(61 Kali)

POLICY BRIEF

“Menuju Bebas Anak
Berhadapan dengan
Hukum (ABH) Di
LAPAS Dewasa pada
Tahun 2018”

Puslitbangkesos

PERLAKUAN TERHADAP ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM
SELAMA PROSES DIVERSI

Terbitnya UU Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang
didalamnya tercantum kewajiban untuk
mengutamakan pendekatan Restoratif Justice
(Keadilan Restoratif) dan Diversi. Namun
demikian, dari hasil penelitian menunjukan
bahwa masih adanya anak yang berada pada
LAPAS dewasa dengan status tahanan

maupun menjalani hukuman. Penelitian ini
mengemukakan kondisi anak yang berada di
LAPAS dewasa pada tiga daerah penelitian
yaitu Pontianak, Bengkulu dan Kendari.
Lembaga Penyelenggara kesejahteraan sosial
(LPKS) ditujukan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan bagi seluruh masyarakat,
termasuk anak yang berhadapan dengan
hukum (ABH). Diperlukan adanya berbagai
upaya
nyata
dari
berbagai
kementerian/instansi terkait agar kesetaraan
taraf hidup ABH dengan warga negara
Indonesia lainnya dapat terwujud, terpadu
dan berkesinambungan yang pada akhirnya
dapat menciptakan kesejahteraan sosial.

SITUASI ABH DI INDONESIA

Secara faktual, tindak kejahatan dengan pelaku anak
semakin meningkat. Komisi Nasional Perlindungan
Anak mencatat bahwa pelaku kejahatan anak
mengalami peningkatan dari 1.121 pengaduan di tahun
2013 menjadi 1.851 pengaduan di tahun 2014
(meningkat sejumlah 730 kasus) (Susantyo, dkk. 2015).
Hampir 52 persen dari angka itu adalah kasus pencurian
yang diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan,
narkoba, judi, serta penganiayaan. Kondisi ini sangat
memprihatinkan karena banyak anak yang harus
berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka
ditempatkan bersama pelaku tindak pidana dewasa
sehingga rawan mengalami tindak kekerasan.
Sejalan dengan terbitnya UU Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang
didalamnya tercantum kewajiban untuk mengutamakan
pendekatan Restoratif Justice (Keadilan Restoratif) dan
Diversi. Diversi bertujuan untuk
pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana

ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana Pasal 1
angka 7 UU No. 11 tahun 2012.

Proses diversi dapat dilakukan pada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Selama proses diversi tersebut, mereka perlu mendapatkan
perlindungan dan hak-haknya agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa kekerasan dan
diskriminasi. Dalam hal ini, mereka perlu mendapatkan Perlindungan Khusus, diantaranya memperoleh
Perlindungan dan pendampingan dari tenaga professional seperti Pekerja Sosial. Sebagaimana amanat pada
Undang Undang Nomor 35 tahun 2014 pasal 59A, bahwa Perlindungan Khusus bagi Anak yang berkonflik
hukum dilakukan melalui upaya: a) penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi
secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya; b) pendampingan
psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; c) pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal
dari keluarga tidak mampu; dan d) pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
Data profil anak Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa anak pelaku kejahatan yang mendapatkan
putusan pidana penjara sebesar 55,30 persen. Persentase penanganan kasus anak menggunakan pendekatan
diversi sebanyak 22,80 persen, kembali pada orangtuanya; putusan anak kembali ke orang tua 8,57 persen,
putusan pidana bersyarat 9,02 persen, dan putusan diserahkan ke Panti Sosial atau lainnya sebnyak 2,94
persen. Kondisi Ini menunjukkan sudah adanya keberpihakan dari aparatur penegak hukum terkait dalam
menangani kasus anak lebih sebagai upaya mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Namun berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Kesos

tahun 2015 tentang kesiapan Kemensos dalam implementasi Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menemukan bahwa setiap Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan
Sosial (LPKS) sebagai lembaga sosial yang berfungsi untuk perlindungan dan rehabilitasi bagi anak
berkonflik hukum masih bervariasi sasarannya. Ada yang memiliki tugas dan fungi merehabilitasi bagi
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Tahun 2016

