HUBUNGAN STRES PSIKOLOGIS TERHADAP SINDROM PRAMENSTRUASI (PMS) PADA MAHASISWI SEMESTER I PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

HUBUNGAN STRES PSIKOLOGIS TERHADAP PREVALENSI SINDROM
PRAMENSTRUASI (PMS) PADA MAHASISWI SEMESTER I PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
UDAYANA
Gusti Ayu Cyntia Sri Adityarini1, Susy Purnawati2
1. Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
2. Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abstrak. Sindrom pramenstruasi (PMS) dapat dipicu oleh beberapa hal, salah satunya
adalah stres psikologis. Salah satu populasi yang berisiko adalah mahasiswi kedokteran,
terutama yang baru memasuki tahun pertama. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara stres psikologis terhadap kejadian sindrom pramenstruasi.
Sampel (n=142) adalah seluruh mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter
(PSPD), Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pengambilan data menggunakan
metode kuesioner tertutup. Data dianalisis dengan uji korelasi non-parametrik Kendall’s
tau_b dan Spearman’s rho test. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara stres psikologis terhadap kejadian sindrom pramenstruasi (p=0.000)
dan adanya korelasi sedang yang positif (r=0.512) antara tingkat stres dengan severitas
dari PMS pada mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Kata kunci: Sindrom pramenstruasi, stres psikologis, mahasiswi semester 1 PSPD
CORRELATION BETWEEN PSYCHOLOGICAL STRESS AND

PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS) IN FIRST SEMESTER MEDICAL
STUDENT IN FACULTY OF MEDICINE, UDAYANA UNIVERSITY
Abstract. Premenstrual syndrome (PMS) could be triggered by several things, one of
them is psychological stress. One of the populations at risk is a medical student,
especially the first year medical student. The purpose of this study was to determine the
relationship between psychological stress and the prevalence of PMS. The sample (n =
142) is the entire first semester medical student in Faculty of Medicine, Udayana
University. The method of retrieval data is using closed questionnaires. Data were
analyzed by non-parametric correlation test non-parametric Kendall’s tau_b and
Spearman’s rho test. The results showed a significant relationship between
psychological stress on the prevalence of PMS (p=0.000) and moderate positive
correlation (r=0.512) between the degree of psychological stress and severity of PMS in
first semester medical student in Faculty of Medicine, Udayana University.
Keywords: Premenstrual syndrome, psychological stress, first semester medical student
Sindrom
premenstruasi
(PMS)
merupakan hal yang pernah dialami
oleh lebih dari 90% wanita (Balaha,
2010). Delapan sampai dua puluh

persen diantaraya bahkan mengalami
gejala yang berat sehingga memerlukan
pengobatan (Delara, 2012). Gejala yang
ditimbulkan dapat berupa gangguan

emosional maupun perubahan secara
fisik. PMS dapat dipicu atau diperberat
oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah stress (Forrester-Knauss, 2011;
Jahromi, 2011; Kathleen 2010).
Stress dapat terjadi secara fisik
maupun psikologis. Stress psikologis
dapat memiliki dampak yang serius baik
1

pada pikiran maupun tubuh seseorang.
Stress dapat mempengaruhi sistem
hormon
yang
nantinya

akan
mempengaruhi fungsi tubuh secara
keseluruhan (Kathleen, 2010; Doherty,
2009).
Salah satu populasi yang berisiko
cukup tinggi untuk mengalami stress
secara psikologis adalah mahasiswa
kedokteran, terutama yang baru
memasuki tahun pertama (Koochaki,
2011;
Mahajan,
2010).
Mereka
memerlukan kemampuan adaptasi yang
sangat baik terhadap segala tuntutan
sebagai seorang mahasiswa kedokteran.
Penelitian menyebutkan bahwa lebih
dari 50% mahasiswi, salah satunya
mahasiswi
kedokteran

mengalami
sindrom pramenstruasi mulai dari gejala
yang ringan sampai berat (Mahajan,
2010; Al-Dabal, 2009).
Di Bali terdapat dua universitas
yang memiliki fakultas kedokteran.
salah satu universitas tersebut adalah
Universitas Udayana. Di Fakultas
Kedokteran
Universitas
Udayana
jumlah mahasiswa putri cukup banyak.
Pada angkatan 2013, jumlah mahasiswi
hampir mencapai 70% dari total
mahasiswa satu angkatan. Namun,
hingga saat ini belum ditemukan
laporan penelitian mengenai hubungan
stres psikologis terhadap PMS pada
mahasiswa di Bali.


