DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI KULTURAL KARYA DESAIN PERTAMANAN TRADISIONAL BALI REPRESENTASI CHAOS MENUJU ORDER

  

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN FUNDAMENTAL

DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI KULTURAL

KARYA DESAIN PERTAMANAN TRADISIONAL BALI

REPRESENTASI CHAOS MENUJU ORDER

  Penanggungjawab Program: Drs. I Gede Mugi Raharja, MSn.

  NIDN 0005076315 Anggota: I Made Pande Artadi, S.Sn., M.Sn. NIDN 0018117504 I.A. Dyah Maharani, ST.M.Ds. NIDN 0010057806

  Dibiayai oleh DIPA Institut Seni Indonesia Denpasar sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Nomor: 29/ IT5.3/PG 2013 tanggal 6 Mei 2013

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

  

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

NOVEMBER 2013

  i ii

  

RINGKASAN

  Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, ras dan agama/ kepercayaan, serta adanya kesenjangan ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin, menyebabkan peluang untuk terjadinya konflik dan kekerasan sangat terbuka lebar. Untuk mengantisipasi hal itu, Indonesia memerlukan pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Dalam hal ini, peranan pendidikan moral dan spiritual (humaniora) menjadi sangat penting untuk menanggulangi berkembangnya kekerasan di Indonesia. Budaya tradisi Indonesia, khususnya di Bali, sebenarnya memiliki cara pendidikan humaniora menyangkut moral dan spiritual melalui media kesenian, seperti lewat seni pertunjukan wayang atau lewat media lukisan seperti yang ada di Bale Kertha Gosa, Smarapura (Klungkung). Akan tetapi, pendidikan humaniora melalui kegiatan apresiasi atau pemahaman nilai-nilai moral dan spiritual melalui karya tesain taman, belum dimanfaatkan secara maksimal.

  Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan kajian budaya, melalui teori dekonstruksi. Kajian budaya memanfaatkan dekonstruksi untuk mengungkap instabilitas makna. Teori dekonstruksi digunakan untuk membongkar

  ―jejak-jejak‖ peristiwa chaos dan makna-makna yang tersebunyi di balik wujud desain taman. Teori rekonstruksi digunakan untuk mengetahui bagaimana dapat diciptakannya ketentraman dan kedamaian (order) di Bali, sampai diwujudkannya sebuah karya desain taman pada masa kerajaan Bali kuno. Objek penelitiannya adalah Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi yang ada di desa Tampaksiring, Gianyar.

  Dari hasil penelitian diketahui bahwa, karya-karya desain pertamanan peninggalan kerajaan Bali kuno, di balik perwujudannya menyimpan wacana peristiwa kekacauan (chaos). Peristiwa chaos muncul akibat pertentangan antar sekte keagamaan dan adanya mitos tentang Mayadanawa. Pada masa pemerintahan Raja Udayana, pertentangan antar sekte keagamaan tersebut menyebabkan dilakukannya penataan kehidupan sosial, budaya dan religi, yang antara lain menyangkut sinkritisme agama Hindu-Buddha. Hal inilah menyebabkan penduduk Bali menjadi bersifat sosial religius, sehingga tercipta ketentraman dan kedamaian (order).

  Penelitian ini dapat memberi kontribusi positip bagi bangsa Indonesia, bahwa pendidikan humaniora dapat dilakukan melalui media desain taman peninggalan purbakala, yang memiliki nilai-nilai luhur. Dalam jangka panjang, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan budaya bangsa, agar tumbuh kesadaran untuk meninggalkan budaya kekerasan, sehingga ketentraman dan kedamaian tetap terjaga.

  

PRAKATA

  Berkat rakhmat Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kami berhasil menyelesaikan penelitian Fundamental, dengan judul Dekonstruksi dan Rekonstruksi Kultural Karya Desain Pertamanan Tradisional Bali Representasi Chaos Menuju Order. Judul ini diangkat dari rasa keprihatinan terhadap seringnya terjadi kekerasan di masyarakat beberapa tahun terakhir ini, yang antara lain ada bersinggungan dengan masalah suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Untuk mengantisipasi hal itu, Indonesia memerlukan pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖, yang antara lain bisa melalui pendidikan moral dan spiritual (humaniora).

  Budaya tradisi Indonesia, khususnya di Bali, sebenarnya telah memiliki cara pendidikan humaniora menyangkut moral dan spiritual melalui media kesenian, seperti lewat seni pertunjukan wayang. Dalam penelitian ini dibahas karya desain pertamanan peninggalan kerajaan Bali kuno, yang dapat menunbuhkan apresiasi atau pemahaman nilai-nilai moral dan spiritual.

