RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK Repository - UNAIR REPOSITORY

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

ABSTRAK

  Penelitian ini menganalisis wacana resistensi perempuan Batak yang direpresentasikan oleh film Demi Ucok yang menentang adanya dominasi- dominasi sistem patrilineal dalam etnis Batak. Penelitian ini menggunakan analisis wacana (discourse analysis) berperspektif kritis yang meliputi teks,

  discourse practice (pelibat teks) dan sociocultural practice sebagai bahan analisis.

  Pisau analisis tersebut digunakan peneliti untuk mengungkap bagaimana resistensi perempuan Batak tersebut diwacanakan sekaligus melihat dominasi-dominasi yang diwacanakan dalam film sehingga menyebabkan munculnya wacana resistensi tersebut.

  Untuk dapat menjelaskan bagaimana wacana dominasi dan resistensi perempuan Batak diartikulasikan dalam film, peneliti mengaitkan dengan wacana- wacana lain yang saling berkorelasi dengan penelitian. Wacana kekuasaan (power), konsep mayoritas dan minoritas, stereotipe hingga mengaitkan dengan identitas etnis khususnya kaitannya dengan sikap etnosentrisme etnis Batak. Selain itu, dalam menganalisis peneliti memandang melalui kacamata feminisme untuk membongkar dominasi-dominasi yang diwacanakan dan kacamata postfeminisme dalam melihat bentuk resistensinya.

  Penelitian ini menunjukkan bahwa teks kultural yang direproduksi film Demi Ucok ternyata memperlihatkan adanya bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan kaum perempuan. Tiap kaum perempuan memiliki bentuk-bentuk resistensi yang beragam seperti halnya yang dibicarakan dalam perspektif post- feminisme. Namun, ternyata resistensi perempuan tersebut tidak dapat lepas dari peran laki-laki. Dalam hal ini, resistensi kaum perempuan tersebut justru menguatkan dominasi sistem patrilineal tersebut. Sehingga sebenarnya wacana resistensi perempuan Batak terhadap sistem patrilineal ini masih dilematis karena resistensi perempuan sebenarnya hanya mengukuhkan sistem patrilineal itu sendiri.

  Kata kunci: perempuan Batak, film, dominasi, resistensi, analisis wacana, etnis Batak.

  x

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

ABSTRACT

  This research analyzes Batak ’s female resistence discourse which is represented by movie

  “Demi Ucok” which is against domination of patrilineal system in Batak ethnic.This research uses critical perspective discourse analysis which includes discourse, discourse practice, and sociocultural practice as materials analysis.The researcher uses those methods to reveal the Batak's female resistence is discoursed and to see the dominations, which is discoursed in the movie, which is giving rise to the resistence discourse.

  The researcher connects to the other discoures which corelates each other with the research to explain the domination discourse and resistence of Batak's women in the movie. Power discourse, majority and minority concept, stereotype, up to ethnic identities, specifically those connection with the Batak ethnic ethnocentrism attitude.Moreover, the researcher uses 2 methods of analyzation, feminism perspective to reveal the dominations and post-feminism perspective to know the resistence's form.

  This research indicates that cultural text which is reproduced by movie Demi Ucok shows many resistence forms which is done by the women. Every female has different resistence forms which is informed at post-feminism perspective.Truthfully, the female resistence can't be separated from males's role. On the contrary, female resistence even strengthen the domination of patrilineal system.So that the actual Batak's female resistence discourse towards the patrilineal is still dilematic, because it is just strengthened the patrilineal system.

  Keywords: Batak’s female, movie, domination, resistence, discourse analysis, Batak ethnic.

  xi

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  peneliti semakin diperjelas melalui arti tersebut, ditambah dengan adanya pelabelan harga yang diberikan pada kedua anjing peliharaan tersebut.

  Manohara bernilai Rp 1.200.000 sedangkan Bobot bernilai jauh di bawah harga Manohara yaitu senilai Rp 40.000. Ditambah lagi, Bobot menggunakan baju persib (tim sepak bola Bandung) yang bernilai Rp 70.000. Baju persib tersebut memiliki harga yang lebih tinggi dibanding Bobot sendiri. Dapat diartikan Manohara memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan Bobot. Dalam dimensi tekstual, apabila dihubungkan dengan konteks perkawinan, pesan yang hendak disampaikan disini ialah perkawinan satu suku memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan perkawinan beda suku.

  Gambar 3. 10 Mak Gondut Dan Kedua Anjing Peliharaannya Dalam Nilai Harga Masing-Masing

  Dari pelabelan nilai yang cukup jauh tersebut, peneliti juga menemukan adanya penggolongan ke dalam kelas yang berbeda antara yang keturunan murni dan keturunan campuran. Adanya anggapan bahwa keturunan yang memiliki ras yang sama dianggap keturunan baik memperjelas bahwa harkat atau martabat seseorang bergantung juga dari latar belakang ia berasal. Burhanuddin (2008, hal.192) memperkuat interpretasi peneliti dengan mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan

  III-41

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  adanya prasangka dan diskriminasi yang terjadi pada kelompok mayoritas (dominan) dengan minoritas ialah etnosentrisme itu sendiri.

  Produsen teks (Mak Gondut) merupakan perempuan Batak yang juga merupakan keturunan murni Batak. Dalam perkawinannya pun, ia berhasil menikah dengan laki-laki satu suku. Disini peneliti menginterpretasi bahwa Mak Gondut hendak memberikan pesan bahwa ia merupakan salah seorang perempuan yang mahal (memiliki nilai tinggi) karena melalui perkawinan satu suku dan memiliki keturunan murni Batak (Gloria). Perilaku ini sebenarnya ialah untuk mengokohkan sistem patrilineal itu sendiri bahwa kenyataanya kaum Batak memiliki keunggulan yang memandang bahwa kaum Batak seharusnya memilih untuk menikah dengan kaum Batak lainnya untuk memperoleh peningkatkan harkat (kenaikan harga kalau dalam perumpamaan tersebut) dibandingkan kaum lain sehingga masyarakat Batak seharusnya memiliki sikap etnosentrisme tersebut.

