M01340

GENEALOGI KONTRAK
(Studi tentang Historisitas Asas Dalam Hukum Kontrak)1

Oleh : Tri Budiyono2

A. PROLOG
n. Ahli genealogi menggunakan berita dari mulut ke mulut, catatan sejarah, analisis genetik,
serta rekaman lain untuk mendapatkan informasi mengenai suatu keluarga dan menunjukkan
kekerabatan dan silsilah dari anggota-anggotanya. Hasilnya sering ditampilkan dalam bentuk
bagan (disebut bagan silsilah) atau ditulis dalam bentuk narasi.3
Terma genealogi4, dalam perkembangannya, tidak hanya dipakai untuk menelaah bidang
kajian keluarga dan asal usul manusia, tetapi juga “dipinjam” pada berbagai disiplin ilmu
untuk menggambarkan bagaimana asal-usul (historisitas) dari berbagai cabang ilmu. Paul
Michel Foucoult5, adalah seorang pilsuf dan sejarahwan dari Perancis yang mengembangkan
gagasan (yang dianggap orisinil) diantaranya berkaitan dengan genealogi kegilaan. Dari hasil
pengkajian Foucoult, pandangan masyarakat terkait dengan kegilaan dapat dipilah
berdasarkan periodisasi tertentu, yaitu, masa renaissance, masa klasik dan masa modern.6
1

Disampaikan dalam acara Orasi Ilmiah Fakultas Hukum pada tanggal 5 Desember 2012 di BU Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga.

2
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UKSW, Salatiga.
3
id.wikipedia.org/wiki/Genealogi diunduh pada 22 Oktober 2012
4 Dalam kamus elektronik Arti Kata. Com, genealogi memiliki 2 (dua) makna, yaitu (a)
garis keturunan
manusia dl hubungan keluarga sedarah; (b) garis pertumbuhan binatang (tumbuhan, bahasa, dsb) dr
bentuk-bentuk sebelumnya. Lihat lebih lanjut http://www.artikata.com/arti-328402-genealogi.html.
5

Paul Michel Foucoult adalah filsuf yang memiliki gagasan penting pada berbagai bidang, misalnya
arkeologi, genealogi, episteme, dispositive, biopower, governmentality, institusi disipliner, panopticism,
dll. Ia dilahirkan pada tanggal 16 Oktober 1926 dan meninggal pada tanggal 24 Juni 1984 dalam usia 54
tahun. Foucoult dikenal dengan penelitian-penelitian yang tajam dalam bidang institusi social, terutama
psikiatri, kedokteran, ilmu-ilmu kemanusiaan dan sistem penjara, dan karyanya tentang sejarah seksualitas.
Karyanya yang menelaah kekuasaan dan hubungan antara kekuasaan, pengetahuan dan diskursus telah
banyak diperdebatkan secara luas. Pada tahun 1960-an Foucoult sering diasosiasikan dengan gerakan
strukturalis. Foucoult kemudian menjauhkan diri dari gerakan ini. Meski sering dikarakterisasikan sebagai
seorang postmodernis, Foucoult selalu menolak label poststrukturalis dan postmodernis.
6 Wildan Sena Utama, Selubung Kekuasaan Atas Tubuh: Membongkar Pembentukan Tubuh Masyarakat

Eropa
Bersama Foucault,
diunduh
dari
http://komunitaskembangmerak.wordpress.com/2010/12/10/selubung-kekuasaan-atas-tubuh-membongkarpembentukan-tubuh-masyarakat-eropa-bersama-foucault/

Melalui bukunya Madness and Civilization : A History of Insanity in the Age of Reason
(1975), Foucoult mengupas kegilaan sebagai studi tentang penelusuran terhadap pergeseran
pandangan manusia terhadap kegilaan. Hasil studinya, Foucoult menggambarkan pergeseran
makna kegilaan dari suatu cara berfikir dan sekaligus cara hidup yang estetik menjadi cara
berfikir dan cara hidup yang mengganggu orang (individu) lain sehingga harus disingkirkan
atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Dede Mulyanto, dengan mempergunakan pendekatan anthropologi menulis buku tentang
Genealogi Kapitalisme. Dalam bukunya tersebut, Dede Mulyanto menulis bahwa Kapitalisme
tidak dilihat sekedar sebagai sistem ekonomi, melainkan relasi sosial yang sudah merasuk ke
relung-relung kehidupan kita. Hal inilah kenapa pendekatan antropologi yang digunakan
dalam kajian ini menjadi pisau analisis yang amat tajam untuk membedah anatomi
kapitalisme. Tak hanya menyoroti perkembangan kapitalisme di Eropa, buku ini juga
menyingkapi proses akumulasi primitif yang terjadi di Indonesia. Bagaimana kapitalisme
masuk melalui penjajahan Belanda dengan menghancurkan pranata-pranata tradisional. Suatu

proses yang belum selesai hingga sekarang, muncul di permukaan dalam bentuk konflikkonflik tanah atau sumberdaya yang marak di mana-mana antara masyarakat dengan
korporasi-korporasi
Moestika Zed,7 dalam tulisanya berjudul “Genealogi Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia :
Kecenderungan

Bertahannya

Gejala

Parokialitas

Antardisiplin”,

berusaha

untuk

mengkonstruksi bahwa ilmu social Indonesia berbeda dengan dengan ilmu social barat yang
lebih bersifat erocentris. Genealogi ilmu social Indonesia dapat ditelusur melalui proses
historisitas, yang dapat dipilah menjadi 3 (tiga) periode berdasarkan fase perkembangannya,

yaitu :
1. fase embrionik sejak zaman kolonial;
2. fase ilmu sosial developmentalis sejak 1950-an sampai masa Orde Baru dan
3. fase kontemporer, ketika ilmu sosial di negeri ini berada di persimpangan sejarah
bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensional
Fase perkembangan ilmu social tersebut secara diametral berbeda dengan perkembangan ilmu
social barat,8 yang akar historitasnya dapat (harus) ditelusur melalui perkembangan ilmu
social yang bermula di Eropa Daratan, khususnya Perancis dan Jerman. Melalui tulisan