  Laporan penelitian ini berhasil kami susun atas bantuan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada:

  1. Direktur DP2M Dikti yang telah memberikan bantuan dana penelitian Fundamental.

  2. Rektor ISI Denpasar yang telah mendorong peningkatan kinerja kegiatan penelitian.

  3. Ketua LP2M ISI Denpasar, atas bantuan administrasi penelitian Fundamental.

  4. Bapak Prof. I Wayan Ardika dan Prof. Wedakusuma, serta semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.

  Kami menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu melalui kesempatan ini, izinkan kami memohon maaf atas segala kekurangannya. Meskipun demikian, kami berharap, semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi landasan pijakan bagi penelitian berikutnya.

  Sekian terimakasih.

  Denpasar, 27 Nopember 2013 Penanggungjawab Program

  I Gede Mugi Raharja iv

  

DAFTAR ISI

halaman

  i Halaman Pengesahan ………………………………………………………………….. RINGKASAN …………………………………………………………………………. ii PRAKATA …………………………………………………………………………….. iii DAFTAR ISI …………………………………………………………………………... iv DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………….. vi

  BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………..…………… 1

  BAB

  II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………….…………………………... 4

  4

  2.1 Dekonstruksi ………………………………………………………………………

  2.2 Rekonstruksi Kultural ……………………………………………………………... 6

  2.3 Taman Tradisional Bali ……………………………………………………………. 7

  2.4 Represent asi ……………………………………………………………………….. 10

  2.5 Chaos dan Order …………………………………………………………………... 11

  BAB III. TUJUAN DA N MANFAAT ………………………………………………... 14

  3.1 Tujuan ……………………………………………………………………………... 14

  3.2 Manfaat ……………………………………………………………………………. 14

  3.3 Temuan …………………………………………………………………………….. 14 BAB

  IV. METODE PENELITIAN ……………………...…..……………………….. 15

  4.1 Subyek Penelitian …………………………………………………………………. 15

  4.2 Metode Pengumpulan Data ……………………………………………………….. 16

  4.3 Metode Analisis Data ……………………………………………………………… 17

  4.4 P engecekan Keabsahan Data ……………………………………………………… 18

  4.4.1 Triangulasi ………………………………………………………………………. 18

  4.4.2 Menggunakan Bahan Referensi …………………………………………………. 18

  4.4.3 Member Chek ……………………………………………………………………. 19

  4.5 Metode Pendekatan ………………………………………………………………... 19 BAB

  V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………… 20

  5.1 Hasil Penelitian ………………………………...………………………………….. 20

  5.1.1 Taman Permandian Tirta Empul …………….. …………………………………. 20 v

  5.1.2 Taman Percandian Gung Kawi ………………………………………………….. 22

  5.2 Pembahasan ………………………………………………………………………... 25

  5.2.1 Representasi Chaos Menuju Order ……………………………………………… 26

  5.2.1.1 Kisah Mayadawa dan Hari Raya Galungan …………………………………… 27

  5.2.1.2 Pertentangan Sekte dan Sinkritisme Agama …………………………………... 32

  5.2.2 Rekonstruksi Kultural …………………………………………………………… 34

  5.2.3 Makna Kultural ………………………………………………………………….. 35

  5.2.3.1 Makna Politik ………………………………………………………………….. 36

  5.2.3.2 Makna Sosial Religius ………………………………………………………… 38

  5.2.3.3 Permainan Tanda dan Penundaan Makna ……………………………………... 39 BAB VI.

  RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA …...……………………………… 41 BAB VII.

  PENUTUP ………………………………………………………………….. 42

  6.1 Simpulan …………………………………………………………………………... 42

  6.2 Saran ……………………………………………………………………………….. 42 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. 43 LAMPIRAN Lampiran 1 Luaran Penelitian: Artikel Ilmiah Untuk Jurnal ………………………...... 45 Lampiran 2 Luaran Tambahan: Bahan Ajar …………………………………………... 54 Lampiran 3 Personalia Peneliti Beserta Kualifikasinya

  ……………………………….. 67 vi

  

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 2.1 Taman Gantung Babylonia, 3.500 SM dan Central Park New York, 1858

  8 Gambar 2.2 Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Ujung ……………………... 9

Gambar 3.1 Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi … 15Gambar 4.2 Model

  Analisa Interaktif ……..…………………………………………... 17

Gambar 5.1 Prasasti Batu di Pura Sakenan Desa Manukaya dan Taman Permandian

  21 Tirta Empul. 1928 …………………………………………………………

Gambar 5.2 Denah Pura Tirta Empul, Kolam Suci dan Taman Permandian ………….. 22Gambar 5.3 Taman Percandian Gunung Kawi, 1920

  —1949 …………………………. 23

Gambar 5.4 Kelompok Candi untuk Istri-istri Raja, Candi untuk Mahamentri dan

  24 Denah Percandian Gunung Kawi …………………………………………

Gambar 5.5 Patung Patih Kala Wong dan Tanah Pegat ………………………………. 31Gambar 5.6 Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu ……………………………………….. 33Gambar 5.7 Arca Perwujudan Udayana-Gunaprya Dharmapatni dan Candi Gunung

