POSISI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1989 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 (Studi Kebijakan Nasional tentang Pendidikan Agama di Indonesia dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 - Test R

  

POSISI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1989 DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003

(Studi Kebijakan Nasional tentang Pendidikan Agama

di Indonesia dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989

dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003

  

S K R IP S I

Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Saijana Strata I

  

Dalam Ilmu Tarbiyah

M A R S O N O

NIM : 121 04 006

  

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

  

2008 DEPARTEMEN A G A M A RI SEKOLAH T IN G G I A G A M A ISLAM NEGERI (ST A IN ) SA LA TIG A

  Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706 323433 Salatiga 50721 ,

  Website : Dr. H. Muh. Saerozi, M.Ag DOSEN STAIN SALATIGA

NOTA PEMBIMBING

  Lamp : 3 eksemplar Hal : Naskah skripsi

  Saudara MARSONO Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga di Salatiga

  Assalamu'alaikum. Wr. Wb.

  Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara : Nama : MARSONO NIM : 121 04 006 Jurusan / Progdi : Tarbiyah / Pendidikan Agama Islam Judul : PENDIDIKAN AGAMA

  ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN

  NASIONAL (Studi Kebijakan Nasional tentang Pendidikan Agama dalam Undang-Undang No. 2

  Tahun 1989 dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003)

  Dengan ini kami mohon skripsi Saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian.

  Wassalamu'alaikum, Wr. Wb.

  Salatiga, 16 Agustus 2008 Pembimbing

  Dr. H. Muh. Saerozi, M.Ag NIP. 150 247 014 DEKLARASI

  Bismillahirohmanirohim

  Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penyusun menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi mareri yang pernah ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran oring lain, kecuali informasi yang dijadikan bahan rujukan.

  Apabila di kemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran orang lain di luar referensi yang peneliti cantumkan, maka penaliti sanggup mempertanggungjawabkan kembali keaslian skripsi ini dihadapan sidang munaqosyah skripsi.

  Demikian deklarasi ini dibuat oleh peneliti untuk dapat dimaklumi.

  Salatiga, 14 Agustus 2008 Penyusun

  Marsono 12104006 PENGESAHAN Skripsi saudara : Marsono dengan Nomor Induk Mahasiswa : 121 04 006 berjudul : POSISI PENDIDIKAN AGAMA

  ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR

  2 TAHUN 1989 DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003

  (Studi Kebijakan Nasional Tentang Pendidikan Agama Di Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dan Undang-Undang

  Nomor 20 Tahun 2003) Telah dimunaqasyahkan dalam Sidang Panitia Ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga pada hari : Selasa tanggal 16 September 2008 M dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Tarbiyah.

  Salatiga, 20 September 2008 Panitia Ujian

  Sekretaris Sidang Dr.H. Muti. Saerozi.M. Ag

  NIP. 150 247 014 Penguji I!

  Fatcteurrohman M. Pd Yedi Efriedi

  N/P. 150 303 024 NIP. 150 318 023 m

  KATA PENGANTAR Dengan ucapan Alhamdulillah, sebagai rasa syukur kepada Allah

  SWT penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi, walaupun isinya belum sempurna.

  Penulisan bertujuan untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam POSISI PENDIDIKAN AGAMA

  ISLAM UNDANG- UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (STUDI KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG PENDIDIKAN AGAMA

  ISLAM DI

  INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1989 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003).

  . Sehubungan dengan terselesaikannya penulisan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak, terutama yang telah membantu dalam proses studi dan penulisan skripsi in i: 1. Drs. Imam Sutomo M.Ag, selaku Ketua STAIN Salatiga.

  2. Dr.H.M. Saerozi M.Ag selaku Pembantu Ketua Bidang Akademik STAIN Salatiga dan juga selaku pembimbing penulisan skripsi ini.

  3. Miftahuddin M.Ag selaku Pembimbing Akademik.

  4. Dosen dan staf akademik Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.

  

IV

  5. Seluruh keluarga yang telah memberi dukungan moril dan meteriil.

  6. Kawan-kawan Racana Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi STAIN Salatiga.

  7. Dan pihak-pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

  Semoga Allah SWT memberikan balasan yang melimpah kepada semua pihak yang telah membantu penulisan.

  Penulis berharap apabila dalam penulisan dan penyusunan skripsi kurang memenuhi syarat, pembaca hendaknya memberikan saran maupun kritik yang membangun ke arah perbaikan dan penyempurnaan. Akhirnya hanya ucapan terima kasih yang dapat penulis haturkan kepada semua pihak yang telah ikut membantu sehingga dapat menyelesaikannya.

  Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya serta berguna bagi pengembangan dakwah Islamiyah, Amin.

  Salatiga, 16 Agustus 2008 Penulis

  MARSONO v MOTTO Segala sesuatu itu pasti berubah, tidak ada yang tetap kecuali perubahan - itu sendiri.