pelaku, korban dan saksi serta ada yang melaksanakan Perlindungan dan merehabilitasi bagi korban dan
saksi saja. Sementara temuan penelitian lain menunjukkan bahwa belum seluruh LPKS Kemensos, siap
menerima anak berhadapan dengan hukum, karena keterbatasan sarana dan prasarana termasuk SDM
(pekerja sosial ABH). Dengan demikian peluang menempatkan anak di Lembaga Pemasyarakatan atau
Rumah Tahanan selama menjalani proses hukum masih cukup besar, terlebih jika wilayahnya tidak memiliki
LPKS atau Panti Sosial Marsudi Putera (PSMP) sebagai Unit Pelaksana Teknis lembaga rehabilitasi bagi
anak berhadapan dengan hukum. Mengantisipasi kondisi ini, peran pekerja sosial dan profesi lainnya cukup
penting dalam memberikan perlindungan dan pendampingan, termasuk mendorong agar anak mendapatkan
proses penyelesaian perkara diluar mekanisme pidana konvensional. dengan cara pengalihan atau diversi.
Selama menunggu putusan pengadilan (proses penyidikan, penuntutan dan peradilan) dan mendapatkan
pendekatan diversi, idealnya anak ditempatkan di lembaga rehabilitasi sosial atau LPKS bukan berada di
dalam LP atau rumah tahanan. Oleh karena itu kajian ini akan mengungkap pelayanan apa saja yang
diterima anak selama menunggu atau menjalani proses hukum/diversi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan
sejauh mana anak-anak pelaku tindak pidana mendapatkan Perlindungan selama menunggu putusan

pengadilan, baik selama proses penyidikan (Kepolisian), penuntutan (Kejaksaan), dan pemeriksaan
(Pengadilan) serta selama dalam LP atau rumah tahanan. Bagaimana peran pekerja sosial melakukan
pendampingan bagi anak-anak yang diduga menjadi pelaku tindak kejahatan.
Berdasarkan permasalahan diatas penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan menganalisis; Kondisi
psikososial ABH selama proses diversi, Kesiapan Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS)
sebagai lembaga rujukan untuk diversi ABH, dan Praktek-praktek Pekerjaan Sosial bagi anak yang
berkonflik dengan hukum selama proses diversi.
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di tiga provinsi yaitu Bengkulu, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara dengan
jumlah sampel sebanyak 68 ABH yang berada di Lapas Curup, LPKA kota Pontianak dan LPKA Kendari.
Penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Sampel penelitian terdiri dari anak binaan dan
anak tahanan yang ditempatkan di Lapas dewasa. Jumlah responden dan informan anak pada masing-masing
provinsi adalah sebagai berikut:
Tabel 1: Jumlah Responden dan Informan anak
No

Provinsi

1.


Bengkulu

Jumlah
Responde
Informan
n
26
6

2.

Kalimantan Barat

28

5

3.

Sulawesi Tenggara


14

2

JUMLAH

68

13

Jenis kasus yang diwawancarai terdiri dari kasus pencabulan (7 kasus) dan pencurian (6 kasus). Dari
informasi anak yang berada di LAPAS diketahui bahwa ada diantaranya sudah melakukan Diversi namun
berlanjut ke proses hukum, karena: :
1. Ganti rugi yang tidak dapat dipenuhi oleh pelaku atas tuntutan korban.
2. Tidak dapat mencapai kesepakatan antara korban dan pelaku
3. Kemarahan keluarga korban atas pembelaan keluarga pelaku.
4. Adanya hukum adat Peohala yang berlaku di kota Kendari yang tuntutannya memberatkan karena
menyangkut kehormatan.
KONDISI PSIKOSOSIAL ANAK DI LAPAS

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden menyatakan kejadian yang paling tidak
menyenangkan adalah pada saat penangkapan (52%), selanjutnya pada saat pemeriksaan di kepolisian
(26,9%). Pada saat penangkapan terkesan mengejutkan dan diperlakukan seperti orang dewasa. Sedangkan
pada saat penyidikan mereka kerapkali mendapatkan penyiksaan seperti pemukulan dengan menggunakan
tangan maupun benda keras bahkan diantara mereka mendapatkan pelecehan seksual oleh oknum polisi.