  34 Kawi ……………………………………………………………………….

Gambar 5.8 Rekonstruksi Relief Candi Buddha di Goa Gajah, Candi Buddha di Pura

  38 Pegulingan dan Replika Stupa Buddha di Pura Pegulingan Tmpaksiring… vii

BAB I. PENDAHULUAN Dalam sejarah peradaban manusia, desain taman sebagai suatu lingkungan binaan,

  mulai dari skala yang paling kecil (rumah dengan halamannya) sampai skala yang paling besar (negara dengan kota-kota dan taman rayanya), merupakan hasil dari suatu proses peradaban. Lingkungan binaan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, sangat ditentukan oleh kondisi alam, proses peradaban dan perkembangan kebudayaan manusia. Bagi manusia tradisional Nusantara yang hidup di alam tropis yang lembab, fungsi ruang luar dan pertamanan sangat penting. Karena dapat digunakan untuk beristirahat atau berkreasi di arsitektur ruang terbuka.

  Di zaman kerajaan, raja-raja Bali telah banyak berperanan dalam penataan alam binaan, antara lain dalam berbagai wujud desainnya taman peninggalan kerajaan yang masih dapat disaksikan sampai saat ini. Keberadaan taman peninggalan kerajaan-kerajaan yang ada di tengah alam Bali yang indah, seakan makin memperkokoh pendapat tentang Bali sebagai Pulau Surga. Tetapi di balik semua itu, sebenarnya Bali pernah mengalami suasana chaos, sebelum dibangunnya taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali pada masa lalu. Memang sesuatu yang bersifat alamiah apabila ketentraman dan kedamaian suatu peradaban bisa berubah, karena mengalami suatu peritiwa kekacauan atau chaos. Seperti halnya yang terjadi di Bali pada masa lalu atau di Indonesia sejak 1988. Suasana kekerasan seakan tak henti- hentinya mendera bangsa Indonesia. Apalagi Indonesia yang terdiri dari bermacam suku bangsa, ras dan agama, sangat berpotensi untuk terjadinya friksi atau gesekan-gesekan yang bisa menyebabkan suasana chaos. Untuk mengantisipasi hal itu menurut Piliang (2001: 281- 282), Indonesia harus memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Peranan lembaga-lembaga moral, dan spiritual harus diperkuat, untuk menghadapi berkembangnya tindak kejahatan berskala global.

  Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah ingin mengungkapkan, bahwa desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali menyimpan jejak-jejak peristiwa kekacauan (chaos) pada masa lalu. Jejak-jejak tersebut terangkai dalam jaringan tanda (semiotika)

  ―teks visual‖ dan memiliki makna tersembunyi di balik desain taman tersebut. ―Energi penyelamat‖ akhirnya datang dan membuat Bali menjadi tentram dan damai (order) kembali. Melalui taman yang kemudian dibangun oleh raja Bali, diharapkan dapat tertanam pendidikan moral dan ketahanan budaya (humaniora),

  1 penyelamatan sumber mata air (ekologi) , dan fungsi air sebagai ―pembersih‖ jasmani dan rokhani (spiritual dan kerokhanian), agar kehidupan di Bali tetap tentaram dan damai.

  Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengungkap ―jejak-jejak‖ peristiwa kekacauan (chaos) sampai terciptanya ketentraman dan kedamaian (order) di Bali, di balik desain taman peninggalan kerajaan-kerajaannya. Urgensi penelitian ini adalah memberi kontribusi positip bagi bangsa Indonesia menyangkut pendidikan moral, ekologi, spiritual dan kerokhanian, melalui media desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali.

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan budaya bangsa, serta dapat menumbuhkan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk tetap menjaga ketentraman dan kedamaian, serta melestarikan peninggalan-peinggalan budaya masa lalu, khususnya di bidang desain taman.

  Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah melalui media desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali dapat ditanamkan nilai-nilai pendidikan moral, ekologi, spiritual, kerokhanian dan kepribadian bangsa. Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini akan didukung luaran berupa artikel ilmiah untuk jurnal dan bahan ajar untuk mata kuliah desain taman (exterior). Temuan penelitian ini dapat memberi kontribusi mendasar pada bidang ilmu desain pertamanan dan pendidikan humaniora melalui karya desain pertamanan. Temuan ini merupakan gagasan fundamental dan orisinal untuk mendukung pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni, serta Sosial Budaya di Indonesia. Desain taman sebagai media pendidikan humaniora, merupakan kearifan lokal khas (indigenous) Bali dan orisinal dari budaya Nusantara.

