ANALISIS KADAR METAMFETAMINA PADA SAMPEL DARAH DENGAN METODE GC-MS.

DAFTAR ISI
1. ANALISIS PESTISIDA GOLONGAN KARBAMAT PADA SAYURAN SAWI DENGAN METODE GC-MS
YANG DI JUAL DI PASAR KUMBASARI DENPASAR
Sathya Indrayana, Didik Setiawan, Ida Ayu Manik Partha Sutema .................................................1-5
2. ANALISIS KADAR TIMBAL DALAM DARAH PEKERJA SENI LUKIS DI DAERAH LODTUNDUH, UBUD
DENGAN METODE MP-AES
Ni Putu Ayu Nopita Dewi, I Made Oka Adi Parwata, I. A. Manik Partha S .......................................6-12
3. ANALISIS KADAR BESI PADA BAYAM HIJAU YANG DIANGIN-ANGINKAN DAN DIPANASKAN
Ni Putu Dian Lufita Sari, Didik Setiawan, Nyoman Sudarma ...........................................................13-17
4. ANALISIS KADAR METAMFETAMINA PADA SAMPEL DARAH DENGAN METODE GC-MS
Dunika Ayu Ni Made, I Made Oka Adi Parwata, I.A Manik Parthasutema .......................................18-29
5. ANALISIS KADAR KAFEIN PADA KOPI HITAM DI LEBAH BUKIAN GIANYAR MENGGUNAKAN
SPEKTROFOTOMETER UV-VIS
Ni Made Dwi Aptika, I Ketut Tunas, Ida Ayu Manik Parta Sutema...................................................30-37
6. PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR VITAMIN C PADA PAPRIKA
(Capsicum annum) HIJAU
Laily Kurniawati, Ni Luh Nova Dilisca Dwi Putri, Adreng Pamungkas..............................................38-45
7. ANALISIS KADAR ENZIM CHOLINESTERASE DALAM DARAH PADA PETANI PENYEMPROT
SAYURAN
Ni Wayan Pariati, Ni Luh Nova Dilisca Dwi Putri, Agus Nurcolis .....................................................46-55
8. PERBEDAAN KADAR ZAT ORGANIK SEBAGAI KMnO4 BERDASARKAN PEMBUATAN TITRAN KMnO4

Komang Peri Sukma Rahmawan, Ketut Tunas, Nyoman Sudarma.................................................56-63
9. PENENTUAN pH OPTIMUM UNTUK ANALISIS KADAR KLORIDA PADA AIR MINUM
I Made Suddharnatha, M. Fairuz Abadi, Nyoman Sudarma ............................................................64-70
10. IDENTIFIKASI FORMALIN PADA TAHU YANG DI JUAL DI PASAR PUJUNG GIANYAR DENGAN
PEREAKSI SCHIFF
I Wayan Suwardi Andika, Ni Luh Nova Dilisca Dwi Putri, Agus Nurcolis .........................................71-76

ANALISIS KADAR METAMFETAMINA PADA SAMPEL DARAH DENGAN METODE GC-MS
Metamphetamina Rate Analysis in Blood Sample with GC-MS Method
Dunika Ayu Ni Made1, I Made Oka Adi Parwata2, I.A Manik Parthasutema1
1Program Studi Analis Kesehatan STIKes Wira Medika Bali1
2Program Studi Kimia FMIPA Universitas Udayana2
ABSTRAK
Pendahuluan: Analisis zat-zat golongan narkoba penting dilakukan mengingat tingginya penyalahgunaan narkoba,
terutama golongan metamfetamina (MA). Tahun 2007―2010 ditemukan 582 kasus metamfetamina atau 45% dari 1305
kasus narkotika. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kandungan MA pada sampel darah pecandu narkoba. Metode:
Metode yang digunakan yaitu metode GC-MS yang tervalidasi dan memiliki nilai kepastian yang tinggi. Hasil analisis pada
3 sampel darah pengguna narkoba golongan metamfetamina terdeteksi 2 sampel yang positif. Hasil: Sampel A
mengandung MA 64 ppm dan sampel B mengandung MA 28,2 ppm; pada sampel C tidak terdeteksi. Diskusi: Pembuktian
hubungan linier antara konsentrasi dan luas area dapat ditentukan persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi. Berdasarkan

data GC-MS secara kuantitatif didapatkan data senyawa standar dengan konsentrasi 25 ppm dengan luas area 31907,
dan50 ppm dengan luas area 1130990 dan 100 ppm dengan luas area 34224455 sehingga didapatkan persamaan regresi
linier y=42043x-82765 dengan nilai ketepatan yang cukup tinggi.
Kata kunci: Analisis metamphetamina, Sampel darah, GC-MS.
ABSTRACT
Introduction: Analyze the unsure of drugs and it the highert effect of metamphetamina, where in 2007 until 2010 it found
582 case of metamphetamina used 45% from 1305 case of drugs using. The research for detection the metamphetamina
contenct of blood sampel. Method: In this research we use Gase Cromatography that have a good validation and high
accuracy. Result: The results of 3 drug users of metamphetamina in found that 2 sample have positive results, that is
sample A = 64 ppm, and sample B= 28,2 ppm, but in sample C not found the metamphetamina. So, the conclusion of this
research is the metamphetamina compound can be accumulate in the blood of drug users. Discussion: Proof linear
relationship between the concentration and the area can be determined and the calibration curve regression equation.
Based on data from quantitative GC-MS data obtained with the standard compound concentration of 25 ppm and an area
of 1907, and 50 ppm with an area of 113099, and 100 ppm with an area of 34224455 to obtain the linear regression
equation y = 42043x-82 765 with sufficient precision values high.
Keywards: Analysis Metamphetamina, Blood Sample, GC-MS.
Alamat Korespondensi

: Jl. Raya Celuk Sukawati, Gianyar-Bali


Email

: dunikaayu@gmail.com

PENDAHULUAN
Dewasa ini penyalahgunaan Narkoba atau
NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif
lainnya) semakin marak. Pengguna dari usia
belasan sampai puluhan tahun, dari kelas
ekonomi rendah sampai tinggi, baik laki-laki
maupun perempuan. Korban penyalahgunaan
narkoba di Indonesia menunjukkan prevalensi
dan peningkatan yang sangat tinggi. Tahun
2007 s/d 2010 ditemukan 582 kasus
metamfetamin atau 45% dari 1305 kasus
narkotika. Data tersebut menunjukkan bahwa
penyalahgunaan metamfetamina telah menjadi
ancaman serius dan perlu dilakukan
penanggulangan masalah secara simultan dan
berkesinambungan oleh pemerintah dan

seluruh komponen masyarakat (Putra, 2011).
Narkoba singkatan dari narkotik dan obat
berbahaya atau NAPZA singkatan dari

Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.
Narkoba merupakan zat atau senyawa yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintesis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan (BNN, 2004).
Terdapat beberapa jenis narkoba, antara
lain: narkotika; merupakan zat atau obat yang
berasal dari tanaman ataubukan tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran (UU RI No.35, 2009). Obat atau zat
ini dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh
tertentu bagi mereka yang menggunakan

dengan memasukkannya ke dalam tubuh
manusia. Pengaruh tersebut dapat berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan

Dunika Ayu Ni Made, dkk: Analisis Kadar Metamfetamina pada…
amphetamine (MDMA) terkenal dengan nama
ekstasi ADAM; methylen dioxi amphetamine
(MDA) terkenal dengan nama ekstasi saja;
methylen dioxi ethyl amphetamine (MDEA)
terkenal dengan nama ekstasi EVA; meskalin;
lysergic acid diethylamid (LSD); dan psilosibin.
Golongan II merupakan psikotropika yang
mempunyai khasiat pengobatan yang jelas, dan
apabila disalahgunakan sangat merugikan
kesehatan perorangan, atau tata kehidupan
masyarakat, karena itu diperlukan pengawasan
ketat terhadap pengedarnya. Golongan ini
selain berkhasiat pengobatan juga dapat
digunakan untuk terapi dan untuk tujuan ilmu
pengetahuan, serta mempunyai potensi kuat

untuk menyebabkan ketergantungan. Golongan
II, termasuk diantaranya: amfetamin;
metamfetamin yang terkenal dengan nama
shabu-shabu; deksampetamin; fenetilin; dan
PCP (Pensiklidin).
Golongan III merupakan psikotropika yang
mempunyai khasiat pengobatan jelas dan bila
disalahgunakan
merugikan
kesehatan
perorangan
atau
tatanan
kehidupan
bermasyarakat, sehingga masih memerlukan
pengawasan peredarannya. Golongan ini dapat
digunakan untuk terapi dan tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta
berpotensi sedang untuk menimbulkan
ketagihan/

ketergantungan.
Termasuk
golongan III, diantaranya: amobarbital;
butabarbital;
flunitazepam;
glutemide;
pentobarbital; siklobarbital dan katina.
Golongan IV merupakan psikotropika
yang mempunyai khasiat pengobatan yang
jelas, dan apabila disalahgunakan dapat
merugikan kesehatan pengguna dan
mengganggu tata kehidupan masyarakat
sekitarnya sehingga diperlukan pengawasan
yang memadai. Golongan ini selain dapat
digunakan dalam pengobatan, juga untuk
keperluan ilmu pengetahuan, serta berpotensi
ringan untuk menyebabkan ketergantungan.
Termasuk golongan IV, diantaranya: alpazolam;
barbital; bromazepam; diazepam; fenobarbital.
Obat-obatan yang termasuk golongan

psikotropika adalah candu dan komponenkomponennya yang aktif anatara lain:
metamfetamina,
MDMA,
pensiklidin,
flunitazepam dan katinona (Puspitasari, 2005).
Metamfetamina yang sering disebut shabushabu merupakan jenis psikotropika golongan II
(kedua), berbentuk bubuk berwarna putih,
kuning, maupun coklat, atau bubuk putih kristal
kecil, dengan bau amina serta mudah larut

semangat, halusinasi atau timbulnya khayalankhayalan
yang
menyebabkan
efek
ketergantungan bagi pemakainya.
Narkotika dibagi menjadi 3 golongan,
diantaranya (Darmono, 2006): golongan I
merupakan golongan narkotika yang hanya
dapat digunakan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan saja (IPTEK), tidak digunakan

untuk terapi, di samping itu golongan ini
mempunyai potensi sangat tinggi akan
terjadinya
efek
ketergantungan/adiksi/ketagihan. Golongan I,
termasuk diantaranya Papaver somniferum L
(opiat) serta produk yang dihasilkan;
Erytroxylum coca (kokain) serta produk yang
dihasilkan, dan Canabis sativa (ganja) serta
produk yang dihasilkan.
Golongan II merupakan golongan yang
berkhasiat untuk pengobatan, tetapi digunakan
sebagai pilihan terakhir dalam pengobatan
tersebut. Narkotika golongan ini juga digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan, tetapi juga
berpotensi
tinggi
mengakibatkan
ketergantungan. Golongan II, termasuk
diantaranya morfin; petidin; metadon; opium;

dihidromorfin; dan ekogin.
Golongan III merupakan jenis narkotika
yang berkhasiat untuk pengobatan, tetapi juga
untuk pengembangan ilmu pengetahuaan. Obat
ini hanya berpotensi ringan untuk
mengakibatkan ketergantungan. Golongan III,
termasuk diantaranya Kodein; Etil-morfin; Asetil
dihidrokodein;
dekstropropoksifein;
Dihidrokodein dan Norkodein (Darmono, 2006)
Psikotropika merupakan zat atau obat
yang dapat menurunkan aktivitas otak atau
merangsang susunan syaraf pusat dan
menimbulkan prilaku disertai dengan timbulnya
halusinasi (khayalan), ilusi, gangguan cara
berfikir, perubahan alam perasaan dan dapat
menyebabkan
ketergantungan,
serta
mempunyai efek stimulasi bagi pemakainya.

Psikotropika dibedakan dalam 4 golongan (UU
RI No.5, 2009), antara lain: golongan I
merupakan obat yang tidak atau belum
mempunyai khasiat pengobatan yang jelas
tetapi bila disalahgunakan, sangat merugikan
perorangan atau tata kehidupan masyarakat
sehingga, diperlukan pengawasan yang sangat
ketat peredarannya. Golongan ini hanya
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi amat kuat untuk
mengakibatkan ketergantungan. Golongan I,
diantaranya termasuk 3,4methylen dioxi methyl

19

Chemistry Laboratory Juli Vol. 2 No. 1 2015
merangsang susunan saraf pusat (pada dosis
rendah; 5 mg/hari), sedangkan pada dosis yang
dinaikkan dapat meningkatkan tekanan darah,
dalam peredaran gelapnya, MA seringkali
ditemukan
sebagai
senyawa
garam
hidroklorida, biasanya dalambentuk kristal yang
berwarna putih, dengan titik leleh 170-175oC,
larut dalam air (1:2), larut dalam etanol (1:4),
larut dalam kloroform (1:5), praktis tidak larut
dalam eter (Putra, 2005). Adapun contoh kristal
MA dapat dilihat pada gambar 3.

dalam air dan alkohol. Bahan atau zat
berbahaya ini dapat berpengaruh pada fisik dan
mental seseorang apabila digunakan dengan
dosis yang tidak tepat (Adi, 2009). Senyawa ini
merupakan psikotropikadengan daya aktif yang
kuat sehingga menyebabkan sindroma
ketergantungan
(Martono,
2006).
Metamfetamine (MA) sering disebut ddeoxyepedhrine; desoxyephedrine; atau
methylamfetamine; mempunyai rumus molekul
c10h15n, dengan berat molekul 149,23 g/mol,
bentuk cairan yang tidak berwarna, jernih, tidak
mudah menguap, berat jenis 0,91-0,92 g/L, titik
didih 214oC dengan struktur kimia seperti
gambar 1.

Gambar 1. Molekul MA (Moffat et al., 2004)
MA termasuk salah satu dari derivate
metal amphetamine yang mempunyai 2 isomer:
d-metamphetamina dan l-metamphetamina
dimana masing-masing memiliki perbedaan
efek farmakologi. d-metamphetamina adalah
stimulan karena mempunyai efek yang sangat
kuat pada sistem saraf pusat, menambah
tenaga sehingga disebut menimbulkan efek
euphoria terhadap manusia. biasanya
dikonsumsi dengan cara ditelan, dihirup, dihisap
serta
disuntikkan.
sedangkan,
lmetamphetamina bersifat decongestan dan
tidak memiliki aktivitas sebagai stimulant (putra,
2011). struktur molekul isomer dari ma dapat
dilihat pada gambar 2.

