Perampokan Pusat-pusat Modal dan Kurangnya Instrumen Penyeimbang Sosial.
PERAMPOKAN PUSAT-PUSAT MODAL DAN KURANGNYA INSTRUMEN
PENYEIMBANG SOSIAL
Oleh GPB Suka Arjawa
Perampokan yang terjadi di berbagai tempat, mempunyai pola yang mudah dibaca, yakni
terjadi pada pusat-pusat modal yang bernilai mapan. Modal itu tidak mudah goyah
seperti harga bawang tetapi mempunyai nilai ekonomi tinggi dan nyata. Apa yang terjadi
belakangan ini, memperlihatkan pola seperti itu. Perampokan banyak terjadi terhadap
toko emas, perbankakn terkenal, dan pegadaian. Tetapi, perampokan berskala kecil
seperti yang terjadi di pasar-pasar tetap juga tidak hilang. Di masa lalu perampokan
berskala besar, boleh dikatakan terjadi tidak sehebat sekarang. Karena itu, perlu dilihat
bagaimana perkembangan pola-pola ini apabila dikaitkan dengan perubahan sosial yang
terjadi. Secara umum, perubahan sosial mempunyai ciri yang rada tersamar, tidak
diketahui oleh masyarakat tetapi masyarakat justru melakukannya. Misalnya, ketika
pegadaian memberikan cara mudah untuk mendapatkan uang, lembaga itu tidak saja
diburu oleh kalangan tua tetapi generasi muda juga sudah mulai mengincar. Pada dekade
tujuhpuluhan, generasi muda mempunyai sifat malu-malu terhadap lembaga seperti ini.
Perubahan sosial selalu terjadi di masyarakat.
Pendekatan struktural-fungsional mempunyai cara pandang yang bertemali dengan
perubahan sosial. Dalam pendekatan ini disebutkan bahwa masyarakat selalu berupaya
menuju keseimbangan, dan mencegah konflik. Ketidakstabilan sosial memang terjadi
pada saat perubahan awal itu terjadi, tetapi melalui perkembangan struktur di masyarakat
keseimbangan akan terjadi. Perkembangan struktur ini bisa bermacam-macam bentuknya
seperti adanya norma-norma baru sebagai upaya untuk menghadapi perubahan,
penambahan instrumen sosial, termasuk rasionalisasi tindakan. ”Perarem”
(aturan dan kesepakatan sosial yang bersifat lokal dalam masyarakat adat di Bali), sering
menghasilkan norma baru sebagai antisipasi dari munculnya penduduk pendatang lintas
daerah di Pulau Bali. Dan adanya Kepem (kartu penduduk musiman) sebagai produk dari
”perarem” merupakan salah satu instrumen untuk menghasilkan keseimbangan tersebut.
Penduduk pendatang yang telah mempunyai Kipem, bisa dikatakan legal secara
normatif. Namun secara sosial, Kipem juga memberikan jaminan terhadap
pertanggungjawaban sosial sang pemegang. Masih banyak lagi berbagai instrumen sosial
yang mampu memberikan stabilitas sosial.
Dalam konteks nasional, Indonesia saat ini mengalami perubahan sosial yang sangat
drastis. Pola pembangunan yang lebih cenderung menekan pola-pola kapitalis serta sikap
rasionalitas yang diperlihatkan oleh para pelaku usaha, adalah bentuk perubahan sosial
yang nyata di Indonesia. Pola pembangunan dengan pola kapitaalistis itu menekankan
pada persaingan dan diffrensiasi lebih luas pada bidang ekonomi. Pelaku usaha secara
terang-terangan berkompetisi dan untuk itu memperluas jaringan usahanya. Masyarakat
bisa melihat bagaimana misalnya sebuah outlet rumah makan cepat saji berdiri
bersebelahan dengan kompetitornya di sebuah tempat. Juga adanya jaringan toko
swalayan mini yang berdiri hanya sekotar 200 meter dari kompetitor di sebelahnya. Ini
adalah pola kapitalis dengan mengandalkan persaingan, sesuatu yang belum pernah ada
sekitar satu satu setengah dekade yang lalu. Dan untuk memperluas jaringan, toko
swalayan mini ataupun rumah makan cepat saji itu akan mendeffrensiasi (memperluas)
jaringannya dalam bentuk mendirikan cabang-cabang yang baru, dengan pola yang
kompetitif lagi dengan kompetitor.
