this file 839 1577 1 SM

PROSPEK INTEGRASI ZAKAT DENGAN PAJAK
Endang Rumaningsih1
Abstract
The integration between zakat with a tax is an idea that never disappears from the discourse of
Islamic legal thought in Indonesia. The idea never appeared in the 1990s era was always warm
when discussing efforts to the benefit and welfare of the community. Zakat and taxes have similar
agenda so that efforts to unify both is very possible. In general, understanding of charity as God
command and taxation as the state’s is still very strong orders. Merging these two elements for
some people viewed as a strong relation (the relation between religion and state), even though
Indonesia is not a nation built on the basis of religion. The imposition of taxes for Muslims is seen
as an additional burden of ‘burdensome’. Taxes are regulated by the state and have the force of
law. Its sanctions are always carried out by residents. While the charity which is commanded by
God, the sanctions will be conducted later. So some Muslims bring to notice taxes rather than
zakat, and sometimes zakat is not considered important. The dialogue to integrate zakat with the
tax still requires a long process, because this issue is not only on philosophical terrain but also on
the technical level. This study examines some possible merging of zakat and taxation as an instrument to build a prosperous and equitable society.
Keywords: charity, taxes, integration, welfare

PENDAHULUAN
Persoalan pajak dan zakat menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini. Ada wacana agar zakat
dan pajak diintegrasikan sehingga pembayaran zakat dapat mengurangi kewajiban pajak. Hal itu

dimaksudkan untuk mengurangi beban pembayar pajak umat Islam karena mereka selain dikenai
pajak juga diwajibkan membayar zakat. Tanggungan dua kewajiban itu dipandang sebagai beban
ganda bagi umat Islam dan sekaligus bentuk pemisahan antara wilayah publik keagamaan dengan
wilayah publik kenegaraan.
Petani, misalnya, secara kumulatif terkena kewajiban membayar zakat minimal 5% dari hasil
pertaniannya. Selain itu ia harus membayar pajak tanah dan pajak penghasilan, padahal petani juga
dibebani dengan biaya produksi pertanian yang cukup tinggi. Konsekuensinya, petani menderita
penurunan selisih harta yang bisa digunakan memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat
akibat meningkatnya tuntutan biaya pendidikan anak yang termasuk kebutuhan primer saat ini.
Di samping itu, pemisahan antara zakat dan pajak bisa dipandang sebagai bentuk pemisahan
antara agama dan negara secara tegas seolah negara tidak berhak untuk mencampuri urusan agama.
Tulisan ini tidak bermaksud terlibat dalam pembicaraan relasi antara negara dengan agama,
1

Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

15


Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
melainkan lebih menyoroti adanya realitas ambigu dalam persoalan zakat dan pajak. Saat ini, zakat
sudah diatur oleh UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat lembaga Badan Amil Zakat
(BAZ). Undang-undang tersebut telah mengatur tentang susunan organisasi, fungsi, dan tugas pokok
pengurus BAZ.2 Hanya saja pengelolaannya ternyata tidak diintegrasikan dengan program-program pembangunan pemerintah, melainkan hanya dilakukan sebagai bentuk dana sosial. Akibatnya,
pengolaan zakat mengalami sendiri dikritik kurang optimal. Zakat masih secara sporadis ditangani
oleh pemerintah dan oleh lembaga-lembaga pengelola zakat non pemerintah (LAZ).
Persoalannya kemudian adalah bahwa gagasan menyatukan antara zakat dan pajak itu
terbentuk oleh pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri. Sebagian setuju untuk menyatukan
zakat dengan pajak sehingga zakat bisa mengurangi jumlah kewajiban pajak yang dibayarkan oleh
umat Islam kepada negara. Masdar Farid Mas’udi (ketua Pengembangan Pesantren dan Masyarakat/
P3M) misalnya, sejak tanhun 1991 telah menggagas bahwa zakat yang dibayarkan oleh seorang
muslim dapat mengurangi beban pajaknya, karena esensi zakat adalah pajak untuk kemaslahatan
umat.3 Sebagian kalangan umat Islam berkeberatan apabila zakat dan pajak diintegrasikan karena
keduanya adalah dua hal yang berbeda. Zakat diwajibkan menurut landasan agama, sedangkan
pajak diwajibkan oleh negara dengan landasan non syar’i. Ada kekhawatiran kalau zakat dimasukkan
kedalam pajak, kewajiban shar’i yang melekat dalam zakat tidak tertunaikan. Pandangan ini secara
implisit mengisyaratkan bahwa negara tidak cukup memiliki kewenangan shar’i untuk memainkan
peran keagamaan secara penuh.
Secara normatif, sebenarnya ada indikasi bahwa negara dituntut untuk terlibat aktif dalam

mengelola zakat. Dalam al-Qur’an misalnya Q.S. al-Taubah ayat 103 menjelaskan urgensi zakat
untuk diambil oleh para petugas (amil) zakat. Sementara dalam hadis disebutkan bahwa ketika
Rasulullah saw mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah beliau berpesan bahwa jika
masyarakat di sana telah menyatakan masuk Islam ada kewajiban yang harus dilaksanakan yakni
salat dan zakat yang akan diambil dari orang kaya mereka dan akan diberikan kepada orang-orang
fakir.4
Posisi Rasulullah sebagai kepala negara membuat penarikan zakat memiliki dua dimensi,
yaitu dimensi syar’i dan dimensi politis. Dimensi politis tersebut ditunjukkan oleh tindakan Abu
Bakar dengan menyerang orang-orang yang menolak membayar zakat setelah meninggalnya
Rasulullah SAW.5 Tindakan itu bisa dipahami dengan baik kalau zakat dianggap sebagai kewajiban
kepada negara juga sehingga penolakan untuk membayar zakat akan dilihat sebagai bentuk makar.6
Negara Republik Indonesia sejak semula ditetapkan bukan sebagai negara yang berlandaskan
salah satu agama. Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan
beragama warga negara. Posisi negara Republik Indonesia tersebut menyediakan peluang dan
sekaligus tantangan tentang bagaimana prinsip ekonomi Islam dapat diterjemahkan sesuai dengan
sistem kenegaraan tersebut. Prinsip persamaan hak seluruh rakyat bisa menjadi tantang ketika
2