  Scene tersebut seakan menjelaskan mengenai komentar-komentar dari orang-orang mengenai perkawinan (dalam scene sebelumnya) dimana nikah seharusnya pilihan dan ibadah sehingga adat seharusnya tidak membatasi seseorang memilih untuk menikah dengan kaum Batak atau tidak. Peneliti menginterpretasi bahwa scene Mak Gondut ini menutup dengan jawaban tegas mengenai pertanyaan pada scene sebelumnya “mengapa kawin dengan Batak?”. Hal ini karena Mak Gondut melihat bahwa kaum Batak merupakan kaum yang unggul dilihat dari pandangan

  III-42

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  mengenai ras murni yang dianggap lebih mahal dibandingkan ras campuran.

  Gambar 3. 11 Glo Bersama Dengan Tompul Di Rumah Niki

  Scene ini ketika Tompul, laki-laki Batak yang dijodohkan dengan Gloria, bimbang untuk memilih mengikuti kata hatinya atau mengikuti permintaan orang tuanya yang menginginkan untuk menikah dengan perempuan Batak. Ia merasa berat hati untuk menikah dengan perempuan Batak karena Tompul sudah terlanjur mencintai seorang perempuan asal Padang. Hubungan mereka kandas karena orang tua Tompul tidak mengizinkannya. Tompul telah berjanji untuk menikah dengan perempuan Batak sebelum sesaat setelah ibunya meninggal. Namun kemudian Gloria berusaha menyadarkan Tompul untuk mengikuti kata hatinya, yaitu dengan mempertahankan hubungannya dengan perempua Padang tersebut. Tompul kemudian merenung. Tak lama kemudian, Glo mengatakan seperti dibawah ini:

  “Udah, lagian kalo elo kawin sama gue elo harus bayar sinamot 2 juta perkilo.

Ya kan? Kalau ama orang padang, elo yang dibayar.”

  Scene ini menggunakan close-up shot dimana produsen teks sendiri sebenarnya hendak menunjukkan eskpresi Glo ketika mengatakan hal

  III-43

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  tersebut. Scene ini menunjukkan penekanan ekspresi dimana Glo seakan mengajari (menuntun) Tompul. Ekspresi Tompul yang tersenyum dan menundukkan sedikit kepalanya tanpa melihat ke arah Glo sementara Glo memfokuskan matanya melihat Tompul dengan seakan hendak menampilkan adanya posisi “pengajar” sedang bercengkraman dengan “yang didik”. “Pengajar” disini diartikan peneliti sebagai seseorang yang dianggap benar sedangkan “yang didik” dianggap tidak mengerti apa-apa dan sebaiknya mendengarkan “pengajar”. Secara implisit menjelaskan bahwa pernyataan Glo merupakan kebenaran dimana perempuan Batak memiliki keistimewaan melalui sinamot yang lebih tinggi dibandingkan perempuan Padang. Sikap etnosentrisme ini sudah dimunculkan melalui non verbal yang ditunjukkan tersebut.

  Sinamot adalah harga yang harus dibayar oleh pihak laki-laki kepada perempuan ketika hendak menikahi perempuan tersebut. Sinamot disini memiliki arti serupa dengan ‘mahar’. Melalui kutipan diatas, peneliti menginterpretasikan bahwa perempuan Batak dianggap lebih mahal dibandingkan perempuan Padang. Hal itu karena perempuan bernilai lebih dari 2 juta, dibandingkan perempuan padang yang justru membayar kepada pihak laki-laki yang melamarnya (tidak memiliki harga). Sebagaimana yang dikatakan Liliweri (2003, hal. 15), konsep etnosentris ini mewakili semangat dan ideologi untuk menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain. Kalimat tersebut diucapkan Gloria karena lawan bicara juga merupakan

  III-44

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  kaum yang sama dengannya (sama-sama Batak) sehingga Gloria tidak sungkan atau takut menyinggung ketika mengucapkan kalimat tersebut.

  Burhanuddin (2008, hal.192) juga mengemukakan bahwa etnosentrisme bersifat arbiter, artinya etnis manapun bisa bersikap etnosentris karena persoalannya hanya pada mayoritas dan minoritas. Dalam kondisi sosial seperti ini, etnis yang minoritas selalu menjadi bulan-bulanan etnosentrisme dari etnis mayoritas. Hal ini karena mereka (etnis minoritas) tidak memiliki kekuatan apa-apa. Selain itu disisi lain, kelompok mayoritas selalu merasa lebih unggul (superior) dari kelompok minoritas. Kritik Gloria terhadap perilaku Tompul yang malah mengikuti kemauan orang tua menikah dengan kaum sendiri (suku Batak) justru menampilkan wacana kecintaan pada suku sendiri (suku Batak). Penguatan etnosentrisme terekspresi melalui bahasa yang digunakan, walau dalam hal ini sebenarnya Gloria dalam posisi menentang perkawinan satu suku tersebut. Hal ini diinterpretasi peneliti sebagai bagian dari bentuk sikap etnosentrisme tersebut dimana sikap tersebut diwujudkan dengan mengaburkan identitas lain, dalam hal ini etnis Padang, dengan cara membandingkan kaum Batak dengan kaum padang itu sendiri. Menariknya, perempuan bahkan menjadi objek yang dibanding-bandingkan. Perempuan ikut sebagai korban dalam pengaburan identitas kaum lainnya yang tujuannya sebenarnya untuk mengukuhkan identitas kaum Batak itu sendiri.