  Penelitian ini akan dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan analisis berdasarkan pendekatan kajian budaya. Teori yang digunakan untuk mengungkap masalah dalam penelitian adalah teori dekonstruksi, untuk membongkar ―jejak-jejak‖ peristiwa chaos dan makna-makna yang tersebunyi di balik desain taman yang diteliti. Kemudian teori rekonstruksi digunakan untuk mengetahui bagaimana dapat diciptakannya ketentraman dan kedamaian (order) di Bali. Taman yang dibangun oleh raja setelah Bali mengalami peristiwa

  

chaos , merupakan dokumen teks visual yang dapat memberikan pendidikan humaniora, yang

  terus diwariskan dari generasi ke generasi dan juga dapat memberi kontribusi positip bagi bangsa Indonesia. Agar bisa dilakukan proses dekonstruksi dan rekonstruksi, maka proses identifikasi permasalahan dilakukan dengan melakukan survey awal ke lokasi-lokasi taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali dan berlandaskan pada hasil penelitian tahun-tahun sebelumnya. Semua data dikuantifikasi dan ditabulasi untuk menemukan berbagai

  2 permasalahan yang akan diangkat, sehingga dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:

  1. Jejak-jejak peristiwa apa yang bisa diperoleh dari dekonstruksi terhadap desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali?

  2. Makna dan nilai-nilai apa yang bisa diperoleh dari hasil rekonstruksi objek desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali?

  3. Kontribusi apa yang dapat disumbangkan untuk mendukung pengembangan IPTEKS di Indonesia?

  3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini termasuk bidang ilmu seni, dengan penekanan pada ilmu desain

  pertamanan dan juga berhubungan dengan ilmu humaniora. Pada bab ini akan diuraikan hasil penelusuran pustaka, hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan artikel-artikel ilmiah terutama yang terkait dengan desain pertamanan, serta pendekatan keilmuan yang digunakan dalam penelitian ini. Melalui kegiatan penelusuran pustaka, diharapkan dapat diperoleh berbagai hal, seperti informasi, konsep-konsep, ide-ide yang dapat memberi inspirasi dan membuka wawasan berpikir. Berdasarkan hal itu, nantinya akan dapat ditunjukkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian atau karya-karya tulis ilmiah yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian akan dapat diperlihatkan orisinalitas penelitian ini.

2.1 Dekonstruksi

  Dekonstruksi merupakan salah satu teori kritis yang muncul di era posmodern (post- strukturalis).Teori dekonstruksi dikemukakan oleh Jaques Derrida, dimaksudkan untuk membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan (Beilharz, 2003: 74). Tetapi Grenz dalam Sobur (2003: 97) mengungkapkan, bahwa dekonstruksi sangat sulit didefinisikan. Dekonstruksi justru menolak definisi, karena Derrida menghalangi pendefinisian tersebut. Meski sulit didefisikan, bagi Grenz, ada sesuatu yang dapat dikatakan tentang dekonstruksi. Pada prinsipnya, dekonstruksi berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi menggunakan asumsi filsafat atau filologi tertentu untuk menghancurkan logosentrisme. Logosentrisme adalah anggapan adanya sesuatu di luar sistem bahasa, yang dapat dijadikan acuan untuk sebuah karya tulis agar kalimat-kalimatnya dapat dikatakan benar (Sobur, 2003: 97). Menurutnya, prinsip utama filsafat tidak boleh berupa dasar transenden yang menyatukan segala bahasa. Filasafat harus berupa sistem simbol-simbol yang tidak berdasarkan sesuatu apa pun selain bahsa. Tujuan filsafat bukan mempertahankan atau menjelaskan sistem-sistem ini, tetapi dekonstruksi atau merobohkannya (Sobur, 2003: 97). Lewat suatu pendekatan yang disebut sebagai ―pembongkaran‖ atau ―dekonstruksi‖, Derrida memulai penelitian mendasar pada bentuk tradisi metafisis Barat dan dasar-dasarnya dalam hukum identitas.

  Sedangkan menurut Norris (2008: 11-13), pada awalnya dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Pada perjalanan selanjutnya, cara baca dekonstruktif sangat bermuatan filosofis. Unsur-unsur yang dilacaknya kemudian dibongkar. Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Tujuan yang diinginkan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersebunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks. Pembacaan dekonstruksi hanya ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan tiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal. Lebih lanjut, Norris (2008:13) menjelaskan bahwa sepintas lalu memang tidak ada tawaran ―konkret dari metode dekonstruksi. Yang diinginkan dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang membangun teks. Senada dengan hal tersebut, Wirtomartono (1995: 54) juga melihat tujuan dari dekonstruksi adalah aletheia (Yunani), yaitu kebenaran, keberadaan dan kondisi yang membuat suatu fenomenon bersinar melalui apa yang dikandungnya. Kebenaran dalam arti aletheia merupakan suatu permainan dari unsur-unsur yang kontradiktif dan oposisional.