Lihat lebih lanjut du seri tulisan Moestika Zed, dengan judul yang sama yaitu “Genealogi Ilmu-Ilmu Sosial
di Indonesia : Kecenderungan Bertahannya Gejala Parokialitas Antardisiplin” sebagaimana dimuat dalam
http://nasbahrygallery1.blogspot.com/2011/02/genealogi-ilmu-ilmu-sosial-di-indonesia.html
8 Karenanya sifatnya yang kolonialistik, ilmu social barat dipadankan juga dengan ilmu social colonial
(istilah sarkastik yang dipilih oleh Moestika Zed untuk menggambarkan kuatnya dominasi ilmu social barat
yang dengan pongah mengklaim diri paling objektif dan ilmiah dan pada saat yang bersamaan
meminggirkan ilmu social yang dikembngkan dari luar daerah tersebut.

7

tersebut Moestika Zed meminjam terma genealogi untuk menjelaskan bagaimana ilmu social

Indonesia tumbuh dan berkembang berdasarkan lintasan waktu.
Terlilhami oleh berbagai kreatifitas berpikir, terutama dari mereka yang pokok pemikirannya
telah dipaparkan pada bagian terdahulu, penulis (akan) mengkaji bagaimana asas-asas hukum
kontrak berkembang dari waktu ke waktu. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh keyakinan
bahwa hukum (khususnya hukum kontrak) adalah bidang hukum yang berkembang seiring
dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dinamika perubahan masyarakat yang
dominan secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan
hukum kontrak itu sendiri. Dari perspektif ini, hukum kontrak sejatinya meninggalkan jejak
historisitas sebagai pembentuk asas dengan segala pemaknaan sebagaimana kita kenal pada
masa kini. Kekinian sejatinya adalah hasil dialektika dari perkembangan masa lalu, yang
terkadang terpoles, terkikis, bahkan mati seiring dengan perjalanan waktu. Perubahan
tersebut terjadi secara incremental, yang terkadang berlangsung melintasi beberapa generasi.
Untuk menegaskan kajian historisitas asas-asas hukum kontrak, penulis dengan sengaja
meminjam dan memilih terma genealogi untuk menggambarkan silsilah perkembangan asasasas hokum kontrak dalam lintasan sejarah. Atas dasar pertimbangan ini, judul tulisan ini
menjadi : “Genealogi Kontrak (Studi Tentang Historisitas Asas dalam Hukum Kontrak).
Dengan segala keterbatasan, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pengungkit minat untuk
melakukan kajian hokum dari perspektif sejarah.9 Sebab, sejatinya hokum akan dapat
dimaknai jauh lebih baik apabila perspektif sejarah evolusi maknanya terungkap ke
permukaan. Pandangan ini dipumpunkan pada keyakinan bahwa perkembangan hokum
merupakan bagian dari sejarah perkembangan masyarakat itu sendiri, sehingga bersifat

historis.10
B. Kajian Pustaka
Kontrak atau perjanjian harus diakui sebagai tonggak dari kehidupan masyarakat modern,
terutama ketika aktivitas ekonomi mengalami perkembangan yang luar biasa. Kontrak tidak
9

Dalam struktur kurikulum pendidikan tinggi hukum, sejarah hukum belum (baca : tidak) distrukturkan
sebagaian bagian mata kuliah yang disajikan dalam perkuliahaan. Pada umumnya, Sejarah Hukum baru
menjadi matakuliah yang disajikan pada Strata 2 (Magister Hukum).
10 Terhadap persoalan apakah hukum itu bersifat historis atau bersifat ahistoris sejatinya tidak ada kesatuan
pandangan. Hukum dikatakan bersifat ahistori dipumpunkan pada keyakinan bahwa pembentukan hukum
itu terjadi oleh karena hasil dari olah akal sehat dan logika juridis semata, yang keberadaannya tidak harus
dikaitkan dengan dialog antara dunia ide dengan realitas empiris. Sedang pandangan historis dipumpunkan
pada keyakinan bahwa pembentukan hukum dipengaruhi oleh hasil dialog antara dunia ide dengan realitas
empiris yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Pandangan yang terakhir ini terkristal melalui
terbentuknya mazab sejarah yang dipelopori oleh Karl Frederic von Savigny dan G. Pucta.

hanya penting dalam membangun keterhubungan antara individu yang satu dengan individu
yang lain, tetapi kontrak sejatinya telah menjadi corner stone dalam aktivitas ekonomi. Dapat
dijamin kebenarannya secara utuh kredo yang mengatakan : “tidak ada satu aktivitas bisnis

apapun yang tidak dimulai dari kontrak”.
Kontrak dalam penelusuran sejarah dapat ditemukan jejak sejarahnya dalam dokumen hokum
yang berkembang dan dikembangkan pada masa kekaisaran Romawi.11 Bahkan, bukan tidak
mungkin kontrak dapat ditelusur jejak sejarahnya dalam perkembangan masyarakat Yunani
kuno.12
Hukum yang sekarang kita kenal sebagai hasil dari “west legal civilization” pada dasarnya
merupakan hasil proses sejarah melintasi waktu yang berlangsung sejak masa Yunani13, masa
Romawi14, masa Sleeping Giant15, masa Abad Pertengahan16, masa Hukum Modern, dan masa
Hukum Kontemporer.
11