Model pengembangan demikian, tidak hanya dilakukan oleh jaringan swalayan dan
rumah makan cepat saji seperti itu, tetapi juga dicontoh oleh lembaga-lembaga keuangan
seperti perbankan (termasuk Bank Perkreditan Rakyat), pegadaian, bahkan sampai tukang
binatu (loundry)! Sekarang banyak dijumpai cabang-cabang bank dalam bentuk gedung
yang kecil di pinggir jalan raya. Demikian juga banyak terlihat kantor-kantor pegadaian,
baik yang resmi maupun swasta, membuka cabang menyelip di kompleks-kompleks
pertokoan. Di masa lalu, lembaga perbankan tidak mempunyai banyak cabang dan
lembaga pegadaian hanya ada satu di kota kabupetan (tidak ada pegadaian swasta!). Ini
adalah sebuah fenomena perubahan sosial yang cepat dan boleh dikatakan radikal untuk
ukuran masyarakat Indonesia.
Diakui atau tidak, inilah yang menjadi incaran para garong, perampok, pencuri dan
pembajak darat yang sedang kelaparan. Seperti yang diungkapkan oleh teori-teori
struktural fungsional, setiap masyarakat berupaya menciptakan keseimbangan. Perubahan
sosial yang terjadi akan mencapai keseimbangannya apabila diikuti oleh aturan-aturan
normatif yang ada dan dilengkapi dengan instrumen yang diperlukan.
Dengan begitu, fenomena perubahan yang diperlihatkan oleh munculnya berbagai
cabang-cabang dari lembaga yang kaya modal tersebut, amat mungkin tidak diikuti oleh
berkembangnya norma-norma yang mengikuti dan tidak dilengkapi dengan instrumen
yang ada. Pembukaan cabang perbankan baru misalnya, bisa jadi tidak mengikuti aturan
baru. Di sebuah tempat yang seharusnya hanya boleh mendirikan cabang sebanyak lima
buah, tiba-tiba dijejali dengan sepuluh cabang perbankan dengan jarak yang tidak terlalu
jauh. Demikian juga, lembaga pegadaian yang semestinya tidak boleh didirikan di suatu
tempat, tiba-tiba nyelip di antara pertokoan. Lebih celaka lagi, diffrensiasi tersebut tidak
diikuti oleh instrumen pengamanan yang komplit dan profesional. Jumlah penjaga
keamanannya tidak memadai dengan kapasitas lembaga yang dijaga. Hal ini juga terlihat
dari pembukaan cabang-cabang toko emas yang demikian membawa banyak modal. Dari
kondisi inilah para penjahat itu mendapatkan lahan yang ”sempurna” bagi mereka untuk
mempraktikkan ”profesi, master dan keahlian” jahatnya. Jadi, untuk mencapai
keseimbangan sosial, seharusnya masyarakat atau lembaga harus menyediakan dan
menaati norma-norma baru serta melengkapi diri dengan instrumen yang mampu
membawa ke keadaan semimbang. Dalam konteks kerawanan perampokan yang sering
terjadi di berbagai tempat itu, instrumen inilah yang harus lebih diperhatikan, intinya
adalah penjaga keamanan.
Di tengah isu hukum rimba yang kini berembus di Indonesia, dimana polisi dengan TNI
saling bentrok, gerombolan bersenjata menyerang penjara, maka kasus-kasus
perampokan besar yang terjadi, sungguh menambah buruk kualitas negara. Rakyat
menjadi tidak nyaman. Maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemudian
masyarakat harus lebih banyak memperhatikan pentingnya penaatan terhadap norma-
norma yang ada serta melengkapi diri dengan berbagai instrumen untuk menjaga
stabilitas sosial. Perubahan sosial jika tidak terkenalikan, justru akan mampu
menjerumuskan. Faktor tersembunyi dari perubahan sosial ini terletak pada kesadaran
masyarakat terhadap perubahan itu. Perubahan tidak bisa dielakkan, dan dalam konteks
ini sejarah hanya bisa dipakai sebagai perbandingan saja. Yang penting adalah adanya
penyesuaian melalui norma dan instrumen baru.****
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi di FISIP, Universitas Udayana.