  Tidak ada orang yang tidak bisa kecuali orang yang tidak mau. - Segala sesuatu itu akan berbuah sesuai dengan usahanya, bila tidak ada - kepercayaan akan manfaat sesuatu tersebut niscaya sesuatu itu akan bermanfaat.

  vi

  YAOZZO

Aliah akan m engangkaT d e r a ja t

orang'-orang yan g berilm u

  

T olok ukur m asyaraksT m adan i

adalah p e r a d a b a n d a n T olok ukur

p e r a d a b a n adalah p en d id ik a n .

  PERSEMBAHAN

  

Dengan rasa syukur kepada Allah SWT saya persembahkan skripsi ini kepada:

  1. Almamater Stain Salatiga

  2. Bapak dan ibu tercinta

  3. Kakak dan adik tersayang

  4. Teman-teman Racana Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi 5. Serta rekan-rekan yang telah membantu dalam punulisan skripsi ini.

  

DAFTAR ISI

  Halaman

  BAB I PENDAHULUAN

  

  

  

  

  

  

   BAB II KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1989

  

   viii

  C. Perbedaan Posisi Lembaga Pendidikan Agama Islam Dan

   D. Posisi Lembaga Pendidikan Agama Islam Dalam Peraturan

   E. Posisi Lembaga Pendidikan Agama Islam Dalam Peraturan

   BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003

  

  

  

   BAB IV IMPLIKASI DARI PERUBAHAN POSISI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20

  TAHUN 2003

   B. implikasi perubahan posisi pendidikan agama islam dari UU SISDIKNAS nomor 2 tahun 1989 dan UU SISDIKNAS

  

  

  • ix

  BAB V PENUTUP A. Penutup.

  41 x

  1 B A B I

  

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

  Sejak tahun pelajaran 1950 sampai dengan 1989 pendidikan dan pengajaran di sekolah di seluruh Indonesia diselenggarakan atas dasar pengumuman bersama antara Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat dan Perdana Menteri Republik Indonesia tentang penyelenggaraan pendidikan bersama. Intisari pengumuman bersama itu tetap mengacu pada pokok-pokok dari Undang-undang Nomor 4 tahun 1950 Republik Indonesia dahulu. Undang-undang tersebut dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk seluruh daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Pembangunan dan modernisasi bangsa Indonesia ju g a dihadapkan secara langsung dengan masalah pendidikan. Bertitik tolak dari amanat Undang- Undang Dasar 1945 bahwa pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pada tahun 1989 lahir undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Pendidikan agama yang merupakan bagian dari pendidikan nasional masih kurang mendapatkan perhatian dari pemerintahan pada waktu itu.

  Pendidikan agama Islam yang termaktub dalam undang-undang nomor 4 tahun 1950 dan undang-undang nomor 2 tahun 1989 mengalami perubahan posisi. Pada tahun 1950 pendidikan agama Islam untuk sekolah formal belum

  2 disebutkan dengan jelas (atau lebih dikenal dengan sebutan sekolah partikulir).

  Sedang pada tahun 1989 sudah termaktub meskipun belum secara rinci dengan hanya disebutkan pendidikan keagamaan saja. Pada tahun 2003 pendidikan Islam semakin mendapat pengakuan lebih dari pemerintah dengan disahkanya undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003. Hal itu ditandai penyebutan secara spesifik tentang pendidikan Islam mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, M adrasah Tsanawiyah dan M adrasah Aliyah. Dengan penyebutan secara spesifik akan mempengaruhi hak dan kewajiban pendidikan Islam terhadap pendidikan nasional. Terhadap adanya perubahan-perubahan tersebut, penulis merasa perlu mengkajinya secara komparatif.

B. FOKUS PENELITIAN

  Untuk menghindari dari kesalahpahaman dalam skripsi maka penulis membatasi beberapa istilah. Adapun adapun istilah-istilah itu sebagai berikut: a. Pendidikan agama Islam

  Pendidikan agama Islam di sini dimaksudkan sebagai bidang studi di sekolah.

  b. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Ketentuan peraturan yang disusun oleh pemerintah yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan unsur-unsur terkait. Aturan-aturan yang dibuat penguasa untuk dipatuhi oleh masyarakat.1 Peraturan ini membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan nasional.

1 Em Zul Fajri, Ratu Aprilia Senja, K am us Lengkap B ahasa Indonesia, Jakarta, Difa

  3

C. RUMUSAN MASALAH

  Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penulis dapat mengambil permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimana posisi pendidikan Islam menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 2 tahun 1989?

  2. Bagaimana posisi pendidikan Isiam menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003?

  3. Apa latar belakang sosial politik pendidikan Islam dalam undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 2 tahun 1989 dan nomor 20 tahun 2003?

D. TUJUAN PENELITIAN

  1. Untuk mengetahui posisi pendidikan Islam menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 2 tahun 1989.

  2. Untuk mengetahui posisi pendidikan Islam menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003.

  3. Untuk mengetahui latar belakang sosial politik dari perbedaan posisi pendidikan Islam menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 2 tahun 1989 dan nomor 20 tahun 2003.

