DISKRIMINASI RAS DALAM NOVEL SUNDA SRIPANGGUNG KARYA TJARAKA: ANALISIS DEKONSTRUKSI DERRIDA

DISKRIMINASI RAS DALAM NOVEL SUNDA SRIPANGGUNG KARYA TJARAKA: ANALISIS DEKONSTRUKSI DERRIDA RACIAL DISCRIMINATION IN TJARAKA’S SRIPANGGUNG: DERRIDA DECONSTRUCTION ANALYSIS

Nursolihah Reiza D. Dienaputra

Fakultas Ilmu Budaya Budaya Universitas Padjadjaran Jln. Raya Bandung – Sumedang Km. 21 Jatinangor

e-mail: nursolihahzulfa92@gmail.com, reizaputra@unpad.ac.id

Naskah Diterima: 6 Juni 2018

Naskah Direvisi: 3 November 2018

Naskah Disetujui: 8 November 2015

Abstrak

Novel “Sripanggung” karya Tjaraka memuat rekaan gambaran kehidupan masyarakat etnis Sunda di perkebunan teh yang hidup sebagai buruh kontrak dan hidup di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana gambaran perlakuan diskriminasi pemerintah kolonial Belanda terhadap pribumi, khususnya etnis Sunda yang saat itu dipandang sebagai masyarakat kelas bawah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembacaan dekonstruksi, di mana teks sastra berupa ujaran yang ada di dalam nove l “Sripanggung” karya Tjaraka dianalisis untuk mengungkapkan tindakan diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap etnis Sunda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ujaran- ujaran teks sastra dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka memuat representasi tindakan diskriminasi berdasarkan ras yang dilakukan pihak kolonial Belanda terhadap kaum pribumi etnis Sunda sehingga memengaruhi perkembangan struktur sosial masyarakat Sunda kala itu.

Kata kunci: diskriminasi ras, novel sunda.

Abstract

Tj araka’s “Sripanggung” novel portrays of Sundanese familie’s daily life as labor contract of tea plantation that owned the Dutch colonial government. This article purpose is to reveal the discriminatory treatment of the Dutch colonial goverment against indigenous people, especially Sundanese who were seen as a lower class society. By using deconstruction reading method.

“Sripanggung” by Tjaraka’s is in a form of literary works and inside of it contain of speech that analyzed to reveal the discriminatory action of Dutch Colonial government against Sundanese

people. The result showed, the speeches in the novel accomodate representation of discrimination act based racial by the Dutch Colonial government against indigenous Sundanese people that affected the development of social structure of sundanese at that time.

Keywords: racial discrimination, sundanese novel.

Sunda berjudul Sripanggung karya Artikel ini menjelaskan mengenai Tjaraka. Pada artikel yang telah ditulis gambaran diskriminasi berdasarkan ras sebelumnya, pendekatan strukturalisme yang dilakukan bangsa kolonial Belanda digunakan untuk menganalisis novel Sunda terhadap masyarakat etnis Sunda yang Sripanggung karya Tjaraka. Seperti pada hidup di perkebunan teh dalam novel artikel yang ditulis oleh Mimin Mulyani

A. PENDAHULUAN

508 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522 yang berjudul “Pencitraan Tokoh Utama masyarakat dengan ras kulit putih juga

dalam Novel Sripanggung karya Tjaraka” menyatakan diri unggul atas segala macam pada tahun 2006, juga artikel yang ditulis ras manusia yang ada di muka bumi, pun Rany Mahardika yang berjudul “Analisis termasuk unggul atas ras mongolid (Asia).