Gangguan
keseimbangan
hormon
estrogen
dan
progesteron
akan
menyebabkan retensi cairan dan natrium
yang berpotensi memicu timbulnya
sindrom
pramenstruasi
(Hendarto,
2011).
Gejala yang timbul pada seseorang
yang mengalami PMS dapat bermacammacam, mulai dari gejala yang ringan
hingga yang berat (Balaha,2010; Potter,
2009) Gejala gangguan mood atau
emosional dapat berupa perasaan
tertekan/ depresi, cepat marah, emosi
labil,

cepat
menangis,
cemas,
kebingungan,
ingin
menyendiri,
konsentrasi
menurun,
insomnia,
peningkatan keinginan untuk istirahat,
dan perubahan pada hasrat seksual.
Gejala perubahan atau gangguan fisik
dapat berupa peningkatan keinginan
untuk makan dan minum, payudara
mengeras, berat badan meningkat, sakit
kepala, bengkak pada ekstrimitas,
pusing, nyeri, cepat merasa lelah,
masalah pada kulit, gejala pada saluran
pencernaan, serta nyeri pada abdomen
(Delara, 2012; Hendarto, 2011;

Kathleen, 2010).
Untuk mendiagnosis seorang wanita
mengalami PMS, terdapat beberapa
kriteria yang harus dipenuhi. Salah satu
pedoman yang dapat digunakan adalah
pedoman kriteria diagnosis dari
American College of Obstetricians and
Gynecologist
(ACOG)
yang
menggabungkan kriteria dari National
Institute of Mental Health (NIMH)
dengan bukti dari penelitian pendukung
(Hendarto, 2011; Balaha, 2010;
Kathleen, 2010; Potter 2009). Kriteria
itu yakni:
a. Gejala gangguan emosional dan
fisik terjadi setidaknya 5 hari
sebelum periode awal menstruasi,
b. Didapatkan sedikitnya 5 gejala dan

terdapat setidaknya 1 gejala
gangguan emosional dan 1 gejala
gangguan fisik,

Sindrom Pramenstruasi (PMS)
Menurut Hendarto (2011), sindrom
pramenstruasi
(PMS)
merupakan
berbagai keluhan yang muncul sebelum
haid, yang terdiri dari keluhan gangguan
mood dan perubahan fisik. PMS
biasanya dimulai pada minggu terakhir
fase luteum (7-10 hari menjelang haid)
dan berakhir beberapa saat setelah haid.
Penyebab pasti dari sindrom ini belum
diketahui. Menurut dugaan terdapat
peranan
dari
hormon

estrogen,
progesteron, prolaktin, dan aldosteron.
2

Stress Psikologi dan Prevalensinya
pada Mahasiswi Kedokteran
Menurut Kaplan dan Sadock (2010),
stres psikologis merupakan reaksi
maladaptif jangka pendek terhadap
stresor psikososial. Respon maladaptif
ini bisa disebabkan karena adanya
gangguan dalam fungsi sosial atau
pekerjaan atau karena gejala atau
perilaku di luar respon normal atau
lazim yang diperkirakan terhadap
stresor tersebut. Berbagai hal dapat
berpengaruh pada proses munculnya
stres psikologis, baik itu faktor internal
maupun eksternal. Faktor internal dapat
meliputi

jenis
kelamin,
usia,
kepribadian, status pernikahan, level
edukasi, dan status pekerjaan. Faktor
eksternal dapat meliputi masalah
ekonomi,
lingkungan
keluarga,
lingkungan sekolah dan/atau pekerjaan,
lingkungan tempat tinggal, dan lain
sebagainya. Gangguan ini paling sering
didiagnosis pada remaja tetapi dapat
terjadi pada setiap usia. Rasio kejadian
stres antara wanita dan pria adalah 2
berbanding 1. Pada remaja, bentuk
pencetus yang paling sering adalah
masalah sekolah, penolakan orang tua,
perceraian
orang

tua,
dan
penyalahgunaan zat (Kaplan dan
Saddock, 2010; Doherty, 2009).
Stres secara psikologis dapat
dicetuskan oleh satu atau lebih stresor.
Respon stres melibatkan aktivasi sistem
saraf simpatis yang menyebabkan
peningkatan
pengeluaran
hormon
adrenalin dari bagian medulla kelenjar
adrenal. Selain itu stres baik kejadian
akut maupun stres yang berlangsung
terus-menerus akan mengaktifkan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal
(HPA)
yang menyebabkan pengeluaran dari
hormon kortisol. Respon ini berakibat
pada keterlibatan hipotalamus dan
pituitari pada beberapa siklus, salah
satunya siklus menstruasi (Kathleen
2010; Doherty, 2009).