E. MANFAAT PENELITIAN

  Diharapkan dapat berguna bagi penulis untuk menambah keilmuan tentang sejarah pendidikan Isiam di Indonesia dan menambah khasanah keilmuan tentang pendidikan Islam dan memberikan sumbangan kepustakaan.

  4

F. METODE PENELITIAN

  Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi sebagai berikut:

  1. Jenis Penelitian Dalam membahas beberapa permasalahan dalam penulisan skripsi ini maka penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan macam-macam materi dari berbagai lembar pustaka, misalnya berupa : buku-buku, majalah, catatan, naskah, dokumen-dokumen dan lain- lain.2

  2. Sumber Data Adapun sumber data dalam penulisan ini dapat digolongkan menjadi dua macam.

  a. Sumber Data Primer Yaitu hasil-hasil atau tulisan karya penelitian teoritik dan orisinil.

  Sumber data ini merupakan di skripsi langsung tetang kenyataan yang dibuat individu yang mengemukakan teori pertama kali.3 Dalam penulisan ini sebagai sumber primer adalah undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 2 tahun 1989 dan undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003.

  2 Kartini Kartono, Pengantar M etodologi Riset Sosial, Bandung, Mandar Maju, 1990, him.

  33.

  3 Ibnu Hajar, Dasar-Dasar M etodologi Penelitian K ualitatif dalam Pendidikan, Jakarta Raja Grafinda, 1996, him. 83.

  5 b. Sumber Data Sekunder

  Dalam pengambilan data sekunder ini dimaksudkan adalah bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan secara tidak langsung atau di diskripsikan bukan penemu teori.” Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah karangan ilmiah, majalah, artikel, internet yang isinya dapat dijadikan bahan pelengkap dalam penulisan ini.

  3. Metode Analisis Data ...

  a. Metode Analisis Ialah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan jalan mengadakan perincian terhadap objek yang diteliti atau cara pengamatan terhadap objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian lain untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya.*

  5 Peneliti mengamati dan membandingkan informasi yang didapat dari objek penelitian satu dengan yang lainya. Objek penelitian meliputi dokumen undang-undang dan literatur pendukung yang lain.

  b. Metode Sintesis Adalah jalan yang dicapai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan cara mengumpulkan atau menggabungkan.6 Penelitian dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan informasi melalui literatur-literatur pendukung.

  • Ibid, him. 84.

  5 Sudarto, op. cit, him. 59.

  6 Ibid, him. 61.

  6

  4. Metode Hermeneutik Secara epistomologi, kata hermeneutic berasal dari bahasa yunani

  hermeneuein yang berarti menafsirkan kata pembeda hermeneia, secara

  harfiyah dapat diartikan “ penafsiran” atau interpretasi, sedangkan orang yang menafsirkan disebut hermeneut.1 Metode digunakan dengan membuat tafsiran undang-undang dari susunan kata sampai pada susunan penempatan pada undang-uadang.

  Dengan demikian hermeneutic pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.

  Hermeneutik sebagai suatu metode diartikan simbol yang berupa teks atau benda kongkrit untuk dicari arti atau maknanya. Metode hermeneutik ini mengisyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

  Dalam sistem penulisan skripsi ini penulis dapat membahas beberapa bab yang berkaitan dengan penulisan ini yang berisi: BAB I akan membahas mengenai pendahuluan yang berisi: latar belakang masalah, fokus penelitian, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika pembahasan.

  BAB II membahas posisi pendidikan Islam sesuai dengan undang-undang nomor 2 tahun 1989. 7

7 Ib id , him. 83.

  7

  BAB III membahas pendidikan Islam sesuai dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003. BAB IV membahas implikasi dari perubahan posisi pendidikan Islam sesuai dengan undang-undang nomor 2 tahun 1989 dan undang-undang nomor 20 tahun 2003.

  BAB V penutup, kesimpulan dan daftar pustaka.

  8

  BAB n

KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MENURUT UNDANG-UNDANG NOM OR 2 TAHUN 1989

  A. Keadaan Sosial dan Politik Setelah jatuhnya orde lama, orde baru tumbuh sebagai penggantinya.

  Pada masa ini, setiap orang yang berseberangan politik dan idiologi dengan pemerintah akan mendapatkan stigma sebagai komunis.

  Orang-orang yang dianggap sebagai lawan politik pemerintahan dan dapat mengganggu stabilitas negara ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa mempertimbangkan benar atau salahnya. Jauh sebelum itu banyak kejadian yang menunjukan arogansi pemerintah orde baru, sebagai contoh penuturan A. M. Fatwa: ’’sembilan belas September 1984 benar-benar hari naas bagi saya, saya diperiksa di Polres Jakarta Pusat, berkaitan dengan materi khutbah Idul Fitri di lapangan Masjid Istiqomah, Kemayoran Jakarta Pusat Pemuda Rakyat,” .8

  Materi khutbah yang disampaikan A.M. Fatwa adalah mempertanyakan tentang pancasila yang dijadikan asas tunggal di Indonasia.