  Demikian pula yang diungkapkan Piliang (2003: 14), bahwa dekonstruksi digunakan sebagai suatu metode analisis oleh Derrida, dengan membongkar struktur oposisi pasangan, sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. Tetapi, dekonstruksi bukan permainan bebas pembongkaran di sembarang waktu. Dekonstruksi hanya dimungkinkan ketika suatu struktur telah mengalami degradasi, keusangan, atau krisis (dalam waktu). Kajian budaya mengambil dari Derrida sejumlah istilah kunci, yaitu tulisan, intertekstualitas, tak dapat dipegang, dekonstruksi, difference, jejak dan suplemen, yang kesemuanya menekankan instabilitas makna. Tidak ada kategori yang memiliki makna universal mendasar kecuali konstruksi sosial bahasa. Ini adalah inti dari anti- esensialisme yang terdapat dalam kajian budaya (Barker, 2006: 80).

  Derrida bermaksud mengadakan suatu ‗dekonstruksi‘, sebagai suatu pembongkaran terhadap metafisika, bukan penghancuran terhadap metafisika. Derrida seolah-olah memutarbalikkan pandangan metafisika dengan mengatakan bahwa, kehadiran harus dimengerti berdasarkan tanda. Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace (jejak). Kehadiran timbul sebagai efek dari jejak. Seandainya jejak dihapus, maka kehadiran akan dihapus juga. Setiap percobaan untuk menghapus jejak, akan menggoreskan jejak lain lagi. Jejak selalu mendahului objek. Objek timbul dalam jaringan tanda. Jaringan atau rajutan tanda oleh Derrida disebut teks atau tenunan (Latin: texere artinya menenun). Menurut Bertens (1996: 331-333), makna selalu tertenun di dalam teks .

  5 Makna yang terdapat pada rajutan tanda sebagai teks tersebut merupakan semiotika. Adams (1996: 162) menyebut teori semiotika Derrida sebagai ―semiotik dekonstruksi‖.

  Makna yang terkandung di dalam teks, disebutkan tidak selalu pasti. Makna kata di dalam suatu konteks selalu berbeda. Derrida menyebutnya ―deferred‖. Menurut Piliang (2001: 310), bila semiotika konvensional menekankan proses signifikasi, yaitu memfungsikan tanda sebagai refleksi diri dari kode-kode sosial yang telah mapan, maka di dalam semiotika post- strukturalis yang ditekankan adalah proses significance. Significance adalah proses penciptaan kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas dan tak terbatas. Di dalam positions, Derrida juga menemukan bahwa kita tak bisa lagi terpaku pada makna/ petanda (signified) yang transenden, yang melampaui bentuk ungkapan/ penanda (signifier). Bedanya bentuk ungkapan dan makna itu kini cenderung mengapung. Setiap makna menjadi bentuk ungkapan baru dari makna berikutnya. Hubungan antara ungkapan dan makna yang pasti (signifier/ signified) memang penting untuk kasus-kasus tertentu, namun untuk kasus-kasus yang lain, yang ditemukan hanyalah ungkapan yang berbeda-beda dengan makna yang berbeda-beda pula secara tak terhingga. Inilah yang disebut trace oleh Derrida (Piliang, 2001: 310). Ini pulalah yang disebut-sebut sebagai semiotics of chaos atau semiotika ketidakberaturan.

  Senada dengan Piliang, Sobur (2003: 102) juga mengungkapkan bahwa, semiotika yang dikembangkan Derrida agak bertentangan dengan semiotika struktural yang dikembangkan Saussure, yang mengandalkan pada keabadian, kestabilan, dan kemantapan tanda, kode, dan makna-makna. Derrida sebagai salah seorang pemikir post-strukturalisme, lebih mampu mengakomodasi dinamika, ketidakpastian, gejolak dan kegelisahan-kegelisahan yang mencirikan budaya chaos.

2.2 Rekonstruksi Kultural

  Rekonstruksi berarti pembangunan kembali (Echols dan Shadily, 1975: 471). Dalam teori-teori kritis kajian budaya di era posmodern, rekonstruksi menurut Piliang (2003: 279- 280), rekonstruksi dapat ditafsirkan sebagai sebuah proses penataan ulang secara terus- menerus struktur, yang juga didekonstruksi secara terus-menerus. Artinya, setiap proses dekonstruksi berupa pencairan, peleburan, dan pembongkaran, harus diikuti dengan rekonstruksi, sehingga diperlukan semacam durasi atau tenggang waktu bagi hidupnya struktur beserta konsensus atau konvensi-konvensi yang membangunnya. Menurut Piliang, dekonstruksi bukan permainan bebas pembongkaran di sembarang waktu. Dekonstruksi dalam suatu budaya hanya dimungkinkan ketika suatu struktur telah mengalami degradasi,

  6 keusangan, atau krisis (dalam waktu). Sebaliknya, rekonstruksi harus selalu ditempa atau diuji penggunaannya dalam masyarakat lewat perkembangan waktu. Rekonstruksi dalam suatu budaya yang tidak teruji oleh masyarakat, tidak layak untuk hidup.

