BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan - Tri Astuti BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini digunakan bagi penulis untuk

  memberikan referensi atau acuan, untuk membedakan antara penelitian yang dulu dengan yang akan ditulis agar tidak disangka plagiat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Desi Ardianingsih (2009) berjudul Eufemisme dalam Rubrik Seksologi dan Ginekologi Majalah Wanita. Penelitian yang berupa Skripsi karya mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini menyimpulkan bahwa:

  1. Bentuk satuan gramatik eufemisme dalam rubrik seksologi dan ginekologi majalah wanita bulan Juni

  • – September tahun 2008 berupa kata dan frasa.

  2. Nilai rasa yang digantikan oleh eufemisme dalam rubrik seksologi dan ginekologi majalah wanita bulan Juni-September tahun 2008 adalah nilai rasa tidak baik yang mencakup konotasi tidak pantas dan konotasi kasar.

  3. Pemakaian eufemisme dalam rubrik seksologi dan ginekologi majalah wanita bulan Juni-September tahun 2008 bertujuan menggantikan bentuk gramatik (kata ataufrasa) yang mengandung konotasi tidak baik. Hal ini untuk menjaga dan memelihara keharmonisan hubungan dengan pemirsanya.

  4. Referensi eufemisme dalam rubrik seksologi dan ginekologi majalah wanita bulan Juni-September tahun 2008 mencakup keadaan, aktivitas, bagian tubuh, orang, benda dan penyakit.

  6 Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang sekarang yaitu pada masalah penelitian dan sumber data penelitian. Masalah pada penelitian sebelumnya yaitu bentuk eufemisme, konotasi yang digantikan dengan eufemisme dan macam referen eufemisme. Sedangkan pada penelitian sekarang masalah penelitian yang digunakan hanya bentuk eufemisme dan konotasi yang digantikan dengan eufemisme. Sumber data pada penelitian sebelumnya yaitu rubrik seksologi dan ginekologi, sedangkan pada penelitian sekarang sumber data yang digunakan yaitu rubrik problematika. Persamaan penelitian sekarang dan penelitian sebelumnya yaitu sama- sama mendeskripsikan eufemisme.

  B. Pengertian Semantik

  Kata semantik adalah istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya, atau dengan kata lain bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti dari satuan-satuan bahasa seperti kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana (Chaer, 2002: 2-6). Menurut Verhaar ( dalam Pateda 2001:7), semantik berarti teori makna atau teori arti. Selain untuk memahami makna atau arti dari unsur sebuah bahasa, kajian semantik juga menganalisis tentang sebuah maksud dan sebuah tindak ujar.

  C. Makna 1. Pengertian Makna

  Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Chaer, 1994: 287) makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang „mengartikan‟ yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan unsur yang „diartikan‟ yang wujudnya berupa pengertian atau konsep. Misalnya tanda linguistik berupa (ditampilkan dalam bentuk ortografis) <meja> terdiri dari komponen mengartikan, yakni berupa runtunan fonem /m/, /e/, /j/, dan /a/, dan komponen diartikan berupa konsep atau makna „sejenis perabot kantor atau rumah tangga‟. Menurut Djajasudarma makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makna adalah makna atau maksud suatu kata.

2. Aspek Makna a. Sense (Pengertian)

  Aspek pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara atau penulis dan kawan bicara berbahasa sama. Makna pengertian tersebut juga tema, yang melibatkan ide atau pesan yang dimaksud. Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan kawan bicara menggunakan kata-kata yang mengandung ide atau pesan yang dimaksud.

  Dalam hal ini istilah sense juga menyangkut tema pembicaraan sehari-hari, misal: tentang cuaca: (1) Hari ini hujan,(2)Hari ini mendung. Di dalam komunikasi tersebut tentu ada unsur pendengar (ragam lisan) dan pembaca (ragam tulis), yang mempunyai pengertian yang sama terhadap satuan- satuan hari, ini, hujan, dan mendung. Kita memahami tema di dalam informasi tersebut karena apa yang kita katakan atau apa yang didengar memiliki pengertian dan tema. Kita mengerti tema karena kita paham akan kata-kata yang melambangkan tema tersebut.

  b. Feeling (Perasaan)

