praktek pluralisme internal atau eksternal umat beragama/antar suku dan
golongan, dll. Survey sosial ini bisa disesuaikan dengan konteks lingkungan sekolah/kampus
masing-masing. Materi kuliah Akidah/Akhlaq bisa dipadatkan secara teoritik pada pertemuan
pra-Mid, lalu anak didik – seperti praktek KHA Dahlan - disuruh mencermati lingkungan
sekitarnya.
Keenam, pendekatan arkeologis. Pendekatan ini mungkin bisa menggunakan slide-slide
gambar peninggalan sejarah Islam yang terkait dengan materi kuliah. Misalnya, untuk
meyakinkan mahasiswa tentang Allah, dosen dapat menampilkan di layar OHP tentang mummi
Fir’aun, sebagai salahsatu bukti arkeologis tentang orang-orang yang menentang Tuhan.
Demikian pula model jejak Rasul yang kini sudah banyak beredar dalam berbagai kaset VCD.
Ketujuh, pendekatan filosofis. Model pendekatan ini bisa meniru model training
keislaman mahasiswa di HMI seperti kasus pendalaman NIK (Nilai Identitas Kader) – dulu NDP
(Nilai Dasar Perjuangan). Model ini lebih menguraikan pola pemahaman akidah dan etika secara
lebih rasional-filosofis yang sangat cocok untuk mahasiswa yang bergelut dengan rasionalitas
seperti mahasiswa Fisipol. Untuk pendekatan ini diperlukan kualitas dosen yang mampu
berargumen secara rasional pula, tidak semata-mata mengedepankan ayat-ayat dan hadis belaka
yang terkadang kurang memuaskan dahaga mahasiswa yang rasional. Ini hanya soal pendekatan
saja. Kapasitas dosen tentu disesuaikan dengan kelas yang diampu.
Kedelapan, pendekatan transformatif atau tauhid sosial. Model transformatif ini
misalnya, bisa meminjam 8 konsep teologi Hassan Hanafi, seperti; from God to land; from
eternity to time; from predestination to free will; from authority to reason; from theory to
action; from charisma to mass participation; from soul to body; from eschatology to futurology.
Sedangkan tauhid sosial dapat menggunakan 5 konsep Amien Rais yakni; unity of godhead,
unity of creation; unity of mankind;, unity of guidance; unity of purpose of life. Karena masih
keringnya elaborasi konsep tauhid sosial Amien Rais ini, maka aplikasinya bisa disesuaikan
dengan kreativitas intelektual para dosen yang bersangkutan.
Beberapa Langkah Akademis ke Depan
Untuk lebih meningkatkan kualitas lembaga pendidikan – khususnya – perguruan tinggi
Muhammadiyah, beberapa hal berikut ini juga perlu diperhatikan, antara lain: pertama, perlunya
kontinuitas penerbitan jurnal/majalah pendidikan – semacam Gerbang - dan adanya pertukaran
jurnal/majalah antar sekolah/PTM. Kedua, setiap tahun – bahkan bila perlu setiap awal semester
– para guru/dosen diwajibkan mencantumkan referensi terbaru yang terkait dengan mata kuliah
yang diajarkan. Demikian pula substansi silabi harus selalu ada yang baru. Ketiga, diadakannya
diskusi rutin (majelis ilmu) tingkat fakultas atau antar jurusan yang menyangkut disiplin ilmu
fakultas atau masalah-masalah aktual lainnya yang relevan dengan academic need di masingmasing fakultas. Keempat, pembentukan konsorsium ilmu di bidang disiplin ilmunya masingmasing. Kelima, setiap lembaga pendidikan Muhammadiyah harus terus didorong untuk
menggali potensi teoritik atau keilmuan yang terkait dengan sumberdaya alam di
wilayahnya masing-masing (local genius/local wisdom). Pendidikan kita selama ini lebih
berorientasi pada pusat (nasional) bahkan cenderung mengekor pada hasil-hasil temuan tingkat
global. Padahal alam dan wacana sosial dalam konteks keindonesiaan cukup kaya untuk
dijadikan medan riset. Keenam, setiap lembaga pendidikan Muhammadiyah – khususnya PTM –
perlu menyediakan resource room sebagai wahana sumber keilmuan yang nyaman di lingkungan
perpustakaan. Akses informasi serta dimensi networking antar perpustakaan PTM, nasional
bahkan global, penting pula untuk secara terus menerus dikontesktualkan. Ketujuh, seminar dan
workshop di tingkat jurusan harus selalu dilakukan untuk terus menggali berbagai kemungkinan
ditawarkannya mata kuliah baru. Sebagai contoh, di AS, pasca terjadinya peledakan gedung
WTC, mata kuliah tentang terorism dan Islamic Studies menjadi laris.