c. Gejala berkurang selama 4 hari
periode menstruasi, dan menghilang
beberapa saat setelah periode
menstruasi,
d. Gejala tidak berulang setidaknya
sampai 13 hari setelah periode
menstruasi,
e. Tidak
disebabkan
karena
pengobatan, termasuk penggunaan
terapi dengan hormon, obat-obatan,
dan/ atau konsumsi alkohol,
f. Terjadi setidaknya pada dua siklus
menstruasi berturut-turut,
g. Berhubungan
dengan
laporan
subyektif
mengenai
adanya
gangguan.
Faktor yang menjadi pemicu
timbulnya sindrom pramenstruasi atau
faktor yang memperberat gejala
sindrom pramenstruasi dapat berasal
dari faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor-faktor tersebut antara lain usia
saat ini, usia saat menstruasi pertama,
fungsi fisik, status kesehatan, status
mental,
stres,
ada
tidaknya
dysmenorrhea, banyaknya darah yang
keluar
saat
menstruasi,
status
pernikahan, status pekerjaan, kebiasaan,
banyaknya aktivitas yang dilakukan,
serta fungsi sosial. Faktor pemicu PMS
yang sering dan hampir pernah dialami
oleh semua orang adalah stres (Delara,
2012; Forrester-Knauss ,2011; Jahromi,
2011; Kathleen, 2010; Potter 2009).
Menurut penelitian sebelumnya,
stres dapat mengakibatkan peningkatan
gejala yang signifikan dari sindrom
pramenstruasi
(Jahromi,
2011).
Mahasiswi merupakan salah satu
populasi
yang
berisiko
tinggi
mengalami PMS. Penelitian yang
dilakukan pada mahasiswa kedokteran,
menunjukkan bahwa lebih dari 50%
dari mahasiswa tersebut mengalami
gejala sindrom pramenstruasi (Sitwat,
2013; Balaha, 2010; Thu, 2006).

3

Hipotalamus akan merangsang
pelepasan Gonadotropin releasing
hormone (GnRH) yang menyebabkan
pembentukan dan pelepasan dari
leutinizing hormone (LH) dan follicle
stimulating hormone (FSH) dari
pituitari. Selanjutnya ovarium akan
melepaskan hormon estrogen dan
progesteron yang akan memberikan
efek pada tubuh, salah satunya pada
uterus. Kortisol yang dilepaskan saat
terjadinya stres dapat menghambat
pelepasan dari GnRH, LH, dan
estrogen.
Kortisol
juga
dapat
menurunkan sensitivitas target organ
pada estrogen. Proses inilah yang dapat
memicu dan memperberat gejala-gejala
dari PMS (Kathleen, 2010).
Stres psikologis dapat melibatkan
beberapa gejala seperti sering merasa
lelah, gelisah, cemas, putus asa,
tertekan/depresi, sering merasa sedih
dan sendiri. Derajat stres dapat diukur
dengan beberapa cara. Salah satu cara
mudah untuk mengukur derajat stres
seseorang adalah dengan menggunakan
The Kessler Psychological Distres Scale
(K10).
Seseorang
diberikan
10
pertanyaan mengenai gejala stres
psikologis yang umum terjadi kemudian
diberi skala 1 sampai 5 dan
dikatagorikan dari normal (skor < 20),
stres psikologis ringan (skor 20-24),
stres psikologis sedang (25-30), dan
stres psikologis berat (> 30). Pertanyaan
kuesioner
meliputi
gejala
stres
psikologis yang mungkin dialami
meliputi timbulnya rasa lelah yang tidak
jelas, perasaan gugup, perasaan gugup
yang tidak dapat ditenangkan, putus asa,
gelisah, tidak betah diam pada posisi
tertentu, tertekan, merasa bahwa segala
sesuatu adalah usaha keras, perasaan
sedih yang berat, dan merasa tidak
berharga (Koochaki 2011; Andrew,
2001).
Salah satu populasi yang terpapar
faktor stresor yang cukup berat adalah