  Aspek perasaan berhubungan dengan sikap pembaca terhadap situasi pembicaraan. Di dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhubungan dengan perasaan (misal, sedih, panas, dingin, gembira, jengkel, gatal). Untuk menyatakan situasi yang berhubungan dengan aspek makna perasaan tersebut, digunakan kata-kata yang sesuai dengan situasinya. Misalnya, pada situasi sedih tidak akan muncul ekspresi gembira, “Turut berduka cita” dan “Ikut bersedih.” Hal itu disebabkan ekspresi tersebut hanya muncul dan cocok pada situasi kemalangan atau kesedihan, misal, bila ada yang meninggal dunia. Kata-kata tersebut memiliki makna yang sesuai dengan perasaan. Kata-kata yang sesuai dengan makna perasaan ini muncul dari pengalaman. Misalnya, dia mengatakan “Penipu kau!”, merupakan ekspresi yang berhubungan dengan pengalaman tentang orang yang disebut “Kau.” Dia merasa pantas menyebut orang yang disebut “Kau” sebagai penipu karena tindakannya yang tidak baik.

  c. Tone ( Nada )

  Aspek nada (tone ) adalah “an attitude to his listener” (sikap pembicara terhadap kawan bicara) atau dikatakan pula sikap penyair atau penulis terhadap pembaca. Aspek nada ini melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan keadaan kawan bicara dan pembicara sendiri. Apakah pembicara telah mengenal pendengar, apakah pembicara berkelamin sama dengan pendengar, atau apakah latar belakang sosial-ekonomi pembicara sama dengan pendengar, apakah pembicara berasal dari daerah yang sama dengan pendengar. Hubungan pembicara- pendengar (kawan bicara) akan menentukkan sikap yang akan tercemin di dalam kata- kata yang akan digunakan. Aspek nada ini berhubungan pula dengan aspek perasaan. Bila penutur jengkel maka sikap dia akan berlainan dengan sikap ketika perasaannya bergembira, bila jengkel, dia akan memilih aspek nada meninggi, bila memerlukan sesuatu, dia akan beriba-iba dengan nada merata atau merendah. Bandingkanlah aspek makna nada berikut:

  (1) Kereta api dari Yogya sudah datang. (2) Kereta api dari jogya sudah datang? (3) Pergi ! d.

   Intension (Tujuan)

  Aspek tujuan ini adalah “his aim, conscious or unconscious, the effect he is

  

endeavouring to promote” (tujuan atau maksud, baik disadari maupun tidak, akibat

  usaha dari peningkatan). Apa yang dia ungkapkan di dalam aspek tujuan memiliki tujuan tertentu, misal, dengan mengatakan “Penipu kau!” tujuannya supaya kawan bicara mengubah kelakuan (tindakan) yang tidak diinginkan tersebut. Aspek ini berarti berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai melalui pernyataan atau ungkapan kita.

  Aspek makna tujuan ini melibatkan klasifikasi pernyataan yang bersifat deklaratif, persuasif, imperatif, naratif, politis, dan paedagogis (pendidikan). Keenam sifat pernyataan tersebut dapat melibatkan fungsi bahasa di dalam komunikasi.

D. Eufemisme 1. Pengertian Eufemisme

  Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemizien yang berarti berbicara dengan kata-kata yang jelas dan wajar, yang diturunkan dari eu ‟ baik‟ + phanai

  „berbicara‟. Jadi, secara singkat eufemisme berarti pandai berbicara, berbicara baik

  (Dale, 1971 dalam Tarigan, 1985). Lebih lanjut menurut beliau bahwa eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dianggap merugikan, dirasakan kasar, atau yang tidak menyenangkan (Tarigan, 1985: 143). Menurut Keraf (2006:132) menyatakan bahwa eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau ungkapan- ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menginggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat dikatakan bahwa eufemisme merupakan suatu usaha dalam pemakaian bahasa untuk menggantikan kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi. Kata-kata yang dianggap kasar diganti dengan kata-kata yang lebih halus. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan eufemisme. Ungkapan pelembut ini ada pada semua bahasa yang digunakan untuk menjaga perasaan orang lain. Di dalam situasi dan keadaan tertentu kita memerlukan timbang rasa.