  Pancasila tidak dimaksudkan sebagai negara sekuler dan bukan pula sebagai negara teokrasi. Tidak seperti Amerika yang bersifat sekuler dan Saudi Arabia yang menjadikan al Quran sebagai dasar negara dan syariah sebagai hukum dasar. Indonesia tidak sepenuhnya menerima prinsip humanisme sekuler yang memotivasi negara untuk menyerahkan urusan

  9 agama kepada ahlinya. Sedangkan urusan yang yang bersifat publik diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan negara. Karena berpijak pada sistem demikian, maka pada setiap periode sejarah rezimnya, pemerintah sebagai penyelenggara negara senanatiasa mengakui beberapa agama dan kepercayaan yang boleh hidup dan berkembang secara terbatas.

  Kelompok Islam melihat Pancasila sedang diupayakan menjadi agama. Dengan kekuatan Pancasila, agama dijadikan alat untuk mencapai tujuan penguasa. Agama sekedar alat, bukan tujuan dan menjadi suatu kebijakan semata. Demikian untuk menarik kepercayaan orag-orang Islam, ditonjolkan kebijaksanaan dengan wacana-wacana Islam. Pihak non muslim khususnya nasram melihat sebagai proses Islamisasi yang sedang dilancarkan oleh rezim, untuk menghilangkan kesan ini, rezim menampakan diri kepada gereja dengan Pancasila untuk gereja.9

  Seperti halnya ungkapan T. H. Sumartana: “ Saya pribadi, kalau boleh berterus terang, pesimis dengan kehidupan agama-agama di Indonesia, karena selama orde baru, tingkat kerusakan yang di alami agama-agama secara keseluruhan nyaris terperangkap dalam wacana orde baru terkooptasi secara bulat dan mentah-mentah dalam simbolisasi dan ideologi pembangunan ala orde baru.” 10

  T.B. Sumartana beranggapan pemerintahan orde baru memaksakan kehendak dan membatasi perkembangan agama. Hal ini berpengaruh juga pada perkembangan dunia pendidikan agama di Indonesia.

9 T.H. Sumartana dkk, Pluralism e, K onflik dan P endidikan A gam a, Yogya, Institut Dian, 2005, hlm.25.

  10 Undang-undang pendidikan pada dasarnya disesuaikan dengan keadaan sosial pada waktu itu. Pada masa pemerintahan orde baru, keadaan sosial dan politik stabil, tetapi pada sisi lain teijadi gesekan antara pemerintah dan ulama, ditandai dengan pembatasan dakwah dan bidang tarbiyah, hal itu berimbas pada pembatasan ruang gerak pendidikan Islam itu sendiri. Pada sisi lain Pancasila sebagai asas tunggal negara mengharuskan lembaga pendidikan Islam menggunakan al Qur’an sebagai asas nomor dua setelah Pancasila. Pendidikan Islam pada masa itu berkembang pada sisi pendidikan non formal saja, seperti pesantren dan diniyyah. Hal ini dapat dimaklumi karena adanya pembatasan pendirian sekolah formal berbasis agama. Di samping itu image yang berkembang bahwasanya pendidikan formal berlabel agama dianggap sebagai nomor dua.

  

B. Posisi Pendidikan Agama Islam M enurut Undaug-Undang Sistem

Pendidikan Nasional Tahun 1989

  POSISI Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989 Lembaga Keagamaan

  BAB III Hak warga negara untuk memperoleh pendidikan Pasal 17 Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan dan dengan mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.

  11 Bab IV Pasal 11

  (6) Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.

  Madrasah

  BAB V Jenjang Pendidikan pasal 14 (2) Warga negara yang ber umur 7 tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara, sampai tamat.

  Pasal 15 (2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan.

  BAB XIII Peran serta Masyarakat pasal 47 (1) Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional

  (2) Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.

  12 Dalam isi kurikulum yang merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran penyelenggaraan pada masa itu menempatkan Pancasila dalam setiap jenis, jalur, jenjang pendidikan pada urutan nomor satu di atas pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, hal tersebut menunjukan bahwa pendidikan agama masih dianggap second class.

  Pasal 39 (2) isi kurikulum setiap jenis, jalu r dan jenjang pendidikan memuat:

  1. Pendidikan Pancasila

  2. Pendidikan agama; dan

  3. Pendidikan kewarganegaraan.11 Pendidikan agama dalam undang-undang nomor 2 tahun 1989 ditempatkan pada posisi kedua sebab pancasila masih dianggap sebagai ideologi tunggal.

