GAMBARAN PEREMPUAN DALAM DOMINASI KEKUASAAN LAKI-LAKI PADA NOVEL PSYCOPAT DIARY Repository - UNAIR REPOSITORY

  

GAMBARAN PEREMPUAN DALAM DOMINASI KEKUASAAN LAKI-

LAKI PADA NOVEL PSYCOPAT DIARY

Oleh: Finnuri Yumnasa – B fyfinnuriy@gmail.com

  

ABSTRAK

  Fokus riset ini adalah mengeksplorasi gambaran perempuan dalam novel

  

Psycopat Diary karya Vasca Vannisa. Tujuan penelitian ini ialah mengeksplorasi

  bagaimana perempuan digambarkan dan diwacanakan dalam novel melalui analisis posisi subjek dan objek. Menjadi menarik untuk mengeksplorasi penelitian ini, disebabkan karakter digambarkan dengan konstruksi patriarki yang ekstrim. Sehingga muncul wacana perempuan korban dominasi maskulin, yang menolak konstruksi gendernya.

  Dalam riset ini, peneliti akan menggunakan discourse analysis Sara Mills dimana akan menggunakan dua tahapan dalam membedah teks, dalam hal ini teks yang dimaksud dalm bentuk linguistik. Pertama dengan menganalisis posisi subjek dan objek dengan melihat bagaimana subjek menceritakan objek dalam novel. Kedua dengan menganalisis posisi pembaca ditempatkan oleh penulis dalam alur cerita pada novel. Sehingga hasil dari dua tahapan ini akan mampu mengeksplor gambaran yang ada pada novel. Paradigma yang peneliti gunakan adalah

  

interpretive social science. Dengan menggunakan tinjuan pustaka yakni perempuan

  dan feminitas, budaya patriarki, feminisme, bahasa dan gender, narasi novel, serta discourse analysis, peneliti membedah gambaran perempuan.

  Berdasarkan rumusan masalah dari riset ini, maka hasil yang didapatkan oleh peneliti mengenai gambaran perempuan sebagai korban yang mengalami ketidakadilan serta ketimpangan gender. Perempuan dibatasi dengan konstruksi peran yang ada dalam budaya. Ketidakadilan ini dianggap sebagai normalitas yang sudah sepatutnya untuk diikuti. Perempuan yang melawan konstruksinya dilihat sebagai orang yang gagal. Hal yang menunjukkan bahwa perempuan masih digambarkan dalam konstruksi dominan patriarki. Kata Kunci: Discourse, Sara Mills, Perempuan, Patriarki, Feminisme, Novel

  PENDAHULUAN

  Penelitian ini akan menganalisis mengenai perempuan yang digambarkan dalam novel Psycopat Diary. Penulis tertarik dengan penelitian ini karena budaya patriarki masih menjadi isu di Indonesia, yang mana meletakkan kaum perempuan sebagai pihak yang lemah sementara laki-laki lebih berkuasa dan patut mengatur. Penggambaran budaya yang dituliskan dalam novel Psycopat Diary menjadi menarik karena karakter permpuan dalam novel ini dituliskan sebagai seorang psikopat dan polisi yang dekat dengan maskulinitas, akan tetapi keduanya masih mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual.

  Psycopat Diary ditulis dengan menggunakan latar di Indonesia dan

  mengangkat isu patriarki. Pada novel ini diceritakan mengenai seorang anak perempuan bernama Alesa yang kurang disayangi dalam sebuah keluarga dan diperlakukan secara tidak adil dibandingkan adiknya. Ia mengalami pemerkosaan ketika dirinya masih umur belia. Karena kurangnya perhatian orang tua dan pengecapan dari masyarakat, Alesa tumbuh menjadi orang yang penuh kebencian dan berujung pada kecanduan untuk membunuh. Sementara itu polisi yang mengusut kasus ini, yakni Ziva dan Reynal adalah mantan kekasih yang memiliki perbedaan pandangan bagaimana perempuan harus bersikap. Ziva sebagi anak sulung dari empat bersaudara yang kempat-empatnya perempuan, terpaksa berkorban mencari nafkah sejak kepergian Ayahnya dengan menjadi polisi. Meski begitu keluarganya tak pernah mendukung dirinya sepenuhnya, apalagi adiknya Marisa yang selalu berusaha menjatuhkannya. Sedangkan Reynal adalah polisi yang sebelumnya bertugas mengusut kasus narkoba sebelum berpindah penugasan pada tim yang sama dengan Zifa untuk mengusut kasus pembunuhan. Reynal dengan sengaja meminta untuk dimasukkan di timnya Zifa dengan maksud mengerjar perempuan itu, tetapi malah berakhir dengan dirinya yang mendiskreditkan Zifa karena dia perempuan.

  Dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan masih banyak terjadi di tempat dengan budaya patriarki. Budaya patriarki sendiri adalah budaya yang menempatkan laki-laki dan/atau ayah sebagai pengontrol dalam keluarga. Menurut Muniarti (2004) awalnya budaya ini muncul karena adanya kesadaran laki-laki dalam memilki. Setelah manusia mulai melakukan cocok tanam, dan mulai menyadari perlunya memiliki tanah dan alat sebagai harta pribadi, yang pada akhirnya memunculkan konsep kepemilikan pribadi. Pertukaran atau perdagangan dilakukan oleh kaum laki-laki, sehingga sektor mereka dinilai materi, sementara perempuan yang bekerja di sektor domestik tak dinilai. Hal inilah yang diaggap sebagai cikal bakal timbulnya sistem patriarkat. Di mana laki-laki dengan segala materi yang dimilikinya menafkahi perempuan dan anak-anaknya, dan menjadi kepala keluarga yang mengubah perempuan sebagai kepemilikan laki-laki. Itulah mengapa dominasi kekuasaan laki-laki diibaratkan dengan sistem patriarkal, yang mana laki-laki adalah yang menguasai berbagai aspek dan sektor materi sehingga perempuan menjadi disubordinasikan.

  Bourdieu (2010) mengatakan dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan terjadi karena perbedaan biologis yang ada pada tiap seks yakni tubuh maskulin dan feminin, khususnya pada organ seksual digunakan sebagai pembenaran peranan yang dikonstruksi dalam masyarakat. Kejantanan pada organ seksual laki-laki dianggap titik kehormatan yang digunakan sebagai alat konservasi dan juga peningkatan kehormatan. Hal ini biasanya dilakukan melalui pengakuan keperkasaan seksual atau perenggutan keperawanan perempuan. Secara metaphoric hal ini dapat diandaikan laki-laki sebagai kunci sementara perempuan adalah gembok, di mana apabila kunci tersebut dapat membuka banyak gembok maka disebut sebagai kunci yang luar biasa, tapi jika gembok dapat dibuka dengan berbagai kunci artinya gembok tersebut rusak. Hal inilah yang dikonstruksikan pada masyarakat, bagaimana laki-laki adalah lazim apabila mendominasi dan perempuan yang harus ada untuk mendampingi laki-laki itu saja.

  Dominasi yang terjadi membuat pihak yang terdominasi (dalam hal ini perempuan) secara tak sadar pikirannya telah disamakan dengan presepsi relasi dominasi sehingga mereka terpaksa memiliki pengetahuan untuk mengakui pihak dominan (Bourdieu, 2010). Inilah yang membentuk budaya perempuan harus menurut pada suaminya (laki-laki). Dominasi ini juga membuat perempuan dikonstruksikan sebagai barang pertukaran dalam perkawinan dan relasi kekerabatan. Menurut Lévi-Strauss dalam Dominasi Maskulin (Bourdieu, 2010), instuisi kekerasan yang dimiliki laki-laki digunakan untuk menyalahi perempuan sebagai subjek pertukaran untuk tujuan aliansi. Hal ini menyebabkan keberadaan perempuan direduksi sehingga menyerupai barang atau lebih tepatnya sebagai instrumen politik.

  Budaya patriarki dan dominasi kekuasaan laki-laki ini juga tercetak dalam penggunaan bahasa yang sehari-hari kita lakukan. Menurut Spender (dalam Kuntjara, 2004), hal ini terjadi karena proses dalam pembentukan dan penggunaan bahasa dilakukan oleh laki-laki. Sehingga bahasa yang ada digunakan untuk mengekspresikan laki-laki ketimbang perempuan. Ini membuat perempuan terpaksa untuk menggunakan bahasa yang sifatnya lebih tertutup dan dengan pemilihan kata yang terbatas, cenderung formal. Bahasa bahkan dimanfaatkan oleh pihak laki-laki untuk mengopresi perempuan. Struktur Bahasa Inggris dianggap jelas ditentukan oleh laki-laki, yang membuat mereka lebih bebas dan perempuan menjadi pihak yang rendah. Hal ini juga dianggap sebagai hasil dari ideologi patriarkat yang ada di Inggris. Sebagai contoh kita ambil saja penggunaan kata

  

mankind ditujukan sebagai umat manusia, tetapi kata ini disebut pula hanya

  merujuk pada laki-laki. Selain itu penggunaan akhiran -man pada pekerjaan juga dinilai sebagai upaya untuk mengesampikan perempuan, seperti freshman,

  

salesman, dan lainnya. Ini juga terjadi dalam penggunaan Bahasa Indonesia, seperti

  penggunaan akhiran -wan pada berbagai profesi layaknya wartawan, pahlawan, ilmuwan. Sama seperti sebelumnya, penggunaanya dianggap meminggirkan perempuan, meskipun beberapa diganti dengan akhiran -wati yang merujuk pada perempuan. Tapi kata lainnya juga ada yang tidak diganti seperti kata pahlawan.