  III-45

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Etnosentrisme membawa pengabdian individu ke titik ekstrim dimana individu tersebut tidak dapat mempercayai bahwa budaya lain yang terkait perilaku, norma-norma, cara berpikir, dan cara-cara menjadi sebagai baik atau layak bagi individu tersebut (Priandono, 2014, hal. 201).

  Sebagaimana kutipan dibawah ini:

  “Jadi harimau itu sekarang sudah menjelajah jakarta untuk menaklukan lebih banyak lagi Batak-Batak cantik.”

  Kutipan tersebut merupakan scene dimana terjadi percakapan antara opung dengan Gloria, sesaat setelah Gloria hendak mengucapkan salam pamit untuk bekerja. Harimau disini yang dimaksudkan ialah Acun, teman Gloria yang sedang menunggu Gloria saat itu, yang merupakan peranakan Cina. Arti harimau disini diinterpretasikan oleh penulis sebagai binatang buas yang menangkap mangsanya dengan gigi tajam dan tubuh yang kuat.

  Batak-Batak cantik diinterpretasikan sebagai mangsa dari daripada harimau tersebut. Sehingga, pernyataan Opung ini menyiratkan tanda peringatan kepada Batak-Batak cantik tersebut agar waspada terhadap harimau tersebut. Hati-hati disini bila dikaitkan dengan konteks perkawinan dapat bermakna hati-hati agar tidak jatuh cinta (menaruh rasa) kepada lawan jenis yang tidak satu suku (berbeda suku).

  III-46

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Gambar 3. 12 Glo Bersama Opung Sedang Ngobrol

  Opung merupakan salah seorang perempuan Batak yang pada akhirnya mengambil pilihan untuk menikah dan melahirkan serta mengasuh anak.

  Pilihan itu diambil opung dengan konsekuensi menguburkan impiannya menjadi seorang opera Batak.

  “Lagi mencari Batak-Batak cantik. Nyari aku dong

pung? Bukan kau, mamak kau.”

  Sebagaimana diungkapkan dalam kutipan diatas, tersirat bahwa Batak cantik yang dimaksud oleh Opung ialah bukan Gloria, melainkan mama Gloria yang tidak lain dan tidak bukan ialah Mak Gondut. Peneliti melihat bahwa pesan peringatan itu ditujukan khusus kepada siapa saja yang termasuk dalam kategori Batak cantik. Gloria yang juga merupakan perempuan Batak bahkan bukan termasuk dalam kategori Batak cantik seperti yang diungkap Opung. Hal ini berarti tidak semua perempuan Batak disebut atau termasuk dalam kategori Batak cantik.

  III-47

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Gambar 3. 13 Gloria Heran Dengan Jawaban Opung Tentang Konsep Batak Cantik

  Lantas yang membedakan Gloria dengan Mak Gondut sebenarnya hanya kepada prinsip atau pola pikir. Gloria dengan mindset mengejar dan meraih mimpi sedangkan Mak Gondut yang memilih untuk menikah dan berperan sebagai ibu rumah tangga. Apabila dihubungkan, maka peneliti menginterpretasikan bahwa yang termasuk dalam Batak cantik ialah perempuan Batak yang menikah dan melahirkan anak. Maka, pesan peringatan tersebut dimaknai sebagai pesan agar perempuan Batak (yang memilih menikah dan melahirkan anak) dapat lebih waspada terhadap daya tarik laki-laki suku lain. Ini yang disebut peneliti dengan pengesklusifan suatu kaum, dalam hal ini kaum Batak itu sendiri.

  Perempuan lagi lagi menjadi objek untuk dapat menjelaskan ekslusivitas kelompok tertentu (pemisahan kelompok satu dengan lainnya). Dikatakan bahwa perempuan Batak seharusnya masuk dalam “Perempuan Batak

Cantik” dan “Perempuan Batak Cantik” harus berhati-hati dengan kaum lainnya. Ini semua hanya untuk memberikan jarak dimana kaum Batak

  berbeda dengan kaum lainnya sehingga etnosentrisme itu wajar bagi kaum Batak.

  III-48

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Sistem patrilineal yang terus mengakar dan cenderung mendominasi sehingga mendiskreditkan perempuan mengakibatkan perempuan semakin kritis dan berhati-hati mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sistem patrilineal itu sendiri termasuk kehati-hatian memasuki institusi perkawinan. Ketidakadilan gender yang seringkali terjadi ketika perempuan memasuki tahap perkawinan ialah kekerasan. Telah cukup banyak kasus yang berkaitan dengan bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam keluarga. Kekerasan berupa fisik maupun dominasi laki-laki dalam menentukan peran perempuan itu sendiri.

  Anggapan mengenai perempuan yang hanya memiliki peran dalam ranah domestik dan tidak memiliki kemampuan untuk memasuki ranah publik juga salah satunya. Pertentangan atau konflik seperti hal itu seringkali kemudian menimbulkan kekerasann fisik. Maka tak asing lagi bila mendengar istilah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam hal ini terjadi ketidakdilan gender dimana tidak adanya kesetaran antara perempuan dan laki-laki. Hal ini cenderung dikarenakan:

  3. perempuan tidak diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki 4. perempuan tidak diberi penghargaan yang sama dengan laki-laki Bahwa masih cukup banyak kelompok masyarakat yang menggunakan pola pemikiran tradisional-patriarkhi dimana perempuan sesuai dengan kodratnya yaitu mengurus ranah domestik, bukan ranah publik seperti laki-laki. Padahal gender dan kodrat adalah dua aspek berbeda dan seharusnya tidak disamakan. Karena kodrat menyangkut kondisi biologis, sedangkan gender bukan.

  III-49

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Seperti halnya, seorang perempuan yang seharusnya pintar masak, karena itu adalah kodratnya. Asumsi itu tidaklah benar karena tidak ada unsur biologis yang berkaitan dengan hal masak-memasak dalam diri seorang perempuan, begitu pula dengan laki-laki. Maka, sewajarnya kegiatan memasak ini dapat dilakukan oleh kedua sepasang suami istri, mereka dapat saling bertukar peran sehingga relasi gender terjalin dengan baik.