Kedelapan, setiap
sekolah/perguruan tinggi Muhammadiyah diwajibkan untuk memberi bekal hidup bagi setiap
calon alumninya dengan bekal: nilai indeks prestasi di atas batas minimum hingga ke tingkat
maksimum, kursus komputer/akses informasi dan kewiraswastaan, kemampuan berbahasa asing,
tradisi kepemimpinan dan kemahiran menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, sebagai bekal
masa depan saat mereka menjadi alumni perguruan Muhammadiyah. Kesembilan, mendirikan
berbagai pusat studi/pusat informasi di berbagai lembaga pendidikan Muhammadiyah sesuai
dengan kebutuhan wilayah masing-masing. Idealnya Majelis Dikti dapat memenej berbagai pusat
studi di PTM seluruh Indonesia agar tidak terjadi tumpang-tindih antar pusat studi yang ada.
Setiap PTM tentunya dapat mendirikan mengembangkan pusat studi/informasinya masingmasing melalui kerjasama dengan Menristek, LIPI, IIFTIHAR (International of Islamic Forum
for Science, Technology and Human Resources Development) dimana salahsatu tokoh
penggeraknya Habib Chirzin (mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah), Habibie Center, MIFTA
(Muslim Information and Technology Association). Kerjasama ini juga bisa diperluas dengan
berbagai pusat studi dan informasi dalam dan luar negeri lainnya yang relevan dengan kebutuhan
masing-masing wilayah. Dengan adanya media internet sekarang ini, segala bentuk kerjasama
yang akan diwujudkan menjadi lebih akseleratif dan mudah. Kesepuluh, segenap pimpinan PTM
dapat terus aktif menjaring dana penelitian/penulisan buku bagi para dosen, agar dosen tidak
terjebak pada rutinitas mengajar, yang lama kelamaan dosen yang bersangkutan semakin
mengalami pendangkalan intelektual. Demikian pula, perlunya dorongan bagi para dosen untuk
menjadikan karya tulis sebagai karya utama setelah mengajar. Tradisi menulis di jurnal ilmiah,
buku maupun makalah seminar, akan menjadi simbol bagi kualitas PTM yang ada sebagaimana
yang sudah menjadi tradisi rutin di berbagai PT di luar negeri. Paling tidak, setiap tahunnya ada
satu/beberapa karya ilmiah dosen yang dipublikasikan secara luas sebagai standar mutu dari
dosen yang bersangkutan. Alangkah lucunya, di setiap akhir tahun, tidak ada satu karya tulis pun
yang lahir dari “rahim intelektual” sang dosen. Kesebelas, pimpinan PTM secara periodik dan
bergiliran perlu mendorong setiap dosen untuk dapat menetap selama beberapa bulan di luar
negeri, sebagai upaya refreshing sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki. Peningkatan
kualitas dosen akan berdampak positif pula dengan kualitas mahasiswa yang
dibimbingnya.. Keduabelas, Majelis Dikti Muhammadiyah perlu segera mengeluarkan aturan
baru tentang pentingnya alokasi/kuota sekitar – maksimum – 15% penerimaan calon
dosen/karyawan yang benar-benar berasal dari kader Persyarikatan, dengan tetap
mempertimbangkan skill dan kapasitas keilmuan yang dimiliki, dalam rangka mereduksi potensi
“pengangguran” dari dalam Persyarikatan sendiri, sekaligus mengantisipasi adanya social and
psychological gap antara kader Persyarikatan
dengan dosen/karyawan yang
“bukan” murni dari kader Persyarikatan. Aturan main ini penting untuk mengantisipasi
timbulnya resistensi bagi – sebuah kewajaran organisatoris -terakomodasinya kader
Persyarikatan di segenap amal usaha Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Demikianlah beberapa refleksi penulis tentang masa depan dari sistem pendidikan
Muhammadiyah, khususnya di perguruan tinggi. Mudah-mudahan tulisan ini memberikan
inspirasi dan m enjadi bahan diskusi bagi munculnya renaisans kedua pendidikan
Muhammadiyah abad 21. Wallahu a’lam bisshawab
(penulis: Dosen Fakultas Agama Islam UMY)
sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004