  Untuk melakukan penelitian mengenai gambaran perempuan dalam dominasi kekuasaan laki-laki dalam Novel Psycopat Diary, penulis akan menganalisis novel

  

Psycopat Diary karya Vasca Vannisa dengan menggunakan metode discourse

analysis milik Sara Mills. Analisa dilakukan dengan mengumpulkan data primer

  berupa teks linguistik yang ada pada novel, lalu dilakukan analisis posisi subjek sebagai pencerita dan objek sebagai yang diceritakan, analisis posisi pembaca dalam teks, dan dilihat bagaiman hubungan konstruksi sosial yang mempengaruhi teks tersebut.

  PEMBAHASAN

  Dominasi maskulin dan subordinasi ditandai dari laki-laki yang kedudukannya berada di atas perempuan. Sementara perempuan dijadikan sebagai

  nd

  pengganti atau 2 Sex. Keadaan ini muncul karena justifikasi pembagian kerja berdasarkan gender yang mengarah perempuan dalam ranah domestik. Sementara ranah publik yang dikuasai laki-laki jauh lebih memperlihatkan kekuasaan yang mana berakhir pada pola laki-laki diatas perempuan.

  Alesa, karakter utama dalam Novel Psycopat Diary sebagai seorang berjenis kelamin perempuan merasakan ketidakadilan yang terjadi disebabkan oleh ketimpangan ini. Terutama setelah dirinya menjadi korban pemerkosaan di usia dini. Alesa dituliskan sering kali mengutuk dirinya sebagai seorang perempuan yang lemah.

  Pada hari-hari awal di mana dirinya baru saja diperkosa oleh seorang lelaki dewasa, Alesa terus meratapi nasibnya itu seorang diri. Di dalam kamarnya yang sempit serta muram, dia kerap menyalahkan dirinya sendiri. Alesa pun membenci fakta bahwa dia adalah seorang perempuan yang selalu dirugikan.

  Alesa di sini dituliskan pada sudut pandang orang pertama yang berarti dirinya adalah subjek, atau pencerita. Dalam sudut pandang itu, Alesa secara implisit menyebutkan bahwa perempuan itu seorang yang bodoh dan lemah. Dia menyebutkan pula bahwa dirinya membenci hal tersebut. Hal ini dapat dibilang bahwa perempuan dalam pandangan Alesa adalah sosok yang akan dirugikan serta akan selalu menjadi yang lebih bodoh dan lemah.

Posisi perempuan dalam hubungan seksual pada model penetrasi membuat perempuan menjadi yang “menerima”. Posisi dalam hubungan seksual dapat dilihat

  sebagai sesuatu yang sama dengan hubungan yang superior dengan subordinat, atau seseorang yang mendominasi dengan yang didominasi (Foucault, 1990). Praktik kepuasan dikonsepsi sebagai bentuk persaingan dan hirarki., sehinga hal ini membentuk peran dan menunjukan yang lebih aktif dalam melakukan penetrasi adalah yang lebih berkuasa. Perempuan dalam hal ini mendapatkan peran sebagai yang pasif. Hal ini kemudian menempatkan perempuan diposisi subordinat.

  Perempuan yang berada dalam posisi subordinat, seringkali diasosiasikan dengan kata lemah dan/atau bodoh. Padahal hal ini disebabkan oleh kesenjangan gender. Ketika perempuan tak mendapatkan kesempatan untuk membela diri sendiri ataupun membekali diri dengan ilmu, hal itu adalah kesalah sistem yang ada pada masyarakat. Alesa yang menyalahkan dirinya sendiri sebagai seorang perempuan, sama saja dengan menyetujui anggapan perempuan adalah pihak yang tak berdaya.

  Perempuan yang dikonstruksi seperti halnya dalam film, serta perannya di sosial, mau tidak mau akan merasa dirinya perempuan yang lemah. Seakan hal tersebut adalah kodrat yang tak dapat dihindari. Alesa yang merasa dirinya lemah dan bodoh sebagai perempuan adalah hasil dari konstruksi yang terjadi. Perempuan menjadi sebuah seksualitas yang tidak diinginkan karena terlalu memiliki banyak kelemahan yang diciptakan dari konstruksi masyarakat. Seperti halnya Alesa yang membenci kenyataan dirinya seorang perempuan.