mahasiswa
kedokteran,
terutama
mahasiswa kedokteran pada tahun
pertama. Penelitian yang dilakukan AlDabal, dkk (2010) di Damman, Saudi
Arabia menyebutkan bahwa angka
kejadian
stres
pada
mahasiswa
kedokteran lebih tinggi dibandingan
dengan mahasiswa jurusan lain.
Lingkungan sekitar yang baru, proses
belajar mengajar yang baru, serta materi
perkuliahan yang jauh lebih berat dari
sebelumnya akan memberikan tekanan
pada setiap mahasiswa kedokteran pada
tahun pertamanya (Koochaki, 2011;
Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010;
Dyrbye, 2005). Beberapa hal yang
memicu
stres
psikologis
mada
mahasisiwa kedokteran antara lain
kurikulum yang dinilai overload,
metode mengajar yang tidak dapat
diterima sepenuhnya, jumlah total
kegiatan yang diikuti mahasiswa,
ketakutan untuk gagal, lingkungan
belajar yang tidak kondusif di kampus,
kegagalan berinteraksi antar mahasiswa,
dan lingkungan belajar yang tidak
kondusif di daerah tempat tinggalnya
(Koochaki, 2011; Yusoff, 2011 dan
2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005).
Seorang calon dokter tidak hanya
dituntut untuk baik secara akademis
namun juga secara psikomotor dan
afektif. Tidak hanya dari sisi akademis,
mereka juga dituntut untuk dapat
bersosialisasi
dengan
mengikuti
beberapa kegiatan sosial penunjang.
Selain itu, mereka juga harus belajar
cara menghubungkan segala hal yang
telah mereka pelajari dan teknis
aplikasinya di lapangan. (Yusoff, 2011
dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye,
2005)
Semua stresor itu membutuhkan
proses adaptasi yang baik dari setiap
mahasiswa kedoteran tahun pertama.
Sebagian akan menganggap tekanan
tersebut sebagai motivasi sehingga tidak
jatuh pada fase stres, tetapi sebagian
4

yang tidak mampu beradaptasi akan
jatuh pada fase stres dimana mereka
akan merasakan hal-hal seperti merasa
tidak berkompeten, tidak berguna,
bodoh, marah, dan merasa bersalah,
cemas, gelisah, dan perasaan ingin
menyendiri (Koorchaki, 2011; Dyrbye,
2005). Keadaan stres secara psikologis
ini dapat berlangsung secara akut
maupun tetap persisten selama masa
perkuliahan. Jika tidak mendapatkan
penanganan yang memadai, keadaan ini
akan memberikan efek yang tidak baik
bahkan serius baik pada status fisik
maupun mental mahasiswa tersebut.
(Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan,
2010; Dyrbye, 2005).

diperoleh melalui kuesioner. Kuesioner
bersifat tertutup dan terbagi menjadi 3
jenis. yang terdiri dari 10 pertanyaan
checklist, 18 pertanyaan rating scale,
dan 5 pertanyaan dengan jawaban
dikotomi
“Ya”
dan
“Tidak”.
Pengukuran variabel bebas dan variabel
tergantung dilakukan dalam waktu yang
bersamaan.
Pengumpulan data terkait variabel
bebas
yaitu
keadaan
psikologis
mahasiswi semester I PSPD terletak
pada bagian depan kuesioner. Kuesioner
yang digunakan adalah kuesioner The
Kessler Psychological Distres Scale
(K10). Setiap pertanyaan diberi nilai 1
sampai 5. Jenis data yang akan
diperoleh dari variabel bebas ini adalah
jenis data numerik yang kemudian
peneliti ubah ke dalam skala ordinal.
Selanjutnya hasil akan dikategorikan
dalam 4 katagori yaitu tidak mengalami
stres psikologis (skor 30) (Andrew, 2001).
Pengumpulan data terkait variabel
tergantung yaitu sindrom pramenstruasi
pada mahasiswi semester I PSPD juga
diukur dengan menggunakan kuesioner
yang terletak pada halaman berikutnya.
Setiap pertanyaan diberi nilai 0 sampai
4. Jenis data yang akan diperoleh dari
kuesioner adalah jenis numerik yang
kemudian peneliti ubah ke dalam skala
ordinal. Hasil dikategorikan dalam 4
katagori yaitu tidak mengalami PMS
(skor 0-5), mengalami stres PMS ringan
(skor 6-15), mengalami PMS sedang
(skor 16-25), dan mengalami PMS
berat (skor > 25).

