Penasihat Para Pemimpin

Usaid bin Hadhir
Penasihat Para Pemimpin
Fahrudin Ahmad Ali
IA termasuk manusia yang utama pada masa jahiliyah, sehingga
masyarakat Arab menyebutnya sebagai “manusia yang sempurna”. Karena ia
memiliki beberapa ketrampilan dan keahlian berupa kepandaian membaca,
menulis, memanah, berenang, naik kuda, dan berasal dari keuturan terhormat.
Berkat keutamaan-keutamaan yang dimilikinya itu Usaid menjadi kepala suku
Aush menggantikan ayahnya.
Perjalanan Usaid hingga memeluk Islam tergolong unik. Saat itu ia diajak
sahabat karibnya, Sa’ad bin Mu’adz untuk menyerang majelis pertemuan yang
dipimpin Mus’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah (Abu Umamah). Penyerangan
Sa’ad itu disebabkan karena sejak kedatangan Mus’ab sebagai dai utusan
Rasulullah saw, maka orang-orang Madinah banyak yang berpaling darinya.
Mereka yang dari dahulu menyembah berhala dan memuja agama nenek
moyang berubah menyembah Allah SwT di bawah bendera Islam yang diimami
oleh As’ad bin Zurarah. Sa’ad menjadi dilematis karena As’ad bin Zurarah
adalah saudara sepupunya, sehingga ia khawatir akan menyakiti perasaan
bibinya. Jalan satu-satunya untuk melaksanakan hasratnya adalah meminta
bantuan sahabatnya yang punya pengaruh di Madinah, Usaid bin Hadhir.
Ternyata Allah SwT menggagalkan niat busuk mereka. Dia justru

membukakan hidayah di dada keduanya. Ketika Usaid hendak menyerang
majelis Abu Umamah, ia mendengar bacaan ayat al-Qur’an yang dilantunkan
Mus’ab bin Umair. Bacaan ayat-ayat Allah itu telah menggoyahkan tujuan
Usaid. Hatinya menjadi luluh, jiwanya tunduk, dan kemarahannya yang
berkobar menjadi padam seketika. Ketertundukannya pada agama Allah itu
semakin dalam, manakala ia melihat pembawaan Mus’ab yang tenang dan
rendah hati saat menyambut kedatangannya. Padahal ia telah melontarkan
kata-kata kasar dan menyatakan permusuhan dengannya. Usaid merasa
dirinya terbebas dari pemuja berhala yang membelenggu menuju agama Islam
yang damai dan merdeka.
“Wahai dai Muhammad saw, saya ingin masuk agama yang tengah
engkau ajarkan. Ajarilah aku tata caranya,” pinta Usaid.
“Baiklah. Mari ikut bersamaku,” kata Mus’ab.
Mus’ab segera mengajak Usaid ke tempat wudhu, mengajari tata cara
bersuci, mengucapkan dua kalimat syahadat, dan mengajarinya shalat.
Ketika dalam perjalanan pulang, Usaid ingin membagikan nikmat yang
diperolehnya itu pada sahabatnya. Ia segera mendatangi Sa’ad bin Mu’adz
yang tengah menunggu kedatangannya.
Usaid menemui sahabatnya dengan roman muka yang berseri-seri.
Sikapnya lain, seolah-olah ia menyimpan berita yang menggembirakan. Hal itu

membuat Sa’ad yakin Usaid telah berhasil menyelesaikan persoalannya.
“Celaka! Benar-benar celaka, Sa’ad. Sekarang As’ad bin Zurarah dalam
bahaya. Ia akan dibunuh orang-orang Bani Haritsah. Tidakkah engkau kasihan
pada saudara sepupumu itu? Untuk itu, marilah kita segera datang ke
rumahnya untuk menghalau serbuan Bani Haritsah,” ajak Usaid dengan
mantap.
Sa’ad termakan kata-kata Usaid. Mereka pun segera menuju rumah As’ad
untuk menolongnya dengan mengajak kawan-kawannya. Begitu tiba di rumah
As’ad, Mus’ab tengah membaca ayat-ayat Allah dengan khusyuknya. Hal itu

membuat hati Sa’ad tergetar. Hidayah Allah pun menembus kalbunya
sebagaimana yang terjadi pada sahabatnya, Usaid.
Setelah mendapat penjelasan dari Mus’ab perihal Islam dan hukumhukumnya, maka saat itu pu8la Sa’ad mengikrarkan diri memeluk agama
Islam. Keislaman dua pemimpin besar kota Madinah itu menjadi jembatan
Islamisasi penduduk kota tersebut. Sebab, kaum dari kedua pemimpin itu pun
otomatis memeluk Islam. Hal ini menyebabkan shalat dapat ditegakkan di
rumah-rumah mereka.
***
PADA hari-hari berikutnya Usaid selalu aktif dalam memperjuangan syiar
Islam. Ketika terjadi Bai’at Aqabah yang kedua, pada malam 13 Dzulhijjah,

