Luluk Puji Riwayanti

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR JEPANG DI
OKAYAMA INTERNATIONAL CENTER, PREFEKTUR OKAYAMA,
JEPANG

Luluk Puji Riwayanti
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia

Abstrak: Jepang merupakan salah satu negara yang banyak
menyelengarakan pengajaran bahasa Indonesia (BI). BI diajarkan
di universitas dan lembaga-lembaga kebudayaan, salah satunya di
Okayama International Center (OIC). Adanya perbedaan antara
bahasa Jepang dengan BI membuat Penutur Bahasa Jepang (PBJ)
pada kelas menengah di OIC terkadang masih mengalami
kesulitan dengan pembentukan kata dan pilihan kata yang
digunakan. Proses pengimbuhan, pengulangan terkadang sudah
dilakukan secara gramatikal namun tidak lazim/tidak ditemui
dalam BI. Begitu pula pilihan kata yang digunakan masih belum
memenuhi syarat kelaziman gramtikal. Penghilangan imbuhan,
ketidaksesuaian bentuk, ketidaklaziman kolokasi sering dilakukan
oleh PBJ. Agar kesuliatan yang dihadapi PBJ dapat berkurang,
pembentukan kata dan pilihan kata BI harus diajarkan dengan

porsi yang lebih dengan memanfaatkan segala fasilitas.
Kata-kata kunci : penutur bahasa Jepang, pilihan kata,
pembentukan kata
PENDAHULUAN
BIPA (bahasa Indonesia bagi
penutur asing) merupakan sebuah
program
yang
secara
khusus
memfokuskan
layananya
pada
pembelajaran dan atau pengkajian
bahasa dan budaya Indonesia bagi
orang asing, yang dilaksankan di
dalam negeri dan luar negeri.
Berdasarkan
data
Kementrian

Pendidikan Tinggi tahun 2013, BIPA
diajarkan di 45 negara yang tersebar
di lima benua. Di Indonesia sendiri,
BIPA telah diselenggarakan di 51
Perguruan Tinggi, baik di Jawa
maupun di luar Jawa (Susanto, 2015).
Sedangkan
menurut
Badan
Pengembangan
dan
Pembinaan
Bahasa Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan,
data
terakhir
menunjukkan bahwa setikdaknya di
luar negeri terdapat 52 negara asing
telah membuka program bahasa

Indonesia (Indonesian Language
Studies), dengan 130 lembaga terdiri
dari
perguruan
tinggi,
pusat
kebudayaan, KBRI, dan lembaga
kursus (Muslich, 2010:IX).
Terdapat tiga negara yang
banyak menyelenggarakan pengajaran
BI, yaitu Amerika Serikat, Australia,
dan Jepang. Di Jepang pengajaran BI
sudah diselenggarakan sejak 100
tahun yang lalu, hal ini dibuktikan
dengan tumbuhya dua sekolah bahasa
yang mengajarkan BI pada tahun
1897 dan 1900 (Funada, 2015).
Kedua sekolah tersebut sekarang

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 177


menjadi Universitas Bahasa Asing
Tokyo (Tokyo University of Foreign
Studies) dan Universitas Takushoku
(Takushoku University). Dari 730
perguruan tinggi di Jepang 75
perguruan tinggi telah mengajarkan
BI, yang diakomodasikan sebagai
jurusan atau program studi ataupun
sebagai matakuliah pilihan. Enam
universitas di antaranya mengajarkan
BI sebagai matakuliah wajib, antara
lain 1) Tokyo University of Foreign
Studies, 2) Osaka University of
Foreign Studies, 3) Kyoto Sangyo
University, 4) Tenri University, 5)
Kanda University Of International
Studies, 6) Kyoto Collage of Foreign
Languages.
Selain di perguruan tinggi, BI

juga diajarkan di Sekolah Menengah
Atas, seperti Kanto International
Senior High School, lembagalembaga
kursus
dan
pusat
kebudayaan, misalnya INJ Culture
Center, Mainichi Culture Center,
NHK Culture Center, B&B Languege
Training School, Japan Asia Culture
Center, Asia Bunka Kaikan, dan IC
Nagoya (Rivai, 2016). Selain tempat
tersebut,
ada
juga
Okayama
International Center (OIC) yang
menyelenggarakan pengajaran BI.
OIC berada di Prefektur Okayama,
kota Okayama.

OIC beralamat di Blok Hokan
no 2-2-1, Distrik Kita, Kota
Okayama,
Prefektur
Okayama,
Jepang. Pembelajaran BI di OIC
Okayama dibagi menjadi dua kelas,
yaitu kelas tingkat pemula dan kelas
tingkat menengah. Dalam kelas
tingkat pemula, biasanya terdiri dari 5
sampai 15 penutur bahasa Jepang
(PBJ) yang belajar BI, sedangkan
dalam kelas tingkat menengah jumlah
PBJ yang belajar BI lebih sedikit,

sekitar 5 sampai 7 orang saja.
Pengajar di kelas pemula adalah PBJ
yang sudah mahir menggunakan BI
dibantu oleh mahasiswa Indonesia
yang sedang menempuh studi di

Universitas Okayama. Sedangkan
pengajar di kelas tingkat menengah
adalah mahasiswa Indonesia yang
sedang belajar
di
Universitas
Okayama. Di kelas ini BI digunakan
sebagai bahasa pengantar dan
penggunaan bahasa Jepang juga
dibatasi.
Berikut adalah komponen
pembelajaran bahasa Jepang di OIC
Okatama, Jepang.
Tabel Komponen Pembelajaran
BIPA di OIC
KOMPONEN
BIPA
PEMBELAJARAN
TINGKAT
MENENGAH