Heri Sudarsono. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskirpsi dan Iluastrasi, Yogyakarta: Ekonisia, Cet. II.
2004, hal. 240-242

3
Masdar Farid Mas’udi, Pajak itu Zakat,Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung : Mizan, 2010. Buku ini
merupakan edisi baru dari karya Masdar yang diterbitkan pada tahun 1991 dengan judul Agama Keadilan, Risalah Zakat/
Pajak dalam Islam.
4
Lihat Rahman Ritonga dan Zainuddin. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama. Cet. II. 202. hal. 174-175.
5
Ibid. hal. 173.
6
Alquran banyak mengecam orang-orang yang menolak untuk mengeluarkan zakat dari harta mereka, seperti dalam
surat al-Taubah ayat 34 dan surat Ali Imran ayat 180. Orang yang menolak membayar zakat dan masih meyakini
kewajibannya bisa dikenai hukuman ta’zir (hukuman yang besarannya ditentukan oleh penguasa). Apabila banyak orang
yang menolak untuk membayar zakat maka penguasa bisa memerangi mereka. Lihat Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah. Juz
I. Beirut: Dar al-Fikr. 1983. hal. 281.

16

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Endang Rumaningsih

diterjemahkan bahwa tidak ada pembedaan seluruh rakyat dalam kewajiban membayar pajak
sehingga tidak ada pembedaan antara mustahiq (penerima zakat) dan muzakki (pembayar zakat)
dalam kewajiban membayar zakat. Karena itulah, ada kemudian sedikit perbedaan antara zakat
dengan pajak.
Namun demikian, Jika dikaji lebih jauh, zakat sesungguhnya dapat digunakan sebagai sarana
bagi perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis ketika kemampuan konsumsi mengalami
stagnasi. Zakat memungkinkan perekonomian terus berjalan pada tingkat yang minimum. Akibat
penjaminan konsumsi kebutuhan dasar oleh negara melalui akumulasi dana zakat, perekonomian
akan cenderung menjadi lebih tahan terhadap badai krisis. Makalah ini membahas prospek integrasi
zakat dengan pajak dengan sub bahasan zakat dalam sejarah Islam, relasi zakat dan pajak, dan
prospek integrasi zakat dan pajak.
TELAAH TEORITIS
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan bentuk kata dasar (masdar) dari zaka yang
berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Dari segi istilah fiqh, zakat berarti sejumlah harta tertentu
yang diwajibkan Allah yang diserahkan kepada orang-orang yang berhak.7Pajak menurut defenisi
para ahli keuangan, ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan
kepada negara sesuai dengan ketentuan, dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum, serta merealisasikan sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan
lain yang ingin dicapai oleh negara.8
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali disebutkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan zakat,
termasuk diantaranya ayat yang menyandingkan kewajiban zakat dengan kewajiban shalat secara

bersamaan. Salah satu diantaranya yang menyebutkan tentang kewajiban zakat adalah surat AtTaubah ayat 103 yang artnya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Adapun Persamaan Dan Perbedaan Antara Zakat Dan Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama.Persamaan Zakat Dengan Pajak9 adalah (1) Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk
suatu negeri, apabila melalaikannya akan terkena sanksi, (2) Zakat dan pajak harus disetorkan
pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya, (3)
Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara, (4) Tidak ada ketentuan
memperoleh imbalan materi tertentu di dunia dan (4) dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya
yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi yang terdapat di masyarakat.
Kedua. Perbedaan Zakat Dengan Pajak10, dengan adanya semua kesamaan di atas, bukan berarti
pajak bisa disamakan begitu saja dengan zakat. Karena di antara keduanya terdapat perbedaan
mendasar dan essensial.
Adapun Asas Teori Wajib Pajak Dan Zakat dapat dujelaskan sebagai berikut: Pertama. Asas
Hukum Mengenai Wajib Pajak 11, Para ahli berbeda pendapat mengenai asas hukum terhadap
kewajiban masyarakat untuk membayar pajak antara lain : (1) Teori Perjanjian, Para filosof abad
7

Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada, 2006),

hal 6
8
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2007), hal 999
9
Zensudarno, Beda Pajak Dan Zakat, http://zensudarno.wordpress.com/2007/07/03/beda-pajak-dan-zakat/, download tanggal 12 Juni 2010
10
Zensudarno, Loc.Cit
11
Yusuf Qardawi, Op.Cit. hal 1008-1009

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

17

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
ke-19 berpendapat, bahwa pajak diwajibkan atas dasar hubungan timbal balik negara dengan
masyarakat. Menurut para pendukung teori timbal balik, perjanjian ilmiah yang kokoh antara negara
dengan pembayar pajak mengemukakan berbagai aliran. Mirabau: “pajak adalah pembayaran di
muka yang dilakukan oleh seseorang terhadap perlindungan sekelompok manusia“. Adam Smith:
“perjanjian ini berbentuk pembayaran jasa atas pekerjaan”. Montesque dan Hobes: “ perjanjian ini