Kekaisaran Romawi (Imperium Romanum) merupakan kelanjutan dari Republik Romawi Kuno yang
berlangsung kurang lebih 500 tahun. Kekaisaran Romawi mulai berdiri pada tahun 27 BC sampai dengan
tahun 476 AD (runtuhnya Romawi Timur) dan 1453 AD (runtuhnya Romawi Barat). Puncak dari karya
hukum pada masa kekaisaran Romawi adalah terkompilasikannya bahan-bahan hukum dalam Corpus Juris
Civilis antara tahun 529-534 atas perintah kaisar Justinianus I yang memerintah di Bizantium (Romawi
Barat). Corpus Juris Civilis terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu, Digesta atau Pandectae (terdiri dari 50 buku
sebagai hasil tulisan dariahli hukum yang terkenal pada saat itu), Instituiones (tulisan teks untuk siswa
yang diharapkan menjadi pengantar pemahaman hukum Romawi), dan Novellae (konstitusi yang
dikeluarkan kaisar).

1212 Masa Yunani (kuno) adalah masa satu millennium (1000 tahun) berkembangnya peradapan Yunani,
yang secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 penggalan masa, yaitu masa Yunani Kuno, masa Yunani, dan
masa Hellenisme.
13 Jaman Yunani berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 1000 tahun (satu millennium), yaitu pada
kurang lebih abad ke-14 SM sampai dengan Abab ke-5 SM. Pada masa ini hukum dapat ditelusur dalam
cerita-cerita mitologi Yunani. Satu millennium masa Yunani ini, dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat)
pilahan, yaitu masa pra Yunani, masa Yunani Kuno, Masa Yunani klasik, dan masa helenisme.
14 Jaman Romawi dimulai dari abad ke-5 SM sampai dengan abad ke-5 SM. Masa ini berlangsung dalam
kurun waktu kurang lebih satu millennium (1000 tahun). Tonggak perkembangan hukum ditemukan dari
Twelve Table sampai dengan Corpus Juris Civilis. Pada masa ini hukum sudah ditemukan dalam dokumendokumen tertulis yang pada dasarnya menjadi embrio dari hukum modern yang kita kenal pada saat ini.
15
Sleeping Giant (raksasa yang tertidur) adalah masa antara abad ke-6 SM sampai dengan abad ke-11 SM,
dimana dokumen-dokumen hukum yang ditinggalkan oleh Kekaisaran Romawi menjadi dokumen tanpa
ada control otoritas negara untuk menjalankan hukum. Pada masa ini, sekalipun hukum tidak dikontrol
oleh negara, namun proses internalisasi yang telah berlangsung lama mengakibatkan hukum telah menjadi
cara hidup (budaya) dan hukum hidup sebagai cara hidup masyarakat bekas Kekaisaran Romawi dibawah
control negara-negara kecil sebagai pecahan dari Kekaisaran Romawi. Pada masa ini, hukum diibaratkan
sebagai raksasa yang tertidur, yang pada gilirannya nanti menjadi resources bagi pembentukan hukum
modern.
16 Masa adan Pertengahan pada dasarnya menjadi masa pembentukan hukum modern dengan terjadi dialog

yang intens antara lembaga pendidikan tinggi dengan dunia praksis. Masa ini berlangsung antara abad ke-

Setelah runtuhnya kekaisaran Romawi yang diawali dari perpecahan menjadi 2 (dua) Negara,
yaitu Romawi Barat dan Romawi Timur, hokum yang berkembang dari Twelve Table sampai
dengan Corpus Juris Civilis, hidup dalam praksis kehidupan sehari-hari masyarakat tanpa
adanya control Negara sebagai pemegang otoritas kedaulatan. Dengan demikian hokum
terlestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui cara hidup individu-individu
sebagai anggota masyarakat. Hukum dan cara berhukum yang eksis dalam praksis kehidupan
masyarakat tanpa adanya control kedaulatan Negara yang cukup kuat ini berlangsung dari
abad ke-5 (ditandai runtuhnya Romawi Timur pada tahun 476) sampai dengan abad ke-11
(titik dimana lembaga pendidikan tinggi secara sistematis melakukan kajian terhadap teksteks hokum kuno sebagai embrio pembentukan hokum modern.17
Abad ke-11 merupakan titik penting bagi proses awal pembentukan hukum modern, dengan
melakukan pengkajian terhadap teks-teks kuno yang ditinggalkan oleh Kekaisaran Romawi.
Universitas Bologna merupakan pendidikan tinggi di Italia, yang merintis pengembangan
pengkajian bahan hukum kuno dengan membuat komentar dalam bentuk catatan yang
dituliskan dipinggir naskah. Naskah hukum kuno sebagai peninggalan pada masa Romawi
distudi secara ilmiah dan diberikan penafsiran sesuai dengan kondisi yang ada untu kemudian
diberikan makna baru untuk menyesuaikan realitas yang ada dalam masyarakat. Hasil
pengkajian pendidikan tinggi ini kemudian “didialogkan” dengan realitas kehidupan melalui
proses dialektika untuk menguji dan sekaligus mengukuhkan makna baru yang

dikonstruksikan.
Pembentukan hukum barat sebagai bentuk peradaban hukum (legal civilization), menurut
Harold J. Berman terjadi melalui dialektiga 3 (tiga) spiritual ancestors, yaitu filsafat Yunani,
Religiositas Yahudi (Jews) dan Hukum Romawi. Dialektika ketiga spiritual ancestors tersebut
pada ujungnya menghasilkan peradaban hukum barat terjadi oleh karena adanya proses