Kurikulum
Tidak ada
Siswa/pebelajar
warga Jepang,
usia pebelajar
bervariasi,
antara 25-60
tahun ke atas,
berjumlah
sekitar 7 orang
Guru/pebelajar
Mahasiswa
Indonesia,
jurusan
matematika, di
univ. Okayama
Bahan ajar
Buku teks
Dasar Bahasa
Indonesia,

karya
Takadomo
Yoshihiro, buku
anak-anak,
artikel internet
Media belajar
Radio bahasa
Indonesia, film
bahasa
Indonesia

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 178

Metode dan teknik Ceramah,
pembelajaran
menceritakan
kembali
Evaluasi
Tidak ada
Berdasarkan

angket
dan
wawancara sederhana, kesulitan yang
dihadapi oleh PBJ di OIC antara lain.
1) PBJ dapat membaca dan mengerti
sebuah bacaan, namun masih
kesulitan untuk menangkap makna
bahasa percakapan, terlebih bahasa
percakapan yang dipengaruhi bahasa
daerah, 2) Dalam bahasa tulis PBJ
kesulitan
dengan
banyaknya
singkatan dan adanya kata yang
memiliki
banyak
makna,
3)
Kurangnya kesempatan bagi PBJ
untuk bercakap-cakap dalam BI serta

kesulitan memahami percakapan yang
lebih kompleks, 4) Jumlah buku
BIPA yang terbatas, selama ini di
kelas tingkat pemula biasanya
digunakan buku Yasashi Shoho no
Indonesia go karangan Funada
Kyoko, sedangkan di kelas tingkat
menengah digunakan buku Dasar
Bahasa
Indonesia
karangan
Takadomo Yoshihiro dan buku
penunjang yang lain seperti buku
dongeng anak, 5) Kesulitan dengan
pengimbuhan dalam BI. Kesulitan
kian bertambah ketika PBJ tidak
dapat membuka kamus BI yang di
dalamnya adalah kata dasar. Seperti
diketahui
dalam
BI
imbuhan
digunakan
sangat
produktif,
sedangkan dalam bahasa Jepang tidak
demikian. Selain itu, dalam bahasa
Jepang tidak terdapat sisipan, yang
ada hanya awalan dan akhiran saja
(Sutedi, 2008:209).
Kesulitan-kesulitan PBJ dalam
berbahasa Indonesia mempengaruhi
penggunaan BI mereka. Misalnya,
kesulitan penggunaan awalan dan

akhiran dalam pembentukan kata
dalam BI akan mempengaruhi
kelayakan/kelaziman pilihan kata BI
mereka. Perhatikan kalimat yang
dituturkan oleh PBJ di OIC berikut
ini.
(ka13) Kami dilupa waktu oleh
obrolan
Kalimat (ka13) terdiri dari lima kata,
yaitu kami, dilupa, waktu, oleh, dan
obrolan. Kelima kata tersebut terdiri
atas tiga kata dasar, dan dua kata
berimbuhan.
Kami (kata dasar)
Dilupa (kata berimbuhan)
Waktu (kata dasar)
Oleh (kata dasar)
Obrolan (kata berimuhan)
Kata kami, waktu, dan oleh
merupakan kata dasar karena belum
mengalami perubahan bentuk, baik
pengulangan,
penggabungan,
pengimbuhan, pemajemukan, dan
pengakroniman. Dengan demikian
struktur bentukan kata pada kalimat
(ka13) adalah pengimbuhan.
Pengimbuhan (1)
di
+ lupa
= dilupa
Pengimbuhan (2)
obrol +
an
= obrolan
Pada pengimbuhan (1) afiks dimelekat pada pokok kata kerja lupa
dan mempunyai makna “tindakan
pasif lupa yang dilakukan dengan
sengaja”. Secara gramatikal proses
pengimbuhan sudah benar, namun
yang dimaksud PBJ pada kalimat
(ka13) adalah tidak sengaja melupakan
waktu karena mengobrol. Hal ini
berlwanan dengan makna kata dilupa
itu sendiri. Dengan demikian kata
dilupa sebaiknya tidak digunakan.
Pada pengimbuhan (2) terdapat
penggunaan afiks -an yang melekat
pada kata dasar obrol, yang

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 179

mempunyai makna “sesuatu yang
diobrolkan”.
Pada kalimat (ka13) juga
terdapat penggunaan pilihan kata
yang tidak layak. Kata oleh
merupakan
kata
depan
yang
dipergunakan untuk menandai pelaku,
pelaku biasanya merujuk pada orang,
sedangkan dalam kalimat (ka13)
tersebut
pelaku
bukan
orang
melainkan kata benda, obrolan. Agar
kalimat (ka13) memiliki pilihan kata
yang layak, kata oleh dapat diganti
dengan kata karena. Sehingga
kalimatnya menjadi seperti di bawah
ini.
(ka13) Kami lupa waktu karena
mengobrol.
Struktur bentukan kata dan
kelayakan dalam pemilihan kata oleh
PBJ perlu dikaji agar diketahui
kesulitan dan kesalahan yang dialami
PBJ saat mempelajari BI. Kesalahan
berbahasa
Indonesia,
seperti
penggunaan imbuhan dan pemilihan
kata merupakan peristiwa alamiah,
yang
mencerminkan
tahapan
perkembangan proses pemerolehan BI
mereka. Susanto (2007) menyatakan
bahwa bentuk kesalahan BI yang
dilkukan oleh pebelajar asing dalam
belajar BI sebagai bahasa asing sangat
penting
untuk
dicermati,
diinventarisasi, dicatat, dan dianalisis.
Hasil catatan dan analisis kesalahan
tersebut ditindaklanjuti dalam proses
pembelajaran BI mereka dan dapat
didayagunakan untuk meningkatkan
mutu penyelenggaraan BIPA, seperti
peningkatan mutu bahan ajar BIPA.
Pendapat yang sama juga
diungkapkan oleh Ricard dan Coder
dalam Said (2010), keduanya
menyatakan bahwa menganalisis
secara sistematis kesalahan yang
dibuat oleh pebelajar bahasa kedua