berbentuk jaminan keamanan”. dan (2) Teori Kedaulatan Negara, Teori ini mempunyai pandangan,
bahwa negara melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan masyarakat, tidak untuk kepentingan
pribadi. Untuk melaksanakan fungsinya negara memerlukan pembiayaan, oleh karena itu negara
punya hak untuk mewajibkan penduduknya atas dasar kedaulatan menanggung pembiayaan itu
sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing warganya.
Untuk azas wajib zakat12 dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Teori beban umum, Teori ini
didasarkan bahwa merupakan hak Allah – sebagai pemberi nikmat – untuk membebankan kepada
hamba-Nya apa yang dikehendakinya, baik kewajiban badani maupun harta, untuk melaksanakan
kewajibannya dan tanda syukur atas nikmatnya ; (2) Teori Khilafah, Harta adalah amanah Allah.
Dan manusia sebagai pemegang amanah atas harta itu. Harta kekayaan adalah rizki dari Allah
untuk manusia sebagai anugerah dan nikmat darinya. Dan setelah memperoleh nikmat itu, ia harus
mengeluarkan sebagian rizkinya itu dengan tujuan meninggikan rahmat Allah, dan menolong
saudara-saudaranya sesama hamba Allah, sebagai tanda syukur atas segala nikmat yang diberikan
kepadanya; (3) Teori pembelaan antara pribadi dan masyarakat, Islam mewajibkan setiap orang
yang punya kekayaan banyak untuk menunaikan hak-hak tertentu bagi kepentingan umum dan (4)
Teori persaudaraan, Masyarakat Islam ibarat satu bangunan yang kokoh dan kuat, yang satu
menunjang yang lainnya, saling tolong menolong dan saling menjaga satu sama lainnya.
Dengan memakai paradigma bahwa zakat tidak sama dengan pajak, para ulama kemudian
membolehkan umat Islam untuk membayarkan pajak di samping kewajiban untuk membayar zakat.13
Ada 3 persoalan yang berkaitan dengan pembayaran zakat dan pajak yang harus di laksanakan

kaum muslim:14 (1) dalil-dalil yang membolehkan adanya kewajiban pajak di luar zakat, (2) syarat
yang harus di perhatikan dalam kewajiban pajak dan (3) kritik terhadap tidak adanya ketentuan
pajak di luar zakat.
Dalil-dalil yang membolehkan adanya kewajiban pajak di samping zakat ada 5 alasan yang
membolehkan kewajiban pajak di samping pembayaran zakat yang harus di laksanakan kaum
muslim, yaitu: (1) Jaminan/ solidaritas sosial merupakan suatu kewajiban. Pajak merupakan sumber
pembiayaan bagi kebutuhan social oleh karena itu, apabila dana zakat tidak mencukupi untuk
pemenuhan kebutuhan social tersebut, maka dibolehkan adanya pungutan-pungutan di luar zakat
seperti pajak, (2) Sasaran zakat itu terbatas, sedangkan pembiayaan banyak sekali. Zakat harus di
gunakan pada sasaran yang di tentukan oleh syariah dan menempati fungsinya yang utama dalam
menegakkan solidaritas social. atas dasar itu ulama berpendapat bahwa zakat tidak boleh di
pergunakan untuk membangun jembatan, perbaikan jalan dan yang lainnya. Maka untuk membiayai
kepentingan umum dibolehkan adanya ketentuan pajak bagi kaum muslim, (3) Kaidah-kaidah hukum
syara’. Dengan menggunakan kaidah yang berlandaskan nash (yaitu Al-Qur’an dan Sunnah), pajak
bukan hanya dibolehkan, tetapi juga diwajibkan pemungutannya untuk merealisasikan kepentingan
umat dan negara, apabila sumber penerimaan lain tidak mencukupi, (4) Jihad atas harta dan
tuntutannya yang besar. Islam mewajibkan kepada umatnya untuk berjihad di jalan Allah dengan
harta jiwa. Salah bentuk jihad dengan harta yang diperintahkan adalah kewajiban lain di luar zakat

12


Ibid., hal 1010-1025
Nuruddin Mhd. Ali, Op.Cit, hal 42
14
Ibid., hal 42-54
13

18

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Endang Rumaningsih
dan (5) Kerugian dibalas dengan keuntungan. Dana yang diperoleh dari zakat dipergunakan untuk
membiayai segala keperluan negara yang manfaatnya kembali kepada seluruh rakyat.
Persoalan lain yang dihadapi umat Islam dalam dualisme pajak dan zakat adalah adanya
anggapan sebagian masyarakat bahwa pajak sama dengan zakat. Artinya, kewajiban pajak
meruntuhkan kewajiban membayar zakat.15 Oleh karena itu, banyak di antara umat Islam yang
membayar pajak dengan niat zakat dan menganggap telah gugur kewajiban zakatnya. Yusuf Qardawi
menolak pendapat ini dengan mengemukakan beberapa alas an, yaitu : (1) Harus dalam jumlah
tertentu yang di tetapkan oleh syariat, yaitu 1/10, 1/20 sampai 1/40. tariff pajak tidak tetap, kadangkadang lebih besar dari tariff zakat, kadang-kadang lebih kecil. Selain itu, kadang harta yang