  Pembaca pada kutipan ini diposisikan sebagai perempuan usia belia yang baru saja mengalami hal yang traumatis serta mengubah pandangannya selama ini sebagai anak yang polos. Penulis memberikan penggambaran bagaimana perasaan seorang perempuan yang mengalami pemerkosaan tanpa dapat meceritakan hal tersebut kepada siapapun melalui sosok Alesa. Di sini juga diperlihatkan bagaimana perempuan sudah dirugikan dari seksualitasnya saja.

  Tak berhenti dari ratapannya dalam kamar, Alesa mulai timbul rasa takut terhadap laki-laki. Pengalaman menyakitkan, diperkosa oleh orang yang awalnya tampak berbaik hati dengannya, membuat pandangan baik dan buruk menjadi kabur di matanya. Setiap laki-laki yang dilihat olehnya tampak sama berbahayanya dengan pelaku pemerkosa Alesa.

  Keadaan tersebut terjadi karena kesenjangan gender yang terjadi dalam masyarakat. Perempuan berada pada posisi yang dirugikan. Sehingga ketakutan terhadap laki-laki menjadi hal yang wajar. Laki-laki yang memperlakukan perempuan seba gai “barang” akan membuat perempuan itu sendiri menjadi berhati- hati terhadap laki-laki disekitarnya. Apalagi Alesa di sini telah mengalami pemerkosaan.

  Alesa merasakan kondisi itu secara nyata, setelah dirinya diperkosa. Laki-laki yang memperkosanya telah memenangkan permainan itu. Sementara Alesa ditinggalkan menjadi sebuah “barang” yang tak lagi berharga serta kehilangan harga dirinya. Perempuan dirugikan oleh laki-laki, dan Alesa disini merasakan hal tersebut sebagai subjek.

  Masih sama seperti kutipan sebelumnya, di sini pembaca diposisikan sebagai perempuan korban pemerkosaan yang mengalami trauma pada keadaan mentalnya. Ketakutan terhadap laki-laki berbadan besar dan perasaan sebagai perempuan yang lemah, digambarkan penulis sebagai tanggapan bagaimana perempuan pada pihak yang lemah dan dikondisikan sebagai yang selalu merugi.

  Disisi lain, Fardan aktor yang baru saja naik daun dan berada pada puncak kesuksesan karirnya, merasa bahwa dirinya sebagai laki-laki adalah kemutlakan yang tak dapat dipungkiri oleh para perempuan yang pernah ditidurinya. Baginya apa yang ia lakukan kepada perempuan-perempuan itu adalah hak yang dimilikinya. Menurutnya semua itu bukanlah dosa, karena pihak perempuan secara sadar mau tidur dengannya.

  Fardan secara implisit memandang perempuan hanya sebagai objek yang patut untuk diperlakukan sesuka hati. Baginya sebagai laki-laki maka dia tidaklah berdosa ketika melakukan hal tersebut. Menurutnya perempuanlah yang salah karena mau saja berhubungan intim dengan dirinya.

  Perempuan dalam kutipan di atas dieksploitasi tubuhnya sehingga mereka hanya menjadi objek. Ketika hubungan seksual yang dilakukan diluar pernikahan dianggap kesalahan perempuan karena tidak mampu untuk menjaga dirinya sendiri. Perempuan kerap kali dianggap harus menutupi objek seksualnya agar tak mengalami hal seperti ini. Akan tetapi dalam hubungan mau dengan mau, perempuan tetap disalahkan. Hal ini juga dapat diartikan seakan laki-laki pasti mempuyai nafsu untuk melakukan hubungan seks dengan perempuan, dan “penipuan” yang mereka lakukan sah-sah saja. Sementara itu perempuan yang terlibat justru dihujat karena “keserampangannya” dalam menjaga tubuhnya sendiri.

  Fardan kemudian melanjutkan racauannya tentang dirinya yang menyukai kehidupannya yang sekarang. Hidup di negara berbudaya patriarki yang kental membuat dirinya sebagai laki-laki merasa tak terkalahkan. Apalagi dia tak pernah disalahkan sebagai penyebab hilangnya keperawanan perempuan yang berhubungan seksual dengannya.