Metode
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi
cross-sectional analitik untuk menilai
ada tidaknya hubungan antara stres
psikologis dengan prevalensi sindrom
pramenstruasi pada mahasiswi semester
I program studi pendidikan dokter
(PSPD)
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Udayana.
Pembagian
dilakukan bedasarkan derajat stres dan
derajat sindrom pramenstruasi (Alatas
dkk, 2011).
Populasi dan Sampel
Populasi terjangkau pada penelitian ini
adalah mahasiswi semester I angkatan
2013 PSPD Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana yang berasal dari
Indonesia sebanyak 150 orang yang
terbagi dalam dua kelas, yaitu kelas A
dan kelas B. Sampel yang diambil
adalah keseluruhan dari populasi
terjangkau. Penelitian dihentikan ketika
kuota yang diinginkan telah dicapai
pada tiap-tiap kelas.

Hipotesis:
Hipotesis 1: terdapat hubungan yang
sigifikan antara stres psikologis dan
prevalensi
sindrom
pramenstruasi
(PMS) pada mahasiswi semester I

Alat Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, jenis data
yang diuji adalah data primer yang
5

Test, Uji homogenitas varian dengan
Lavene test. Untuk uji hipotesis, akan
dilakukan uji korelasi non-parametric
Kendall tau_b test dan Spearman’s rho
test (Tumbelaka dkk, 2011).

PSPD, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
Hipotesis 2: terdapat pengaruh derajat
stress psikologis dengan severitas
sindrom pramenstruasi (PMS) pada
mahasiswi semester I PSPD Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana

Hasil
Karakteristik Sampel
Sampel penelitian awal berjumlah
150, tetapi 8 sampel mengalami drop
out karena tidak mengisi kuesioner
dengan lengkap sehingga total sampel
valid berjumlah 142 sampel. Berikut ini
adalah data sampel yang terdiri atas usia
dan jumlah kegiatan, tingkat stres
psikologis, dan severitas PMS.

Analisis Data
Peneliti menggunakan program
komputer SPSS (Statistical Package for
Social Sciences) versi 16.0 untuk
menganalisis
data
yang
telah
dikumpulkan. Analisis data meliputi
analisis deskriptif karakteristik sampel,
uji
normalitas
dengan
teknik
Kolmogorov–Smirnov Goodnessof Fit

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jumlah Kegiatan,
Stres Psikologis, dan PMS
Jumlah
Persentase
Rerata
Simpang Baku
(n)
(%)
17,92
0,40
Usia
1
0,7%
16
14
9,9%
17
122
85,9%
18
5
3,5%
19
1,64
0,66
Jumlah Kegiatan
64
45,1%
1
66
46,5%
2
11
7,7%
3
1
0,7%
4
2,12
0.86
Stres Psikologis
37
26,1%
Normal
105
73,9%
Tidak Normal
59
41,5%
Ringan
38
26,8%
Sedang
8
5,6%
Berat
2,31
1,02
PMS
38
26,8%
Normal
104
73,2%
Tidak Normal
43
30,3%
Ringan
40
28,1%
Sedang
21
14,8%
Berat
Tabel di atas menunjukkan sebagian
besar sampel berusia 16 tahun dan
mayoritas mengikuti 1 sampai 2

kegiatan. Prevalensi stres psikologis
pada mahasiswi semester I PSPD
Fakultas
Kedokteran
Universitas
6

Hasil Penelitian
Analisis data berupa tabulasi silang
dilakukan untuk mengetahui gambaran
severitas PMS berdasarkan tingkat stres
psikologis. Kemudian dilakukan uji
korelasi non-parametrik Kendall tau_b
test dan Spearman’s rho test untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan
antar variabel.

Udayana adalah 73,9%. Prevalensi PMS
pada mahasiswi semester I PSPD
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Udayana adalah 73,2%. Derajat stres
psikologis yang paling banyak dialami
oleh mahasiswi adalah stres psikologis
ringan dan derajat PMS yang paling
banyak dialami mahasiswi adalah PMS
ringan.