11 sampai dengan abad ke-18. Kajian terhadap naskah-naskah hukum kuno yang berkembang dan
dikembangkan di universitas dimulai dari Universitas Bologna di Italia dan kemudian secara sporadic
menyebar ke universitas-universitas lain di Eropa. Proses ini berlangsung dalam jangka waktu yang cukup
lama dan berujung pada terbentuknya hukum modern. Hukum modern ini kemudian masuk pada proses
globalisasi dan tersebar melalui proses transplantasi baik yang bersifat memaksa (dalam keterhubungan
antara Negara penjajah dan Negara jajahan) maupun melalui transplantasi sukarela (legal colonization from
within).
17

Dalam pandangan Max Weber, keterhubungan antara Negara modern dan hukum modern adalah
keterhubungan yang sifatnya saling mengada. Hukum modern hanya bias dihasilkan oleh institusi-institusi
yang terbentuk dalam Negara modern . Pada sisi lain, Negara modern hanya dapat eksis apabila ditopang
oleh hukum modern.


penstrukturan sejarah (historical structured) dan mensejarahkan struktur (structured history)
secara bersama-sama.
Proses pengaruh dan mempengaruhi ketiga spiritual ancestors terjadi melalui proses adopsi
secara selektif untuk disesuaikan dengan kebutuhan kontemporer masyarakat pada saat itu
dan prediksi kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang menurut para ahli hukum
yang melakukan pengkajian pada saat itu. Dialog antara lembaga pendidikan tinggi dan
praksis kehidupan hukum merupakan batu uji secara alamiah atas keterterimaan hukum di
masyarakat. Dalam proses yang demikian, dapat dimengerti hukum dapat terkikis, terpoles,
bertahan atau mati seiring dengan perjalanan waktu. Proses pengaruh dan mempengaruhi
ketiga spiritual ancestor tersebut terwujud dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu penemuan ulang
prinsip hukum yang telah ada pada masa lampau (rediscovery), pengujian ulang prinsipprinsip hukum untuk menyesuaikan perubahan masyarakat yang terjadi (reexaminations),
atau adopsi (adoptions) terhadap teks-teks kuno dengan memberikan makna baru dari
spiritual ancestors tersebut.
Hal yang menarik dari pertelingkahan dari ketiga spiritual ancestors tersebut adalah sifat

antagonistic dari ketiga spiritual ancestors tersebut ternyata dapat dikelola menjadi satu world
view, yang kemudian dikenal dengan peradaban hukum barat. Pada galibnya, teologi (baca :
religiositas) Yahudi tidak bersifat toleran terhadap alam pemikiran filsafati yang berkembang
di Yunani dan doktrin-doktrin hukum yang dihasilkan pada masa Kekaisaran Romawi.
Demikian juga Filsafat Yunani tidak sejalan dengan cara hidup (religiositas) pengikut agama
Yahudi dan doktrin-doktrin hukum Romawi. Serta, Hukum Romawi memiliki dasar
pemikiran sendiri yang tidak selalu conform dengan religiositas Yahudi dan Filsafat Yunani.
Namun pertemuan ketiga spiritual ancestors tersebut, di bawah “bendera” barat dapat
tersinergikan yang pada akhirnya menghasilkan peradaban hukum barat (west legal

civilization).
Pengertian hukum barat sejatinya tidak menunjuk pada letak geografis tertentu, tetapi lebih
menunjuk pada peradaban hukum yang dihasilkan dari pertelingkahan ketiga spiritual
ancestors tersebut. Hukum barat ini dalam sejarah perkembangannya menginfiltrasi hampir
seluruh wilayah dunia melalui proses transplantasi hukum, baik yang terjadi secara

compulsory maupun secara voluntary.

PETA PERSEBARAN HUKUM BARAT

Sumber : google.map_legal_system.jpg
Persebaran hukum melalui proses transplantasi ini sejatinya merupakan indicator kuat bahwa
globalisasi hukum telah mendahului globalisasi bidang-bidang kehidupan yang lain.
Bagaimana hukum berproses dari satu generasi ke gerasi berikutnya sejatinya telah
berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, juga terjadi pada hukum kontrak yang
pada dasarnya merupakan bagian kecil dari hukum itu sendiri. Dari perspektif ini, hukum
kontrak dapat diibaratkan suatu organisme yang bersiklus layaknya hidup manusia. Pada tiaptiap jaman, hukum kontrak memiliki kehidupannya sendiri, memiliki tantangannya sendiri,
memiliki kejayaannya sendiri, dan pada akhirnya mengalami kepudarannya sesuai dengan
perjalanan waktu. Sebagian dari poros-poros hukum kontrak terlahir kembali, sebagian
mandul, sebagian memudar, dan mungkin sebagian berkembang pada generasi berikutnya.
Perjuangan hidup (struggle of life) dari poros-poros hukum kontrak tersebut melahirkan
kondisi bahwa hanya yang paling kuat yang tetap bertahan dalam ujian waktu, sementara
yang lain mati. 18

18

Bandingkan dengan FW. Maitland, dalam Harold J. Berman, Law and Revolution, The Formation of
Western Legal Tradition, Harvard University Press, Cambridge, 1983.