Usaid termasuk salah satu dari 12 pemimpin yang ditunjuk sebagai wakil kaum
Anshar.
Setelah Rasulullah Muhammad saw hijrah ke kotanya, Usaid bersama
kaum Muslimin yang lain turut membangun Masjid Nabawi. Ia tidak pernah
absen menghadiri majelis Rasulullah saw dan shalat lima waktu di masjid itu.
Merasa belum cukup belajar Islam di Madinah, Usaid sering datang ke rumah
Nabi Muhammad saw, pada malam hari, untuk lebih memperdalam
pemahamannya tentang Islam dari sumber utamanya.
Pada suatu malam, sepulang dari belajar di rumah Rasulullah saw, ketika
ia bersama Abad bin Bisir berjalan, suasana terasa amat gelap. Begitu
gelapnya sehingga antara satu dengan lainnya tidak bisa saling melihat.
Keduanya pun berjalan sangat hati-hati karena tidak memiliki lampu penerang.
Dalam suasana hati cemas dan kacau itu tiba-tiba mereka dikagetkan oleh
sebuah cahaya yang memancar dari salah satu tongkat mereka, sehingga
menerangi jalan yang dilalui mereka. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Allah SwT yang mengkarunia mereka kemudahan, maka sepanjang jalan
pulang mereka berjalan sambil selalu membaca al-Qur’an pelan-pelan.
Sampailah keduanya di rumah masing-masing dengan selamat.
Karena keindahan suara Usaid dalam membaca al-Qur’an membuat
orang-orang yang mendengarnya tergetar dan hatinya tergoyahkan. Abu Sa’id

al-Khudri bercerita, “Suatu malam ketika Usaid membaca al-Qur’an di tempat
pengirikan kuda, sedangkan Yahya, anaknya, tidur di dekatnya, tiba-tiba
kudanya berjingkrak-jingkrak. Usaid menghentikan bacaannya. Kudanya pun
berhenti berjingkrak-jingkrak. Ketika kemudian ia membaca al-Qur’an lagi,
kudanya pun berjingkrak-jingkrak pula. Begitu terjadi berulang-ulang. Di
hatinya mulai muncul rasa cemas bila kuda itu menginjak anaknya yang tidur
pulas di dekatnya. Ia pun mendekati dan menjaga anaknya dari kemungkinan
buruk terinjak kuda. Pada saat yang bersamaan ia merasakan adanya sebuah
payung yang menutup di atas kepalanya. Di payung itu ada sinar seperti
lampu. Usaid melihat cahaya itu ke atas terus hingga lenyap.
‘Keesokan harinya Usaid menemui Rasulullah saw dan menceritakan apa
yang dialaminya semalam. Sabda Rasulullah saw, ‘Itu adalah malaikat yang
sedang mendengarkan kamu membaca al-Qur’an. Andaikan kamu terus
membacanya sampai pagi, niscaya orang-orang akan melihatnya.’” (HR
Bukhari dan Muslim)
Karena memiliki banyak keutamaan, Usaid mendapat tempat tersendiri di
mata Rasulullah saw dan para sahabat beliau. Ia sering dimintai saran dan
nasihat untuk memutuskan perkara-perkara besar dan kecil. Rasulullah saw
juga biasa memujinya dengan sabdanya, “Sebaik-baik orang laki-laki adalah
Usaid.”


Kala keluarga Rasulullah saw mendapat ujian fitnah pada bulan Sya’ban
tahun 5 Hijriyah, yakni isteri beliau, Aisyah, dituduh berbuat serong dengan
Shafwan bin Mu’athal, hingga membuat Rasulullah saw berada dalam posisi
dilematis, maka sebelum turun surat an-Nuur: 11-26 (yang isinya
membebaskan Aisyah dari tuduhan keji itu) Rasulullah saw meminta pendapat
Usaid.
“Wahai Usaid, apa pendapatmu dengan bencana yang menimpaku ini?”
tanya Rasulullah saw.
“Duhai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak melihat keluargamu
melainkan kebaikan.” Begitulah jawab Usaid.
Bukan hanya Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar juga sering meminta
pendapatnya. Menjelang Abu Bakar meninggal, Usaid adalah sahabat pertama
yang dimintai saran dalam pengangkatan Umar bin Khathab sebagai pengganti
khalifah. Demikian pula Umar bin Khathab juga menghargai dan mencintainya
hingga kematiannya.
Ketika Usaid meninggal dunia tahun 20 Hijriyah, ia masih punya hutang
sebanyak 4.000 dirham. Untuk melunasi hutangnya itu keluarganya berencana
menjual kebun kurma yang setiap tahunnya dapat menghasilkan 1.000 dirham.
Begitu mendengar hal itu Umar mengumpulkan orang-orang yang dulu

meminjami Usaid dan bernegosiasi dengan mereka.
“Wahai saudara-saudaraku semuanya. Bersediakah kalian menerima
cicilan hutang setiap tahunnya 1.000 dirham hingga hutang Usaid lunas dalam
tempo empat tahun?” tawar Umar.
“Baiklah. Kami bersedia dan ikhlas,” jawab mereka hampir serempak.
Selain memudahkan urusan hutangnya, Umar juga turut memikul
janazah Usaid ke pemakaman al-Baqi’. Diiringi malaikat yang memayungi
dengan kedua sayapnya, jasad laki-laki mulia ini bersemayam di antara makam
para syuhada dan orang-orang shalih.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004