memenuhi syarat wajib zakat tidak dikenai zakat karena tidak memenuhi syarat wajib pajak, kadang
pajak dipungut dari harta yang tidak menjadi objek zakat karena tidak memenuhi syarat wajib
zakat, (3) Harus menggunakan niat tertentu, yaitu berniat mendekatkan diri kepada Allah dan
mengikuti perintahnya dengan membayar zakat yang di perintahkan pada hamba-Nya. Kadang niat
pajak bertentangan dengan niat zakat, karena niat ibadat dalam pajak tidak murni, sedangkan zakat
adalah ibadah yang disyaratkan ikhlas dalam mengerjakannya dan (4) Harus di berikan kepada
sasaran tertentu, yaitu 8 asnaf, baik secara langsung maupun melalui perantaraan amil zakat yang
mewakili pemerintah.
PEMBAHASAN
1. Zakat dalam Sejarah Islam
Perintah zakat sebenarnya telah ada semenjak Nabi Muhammad berada di Makkah. Hanya
saja perintah zakat itu lebih merupakan anjuran moral karena belum adanya penetapan besaran
zakat dan hal-hal yang wajib dizakati. Hal itu terjadi karena fase penyebaran Islam di Makkah
masih menitikberatkan kepada penanaman nilai akidah dan nilai-nilai dasar keislaman. Perubahan
fungsi dan karakteristik zakat baru terjadi setelah hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah.16
Setelah Hijrah Nabi Muhammad, zakat mengalami perkembangan dengan adanya penjabaran
mengenai ragam harta yang wajib dizakati, ketentuan detail batas minimal (nishab) harta wajib
dizakati, prosentase zakat yang harus dikeluarkan, dan para penerima zakat (mustahiq). Meskipun
zakat pada mulanya hanyalah sebuah anjuran moral dan dilakukan sebagai sebuah derma, pada
perkembangannya zakat menjadi sebuah kewajiban yang diorganisir oleh pemerintahan Nabi
Muhammad, bukan lagi sebagai anjuran moral semata. Pengaturan masalah hasil zakat ini diatur
oleh bayt al-mal (lembaga yang mengatur pengelolaan harta dari masyarakat). Nabi secara resmi
mengorganisir pengumpulan zakat dari suku-suku yang menjadi bagian dalam umat Islam. Zakat
ini dikontrol oleh otoritas pusat dan dikumpulkan dalam baitul mal, yang menjadi perbendaharaan
publik. Bahkan zakat, dan juga keislamam kemudian menjadi persyaratan bagi suku-suku yang
turut mejadi bagian umat Islam. 17
Pemerintahan Nabi Muhamad di Madinah dapat dipandang sebagai sebuah bentuk negara
yang sederhana, dengan pembagian tugas yang relatif masih sederhana. Negara ini pun belum
berdiri atas organ-organ negara yang mempunyai pembagian kerja yang lengkap, sebagaimana
bentuk negara saat ini. Aktivitas-aktivitas yang menunjukkan jalannya pemerintahan ditunjukkan
oleh penunjukan arbitrator sebagai pemutus persengketaan di daerah-daerah, Keterlibatan Nabi

15

Ibid., hal 54-56
Pada Fase Makkah, zakat disebutkan dalam Alquran dengan kata-kata infaq. Sementara itu, pada fase Madinah
barulah kata-kata atu al-zakah muncul. Lihat dalam Rahman Ritonga dan Zainuddin, op.cit., hal. 174.
17
Lihat Majid Ali Khan, Muhammad The Final Messenger, Lahore : Sh. Muhammad Ashraf Publisher, 1983, hal.
116, 300
16

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

19

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
Muhammad tanpak dalam pengawasan pasar, dan mobilisasi pasukan.18 Namun pengaturan fiskal
belum menjadi perhatian Nabi Muhammad. Beliau lebih suka bila proses ekonomi berjalan sesuai
dengan mekanisme pasar. Hal ini ditunjukkan oleh penolakan beliau terhadap permintaan masyarakat
ketika terjadi inflasi untuk menetapkan harga.
Namun dengan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan untuk mendapatkan pemasukan bagi
negara dan semakin terstrukturnya pengaturan ekonomi negara sumber-sumber ekonomi yang diakui
oleh pemerintahan Islam semakin bertambah. Dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, terdapat beberapa
sumber keuangan yang disebutkan oleh al-Mawardi, antara lain, dari zakat, fay’ dan ghanimah,
jizyah dan kharaj.19 Sebagian sumber ini ditetapkan oleh Alquran dan hadith sedang lainnya
berdasarkan ijtihad para penguasa.
Abdul Wahhab Khallaf merumuskan sumber-sumber keuangan yang berfungsi untuk menutupi
kebutuhan umum. Menurutnya sumber keuangan kekuasaan (negara Islam) antara lain adalah: (1)
Zakat, dengan berbagai ragamnya, (2) Pajak tanah pertanian (kharaj), (3) Pajak perorangan yang
diambil dari ahl al-kitab (jizyah), (4) Bea cukai (pajak) yang diambil dari barang-barang yang
diimpor ke negara Islam, (5) Seperlima dari harta rampasan dan (6) Harta warisan yang tidak ada
ahli warisnya.20
Dari keterangan di atas tampak bahwa zakat menjadi salah satu sumber pemasukan bagi negara.
Ketika wilayah umat Islam meluas akibat penaklukan wilayah-wilayah di Syiria dan Persia,
kebutuhan pengaturan masalah keuangan menjadi semakin penting. Zakat kemudian diposisikan
sebagai kewajiban yang ditanggung oleh orang-orang muslim kepada negara. Bagi warga nonmuslim,
mereka diwajibkan membayar fay‘ (pajak atas perlindungan yang diberikan oleh penguasa muslim).
Fay‘ dibayar oleh setiap kepala keluarga. Orang Islam tidak diwajibkan membayar fay‘, sedangkan
orang non muslim tidak membayar zakat.21
Pada prakteknya, tidak semua umat Islam wajib membayar zakat karena tidak semua umat
Islam adalah orang yang berkewajiban membayar zakat. Berdasarkan kemampuan membayar zakat,
masyarakat muslim dapat kita kelompokkan menjadi tiga golongan; pertama, golongan masyarakat
Muzakki yaitu golongan masyarakat pembayar zakat. Kedua, golongan masyarakat non-mustahiq/
muzakki, yaitu golongan yang bukan penerima ataupun pembayar zakat (golongan middle income).
Ketiga, golongan masyarakat mustahik yaitu golongan masyarakat penerima zakat.22
Zakat pada masa itu diambil oleh petugas zakat. Petugas itu berada langsung dibawah komando
Perdana Menteri (wazir). Mereka dipilih atas kualifikasi merdeka, muslim, adil, dan mengetahui
hukum-hukum zakat. hanya saja kalau pejabat itu adalah perdana menteri, tidak harus mengetahui
hukum-hukum zakat. Petugas zakat pada masa itu boleh mengambil tindakan atas orang-orang
yang menolak membayar zakat, sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Abu Bakar.
Fungsi pertama zakat dalam pemerintahan Islam masa khalifah empat, pemerintahan Dinasti
Umayyah dan Abbasiyah adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup minimal (guarantee of a minimum level of living). Institusi negara yang bernama Baitul Mal-lah dalam konsep