  Indonesia yang menganut sistem ekonomi kapitalisme yang belum dewasa, memiliki peluang untuk terjadinya konflik dan kekerasan. Hal ini diakibatkan oleh adanya kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin. Untuk mengantisipasi hal itu, menurut Piliang (2001: 281-282), Indonesia harus memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Peranan lembaga-lembaga moral, dan spiritual harus diperkuat, untuk menghadapi berkembangnya tindak kejahatan berskala global.

2.3 Taman Tradisional Bali

  Merujuk pendapat Piliang tentang perlunya lembaga-lembaga moral, dan spiritual untuk meredam terjadinya budaya kekerasan di Indonesia dan berkembangnya tindak kejahatan berskala global, maka sangat bermanfaat bila pendapat itu dicari padanannya di Indonesia. Agar kondisi sosial budaya bisa membumi dengan kondisi di Indonesia, maka situasi dan kondisi chaos yang pernah terjadi di masa Bali kuna dan di era pengaruh Majapahit dapat digunakan sebagai rujukan. Suasana chaos dan akhirnya menjadi Bali yang tentram dan damai (order) antara lain berkaitan dengan masalah pertamanan.

  Konsep taman sebagai tempat untuk bersenang-senang diduga berasal dari mitologi, mengingat rancangan dan susunannya nampak berasal dari praktek penanaman dan pengairan kuno. Menurut Laurie (1985: 9), asal mula pengertian taman berasal dari bahasa Ibrani, berupa kata gan dan oden

  . ―Gan‖ berarti melindungi atau mempertahankan, dan secara tidak langsung menyatakan lahan berpagar. ―Oden‖ atau ―eden‖ berarti kesenangan atau kegembiraan, seperti Taman Gantung Babylonia (1.500 SM), taman tertua dalam peradaban manusia yang ditemukan di kawasan Mesopotamia (Irak purba). Dalam bahasa Inggris, kata

  

gan dan eden menjadi garden, yang berarti sebidang lahan berpagar yang digunakan untuk

  kesenangan dan kegembiraan (Laurie, 1985: 9). Fungsi pertamanan yang merupakan bagian dari ―desain ruang luar‖, sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan tempat rekreasi (Ashihara, 1974: 3). Akan tetapi sekarang, fungsi pertamanan lebih ditekankan pada peningkatan kualitas lingkungan, selain untuk memenuhi kepuasan jasmani dan rohani manusia, seperti Central Park di New York, 1858 (lihat Gambar 2.1).

  Taman tradisional Bali menurut Intan Wianta dalam Salain (1996: 35), disebutkan bahwa pengertian taman dari sudut pandang masyarakat Bali adalah tempat untuk bersenang-

  7 senang (rekreasi/lilacita) milik raja atau dewa, seperti yang dijumpai pada lontar Sutasoma, Arjuna Wiwaha dan Kidung Malat. Dilukiskan pula bahwa di dalam taman akan dijumpai bunga-bunga yang indah dan harum, pepohonan, kolam/telaga yang kadang-kadang dilengkapi bangunan di tengah kolam. Pertamanan tradisional Bali sangat erat kaitannya dengan arsitekturnya. Perencanaan dan perancangan arsitekturnya sekaligus melahirkan taman (ruang luar), yang terbentuk akibat peletakan massa-massa bangunannya. Dalam areal perumahan, ruang luar yang terbesar terdapat di tengah-tengah areal rumah, yang disebut dengan natah (halaman rumah) atau natar (Salain, 1996: 34).

Gambar 2.1 Taman Gantung Babylonia, 3.500 SM (kiri) dan Central Park New Yok, 1858 (kanan)

  

(Sumber: Google.co.id)

  Dalam tesis Raharja (1999: 3), telah dipaparkan bahwa di zaman kerajaan, raja-raja Bali sangat berperanan dalam penataan alam binaan di Bali, antara lain dalam bentuk karya-kaya arsitektur pertamanan. Karya arsitektur pertamanan itu diwujudkan dalam bentuk taman untuk tempat suci, tempat rekreasi kerajaan dan taman permandian. Berbagai bentuk gubahan ruang dapat kita saksikan pada peninggalan karya-karya arsitektur pertamanannya. Beberapa peninggalan arsitektur pertamanan kerajaan-kerajaan di Bali masih dapat kita lihat di beberapa kabupaten (lihat Gambar 2.2). Kabupaten-kabupaten yang ada di Bali ini sebelumnya merupakan Daerah Pemerintahan Swapraja yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1 Juli 1938, sebagai kelanjutan dari kerajaan-kerajaan yang telah dikalahkan oleh Belanda saat itu. Kemudian oleh pemerintah RI, Pemerintahan Swapraja ini dihapus tahun 1950 menjadi Pemerintahan Daerah Tk. II / Kabupaten (Agung, 1989: 677). Bentuk-bentuk arsitektur pertamanan tradisional Bali pada umumnya berpola geometris. Hal ini bisa dilihat pada peninggalan karya pertamanan peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali.