  Ketiadaan bertukar peran yang seharusnya dilakukan inilah yang seringkali membawa perempuan pada posisi inferior, dimana perempuan berada pada kondisi yang tersubordinasi oleh laki-laki. Kedudukan kepala keluarga biasanya diberikan kepada laki-laki. Kuasa tersebut menyebabkan laki-laki menjadi kaum superior dalam keluarga. Laki-laki dapat mengatur seisi keluarga, termasuk sosok yang menjadi pendampingnya (istri). Perempuan diletakan dalam posisi pendamping suami, dalam hal ini saja sudah nampak jelas bentuk subordinasi terhadap perempuan pada kedudukan perempuan dalam institusi keluarga.

  Hal-hal semacam itulah yang kemudian menimbulkan perlawanan atau resistensi perempuan itu sendiri. Namun, perlawanan tidak serta merta menghasilkan suatu wacana alternatif yang radikal. Seringkali ada pandangan bahwa perlawanan didasarkan atas struktur yang ganda seringkali bersifat kontradiktif, tidak selalu mudah dipilah karena bersifat tidak lengkap, tidak selesai, ambigu, dan seringkali berkompromi dengan aparatus yang ingin dibongkar (Lo and Gilbert dalam Susanto, 2008, hal 25). Walau resistensi seringkali bersifat radikal, terlihat secara fisik namun resistensi tidaklah harus

  III-50

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  muncul dalam cara-cara yang baku. Resistensi dapat terbuka, implisir, segera atau tertunda. Maka, peneliti tertarik untuk mengelompokkan bentuk perlawanan yang dilakukan oleh kaum-kaum perempuan yang ada dalam film Demi Ucok, seperti dibawah ini:

  Resistensi atau perlawanan yang dilakukan dapat melalui kekerasan, seperti balas memukul, mencakar, menampar, dsb. Namun juga ada perlawanan yang hanya sebatas melawan secara verbal dengan kata-kata kasar dan suara dengan intonasi tinggi. Tidak hanya itu, perlawanan juga dapat dilakukan dengan diam membisu ketika diperlakukan tidak berkenan, dalam hal ini perempuan hanya menerima saja (Irianto dkk, 2006, hal.59). Begitu juga halnya dengan wujud perlawanan dalam film Demi Ucok yang beragam. Sebagaimana komentar Sammaria mengenai resistensi yang dimunculkan dalam film:

  Sammaria (sutradara): Saya selalu suka semua film perlawanan karena membuat dunia menjadi lebih dinamis.

  Sammaria tidak menafik bahwa resistensi merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Kehidupan sebagaimana kita ketahui dinamis (berubah-berubah) membuka peluang besar muncul resistensi-resistensi tersebut, baik dari perempuan bahkan laki-laki. Semua itu merupakan satu kesatuan yang menjadi bukti nyata tentang kedinamisan kehidupan. Film sebagai perantara atau media agar tiap manusia dapat menyadari akan hal itu. Film membantu manusia untuk mengilahmi arti kedinamisan

  III-51

  III-52 kehidupan, dimana resistensi juga menjadi bagian dari kehidupan yang dinamis tersebut.

  Perempuan sebagai seorang pemimpi adalah konsep yang paling sering ditampilkan dalam film ini. Konsep ini beberapa kali ditampilkan dalam beberapa scene dengan tokoh dan sudut pandang yang berbeda pula. Seperti halnya scene dibawah ini:

  “Once upon a time di kampung Angrum hiduplah seorang pemimpi yang pengen jadi artis.”

  Gambar 3. 14 Halaman Pertama (Hal.1) Cerita Glo tentang Perempuan Pemimpi “Dia pergi ke ibu kota mengejar mimpinya.”

  Gambar 3. 15 Hal. 2 Cerita Perempuan Pemimpi “Si pemimpi bertemu seorang Batak ganteng dan dijanjikan hidup happily ever after.”

  Gambar 3. 16 Hal. 3 Cerita Perempuan Pemimpi

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

“Seseram-seramnya ibu kota, lebih seram mimpi sendiri. Si pemimpi takut gagal.”

  Gambar 3. 17 Hal. 4 Cerita Perempuan Pemimpi “Dia memilih get married, forget her dream, and live boringly ever after.

  ” Gambar 3. 18 Hal. 5 Cerita Perempuan Pemimpi

  Kisah ini diceritakan oleh Glo sebagai awalan atau pembuka film Demi Ucok. Kisah yang menceritakan seorang perempuan yang senang bermimpi namun nampak menyesal karena tidak melanjutkan meraih mimpinya sebagai seorang artis. Keputusannya menikah membuatnya kemudian meninggalkan mimpinya dan menguburnya dalam-dalam.

  Dalam hal ini, secara implisit kisah yang diceritakan oleh Glo hendak membuat pernyataan tegas bahwa institusi perkawinan sebagai penghambat perempuan untuk mengembangkan diri. Perkawinan dianggap tidak dapat membantu perempuan untuk mengeluarkan potensi diri yang dimiliki oleh perempuan itu sendiri. Perkawinan dianggap mengikat (Sutardi, 2007 hal.83), membatasi serta mengekang perempuan berekspresi. Sebagaimana dikatakan Suhelmi (2007, hal.40) bahwa melalui

  III-53

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  lembaga perkawinan, perempuan terinstitusionalisasi secara sosial sebagai pekerja rumah tangga.

  Kalimat akhir yang mengatakan get married, forget her dream,

  “ and live boringly ever after secara eksplisit memperlihatkan kondisi serta

  ” posisi setelah perempuan memiliki unit sistem baru, yaitu keluarga.