18

Keterlibatan dan kepedulian Nabi Muhammad dalam persoalan-persoalan ekonomi, seperti dalam hal pemilikan
modal, tanah, pekerja, perilaku konsumen, mekanisme pasar, dll, lihat Muhammad Akram Khan, Economic Teachings of
Prophet Muhammad: A Select Anthology of Hadith Literature on Economics, Islamabad: Interational Institute of Islamic Economics, 1989.
19
Lihat dalam Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam,
(tarjamah : Fadhli Bahri), Jakarta: Darul Falah, 2000, hal. 213
20
Yusuf al-Qardawi, al-Siyasah al-Shar‘iyyah, (Pedoman Bernegara Menurut Perspektif Islam, Tarjamah : Kathur
Suhardi), Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999, hal. 79-80
21
Imam al-Mawardi, op.cit., hal. 202
22
Ali Sakti, Kegagalan Ekonomi Global, Republika, 14 Maret 2002

20

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Endang Rumaningsih
ekonomi Islam yang memiliki tugas menjalankan fungsi negara tersebut dengan mengambil kekayaan
dari kelompok muzakki untuk dibagikan kepada kelompok mustahiq. Dengan tepenuhinya kebutuhan
hidup minimal maka seluruh masyarakat Islam diharapkan akan menjalankan secara leluasa segala
kewajibannya sebagai hamba Allah SWT, tanpa perlu ada hambatan-hambatan yang mungkin
memang diluar kemampuannya. Zakat dengan demikian sangat terkait erat dengan kebijakan negara
dan sistem keuangan negara.
Oleh karena itu, ketika setelah Rasulullah wafat, terdapat sekelompok umat Islam yang tidak
mau melaksanakan kewajiban zakat sebagaimana sistem yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.
Kelompok tersebut akhirnya diperangi oleh Abu Bakar. Hal itu terjadi karena zakat merupakan
sumber pertama dan terpenting penerimaan negara pada awal pemerintahan Islam.23
Pada perkembangannya, zakat kemudian diperlakukan secara berbeda dibandingkan pada awal
pemerintahan Islam tersebut. Bagi negara-negara berpenduduk muslim saat ini, zakat bukan lagi
sumber penerimaan reguler sehingga tidak dipandang sebagai sumber pembiayaan utama. Meskipun
pemerintah terkadang turut serta membantu pengelolaan zakat, penghasilan dari zakat tidak
dicampurkan dengan penerimaan publik lainnya.24
2.

Relasi Zakat dan Pajak
Pengelolaan maupun jumlah harta zakat saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup
berarti. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan
Ford Foundation tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah derma masyarakat muslim Indonesia
(pertahun) mencapai Rp 19,3 triliyun rupiah. Dari jumlah tersebut Rp 5,1 triliyun berbentuk barang
dan 13,1 triliyun berbentuk uang. Dari jumlah tersebut, 6,2 trilyun adalah hasil zakat fitrah dan
13,1 trilyun berasal dari zakat mal. Mengenai distribusi, 61% zakat fitrah dan 93% zakat mal
diberikan langsung kepada penerima. Penerima (pengelola) zakat fitrah dan zakat mal terbesar
adalah masjid (70%), sedangkan Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya menerima 5%, dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4%.25
Hal itu menunjukkan bahwa zakat masih banyak dikelola oleh lembaga-lembaga swatsa,
sedangkan peran pemerintah masih minim. Hal itu berakibat kepada banyaknya pintu dalam distribusi
zakat. kenyataan itu mengakibatkan kekuatan dana zakat menjadi berkurang karena sulit dibuat
perencanaan makro pengelolaan zakat secara nasional. Di sisi lain, tidak bisa diabaikan bahwa
bagi masyarakat Indonesia zakat, khususnya zakat mal, baru dipandang sebagai kewajiban sekunder.
Pembayaran zakat mal belum menjadi tuntutan keagamaan yang kuat di kalangan masyarakat
muslim, bahkan di kalangan orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang baik.
Meskipun sejarah Islam menunjukkan adanya identifikasi antara zakat dengan kewajiban warga
kepada negara, pada perkembangannya ternyata zakat lebih banyak dipahami sebagai bentuk
kewajiban agama. Zakat diposisikan sebagai amal kebajikan yang diperintahkan oleh agama.
Akibatnya pengelolaan zakat hampir selalu dijalankan sebagai bentuk kewajiban agama, bukan
kewajiban kepada negara, meskipun negara turut kemudian memberikan aturan mengenai
pengelolaan zakat, seperti dalam Undang-undang nomor UU 30 Tahun 1999.
Ada wacana yang berkembang di kalangan masyarakat untuk menyatukan zakat dengan pajak.
Potensi penyatuan itu dapat dilihat dari adanya beberapa kesamaan peran yang ada dalam zakat
dan pajak, terutama dalam hal bahwa keduanya merupakan penerimaan fiskal negara. Keduanya
memiliki persamaan, yaitu: (1) Keduanya dipungut dari harta kekayaan yang dimiliki oleh
23

Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, hal. 199
Nuruddin Muhammad Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006. hal. xxiv
25
Ibid., hal.15-16.
24