Dengan cara pemahaman bagaimana hukum, khususnya hukum kontrak, seperti ini, maka
genealogi asas-asas hukum kontrak dapat ditelusur dan dapat lihat benang merahnya dengan
asas-asas hukum kontrak yang sampai sekarang masih tetap eksis.
C. Genealogi Kontrak
Kontrak eksis oleh karena topangan dari asas-asas yang melingkupinya. Asas hukum sejatinya
akan membentuk check and balances suatu hukum.19 Dalam kaitannya dengan hukum
kontrak, dikenal berbagai macam asas hukum. Menurut Asser-Rutten, ada tiga asas hukum
kontrak, yaitu : konsensualisme, kekuatan mengikatnya perjanjian, dan kebebasan
berkontrak. Menurut Hoffman-Abas, selain asas tersebut ditambahkan asas kepatutan
(billijkheids beginsel). Sedang Nieuwenhuis mengajukan 3 (tiga) prinsip hukum kontrak yaitu
: otonomi para pihak (aotonomie beginsel), kepercayaan (vertrouwens beginsel) dan prinsip
kausa (causa beginsel). Sementara Wery mengedepankan asas itikat baik (geode trouw

beginsel). Asas hokum ini dperlukan sebagai dasar dalam pembentukan aturan hokum dan
sekaligus sebagai dasar dalam memecahkan persoalan hokum yang timbul manakala aturan
hokum yang tersedia tidak memadahi. Asas hokum ini pada dasarnya bersifat meta kaidah.
Asas-asas yang ada diseputar hukum kontrak sejatinya dapat dipilah menjadi 2 (dua)
kelompok, yaitu asas-asas yang secara tegas dapat ditemukan dalam hukum kontrak
Indonesia, baik yang dapat disimpulkan dari norma positif yang bersifat eksplisit maupun
yang bersifat implicit, dan asas-asas yang terkait dengan kelompok asas golongan pertama
tersebut. Asas hokum kontrak yang termasuk dalam kategori pertama adalah :
a. Asas konsensualisme,
b. Asas kebebasan berkontrak,
c. Asas pacta sunt servanda, dan
d. Asas itikat baik,
Sedang asas yang terkait dengan asas hokum kontrak antara lain adalah asas rebus sic
standibus, asas kekuatan mengikatnya perjanjian, asas kepatutan, dan asas kesalahan dalam
kontrak (mistakes of contract).
Bertitik tolak dari persoalan ini, asas hukum yang secara khusus akan ditelusur genealigiknya
hanya dibatasi terhadap asas yang secara langsung dapat itemukan dalam hokum kontrak
Indonesia yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Asas Konsensualisme
19

Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh
Pemerintah, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2009, hal 37

Konsensualisme atau kata sepakat menrupakan asas yang secara eksplisit dituangkan
dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Masuknya kata sepakat sebagai salah satu unsure esensia
untuk adanya perjanjian sejatinya merupakan hasil evolusi yang telah berlangsung sejak
jaman Romawi.
Pada masa kekaisaran Romawi, contractus (yang kemudian diterjemahkan menjadi
kontrak, tidak mensyaratkan adanya kata sepakat dari pihak-pihak yang masuk dalam
kontrak. Dalam tatanan Hukum Romawi persetujuan baru terjadi pada saat benda yang
menjadi objek perjanjian diserahkan. Ini berarti perjanjian bersifat tunai dan terang.
Dengan demikian, pada mulanya Hukum Romawi tidak mengenal persetujuanpersetujuan konsesual. Kondisi semikian berlangsung terus ketika /kekaisaran Romawi
Runtuh dan Hukum Romawi hidup dalam cara hidup masyarakat di Negara-negra kecil
yang menjadi bekas kekaisaran Romawi. Hukum Romawi berpegang teguh pada
persyaratan-persyaratan yang ketat tentan persetujuan, dengan beberapa pengecualian
adanya syarat-syarat tertentu untuk dapat dikatakan adanya persetujuan. Aturan umum
nudus concensus obligat tidak berlaku.
Kondisi yang hidup pada masa kekaisaran Romawi tersebut seringkali disebut sebagai
hokum Romawi primitive. Dalam perkembangannya, apa yang dalam system hokum
Romawi diposisikan sebagai pengecualian justru memperoleh ruang yang lebih luas,
dimana persesuaian kehendak yang memenuhi persyaratan-pesyaratan tertentu dikui
sebagai kontrak yang sah menurut hokum. Sejak saat itu, antara lain karena semakin
berkembangnya perdaganga dan tuntutan terhadap pada pedagang,

secara perlahan

kontrak konsensual menggeser kontrak yang bersifat tunai dan terang.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) merupakan hasil penyimpulan dari
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.20 Asas ini mengandung makna bahwa orang sebagai
subjek hokum memiliki kebebasan terhadap :
a. Bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. Bebas untuk memilih dengan siapa seseorang membuat perjanjian,
c. Bebas untuk menentukan isi perjnjian, dan

20

Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan :
(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang
membuatnya,
(2) Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak , atau karena
alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan untuk itu,
(3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik,

d. Bebas untuk menentukan bagaimana membuat perjanjian
Negara-negara yang mempunyai sistem hukum Common Law mengenal kebebasan
berkontrak dengan istilah Freedom of Contract atau laisseiz faire. Yang dirumuskan oleh
Jessel M.R. dalam kasus “Printing and Numerical Registering Co. Vs. Samson” yang

“…… men of full age understanding shall have the utmost liberty of
contracting, and that contracts which are freely and voluntarily entered into shall be held
and onforce by the courts…… you are not lightly to interfere with this freedom of
contract”.21
menyatakan

Dilihat dari benang merah perkembangan sejarah, asas kebebasan berkontrak merupakan
asas yang mengalami masa keemasan dan kemudian mengalami pasang surut cukup
signifikan. Perubahan konstelasi bermasyarakat yang sejatinya menjadi pendorong
terhadap pergeseran asas kebebasan berkontrak tersebut.
Asas kebebasan berkontrak sejatinya mensyaratkan adanya kesetaraan dari para fihak
yang membuat kontrak.