E. Bentuk Eufemisme

  Yang dimaksud bentuk di sini adalah bentuk satuan-satuan gramatik yang digunakan sebagai eufemisme. Satuan gramatik adalah satuan-satuan yang mengandung arti, baik arti leksikal maupun arti gramatik (Ramlan, 2009: 27). Arti leksikal adalah arti yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun.

  Berbeda dengan arti leksikal, arti gramatik baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Satuan gramatik meliputi morfem, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Satuan-satuan gramatik yang digunakan sebagai eufemisme hanya berupa kata, frasa, dan klausa.

1. Kata

  Kata ialah satuan bebas yang paling kecil. Atau dengan kata lain, setiap satu satuan bebas merupakan kata (Ramlan, 2009: 33). Menurut Chaer (1994: 162) kata satuan bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi, dan mempunyai satu arti. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kata merupakan satuan yang paling kecil yang memiliki satu pengertian. Perhatikan contoh kata-kata berikut: mobil, rumah, sepeda,ambil, dingin, dan kuliah. Keenam kata yang kita ambil itu kita akui sebagai kata karena setiap kata mempunyai makna. Berbeda dengan kata adepes, libma, ninggis, dan haklab. Kata tersebut merupakan bukan termasuk kata dari bahasa Indonesia karena tidak mempunyai makna. Dalam penelitian ini peneliti mengamati bentuk eufemisme yang berupa kata secara spesifik yaitu: a.

   Kata Dasar

  Menurut Tarigan (2009: 20) kata dasar adalah satuan terkecil yang menjadi asal atau permulaan suatu kata kompleks. Kata dasar adalah kata yang belum mendapat penambahanbaik awalan maupun akhiran http://id. answers. yahoo.

  

com/question/index?qid= 20080409040004 AA1 hONF . Dari pendapat di atas dapat

  disimpulkan bahwa kata dasar adalah satuan terkecil atau kata yang belum mendapat penambahan baik awalan maupun akhiran atau belum mengalami proses afiksasi.

  Contoh eufemisme yang berbentuk kata dasar misalnya mantan yang menggantikan bekas. Eufemisme hamil yang menggantikan kata bunting.

b. Kata Bentukan 1) Kata Berimbuhan

  Kata berimbuhan adalah kata yang mengalami pengimbuhan atau afiksasi Imbuhan atau afiks adalah morfem terikat yang digunakan dalam bentuk dasar untuk menghasilkan suatu kata. Hasil pengimbuhannya menghasilkan kata berimbuhan atau kata turunan. Dari definisi- definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kata berimbuhan adalah kata yang telah mengalami pengimbuhan atau afiksasi. Contoh eufemisme yang berbentuk kata berimbuhan misalnya dimakamkan yang menggantikan dikuburkan.

2) Kata Majemuk

  Kata majemuk adalah bergabungnya dua kata dasar atau lebih secara padu dan menimbulkan arti yang relatif baru (Muslich,2009:57). Kata majemuk adalah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya. Disamping itu, ada juga kata majemuk yang terdiri dari satu kata dan satu pokok kata sebagai unsurnya. Misalnya, daya tahan, lempar lembing, dan ada pula yang terdiri dari pokok kata semuanya, misalnya lomba lari, jual beli, simpan pinjam, dan lain-lain. Para tata bahasa struktural menitikberatkan kajian pada struktur, datang dengan konsep bahwa kedua unsur kata majemuk tidak bisa dipisahkan dengan unsur lain dan tidak bisa dibalik susunannya.

  Umpamanya bentuk mata sapi dalam arti telur yang digoreng tanpa dihancurkan adalah sebuah kata majemuk sebab tidak bisa dipisah, misalnya menjadi matanya sapi atau mata dari sapi atau tidak bisa dibalikkan menjadi sapi mata. Contoh eufemisme yang berbentuk kata majemuk misalnya pembantu rumah tangga yang menggantikan

  babu.

  3) Kata bentukan di luar proses morfologi (akronim)

  Akronim adalah pemendekan dua kata atau lebih menjadi satu kata saja, dengan kata lain akronim merupakan kata. Maknanya merupakan kepanjangan kata tersebut (Pateda, 2001:150). Menurut Chaer (1994: 192) akronim adalah hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Wujud pemendekannya dapat berupa pengekalan huruf-huruf pertama, berupa pengekalan suku-suku kata dari gabungan leksem, atau bisa juga secara tidak beraturan. Contoh eufemisme yang berbentuk kata bentukan di luar proses morfologi (akronim) misalnya lapas yang menggantikan penjara.