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

21

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
perseorangan atau badan hukum, (2) Keduanya dipergunakan untuk kepentingan sosial, bukan
untuk kepentingan pribadi. Meskipun ada kalanya zakat diberikan kepada individu, hal itu lebih
merupakan bentuk pemerataan dan pendistribusian keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan (3)
Keduanya merupakan respon terhadap akumulasi kondisi sosial yang menuntut pembiayaan dari
masyarakat dan masing-masing pernah dikelola oleh negara Islam.26
Jadi, pada dasarnya zakat pun bukanlah suatu kebajikan individu, melainkan sebuah sistem
penertiban sosial. Oleh karena itu, seyogyanya pengelolaannya diserahkan kepada negara dan dan
diurus oleh lembaga administrasi yang teratur.
Intervensi dalam pengelolaan zakat itu bagi sebagian kalangan sangat diperlukan. Muhammad
Syakir Sula, Sekretaris Jenderal Masyarakat ekonomi Syariah (MES), memberikan beberapa alasan
mengapa negara harus ikut campur tangan dalam pengelolaan zakat: (1) Zakat bukanlah bentuk
charity (derma) biasa, melainkan derma yang bersifat imperatif (wajib). Pemungutan zakat dapat
dipaksakan sebagaimana tersebut dalam surat al-Taubah ayat 103. Negaralah satu-satunya otoritas
yang mampu melakukan tindak pemaksaan tersebut, (2) Potensi zakat yang dikumpulkan masyarakat
sangat besar. Hanya saja, zakat yang berhasil dikumpulkan dari masyarakat jauh lebih sedikit dari
yang seharusnya. Optimalisasi zakat hanya dapat dilakukan apabila dikelola oleh lembaga atau
departemen di pemerintahan, (3)Zakat dapat membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional.
Potensi zakat yang besar dan sasaran distribusi zakat dapat sejalan dengan rencana pembangunan
nasional, (4) Intervensi pemerintah dapat membantu efektivitas penyaluran dana zakat dan
pencapaian tujuan zakat, khususnya peningkatan taraf hidup masyarakat dan (5) Masuknya zakat
ke dalam kontrol negara mengurangi potensi korupsi karena petugas pajak atau aparat negara akan
bertindak lebih hati-hati dalam mengelola uang negara.27
Sebagian umat Islam ada juga yang berpandangan bahwa, konsep zakat dalam ajaran Islam
merupakan kewajiban yang kini dikenal sebagai pajak. Islam datang dan menawarkan konsep
pajak sebagai zakat. Pajak dalam makna zakat dalam pandangan Islam bukan untuk penguasa atau
negara tapi untuk rakyat kecil. Dalam konteks pajak sebagai zakat penguasa atau negara harus
melayani rakyatnya yang dalam al-Qur’an disebut delapan golongan (ashnaf tsamaniyah). Dana
yang dipungut harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat. Jika aparatur dan
birokrasi negara dibiayai dengan uang pajak, maka aparatur dan birokrasi negara itu harus melakukan
pelayanan yang maksimal dan tanpa pandang bulu terhadap rakyat. Karena itu jika pemerintah
dalam suatu negara telah mewajibkan pajak, maka tidak ada lagi keharusan untuk menunaikan
kewajiban zakat. Yang perlu dilakukan kemudian adalah memberi ruh zakat kepada pajak, yakni
berniat zakat ketika membayar pajak. Ruh zakat yang masuk ke dalam pajak akan memaksa
pemerintah untuk memaknai ulang pandangannya tentang kewenangannya dalam memungut pajak.
Kewenangan itu merupakan amanah dari Tuhan dan harus dipertanggungjawabkan baik di dunia
maupun saat di akhirat kelak.
Argumen semacam itu menjadi titik tolak untuk menegaskan bahwa ada persamaan esensi
antara zakat dan pajak. Pada masa Rasulullah, pajak dirupakan dalam bentuk zakat, demikian pula
pada masa khalifah-khalifah setelah beliau. Sementara itu, pada masa sekarang pajak telah berfungsi
secara efektif sebagai sumber pendapatan negara. Persoalannya tinggal bagaimana meletakkan
zakat dalam konteks sistem pajak yang telah mapan tersebut. Pilihan yang masuk akal adalah
mengembalikan fungsi zakat sebagai bentuk pajak sehingga ketika umat Islam sudah membayar
26

Ibid., hal. xxiv-xxvi
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hal. 50. Lihat pula uraian
senada dalam M. Ali Hasan, Zakat dan Infaq, Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006, hal. 83-85
28
Heri Sudarsono, op.cit., hal. 238-239
27

22

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Endang Rumaningsih
pajak, kewajiban zakatnya gugur. Namun disadari pula bahwa zakat punya dimensi keagamaan,
sementara pajak tidak selalu punya dimensi keagamaan. Karena itu, pajak harus diisi dengan nilai
keagamaan, khususnya bagi umat Islam agar ia bisa memainkan pula peran sebagai zakat.
Di pihak lain, sebagian umat Islam tetap melihat ada jurang terbentang antara zakat dan pajak.
Ada berbagai alasan yang sulit untuk dipertemukan jika ingin pajak memainkan peran yang dimiliki
oleh zakat. Menurut Daud Ali, ada beberapa aspek yang bisa digunakan untuk menunjukkan
perbedaan antara zakat dengan pajak, antara lain: 28 (1) Zakat adalah kewajiban agama yang
ditetapkan Allah, sedangkan pajak adalah kewajiban warga negara yang ditentukan oleh pemerintah,
(2) Wajib zakat adalah orang-orang Islam, sedangkan yang wajib membayar pajak tidak hanya
orang-orang Islam saja, tetapi semua warga negara dan orang-orang asing tanpa memandang agama
yang dipeluknya, (3) Penerima zakat sudah tertentu kelompoknya, sedangkan yang berhak menikmati
pajak adalah semua penduduk yang ada dalam suatu negara, (4) Sanksi tidak membayar zakat
adalah dosa, karena tidak memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan sanksi tidak
membayar pajak hanya denda atau hukuman saja dan (5) Zakat tidak mungkin dihapuskan karena
merupakan rukun Islam (ketiga), sedangkan pajak mungkin saja diganti atau dihapuskan tergantung
pada pertimbangan pemerintah dan keadaan keuangan negara.
Sementara itu, Heri Sudarsono menyusun aspek-aspek perbedaan antara zakat dan pajak dalam
satu tabel. Perbedaan zakat dan pajak menurut Heri Sudarsono dapat dilihat pada tabel 1 berikut:29
Tabel1 Tentang Perbedaan Zakat dengan Pajak
Zakat
· merupakan kewajiban agama dan
merupakan suatu bentuk ibadah
· diwajibkan kepada seluruh umat Islam
saja di suatu negara
· kewajiban agama bagi umat Islam
yang harus dibayar dalam keadaan
seperti apapun
· sumber dan besar zakat ditentukan
berdasarkan kitab suci Alquran dan
sunnah dan tidak boleh diubah oleh
seseorang maupun pemerintah
· butir-butir pengeluaran dan orang orang yang berhak menerima harta
zakat juga dinyatakan oleh Alquran
dan sunnah. Zakat diperoleh dari
orang berharta dan diterima kepada
golongan yang ditentukan Alquran
dan al-hadits
· zakat dikenakan bukan pada uang
saja tetapi juga terhadap barangbarang komersial, hasil pertanian,
hasil pertanian, ternak, barang
tambang, daornamen