Gambar 3. Kristal MA (Putra, 2005)
Setelah dikonsumsi dalam waktu 24 jam
maka sekitar 70% dosis obat akan tereliminasi
melalui ginjal dan diekskresikan dalam bentuk
urine. Pada kondisi normal lebih dari 43% dari
dosis diekskresikan sebagai MA, 15% sebagai
4-hidroksi metamphetamina (HMA) dan sekitar
5% sebagai amphetamine. Tingkat ekskresi dan
jumlah presentase sebagai metabolit obat
dalam bentuk tidak berubah tergantung pada
pH urin, akan bertambah jika urin dalam
keadaan asam dan akan berkurang sekitar 2%
jika urine dalam keadaan basa (Nendrosuwito,
1998). Jalur metabolisme MA dapat dilihat pada
gambar 4 (Putra, 2005).

Gambar 2. Struktur molekul isomer MA (Cody,
2000)
MA digolongkan sebagai obat anti depresi
atau stimulan yang berguna untuk mengatasi
tekanan mental karena secara langsung

Gambar 4. Metabolisme MA (Nendrosuwito,
1998)

20

Dunika Ayu Ni Made, dkk: Analisis Kadar Metamfetamina pada…
insomnia, agitasi, mencegah lelah, menekan
nafsu makan, menghilangkan ngantuk dan
mengurangi tidur (BNN Jakarta, 2004). Dosis
Tinggi (> 50 mg), metamfetamina yang masuk
secara
berlebihan
dapat
langsung
mengakibatkan kematian, gejala yang
ditimbulkan sebelum kematian adalah tremor
berat, meningkatnya aktivitas motorik yang
berlebihan, dan gangguan pernafasan yang
hebat hingga nafas berhenti (BNN Jakarta,
2004).
Ketika seseorang menggunakan upper zat
tersebut akan merangsang sistem saraf pusat
penggunanya. Zat bekerja pada sistem
neurotransmitter norepinefrin dan dopamine
otak. Menggunakan metamfetamina dapat
menyebabkan otak menghasilkan tingkat
dopamine yang lebih tinggi. Jumlah dopamine
yang berlebihan di dalam otak akan
menghasilkan perasaan euphoria dan
kesenangan yang biasa dikenal sebagai “high”.
Seiring berjalannya waktu, orang yang
menggunakan shabu akan mengembangkan
toleransi terhadap zat metamphetamin yang
terkandung didalam shabu. Toleransi artinya
seseorang akan membutuhkan dosis yang lebih
tinggi untuk mendapatkan efek yang sama. Jika
sejumlah dosis yang dibutuhkan tidak terpenuhi
maka pengguna zat metamfetamina akan
muncul perasaan withdrawal/craving atau lebih
dikenal dengan sakaw (Darmono, 2006).
Sensasi yang ditimbulkan membuat otak
lebih jernih dan bisa berpikir lebih fokus. Otak
menjadi lebih bertenaga untuk berpikir berat
dan bekerja keras, namun akan muncul kondisi
arogan yang tanpa sengaja muncul akibat
penggunaan zat ini. Pupil akan berdilatasi
(melebar). Nafsu makan akan sangat ditekan.
Tekanan darah akan naik secara signifikan.
Secara mental, pengguna akan mempunyai
rasa percaya diri yang lebih karena, seluruh
sistem saraf pusat terstimulasi maka
kewaspadaan dan daya tahan tubuh juga
meningkat (Harian Umum Pelita, 2013).
Zat ini menimbulkan efek secara fisik,
karena efeknya yang menimbulkan kecanduan
dengan adanya tolerasi zat yang dikonsumsi.
Begitu seseorang telah kecanduan amfetamina,
maka orang tersebut harus kembali
menggunakan metamfetamina untuk mencegah
sakaw (withdrawal). Pengguna zat ini
kemungkinan juga akan membutuhkan waktu
tidur yang lebih lama dan sangat sensitif atau
mudah marah. Begitu efeknya hilang efek
obatnya hilang, pengguna yang tadinya merasa

Ketika mengkonsumsi metamphetamina
maka obat tersebut turun melalui esophagus
(kerongkongan), masuk lambung, dan menuju
ke usus halus. Sejumlah kecil zat yang
terkandung pada obat diserap melalui aliran
darah dalam membrane mukus, dan sebagaian
besar masuk ke aliran darah melalui dinding
usus halus. Zat yang terkandung pada obat
terlarang tersebut larut dalam air dan aliran
darah dengan cepat menyalurkan keseluruh
bagian tubuh dan diserap kedalam jaringan
tubuh (Wirasuta, 2008)
Aktivitas metamfetamin di seluruh otak
tampaknya lebih spesifik, reseptor tertentu yang
merespon metamfetamin, tetapi beberapa
daerah otak cenderung tidak melakukannya di
wilayah lain. Sebagai contoh dopamine D2
reseptor di hippocampus, suatu daerah otak
yang terkait dengan membentuk ingatan baru,
tampaknya tidak terpengaruh oleh kehadiran
metamfetamin. Sistem saraf utama yang
dipengaruhi oleh metamfetamina sebagaian
besar terlibat didalam sirkuit otak. Selain itu,
neurotransmitter yang terlibat jalur berbagai hal
penting di otak tampaknya menjadi target utama
dari
metamfetamina.
Salah
satu
neurotransmitter adalah dopamine, sebuah
pembawa pesan kimia yang sangat akktif. MA
menyebabkan
terjadinya
pelepasan
norepinefrin, dopamine, serotonin, dan neuron
pra-sinaps. Menghambat re-uptakenorepinefrin
dan dopamine. Menghambat sistem MAO pada
neuron pra-sinaps (BNN Jakarta, 2004).
Mekanisme kerja metamfetamina antara
lain: dosis kecil, semua jenis metamfetamine
akan menaikkan tekanan darah, mempercepat
denyut jantung, melebarkan bronkus,
meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan
euphoria, menghilangkan ngantuk, mudah
terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa
lapar, meningkatkan aktifitas motorik, banyak
bicara dan merasa kuat, misalnya pada fisik
atlet meningkat. Efek ini sangat bervariasi dan
dapat terjadi hal-hal yang sebaliknya pada dosis
berlebihan atau pengguna berulang-ulang.
Pengguna lama atau dosis besar hampir selalu
diikuti oleh depresi mental dan kelelahan fisik,
banyak
orang
yang
mengkonsumsi
metamfetamina mengalami sakit kepala,
palpitasi, rasa pusing, gangguan vasomotor,
rasa khawatir, kacau, disforia, delirium atau
rasa lelah (BNN Jakarta, 2004).
Dosis sedang (20-50 mg), menstimulasi
pernapasan, menimbulkan tremor ringan,
gelisah, meningkatkan aktivitas motorik,