Tabel 2. Tabulasi Silang Derajat Stres dan Derajat PMS
Stres
Psikologis

Normal
Ringan
Sedang
Berat

Total
%

Normal
20
54,1%
14
23,7%
4
10,5%
0
0%
38
26,8%

PMS
Ringan
Sedang
13
4
35,1%
10,8%
25
16
42,4%
27,1%
4
18
10,5%
47,4%
1
2
12,5%
25,0%
43
40
30,3%
28,2%

Tabel di atas memberikan gambaran
bahwa severitas PMS berbanding lurus
dengan tingkat stres psikologis yang
dialami oleh mahasiswi semester I
PSPD Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Hal ini ditunjukkan oleh hasil
tabulasi silang dimana pada mahasiswi
yang tidak mengalami stres psikologis
sebagian besar (54,1%) juga tidak
mengalami PMS. Pada mahasiswi yang
mengalami stres psikologis ringan,
sebagian besar (42,4%) mengalami
PMS ringan. Pada mahasiswi yang
mengalami stres psikologis sedang,
47,4% diantaranya mengalami PMS

Berat
0
0%
4
6,8%
12
31,6%
5
62,5%
21
14.8%

Total
%
37
26,1%
59
41,5%
38
28,8%
8
5,6%
142
100%

sedang. Serta pada mahasiswi yang
mengalami stes psikologis berat, 62,5%
diantaranya juga mengalami PMS berat.
Hasil uji normalitas (p=0,000)
menunjukkan distribusi data penelitian
tidak normal (p0,05). Karena
distribusi data yang tidak normal, maka
uji hipotesis menggunakan uji korelasi
non-parametrik. Berikut ini adalah
perbandingan hasil uji korelasi nonparametrik Kendall Tau_B Test dan
Spearman’s Rho Test.

Tabel 3. Perbandingan Uji Korelasi Non-Parametrik Kendall Tau_B Test dan
Spearman’s Rho Test.
PMS
R
p value
Jenis test
0.512
0.000
Kendall’s tau_b
Stress
0.579
0.000
Spearman’s rho
Psikologis
*Catatan: Korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed)
7

dan prevalensi PMS dan premenstrual
dysphoric disorder (PMDD). Penelitian
tersebut menunjukkan hasil yang
signifikan
bahwa
stres
dapat
memperburuk PMS yang dialami oleh
wanita.
Tingginya
prevalensi
stres
psikologis dan sindrom pramenstruasi
pada
mahasiswi
kedokteran
ini
memerlukan perhatian khusus dan
penanganan yang baik dari pihak
keluarga, pihak fakultas, dan tenaga
kesehatan. Di lingkungan rumah,
keluarga perlu memberikan perhatian
lebih
dan
mencoba
mencari
penyelesaian terhadap masalah-masalah
yang mungkin dialami oleh anak
tersebut. Dari pihak fakultas, dosen
pembimbing
akademik
perlu
memberikan perhatian yang lebih
terhadap seluruh mahasiswa, utamanya
yang menunjukkan tanda-tanda stres
psikologis. Dari pihak tenaga medis,
diperlukan perhatian khusus mengenai
kemungkinan penyebab stres psikologis
dan PMS serta penanganan yang
dilakukan terutama jika hal tersebut
sampai mengganggu aktivitas seharihari.
Walaupun peneliti telah memilih
sampel yang hampir homogen secara
umur, jenis kelamin, tingkatan dalam
pendidikan, serta bedasarkan jumlah
kegiatan yang saat ini diikuti, namun
masih terdapat keterbatasan pada
penelitian ini. Masih terdapat beberapa
variabel perancu yang tidak diteliti dan
dapat menjadi penyebab PMS. Variabel
perancu itu antara lain status kesehatan,
kepribadian subyek, status sosial dan
ekonomi keluarga, keadaan lingkungan
tempat tinggal, keadaan lingkungan
kampus, beban belajar yang dirasakan
tiap mahasiswi, serta kegagalan
interaksi antar mahasiswa yang
mungkin terjadi. Variabel perancu
tersebut dapat saja menjadi faktor bias
dari hasil penelitian ini, walaupun hasil

Pembahasan
Hasil tabulasi silang, menunjukkan
bahwa hanya 37% dari seluruh sampel
yang tidak mengalami stres psikologis
dan hanya 26,8% dari keseluruhan
sampel yang tidak mengalami PMS.
Data tersebut menunjukkan kejadian
stres psikologis dan PMS pada
mahasiswi semester I PSPD Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana tinggi
(>60%), terlepas dari ada tidaknya
korelasi antara stres psikologis dengan
kejadian PMS. Hasil yang sama juga
diperoleh dari penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Balaha dkk (2010)
yang menunjukkan hasil 89% dari
sampel
mahasiswi
kedokteran
mengalami PMS. Penelitian yang
dilakukan oleh Yusoff dkk (2010) juga
menunjukkan bahwa hampir 72% dari
mahasiswa kedokteran mengalami stres
psikologis, dimana 62,3% diantaranya
adalah wanita.
Selanjutnya dari hasil uji hipotesis
data, diperoleh r=0,512 pada Kendall’s
tau_b test dan r=0,579 pada Spearman’s
rho test. Hasil tersebut menunjukkan
adanya korelasi sedang (r= 0,3-0,6)
yang mendekati ke arah kuat antara
stres psikologis dengan PMS. r yang
bernilai positif menunjukkan ada
hubungan antara peningkatan derajat
stres dengan peningkatan severitas dari
PMS. Jadi, semakin tinggi derajat stres
maka peluang untuk mengalami PMS
yang lebih berat juga makin besar. p
value
sebesar
0,000
(p 25).