Namun demikian, kesetaraan yang

sebenar-benarnya

sesungguhnya tidak ada. Pitlo menyatakan bahwa kebebasan berkontrak pada dasarnya
adalah sebuah fiksi.22 Oleh karena itu, persangkaan (presumption) yang dianggap ada
adalah kesetaraan minimal. Artinya, pada batas minimal seseorang masih memiliki
kesempatan untuk mempergunakan kehendak bebas (free will) untuk masuk atau tidak
masuk dalam perjanjian.
Henry James Sumner Maine menyatakan bahwa asas kebebasan berkontrak menjadi
semakin penting, sebab tejadi pergeseran masyarakat dari peran berdasarkan status
menjadi peran berdasarkan kebebasan berkontrak. Sumner Maine mengatakan “a status

system establishes obligations and relationships by birth whereas a contract presumes that
the individuals are free and equal.” Dalam masyarakat modern, kebebasan berkontrak
merupakan ekspresi dari seseorang untuk untuk membuat keputusan secara independen
dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Konsep klasik kebebasan berkontrak meliputi 2
(dua) hal, yaitu kontrak didasarkan pada persetujuan dan kontrak merupakan hasil dari
pilihan bebas. 23

21

Jessel dalam Haridjan Rusli, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law”, Pustaka Sinar Harapan
Jakarta, 1993, Hal-39
22 Bandingkan dengan
Soedjon Dirdjosisworo, Misteri Dibalik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju,
Bandung, 2002 dan Catrine MacMillan, Mistakes in Contract Law, Oxford and Forland, Oregon 2010.
23 P.S. Atiyah dalam Sogar Simamora, Op. Cit. hal. 39

Sekalipun asas kebebasan berkontrak tidak terlalu panjang lebar dituangkan dalam proses
positivisasi24 KUH Perdata, namun asas ini sejatinya sarat dengan perdebatan pergulatan
philosofis. Titik kritis dari persoalan ini terletak pada konstruksi hokum dari asas
kebebasan berkontrak yang sejatinya ada pada alam ide yang tidak koheren dengan
realitas kehidupan, yaitu ketiadan equalitas dan kebebasan yang absolute.25 Dalam kondisi
yang demikian, kebebasan berkontrak sejatinya dibangun diatas fiksi kebebasan dan
equalitas masyarakat. Diatas kondisi yang demikian, pembatasan terhadap kebebasan
berkontrak diperlukan. Pembatasan terhadap kebebasan berkontrak berada dalam arena
tarik-menarik dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Perkembangan asas kebebasan berkontrak mencapai puncak kejayaan bersamaan dengan
masa keemasan individualism dan liberalism. Pada saat revolusi Perancis berlangsung dan
berujung pada terbentuknya Negara Perancis, kredo

liberte, egalite dan fraternite

(kebebasan, keadilan, persaudaraan) dikukuhkan menjadi moto Negara. Pada saat yang
hampir bersamaan, individualism dan liberalism menjadi faham yang hampir secara
merata diterima di Eropa. Faham ini pada dasarnya menghendaki agar Negara membatasi
campur tangannya dalam kehiduan bermasyarakat. Semakin sedikit campur tangan
pemerintah semakin baik. Pada saat yang bersamaan eksplorasi kebebasan individu
mendapat ruang yang sangat luas.
Salah satu persyaratan adanya tertib sosial terletak pada kebebasan individu, yaitu
kebebasan bagi setiap orang untuk memperjuangkan kesejahteraannya dan mengatur
hubungan-hubungannya sesuai dengan apa yang dianggap baik. Pengaruh faham
individualism dan faham liberalism terhadap asas kebebasan berkontrak didasarkan pada
2 (dua) buah dalil, yaitu :
a. Mengadakan perikatan-perikatan kontraktual dperkenankan, dan
b. setiap perikatan kontraktual yang dibuat dengan bebas adalah adil dan patut dan oleh
sebab itu memerlukan sanksi undang-undang.
Dalam sejarah perkembangannya, kebebasan berkontrak menjadi semakin menyempit
oleh karena pembatasan-pembatasan baik yang dilakukan oleh pengadilan, pemerintah,
24

Positivisasi adalah proses menjadi positif. Ini berarti sesuatu yang semula tidak positif (tidak identik
dengan negative) karena proses tertentu menjadi positif. Dari perspektif ini, proses positivisasi
menghasilkan sesuatu yang positif, yaitu sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindera. Dalam dunia
hukum positivisasi terjadi ketika nilai (values) berubah menjadi norma melalui proses pembentukan hukum
oleh para pemegang otoritasnya.
25 Kondisi ini sebenarnya merupakan bentuk pertarungan dua pandangan besar dalam filsafat, yaitu aliran
idealism dan aliran realism. Keduanya memiliki titik tolak pandangan yang saling bertolak belakang yaitu
alam ide dan alam realitas empiris.

maupun kelompok masyarakat yang secara posisonal memiliki kekuatan ekonomi.
Atiyah26 menyatakan bahwa :
“much of this change was influenced by a widespread belief that the classical law

of contract no longer accorded with the facts of the modern world in many
situations …. But even here the law had change a good deal, and by 1980 classical
contract law appeared to be scrumbling fast.”
Campur tangan pengadilan mengemban fungsi untuk menciptakan keadilan dengan cara
membatalkan kesepakatan yang dihasilkan dari kebebasan berkontrak, tetapi secara
substansial bersifat opresif terhadap salah satu fihak. Beberapa putusan pengadilan
menyatakan bahwa kesepakatan yang telah dicapai oleh para fihak dibatalkan oleh
pengadilan dengan alas an untuk memberikan keadilan. Dala kondisi yang demikian,
putusan pengadlan berfungsi untuk mengkoreksi realitas yang secara nyata memunculkan
ketidak adilan. 27
Campur tangan pemerintah terhadap kebebasan berkontrak menjadi semakin besar
seiring dengan menguatnya kritik terhadap faham individualism dan liberalism, dan pada
saat yang hampir bersamaan menguatnya konsep Negara kesejahteraan (welfare state).
Bertolak belakang dengan faham individualism/liberalism, welfare state justru
menghendaki Negara secara aktif ikut campur tangan dalam kehidupan masyarakat untuk
mewujudkan kesejahteraan bersama. Instrumen yang lazim dipergunakan oleh Negara
untuk mengintervensi kehidupan masyarakat adalah peraturan perundang-undangan.