Pajak
· merupakan kebijakan ekonomi yang diterapkan
untuk memperoleh pendapatan bagi pemerintah
· dikenakan kepada seluruh masyarakat tanpa
mempertimbangkan agama, maupun ras
· dapat ditangguhkan oleh pemerintah yang berkuasa

· besarnya pajak dapat diubah dari waktu ke waktu
berdasarkan keperluan pemerintah keperluan
pemerintah suatu negara
· pembelanjaan pajak biasa dapat diubah atau
dimodifikasi menurut kebutuhan pemerintah

· pajak dikenakan terhadap uang

Sumber: dikembangkan untuk artikel

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

23

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
Pandangan kedua ini tampaknya masih menjadi pandangan dominan di kalangan umat Islam.
Banyak pihak yang bersemangat untuk menunjukkan perbedaan antara zakat dengan pajak, termasuk
Wahbah Zuhayli dan Yusuf al-Qardlawi. Umumnya ulama Islam tidak memperbolehkan penyatuan
pajak dan zakat dalam prosentase yang harus dibayarkan. Umat Islam tetap diwajibkan membayar
zakat apabila telah memenuhi syarat dan juga membayar pajak sebagai kewajiban dari negara.30
Di samping itu, pajak lebih menekankan kepada aspek ekonomi. Hubungan perpajakan, menurut
Dawam Rahardjo, adalah hubungan yang didasarkan atas perhitungan ekonomi. Pajak ditarik karena
pemerintah membutuhkan uang untuk membayar pengeluaran yang terjadi akibat pemerintah
menyediakan berbagai fasiltas kepada masyarakat. Meskipun pajak juga mengandung nilai moral,
yaitu untuk menolong kelompok masyarakat yang kurang mampu dan untuk menciptakan keadilan
sosial, tetapi itupun dilaksanakan berdasarkan pertimbangan ekonomi yang rasional.31
Sementara itu, zakat ditarik dengan satu paket ketentuan yang tidak mungkin dilanggar, seperti
dalam hal ragam benda yang wajib dizakati, nisab, prosentase, dan mustahiq-nya. Oleh karena itu,
zakat diatur tidak murni berdasarkan rasionalitas, melainkan juga ada nilai kepatuhan dan nilai
ta’abbudi. Nilai ta’abbudi itulah yang membuat perhitungan zakat tidak menekankan aspek ekonomi
semata, melainkan aspek keagamaan.
Kedua argumentasi di atas, baik yang mendukung integrasi zakat ke dalam pajak atau yang
tetap memposisikan pajak dan zakat sebagai dua hal yang berbeda, saat ini sedang berebut untuk
memenangkan narasi masing-masing di tengah masyarakat muslim di Indonesia. Keduanya mewakili
semangat yang sama, yaitu pengelolaan zakat yang lebih optimal, tetapi dengan strategi yang berbeda.
3.

Prospek Integrasi Zakat-Pajak
Di tengah pro dan kontra mengenai relasi antara zakat dan pajak, sebenarnya pada prakteknya
aturan Undang-undang sudah memberikan ruang bagi integrasi di antara keduanya. Dalam Undangundang nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan bahwa “zakat yang telah
dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan
sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan, sesuai dengan peraturan perundah-undangan
yang berlaku.” Aturan itu kemudian diperkuat dengan Ketetapan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000, yang berlaku mulai tanggal 21 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat
yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dapat dikurangkan atas pajak penghasilan kena pajak.
Undang-undang tersebut juga menegaskan bahwa zakat yang diterima mustahiq zakat tidak menjadi
obyek wajib pajak.32
Keberadaan aturan-aturan itu, menurut M. Arif Mufraini, mengimplikasikan bahwa Pemerintah
sudah mengatur hubungan antara zakat dan pajak. Secara implisit aturan tersebut menegaskan
bahwa zakat dan pajak adalah dua hal yang berbeda. Konsekuensi lainnya adalah bahwa orang
muslim yang mampu dan memiliki surplus atas harta kekayaannya terkena dua beban, yaitu pajak
dan zakat, meskipun kewajiban zakat itu sendiri berdasarkan harta netto yang telah terkena pajak.33
Pemerintah sendiri sebenarnya masih terbuka untuk mengakomodasi kemungkinan zakat
dihitung sebagai pengurang pajak. Akan tetapi, hal itu tidak seyogyanya menjadi pertimbangan
29

Lihat Rahman Ritonga dan Zainuddin, op.cit., hal. 177
Lihat M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah menuju Ekonomi Islam, Bandung: Mizan, 1993, hal. 175
31
Lihat uraiannya dalam M. Arif Mufraini, Akuntansi Manajemen Zakat, Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 41-42
32
Ibid., hal. 42-43
33
Ibid., hal. 42-43
30