PENYEIMBANG SOSIAL
Oleh GPB Suka Arjawa
Perampokan yang terjadi di berbagai tempat, mempunyai pola yang mudah dibaca, yakni
terjadi pada pusat-pusat modal yang bernilai mapan. Modal itu tidak mudah goyah
seperti harga bawang tetapi mempunyai nilai ekonomi tinggi dan nyata. Apa yang terjadi
belakangan ini, memperlihatkan pola seperti itu. Perampokan banyak terjadi terhadap
toko emas, perbankakn terkenal, dan pegadaian. Tetapi, perampokan berskala kecil
seperti yang terjadi di pasar-pasar tetap juga tidak hilang. Di masa lalu perampokan
berskala besar, boleh dikatakan terjadi tidak sehebat sekarang. Karena itu, perlu dilihat
bagaimana perkembangan pola-pola ini apabila dikaitkan dengan perubahan sosial yang
terjadi. Secara umum, perubahan sosial mempunyai ciri yang rada tersamar, tidak
diketahui oleh masyarakat tetapi masyarakat justru melakukannya. Misalnya, ketika
pegadaian memberikan cara mudah untuk mendapatkan uang, lembaga itu tidak saja
diburu oleh kalangan tua tetapi generasi muda juga sudah mulai mengincar. Pada dekade
tujuhpuluhan, generasi muda mempunyai sifat malu-malu terhadap lembaga seperti ini.
Perubahan sosial selalu terjadi di masyarakat.
Pendekatan struktural-fungsional mempunyai cara pandang yang bertemali dengan
perubahan sosial. Dalam pendekatan ini disebutkan bahwa masyarakat selalu berupaya
menuju keseimbangan, dan mencegah konflik. Ketidakstabilan sosial memang terjadi
pada saat perubahan awal itu terjadi, tetapi melalui perkembangan struktur di masyarakat
keseimbangan akan terjadi. Perkembangan struktur ini bisa bermacam-macam bentuknya
seperti adanya norma-norma baru sebagai upaya untuk menghadapi perubahan,
penambahan instrumen sosial, termasuk rasionalisasi tindakan. ”Perarem”
(aturan dan kesepakatan sosial yang bersifat lokal dalam masyarakat adat di Bali), sering
menghasilkan norma baru sebagai antisipasi dari munculnya penduduk pendatang lintas
daerah di Pulau Bali. Dan adanya Kepem (kartu penduduk musiman) sebagai produk dari
”perarem” merupakan salah satu instrumen untuk menghasilkan keseimbangan tersebut.
Penduduk pendatang yang telah mempunyai Kipem, bisa dikatakan legal secara
normatif. Namun secara sosial, Kipem juga memberikan jaminan terhadap
pertanggungjawaban sosial sang pemegang. Masih banyak lagi berbagai instrumen sosial
yang mampu memberikan stabilitas sosial.
Dalam konteks nasional, Indonesia saat ini mengalami perubahan sosial yang sangat
drastis. Pola pembangunan yang lebih cenderung menekan pola-pola kapitalis serta sikap
rasionalitas yang diperlihatkan oleh para pelaku usaha, adalah bentuk perubahan sosial
yang nyata di Indonesia. Pola pembangunan dengan pola kapitaalistis itu menekankan
pada persaingan dan diffrensiasi lebih luas pada bidang ekonomi. Pelaku usaha secara
terang-terangan berkompetisi dan untuk itu memperluas jaringan usahanya. Masyarakat
bisa melihat bagaimana misalnya sebuah outlet rumah makan cepat saji berdiri
bersebelahan dengan kompetitornya di sebuah tempat. Juga adanya jaringan toko
swalayan mini yang berdiri hanya sekotar 200 meter dari kompetitor di sebelahnya. Ini
adalah pola kapitalis dengan mengandalkan persaingan, sesuatu yang belum pernah ada
sekitar satu satu setengah dekade yang lalu. Dan untuk memperluas jaringan, toko
swalayan mini ataupun rumah makan cepat saji itu akan mendeffrensiasi (memperluas)
jaringannya dalam bentuk mendirikan cabang-cabang yang baru, dengan pola yang
kompetitif lagi dengan kompetitor.