26

P.S. Atiyah dalam Sogar Simamora, Op. Cit. hal. 40
. In Lochner v. New York, Justice Peckham wrote for the majority: "Under that provision no state shall
deprive any person of life, liberty, or property without due process of law. The right to purchase or to sell
labor is part of the liberty protected by this amendment..." Writing in dissent, Oliver Wendell Holmes
accused the majority of basing its decision on laissez-faire ideology. He believed that they were making law
based on economics rather than interpreting the constitution. Neither did he believe that "Liberty of
Contract" existed or was intended in the constitution.
27

In his "Liberty of Contract" (1909), Roscoe Pound critiqued freedom of contract laws by laying out case
after case where labor rights were struck down by State and Federal Supreme Courts. Pound argued the
courts' rulings were "simply wrong" from the standpoint of common law and "even from that of a sane
individualism" (482). Pound further compared the situation of labor legislation in his time to common
opinion of usury and that the two were "of the same type" (484). Pound lamented that the legacy of such
"academic" and "artificial" judicial rulings for liberty of contract engendered a "lost respect for the courts",
but predicted a "bright" future for labor legislation (486-87).

Dengan instrument ini, Negara membatasi kebebasan individu baik secara terbuka
maupun secara memaksa.28
Semakin besarnya pembatasan terhadap kebebasan berkontrak, terutama yang dilakukan
oleh pemerintah, melahirkan suatu keadaan yang oleh Hugh Collins disebut regulating

contract.29 Suatu istilah yang sejatinya merupakan ironi kalau dilihat dari perspektif
kebebasan berkontrak, karena banyaknya rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh para
pihak yang akan membuat kontrak. Sindiran ini sebenarnya merupakan tengara matinya
kebebasan berkontrak sebagaimana telah diungkapkan oleh Grant Gilmore dalam
bukunya The Death of Contracts.
Sedang pembatasan terhadap kebebasan berkontrak oleh kelompok masyarakat tertentu
pada umumnya dituangkan dalam bentuk perjanjian baku, dimana satu fihak telah
menyusun isi perjanjian, dan fihak lain yng akan masuk dalam perjanjian tinggal memiliki
30

2 (dua) pilihan, yaitu menyetujui (take it) atau tidak menyetujui dan kemudian

meninggalkanya (leave it). Pada tataran praksis, perjanjian baku dipersiapkan oleh mereka
yang secara ekonomi memiliki posisi dominan.
Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak Prof. Asikin
Kusuma Atmadja, dalam makalahnya menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk
memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu
kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan demikian asas
kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 tidak lagi bersifat absolut, yang
berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti
dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian
berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak
dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Lebih lanjut Prof. Asikin
mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak karena para pihak

28

Pembatasan kebebasan individu secara terbuka dilkukan oleh pemerintah dengan cara mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur bagaimana seseorang harus berperilaku, dengan
memberikan peluang kepadanya untuk mebuat penyimpangan melalui kesepakatan yang dibuat oleh para
fihak. Sedang pembtasan kebebasan secara memaksa dilakukan oleh Negara untuk mengarahkan perilaku
individu sesuai dengan apa yang dikhendaki oleh Negara dengan ancaman batal kalau ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah tersebut tidak diikuti.
29
Istilah regulating contract pertama kali dikemukakan oleh Hugh Collins pada tahun 1999 melalui
bukunya yang berjudul Regulating Contract. Watak kontrak semacam ini adalah substansinya yang tidak
mencerminkan kebebasan dalam berkontrak karenya banyaknya rambu-rambu yang berupa regulasi.
Kontrak jenis ini merupakan fenomena dan sekaligus sebagai bntuk justifikasi bagi penganut teori negara
kesejahteraan (welfarist theory of contract). Lihat lebih lanjut Sogar Simamora Op. Cit. hal. 38
30 Grant Gilmore, The Death of Contracts, Ohio State University Press, Columbus, 1995, hal. 95.

kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah
dari pihak yang lain.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Dalam bahasa inggris, asas pacta sunt servanda memiliki arti “agreement must be kept”.
Sedang dalam banyak tulisan di Indonesia, pacta sunt servanda dimaknai sebagai peletak
asas kepastian hokum. Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seagai undang-undang
bagi para fihak yang membuatnya.
Asas ini sudah mulai dikenal sejak jaman kekaisaran Romawi. Dalam hokum Romawi,
dibedakan antara contractus dan pacta (conventiones). Pada masa Kekaisaran Romawi,
isilah contractus mempunyai arti yang jauh lebih terbatas apabila dibandingkan dengan
pengertian kontrak pada saat ini. Contractus dijabarkan dari kata kerja contrahere.
Obligationem contrahere pada awalnya tidak diartikan sebagai sebuah perikatan yang
dilahirkan daam kontrak, melainkan dengan cara sederhana membuat sebuah perikatan.
Contrahere pada mulanya dapat dilakukan tapa harus ada kata sepakat (persesuaian
kehendak). Dalam perjalanan waktu, orang mulai memasukkan persesuaian kehendak
sebagai unsure yang esensial dalam cntractus. Conventio secara etimologis berasal kata
kerja convenire, yang berarti mengadakan pertemuan, dan dalam penggunaan istilah ini
diperluas untuk menggambarkan pertemuan orang-orang yang mempunyai suatu
pendapat atau opini. Dengan demikian, contractus dan convention merupakan dua istilah
yang memiliki kemiripan tetapi memiliki perbedaan yang esensial dalah hal daya
kerjanya. Contractus memiliki daya kerja yang jauh lebih kuat, yaitu dalam hal terjadi
pengingkaran terhadap apa yang dijanjikan, dapat dituntut pelaksanaannya oleh pihak
yang mempunyai hak atas suatu prestasi. Sedang dalam convention (pact) apabila
kesepakatan tersebut diingkari, pelaksanaan dari janji tersebut pada dasarnya tidak dapat
dipaksakan.
Dengan semakin kuatnya pengaruh pemikiran teologia etis pada abad pertengahan,
muncul desakan agar orang mentaati apa yang telah dijanjikan sebagai bentuk kepatuhan
kepada ajaran agama. Atas dasar latar belakang ini, terhadap convention (pact) juga
dituntutkan untuk tetap ditaati, sekalipun pada saat itu berlaku keyakinan kuat bahwa
pengingkaran terhadap convention (pact) tidak dapat dituntut.
Hugo de Groot kemudian mencetuskan kredo pacta sunt servanda (agreement must be
kept) dengan tanpa membedakan antara contractus dan convention (pact). Dengan
berangkat dari pact dan bukan contractus. Ini berarti, terhadap conventio (pact) ada
tuntutan moral orang untuk tetap mentaatinya, apalagi terhadap contractus.

4. Asas Itikat Baik
Asas itikat baik dalam perjanjian dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (3),
yang menyatakan bahwa “perjanjian harus dilakukan dengan itikat baik”. Sekalipun asas
itikat baik tidak sama dengan asas pacta sunt servanda, namun kedua asas ini memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Dengan pumpunan asas itikat baik, dikandung makna bahwa
bahwa para pihak dalam kontrak tidak hanya terikat dengan apa yang secara eksplisit
dinyatakan melalui klausula-klausula dalam perjanjian, tetapi juga terikat dengan apa
yang menurut itikat baik juga diharuskan. Suatu janji dari kontrak harus dilaksanakan
dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab dan memperhatikan kepentingan dari
para pihak sebagaimana telah dijanjikan dalam kesepakatan. Hari Purwanto31 dalam
tulisannya berjudul Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional
menyatakan bahwa asas pacta sunt sevanda adalah pasangan asas itikat baik.
Dilihat dari perspektif kontrak sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi fase prakontraktual, pase kontraktual dan fase pasca-kontraktual, asas itikat baik menyinungi
disemua tahapan tersebut. Pada fase pra-kontraktual implementasi itikat baik antara lain
tertengara pada kewajiban untuk memeriksa dan kewajiban untuk memberitahukan
secara jujur terhadap objek perjanjian. Asas itikat baik juga terwujud pada kewajiban
untuk melakukan pencermatan terhadap seluruh aspek yang terkandung dalam kontrak
yang akan ditanda tangani. Kewajiban yang terakhir ini lazim disebut the obligation to

exercise due delignce.32 Pada fase kontraktual, implementasi itikat baik tertengara dari
perilaku yang layak dan patut dari para pihak. Pengujiannya, didasarkan pada normanrma objektif yang tidak tertulis. Selain itu, itikat baik juga diartikan sebagai keadaan
tidak mengetahui adanya cacat dari objek perjanjian.

D. Epilog
Kontrak berproses dari waktu ke waktu. Pergeseran jaman dan perubahan masyarakat telah
secara signifikan berpengaruh terhadap pergeseran kontrak. Berkembangnya industrialisasi
dan semakin kuatnya masyarakat kapitalis, telah mengakibatkan semakin kuatnya fungsi
kontrak. Wolfgang Friedmann33 menyatakan bahwa penyebab utama terhadap transformasi
kontrak adalah :

31

Hari Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum
Volume 21, Nomoe 1, Februari 2009, hal. 155-170
32
Kartini Mulyadi dalam Sogar Simamora, Op.Cit. hal. 44
33
Wolfgang Friedmann, Law in Changing Society, Second Edition, Penguin Books, Australia, 1972, p. 129-130

1. The widespread process of concentration in industry and business,
corresponding to an increasing urbanization and standardization of life. Its
lega; result is the standard contract or contract of addesion.
2. The increasing substitution of collective for individual bargaining in
industrial society. Its legal product is the collective contract between
management and labour, with verying degree of state intervention.
3. The tremendous expantion of the welfare and social services function of the
state in all common -law jurisdictions. Its legal product is twofold : on one
hand, it has led to a multitude of statury term of contract, substitute for, or
added to the terms agreed between the parties; on the other hand it has led to
a vast increase of contract where government departments or other public
authorities are on side, and private party on the other. The effect of this on
the law of contract, though as yet little explored, is profound.
Melalui lintasan sejarah telah diuraikan bahwa hokum kontran merupakan hasil dari
rekonstruksi dan terus akan merekonstruksi diri sesuai dengan perubahan yang terjadi
dalam masyrakat. Perubahan masyarakat merupakan keniscyaan (condition sine qua non)
dengan demikian perubahan hokum kontrak juga akan bersifat demikian. Perubahan
hokum kontrak dapat diposisikan sebagai bentuk dari social engineering, dan sekaligus
perubahan hokum kontrak dapat pula diposisikan sebagai bentuk kristalisasi nilai-nilai
(values) yang berkembang di masyarakat.
Salatiga, 5 Desember 2012
Dirgahayu FH UKSW

Dokumen yang terkait

M01340

0 1 16