Struktural dan Psikologis dalam Novel Maka persoalan diskriminasi ras tidak Sripanggung karya Tjaraka” pada tahun hanya terjadi di antara ras kulit putih dan 2015. Kedua artikel tersebut menggunakan ras kulit hitam. pendekatakan

Bangsa Asia dalam hal ini menganalisis struktur seperti tema dan Indonesia, yang dulu dinamakan Hindia penokohan dalam novel Sripanggung, Belanda oleh pemerintah kolonial Belanda namun pada artikel yang ditulis Rany menjadi salah satu sasaran tindakan Mahardika, analisis novel berkembang perlakuan diskriminasi ras sebagai akibat dengan

strukturalisme

untuk

menggunakan pendekatan dari adanya prasangka sosial yang psikologis tokoh utama.

menganggap bahwa ras kulit putih Dalam artikel yang ditulis kali ini (kaukasia) yang direpresentasikan oleh mengenai Novel Sripanggung karya bangsa Belanda pada saat itu lebih unggul Tjaraka, penulis mengembangkan kajian daripada ras mongoloid (Indonesia), analisis novel Sripanggung karya Tjaraka

Atas dasar prasangka ini pula yang dengan

menggunakan pendekatan membuat pemerintah kolonial Belanda dekonstruksi, yakni menganalisis novel melegitimasi diri untuk dapat melancarkan tidak hanya dari segi tekstual atau tindakan diskriminasi terhadap kaum strukturnya saja, namun juga dari segi pribumi Indonesia, seperti penindasan dan kontekstual yang terkandung di dalam eksploitasi, baik sumber daya manusia novel. Dalam hal ini, analisis berfokus maupun sumber daya alam. Dalam hal ini pada tema diskriminasi ras dalam novel diskriminasi ras tidak dapat dipisahkan Sunda Sripanggung karya Tjaraka. dari konsep kolonialisme, yang berarti Penggunaan

pendekatan dekonstruksi tindakan kolonialisme yang dilakukan diharapkan dapat memperkaya temuan- bangsa kolonial terjadi sebagai akibat dari temuan kontekstual juga kultural yang adanya perlakukan diskriminasi ras terkandung dalam novel Sripanggung, terhadap bangsa yang dijajah. sehingga dalam hal ini teks sastra seperti

diskriminasi yang novel salah satunya dapat memberikan dilakukan bangsa Belanda terhadap gambaran lebih jelas dan terang sebagai masyarakat pribumi pada masa peralihan sebuah dokumen sejarah.

Tindakan

pasca kemerdekaan sekitar tahun 1940- Tema sosial mengenai diskriminasi 1950 sejatinya tetap ada meski tidak terlalu ras telah menjadi isu sosial yang membumi kentara. Salah satunya tergambar dalam secara global di seluruh dunia, kaitannya karya sastra Sunda, yakni novel dalam hal ini berkenaan dengan Sripanggung karya Tjaraka. Novel ini pertentangan sosial di antara ras kulit putih merekam bagaimana kehidupan sosial (kaukasia) dengan ras kulit hitam masyarakat etnis Sunda di zaman (negroid). Maka dengan jelas kita akan pemerintahan kolonial Belanda. mengingat bagaimana orang-orang kulit

Kurun waktu masa kolonialisme hitam Afrika mengalami penindasan di pada novel ini terbagi dua, yakni masa bawah bayang-bayang kekuasaan ras kulit akhir pendudukan kolonial Belanda hingga putih (Eropa-Amerika).

masuknya Jepang menduduki kekuasaan di Namun,

pertentangan sosial Indonesia. Artikel ini hanya akan fokus mengenai diskriminasi ras tidak hanya membahas latar cerita dalam novel yang terjadi di antara ras kulit putih (kaukasia) menggambarkan masa akhir pendudukan dengan ras kulit hitam (negroid). pemerintah kolonial Belanda, khususnya Superioritas

yang

menjadi

senjata dalam kehidupan masyarakat etnis Sunda.

Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 509 Novel Sripanggung bukan semata

Suyatno Kartodirjo dalam buku karya fiksi belaka. Dengan latar belakang yang berjudul Sistem Tanam Paksa di sang pengarang, yakni Tjaraka yang Jawa memaparkan, bahwa sistem tanam semasa hidupnya sempat menjadi pelaku paksa di Jawa telah mengungkap dua perjuangan

revolusi kemerdekaan kenyataan sejarah. Pertama, Jawa abad ke- Indonesia dengan menuliskan sikap