  8 Sedangkan konsep ruang dalam pertamanan, inti sarinya adalah konsep ruang dalam keseimbangan kosmos (balance cosmologi), yang bersumber dari ajaran Tat Twam Asi (Gelebet, 1993: 5). Ruang makro (Bhuwana Agung) senantiasa harus seimbang dengan ruang mikro (Bhuwana Alit).

Gambar 2.2 Taman Permandian Tirta Empul, di Gianyar, abad ke-10 (kiri) dan Taman Ujung, di Karangasem, abad ke-20 (kanan)

  

(Sumber: Google.co.id dan Dokumen Puri Gede Karangasem)

  Menurut Salain (1996: 46), unsur-unsur taman tradisional Bali dalam perwujudannya secara umum menggambarkan hubungan antara taman sebagai mikrokosmos dengan alam raya sebagai makrokosmos. Hubungan ini bisa terlihat dari unsur-unsur dalam taman yang terdiri dari lima unsur alam yang disebut Panca Mahabhuta, yaitu: (1) apah, merupakan segala unsur cair di dalam taman; (2) teja, merupakan segala unsur cahaya yang ada di dalam taman; (3) bayu, adalah udara/angin; (4) akasa, adalah gas/eter/angkasa yang merupakan batas imajinasi dalam ruang atau batas pandangan (cakrawala/horison/langit); (5) pertiwi, adalah unsur tanah atau segala unsur padat di dalam taman. Khusus mengenai unsur tanaman yang ada di dalam taman tradisional Bali, menurut Oka (1996: 12) secara umum bersumber pada ―Lontar Taru Premana‖. Dalam lontar ini diuraikan tanaman yang memiliki fungsi obat dan religi. Karena itu penempatan tanaman dalam suatu tapak (site area) taman, akan disesuaikan antara tata nilai ruang dengan fungsi tanaman tersebut.

  Unsur bangunan yang ada pada taman tradisional Bali, jenis dan bentuk bangunannya disesuaikan dengan fungsi suatu taman. Untuk taman yang berfungsi sebagai tempat kegiatan keagamaan, maka akan dilengkapi dengan jenis dan bentuk bangunan-bangunan suci. Sedangkan untuk taman yang lebih banyak untuk fungsi rekreasi, bangunannya berupa balai peristirahatan, seperti Bale kambang. Untuk elemen-elemen yang bersifat fisik dan

  9 menunjang estetika taman tradisional Bali, secara umum berupa menara atau candi air mancur, patung dewa-dewi, patung-patung dari dunia pewayangan atau patung-patung binatang yang diambil dari ceritera rakyat Ni Dyah Tantri. Dalam ceritera Rakyat

  ―Ni Dyah T antri‖, manusia diajarkan untuk berbuat kebajikan melalui ceritera kehidupan dunia binatang (Anandakusuma, 1984: 3).

2.4 Representasi

  Baker (2006: 9) mengungkapkan bahwa, unsur utama cultural studies dapat dipahami sebagai studi kebudayaan, yang merupakan praktik pemaknaan representasi. Representasi dan makna budaya dapat dilihat pada wujud-wujud kebudayaan, yang dipahami dalam konteks sosial tertentu. Representasi menurut Piliang (2003: 18), adalah tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda dan simbol. Dunia simbol merepresentasikan sesuatu di luar dirinya (realitas atau dunia). Hubungan antara simbol atau tanda dan dunia realitas bersifat referensial, yaitu tanda merujuk pada realitas yang direpresentasikan. Keberadaan dunia tanda hanya dimungkinkan bila ada dunia realitas yang direpresentasikannya (Piliang, 2004: 46-47).

  Merujuk pada pendapat Hollier dalam Ikhwanuddin (2005: 86), arsitektur atau desain pertamanan pada dasarnya merupakan general locus atau framework dari ―representasi‖.

  Arsitektur atau desain pertamanan dapat merepresentasikan sebuah agama, kekuatan politik, peristiwa dan lain-lain. Arsitektur atau desain pertamanan identik dengan ruang representasi. Dengan demikian, sebuah desain taman selalu merepresentasikan sesuatu yang lain di luar ―dirinya‖, yang membedakannya dengan desain taman lainnya.

  Sesuai dengan pendapat Klotz dalam Ikhwanuddin (2005: 87) yang mengungkapkan, bahwa arsitektur dapat didefinisikan sebagai representasi dari sesuatu yang lain, maka desain taman juga dapat dikaitkan dengan bahasa, sehingga unsur metafor pada desainnya merupakan bagian dari representasinya. Mengacu pada pendapat Klotz tersebut, maka desain taman juga bisa mengacu pada desain postmodern, yang menggunakan bentuk-bentuk metaforik dan simbolik untuk memperkaya pemaknaan. Menurut Widagdo (1993: 9), desain posmodern menggunakan analogi bahasa sebagai bagian dari komunikasi desain, untuk menjelaskan maknanya. Analogi antara bahasa dengan desain, dipelopori tokoh arsitek posmodern Charles Jenks. Ada bermacam-macam analogi tata bahasa dalam arsitektur yang dikemukakan oleh Jencks, salah satunya adalah metafora.