Hal menarik untuk diperhatikan adalah ada 39,7% anak binaan merasa terbuang dari masyarakat, dan 10,3%
menyatakan tidak merasa menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya. Sejumlah 7,4% merasa senang
berada di Lapas dan sebaliknya 76% menyatakan perasaan sedih berada di Lapas.
Namun demikian terdapat kondisi positif pada anak binaan yang dapat dimanfaatkan untuk perubahan
perilaku anak bahwa keberadaan mereka di Lapas membuat mereka lebih dekat dengan Tuhan (94,1%) dan
memiliki rencana untuk masa depan (89,7%). Hal tersebut memperkuat kondisi anak menuju perubahan ke
arah yang lebih baik terlebih dengan adanya adanya kunjungan dari keluarganya (90%) dapat menjadi salah
satu dukungan/suport mental bagi anak.
Relasi sosial selama anak berada dalam Lapas, ditunjukan keakraban dengan staf Lapas (83%) dan tidak
pernah konflik dengan teman sesama anak binaan (76,5%), kecuali 22,1% menyatakan pernah konflik dan
hampir tiga perempatnya menyatakan tidak pernah mengalami luka karena konflik dengan teman. Berikut
kondisi psikososial anak di Lapas.
Tabel 2: Prosentase Kondisi Psikososial ABH
NO


KONDISI PSIKOSOSIAL

1.
2.
3.

Tidak dikunjungi keluarga
Merasa senang
Tidak merasa menyesal

4,

Merasa terbuang

5.
6.
7.

Sakit dibiarkan sembuh sendiri

Mengalami luka akibat tindakan orang
lain
Pernah konflik dg teman

8.

Tidak akrab dg pegawai LP

9.
10.

Tidak dekat dg Tuhan
Pengalaman tidak menyenangkan saat
:
a. Penangkapan
b. Pemeriksaaan di polisi
c. Persidangan

11.


Tidak punya rencana masa depan

%
8,8 %
7,4 %
10,3
%
39,7
%
9%
9,1 %
22,4
%
16,2
%
5,9 %

52,2
%
26,9
%
13,4
%
7,6%

Terdapat beberapa alasan kenapa anak ditempatkan
pada Lapas dewasa antara lain:
1. Provinsi belum memiliki LPKA
2. Provinsi tidak memiliki tahanan khusus anak
3. Orang tua tidak menginginkan anak ditempatkan
jauh dari tempat tinggal, karena akan menyulitkan
orang tua menjenguk anak.
KONDISI LPKS
Lembaga Penyelenggara Rehailitasi Sosial bagi anak
berkonflik hukum, keberadaannya cukup beravariaasi,
seperti LPKS di Provinsi Bengkulu berada di
lingkungan Balai Pembinaan Anak dan Remaja
(BPAR identik dengan PSBR), LPKS di Provinsi
Kalimantan Barat berada di lingkungan PSAA
Pontianak hanya berbeda di gedung. Sementara LPKS
di kota Kendari berada di lingkungan Pondok
Pesantren.

Jumlah Klien di LPKS masih terbatas, di Bengkulu
ada 3 orang yang terdiri dari 2 anak laki-laki dengan kasus pencabulan dan pencurian, dan 1 anak perempuan
dengan kasus korban pencabulan. Masing-masing berusia antara 14 – 16 tahun. Di provinsi Kalimantan
Barat ada 1 anak laki-laki berusia 11 tahun dengan kasus pencabulan dengan vonis 9 bulan. Provinsi
Sulawesi Tenggara ada 2 klien anak laki-laki masing-masing berusia 15 tahun dengan kasus pencurian dan
pencabulan.
Kegiatan anak selama berada di LPKS Provinsi Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara, mengikuti
pendidikan sekolah dan pendidikan keagamaan sebagaimana anak asuh di panti asuhan. Sedangkan di
Provinsi Bengkulu hanya menunggu warung “ABH” dan memelihara ayam. Untuk klien perempuan
diikutsertakan pada ketrampilan salon. Hanya saja klien perempuan terpaksa dipulangkan ke rumah orang
tuanya dikarenakan melanggar aturan panti.
LPKS pada tiga provinsi tidak memiliki petunjuk pelaksanaan dalam menangani ABH. Hal menarik yang ada
di LPKS Kendari adalah pengurus LPKS mengganti nama anak selama mereka berada di pesantren, sehingga
anak-anak yang lain tidak tahu identitas maupun kasus yang dialami dan, mereka dapat mengikuti kegiatan
dengan anak-anak yang lainnya.
Anggaran untuk pelaksanaan kegiatan di LPKS sangat terbatas. LPKS di provinsi Bengkulu hanya cukup
untuk permakanan saja. Berbeda dengan di provinsi Kalimantan Barat, orang tuanya turut membiayai
kebutuhan anak sebesar RP. 1.000.000,- / bulan. Sehingga anak masih bisa melanjutkan sekolah dan
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Tahun 2016