atau bahasa asing memungkinkan
guru memperoleh informasi mengenai
kesulitan dalam belajar bahasa,
membantu guru menyiapkan materi,
dan menentukan bidang mana yang
memerlukan
penekanan
dalam
pengajaran. Berdasarkan pendapat
itulah maka penelitian tentang
struktur bentukan kata dan pilihan
kata yang digunakan oleh PBJ perlu
dilakukan.
MANFAAT PENELITIAN
Secara teoritis penelitian ini
diharapkan mampu memperkaya
teori-teori tentang pembentukan kata
BI dan teori pilihan kata. selain itu
penelitian ini dapat dijadikan acuan
dasar pengembangan pembelajan
BIPA, pengembangan buku ajar
BIPA, khususnya BIPA bagi penutur
bahasa Jepang. Secara praktis hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai
sumber belajar bag PBJ yang sedang
belajar BI ataupun bagi pengajar
BIPA yang sedang mengajar PBJ.
Hasil penelitian ini juga dapat
dijadikan sebagai rujukan awal bagi
peneliti lain yang akan meneliti lebih
jauh tentang penggunaan BI oleh PBJ.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif, mempunyai ciri
antara lain menggunakan setting
alamiah, menggunakan data lunak
(soft data), data tidak dianalisis
dengan statistik, bersifat deskriptif,
dan menganalisis data secara induktif.
Data penelitian ini diambil dari
setting alamiah berupa BI yang
digunakan PBJ di Jepang. Data
penelitian ini berupa data lunak,
bukan angka-angka, bukan data
kuantitatif. Analisis data tidak

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 180

dilakukan dengan menggunakan
statistik. Penelitian ini bersifat
deskriptif, yaitu mendeskripsikan
bentukan kata dan kelaziman pilihan
kata BI yang digunakan oleh PBJ di
OIC Okayama, Jepang. Analisis data
penelitian ini dilakukan secara
induktif. Maka, penelitian ini adalah
penelitian kualitatif.
Jenis penelitian yang digunakan pada
penelitian ini adalah penelitian
deskriptif karena peneliti hanya
bertindak sebagai pengamat untuk
merekam tuturan yang dilakukan oleh
PBJ selama pembelajaran BI.
Data dalam penelitian ini
adalah data verbal data kebahasan,
yaitu data berupa kalimat (bahasa
lisan) yang dituturkan oleh PBJ pada
saat kegiatan proses pembelajaran di
kelas BI tingkat menengah. Jenis
sumber data pada penelitian ini adalah
sumber data subjek, yaitu informan.
Sumber data penelitian ini adalah PBJ
di kelas tingkat menengah, yang
sedang belajar bahasa Indonesia di
OIC. Adapun karakteristik informan
adalah 1) sudah menguasai BI pada
tingkat menengah, sehingga dapat
diasumsikan
mereka
dapat
menggunakan BI baik lisan dan tulis
dengan benar, 2) warga asli jepang
yang bertempat tinggal di Jepang, 3)
berbahasa ibu bahasa Jepang, 4)
dewasa, 5) memiliki kualitas budaya
dan kejiwaan yang baik.
Sesuai dengan data utama
penelitian ini yang berupa struktur
bentukan kata dan kelaziman pilihan
kata BI oleh PBJ, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan
adalah teknik observasi, wawancara,
dan angket. Observasi adalah teknik
pengumpulan
data
melalui
pengamatan.
Teknik
observasi
digunakan
pada
saat
peneliti

melakukan observasi kelas untuk
melihat secara langsung proses
belajar PBJ di IOC. Sekaligus
mendapatkan data tuturan dengan
bantuan
recorder/alat
perekam.
Dengan demikian pengumpulan data
penelitian ini dilakukan dengan (1)
mengobservasi penggunaan BI yang
digunakan PBJ, (2) merekam tuturan
PBJ selama proses belajar di kelas,
(3)
mentranskripsikan
rekaman.
Proses
ini
merupakan
proses
pengubahan dari bahasa lisan yang
direkam menjadi bahasa lisan yang
bisa dibaca. Hal ini dimaksudkan
untuk memudahkan mensegmentasi
data dan mengklasifikasi data.
Wawancara
adalah
percakapan dengan maksud tertentu
oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer)
sebagai
pengaju/pemberi pertanyaan dan yang
diwawancarai (interviwee) sebagai
pemberi jawaban atas pertanyaan itu
(Basrowi dan Suwandi, 2002:127).
Wawancara yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah wawancara
pembicaraan
informal/atau
wawancara
tak
berstruktur.
Wawancana tak berstruktur adalah
wawancara yang bebas di mana
peneliti tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun secara
sistematis
dan
lengkap
untuk
pengumpulan
datanya.
Untuk
menjaring data yang diperlukan,
beberapa pertanyaan diajukan secara
spontan kepada PBJ dalam suasana
biasa, wajar di luar kelas. Pedoman
wawancara berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan.
Teknik pengumpulan data
berupa angket digunakan untuk
mengetahui
data
PBJ
dalam
mempelajari BI. Misalnya, alasan
mempelajari BI, lama belajar,

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 181

kesulitan belajar BI dan sebagainya.
Angket yang diberikan kepada
pebelajar Jepang merupakan angket
terbuka, sehingga PBJ dapat memiliki
ruang terbuka untuk menuliskan
jawaban mereka sendiri. Angket dapat
dilihat pada lampiran.
Analisis
data
dilakukan
berdasarkan model
Alir yang
dikemukakan
oleh
Miles
dan
Huberman. Menurut Miles dan
Huberman
(2009:16-20)
proses
analisis data penelitian dilakukan
melalui tiga tahap yang terjadi secara
bersamaan, yaitu tahap reduksi data,
penyajian data, serta penarikan
simpulan.
PEMBENTUKAN KATA
Pembentukan kata dalam BI
meliputi, pengimbuhan, pengulangan,
dan pemajemukan. Pengimbuhan
adalah proses pembentukan kata
dengan menambahkan imbuhan pada
bentuk
dasar.
Ciri-ciri
kata
berimbuhan adalah (1) merupakan
polimorfemis, yaitu terdiri dari dua
atau lebih morfem dan salah satu
morfemnya adalah morfem imbuhan,
(2) memiliki makna gramatikal,
makna gramatikal adalah makna kata
yang timbul akibat proses gramatikal,
(3) mengalami perubahan kelas kata
dari bentuk dasarnya. Berbeda dengan
bahasa Jepang, kata berimbuhan
dalam BI digunakan lebih produktif.
Hal ini menjadi salah satu penyebab
kesulitan PBJ dalam menggunakan
imbuhan. Berikut beberapa contoh
kesalahan penggunaan imbuhan oleh
PBJ.
(1) Kami dilupa waktu oleh orbrolan
(2) Haraunowa ryoukin membayar
uang namanya itu ryoukin, janaino.
(3) Kami ga bisa dipasang.