21

Chemistry Laboratory Juli Vol. 2 No. 1 2015
lapar menjadi sangat lapar (Agsya, 2010). Efek
metamfetamina jangka pendek, antara lain:
meningkatkan suhu tubuh; kerusakan sistem
kardiovaskuler; paronoia; meningkatkan denyut
jantung; meningkatkan tekanan darah; menjadi
hiperaktif; mengurangi rasa kantuk; menjadi
hiperaktif; tremor; menurunkan nafsu makan;
mulut kering; mual; sakit kepala, dan perubahan
prilaku (Arief, 2005).
Efek metamfetamina jangka panjang,
selama mengkonsumsi metamfetamina dalam
jangka panjang, seseorang yang menggunakan
metamfetamina secara teratur menemukan
tanda-tanda efek samping jangka panjang yang
biasanya terdiri dari: pandangan kabur; pusing;
peningkatan detak jantung; sakit kepala;
tekanan darah tinggi; kurang nafsu makan;
nafas cepat dan gelisah (Arief, 2005)
Gejala lain yang ditimbulkan dari
metamfetamina antara lain: kerusakan otak,
kerusakan hati, depresi, gelisah, berkeringat
dingin, berpikir lambat, serta gangguan memori
karena berkurangnya serotonin dan dopamine
dalam jangka lama. Depresi menyebabkan
individu menyendiri, menurunnya prestasi kerja
atau sekolah. Penyalahgunaan senyawa ini
dapat menimbulkan efek samping yang sangat
berbahaya bahkan dapat mematikan (Darmono,
2006).
Metamfetamina merangsaang faal dan
fungsi otak, serta memiliki potensi
perangsangan dan halusinogenik yang lebih
besar (Nasution, 2001). Metamfetamina
berpotensi merusak reseptor serotonin dan juga
neuron serotonin dalam otak. Serotonin adalah
sistem kimia saraf (neurochemical) yang
mengatur emosi, perasaan, berpikir mengingat
(memory) dan tidur (Darmono, 2006). Stimulan
dalam metamfetamina memacu sistem saraf
pusat, akibat dari kadar toksin yang dihasilkan
untuk masing-masing obat tidak bisa
diperkirakan,
overdosis
merupakan
kemungkinan yang nyata (BNN Jakarta, 2004).
Penyalahgunaan metamfetamina sering
kali terjadi karena kebanyakan zat dalam
narkoba sebenarnya digunakan untuk
pengobatan dan penelitian. Tetapi, karena
berbagai alasan maka narkoba kemudian
disalahgunakan. Penggunaan terus menerus
dan
berlanjut
akan
menyebabkan
ketergantungan dan bisa juga disebut dengan
kecanduan. Tingkat penyalahgunaan biasanya
sebagai
berikut:
coba-coba;
senang;
menggunakan pada saat ataukeadaantertentu;

penyalahgunaan dan ketergantungan (BNN
Jakarta, 2004).
Banyak yang masih bisa dilakukan untuk
mencegah penyalahgunaan narkoba, antara
lain yaitu: secara primer, sebelum
penyalahgunaan terjadi, biasanya dalam bentuk
pendididkan, penyebaran informasi mengenai
bahaya narkoba, pendekatan melaliu keluarga,
dll. Secara sekunder, pada saat pengguna
sudah terjadi dan diperlukan upaya
penyembuhan (treatment). Secara tersier, yaitu
upaya untuk merehabilitasi mereka yang sudah
memakai dan dalam proses penyembuhan
(BNN Jakarta, 2004).
Maka dari itu diperlukan pemeriksaan
narkoba yang digunakan untuk penanganan
penyalahgunaan narkoba.
Pemeriksaan
narkoba dapat dilakukan dengan berbagai
macam alat serta metode. Salah satunya
dengan metode GC-MS. GC-MS adalah
kependekan dari gas chromaography massa
spektrofotometri. Instrumen alat ini merupakan
gabungan dari alat GC dan MS. Sampel yang
hendak diperiksa diidentifikasi dahulu dengan
alat GC (gas chromatography) baru, kemudian
diidentifikasi dengan alat ms (mass
spectrometry). GC dan MS merupakan
kombinasi yang simultan dan digunakan untuk
memisahkan serta mengidentifikasi komponenkomponen campuran (Mulyono, 2011).
Metode GC-MS mempunyai sensitivitas
dan spesivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan metode lainnya. Keunggulan metode
GC-MS dibandingkan dengan metode lainnya
antara lain: efisien; resolusi tinggi sehingga
dapat digunakan untuk menganalisis partikel
berukuran sangat kecil seperti polutan dalam
udara, aliran fasa bergerak (gas); sangat
terkontrol dan kecepatannya tetap; pemisahan
fisik terjadi di dalam kolom yang jenisnya
banyak sekali, panjang dan temperaturnya
dapat diatur; banyak sekali macam detektor
yang dapat dipakai pada kromatografi gas (saat
ini dikenal 13 macam detektor); respons
detektor proporsional dengan jumlah tiap
komponen yang keluar dari kolom; sangat
mudah terjadi pencampuran uap sampel ke
dalam fasa bergerak; analisis cepat, biasanya
hanya dalam hitungan menit; tidak merusak
sampel; sensitivitas tinggi sehingga dapat
memisahkan berbagai senyawa yang saling
bercampur; dan mampu menganalisis berbagai
senyawa meskipun dalam kadar/konsentrasi
rendah (Ginting, 2012).

22

Dunika Ayu Ni Made, dkk: Analisis Kadar Metamfetamina pada…
sampel sepanjang kolom. Molekul-molekul
memerlukan jumlah waktu yang berbeda
(disebut waktu retensi) untuk keluar dari
kromatografi gas, dan ini memungkinkan
spektrometer massa untuk menangkap,
ionisasi, mempercepat, membelokkan, dan
mendeteksi molekul terionisasi secara terpisah.
Spektrometer Massa melakukan hal ini dengan
memecah masing-masing molekul menjadi
terionisasi mendeteksi fragmen menggunakan
massa untuk mengisi rasio (Hermanto, 2008).

Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa
atau sering disebut
GC-MS (gas
cromatography-mass spectrometry) adalah
teknik analisis yang menggabungkan 2 metode
analisis yaitukromatografi gas dan spektroskopi
massa. kromatografi gas adalah metode
analisis, dimana sampel terpisahkan secara
fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih
kecil (hasil pemisahan dapat dilihat berupa
kromatogram). Sedangkan spektrofotometri
massa adalah metode analisis, dimana sampel
yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion
gasnya. Masa dari ion-ion tersebut dapat diukur
berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum
massa. Pada GC hanya terjadi pemisahan
untuk mendapatkan komponen yang diinginkan,
sedangkan bila dilengkapi dengan MS
(berfungsi sebagai detektor) akan dapat
mengidentifikasi komponen tersebut, karena
bisa membaca spektrum bobot molekul pada
suatu komponen, juga terdapat reference pada
software (Hermanto, 2008).
Kromatografi gas merupakan salah satu
teknik kromatografi, dimana yang bertindak
sebagai fase diamdapat berupa fase padat atau
fase cair dan sebagai fase gerak adalah gas.
Kromatografi gas merupakan salah satu metode
yang dapat dipergunakan untuk menganalisis
keberadaan MA dalam sampel darah (Putra,
2011)
Kromatografi gas dan spektrometer massa
dalam banyak hal memiliki banyak kesamaan
dalam tekniknya, untuk kedua teknik tersebut,
sampel yang dibutuhkan dalam bentuk fase
uap, dan keduanya juga sama-sama
membutuhkan jumlah sampel yang sedikit
(umumnya kurang dari 1 mg). Di sisi lain, kedua
teknik tersebut memiliki perbedaan yang cukup
besar yakni pada kondisi operasinya. Senyawa
yang terdapat pada kromatografi gas adalah
senyawa yang digunakan untuk sebagai gas
pembawa dalam alat GC dengan tekanan
kurang lebih 760 torr, sedangkan spektrometer
massa beroperasi pada kondisi vakum dengan
kondisi
tekanan 10-6 sampai
10-5 torr
(Hermanto, 2008).
GC-MS terdiri dari dua blok bangunan
utama: kromatografi gas dan spektrometer
massa. Kromatografi gas menggunakan kolom
kapiler yang tergantung pada dimensi kolom itu
(panjang, diameter, ketebalan film) serta sifat
fase (misalnya 5% fenil polisiloksan).
Perbedaan sifat kimia antara molekul-molekul
yang berbeda dalam suatu campuran
dipisahkan dari molekul dengan melewatkan