  Undang-undang nomor 2 tahun 1989 memandang pembangunan nasional di bidang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri, baik berkenaan dengan aspek jasm aniyah maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.12

  11 U ndang-Undang R epublik Indonesia no. 2 tahun 1989, Semarang, Tugu Muda, 1989, hlm.22.

  

12 Soedijarto, M em antapkan Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Grasindo, 1993,

  13

  C. Perbedaan Posisi Lembaga Pendidikan Agama Islam dan Sekolah Umum Menurut undang-undang nomor 2 tahun 1989 yang masih menyebutkan pendidikan agama secara global, maka mempengaruhi unit cost anggaran pemerintah u ntuk sekolah agama swasta tahun 1995-1996. No.

  Sekolah Agama Swasta Nominal

  1. Madrasah Aliy*h swasta Rp 4000 / anak / tahun

  2. Madrasah Tsanawiyah swasta Rp 6000 / anak / tahun

  3. Madrasah Ibtidaiyah swasta Rp 64.000 / anak / tahun Unit cost anggaran pemerintah untuk sekolah umum negeri

  No: Sekolaii Umum Negeri Nominal

  1. Sekolah Menengah Atas Rp 333.000 / anak / tahun 2.

  Sekolah Menegah Pertama Rp 245.000 / anak / tahun 3. Sekolah Dasar

  Rp 182.000 / anak / tahun Anak didik yang oerada di bawah Departemen Agama merasakan kebijakan yang diskriminatif. Kesenjangan ini tak pelak memunculkan pendapat yang mengatakan bahwa pemerintah melakukan kebijaksanaan yang diskriminatif terhadap usulan dari berbagai pihak agar dikotomi sistem penganggaran pendidikan segera diakhiri.13

  'J M. Saerozi, Pendidikan Agama Dalam Era Pluralisme, Yogya, Tiara Wacana, 2004, hlm.50

  14 Pasal 4 UU nomor 2 tahun 1989 tentang tujuan pendidikan nasional di samping menegaskan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, juga memberikan gambaran tentang karakteristik manusia Indonesia yang utuh, yaitu manusia: a. Yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

  b. Yang berbudi pekerti luhur.

  c. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan.

  d. Yang sehat jasmani dan rohani.

  e. Berkepribadian yang mantap dan mandiri.

  f. Yang memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.14 D. Posisi Pendidikan Agama Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan

  Pendidikan Agama Islam Departemen Agama RI 1997/1998

  Himpunan peraturan perundang-undangan pendidikan agama Islam pada sekolah umum Departemen Agama RI 1997/1998 memutuskan hal-hal yang mengakui pendidikan agama secara terperinci sebagai berikut:

  15

  B A B I

  Ketentuan Umum

Pasal 1 Dalam keputusan bersama ini yang dimaksud dengan:

  1. Pendidikan Agama adalah Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen Protestan, Pendidikan Agama Kristen Katolik, Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Budha.

  Hal ini menunjukan adanya pengakuan dari pemerintah tentang peran serta pendidikan agama dalam upaya ikut serta mensukseskan tujuan pendidikan nasional.

  2. Setiap murid/siswa wajib mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama yang dipeluknya.

  3. Setiap murid/siswa penganut aliran kepercayaan wajib mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama pilihanya.

  Peraturan ini mengindikasikan adanya kebebasan yang diberikan pemerintah dalam mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. 15

  BAB II Penyelenggaraan Pasal 2

  (1) Pada sekolah/kursus negeri di lingkungan pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

15 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, H im punan Peraturan

  P erundang-U ndangan P endidikan A gam a Islam 1997/1998, Jakarta, Depag RI, 1998, Hlm.208

  ■

  wajib diberikan pendidikan agama, paling kurang dua jam pelajaran seminggu pada setiap kelas.16 Pasal ini menjelaskan pentingnya akan pendidikan agama disampaikan di sekolah atau kursus, meskipun jam pelajaran pandidikan agama belum banyak, setidaknya peserta didik mempunyai waktu untuk mempelajari agama yang dianutnya.

  Pasal 3 Pendidikan agama diberikan oleh guru pendidikan agama atau guru pendidikan agama tidak tetap atau Pembina agama. Pasal 4

  (1) Apabila terdapat sekurang-kurangnya 10 orang murid / siswa pada suatu kelas yang menganut agama tertentu, maka pendidikan agama yang bersangkutan wajib diberikan dikelas itu. (2) Apabila tidak ada guru pendidikan agama pada sekolah yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pendidikan agama tertentu, maka dapat diangkat guru pendidikan agama tidak tetap. (3) Pelaksanaan pendidikan agama bagi murid / siswa yang dikelasnya diajarkan pendidikan agamanya dilakukan oleh Pembina agam a.17

  Yang menjadi pertanyaan adalah apabila ada murid/siswa yang berbeda agama dan tidak adanya ketersedian guru pendidikan agama tetap atau tidak tetap maupun Pembina agama, apakah harus mengikuti pelajaran agama yang tidak sesuai dengan keyakinanya atau diperbolehkan untuk tidak

  16

16 Ibid, hlm.209

  17 mengikutinya. Maka dalam peraturan ini masih memerikan penyempurnaan dalam hal hak untuk memperoleh pelajaran agama sesuai dengan keyakinanya.