  Sementara itu dalam kutipan ini secara jelas Fardan menyatakan pandangannya dan kesetujuannya dengan patriarki yang hidup di Indonesia. Pada kata- katanya “negara dengan mayoritas masyarakat yang menganut budaya dan dogma maskulin” dimaksudkan untuk mengacu pada budaya yang menjadikan seksualitas laki-laki menjadi sentralnya. Fardan juga menganggap perempuan pasti akan di bawah laki-laki ketika dirinya membandingkan istilah orang yang di dapat ketika melakukan sesuatu yang buruk, perempuan akan diberi label sementara laki- laki tidak.

  Hal ini memperlihatkan kesenjangan dari bahasa yang dimiliki dalam masyarakat. Perempuan selalu menerima berbagai label yang buruk, sementara pada laki-laki tidak. Penggunaan bahasa yang seperti ini menunjukkan seberapa banyak perempuan diobjektifikasi. Pada kasus-kasus tertentu perempuan dinilai cara berpakaiannya untuk diberi label. Semakin pendek bajunya, label yang diterima semakin kasar. Padahal ketika perempuan menggunakan pakaian tertutup, perempuan masih menerima label-label tertentu.

  Pembaca pada kutipan diatas diposisikan sebagai sudut pandang Fardan. Laki- laki yang menikmati semua keuntungan yang ia dapatkan dalam masyarakat yang memiliki budaya patriarki yang kuat. Keuntungan itu terutama diambil dari eksploitasi perempuan. Semua hal yang dilakukan oleh perempuan tidak boleh lebih dari laki-laki. Sementara laki-laki hanya tinggal melakukan apa yang mereka inginkan.

  Sonia mantan artis papan atas pun mendukung pemikiran patriarki yang membagi pekerjaan berdasarkan seksualitasnya. Pada saat dirinya diinterogasi, Sonia tidak menjawab pertanyaan polisi dengan alasan dia adalah seorang perempuan yang tidak tahu menahu mengenai bisnis yang dilakukan oleh suaminya.

  Sonia merasa sebuah keharusan perempuan untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ada sejak lama. Perempuan letaknya di rumah adalah hal yang di dukung oleh pandangannya. Bagi Sonia, perempuan hanya bertugas untuk melayani laki- laki, memasak, dan mengurus anak.

  Pemikiran ini didukung dalam berbagai budaya. Perempuan diberikan tempat di rumah atau di ranah domestik, sementara laki-laki di publik. Semua ini kemudian dijustifikasi atas nama kodrat. Sehingga perempuan yang tak mengikuti ini dapat disebut menyalahi kodrat. Padahal hal ini adalah konstruksi gender yang terjadi pada masa lampau.

  Perempuan dan pekerjaannya dalam rumah adalah sesuatu yang amat penting untuk kelangsungan hidup keluarga. Hal ini disebabkan oleh perempuan yang membawa peran ibu bagi anak-anaknya. Alasan dari semua ini berdasar pentingnya peran yang ada dalam ruang lingkup domestik. Terutama yang berhubungan dengan pengurusan anak.

  Akan tetapi semua itu tidak berlaku pada satu seks saja. Perempuan yang kebetulan mendapatkan peran sebagai yang di rumah dijustifikasi perannya menggunakan kepentingan ini. Begitu pula dalam pemilihan karirnya, perempuan belum dapat memilih secara bebas. Sonia yang melepaskan pekerjaannya setelah menikah secara tidak sadar telah mengikuti konstruksi sosialnya. Dalam keadaan tersebutlah kemudian Sonia menggunakan konstruksi sosial untuk membela dirinya, seperti yang ada dalam kutipan Selain itu Sonia di sini juga digambarkan sebagai korban kekerasan ekonomi. di rumah sementara suaminya bekerja. Ketergantungan yang dilakukan oleh suami Sonia terhadap perempuan itu menunjukkan kontrol penuh laki-laki dalam menahan perempuan agar tak memiliki kuasa yang lebih besar dibandingkan sang laki-laki.

  Hal ini disebut pula sebagai penyubordinasian perempuan dalam bidang ekonomi.

  Pembaca di sini diposisikan sebagai orang ketiga yang menilai sikap Sonia. Perempuan yang ditinggalkan suaminya demi “bisnis” luar dan terpaksa menerima segala bentuk konstruksi yang digariskan untuknya. Perempuan yang seperti ini dalam dunia modern dianggap kuno dan kolot, atau bahkan menyedihkan. Akan tetapi Sonia dengan bangga menunjukkan hal tersebut dan menerima “kodratnya”.

  Reynal sementara itu menganggap perempuan yang memiliki kepribadian yang maskulin bukanlah perempuan yang sebenarnya. Laki-laki yang berprofesi sebagai polisi itu, menganut budaya patriarki dan orang yang digambarkan dengan maskulinitas yang maksimal. Sehingga ketika Zifa kerap kali mengajaknya menikah, Reynal selalu menghindari pertanyaan itu dengan memberikan alasan lain.