Gambar 5. GC-MS Shimadzu(Hermato,2008)
Dasar pemisahan secara kromatografi gas
ialah penyebaran cuplikan pada fase diam
sedangkan gas sebagai fase gerak mengelusi
fase diam. Maka dari itu prinsip kerjanya
sebagai berikut: suatu fase gerak berbentuk gas
mengalir dibawah tekanan melewati pipa yang
dipanaskan dan disalut dengan fase diam cair,
atau dikemas dengan fase diam cair yang
disalut pada suatu penyangga padat. Analit
tersebut dimuatkan kebagian atas kolom
melalui suatu portal injeksi yang dipanaskan,
tempat analit menguap. Analit ini kemudian
berkondensasi dibagian atas kolom tersebut,
yaitu pada suhu yang lebih rendah. Suhu oven
dijaga konstan atau diprogram agar meningkat
secara bertahap. Ketika sudah berada dikolom,
pemisahan suatu campuran yang terjadi
bergantung pada waktu lamanya waktu relatif
yang dibutuhkan oleh komponen-komponen
didalam fase diam (Hermanto, 2008).
Apabila terdapat campuran (terdiri dari
dua atau lebih komponen), maka campuran
tersebut akan didistribusikan pada kedua fase
tersebut (fase gerak dan fase diam). Koefisien
distribusi (k) dari masing-masing komponen
dalam fase gerak dan fase diam didasarkan
pada persamaan:

23

Chemistry Laboratory Juli Vol. 2 No. 1 2015
Instrument
spectrometer
massa
diperlukan untuk identifikasi senyawa organik
yaitu penentuan bobot molekul dan penentuan
rumus molekul. Prinsip dasar Spektrometri
Massa adalah molekul bermuatan atau fragmen
molekul dihasilkan dalam suatu ruang sangat
hampa atau segera sebelum suatu sampel
memasuki ruang sangat hampa, dengan
menggunakan berbagai metode untuk produksi
ion. Ion-ion dihasilkan dalam fase gas sehingga
ion tersebut kemudian dapat dimanipulasi
dengan penerapan pada medan magnet atau
medan listrik agar dapat menentukan bobot
molekulnya dan bobot molekul semua fragmen
yang dihasilkan dari pemecahan molekul.
Umumnya spektrometer massa terdiri dari lima
komponen yaitu: sistem pemasukan sampel,
kamar ionisasi, penganalisis massa, detektor
dan rekorder (David, 2005). Contoh bagan MS
dapat dilihat pada gambar 6. berikut:

k=
Keterangan:
CS
: Konsentrasi solute dalam fase diam
CM
: Konsentrasi solute dalam fase gerak
(Putra, 2011).
Derajat keterpisahan/resolusi masingmasing komponen dalam campuran dengan
metode analisis kromatografi dinyatakan
dengan persamaan:
2(tR2– tR1)
RS = W2 + W1
Keterangan:
tR1
: waktu retensi kromatogram 1
tR2
: waktu retensi kromatogram 2
: lebar dasar puncak kromatogram1
W1
W2
: lebar dasar puncakkromatogram2
(Putra, 2011).

Gambar 8. Bagan instrumen MS (David, 2005)
Spektrum
massa
biasanya
digambarkan seperti grafik batang, dimana
setiap puncak menyatakan suatu fragmen
molekul, fragmen ditata menurut kenaikan m/z
dari kiri ke kanan dengan intesitas puncak
sebanding dengan kelimpahan relative
fragmen, puncak tertinggi (puncak dasar) diberi
nilai 100%, puncak yang lain relative terhadap
puncak dasar, untuk mengetahui rumus molekul
atau fragmen tertentu dapat dibantu dengan
tabel Beynon (David, 2005). Mode selected ion
monitoring (SIM) pada GC MS adalah mode
operasi yang tidak merekam keseluruhan
spectra, tetapi hanya merekam sinyal
karakteristik dari ion-ion tertentu (Moffat, et al,
2004). Proses scan per ion pada mode SIM
lebih banyak dibandingkan dengan mode full
scan dalam waktu yang bersamaan, hal ini
disebabkan pada tingkat sensitivitasnya (Putra,
2011).

Gambar 6. Bagan instrument GC MS
(Rohman, 2009)
Bentuk puncak kromatogramKromatografi
Gas dapat dilihat pada gambar 7 berikut:

Gambar 7. Puncak kromatogram GC (Gritter et
al., 1991).

24

Dunika Ayu Ni Made, dkk: Analisis Kadar Metamfetamina pada…
medan elektron dan molekul, ketika berdekatan.
Hal tersebut menyebabkan satu elektron lepas,
sehingga terbetuk ion molekular M+, yang
memiliki massa sama dengan molekul netral,
tetapi bermuatan lebih positif. Adapun
perbandingan massa fragmen tersebut dengan
muatannya disebut mass to charge ratio yang
disimbolkan M/Z. Ion yang terbentuk akan
didorong ke quadrupoles atau mass filter.
Quadrupoles berupa empat elektromagnet
(Hermanto, 2008). Filter, pada quadrupoles,
ion-ion dikelompokkan menurut M/Z dengan
kombinasi frekuensi radio yang bergantian dan
tegangan DC. Hanya ion dengan M/Z tertentu
yang dilewatkan oleh quadrupoles menuju ke
detector (Hermanto, 2008). Detektor terdiri atas
high energy dynodes (HED) dan electron
multiplier (EM) detector. Ion positif menuju HED,
menyebabkan elektron terlepas. Elektron
kemudian menuju kutub yang lebih positif, yakni
ujung tanduk EM. Ketika elektron menyinggung
sisi EM, maka akan lebih banyak lagi elektron
yang terlepas, menyebabkan sebuah
arus/aliran. Kemudian sinyal arus dibuat oleh
detektor proporsional terhadap jumlah ion yang
menuju detector (Hermanto, 2008). Data dari
spektrometri masa dikirim ke komputer dan
diplot dalam sebuah grafik yang disebut
spektrum masa. Secara umum, penggunaan
metode GC-MS hanya terbatas untuk senyawa
dengan tekanan uap berkisar 10-10 torr.
Kebanyakan senyawa dengan tekanan lebih
rendah hanya dapat dianalisis jika senyawa
tersebut merupakan senyawa turunan (contoh:
trimetilsili eter). Penentuan gugus fungsional
pada cincin aromatik masih sulit, untuk senyawa
isomer tidak dapat dibedakan oleh
Spektofotometer (contoh: naftalena vs azulena),
tapi dapat dipisahkan dengan Kromatografi
(Hermanto, 2008).
Bergantung pada faktor pelarutan dan
metode ionisasi, sebuah ekstrak dengan 0,1–
100 mg dari setiap komponen mungkin
dibutuhkan agar sesuai jumlah yang
diinjeksikan. Perbandingan dengan teknik
lainnya: IR spektometer dapat memberikan
informasi posisi aromatik isomer dimana GCMS tidak bisa; namun sensitivitas IR biasanya
lebih rendah sebesar 2―4. NMR (nuclear
magnetic resonance) spektrometri dapat
memberikan informasi rinci pada konformasi
molekuler ekstrak; namun biasanya NMR lebih
rendah sensivitasnya sebesar 2―4 (Hermanto,
2008). Keadaan sampel harus dalam keadaan
larutan untuk diijeksikan ke dalam kromatografi.