  Bagaimana perempuan sesungguhnya dalam keluarga berkaitan pula dengan peran yang dilakukan sebagai istri. Pengambilalihan kekuasaan yang seharusnya dimiliki keduanya, saat ini hanya dimiliki laki-laki yang mendapat kedudukan atau posisi baru selain jadi suami, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Pembagian peran tidak lagi rata dan adil seperti yang dibayangkan. Plato (dalam Suhelmi, 2007, hal.40) juga melihat bahwa lembaga perkawinan telah menciptakan ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak memiliki kekuatan, ia hanya makhluk inferior bagi suaminya. Pada akhirnya, perempuan “terpaksa” meninggalkan atau melupakan mimpinya.

  Konsep mimpi bagi perempuan sebagai sebuah titik cerah yang dapat mengatasi kekelaman nasib perempuan ketika mengambil keputusan memasuki perkawinan. Bagi Glo, perkawinan bukanlah satu-satunya tujuan hidup atau mimpi perempuan. Masih ada beragam tujuan atau mimpi yang dapat dicapai oleh kaum perempuan. Inilah bentuk resistensi perempuan yang secara implisit hendak disampaikan dalam kisah seorang pemimpi yang diceritakan Glo, dimana Glo dapat menentang, melawan atau melakukan resistensi terhadap kuatnya sistem patrilineal perkawinan

  III-54

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Batak ialah dengan mewujudkan mimpi tersebut. Dengan mengusung konsep perempuan sebagai pemimpi, sebenarnya terselip harapan untuk dapat meresisten atau melawan dominasi laki-laki dalam sistem patrilineal Batak dalam perkawinan. Salah satunya ialah mengambil peran (bekerja) dalam ranah publik. Konsep yang dimaksudkan ialah perempuan juga dapat bekerja layaknya laki-laki lakukan dan itu bukan hanya sekedar mimpi belaka. Perempuan tidak hanya bisa mengonsep mimpinya tetapi melaksanakan atau mewujudkan mimpinya. Sebagaimana diungkapkan oleh sutradara:

  Sammaria (sutradara): film sebaiknya memberikan harapan.

  Disini, kata “harapan“ yang sebenarnya hendak ditekankan oleh

Sammaria. Film sebaga i medium dimana istilah “harapan” hendak

  diwacanakan sebagai salah satu bentuk resistensi perempuan dalam konsep perempuan pemimpi. Bahwa resistensi tidak berarti dalam bentuk kekerasan atau dengan bentuk anarkis, mimpi dapat menjadi bentuk resistensi baru yang dapat digunakan perempuan dalam mewacanakan harapan yang dimiliki oleh setiap manusia, terutama perempuan itu sendiri.

  Dalam kisah perempuan pemimpi diatas, mimpi disimbolkan dengan pekerjaan dalam ranah publik yaitu penghibur (artis). Artis merupakan salah satu pekerjaan yang berhubungan dengan publik atau orang banyak, karena salah satu peran artis ialah menghibur publik (entertain people). Berbeda halnya dengan ranah domestik, dimana peran

  III-55

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  yang dijalankan ialah mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga seperti merawat anak, memasak, dsb. Perempuan yang bekerja sebagai seorang artis (penghibur) kerap kali dikaitkan dengan isu-isu sensualitas/erotisme (Munti, 2005, hal. 118). Perempuan sebagai artis dimaknai konotasi, seperti misalnya mengumbar dan mempertunjukkan auratnya.

  Masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, terdapat kalimat dalam kisah perempuan pemimpi itu yang mengatakan seperti ini:

  “Seseram-seramnya ibu kota, lebih seram mimpi sendiri. Si pemimpi takut gagal.”

  Mimpi disimbolkan dalam bentuk yang menyeramkan, bahkan lebih menyeramkan dari ibukota. Mimpi memiliki pengertian yang berbeda- beda. Novel karya Lan (2006) mengisahkan kehidupan manusia yang penuh dengan uang, seks, sekaligus cinta dan kebersamaan melihat mimpi sebagai tanda dimana kehidupan itu ada, Maka seperti inilah kutipan dalam novel tersebut:

  Aku butuh mimpi. Aku butuh hidup. Aku butuh asa. Ku butuh cinta. Aku butuh mimpi yang hidup tentang asaan cinta. Karena mimpi, hidup itu ada (Lan, 2006, hal.271).

  Mimpi diartikan sebagai sebuah pengharapan dimana kehidupan manusia sebenarnya menggantungkan diri pada mimpi. Hidup tak memiliki kaki kokoh untuk dapat berdiri apabila mimpi tidak dapat menyokongnya. Itu sebabnya, perempuan akan terus hidup bila memiliki mimpi, atau sebaliknya. Mimpi hadir dari alam pikir manusia, sehingga orang yang terbaik yang mampu menyikap tabirnya ialah diri sendiri. Perempuan yang

  III-56

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  dapat memahami mimpi, berarti mampu memahami diri sendiri (Dee dkk, 2005, hal.1). Mimpi memiliki berbagai tafsir dan cenderung memiliki makna pribadi berdasarkan pengalaman, keyakinan agama, tradisi budaya setempat dan kehidupan masyarakat kini. Dominasi laki-laki dalam sistem patrilinealnya yang diwujudkan dalam sosok Mak Gondut dengan ambisinya mengawinkan Glo dengan laki-laki Batak disadari oleh Glo sebagai kenyataan yang tak terelakkan. Sehingga muncul konsep kisah perempuan pemimpi yang disampaikan Glo sebagai bentuk resistensinya atas kenyataan tersebut.