Dalam bahasa Jepang dikenal
penggunaan imbuhan, baik awalan
maupun akhiran, namun tidak dikenal
adanya sisipan. Pada kalimat (1), (2),
(3) di atas pembentukan kata
berimbuhan secara gramatikal sudah
benar namun digunakan secara tidak
lazim dalam suatu kalimat.
PBJ dalam berbahasa Jepang
jarang menggunakan kalimat pasif,
dan lebih sering menggunakan
kalimat aktif. Dari kalimat (1), (2), (3)
di atas terdapat dua kalimat pasif
yang penggunaannya tidak tepat.
Selain itu dari hasil analisis data
diperoleh hasil penelitian bahwa
imbuhan meN- paling banyak
digunakan oleh PBJ. Selain imbuhan
meN- ada juga imbuhan ter-, ber-,
meN-kan, meN-I, se-, di-, di-kan, -an,
-wan, pe-, per-an, peN-an, dan ke-an.
PBJ juga sudah mengenal
adanya penggunaan imbuhan yang
biasanya digunakan dalam situasi
nonformal. Misalnya.
(4) Ya, kenapa ketawa?
(5) Ya lalu bawa pulang ke rumah
dulu dan masukin cucian ke mesin
cuci dan baru berangkat ke sini.
Kata berimbuhan pada kalimat
(4) dan (5) di atas tidak akan menjadi
masalah bila digunakan dalam situasi
nonformal. Karena pembelajaran
seharusnya memakai ragam baku BI,
maka penggunaan kata berimbuhan
(4) dan (5) sebaiknya tidak digunakan
dan pengajar mengingatkan siswanya.
Pengulangan adalah proses
pembentukan kata dengan mengulang
bentuk dasar, baik secara utuh
maupun sebagian. Ciri kata ulang
adalah
sebagai
berikut.
(1)
Mempunyai bentuk dasar dan bentuk
dasar itu ada dalam kenyataan BI.
Kuda-kuda rumah saya sudah lapuk
sehingga perlu segera diperbaiki.

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 182

Pada kalimat tersebut kata kuda-kuda
bukanlah kata ulang karena tidak
memiliki bentuk dasar kuda. (2) Ada
hubungan semantis atau hubungan
makna antara kata ulang dengan
bentuk dasarnya. Kata alun-alun tidak
termasuk kata ulang, karena meskipun
ada alun dan alun itu ada dalam
kenyataan berahasa, tetapi alun
bukanlah bentuk dasar untuk alunalun karena tidak ada hubungan
semantis antara alun dengan alunalun. (3) Kelas kata ulang sama
dengan kelas kata bentuk dasarnya.
Jika kata ulang itu berkelas kata
nomima, maka bentuk dasar kata
ulang itu juga berkelas kata nomina.
Misalnya, kata ulang merah-merah
(berkelas kata adjektif) dengan bentuk
dasar merah (berkelas kata adjektif).
Ketiga ciri kata ulang di atas juga
dapat digunakan sebagai prinsip
dalam menentukan bentuk dasar dari
kata ulang (Yulianto, 2008:70).
Dalam bahasa Jepang juga
ditemui kata ulang, namun biasanya
hanya menyatakan jumlah atau
sesuatu yang jamak. Misalnya kata
hito yang berarti orang, akan berubah
menjadi hitobito dalam bahasa Jepang
untuk menyatakan jumlah orang yang
banyak.
Adanya overgeneralisasi PBJ
yang menganggap bahwa kata ulang
adalah kata yang diulang, membuat
mereka membentuk kata ulang secara
kreatif yang tidak ada dalam BI
sehari-hari. Misalnya,
(6)
Kebiasaannya
berulangiberulangi lagi cerita yang sama.
Kata berulangi-berulangi bukanlah
kata ulang, karena bentuk dasar
berulangi tidak ada dalam BI. PBJ
mungkin bermaksud menggunakan
kata ulang ‘berulang-ulang’.

Pemajemukan adalah proses
pembentukan kata dengan cara
mengabungkan dua bentuk dasar atau
lebih menjadi satu kata baru. Dalam
bahasa Jepang juga dikenal istilah
kata
majemuk,
yang
disebut
fukugougo 複 合 語 . Beberapa kata
majemuk yang digunakan PBJ antara
lain.
(7) Tapi sekarang, tidak dipakai
payung kelelawar, hanya payung
saja.
(8) ... dan saya tidak begitu suka olah
raga, capek.
(9) Jembatan layang tapi khusus
untuk orang yang berjalan.
Yulianto
(2008:73-75),
Soedjito&Saryono (2014, 160-166)
membagi kata ulang berdasarkan
bentuknya menjadi empat, yaitu:
(1) Kata ulang utuh/kata ulang
seluruh, yaitu kata ulang yang
dibentuk dengan mengulang
bentuk dasar secara utuh. Contoh:
jalan (bentuk dasar)  jalanjalan
petani (bentuk dasar)  petanipetani
(2) Kata ulang sebagian, yaitu kata
ulang yang dibentuk dengan
mengulang bentuk dasar secara
sebagian. Contoh:
• membaca (bentuk dasar) 
membaca-baca
• menolong (bentuk dasar) 
tolong-menolong
• luhur (bentuk dasar) 
leluhur
• jaka (bentuk dasar)  jejaka
contoh kata ulang leluhur dan
jejaka disebut dengan kata ulang
dwipurwa, yaitu perulangan
(sebagian) suku awal bentuk
dasar (ulang awal suku kata).
Unsur awal suku awal bentuk
dasar berakhir dengan vocal /Ə /.