Metode
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi
cross-sectional analitik untuk menilai
ada tidaknya hubungan antara stres
psikologis dengan prevalensi sindrom
pramenstruasi pada mahasiswi semester
I program studi pendidikan dokter
(PSPD)
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Udayana.
Pembagian
dilakukan bedasarkan derajat stres dan
derajat sindrom pramenstruasi (Alatas
dkk, 2011).
Populasi dan Sampel
Populasi terjangkau pada penelitian ini
adalah mahasiswi semester I angkatan
2013 PSPD Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana yang berasal dari
Indonesia sebanyak 150 orang yang
terbagi dalam dua kelas, yaitu kelas A
dan kelas B. Sampel yang diambil
adalah keseluruhan dari populasi
terjangkau. Penelitian dihentikan ketika
kuota yang diinginkan telah dicapai
pada tiap-tiap kelas.

Hipotesis:
Hipotesis 1: terdapat hubungan yang
sigifikan antara stres psikologis dan
prevalensi
sindrom
pramenstruasi
(PMS) pada mahasiswi semester I

Alat Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, jenis data
yang diuji adalah data primer yang
5

Test, Uji homogenitas varian dengan
Lavene test. Untuk uji hipotesis, akan
dilakukan uji korelasi non-parametric
Kendall tau_b test dan Spearman’s rho
test (Tumbelaka dkk, 2011).

PSPD, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
Hipotesis 2: terdapat pengaruh derajat
stress psikologis dengan severitas
sindrom pramenstruasi (PMS) pada
mahasiswi semester I PSPD Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana

Hasil
Karakteristik Sampel
Sampel penelitian awal berjumlah
150, tetapi 8 sampel mengalami drop
out karena tidak mengisi kuesioner
dengan lengkap sehingga total sampel
valid berjumlah 142 sampel. Berikut ini
adalah data sampel yang terdiri atas usia
dan jumlah kegiatan, tingkat stres
psikologis, dan severitas PMS.

Analisis Data
Peneliti menggunakan program
komputer SPSS (Statistical Package for
Social Sciences) versi 16.0 untuk
menganalisis
data
yang
telah
dikumpulkan. Analisis data meliputi
analisis deskriptif karakteristik sampel,
uji
normalitas
dengan
teknik
Kolmogorov–Smirnov Goodnessof Fit

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jumlah Kegiatan,
Stres Psikologis, dan PMS
Jumlah
Persentase
Rerata
Simpang Baku
(n)
(%)
17,92
0,40
Usia
1
0,7%
16
14
9,9%
17
122
85,9%
18
5
3,5%
19
1,64
0,66
Jumlah Kegiatan
64
45,1%
1
66
46,5%
2
11
7,7%
3
1
0,7%
4
2,12
0.86
Stres Psikologis
37
26,1%
Normal
105
73,9%
Tidak Normal
59
41,5%
Ringan
38
26,8%
Sedang
8
5,6%
Berat
2,31
1,02
PMS
38
26,8%
Normal
104
73,2%
Tidak Normal
43
30,3%
Ringan
40
28,1%
Sedang
21
14,8%
Berat
Tabel di atas menunjukkan sebagian
besar sampel berusia 16 tahun dan
mayoritas mengikuti 1 sampai 2

kegiatan. Prevalensi stres psikologis
pada mahasiswi semester I PSPD
Fakultas
Kedokteran
Universitas
6

Hasil Penelitian
Analisis data berupa tabulasi silang
dilakukan untuk mengetahui gambaran
severitas PMS berdasarkan tingkat stres
psikologis. Kemudian dilakukan uji
korelasi non-parametrik Kendall tau_b
test dan Spearman’s rho test untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan
antar variabel.

Udayana adalah 73,9%. Prevalensi PMS
pada mahasiswi semester I PSPD
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Udayana adalah 73,2%. Derajat stres
psikologis yang paling banyak dialami
oleh mahasiswi adalah stres psikologis
ringan dan derajat PMS yang paling
banyak dialami mahasiswi adalah PMS
ringan.