  Masih dalam konteks mimpi, ketika seseorang dalam keadaan penuh kita memandang segala permasalahan dari sudut pandang praktis dan harafiah, namun pada saat tidur dan bermimpi, masalah yang sama akan dilihat secara intuitif dan simbolis (Dee dkk, 2005, hal.2). Hal inilah yang dimaksud dengan “melihat” kehidupan dari dalam diri. Glo “melihat” kehidupan dari dalam dirinya bahwa perempuan bukanlah mahluk yang tanpa pilihan. Perempuan memiliki berbagai pilihan untuk “melihat” kehidupannya. Bagi Glo, kehidupannya ialah menjadi sutradara profesional. Perempuan memiliki kesempatan memiliki kehidupan bekerja dalam ranah publik, tidak melulu dalam ranah domestik seperti stereotipe- stereotipe yang ada. Sekali lagi, Glo memaknai konsep mimpi seperti kutipan perbincangan dibawah ini:

  “Masa sih dia ga gay? Kata emak gue sih dia mau ama gue. Terus kenapa elo ga mau?Gue itu mau bikin film.” “Mau buktiin ke emak gue, kalo gue bisa hidup dari mimpi gue. Ga cari aman kayak dia, kawin.”

  III-57

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Kutipan dialog tersebut ketika Glo sedang berbincang dengan Niki mengenai Tampubolon, laki-laki yang dijodohkan-jodohkan oleh Mak Gondut kepada Glo. Semalam sebelumnya, Glo mengalami perdebatan yang panjang dengan Mak Gondut tentang laki-laki yang seringkali dijodohkan Mak Gondut. Karena kesal, Glo kemudian kabur dari rumah. Ia kemudian menginap dirumah Niki. Dalam perbincangannya, Glo sempat menyelipkan perkataan “Ga cari aman kayak dia, kawin”.

  Dibalik mimpi tersimpan makna simbolis yang mana mengandung pesan agar kita tidak “melarikan diri” dari kenyataan (Dee dkk, 2005, hal.9). Perempuan yang memutuskan untuk berhenti berimpi (memilih opsi kawin) ialah perempuan yang memilih bermain aman atau dapat disebut “melarikan diri”. Kenyataannya bahwa meraih mimpi memerlukan upaya serta usaha dalam perwujudannya, atau tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Penerimaan perempuan dalam ranah publik tak sebaik penerimaan terhadap laki-laki, bahkan dalam segi upah yang diperoleh, perempuan memperoleh upah yang lebih sedikit bila dibandingkan laki-laki (Sunarto, 2009, hal.41). Perempuan belum mendapat pengakuan akan potensi yang dimiliknya. Pandangan ini merujuk pada isu perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, yang menempatkan biologis laki-laki sebagai yang utama atau superior daripada yang lainnya sehingga berimbas pada masalah gender (Munti, 2005, hal.168). Hal itu dianggap sebagai ketimpangan gender. Sementara itu, sebagian besar perempuan memilih kawin untuk mendapatkan jaminan

  III-58

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  keamanan keuangan sama seperti mereka mendambakan cinta dan persahabatan (Then, 2008, hal.68). Sehingga perkawinan seakan memberikan alternatif pilihan untuk melarikan diri dengan cara aman dari persaingan yang begitu ketat melawan dominasi laki-laki yang besar dalam ranah publik.

  Konsep perempuan pemimpi juga disampaikan oleh tokoh lain, Mak Gondut, dalam menunjukan makna secara implisit mengenai perempuan serta mimpi-mimpinya. Kutipan kisah tersebut ialah seperti dibawah ini:

  “Once upon a time di kampung Angrum hiduplah seorang pemimpi yang pengen jadi artis.”

Gambar 3.19 Halaman Pertama (Hal.1) Cerita Mak Gondut

  “Dia pergi ke ibu kota mengejar mimpinya.” Gambar 3. 20 Hal. 2 Cerita Mak Gondut

  III-59

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

“Untung mamanya selalu mendoakan anaknya yang sok tau ini.”

  Gambar 3. 21 Hal. 3 Cerita Mak Gondut “Si pemimpi menikah sementara adik- adiknya sibuk mengej ar karir”

  Gambar 3. 22 Hal. 4 Cerita Mak Gondut “Akhirnya si adik-adik berhenti nya juga bekerja. Sementara di pemimpi hidup happily ever after

  .” Gambar 3. 23 Hal. 5 Cerita Mak Gondut

  Mak Gondut menceritakan kisah mengenai seorang perempuan pemimpi yang memilih untuk berhenti mengejar mimpinya kemudian menikah.

  Walau awalnya perempuan tersebut sempat memilih pergi ke ibu kota hanya untuk mengejar mimpi, namun karena doa ibunya maka ia kemudian berubah pikiran. Ia memutuskan untuk berhenti bermimpi dan menikah sementara adik-adiknya masih tetap bermimpi. Keputusannya menikah menjadi keputusan yang tepat karena disamping hidupnya

  III-60

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  bahagia setelah menikah, adik-adiknya pun akhirnya berhenti bermimpi seperti yang ia lakukan dulu. Menurut kisah tersebut, pekerjaan diinterpretasi peneliti sebagai pembuang waktu, karena pekerjaan tidak memberikan atau tidak mengarahkan pada titik kebahagiaan. Disamping itu, keluarga (khususnya orang tua) memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan perilaku anaknya.

  Institusi perkawinan membuka kesempatan pada perempuan untuk mencapai kebahagiaan. Makna bahagia disini disandingkan dengan kata- kata “ever after” dimana berarti kebahagiaan yang didapat tidak sementara, melainkan berkelanjutan. Perempuan tidak seharusnya bersusah payah mencapai mimpinya. Perempuan tidak seharusnya bekerja dalam ranah publik. Menilik tahun 1950-an, perkawinan merupakan satu-satunya tujuan untuk mencapai standar hidup yang layak (Then, 2008, hal. 68). Mimpi yang sesungguhnya diinginkan perempuan ialah kebahagiaan yang berkelanjutan, yaitu ketika ia berhasil memasuki institusi perkawinan itu sendiri. Institusi perkawinan memberikan perlindungan pada setiap hak- hak perempuan (Burhanudin, 2002, hal.168). Relasi perkawinan memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi kedua belah pihak dalam mencapai kebahagiaan. Institusi perkawinan menciptakan keluarga dimana keluarga merupakan unit terkecil masyarakat.