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 183

Menurut Rani (2015), kata ulang
jejaka
digunakan
dengan
pertimbangan keindahan, karena
memiliki bentuk dasar jaka dan
bentuk pengulangan jaka-jaka.
(3) Kata ulang salin suara/kata ulang
dengan perubahan bunyi, yaitu
kata ulang dari bentuk dasar yang
di seluruh bagiannya, namun
disertai perubaha bunyi yang
mungkin pada konsonan atau
vokalnya. Contoh:
• coret (bentuk dasar)  coratcoret
• gerak (bentuk dasar)  gerakgerik
• warna (bentuk dasar) 
warna-warni
• sayur
(bentu
dasar)+mayur(unsur ulang) 
sayur-mayur
• compang-camping
Kata ulang yang digunakan oleh
PBJ meliputi kata ulang utuh, kata
ulang sebagian dan kata ulang
sebagian
Kata majemuk pada kalimat
(7) merupakan kata majemuk yang
dibuat
oleh
PBJ
dengan
menterjemahkan kata koumori kasa
yang berarti payung kelelawar.
Dahulu dalam bahasa Jepang payung
dibedakan menjadi dua, payung yang
terbuat dari kertas dan payung yang
terbuat dari kain dengan kerangka
besi. Payung kain itulah yang disebut
payung kelelawar. Selebihnya kata
majemuk pada kalimat (8) dan (9)
merupakan kata majemuk bahasa
Indonesia yang sudah digunakan
dengan baik oleh PBJ. Menurut
Yulianto (2008:80), berdasarkan
hubungan unsur pembentuknya, kata
majemuk dibedakan menjadi dua,
yaitu (1) kata majemuk setara, ialah
kata majemuk yang kedudukan unsur-

unsur
pembentuknya
sederajat.
Misalnya, kata majemuk ibu bapak
memiliki kategori kata pembentuk
sama, yaitu kata benda. Kata
majemuk setara dibagi lagi menjadi
menjadi (a) kata majemuk setara
sederajat misalnya kata suami istri,
sawah ladang (b)kata majemuk setara
searti, misalnya kata hancur lebur,
cantik molek, sunyi senyap, (c) kata
majemuk setara berlawanan, misalnya
suka duka, pulang pergi, tua muda.
(2) Kata majemuk bertingkat, adalah
kata majemuk yang kedudukan unsur
pembentuknya tidak sederajat karena
salah satu unsurnya lebih dominan.
Kata majemuk bertingkat ini dibagi
lagi menjadi (a) kata majemuk
bertingkat berstruktur DM (orang tua,
mata air, hari raya) dan (b) kata
majemuk bertingkat berstruktur MD
(perdana menteri, bumiputera, purba
kala).
Dari hasil analisis PBJ
menggunakan kata majemuk serata
sederajat (olah raga), searti (pintu
gerbang), berlwanan (terima kasih),
dan kata majemuk bertingkat denan
struktur DM (mesin cuci, makan
siang, makan malam, hari libur,
jembatan layang, kulkas listrik, kolam
renang, payung kelelawar, dan air
putih).
PIILIHAN KATA
Menurut Yulianto (2008:84),
pilihan kata adalah mutu dan
kelengkapan kata yang dikuasai
seseorang sehingga ia mampu
menggunakan secara tepat dan cermat
berbagai perbedaan dan persamaan
makna kata sesuai dengan tujuan dan
gagasan yang akan disampaikan, serta
kemampuan
untuk
memperoleh
bentuk yang sesuai dengan situasi dan
nilai rasa yang dimiliki pembaca dan

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 184

pendengar. Semakin luas kosakata
seseorang, semakin baik pilihan kata
yang digunakan.
Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi agar tercipta pilihan
kata yang baik. Keraf (2010:88)
menyebutkan bahwa ketepatan dan
kesesuaian merupakan syarat pilihan
kata. Menambahkan pendapat di atas,
Yulianto (2008:88) dan Setiyanto,
dkk (2008:13) menyatakan syarat
pilihan kata adalah syarat ketepata,
kebenaran, dan kelaziman. Sedangkan
menurut
Saryono&Soedjito
(2006:125) syarat pemilihan kata
meliputi, asas kecermatan, asas
ketepatan, dan asas kesesuaian.
Setelah teori di atas dibaca dengan
teliti, beberapa persyaratan memiliki
kesamaan isi namun penyebutannya
berbeda. Seperti syarat kebenaran
yang disampaikan Yulianto (2008)
dan Setiyanto (2008) memiliki isi
syarat yang sama dengan syarat
kecermatan
yang
disampaikan
Saryono&Soedjito (2006), kemudian
syarat kelaziman yang disampaikan
Setiyanto (2008) memiliki isi yang
sama dengan syarat kelayakan yang
disampaikan
oleh
Moeliono
(2001:35).
Selanjutnya
dalam
penelitian ini akan digunakan istilah
kebenaran dan kelaziman. Jadi, dari
pendapat di atas disimpulkan bahwa
syarat pilihan kata yang baik meliputi,
ketepatan, kebenaran, kesesuaian, dan
kelaziman.
Pemilihan kata secara tepat
adalah memilih kata dari sekelompok
kata yang memperlihatkan kemiripan,
baik karena sifat kohiponim maupun
sinonimi
(Setiyanto,
2008:13).
Misalnya, pebelajar dapat secara tepat
memilih kata melihat, memandang,
menatap, melirik, meonton, melotot.
Sedangkan, ketepatan pilihan kata