Instrumen/Alat GC-MS terdiri dari:
injection port, dalam pemisahan dengan GLC
cuplikan harus dalam bentuk fase uap. Tetapi
kebanyakan senyawa organik berbentuk
cairan dan padatan, oleh karena itu, senyawa
yang berbentuk cairan dan padatan pertamatama harus diuapkan. Ini membutuhkan
pemanasan sebelum masuk ke dalam kolom.
Panas itu terdapat pada tempat injeksi.
Namun, suhu tempat injeksi tidak boleh terlalu
tinggi, sebab kemungkinan akan terjadi
perubahan karena panas atau penguraian dari
senyawa yang akan dianalisa. pengguna juga
tidak boleh menginjeksikan cuplikan terlalu
banyak, karena GC sangat sensitif. Biasanya
jumlah cuplikan yang diinjeksikan pada waktu
kita mengadakan analisa 0,5―50 ml gas dan
0,2―20 ml untuk cairan (Hermanto, 2008).
Oven digunakan untuk memanaskan kolom
pada
temperature
tertentu
sehingga
mempermudah proses pemisahan komponen
sampel. Biasanya oven memiliki jangkauan
suhu 30oC―320oC (Hermanto, 2008). Kolom
merupakan jantung dari kromatografi gas. Ada
beberapa bentuk kolom, diantaranya lurus,
bengkok, misal berbentuk V atau W, dan
kumparan/spiral. Kolom selalu merupakan
bentuk tabung. Berisi fasa diam, sedangkan
fasa bergerak akan lewat didalamnya sambil
membawa sample. Secara umum terdapat 2
jenis kolom, yaitu: packed column, umumnya
terbuat dari glass atau stainless steel coil
dengan panjang 1–5 m dan diameter kira-kira 5
mm. Capillary column, umumnya terbuat dari
purified silicate glass dengan panjang 10―100
m dan diameter kira-kira 250 mm. Beberapa
jenis stationary phase yang sering digunakan:
polysiloxanes untuk nonpolar analytes/sample;
polyethylene
glycol
untuk
polar
analytes/sample, dan Inorganic atau polymer
packing untuk sampel bersifat small gaseous
species(Hermanto, 2008). Massa Spektrometer
(MS) yang terdiri dari beberapa komponen
diantaranya: sumber ion setelah analit melalui
kolom kapiler, ia akan diionisasi. Ionisasi pada
spektroskopi massa yang terintegrasi dengan
GC ada dua, antara lain: electron impact
ionization (EI) atau chemical ionization (CI),
yang lebih jauh lagi terbagi menjadi negatif
(NCI) dan positif (PCI). Berikutnya akan
dijelaskan ionisasi EI. Ketika analit keluar dari
kolom kapiler, ia akan diionisasi oleh elektron
dari filament tungsten yang diberi tegangan
listrik. Ionisasi terjadi bukan karena tumbukan
elektron dan molekul, tapi karena interaksi

25

Chemistry Laboratory Juli Vol. 2 No. 1 2015
Pelarut harus bersifat volatile dan organik
(sebagai contoh heksana atau dikllorometana).
Jumlah sampel bergantung pada metode
ionisasi yang dilakukan, biasanya yang sering
digunakan untuk analisis sensivitas adalah
sebesar 1–100 pg per komponen (Hermanto,
2008).
Keunggulan metode GC-MS antara lain:
efisien, resolusi tinggi sehingga dapat
digunakan untuk menganalisa partikel
berukuran sangat kecil seperti polutan dalam
udara. Aliran fasa bergerak (gas) sangat
terkontrol dan kecepatannya tetap. Pemisahan
fisik terjadi didalam kolomyang jenisnya banyak
sekali, panjang dan temperaturnya dapat diatur.
Banyak sekali macam detektor yang dapat
dipakai pada kromatografi gas (saat ini dikenal
13 macam detektor) dan respons detektor
adalah proporsional dengan jumlah tiap
komponen yang keluar dari kolom. Sangat
mudah terjadi pencampuran uap sampel
kedalam fasa bergerak. Kromatograf sangat
mudah digabung dengan instrumen fisika-kimia
yang lainnya, contohnya GC/FT-IR/MS. Analisis
cepat, biasanya hanya dalam hitungan menit.
Tidak merusak sampel. Sensitivitas tinggi
sehingga dapat memisahkan berbagai senyawa
yang saling bercampur dan mampu
menganalisa berbagai senyawa meskipun
dalam kadar/konsentrasi rendah. Seperti dalam
udara, terdapat berbagai macam senyawa yang
saling bercampur dan dengan ukuran
partikel/molekul yang sangat kecil (Hermanto,
2008).
Selain keunggulan metode GC-MS juga
memiliki kekurangan antara lain sebagai
berikut: teknik Kromatografi Gas terbatas untuk
zat yang mudah menguap. Kromatografi Gas
tidak mudah dipakai untuk memisahkan
campuran dalam jumlah besar. Pemisahan
pada tingkat mg mudah dilakukan, pemisahan
pada tingkat gram mungkin dilakukan, tetapi
pemisahan dalam tingkat pon atau ton sukar
dilakukan kecuali jika ada metode lain. Fase gas
dibandingkan sebagian besar fase cair tidak
bersifat reaktif terhadap fase diam dan zat
terlarut (Hermanto, 2008).
Metode ini digunakan untuk menganalisis
obat-obatan terlarang baik pada sampel urine,
serum, maupun darah. Ketika mengkonsumsi
obat-obat terlarang, obat tersebut turun melalui
esophagus (kerongkongan), masuk lambung,
dan menuju ke usus halus. Sejumlah kecil zat
yang terkandung pada obat diserap melalui
aliran darah dalam membrane mukus, dan

sebagian besar masuk ke aliran darah melalui
dinding usus halus. Zat yang terkandung pada
obat terlarang tersebut larut dalam air dan aliran
darah dengan cepat menyalurkan ke seluruh
bagian tubuh dan diserap ke dalam jaringan
tubuh (Wirasuta, 2008). Berdasarkan uraian di
atas maka penulis merasa perlu melakukan
analisis
kadar
narkotika
golongan
metamfetamina pada sampel darah dengan
metode GC-MS.
BAHAN DANMETODE
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan tujuan
mengetahui gambaran atau deskripsi tentang
suatu keadaan objek (Notoatmodjo, 2005).
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh
pengguna narkoba yang direhabilitasi di
Laboratorium Forensik Cabang Denpasar,
sehingga sampel dalam penelitian ini adalah
darah pengguna narkoba yang terdapat di
Laboratorium Forensik Cabang Denpasar.
Penelitian ini telah telah dilaksanakan pada
tanggal 12-17 Mei 2014, dan dianalisis di
Laboratorium Forensik Polri Cabang Denpasar.
Adapun alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini, antara lain: neracaanalitik; batang
pengaduk; labu ukur 10 ml; spektofotometer
infrared (ir); lemari es; cartridge spe; eksterlute
(spe bond elute c-18); beaker glass 10 ml;
mikropipet disposable; ph meter atau kertas ph
indikator; laminar air flow; dan seperangkat alat
GC-MS. Selain itu bahan yang digunakan
antara lain sebagai berikut: bahan yang
digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
kloroform; methanol; NaOH; aquadest; MA-HCl
dan darah sampel pengguna narkoba.
Prosedur pemeriksaan yang dilakukan
untuk mengetahui kadar metamfetamina pada
sampel darah dilakukan dengan cara sebagai
berikut: pembuatan larutan standar MA 1000
ppm, larutan standar metamfetamina 1000 ppm
dibuat dengan cara menimbang kristal murni
MA-HCl sebanyak 12,42 mg yang setara
dengan MA=10 mg, kemudian dilarutkan
dengan methanol dalamlabu ukur 10 mL hingga
tanda batas. Pembuatan larutan standar MA
dengan konsentrasi 25, 50, 100 ppm. Larutan
standar metamfetamina100 ppm dibuat dengan
cara memipet 1 mL larutan standar 1000 ppm,
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL,
kemudian ditambahkan methanol sampai garis
tanda. Larutan standar metamfetamina 50 ppm
dibuat dengan cara memipet 5 mL larutan
26