Tabel 2. Tabulasi Silang Derajat Stres dan Derajat PMS
Stres
Psikologis

Normal
Ringan
Sedang
Berat

Total
%

Normal
20
54,1%
14
23,7%
4
10,5%
0
0%
38
26,8%

PMS
Ringan
Sedang
13
4
35,1%
10,8%
25
16
42,4%
27,1%
4
18
10,5%
47,4%
1
2
12,5%
25,0%
43
40
30,3%
28,2%

Tabel di atas memberikan gambaran
bahwa severitas PMS berbanding lurus
dengan tingkat stres psikologis yang
dialami oleh mahasiswi semester I
PSPD Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Hal ini ditunjukkan oleh hasil
tabulasi silang dimana pada mahasiswi
yang tidak mengalami stres psikologis
sebagian besar (54,1%) juga tidak
mengalami PMS. Pada mahasiswi yang
mengalami stres psikologis ringan,
sebagian besar (42,4%) mengalami
PMS ringan. Pada mahasiswi yang
mengalami stres psikologis sedang,
47,4% diantaranya mengalami PMS

Berat
0
0%
4
6,8%
12
31,6%
5
62,5%
21
14.8%

Total
%
37
26,1%
59
41,5%
38
28,8%
8
5,6%
142
100%

sedang. Serta pada mahasiswi yang
mengalami stes psikologis berat, 62,5%
diantaranya juga mengalami PMS berat.
Hasil uji normalitas (p=0,000)
menunjukkan distribusi data penelitian
tidak normal (p0,05). Karena
distribusi data yang tidak normal, maka
uji hipotesis menggunakan uji korelasi
non-parametrik. Berikut ini adalah
perbandingan hasil uji korelasi nonparametrik Kendall Tau_B Test dan
Spearman’s Rho Test.

Tabel 3. Perbandingan Uji Korelasi Non-Parametrik Kendall Tau_B Test dan
Spearman’s Rho Test.
PMS
R
p value
Jenis test
0.512
0.000
Kendall’s tau_b
Stress
0.579
0.000
Spearman’s rho
Psikologis
*Catatan: Korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed)
7

dan prevalensi PMS dan premenstrual
dysphoric disorder (PMDD). Penelitian
tersebut menunjukkan hasil yang
signifikan
bahwa
stres
dapat
memperburuk PMS yang dialami oleh
wanita.
Tingginya
prevalensi
stres
psikologis dan sindrom pramenstruasi
pada
mahasiswi
kedokteran
ini
memerlukan perhatian khusus dan
penanganan yang baik dari pihak
keluarga, pihak fakultas, dan tenaga
kesehatan. Di lingkungan rumah,
keluarga perlu memberikan perhatian
lebih
dan
mencoba
mencari
penyelesaian terhadap masalah-masalah
yang mungkin dialami oleh anak
tersebut. Dari pihak fakultas, dosen
pembimbing
akademik
perlu
memberikan perhatian yang lebih
terhadap seluruh mahasiswa, utamanya
yang menunjukkan tanda-tanda stres
psikologis. Dari pihak tenaga medis,
diperlukan perhatian khusus mengenai
kemungkinan penyebab stres psikologis
dan PMS serta penanganan yang
dilakukan terutama jika hal tersebut
sampai mengganggu aktivitas seharihari.
Walaupun peneliti telah memilih
sampel yang hampir homogen secara
umur, jenis kelamin, tingkatan dalam
pendidikan, serta bedasarkan jumlah
kegiatan yang saat ini diikuti, namun
masih terdapat keterbatasan pada
penelitian ini. Masih terdapat beberapa
variabel perancu yang tidak diteliti dan
dapat menjadi penyebab PMS. Variabel
perancu itu antara lain status kesehatan,
kepribadian subyek, status sosial dan
ekonomi keluarga, keadaan lingkungan
tempat tinggal, keadaan lingkungan
kampus, beban belajar yang dirasakan
tiap mahasiswi, serta kegagalan
interaksi antar mahasiswa yang
mungkin terjadi. Variabel perancu
tersebut dapat saja menjadi faktor bias
dari hasil penelitian ini, walaupun hasil

Pembahasan
Hasil tabulasi silang, menunjukkan
bahwa hanya 37% dari seluruh sampel
yang tidak mengalami stres psikologis
dan hanya 26,8% dari keseluruhan
sampel yang tida