  E. Posisi Lembaga Pendidikan Agama Islam dalam Peraturan Perundang-

  

Undangan Pendidikan Agama Islam Departemen Agama RI 1999/2000

  Dalam himpunan peraturan perundang-undangan pendidikan agama Islam pada sekolah umum Departemen Agama RI 1997/1998 yang masih ada beberapa kekurangan dan memerlukan penyempurnaan maka dalam himpunan peraturan perundang-undangan pendidikan agama Islam pada sekolah umum

  Departemen Agama RI 1999/2000 yang memuat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor : 0487/U/1992 menyempurnakannya dengan menambahkan pasa! yang berkaitan dengan posisi peserta didik yang berbeda agama dan keyakinan dan tidak tersedianya guru pendidikan agama tetap atau tidak tetap maupun Pembina agama.

  BAB V Pengelolaan Pasal 9

  (1) Pendidikan agama diberikan oleh guru pendidikan agama atau guru pendidikan agama tidak tetap atau Pembina agama.

  (2) Apabila dalam satu kelas di suatu sekolah terdapat sekurang-kurangnya 10 orang siswa yang memeluk agama tertentu, pendidikan agama siswa yang bersangkutan wajib diberikan dikelas tersebut.

  18 (3) Apabila dalam suatu sekolah tidak memiliki guru agama yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pendidikan agama tertentu dapat diangkat guru pendidikan agama tidak tetap. (4) Pelaksanaan pendidikan agama bagi siswa yang dikelasnya tidak diajarkan pendidikan agama yang dipeluknya, dilakukan oleh Pembina agama.

  (5) Bagi siswa yang tidak memeluk agama sedang diajarkan pada saat berlangsungnya pelajaran agama dikelas itu diberi kebebasan. 18 Kebebasan yang dimaksud pada pasal 9 ayat 5 adalah kebebasan untuk mengikuti pendidikan agama atau tidak mengikuti pendidikan agama yang diajarkan.

  Adapun peraturan perundang-undangan ini, di samping memberikan kebebasan bagi para pemeluk agama dalam mengikuti pendidikan agamanya juga mewajibkan siswa atau murid untuk mengikuti pendidikan agama sesuai dengan keyakinanya.

  BAB vn SISWA Pasal 12

  (1) Setiap siswa wajib mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama yang dipeluknya.19 Keputusan-keputusan di atas adalah posisi pendidikan agamanya, tentang posisi lembaga pendidikan agamanya tertuang dalam keputusan

18 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, H im punan Peraturan

  Perundang-U ndangan P endidikan A gam a Islam 1999/2000, Jakarta, Depag RI, 1998, hlm.206 A Ibid; him. 208

  19 Menteri Agama Republik Indonesia nomor : 368 tahun 1993 tentang Madrasah Ibtidaiyah.

  B A B I Ketentuan umum

  (1) Madrasah Ibtidaiyah selanjutnya dalam keputusan ini disebut MI adalah sekolah dasar yang berciri khas Islam yang menyelenggarakan program pendidikan enam tahun;

  (2) MTN adalah Madrasah Ibtidaiyah Negeri yang diselenggarakan pemerintah; (3) MIS adalah Madrasah Ibtidaiyah Swasta, yaitu madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat.20

  Dalam hal ini, masyarakat diberikan ruang untuk ikut berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan Islam.

  BAB

  n Tujuan

  (1) Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa dalam mengembangkan kehidupanya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan mendidik siswa menjadi manusia yang bertakwa dan berakhlak mulia sebagai muslim yang menghayati dan mengamalkan agamanya, serta mempersiapkan siswa untuk

20 Ibid,

  20

  «*

  mengikuti pendidikan di Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.21

  Pada pasal ini memuat tentang pengakuan pemerintah akan posisi lembaga pendidikan Islam (Madrasah Ibtidaiyah) mempunyai posisi yang sama dengan sekolah umum (Sekolah Dasar) dalam hal kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan umum yang lebih tinggi.

  

BAB m

  SISWA

  Pasal 12 (1) Seorang siswa dapat ke MI atau SD lain yang sederajat atau apabila memenuhi persyaratan yang berlaku.22

  Dalam hal ini posisi Madrasah Ibtidaiyah sama dengan Sekolah Dasar pada tahapan perpindahan kelas atau sekolah.

  Dalam hal kesetaraan lembaga pendidikan Islam dan umum, pada tataran sekolah lanjutan juga demikian. Sebagaimana keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor : 369 TAHUN 1993 tentang Madrasah Tsanawiyah.