  2. Frasa

  Frasa ialah satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 2005:138). Frasa merupakan bagian dari klausa, jadi apabila frasa mempunyai ciri-ciri klausa maka tidak lagi menjadi frasa tetapi klausa (Soeparno, 1988: 80). Frasa merupakan satuan linguistik yang lebih besar dari kata dan lebih kecil dari klausa dan kalimat. Selain itu frasa merupakan kumpulan kata nonpredikat. Artinya frasa tidak memiliki predikat dalam strukturnya uwiiesworld.wordpress.com/2011. Jadi dapat disimpulkan bahwa frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak memiliki predikat dalam strukturnya. Contoh eufemisme yang berbentuk frasa yaitu pemutusan hubungan kerja yang menggantikan bentuk pemecatan, pemberlakukan tarif baru menggantikan bentuk kenaikan harga dan tingkat perekonomian yang rendah menggantikan bentuk kemiskinan .

3. Klausa

  Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkontruksi predikati. Artinya, di dalam kontruksi itu ada komponen, berupa kata dan frase, yang berfungsi sebagai predikat, dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan (Chaer,1994: 231). Soeparno (1988: 82) mendeskripsikan bahwa klausa sebagai suatu satuan gramatikal yang berkonstruksi Subjek (S) –Predikat (P). Jadi dapat disimpulkan bahwa klausa adalah satuan gramatika yang terdiri dari subjek dan predikat bisa juga disertai objek dan keterangan. Contoh eufemisme yang berbentuk klausa yaitu menafkahi keluarga menggantikan bentuk mencari uang untuk keluarga.

F. Konotasi 1. Pengertian Konotasi

  Konotasi adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotasi sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju, tidak setuju, senang, tidak senang, dan sebagainnya pada pihak pendengar. Di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama (Keraf, 2006:29). Menurut Tarigan(1985: 59), menyatakan bahwa nilai rasa sama pengertiannya dengan konotasi.

  Konotasi atau nilai rasa adalah kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi, yang biasanya bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata.

2. Macam-macam Konotasi

  Berdasarkan sifatnya, konotasi menurut Tarigan (1985: 59) dibedakan menjadi dua macam yaitu konotasi individual dan konotasi kolektif. Konotasi individual adalah nilai rasa yang hanya menonjolkan diri bagi orang perseorangan. Konotasi kolektif adalah nilai rasa yang berlaku untuk para anggota suatu golongan atau masyarakat. Perlu diketahui benar-benar bahwa penelitian terhadap nilai rasa individual jauh lebih sulit daripada nilai rasa kolektif, sebab untuk mengetahui nilai rasa individual kita harus meneliti setiap individu baik lahir maupun batin, sejarah, perkembangannya, dan aspek-aspek lainnya. Selanjutnya konotasi kolektif atau nilai rasa kelompok ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu konotasi baik dan konotasi tidak baik.

a. Konotasi Baik 1) Konotasi Tinggi

  Konotasi tinggi merupakan kata-kata sastra dan kata-kata klasik yang lebih indah dan anggun terdengar oleh telinga kita. Di samping itu, kata-kata asing juga pada umumnya menimbulkan anggapan rasa segan, terutama bila orang kurang atau sama sekali tidak memahami maknanya. Dengan kata lain, kata-kata asing yang demikian juga berkonotasi tinggi. Oleh karena itu, kata-kata tersebut mendapat konotasi atau nilai rasa tinggi atau konotasi baik. Contoh kata-kata yang mengandung nilai rasa tinggi yaitu aksi „gerakan‟, bandar „pelabuhan‟, bahtera „perahu, kapal‟ dan lain-lain.