Model pengembangan demikian, tidak hanya dilakukan oleh jaringan swalayan dan
rumah makan cepat saji seperti itu, tetapi juga dicontoh oleh lembaga-lembaga keuangan
seperti perbankan (termasuk Bank Perkreditan Rakyat), pegadaian, bahkan sampai tukang
binatu (loundry)! Sekarang banyak dijumpai cabang-cabang bank dalam bentuk gedung
yang kecil di pinggir jalan raya. Demikian juga banyak terlihat kantor-kantor pegadaian,
baik yang resmi maupun swasta, membuka cabang menyelip di kompleks-kompleks
pertokoan. Di masa lalu, lembaga perbankan tidak mempunyai banyak cabang dan
lembaga pegadaian hanya ada satu di kota kabupetan (tidak ada pegadaian swasta!). Ini
adalah sebuah fenomena perubahan sosial yang cepat dan boleh dikatakan radikal untuk
ukuran masyarakat Indonesia.
Diakui atau tidak, inilah yang menjadi incaran para garong, perampok, pencuri dan
pembajak darat yang sedang kelaparan. Seperti yang diungkapkan oleh teori-teori
struktural fungsional, setiap masyarakat berupaya menciptakan keseimbangan. Perubahan
sosial yang terjadi akan mencapai keseimbangannya apabila diikuti oleh aturan-aturan
normatif yang ada dan dilengkapi dengan instrumen yang diperlukan.
Dengan begitu, fenomena perubahan yang diperlihatkan oleh munculnya berbagai
cabang-cabang dari lembaga yang kaya modal tersebut, amat mungkin tidak diikuti oleh
berkembangnya norma-norma yang mengikuti dan tidak dilengkapi dengan instrumen
yang ada. Pembukaan cabang perbankan baru misalnya, bisa jadi tidak mengikuti aturan
baru. Di sebuah tempat yang seharusnya hanya boleh mendirikan cabang sebanyak lima
buah, tiba-tiba dijejali dengan sepuluh cabang perbankan dengan jarak yang tidak terlalu
jauh. Demikian juga, lembaga pegadaian yang semestinya tidak boleh didirikan di suatu
tempat, tiba-tiba nyelip di antara pertokoan. Lebih celaka lagi, diffrensiasi tersebut tidak
diikuti oleh instrumen pengamanan yang komplit dan profesional. Jumlah penjaga
keamanannya tidak memadai dengan kapasitas lembaga yang dijaga. Hal ini juga terlihat
dari pembukaan cabang-cabang toko emas yang demikian membawa banyak modal. Dari
kondisi inilah para penjahat itu mendapatkan lahan yang ”sempurna” bagi mereka untuk
mempraktikkan ”profesi, master dan keahlian” jahatnya. Jadi, untuk mencapai
keseimbangan sosial, seharusnya masyarakat atau lembaga harus menyediakan dan
menaati norma-norma baru serta melengkapi diri dengan instrumen yang mampu
membawa ke keadaan semimbang. Dalam konteks kerawanan perampokan yang sering
terjadi di berbagai tempat itu, instrumen inilah yang harus lebih diperhatikan, intinya
adalah penjaga keamanan.
Di tengah isu hukum rimba yang kini berembus di Indonesia, dimana polisi dengan TNI
saling bentrok, gerombolan bersenjata menyerang penjara, maka kasus-kasus
perampokan besar yang terjadi, sungguh menambah buruk kualitas negara. Rakyat
menjadi tidak nyaman. Maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemudian
masyarakat harus lebih banyak memperhatikan pentingnya penaatan terhadap norma-
norma yang ada serta melengkapi diri dengan berbagai instrumen untuk menjaga
stabilitas sosial. Perubahan sosial jika tidak terkenalikan, justru akan mampu
menjerumuskan. Faktor tersembunyi dari perubahan sosial ini terletak pada kesadaran
masyarakat terhadap perubahan itu. Perubahan tidak bisa dielakkan, dan dalam konteks
ini sejarah hanya bisa dipakai sebagai perbandingan saja. Yang penting adalah adanya
penyesuaian melalui norma dan instrumen baru.****
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi di FISIP, Universitas Udayana.