  B A B I

  Ketentuan Umum

  (1) Madrasah Tsanawiyah selanjutnya dalam keputusan ini disebut MTs adalah sekolah lanjutan tingkat pertama yang berciri khas agama Islam yang

  21 Ibid, him.228

  22 Ib id ; him.232

  2 1

  menyelenggarakan program tiga tahun setelah Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar.

  (2) MTs Negeri adalah Madrasah Tsanawiyah yang diselenggarakan oleh pemerintah.

  (3) MTs Swasta adalah Madrasah Tsanawiyah yang diselenggarakan oleh masyarakat.23

  BAB n

  Tujuan

  (1) MTs bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar sebagai perluasan dan peningkatan pengetahuan, agama dan ketrampilan yang diperoleh di Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupanya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat, warga negara dan sesuai dengan tingkat perkembanganya serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan menengah dan/atau mempersiapkan mereka untuk hidup dalam masyarakat.24

  

BAB VII

SISWA Pasal 10

  (1) Semua lulusan Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar serta satuan pendidikan yang setara dapat menjadi siswa di M Ts.25

  23 Ib id , hlm.232

  24 Ibid, him. 252

  2 2

  Dalam hal ini MTs dapat menerima siswa lulusan Sekolah Dasar maupun Madrasah Ibtidaiyah.

  Begitu pula dengan kesetaraan lembaga pendidikan Islam dan umum, pada tataran sekolah lanjutan tingkat atas. Sebagaimana keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor : 370 TAHUN 1993 tentang Madrasah Aliyah.

  B A B I

  Ketentuan Umum

  (1) Madrasah Aliyah selanjutnya dalam keputusan ini disebut MA adalah Sekolah Menengah Umum yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departeman Agama.

  (2) Siswa adalah peserta didik pada MA. (3) Orang tua adalah ayah dan1 ibu atau wali siswa. (4) MA Negeri adalah MA diselenggarakan oleh pemerintah. (5) MA Swasta adalah MA yang diselenggarakan oleh masyarakat.26

  BAB H

  Tujuan

Pasal 2 Pendidikan di MA bertujuan:

  (1) Meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan kepada jenjang yang lebih tinggi.27

26 Ib id ; him. 269

  23 Ini berarti tujuan pendidikan di Madrasah Aliyah sama dengan tujuan pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Atas, yaitu mempersiapkan siswa dalam melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi). b a b

  

vn

  SISWA

  Pasal 10 (1) Semua lulusan Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah lanjutan tingkat pertama serta satuan pendidikan yang setara dapat menjadi siswa di MA.2

  28 Dalam hal ini calon siswa Madrasah Aliyah tidak hanya berasal dari lembaga pendidikan berciri khas Islam saja akan tetapi juga dari umum (Sekolah Menengah Tingkat Pertama atau yang sederajat).

  7

  Jadi pendidikan agama Islam menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 2 tahun 1989 belum sepenuhnya mengatur secara spesifik, akan tetapi penjelasannya hanya lewat keputusan menteri agama. Meskipun demikian, posisi pendidikan Islam telah mengalami perbaikan posisi dari pada undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 4 tahun 1950.

27 Ibid, him. 270

  24

  BAB m

KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003

A. Kondisi Sosial dan Politik

  Era reformasi bergulir pada medio 1997 sampai 1998 menandai berakhirnya kekuasaan era orde baru. Dengan terbukanya kran kebebasan demokrasi dengan sendirinya kebebasan beragama, berserikat, berkumpul dan pendapat, berimbas pula pada penuntutan hak-hak masyarakat yang pada era orde baru terpasung.

  Memasuki era reformasi, sembilan tahun setelah Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 diundangkan, pendidikan nasional mendapat banyak kritik, bahkan hujatan. Bahkan UUD 1945 pun yang memayungi lahirnya setiap Undang-Undang pendidikan, tak mampu menahan dari desakan amandemen sehingga pada tanggal 18 Agustus 2000 MPR memutuskan berlakunya UUD hasil empat kali amandemen tersebut. UUD hasil amandemen ini mengamanatkan agar pemerintah menyusun sebuah sistem pendidikan nasional. Demi memenuhi amanat tersebut, desakan masyarakat serta tuntutan reformasi pendidikan, maka pada tanggal 8 Juli 2003 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di sini lah pendidikan agama dan keagamaan mendapatkan angin segar dan ruang gerak yang leluasa yang setidaknya ditegaskan dan diisyaratkan dalam 12 point dari Undang-Undang tersebut,

  25 yaitu pada 1) konsideran “menimbang”, 2) Bab I tentang Ketentuan Umum, 3) Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional, 4) Pasal 12 ayat 1 a tentang hak peserta didik, 5) Pasal 17 ayat 2 tentang bentuk Pendidikan Dasar, 6) Pasal 18 ayat 3 tentang bentuk Pendidikan Menengah, 7) Pasal 26 ayat 4 tentang bentuk satuan pendidikan nonformal, Pasal 30 tentang Pendidikan

  Keagamaan, 9) Pasal 36 ayat 3 tentang aspek kurikulum, 10) Pasal 37 ayat 1 tentang kurikulum pendidikan dasar, 11) Pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan 12) Pasal 38 ayat 2 tentang koordinasi dan supervisi Departemen A gam a.29

  Dampak dari era reformasi itu sendiri dapat di”manfaatkan” oleh orang Islam untuk memposisikan pendidikan agama Islam dalam undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003.