Dunika Ayu Ni Made, dkk: Analisis Kadar Metamfetamina pada…
standar 100 ppm, dimasukkan ke dalam labu
ukur 10 mL, kemudian ditambahkan methanol
sampai garis tanda. Larutan standar
metamfetamina 25 ppm dibuat dengan cara
memipet 5 mL larutan standar 50 ppm,
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL,
kemudian ditambahkan methanol sampai garis
tanda. Preparasi sampel darah pecandu
narkoba: disiapkan alat dan bahan yang
digunakan, dituang eksterlute (SPE Bond Elute
C-18) kedalam cartridge SPE sampai tanda
batas (secukupnya), dikeluarkan sampel darah
pengguna narkoba dan ditampung pada beaker
glass sebanyak 5 mL, ditambahkan larutan
NaOH hingga basa (pH 8), dihomogenkan
dengan batang pengaduk
kemudian
ditambahkanaquadest secukupnya hingga larut
sempurna, setelah itu, dituang pada coloumb
SPE sampai eksterlute terisi sampai merata,
dielusi dengan kloroform sebanyak 10 mL,
kemudian diambil ekstrak darah yang
dihasilkan, dikeringkan pada laminar air flow,
setelah kering dilarutkan kembali dengan
larutan methanol sebanyak 5 mL, dipipet
ekstrak darah yang sudah dilarutkan dengan
methanol sebanyak 100 µl, dan dituang
kedalam tabung eppendro, ekstak darah /
sampel siap diinjeksi pada alat GC-MS. Uji GCMS: Sampel dari ekstraksi solid-phase, diinjek 1
µl pada GC-MS dengan kondisi: temperatur
ijektor/detektor 2800C, kecepatan alir gas He
40ml/min, temperatur kolom 700C untuk 3
menit, kemudian 120C/min sampai 2100C dan
tahan selama 15 menit, kolom DB-5/HP-5.
berdasarkan data yang didapatkan diperoleh
hasil pemeriksaan kadar metamfetamina pada
sampel darah dan disajikan dalam bentuk tabel.

Konsentrasi
64 ppm
(x pengenceran)

Sampel darah yang digunakan pada
penelitian ini diperoleh dari Laboratorium
Forensik Cabang Denpasar yang diketahui
sebagai barang bukti kasus pengguna narkoba.
Sampel darah dipreparasi terlebih dahulu
dengan cara dielusi dengan menggunakan
larutan NaOH dandiukur dengan menggunakan
pH meter hingga basa (pH 8), dimana larutan
NaOH berfungsi untuk mengkondisikan sampel
darah pada pH basa karena metamfetamina
lebih mudah diekstraksi pada kondisi basa serta
memiliki kelarutan yang lebih tinggi pada
suasana basa, kemudian dihomogenkan
dengan batang pengaduk serta ditambahkan
aquadest secukupnya hingga larut sempurna,
setelah larut sempurna sampel darah dituang
pada coloumb SPE sampai eksterlute terisi
sampai merata, kemudian dielusi dengan
menggunakan larutan kloroform sebanyak 10
ml yang digunakan untuk mengekstraksi
senyawa metamfetamina dari darah, kemudian
diambil ekstrak darah dan dikeringkan pada
laminar air flow. Setelah kering kemudian
ekstrak darah dilarutkan kembali dengan
menggunakan larutan methanol sebanyak 100
µl.
Sampel darah yang dipreparasi kemudian
diinjeksikan ke alat GC-MS sebanyak 1 µl,
dengan menggunakan data luas area
kromatogram sampel dan persamaan garis
regresi senyawa standar, maka dapat
ditentukan kadar metamfetamina yang terdapat
pada sampel darah, untuk menentukan kadar
metamfetamina pada sampel darah diperlukan
standar MA, pemeriksaan standar MA meliputi
pemeriksaan pemerian, kelarutan serta uji
dengan menggunakan instrument Infrared
spektofotometer. Standar MA yang digunakan
berbentuk kristal berwarna putih dan tidak
berbau, titik leleh 1720C, larut dalamair, alkohol,
dan kloroformtetapi tidak larut dalameter. Maka
kristal metamfetamina yang dipakai telah
memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai
standar MA.
Kadar metamfetamina pada sampel darah
dianalisis dengan menggunakan metode GCMS, dimana ion-ion fragmentasi MA pada m/z
58 dan 91 yang dipilih karena memiliki
kelimpahan relative lebih tinggi dan spesifik,

Berdasarkan penelitian yang telah
dilaksanakan di Laboratorium Forensik Polri
Cabang Denpasar diperoleh hasil penelitian
sebagai berikut:
Tabel 1. Kadar metamfetaminadari hasil analisis
dengan GC-MS

Luas Area
Read time
( Rt)
Konsentrasi

A
459511
10,90

B
15452
3
10,97

12,8
ppm

5,64
ppm

Tidak
terdeteksi

PEMBAHASAN

HASIL

Sampel Darah

28,2
ppm

C
Tidak
terdeteksi
Tidak
terdeteksi
Tidak
terdeteksi

27

Chemistry Laboratory Juli Vol. 2 No. 1 2015
2% jika urine dalam keadaan basa (Putra,
2011).