  Bagi Reynal, perempuan yang terlalu maskulin sama saja dengan laki-laki. Perempuan yang seperti itu tidak mungkin dinikahinya. Menurutnya melakukan hal itu sama saja dengan menikahi sesama jenis, karena sama-sama maskulin. Akan tetapi yang menjadi utama adalah perasaan malunya apabila menikahi perempuan yang maskulin, seakan perempuan itu adalah produk gagal.

  Maskulinitas dan feminitas dalam pemahamannya secara umum adalah sebuah sifat yang menempel pada seksualitas. Maskulinitas pada laki-laki dan feminitas pada perempuan. Hal ini dikenal sebagai sifat seksualitas yang pasti. Apabila ada laki-laki yang feminin atau perempuan yang maskulin, maka orang tersebut akan dibilang menyalahi kodrat. Sementara adapula orang yang memiliki sisi feminin tapi juga memiliki sisi yang maskulin. Jika menggunakan paradigma kamar mandi, gender hanya dapat dibedakan menjadi perempuan feminin dan laki- laki maskulin.

  Permepuan yang memiliki kepribadian yang maskulin, tidak lagi dianggap sebagai perempuan karena penyimpangan gendernya. Apabila dilihat dalam parameter kamar mandi, perempuan yang maskulin tak dapat dikelompokan di mana pun. Zifa dalam hal ini, dibuat oleh Reynal seakan dirinya tak lagi tergolong sebagai perempuan. Lebih-lebih lagi hal tersebut digunakan sebagai alasan untuk menghindari pernikahan.

  Posisi pembaca diletakan pada sudut pandang Zifa yang menerima perlakuan tersebut. Perempuan yang kehilangan identitas seksualnya karena dirinya tak sesuai dengan konstruksi yang ada pada masyarakat. Zifa yang merasakan kelancangan Reynal dengan menyamakan dirinya sebagai seorang laki-laki hanya karena Reynal tak menginginkan dirinya.

  Ketika Reynal mendapat telpon dari rekan kerjanya Zifa, dia merasa kesal karena tidak dihargai. Apalagi dirinya mendapat pertanyaan mengenai hubungannya dengan Zifa. Mendengar hal itu, Reynal kemudian mengungkapkan pendapatnya mengenai perempuan tersebut.

  Laki-laki menurut Reynal adalah seseorang yang berada di atas segala- galanya. Sehingga apabila mereka dikendalikan oleh cinta yang diperkarsai oleh perempuan adalah hal yang tabu. Seakan tak terima dengan pemikiran yang sebaliknya, Reynal juga secara implisit mengaja lawan bicaranya untuk tidak tunduk di bawah perempuan.

  Menurut Foucault (1990:210) “one must not yield, not let others get the best

  

of one, not accept a subordinate position where one would get the worst of it, is

doubtless to exclude or advise against sexual practices that would be humiliating

for the boy, putting him in a position of inferiority

  ”. Laki-laki selalu ingin merasa diatas awan, hal ini disebabkan oleh perasaan ketagihan sebagai pihak yang selalu diuntungkan. Apalagi hal tersebut didapatkan dengan merendahkan posisi perempuan. Ini kemudian, menjadi hal yang amat memalukan apabila laki-laki tersebut dapat ditaklukkan oleh perempuan. Karena hal tersebut bertentangan dengan konstruksi seksual yang selama ini diajarkan. Perempuan dalam kutipan ini juga didiskriminasi, karena dianggap sebagai sosok yang tak akan mampu untuk mengalahkan laki-laki. Dengan memaksakan perempuan ke dalam konstruksinya, laki-laki dianggap sebagai pengendali keadaan. Kemudian kata- kata “pengendali perasaan” merujuk pada laki-laki yang disebut sebagai sosok yang menggunakan logika. Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa perempuan adalah orang yang tak berlogika.

  Pembaca dalam kutipan ini diposisikan sebagai Reynal yang menganggap segala sesuatu adalah laki-laki yang mengendalikan. Termasuk diantaranya dalam hubungan cinta dan hirarki di dalamnya. Laki-laki yang tak mau menjadi yang kedua karena merasa konstruksi sosial adalah kodrat yang seharusnya. Sebab lawan bicaranya sama-sama laki-laki, Reynal secara tak langsung merasa bahwa rekannya sebagai laki-laki tidak patut pula menjadi yang dikendalikan Selain itu Reynal juga tak terima apabila ada laki-laki yang mau saja berada dalam kendali perempuan.