kebutuhan sehari-hari tetap terjamin. Sementara untuk biaya pendidikan anak yang berada di LPKS pondok
pesantren ditanggung sepenuhnya oleh Yayasan Pondok Pesantren.
Keberadaan pekerja sosial di LPKS masih sangat terbatas, seperti pekerja sosial di Bengkulu sudah
bersertifikat dan selama ini sering bekerjasama dengan Polsek setempat. Sementara LPKS Kendari dan
Pontianak belum memahami bagaimana menangani ABH dan belum siap untuk menerima ABH.
Sarana dan prasarana LPKS di tiga provinsi belum memadahi sebagai lembaga rehabilitasi sosial ABH
karena tidak memiliki ruangan khusus untuk konsultasi, dan kelengkapan rehabilitasi sosial lainnya. Berada
dalam lingkungan terbuka tanpa pengaman, meskipun anak dapat menginap di gedung panti asuhan.
Tabel berikut adalah aspek-aspek yang ditunjukan oleh LPKS pada tiga wilayah penelitian.
Tabel 3; Aspek-Aspek LPKS Pada Tiga Wilayah
No

ASPEK

BENGKULU

KALBAR

SULTRA

1.

JUMLAH ANAK
DAN KASUS

2 laki-laki (1415th) pelaku
pencabulan dan
pencurian; 4
bulan di LPKS
vonis 8-9 bulan.
1 perempuan
(16th) korban
pencabulan

1 laki-laki, 11
tahun kasus
pencabulan, 2
bulan di LPKS,
vonis 9 bulan

2 laki-laki
(16-17 th)
kasus
pencurian dan
pncabulan; 4
bulan berada
di LPKS

2.

STATUS
KELEMBAGAA
N
PEDOMAN

UPTD

UPTD

Masyarakat
(Ponpes)

Belum ada
juklak dan
juknis
1 peksos paham
ABH, pengurus
LPKS tidak
paham ABH
Tdk ada petugas
keamanan
Tidak tersedia
sarpras yg
memadai,
berada dlm
lingkungan
PSBR/BPAR.
Tanpa
pengamanan
Biaya
operasional
minim
Tidak ada
kegiatan khusus
Eksklusif, tdk
terlibat
kegiatan panti

Belum ada
juklak dan
juknis
Hanya 1 peksos
tetapi belum
siap dan belum
paham
menangani
ABH
Sudah
memenuhi
syarat
(asrama),
bergabung
dengan panti
anak

Belum ada
juklak dan
juknis
Hanya 1
orang yang
paham
pendampinga
n ABH

3.

4.

KOMPETENSI
SDM

5.

SARPRAS

6.

ANGGARAN

7.

KEGIATAN

8.

KEKHASAN

Biaya
operasional
minim
Tidak ada
kegiatan khusus
Inklusif, terlibat
dlm kegiatan
panti.