  Menurut Piliang (2003: 18), representasi adalah tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda dan

  10 simbol. Dunia simbol merepresentasikan sesuatu di luar dirinya (realitas atau dunia). Hubungan antara simbol atau tanda dan dunia realitas bersifat referensial, yaitu tanda merujuk pada realitas yang direpresentasikan. Keberadaan dunia tanda hanya dimungkinkan bila ada dunia realitas yang direpresentasikannya (Piliang, 2004: 46-47).

  Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, represantasi adalah sebuah aktivitas yang dilakukan oleh manusia untuk menampilkan hubungan sosial perwujudan benda budaya yang digunakan oleh manusia, sehingga dapat dipahami maknanya oleh orang yang melihat wujud benda budaya tersebut, baik berupa teks, suara (nada, irama), bentuk visual (gambar), maupun dalam bentuk wujud bangunan (arsitektur dan desain interior).

2.5 Chaos dan Order

  Chaos merupakan suatu keadaan yang kacau. Peluang terjadinya kekacauan, konflik dan

  kekerasan di Indonesia sangat besar, karena adanya kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin. Selain itu, Indonesia yang terdiri dari bermacam suku, agama dan ras, juga berpotensi untuk terjadinya friksi atau gesekan-gesekan yang bisa menyebabkan suasana

  

chaos . Untuk mengantisipasi hal itu menurut Piliang (2001: 281-282), Indonesia harus

  memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Peranan lembaga-lembaga moral, dan spiritual harus diperkuat, untuk menghadapi berkembangnya tindak kejahatan berskala global. Merujuk pendapat Piliang, maka sangat bermanfaat bila pendapat itu dicari padanannya di Indonesia. Agar kondisi sosial budaya bisa membumi dengan kondisi di Indonesia, maka situasi dan kondisi chaos yang pernah terjadi di masa Bali kuna dan di era pengaruh Majapahit dapat digunakan sebagai rujukan. Suasana chaos dan akhirnya menjadi Bali yang tentram dan damai (order) antara lain berkaitan dengan masalah pertamanan.

  Dalam penelitian tesis Raharja (1999: 72) telah diungkapkan, bahwa Taman Permandian Tirta Empul di Tampaksiring peninggalan kerajaan Bali kuna, merupakan salah satu taman yang menurut cerita rakyat, berkaitan dengan kekacauan yang pernah mencekam penduduk Bali saat diperintah Raja Mayadanawa, yang melarang penduduk Bali sembahyang ke Pura. Setelah ketentraman dan kedamaian Bali pulih kembali, Raja Indra Jaya Singha Warmadewa kemudian membangun Taman Permandian Tirta Empul, untuk menyelamatkan ―mata air‖ yang telah menyelamatkan penduduk Bali. Dokumen yang memperkuat ceritera rakyat ini adalah berupa prasasti batu di Pura Sakenan desa Manukaya-Tampaksiring (Ardana, 1971: 66). Taman Permandian Tirta Empul kemudian juga dilengkapi tempat suci ―Pura Tirta Empul‖ di masa pemerintahan raja suami istri Masula Masuli. Bangunan- bangunan suci di Pura Tirta Empul merupakan hasil rancangan I Bandesa Wayah. Pada saat

  11 pembangunan Pura Tirta Empul inilah, semua pancuran permandian Tirta Empul diberi tanda sesuai dengan fungsinya (Soebandi, 1983: 59-60).

  Setelah Majapahit menanamkan pengaruhnya di Bali, penduduk Bali sempat berontak (Agung, 1991: 12). Setelah diadakan pertemuan dengan para tokoh dan pimpinan masyarakat Bali Aga, maka diadakanlah perombakan secara besar-besaran, untuk menampung aspirasi rakyat Bali. Sehinga sejak itulah perwakilan pemerintahan Majapahit di Bali pada masa pemerintahan Adipati Sri Semara Kepakisan bisa berjalan (Soebandi, 1981: 57). Setelah suasana chaos berganti dengan suasana tentram dan damai (order), dalam perkembangan selanjutnya banyak puri-puri kerajaan di Bali membangun Taman Gili, yang merupakan representasi suasana chaos menjadi order. Konsep filosofi Taman Gili bersumber dari mitologi Pemutaran Gunung Mandhara di Lautan Susu Ksirarnawa. Gagasan (order) taman berupa ―bangunan terapung‖ di tengah kolam dalam Raharja (1999: 81) memiliki makna suatu ―ketentraman di tengah kekacauan‖ (chaos).