  Mendengar pembelaan Reynal atas dirinya, rekan sekepolisiannya semakin tertarik. Dia mulai bertanya mengenai Zifa yang dengan sengaja dipilih oleh Reynal untuk berada di tim yang sama. Reynal awalnya langsung menghindar dengan berbohong bahwa Zifa-lah yang memintanya. Akan tetapi setelah dipojokkan, akhirnya Reynal mengakui hal tersebut sekaligus memposisikan dirinya sebagai mantan yang tak lagi menyukai Zifa.

  Seakan menekankan pada kenyataan dirinya tak menyukai perempuan maskulin, Reyna l menyebut Zifa sebagai “perempuan keras tidak pada kodratnya”.

  Perempuan yang sejati menurut Reynal adalah yang lemah lembut serta manja. Sementara Zifa adalah kebalikan dari semua itu. Hal itu baginya adalah kegagalan produk, perempuan seakan tak semestinya terlalu maskulin.

  Masih sama seperti sebelumnya, Reynal menempatkan Zifa dalam ruang dua kubu. Laki-laki atau perempuan, hanya dua gender itu saja pilihannya. Sehingga sifat keras Zifa yang dapat digolongkan sebagai sifat maskulin, menjadi tanda bagi Reynal untuk meletakkan Zifa sebagai bukan perempuan. Selain itu, pemikiran Reynal di sini juga diperlihatkan sebagai situasi dimana perempuan yang maskulin tidak dapat disebut sebagai perempuan akan tetapi tak juga dapat lebih baik dari laki-laki.

  Situasi serba salah ini masih sering terjadi. Perempuan didiskriminasi habis- habisan karena dirinya hanya seseorang yang diposisikan sebagai pihak yang tak dapat berbuat apapun, akan tetapi pilihannya untuk maju ke ranah publik membuat identitas dirinya menjadi rancu. Laki-laki sampai saat ini masih ada yang tak mau memiliki hubungan romantis dengan perempuan yang maskulin, karena mereka tidak sesuai dengan definisi perempuan dalam konstruksinya. Itulah yang terjadi dalam kondisi Zifa. Dirinya masih menginginkan sentimen-sentimen feminin melalui laki-laki, di sisi lain dirinya tak dianggap sebagai perempuan seutuhnya.

  Dalam kutipan ini, pembaca sekali lagi diposisikan sebagai Reynal yang melihat perempuan sebagai objek. Reynal yang melihat perempuan hanya dalam sisi feminitasnya saja. Perempuan yang memiliki sifat maskulinitas, dianggap bukanlah seorang perempuan, sekalipu hal itu cuman satu sifat saja. Zifa dalam hal ini, terutama sebagai polisi dan orang yang mandiri dianggap sebagai orang yang terlalu keras dan hal itu membuat Zifa dalam ranah maskulin.

  Setelah mengalami berbagai hal, Reynal dan Zifa akhirnya berhasil menangkap Alesa sang pelaku pembunuhan. Dalam prosesnya Zifa merasakan patah hati yang teramat setelah melihat Marisa, adiknya sendiri merebut Reynal di depan matanya. Sekalipun hal tersebut sudah diramalkan oleh dirinya sendiri, Zifa mau tak mau merasa sakit hati.

  Dalam usaha putus asanya, Zifa memohon Reynal dan Marisa untuk tidak jadi menikah. Hal tersebut langsung tidak dihiraukan oleh Marisa. Tetapi Reynal yang merupakan mantan pacar Zifa merasa bersalah dan menyarankan Marisa untuk mengundurkan tanggal pernikahan mereka. Mendengar hal itu, Marisa langsung bertanya tentang pendapat Reynal tentang kakaknya.

  Reynal sekali lagi menekankan bagaimana dirinya tidak setuju dengan identitas perempuan yang terlalu maskulin. Perempuan yang seperti Zifa yang mandiri adalah citra perempuan yang cacat baginya. Kata “dia bukan apa-apa dibanding kamu” menegaskan pandangan Reynal mengenai perempuan.

  Perempuan selama ini masih dilihat dari sudut pandang laki-laki. Hal itu membuat perempuan kemudian diobjektifikasi, karena tak memiliki “suara”. Nilai dari perempuan sampai saat ini dilihat melalui male gaze. Gauntlet (2002:39) menyebutkan bahwa perempuan datang untuk belajar melihat diri mereka dan wanita lain melalui konsep ‘male gaze', sebab dunia produksi berada di tangan laki- laki. Hal ini memperlihatkan penolakan terhadap sudut pandang perempuan terhadap perempuan lain.