Belum
memenuhi
syarat,
terbuka tanpa
pengamanan.
Ada gedung
tapi bukan
khusus ABH
Biaya
operasional
minim
Pendidikan
pesantren
Inklusif

PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa praktek pekerjaan sosial dalam penanganan ABH
sangat bervariasi. Pembimbing Kemasyarakatan (PK) pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) melakukan
assesmen dengan pedoman yang sudah baku lebih banyak ditujukan pada pelaku dan keluarganya. Hasil
asessment dituangkan dalam bentuk Penelitian Kemasyarakatan (Litmas). Sementara sSakti peksos dan
Peksos di LPKS dinilai cukup memadahi dalam melakukan assesment, selain dari korban dan pelaku juga
keluarga dan lingkungan sekitar anak. Hasil assesment dituangkan dalam Laporan Sosial (Lapsos).
Peran PK Bapas berada pada saat proses diversi dan persidangan. Hasil litmas PK menjadi bagian
pertimbangan pada putusan pengadilan. Sementara peran peksos belum banyak dikenal oleh aparat penegak
hukum. Ada kesan bahwa Peksos dibutuhkan jika ada kasus yang berat atau anak sudah di BAP di kepolisian
atau kejaksaan.

Koordinasi atau kerjasama dengan aparat penegak hukum masih kurang, karena keberadaan Peksos atau
Sakti Peksos belum dikenal, peranan dan fungsinya dalam menangani anak berhadapan dengan hukum.
Selama ini tidak fokus menangani ABH tetapi juga kasus-kasus anak lainnya.
Peneliti: Alit Kurniasari, Badrun Susantyo, Mulia Astuti, Husmiati, Irmayani, Hari Harjanto Setiawan.

Dalam praktek penanganan kasus ABH dibutuhkan jejaring dengan berbagai pihak terkait, sementara selama
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan, Penelitian dan Penyuluhan
ini Sosial,
Sakti Peksos
masih Sosial
terkendala
birokrasi
misal untuk
koordinasi
dngan
instansi
Kementerian
Republik
Indonesia.
Jl. Dewimelakukan
Sartika No. 200
Cawang III,
Jakarta
Timurlaain,
13630,selama
ini belum
mengenal
petugas
yang
memiliki
kompetensi
penanganan
ABH
di
lingkungan
aparat
Phone:(021)8017146, Fax: (021)8017126, Website: puslit.kemsos.go.id, email: [email protected] penegak
hukum.
Tabel 4; Praktek Pekerjaan Sosial
No

PROVINSI

PK BAPAS

PEKSOS
LPKS

SAKTI PEKSOS

1.

BENGKULU

Assessmen
pelaku hanya 1
hari,
pendampingan
di persidangan,
mediasi di
proses diversi.
Belum bekerja
sama dengan
peksos

Sudah
sertifikasi
dan mumpuni
dalam
mengasuh
anak

Jumlah banyak
tetapi tidak terlibat
dalam proses
hukum, kecuali
kasus- berat.
Peksos tidak
dikenal hakim.
Belum bersinergi
dengan PK Bapas.
Pendampingan
hanya utk korban
dan keluarga.

2.

KALBAR

Form sudah
baku, kasie. PK
Bapas mantan
peksos kanwil
Depsos, jadi sdh
mengerti
praktek peksos.

Belum
bersertifikasi

Aktif dan terlibat
dalam tiap kasus
ABH,
pendampingan thd
pelaku &korban.
Jumlah peksos
minim dan tidak
merata ada di
semua kabupaten.

3.

SULTRA

Form sudah
baku. Kendala
dalam diversi ,
ada hukum adat
“peohala”

Terbatas
jumlah dan
belum
bersertifikasi

Belum semua
Polsek melibatkan
Peksos walaupun
sudah sosialisasi
melalui surat.
Peksos terlibat
ketika sudah
berada di
kejaksaan

REKOMENDASI
1.
2.
3.
4.
5.

Penambahan kuantitas dan kualitas pekerja sosial yang fokus menangani ABH.
Peningkatan kapasitas dan kompetensi Pekerja Sosial dan aparat penegak hukum dalam
implementasi UU SPPA.
Pembentukan LPKS dengan aspek kelembagaan dan memiliki pekerja sosial koreksional serta sarana
dan prasarana yang memadai.
Pelayanan ABH terintegrasi Kementerian Sosial, Kementerian KUMHAM dan Kepolisian untuk
efisiensi perlindungan, rehabilitasi dan pembinaan dari tingkat pusat sampai daerah
Diaktifkan kembali KOMITE Penanganan Rehabilitasi Sosisa ABH di tingkat provinsi, yang pernah
terbentuk.

Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Tahun 2016