2) Konotasi Ramah

  Ketika berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan masyarakat, kita sering menggunakan bahasa daerah ataupun dialek untuk menyatakan hal-hal yang langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Karena dengan menggunakan bahasa daerah justru lebih mudah, lebih cepat terasa akrab, dan ramah daripada menggunakan bahasa Indonesia yang terkesan kaku dan terlalu formal. Jadi, dapat disimpulkan kata-kata yang memiliki makna konotasi ramah biasanya terdapat dalam bahasa daerah. Berikut beberapa contoh kata-kata yang terasa mengandung konotasi ramah:Akur

  „cocok,sesuai‟, Berabe„susah‟, dan Cialat„angsur‟. Sehubungan dengan dua jenis konotasi baik di atas yaitu konotasi tinggi dan konotasi ramah, penulis menyimpulkan bahwa eufemisme bisa mengandung keduanya yaitu konotasi tinggi dan konotasi ramah.

b. Konotasi Tidak Baik 1) Konotasi berbahaya

  Konotasi berbahaya, yaitu salah satu jenis nilai rasa kolektif yang berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat terutama yang bersifat magis. Pada saat tertentu, ada kata-kata yang pengucapannya harus dihindari karena dapat mendatangkan mara bahaya. Contoh kata yang mengandung konotasi berbahaya yaitu harimau. Konteks kalimat: ” pada saat Andri mencari kayu bakar di hutan tiba-tiba ada harimau yang mau mendekati Andr i (dalam hatinya Andripun ketakutan).” Andripun berkata: kiai tolong jangan ganggu saya, disini saya Cuma mau mencari kayu bakar. Penggunaan

  Kata harimau pada konteks kalimat di atas bisa diganti dengan kata nenek atau kiai. Dalam hal ini kata harimau mempunyai konotasi berbahaya karena erat sekali berhubungan dengan kepercayaan masyarakat kepada hal-hal yang bersifat magis.

  Oleh karena itu, kata harimau diganti dengan kata nenek dan kiai yang mengandung nilai rasa tidak berbahaya.

  2) Konotasi tidak pantas

  Konotasi tidak pantas, yaitu salah satu jenis nilai rasa kolektif yang berkaitan erat dengan kelas sosial dalam masyarakat. Pemakaian atau pengucapan kata-kata yang mempunyai rasa tidak pantas dapat menyinggung perasaan lawan bicara atau objek pembicaraan. Hal tersebut dapat terjadi terutama jika pembicara mempunyai martabat lebih rendah daripada lawan bicara atau objek pembicaranya. Oleh karena itu, apabila seseorang sebelum mengucapkan sesuatu hendaknya dipikir terlebih dahulu, apakah kata tersebut pantas atau tidak untuk diucapkan, karena tidak semua kata memiliki nilai rasa yang pantas untuk diucapkan. Contoh kata yang mengandung konotasi tidak pantas yaitu beranak kata ini bisa diganti dengan konotasi yang lebih pantas „bersalin‟.

  3) Konotasi tidak enak

  Jika konotasi tidak pantas membicarakan kata-kata yang memang tidak sepantasnya untuk diucapkan. Maka konotasi tidak enak membicarakan kata-kata yang memiliki rasa tidak enak untuk didengar oleh telinga. Konotasi tidak enak mendapat nilai rasa tidak enak. Pemakaian atau pengucapan kata-kata yang mempunyai nilai rasa tidak enak ini kurang baik untuk diungkapkan. Kata-kata semacam ini disebut dengan istilah latin “ in malem partem.” Berikut contoh kata-kata yang memiliki makna konotasi tidak enak, orang udik (orang desa), keluyuran (jalan- jalan), royal (menghambur-hampurkan), lacur (celaka, sial, sundal), cingcong (ulah, omong), petengtengan (berlagak pandai), ludes (habis sama sekali), jalang (liar, tidak dipelihara orang), mata keranjang (sangat gemar akan perempuan) dan lain-lain.

  4) Konotasi kasar

  Konotasi kasar, yaitu salah satu jenis rasa kolektif yang sering digunakan oleh rakyat jelata. Biasanya kata-kata tersebut berasal dari suatu dialek dan akibat pengaruh dari budaya luar. Ungkapan-ungkapan tersebut sering diganti karena dianggap kurang sopan apabila digunakan dalam pembicaraan dengan orang yang disegani. Contohnya, kata kontol yang merupakan kata umum ( semua kalangan ) tidak cocok untuk digunakan. Terlebih jika objek pembicaraannya orang yang disegani, karena itu kata tersebut sering diganti dengan kemaluan lelaki, dan kata babe yang berasal dari dialek Betawi diganti dengan bapak.