adalah kesanggupan sebuah kata
untuk menimbulkan gagasan-gagasan
yang tepat pada imajinasi pembaca
atau pendengar, seperti apa yang
dipikirkan atau dirasakan oleh penulis
atau pembicara (keraf, 2010:87).
Yulianto
(2008:88)
menyatakan syarat kebenaran dalam
pilihan kata mengacu kepada
penggunaan kata yang sesuai dengan
kaidah kebahasaan berupa kaidah
pembentukan
kata
(morfologi).
Kemudian,
Saryono&Soedjito
(2006:125) menambahkan bahwa
kaidah sintaksis juga termasuk syarat
kebenaran pilihan kata. Misalnya,
pemilihan kata merubah yang salah
karena tidak sesuai dengan kaidah
morfologi.
Berdasarkan
kaidah
morfologi
harusnya
adalah
mengubah, karena morfem ubah
mendapat imbuhan meng-, bukan
mer-.
Syarat kesesuaian pilihan kata
mengacu pada kaidah pragmatik
(Saryono&Soedjito,
2006:157).
Pemilihan kata harus memperhatikan
faktor-faktor pragmatic, seperti (1)
pemeran serta, (2) situasi resmi/tidak
resmi, (3) sarana/media, (4) tempat,
(5) topik pembicaraan, (6) peristiwa
berbahasa, (7) tujuan, (8) jalur bahasa
(lisan/tulis).
Syarat
kelaziman
dalam
pilihan kata mengacu kepada kata
yang dipakai adalah dalam benyuk
yang sudah dibiasakan dan bukan
merupaka bentuk yang dibuat-buat
(Yulianto,
2008:91).
Setiyanto
(2008:14) menambahkan bahwa
pemilihan kata berdasarkan kelaziman
adalah memilih kata yang paling
umum digunakan demi kecepatan dan
ketepatan makna. Jadi, kelaziman
dalam pemilihan kata adalah memilih
kata yang penggunaanya sudah

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 185

dibiasakan, diterima oleh umum, dan
bukan bentuk yang dibuat-buat
digunakan demi kecepatan dan
ketepatan makna.
Prinsip
kelaziman
harus
mempertimbangkan beberapa faktor.
Faktor tersebut antara lain, faktor
geografis, temporal, laras, dan strata
sosial (Setiyanto, 2008:14). Tidak
hanya itu kelaziman pilihan kata juga
harus memperhatikan kelayakan
gramatikal (Moeliono, 2001:34).
Berikut adalah faktor-faktor yang
perlu diperhatikan oleh setiap orang
agar dapat mencapai kelaziman
pilihan katanya.
(1) Kelayakan gramatikal
Kata
yang
layak
secara
gramatikal adalah kata yang
dibentuk dan digunakan seturut
kaidah tata bahasa. Perlu
diketahui tuntutan gramatikal
pada bahasa tulis berbeda dengan
tuntutan pada bahasa lisan. Apa
yang layak atau pantas dalam
bahasa lisan tidak selalu layak
dalam bahasa tulis. Bahasa tulis
mensyaratkan
kelengkapan
bentuk, kesejajaran, keteraturan,
arutan kata.
Layak tidaknya suatu pilihan kata
dapat dilihat dari.
a) Verba yang tak berimbuhan
Penghilangan imbuhan pada
kata kerja dapat menimbulkan
ketaklayakan, terlebih pada
bahasa
tulis.
Misalnya,
penghilangan awalan berpada kata kerja yang terdapat
pada kalimat berikut.
(1.1) Beda dengan Negaranegara maju, Negara
berkembang
pada
umumnya belum mampu
untuk
menciptakan
teknologi baru.

Kata kerja beda pada kalimat
(1.1) tidak layak digunakan
karena seharusnya kata kerja
itu erawalan ber-, sehingga
kalimat yang benar adalah.
(1.2) Berbeda dengan Negaranegara maju, Negara
berkembang
pada
umumnya belum mampu
untuk
menciptakan
teknologi baru.
b) Ketidakserasian bentuk
Keserasian
bentuk
berhubungan
dengan
kesejajaran unsur pembentuk
kalimat, seperti sebujek dan
predikat. Misalnya,
(2.1) Lembah itu amat dalam,
luas, dan dengan keindahan
luar biasa.
Kalimat (2.1) terdiri atas
subjek dan predikat. Kalimat
(2.1) mempunyai predikat
dengan beberapa kata yang
tidak sejajar atau tidak
sekelas,
yaitu
dalam
(adjektiva), luas (adjektiva),
keindahan
(nomina).
Pemakaian bentuk yang tidak
sejajar seperti itu dapat
mengaburkan arti dan tidak
mengefektifkan
kalimat.
Sehingga kalimat yang benar
adalah.
(2.2) Lembah itu amat dalam,
luas dan indah luar biasa.
c) Urutan kata
Salah satu kata yang mengatur
susunan kata dalam BI adalah
kata yang diterangkan selalu
terletak di sebelah kiri
sedangkan kata yang berfungsi
menerangkan di sebelah kanan
kata yang diteragkan itu
(kaidah DM). Kelayakan
urutan
kata
misalnya,