24

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Endang Rumaningsih
yang berlebihan dalam meningkatkan kualitas dan mutu pengelolaan zakat. Optimasilisasi zakat
tidak semata bisa diselesaikan dengan ide zakat sebagai pengurang pajak. Banyak persoalan yang
mengiringi ketidakoptimalan itu. Alasan-alasan perbedaan pandangan keagamaan tentang bagaimana
pelaksanaan zakat, siapa yang mengelola zakat, bagaimana zakat itu dikelola merupakan hal yang
tidak bisa diabaikan. Dengan demikian zakat sebagai pengurang pajak harus dilihat sebagai salah
satu faktor saja dalam upaya optimalisasi kewajiban zakat.
Aspirasi agar zakat bisa mengurangi pajak atau mengintegrasikan zakat ke dalam pajak
bukannya tidak memiliki nilai positif. Gagasan itu adalah upaya untuk mengintegrasikan praktik
keberagamaan dalam sistem kenegaraan secara produktif. Akibat positif yang bisa dibawa oleh
gagasan tersebut adalah semakin menipisnya gap (kesenjangan) antara negara dengan agama,
meskipun Indonesia bukan negara agama. Hal itu pada gilirannya dapat mengukuhkan legitimasi
negara Republik Indonesia dalam sudut pandang masyarakat muslim Indonesia.
Hanya saja, kalau ide penyatuan zakat dengan pajak ditu dipandang sebagai satu-satunya langkah
untuk mengoptimalisasikan zakat, baik dari aspek penggalian maupun distribusi dan pengelolaannya,
maka sebenarnya ada hal-hal lain yang tidak kalah penting untuk diatasi agar zakat tersebut bisa
optimal. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Pandangan masyarakat yang melihat zakat mal, khususnya,
hanya sekedar sebagai bentuk sedekah sosial. Kesadaran masyarakat untuk membayar zakat mal
masih sangat rendah. Hal itu tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga di
kalangan mereka yang dihormati sebagai tokoh agama. Tanpa adanya sosialisasi yang sistematis
dan luas, maka potensi zakat tidak bisa tergali secara optimal, (2) Pengelolaan zakat selama ini
oleh pemerintah belum mendapat dukungan besar dari masyarakat, terbukti dari perbandingan
harta zakat yang dikumpulkan oleh BAZ dan oleh lembaga-lembaga zakat nonpemerintah (LAZ).
Rendahnya dana zakat yang bisa digali oleh lembaga yang dibentuk oleh pemerintah menunjukkan
masih rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah mengelola dana zakat.
Apabila pemerintah tidak memperbaiki kinerja BAZ maka gagasan untuk menyatukan pajak dengan
zakat, yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan tidak akan bisa terealisir dan (3) Perlunya
pengembangan pemahaman di kalangan masyarakat mengenai tempat atau obyek bagi distribusi
zakat. Banyak anggota masyarakat yang masih berpikir bahwa zakat dialokasikan untuk fakir miskin
dalam hal membantu pemenuhan kebutuhan konsumtif atau untuk membantu orang-orang yang
kesusahan. Pada kenyataannya, zakat bisa dipergunakan untuk pengentasan kemiskinan melalui
usaha produktif dan investasi sumber daya manusia di bidang pendidikan. Jadi, penyatuan pajak
dengan zakat masih memerlukan prasyarat dan penyiapan infrastruktur. Tanpa adanya pembangunan
pemahaman, manajemen, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan distribusi
zakat terhadap wilayah yang lebih produktif, maka penyatuan zakat dan pajak itu sulit direalisasikan.
PENUTUP
Gagasan menyatukan zakat dengan pajak pada dasarnya merupakan sebuah terobosan agar
tidak terjadi pembebanan ganda bagi umat Islam terhadap zakat. Hal itu didasari pemikiran bahwa
pada masa awal Islam pun zakat berfungsi sebagai sumber dana bagi pelaksanaan tugas pemerintahan
Islam. Alquran pun juga mengindikasikan bahwa zakat diambil oleh petugas zakat sebagai sebuah
keharusan, tentunya bagi mereka yang mampu.
Hanya saja, integrasi zakat dengan pajak masih memerlukan proses yang panjang. Pertama,
kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola zakat masih rendah.
Kedua, kesadaran masyarakat untuk berzakat juga masih rendah sehingga potensi zakat yang besar
itu belum banyak yang tergali. Ketiga, perlu pengembangan rumusan distribusi zakat yang
memungkinkan pengembangan dana zakat untuk pengentasan kemiskinan dan pembangunan secara
lebih luas.

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

25

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam

DAFTAR PUSTAKA

Ali Sakti, Kegagalan Ekonomi Global, Republika, 14 Maret 2002
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskirpsi dan Iluastrasi, Yogyakarta:
Ekonisia, Cet. II. 2004
Imam al-Mawardi, (2000), al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara
Islam, (tarjamah : Fadhli Bahri), Jakarta: Darul Falah.
M. Ali Hasan, (2006), Zakat dan Infaq, Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, Jakarta: Kencana.
M. Arif Mufraini,(2006), Akuntansi Manajemen Zakat, Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan. Jakarta: Kencana.
M. Dawam Rahardjo. (2003), Perspektif Deklarasi Makkah menuju Ekonomi Islam, Bandung:
Mizan.
Majid Ali Khan, (1983), Muhammad The Final Messenger: Lahore: Sh. Muhammad Ashraf
Publisher.
Mohammad Daud Ali, (1988), Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press.
Muhammad Akram Khan, (1989), Economic Teachings of Prophet Muhammad: A Select Anthology of Hadith Literature on Economics, Islamabad: Interational Institute of Islamic Economics.
Muhammad, (2004), Dasar-dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia.
Nuruddin Muhammad Ali, (2006), Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Sayyid Sabiq, (1983), Fiqh al-Sunnah, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Qardawi, Yusuf, (1999), al-Siyasah al-Shar‘iyyah (Pedoman Bernegara Menurut Perspektif
Islam, tarjamah : Kathur Suhardi), Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Qardawi, Yusuf. (2007). Hukum Zakat. Bogor: Litera Antar Nusa.

26

Nomor 1I / Edisi II / November 2010