sehingga diharapkan bisa meningkatkan
sensitivitas metode analisis. Optimasi
kromatografi gas spektofotometri massa
dilakukan dengan memilih sistem dan kondisi
yang sesuai sehingga diperoleh pemisahan
yang baik diantara senyawa-senyawa yang
dipisahkan. Komponen sistemkromatografi gas
terdiri dari gas pembawa, kolom, dan detector.
Kondisi yang dipilih meliputi suhu injector, suhu
kolom, suhu detector, dan kecepatan aliran gas
pembawa. Sistem dan kondisi kromatografi gas
yang digunakan berdasarkan pada penelitian
sebelumnya serta dengan memperhatikan sifat
fisik komponen yang dipisahkan (Putra, 2011).
Pembuktian hubungan linier antara
konsentrasi dan luas area dapat ditentukan
persamaan regresi dan kurva kalibrasi.
Berdasarkan data GC-MS secara kuantitatif
didapatkan data senyawa standar dengan
konsentrasi 25 ppm dengan luas area 319077,
50 ppm dengan luas area 1130990, dan 100
ppm dengan luas area 3424455 sehingga
didapatkan persamaan regresi linier y=42043x82765 dengan nilai regresi R2=0,993. Hal ini
menunjukkan bahwa secara analisis senyawa
metamfetamina dapat terdeteksi dengan nilai
ketepatan yang cukup tinggi. Sehingga,
diperoleh hasil analisis pada tiga orang
pengguna metamfetamina terdeteksi hanya 2
duaorang yang positif yaitu: pada sampel darah
A: 64ppm, sampel darah B: 28,2 ppm dan
sampel darah C: tidak terdeteksi, hal ini
kemungkinan terjadi karena jeda waktu
menggunakan obat tersebut (sudah lama tidak
menggunakan), faktor lama penggunaan MA,
pecandu kronis serta pengguna pemula,
konsentrasi MA pada sampel darah C sangat
kecil dibawah nilai limit deteksi atau karena
telah hilang saat proses ekstraksi, faktor
metabolisme dalam tubuh, faktor rute
perjalanan MA setelah dikonsumsi belum
sampai pada peredaran darah.
Senyawa metamfetamin (MA) dapat
terdeteksi dalam darah dengan kadar yang
kecil, walaupun pada urinnya sudah tidak
terdeteksi. Hal ini terjadi karena dalam waktu 24
jam setelah dikonsumsi maka sekitar 70% dosis
obat akan tereliminasi melalui ginjal dan
disekresikan dalam bentuk urine, dalam kondisi
normal lebih dari 43% dari dosis disekresikan,
tingkat ekskresi dan jumlah presentase sebagai
metabolit obat dalam bentuk tidak berubah
tergantung pada pH urine, akan bertambah jika
urine dalam keadaan asam dan akan berkurang

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah
dilaksanakan maka dapat disimpulkan bahwa
sampel darah A, B, dan C masing-masing
secara berurutan mengandung methampetamin
dalam satuan ppm adalah: 64,00; 28,2 dan
0,00.
Saran
Saran yang dapat disampaikan: perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
NAPZA dengan metode yang lain, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
NAPZA dengan mengambil sampel bagian
tubuh yang lain, perlu dilakukan pengawasan
lebih ketat dan berkesinambungan terhadap
NAPZA.
KEPUSTAKAAN
Arief, B.N., 2005. Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Asya, F., 2009. Narkotika dan Psikotropika.
Jakarta: Asa Mandiri.
Badan Narkotika Nasional, 2003a. Pedoman
Pencegahan
Penyalahgunaan
NARKOBA. Jakarta.
Badan Narkotika Nasional, 2004b. Pedoman
Pencegahan
Penyalahgunaan
NARKOBA. Jakarta.
Cody, J. T., 2000. Amphetamines. In: Maciej J
Bogusz. editors. Handbook of
Analytical Separations. Vol. 2.
Elsevier, 107
Darmono, 2006. Toksologi Narkoba danAlkohol
(Pengaruh
Neorotoksisitasnya
pada Saraf Otak). UIP. Jakarta:
Universitas Indonesia.
David G. W., 2005. Analisis Farmasi (Winny R.
Syarief, Pentj). Edisi kedua.
Jakarta: EGC

28

Dunika Ayu Ni Made, dkk: Analisis Kadar Metamfetamina pada…
Gritter, R. J., James, M. B. and Arthur E. S.,
1991. Pengantar Kromatografi.
(Kosasih, Penjt). Edisi kedua.
Bandung: ITB
Harian Umum Pelita. Kasus NARKOBA Banten
Masih Tinggi Edisi Rabu 1 Mei
2013. (online), (http://pelita.or.id.)
Hermanto, 2008. Aplikasi Alat HPTLC dan GCMS. Jakarta.
Kusno, A., 2009. Kebijakan Kriminal Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika Oleh Anak. Malang:
UMM Press.
Nair M.H. and Bonelli E. J., 1988. Dasar
Kromatografi Gas. (Kosasih, Penjt).
Bandung: ITB
Nendrosuwito, D., 1998. Petunjuk Pemeriksaan
Narkotika dan Psikotropika dengan
KLT dan KG. Jakarta: Depkes R.I
Notoatmojo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat
Ilmu dan Seni. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Padmohoedojo, P.G., 2003. Pencegahan
Penyalahgunaan
NARKOBA.
Jakarta:
Yayasan Research
Consultant Indonesia.
Pastika, M.M., dkk. 2008. Pencegahan
Penyalahgunaan NARKOBA Sejak
Usia Dini. Jakarta.
Putra,

N.W., 2011. Deteksi Senyawa
Metamfetamina (MA) Pada Rambut
Dengan Metode SIM GCMS.
Denpasar: UNUD

Puspitasari, C.D., 2005. Narkoba Ancaman
Bagi Generasi Muda. Yogyakarta.
Rohman, A., 2009. Kromatografi untuk Analisis
Obat. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wirasuta, M.A.G., 2008. Analisis Taksikologi
Forensik
dan
Interpretasi.
Lembaga Forensik Sains dan
Kriminologi Universitas Udayana

29

Dokumen yang terkait

Penentuan Komponen Propolis Dengan Metode Gas Chromatography-Mass Spectrometry(Gc-Ms)

11 105 122

Gambaran Kadar Glukosa Darah Lansia Puasa dan Dua Jam Sesudah Makan di Panti Jompo Dharma Asih Binjai

14 115 47

PENETAPAN KADAR RESIDU DIAZINON PADA BUAH STROBERI (Fragaria Sp.) SETELAH PENCUCIAN DENGAN Penetapan Kadar Residu Diazinon Pada Buah Stroberi (Fragaria Sp.) Setelah Pencucian Dengan Metode Gc-Ms.

0 0 11

PENDAHULUAN Penetapan Kadar Residu Diazinon Pada Buah Stroberi (Fragaria Sp.) Setelah Pencucian Dengan Metode Gc-Ms.

0 2 9

Daftar Pustaka Penetapan Kadar Residu Diazinon Pada Buah Stroberi (Fragaria Sp.) Setelah Pencucian Dengan Metode Gc-Ms.

0 1 4

PENETAPAN KADAR RESIDU DIAZINON PADA BUAH STROBERI (Fragaria Sp.) SETELAH PENCUCIAN DENGAN Penetapan Kadar Residu Diazinon Pada Buah Stroberi (Fragaria Sp.) Setelah Pencucian Dengan Metode Gc-Ms.

0 0 16

APLIKASI METODE GC-MS UNTUK PENETAPAN KADAR RESIDU PROFENOFOS PADA Aplikasi Metode Gc-Ms Untuk Penetapan Kadar Residu Profenofos Pada Buah Stroberi (Fragaria Sp.) Setelah Pencucian.

0 1 13

PENDAHULUAN Aplikasi Metode Gc-Ms Untuk Penetapan Kadar Residu Profenofos Pada Buah Stroberi (Fragaria Sp.) Setelah Pencucian.

1 6 7

APLIKASI METODE GC-MS UNTUK PENETAPAN KADAR RESIDU PROFENOFOS PADA BUAH STROBERI Aplikasi Metode Gc-Ms Untuk Penetapan Kadar Residu Profenofos Pada Buah Stroberi (Fragaria Sp.) Setelah Pencucian.

0 1 14

PENENTUAN METODE ANALISIS KOMPOSISI ASAM LEMAK DAN METIL ESTER PADA BIODIESEL DENGAN GC-MS TANPA METILASI

0 0 6