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 186

Harmoni Mall, Kartika Hotel,
Lippo Mall, lain kesempatan,
yang
seharusnya
ditulis
menjadi Mall Harmoni, Hotel
Kartika,
Grup
Lippo,
kesempatan lain.
(2) Faktor geografis
Perkembangan BI dipengaruhi
bahasa
daerah
penuturnya.
Karena dalam suatu komunikaso
melibatkan
berbagai
latar
beakang
bahasa,
maka
penggunaan kata yang lebih luas
penggunaanya sangat dianjurkan.
Misalnya,
penggunaan
kata
sungai, kali, cai, atau wai.
Karena kata sungai memiliki
pengguna yang lebih luas, maka
sebaiknya menggunakan kata
sungai. Contoh yang lain
misalnya penggunaan kata perlu
dan butuh. Dalam bahasa Banjar
kata butuh memiliki makna
kemaluan
laki-laki,
maka
sebaiknya digunakan kata perlu
saja.
(3) Faktor temporal
Ada beberapa kata yang sering
digunakan pada waktu tertentu,
pada tahun 60-an kata antek dan
ganyang
sering
digunakan,
namun akhir-akhir ini sudah
jarang
digunakan.
Menurut
Moeliono (2001:41) ada tiga hal
yang
patut
diperhatikan
berkenaan dengan pemakaian
kata yang layak temporal, yaitu.
a) Kata kuna, adalah kata yang
tidak dipakai lagi karena
acuannya sudah tidak dapat
ditemukan lagi. Contohnya,
lemena ‘baju besi’, lacing
‘perahu’, kalar ‘leher baju’,
lenggama ‘enggan’, canang
‘gong kecil yang biasa
dibunyikan petugas kerajaan

yang akan mengumumkan
titah raja’.
b) Kata usang, kata yang tidak
dipakai lagi karena acuannya
dianggap sudah tidak pantas
lagi dinamai dengan kata lain.
Misalnya,
orang
yang
membantu pekerjaan rumah
tangga dulu disebut babu,
pramuwisma,
pembantu
rumah tangga, sekarang lebih
lazim disebut asisten rumah
tangga.
c) Kata anakronistis, adalah kata
yang digunakan tidak sesuai
dengan zamannya. Misalnya,
kata
televisi,
handphone
digunakan dalam cerita tokoh
yang hidup beberapa abad
yang silam.
(3.1) Gajah Mada mendapati
beberapa prajurit Majapahit
yang
sedang
sibuk
menggunakan handphone.
(4) Laras
Laras bahasa adalah kesesuaian
di
antara
bahasa
dan
pemakaiannya.
Di
dalam
aktivitas berbahasa, penggunaan
istilah-istilah
tertentu
yang
bersifat teknis haruslah sesuai
dengan tempatnya atau dengan
kata lain istilah tertentu harus
dihindari penggunaannya di
dalam
bahasa
percakapan.
Misalnya,
saat
berbincangbincang dengan anak tidak
mungkin
digunakan
istilah
fraktur dan diabetes mellitus.
(5) Strata sosial
Strata sosial seseorang sangat
mempengaruhi tindak tuturnya
ssat berkomunikasi. Strata social
terjadi karena setiap masyarakat
mempunyai
sesuatu
yang
dihargai seperti kepandaian,

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 187

kekayan, kekuasaan atau profesi.
Misalnya, kata hamil dan
bunting. Seseorang dengan strata
sosial tinggi akan lebih memilih
kata hamil dari pada bunting.
Pilihan kata yang digunakan
oleh PBJ masih belum memenuhi
syarat lazim. Antaralain karena
penghilangan
imbuhan,
ketidaksesuaian
bentuk,
ketidak
tepatan pilihan kata, dan kolokasi
yang salah. Berikut adalah kalimat
PBJ yang tidak memenuhi syarat
lazim.
(10) Tapi bajunya basah banget, lalu
kalau bawa ke sini, nanti saya takut
menjadi bau.
(11) Saya menikmati berpariwisata,
makanan, dan obrolan.
(12) Temannya bekas karyawan JR,
perusahaan kereta.
(13) Itsuka saya akan membawa di
sini wortem jam sandoicchi.
Pada kalimat (10) terdapat
penghilangan imbuhan pada kata
bawa, yang seharusnya adalah
dibawa. Pada kalimat (11) terdapat
ketidaksesuaian bentuk objek, kata
berpariwisata adalah kata kerja
sedangkan kata makanan dan obrolan
adalah kata benda. Agar kalimat (11)
memiliki kelayakan gramatikal maka
kata berpariwisata harus diubah
menjadi pariwisata. Pada kalimat
(12) terdapat ketidaktepatan pilihan
kata. Kata bekas bersinonim dengan
kata mantan namun penggunaannya
berbeda. Kata bekas adalah tanda
yang tertinggal atau tersisa, kesan,
atau sesuatu yang tertinggal sebagai
sisa. Yang tepat digunakan pada
kalimat (12) adalah kata mantan,
karena
mantan
artinya
bekas
pemangku jabatan tertentu. Pada
kalimat (13) penggunaan preposisi ditidak tepat karena, biasanya preposisi

di- menerangkan verba beraspek
‘diam/berhenti’. Sedangkan, verba
membawa adalah verba beraspek
‘gerak/bergerak’. Preposisi yang
menjelaskan
verba
beraspek
‘gerak/bergerak’ adalah ke. Sehingga
kata depan di harus diganti dengan
kata depan ke.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis data
tentang struktur bentukan kata dan
kelaziman
pilihan
kata
yang
digunakan oleh PBJ di OIC prefektur
Okayama, Jepang, diperoleh hasil
sebagai berikut. (1) Bentukan kata
yang dihasilkan oleh PBJ bervariasi.
Proses pembentukan kata meliputi
pengimbuhan, pengulangan, dan
pemajemukan. Pengimbuhan paling
banyak dilakukan oleh PBJ dari pada
pengulangan maupun pemajemukan.
Kata berimbuhan yang digunakan
PBJ meliputi imbuhan meN, imbuhan
di-, imbuhan ber-, imbuhan ter-,
imbuhan meN-kan, imbuhan –an,
imbuhan ke-an, imbuhan meN-I,
imbuhan se-, imbuhan di-kan,
imbuhan per-an, imbuhan –wan,
imbuhan pe-, dan imbuhan peN-an.
Imbuhan meN- yang digunakan
memiliki variasi antara lain meng-,
mem-, men-, me-, dan meny-.
Imbuhan dalam bahasa Jepang
berbeda dengan imbuhan dalam BI.
Selain itu dalam bahasa Jepang,
imbuhan digunakan tidak seproduktif
seperti BI. Hal ini menjadi salah satu
penyebab kesulitan PBJ dalam
menggunakan
kata
berimbuhan.
Secara gramatikal pembentukan kata
berimbuhan sudah dilakukan dengan
tepat oleh PBJ, namun ada beberapa
kata berimbuhan yang tidak lazim
dalam BI.