  Dalam kehidupan keluarga, peran perempuan sebagai istri dan ibu sangat strategis. Perempuan akan sedapat mungkin menjaga nama baik keluarga serta suami. Perempuan bahkan menjadi pasrah, takut serta malu

  III-61

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  apabila kejadian atau peristiwa yang menimpa dirinya (yang masih dalam lingkup keluarga) diketahui orang lain. Rasa malu ini muncul karena ada anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan yang mengalami hal tersebut dari laki-laki sebagian besar disebabkan karena kecerobohan atau perbuatan perempuan sendiri yang tidak berkenan di hati laki-laki. Pembiaran (lumping it) terjadi karena bermacam-macam alasan. Perempuan yang merasa bahwa hal tersebut juga bagian dari kesalahan yang dilakukannya, ketergantungan yang besar terhadap laki-laki, dsb.

  Keenganan atau pembiaran tersebut akan terus menjadi silence violence (Irianto dkk, 2006, hal, 69).

  Itu sebabnya, perlu pertimbangan yang disandarkan pada akal sehat dan pikiran rasional mengenai untung ruginya mengingat ada kendala dan hambatan dalam praktiknya memasuki institusi perkawinan itu sendiri (Munti, 2005, hal.173). Untuk itu, bahkan ada kiat-kiat yang harus disiapkan sebelum memutuskan membentuk suatu sistem baru yang disebut dengan keluarga. Misalnya, selain aspek emosional, ada kesepakatan mengenai jangka waktu hidup bersama, kepemilikan atas barang dan perlunya mengkomunikasikan segala sesuatu, termasuk masalah kehadiran anak.

  Di sini nilai-nilai otonomi individu, kesetaraan dan rasionalitas, serta pentingnya kesepakatan keduanya yang tidak merugikan satu sama lain, komunikasi dan komitmen yang menjadi landasan kehidupan inidividu di era ini, menggantikan nilai-nilai lama menyangkut moralitas.

  III-62

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Gambaran sosok Glo dalam hal ini memperlihatkan betapa individu- individu di era globalisasi ini semakin refleksif dan semakin terlepas dari cengkeraman tradisi.

  “Ga mau. Glo ga mau hidup Glo sia-sia, Glo mau kejar mimpi !”

  Berkali-kali kalimat seperti kutipan diatas diucapkan oleh Glo. Kata sia-sia dipertegas oleh Glo ketika ia sedang berdebat dengan Mak Gondut. Sia sia ditujukan kepada perempuan yang kemudian mengambil keputusan untuk menikah dan meninggalkan keinginannya untuk mengejar mimpinya.

  Dengan tegasnya Glo memperlihatkan bahwa perempuan dapat melepas cengkraman tradisi etnis Batak yang begitu kuat dengan sistem patrilinealnya dengan mempertahankan konsep perempuan sebagai pemimpi. Mimpi menjadi bentuk resistensi itu sendiri, ketika Glo berusaha dengan keras dan begitu ambisius untuk mengejar mimpi tersebut.

  “Yang dipersatukan Tuhan bisa dipisahkan pengadilan

negeri, kenapa kita harus kawin?”

  Kutipan ini menjadi penanda bahwa ternyata ada pula proses seleksi terhadap nilai-nilai baru yang diwacanakan. Dimana dalam hal ini, Glo melihat pengadilan negeri mengambil bagian atau peran pada institusi perkawinan. Menurut Munti (2005, hal. 174) dalam proses tersebut terdapat dua bentuk sikap yang ditunjukkan. Pertama, merumuskan cara hidup baru dengan mengambil bagian tertentu dari budaya global, sambil tetap mempertahankan tradisi meski dengan substansi yang terus dikritisi.

  “Mi, harusnya tuh semua orang tu kayak inang uda. Keliling dunia dulu, nyobain semuanya dulu, baru terakhir nentuin pilihan.”

  III-63

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Sikap yang ditampilkan melalui kutipan diatas ini misalnya, ditunjukkan oleh beberapa perempuan yang menikmati kehidupan mereka sebagai lajang, meski mereka tetap mempertahankan idealisasi perkawinan. Ada konsep atau rumusan cara hidup yang berbeda yang menjadi pemandu dalam menjalankan kehidupan, disamping tidak ada elakan mengenai konsep perkawinan tersebut dalam etnis Batak. Kutipan tersebut merupakan perkataan Glo yang secara eksplisit mengiyakan perilaku Tante Nora (namboru Glo).

  Namboru memiliki pilihan untuk menikmati kehidupannya, dengan meraih mimpinya terlebih dahulu melalui keliling dunia.

  Gambar 3. 24 Tante Nora (Namboru Glo)

  Namboru hingga saat ini belum memiliki pasangan karena obsesinya mencapai impian-impiannya untuk dapat berkeliling dunia. Ia memilih untuk menomorduakan masalah perkawinan karena prioritasnya untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Sebenarnya perilaku ini merupakan salah satu bentuk resistensinya terhadap keterbatasan perempuan untuk harus memenuhi tuntutan budaya mengenai perkawinan dan sistem patrilineal budaya Batak. Hal ini dapat terlihat dari kutipan sebagai berikut:

  III-64

  III-65

  “Siapa bilang harus, nikah itu pilihan tau.”

  Baginya nikah merupakan pilihan. Perempuan tidak harus mencapai titik memiliki pasangan, memasuki perkawinan dan memiliki keturunan.