  Dalam hal ini semua agama mendapatkan angin segar untuk berkembangnya agama dan kepercayaan yang pada era orde baru terpasung, seperti halnya agama Konghucu.

  Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 lahir melalui perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut mewarnai proses lahirnya Undang-Undang ini. Singkat kata, Undang-Undang ini menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis.

  Kritik tajam terhadap Undang-Undang ini (saat itu masih RUU) dapat dicatat antara lain berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan beragama dan mengabaikan tujuan

  29 http:// kajiislam , w o rd press. C om /2008/04/26 p en d idikan-islam -antara-pem enangan-

  26 pendidikan nasional yang universal dan komprehensif; bersifat diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain di luar lima agama yang selama ini diakui resmi oleh negara; visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak mendorong semangat pluralisme, serta memberi peluang intervensi berlebihan negara pada pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembaga- lembaga pendidikan; campur-tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama; dan kentalnya nuansa politik yang mebidani lahirnya Undang-Undang tersebut. Demikianlah kritik yang mengemuka dari kelompok yang menolak Undang-Undang teresebut.

  Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu. Sedikitnya isu-isu sentral reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu 1) pendidikan agama sebagai basis pendidikan nasional, 2) pemerataan kesempatan pendidikan, 3) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan 4) efisiensi menajemen pendidikan. Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab nleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun menjelang disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU Sisdiknas sebelumnya - seperti ramai diberitakan oleh media massa seluruh persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik pasal-pasal “yang berpihak“ terhadap pendidikan agama. Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen

  27 agama. Dapat dikatakan, bahwa pasal-pasal yang beraroma agama dan bersentuhan dengan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan menjadi pusaran konflik yang mengundang debat sengit, unjuk rasa, sampai pada ancaman memisahkan diri dari NKRI.

  B. Posisi Pendidikan Agama Islam Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap

  Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27 M aret 1989.

  Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang- Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan dibandingkan dengan sebelumnya.

  Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalu r pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan. Lebih dari itu, Undang-Undang ini menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai tujuan pendidikan nasional. Keimanan dan ketakwaan adalah terminologi yang sangat identik dan akrab dengan pendidikan agama dan keagamaan.

  Rumusan pendidikan yang mengedepankan spiritualitas ini kemudian menentukan arah tujuan pendidikan nasional. Tentang hal ini dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

  28 Yang M aha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Merujuk kepada pendapat pakar pendidikan Islam, Muhamad Athiyah al-Abrasyi dan Mohamad al-Toumy al-Syaibany tentang tujuan umum yang fundamental bagi pendidikan Islam, dapat disimpulkan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan nasional ini selaras dengan tujuan pendidikan Islam. Dengan demikian maka Pasal 3 ini pun memberikan angin segar bagi pendidikan agama dan keagamaan, utamanya Islam .30

  Posisi pendidikan agama Islam menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003.

BAB I, pasal 16 Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan

  berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

  Dalam hal ini pemerintah mengakui akan peran serta masyarakat dalam perwujudan pendidikan yang berbasis kemasyarakatan, pemerintah mengakui pendidikan akan lebih efektif apabila melibatkan masyarakat di dalamnya. Pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan menjadikan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat itu sendiri.

  30 h ttp :// kajiislam , w ord press. C om /2008/04/26 p en d idikan-islam -antara-pem enangan- politik-dan-kekalahan-praktik

  29 BAB V, pasal 12 (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

  Pemenuhan hak asasi dalam memeluk agama dapat di lihat dari pemenuhan pendidikan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya serta pengajar atau pendidik yang seagama pula, jadi tidak ada paksaan dalam hal mengikuti pendidikan agama yang tidak sama.

Pasal 22 Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor

  berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.

Dokumen yang terkait

Putusan Pengadilan Agama Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

0 17 2

“PEMBENTUKAN KABUPATEN TANAH BUMBU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2003 KALIMANTAN SELATAN”

0 5 2

KAJIAN YURIDIS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERLAKUAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTENG PEMBERANTASAN TIND

0 4 66

Penjelasan UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

0 0 11

UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

0 0 56

: 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang - Permenakertrans 21 Tahun 2007

0 0 21

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembara

0 0 16

BAB II PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL D. Pengertian Hubungan Industrial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubunga

0 2 16

BAB II PENATAAN RUANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 A. Definisi Penataan Ruang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 - Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat Dalam Pelaksanaan Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

0 0 21

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); - BUKU PERGUB 12 TAHUN 2015 fix (3)

0 0 26