  Semua ini kemudian kembali pada konstruksi sosial yang juga dibuat oleh laki-laki, sehingga perempuan menjadi sosok feminin serta mendapat peran subordinat. Kecantikan perempuan kemudian diposisikan sebagai apa yang dilihat oleh laki-laki dan direproduksi dalam media. Menurut Laura Mulvey (1996:94) “female beauty, in a sense, fulfils this function by fixing the eye on something that

  

pleases it and prevents the psyche from bringing to mind those aspects of the

feminine that are displeasing

  ”. Kecantikan perempuan dibentuk sebagai sesuatu yang menyenangkan dan feminin. Sikap mandiri yang dimiliki Zifa tak menunjukkan sebuah feminitas yang ada pada konstruksi. Sehingga dirinya kalah dibandingkan dengan adiknya yang berusaha sedemikian rupa menjadi sosok feminin sesuai konstruksi.

  Pembaca pada kutipan ini diposisikan sebagai Reynal yang menempatkan dirinya sebagai subjek yang menilai perempuan. Baginya, sosok yang paling indah adalah perempuan dengan feminitas penuh. Sehingga perempuan yang tak memiliki hal tersebut dianggap “cacat”. Kesempurnaan seorang perempuan dilihat dari sudut pandang laki-laki. Hal ini menunjukkan betapa perempuan diobjektifikasi oleh konstruksi sosial.

  KESIMPULAN

  Berdasarkan rumusan masalah penelitian, yakni bagaimanakah perempuan digambarkan dalam novel Psycopat Diary, maka dapat disimpulkan bahwa novel ini menggambarkan perempuan sebagai korban yang mengalami ketidakadilan serta ketimpangan gender. Perempuan dibatasi dengan konstruksi peran yang ada dalam budaya. Ketidakadilan ini dianggap sebagai normalitas yang sudah sepatutnya untuk diikuti. Perempuan yang melawan konstruksinya dilihat sebagai orang yang gagal. Meski pada dasarnya perempuan telah diobjektifikasi dalam peran gendernya, akan tetapi yang menolak hal ini tak diterima dalam masyarakat. Seluruh tokoh perempuan seperti, Alesa, Zifa, Sonia, dan Imelda, mengalami ketidakadilan gender yang sama. Kemudian hanya pada tokoh Alesa saja yang melakukan perlawanan. Sehingga novel Psycopat Diary mereproduksi gambaran perempuan dengan mengikuti budaya dominan patriarki.

  Selanjutnya, perempuan juga digambarkan menggunakan konsep dominasi maskulin dan subordinasi. Pada dominasi maskulin dan subordinasi dalam novel

  

Psycopat Diary, perempuan diwacanakan sebagai sosok yang harus mengikuti

  konstruksi sosial yang telah dibentuk, sementara laki-laki memiliki kemerdekaan dalam menentukan. Perempuan dikonstruksikan dengan sifat feminin serta peran subordinasi di ranah domestik. Di tempatkan pada ranah yang tak memiliki kekuasaan, perempuan menjadi sosok yang tak penting dan hanya menjadi pengganti dari laki-laki. Hal yang kemudian menjadi justifikasi untuk memperlakukan perempuan sebagai objek yang tak berdaya. Perempuan dikendalikan oleh laki-laki dengan membatasi daerah kekuasaannya serta melekatkan peran yang pasif, yang mana kemudian membentuk sifat-sifat feminin perempuan. Akan tetapi ini dianggap sebagai kemutlakan yang tak dapat ditolak dan menguatkan posisi laki-laki di atas perempuan. Penggunaan konstruksi sosial tersebut membuat bentuk penolakan masyarakat terhadap perempuan yang maskulin, dominan, dan berada di lingkup publik. Pengambilan peran yang berbeda dari konstrusinya justru dilihat sebagai pembangkangan atas tanggung jawab, dan juga dinilai sebagai hilangnya identitas diri ‘keperempuanan’.

  DAFTAR PUSTAKA Bourdieu, Pierre, 2010. Dominasi Maskulin. 1st ed. Yogyakarta: Jalasutra.

  Foucault, M., 1990. The Use of Pleasure. Vintage Books. Gauntlett, David, 2002. Media Gender and Identity. Routledge. Kuntjara, Esther, 2004. Gender, Bahasa, dan Kekuasaan. 2nd ed. Jakarta: Gunung Mulia.

  Mulvey, L., 1996. Fetishism and curiosity. Indiana University Press. Muniarti, A. Nunuk P., 2004. Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam

  Prespektif Agama, Budaya, dan Keluarga. 1st ed. Magelang: IndonesiaTera.