  5) Konotasi keras

  Untuk melebih-lebihkan suatu keadaan, biasanya seseorang memakai kata-kata atau ungkapan-ungkapan. Jika ditinjau dari segi arti maka hal tersebut dapat disebut hiperbola, dan kalau dari segi nilai rasa atau konotasi disebut konotasi keras.Biasanya kata-kata atau ungkapan yang memiliki konotasi keras, lebih suka diucapkan orang- orang, karena sebagian masyarakat dalam menegur atau menyindir seseorang secara tidak langsung lebih suka melalui kata-kata atau ungkapan yang bermakna konotasi keras daripada secara langsung berterus-terang ke inti permasalahan, dengan alasan untuk menghindari suatu perselisihan. Kata-kata yang memiliki konotasi keras tidak hanya bermakna negatif, tetapi juga bermakna positif seperti memuji seseorang atau menggambarkan sesuatu yang luar biasa. Contohnya, cantik molek, Puji Tuhan dan

  jurang kematian.

c. Konotasi Netral atau Biasa 1) Konotasi bentukan sekolah

  Dalam bahasa Inggris konotasi bentukan sekolah disebut conotation of learned

  

form. Konotasi bentukan sekolah ini sebenarnya merupakan batas antara nilai rasa

  bentukan sekolah dengan nilai rasa biasa. Tetapi karena frekuensi yang luas maka nilai rasa biasa mempunyai suatu kesejajaran dengan nilai rasa bentukan sekolah.

  Misalnya dari kehidupan sehari- hari, kalau orang biasa mengatakan “saya datang tengah hari.” Maka orang terpelajar atau pelajar akan mengatakan “saya datang pukul

  12.00 tepat siang.”

  2) Konotasi kanak-kanak Dalam bahasa Inggris konotasi kanak-kanak disebut infantile connotation.

  Konotasi kanak-kanak merupakan nilai rasa yang biasanya terdapat di dalam dunia kanak-kanak. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa orang tua pun juga sering pula memakai nilai rasa tersebut. Konotasi kanak-kanak ini merupakan nilai rasa yang biasanya digunakan anak-anak maupun orang tua untuk memanjakan diri sendiri. Oleh karena itu, baik anak-anak maupun orang tua sering sekali memakai nilai rasa tersebut. contoh: papa „bapa, ayah‟, mimi „minum‟, bobo „tidur‟, dan nyonyo „menyusu‟.

  3) Konotasi hipokorostik

  Dalam bahasa Inggris konotasi hipokorostik biasa disebut pet-name or hypochoristic connotation. Konotasi hipokorostik ini merupakan konotasi yang sering sekali dipakai dalam dunia kanak-kanak, yaitu pemakaian sebutan nama kanak-kanak yang dipendekkan lalu diulang. Konotasi hipokorostik ini merupakan nilai rasa yang digunakan anak kecil yang baru belajar berbicara. Tidak mungkin seorang anak kecil yang baru belajar berbicara langsung lancar dalam berbicara. Oleh karena itu, anak kecil yang baru belajar berbicara sering menggunakan sebutan nama yang dipendekkan lalu diulang. Contoh : Lolo, Lili, Lala,Nana, Nono, Mimi, Tata, Titi, Dede, Toto, Didi, Aa, dan Uu.

4) Konotasi bentuk nonsense

  Konotasi bentuk nonsense dalam bahasa Inggris disebut dengan connotation of

  

nonsense-form . Konotasi bentuk nonsense ini merupakan nilai rasa yang sudah lazim

  dipakai oleh orang, tetapi nilai rasa ini tidak mengandung arti. Contohnya kata-kata tra-la-la, pam-pam-pam, na-nana-nana, dan tri-li-li. Tujuan penggunaan eufemisme adalah untuk menghindari bentuk larangan atau tabu. Oleh karena itu, dari ketiga macam konotasi kolektif yang harus dihindari yaitu konotasi yang tidak baik. Macam konotasi yang tidak baik yaitu konotasi berbahaya, konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi kasar dan konotasi keras. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konotasi yang bentuknya harus digantikan dengan bentuk eufemisme yaitu konotasi berbahaya, konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi kasar, dan konotasi keras.