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 188

Kata ulang yang digunakan
PBJ, meliputi kata ulang utuh kata
ulang sebagian, dan kata ulang
berimbuhan. Pengulangan merupakan
pembentukan kata dengan mengulang
seluruh ataupun sebagian bentuk
dasar. Adanya overgeneralisasi bahwa
kata ulang adalah bentuk dasar yang
diulang, membuat PBJ membuat kata
ulang sendiri yang tidak lazim dalam
BI.
Kata
majemuk
yang
digunakan oleh PBJ, meliputi kalimat
majemuk setara sederajat, kata
majemuk setara searti, dan kata
majemuk setara belawanan. Kata
majemuk bertingkat yang digunakan
PBJ keseluruhannya adalah kata
majemuk bertingkat dengan struktur
DM. Pembentukan kata melalui
pemajemukan
oleh
PBJ
juga
dilakukan dengan penerjemahan kata
dari bahasa Jepang. (2) Pilihan kata
yang
digunakan
PBJ
belum
sepenuhnya
memenuhi
syarat
kelaziman. Penghilangan imbuhan,
ketidaksesuaian
bentuk,
ketidaktepatan dan ketidakbenaran
pemilihan kata (secara gramatikal)
membuat pilihan kata yang digunakan
PBJ menjadi tidak lazim.
SARAN
Saran yang dapat dikemukan
sehubungan dengan penelitian ini,
yaitu. (1) Penelitian ini merupakan
penelitian awal yang membahas
pembentukan kata dan pilihan kata
oleh penutur bahasa Jepang. Untuk
lebih memahami penggunaan bahasa
Indonesia bagi penutur asing,
khususnya penutur bahasa Jepang
perlu diadakan penelitian lebih lanjut
dengan tema yang berbeda, misalnya
pelafalan bahasa Indonesia oleh
penutur
bahasa
Jepang.
(2)

Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, sering ditemukan penutur
bahasa Jepang menggunakan bahasa
pertama (Jepang) untuk memperjelas
maksudnya.
Sehingga
untuk
penelitian selanjutnya, penelitian
mengenai campur kode penutur
bahasa Jepang dalam berbahasa
Indonesia dapat dijadikan salah satu
tema dalam penelitian selanjutnya. (3)
Bagi
pengajar
BIPA
dengan
mengetahui kesalahan pembentukan
kata dan pilihan kata oleh PBJ,
pengajar
hendaknya
lebih
memperhatikan pembentukan kata
dan pilihan kata yang digunakan oleh
penutur asing.
DAFTAR RUJUKAN
Basrowi
dan
Suwandi.
2002.
Memahami
Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Rineka
Cipta.
Funada, Kyoko. 2015. “Upaya
Memperkokoh
Bahasa
Indonesia Sebagai Bahasa
Internasional: Tinjauan dari
perspektif
Pendidikan
Bahasa Indonesia di Jepang”.
Prosiding
Seminar
Internasional Memperkokoh
Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Internasional Melalui
Diplomasi Bahasa, Sastra,
dan Budaya pada 28-29
September 2015 di Malang,
Universitas Islam Malang.
Miles, Matthew B dan Huberman A.
Michael. 1992. Analisis Data
Kualitatif.
Jakarta:
Universitas Indonesia (UI
Press).
Moeliono. 2001. Bentuk dan Pilihan
Kata. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen
Pendidikan
Nasional.

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 189

Masnur. 2010. Bahasa
Indonesia
pada
Era
Globalisasi:
Kedudukan,
Fungsi, Pembinaan, dan
Pengembangan.
Jakarta:
Bumi Aksara.
Rani, Abdul. 2015. “Melongok
Kembali Reduplikasi Pada
Bahasa
Indonesia”.
Prosiding
Seminar
Internasional Memperkokoh
Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Internasional Melalui
Diplomasi Bahasa, Sastra,
dan Budaya pada 28-29
September 2015 di Malang,
Universitas Islam Malang.
Rivai, Ovi Soviaty, dkk. 2010.
Pemetaan
Pengajaran
Bahasa
Indonesia
bagi
Penutur Asing di Asia.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Said, Mashadi. 2010. Ketidaklaziman
Kolokasi
Pembelajaran
BIPA dan Implikasinya
terhadap
Pembelajaran
Bahasa. Jurnal Cakrawala
Pendidikan Juni 2010, Thn
XXIX. No. 2
Saryono, Djoko dan Soedjito. 2006.
Terampil
Menggunakan
Kosakata Bahasa Indonesia.
Sidoarjo: Al Fath Putra.
Setiyanto, edi dkk. 2008. Pedoman
Penyuluhan
Bahasa
Indonesia. Yogyakarta: Balai
Bahasa Yogyakarta.
Soedjito dan Saryono, Djoko. 2014.
Morfologi Bahasa Indonesia.
Malang:
Aditya
Media
Publishing.
Susanto, Gatut. 2007. Pengembangan
Bahan
Ajar
BIPA
Berdasarkan
Kesalahan
Bahasa Indonesia Pebelajar
Bahasa
Asing.
Jurnal
Muslich,

Bahasa,
sastra,
dan
pengajarannya, tahun 35,
Nomor 2 Agustus 2007.
Susanto, Gatut. 2015. “Pembelajaran
BIPA
dalam
Prespektif
Politik
Membangun
Indonesia.”
Prosiding
Seminar
Internasional
Memperkokoh
Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa
Internasional
Melalui
Diplomasi Bahasa, Sastra,
dan Budaya pada 28-29
September 2015 di Malang,
Universitas Islam Malang.
Sutedi, Dedi. 2008. Dasar-Dasar
Linguistik Bahasa Jepang.
Bandung:Humaniora

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 190