  Kalimat ini diucapkan olehnya ketika Glo bertanya tentang konsep perkawinan. Namboru tidak beda jauh dengan Glo, kaum perempuan yang tidak menyukai kekangan atas batas-batas yang dimiliki perempuan. Perkawinan berpotensi besar untuk mengekang kebebasan perempuan. Perkawinan melahirkan bentuk-bentuk dominasi melalui sistem patrilineal yang dipegang teguh etnis Batak sehingga yang menjadi korban hanya perempuan. Seperti halnya pendapat yang dikemukakan Munti (2005, hal.174) mengenai perempuan lajang kosmopolit:

  Sebagai lajang kosmopolit, mereka mengidentikkan diri mereka dengan nilai-nilai yang membentuk hasrat terhadap kehidupan lajang, yakni gambaran (prototip) tentang perempuan yang cerdas dan berkualitas, memiliki wawasan luas, bebas dan mandiri, sukses juga aktif, memiliki karir yang cemerlang dibidangnya, serta memiliki komunikasi dan relasi yang luas dengan banyak orang. Di atas semua itu, kehidupan lajang dikaitkan dengan hasrat menikmati hidup sepuas- puasnya tanpa beban, sekaligus memiliki kemampuan dalam mewujudkan keinginan-keinginannya, sebagai individu yang bebas dan percaya diri (Munti, 2005, hal. 174).

  Mimpi menciptakan nilai-nilai yang membentuk hasrat terhadap kehidupan lajang. Namboru menjadi individu yang bebas dan percaya diri dalam mengembangkan diri melalui karir dan prestasi dalam berkarir. Itu lah yang hendak pula ditunjukkan Glo dengan sifat ambisiusnya membuat film keduanya, sekaligus menjadi bentuk resistensi Glo terhadap dominasi laki-laki. Perempuan tidak lagi diciptakan untuk mengurusi rumah tangga dan berbakti di dalam keluarga di bawah kekuasaan laki-

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  laki. Bahkan pekerjaan tidak lagi dipandang oleh perempuan sebagai usaha sampingan dari pekerjaan utama di rumah yang mensyaratkan kepatuhan menaat aturan-aturan, yang berada dalam kendali laki-laki (Al- Sa’dawi, 2000, hal.52).

  Bentuk resistensi Glo ini didorong pula pada kepercayaannya terhadap idolanya. Mengutip perkataan Qasrina Umi, seorang sutradara inspiratif yang diidolakannya, mengenai kehidupan:

  “Kata Qasrina Umi live by your passion, and the whole world will conspire to help you

  ”

  Bahwa kehidupan seharusnya dijalani dengan apa yang diinginkan oleh manusia itu sendiri, khususnya perempuan. Kata

  “passion’ disini dapat berarti keinginan besar yang seringkali disebut juga dengan nafsu.

  Perempuan memiliki kemampuan untuk mencapai mimpi-mimpinya. Perempuan memilki nafsu yang sebenarnya mampu mencapai mimpi- mimpi tersebut.

  “Elo itu cuman mau menyenangkan orang tua elu, emak elu. Kalau kita menyenangkan orang lain terus, kapan kita happy? Kita harus menyenangkan diri kita. Live by your passion

  .”

  Maka seperti kutipan percakapan diatas, Glo memperlihatkan bahwa sebenarnya cengkraman tradisi perkawinan bahkan sistem patrilineal itu dapat dilepas melalui bentuk resistensi atau perlawanan. Caranya ialah dengan menjalankan kehidupan dengan berpedoman pada keinginan diri sendiri. Dengan menikmati kehidupan lajang, Glo lebih memiliki otonomi atas dirinya, dan pada gilirannya mampu mengambil jarak dengan harapan dan tuntutan budaya (khususnya orang tua, dalam

  III-66

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  hal ini Mak Gondut) terhadap peran perempuan di dalam perkawinan yang diidealisasikan.

  Sammaria (sutradara): Saya percaya kita tidak bisa mengubah orang lain. Yang bisa diubah hanya diri sendiri. Jadi jikalau memang ada nilai-nilai suatu kelompok tidak sesuai dengan hati nurani kitaa, sebaiknya kita yang mencari kelompok lain yang sesuai dengan nilai yang kita yakini.

  Pada kutipan pernyataan sutradara sekaligus penulis skenario film Demi Ucok ini nampak jelas adanya pengakuan mengenai perbedaan ideologi-ideologi antara kaum tidak dapat terelakkan, dimana ideologi tersebut menjadi dasar pendiri kaum tersebut sehingga sulit untuk mengubah bahkan menghilangkan ideologi tersebut. Yang dapat dilakukan ialah mengubah diri sendiri. Kalimat “mencari kelompok lain yang sesuai dengan nilai yang kita yakini” merupakan salah satu bentuk resistensi atau perlawanan yang seharusnya dilakuakan perempuan menghadapi dominasi sistem patrilineal. Solusi terbaik yang ditawarkan oleh produsen teks ini ialah perempuan Batak memiliki kesempatan untuk meristensi atau melawan dengan mencari kelompok lain yang sesuai dengann nilai yang diyakini, dimana hal ini mengungkapkan adanya nilai yang tidak sesuai dalam konsep perkawinan etnis Batak yang diakui oleh sutradara.

  Itulah mengapa dalam film, secara jelas dan cenderung berulang (meski tidak dengan kalimat yang benar-benar sama) kalimat seperti dibawah ini:

  “Gue ga mau jadi emak gue”

  Kalimat tak ingin menjadi Mak Gondut, tak ingin kawin dan kalimat negasi lainnya seakan menegaskan adanya ketidaksesuaian yang dialami

  III-67

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  dan dirasakan oleh perempuan Batak terhadap sisten patrilineal yang disodorkan oleh etnis Batak. Perempuan Batak seakan terbatas atau terkungkung dalam sistem patrilineal itu sendiri.