  Sedikit berbeda dengan pendapat Tarigan, Chaer (2007: 292) menyebutkan bahwa konotasi dibedakan menjadi tiga, yaitu konotasi positif, konotasi negatif, dan konotasi netral. Konotasi positif adalah nilai rasa yang mengenakan. Sebaliknya, konotasi negatif adalah nilai rasayang tidak mengenakan yang bisa membuat orang tersinggung. Konotasi netral adalah konotasi yang tidak menimbulkan nilai rasa positif atau negatif. Berdasarkan jenis-jenis konotasi yang diuraikan di atas peneliti menyimpulkan bahwa eufemisme mengandung konotasi positif yaitu nilai rasa yang mengenakan, menyenangkan, bahkan tidak membuat orang tersinggung. Sesuai dengan definisi eufemisme di atas konotasi positif tersebut meliputi nilai rasa sopan, nilai rasa halus, dan nilai rasa tinggi.

G. Rubrik “Poblematika” 1. Pengertian Rubrik

  Menurut Sugono (dalam kamus besar bahasa Indonesia, 2008: 1321) rubrik yaitu karangan yang bertopik tertentu di surat kabar,majalah dan sebagainya. Menurut Alwi (dalam kamus besar bahasa Indonesia,2012: 1186) rubrik adalah kepala karangan (ruangan tetap) di surat kabar,majalah dan sebagainya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan rubrik adalah kepala karangan dalam media cetak baik surat kabar maupun majalah. Rubrik dalam surat kabar misalnya, tajuk rencana, surat pembaca atau dogeng anak. Selain dalam surat kabar, rubrik juga dimuat dalam majalah. Misalnya rubrik pengetahuan, arena anak atau apa kabar kawan. Isi rubrik ada yang secara jelas ditampilkan oleh penulis (tersurat) dan ada yang tidak secara jelas ditempilkan oleh penulis (tersirat). Isi rubrik merupakan pokok masalah yang dibicarakan dalam rubrik. Rubrik memuat isi dan pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Isi rubrik merupakan hal pokok yang dibahas dalam rubrik. Sementara itu pesan rubrik merupakan anjuran atau nasihat penulis yang terdapat dalam rubrik yang ditunjukan kepada pembaca.

2. Pengertian Poblematika

  Poblematika berasal dari akar k ata bahasa Inggris “poblem”. Artinya,soal, masalah, atau teka-teki. Poblematika juga berarti ketidaktentuan. Alwi (dalam kamus besar bahasa Indonesia,2012: 896) problem adalah masalah atau persoalan, jadi problematika itu sendiri berarti permasalahan atau persoalan yang sedang terjadi. Dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan yang menimbulkan permasalahan. Dari kesimpulan mengenai rubrik dan poblematika maka dapat disimpulkan bahwa rubrik poblematika adalah rubrik yang berisikan informasi-informasi mengenai persoalan-persoalan yang terjadi yang ada di dalam majalah Kartini.

H. Majalah Kartini 1. Pengertian Majalah

  Menurut Alwi (dalam kamus besar bahasa Indonesia,2012: 698) majalah adalah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan topik aktual yang patut diketahui pembaca. Menurut waktu penerbitannyamajalah dibedakan atas bulanan, tengah bulanan, mingguan. Menurut pengkhususan isinya dibedakan atas berita, wanita, remaja, olahraga, sastra, ilmu pengetahuan tertentu, dan sebagainya. Oleh karena itu, majalah dijadikan salah satu pusat informasi bacaan yang sering dijadikan bahan rujukan oleh para pembaca dalam mencari suatu hal yang diinginkannya. Eksistensi majalah muncul karena kebutuhan masyarakat akan informasi beragam yang sesuai dengan gaya hidup masyarakat saat ini.

2. Pengertian Kartini

  Kartini atau yang sering disebut Raden Adjeng Kartini adalah pahlawan wanitayang lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah dan pada tanggal 17 September 1904 Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.Raden Ajeng Kartini merupakan pahlawan wanita yang mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Dari kesimpulan mengenai majalah dan Kartini maka dapat disimpulkan bahwa majalah Kartini adalah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan topik aktual yang patut diketahui pembacayang berisikan berbagai informasi.