19 menjadi sumber penghasil komoditas pemberontakannya di berbagai surat kabar ekspor penting bagi pasar dunia. Kedua, kala itu. Dalam novelnya yang berjudul Pulau Jawa memiliki kekayaan sumber Sripanggung , Tjaraka telah memberikan daya manusia sangat murah yang gambaran mengenai tindakan diskriminasi dimanfaatkan sebagai tenaga kerja untuk yang dilakukan pemerintah kolonial kebutuhan

Sistem Tanam Paksa. Belanda terhadap masyarakat etnis Sunda Kemudian, Robert van Niel masih di di perkebunan teh Malabar, serta dalam buku yang sama juga menunjukkan bagaimana tindakan diskriminasi itu telah bahwa sekitar 65-70 persen keluarga petani memberikan dampak negatif dalam Jawa dipekerjakan di

perkebunan- perkembangan struktur sosial masyarakat perkebunan kolonial. Dua kenyataan Sunda, secara lebih khusus terhadap sejarah itu jelas-jelas menunjukkan adanya kondisi psikis masyarakat Sunda itu eksploitasi kolonial secara besar-besaran di sendiri.

bidang ekonomi dan sosial sejalan dengan Novel Sripanggung bukan hanya politik kolonial subjektivitasi Belanda (van menceritakan romansa terlarang antara Niel, 2003: xi). wanita buruh pemetik teh (Nyi Empat)

Latar kehidupan masyarakat etnis dengan seorang pemuda yang merupakan Sunda yang hidup di perkebunan teh dalam anak dari majikannya (Cep Tatang).

novel Sripanggung yang ditulis oleh Novel

menggambarkan bagaimana mempersoalkan kemustahilan kisah cinta bangsa Belanda sebagai representasi ras antara si miskin (cacah) dengan si kaya kulit putih memandang kaum pribumi etnis (menak), tapi kisah cinta yang lebih pelik Sunda sebagai representasi masyarakat daripada itu karena terjebak dalam kondisi yang inferior dan dianggap lebih rendah alam kolonialisme, di mana pemerintah kedudukannya dari bangsa Belanda. Belanda berkuasa dan dengan kuasanya itu Tindakan diskriminasi ini termanifestasi mereka gunakan untuk mendapatkan dalam ujaran-ujaran teks sastra para tokoh

Sripanggung tidak

selalu Tjaraka

“pengesahan/legalitas”

tindakan dalam novel Sripanggung yang di sisi lain sewenang-wenang terhadap penduduk juga mengungkapkan bagaimana gambaran

atas

pribumi, khususnya penduduk etnis Sunda. karakter dari setiap tokoh yang terlibat Lebih jauh Tjaraka menggambarkan dalam kisah Sripanggung. tindakan diskriminasi itu dalam novel

Tokoh yang digambarkan Tjaraka Sripanggung lewat karakter para tokoh dalam

Sripanggung dapat yang di antaranya digambarkan sebagai dikategorikan menjadi tiga jenis tokoh, penduduk pribumi etnis Sunda yang terdiri disesuaikan dengan kedudukan sosial atas golongan miskin (cacah) dan ketiganya di dalam struktur masyarakat golongan kaya (menak) serta para tuan Sunda kala itu, yakni pertama tokoh Belanda yang digambarkan sebagai Juragan Kawasa (Tuan Kuasa) yang majikan di perkebunan teh tersebut.

novel

digambarkan sebagai representasi dari Pemerintah kolonial Belanda yang saat itu bangsa ras kulit putih dalam hal ini bangsa diberi mandat untuk mengurus sistem Belanda, kedua tokoh Mandor (Priyayi) perkebunan teh di tatar Sunda, salah yang digambarkan sebagai representasi satunya Perkebunan Teh Malabar, telah kaum elite priyayi yang memiliki menyalahgunakan mandat itu untuk kedudukan kelas menengah di antara kepentingannya sendiri.

Juragan Kawasa dan kaum Cacah, dan

510 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522 ketiga, yakni tokoh Cacah yang mendekonstruksi kekuatan laten subjek

digambarkan sebagai reprsentasi kaum kultural, subjek-subjek hegemonis yang miskin atau rakyat kecil.

secara terus-menerus mengkondisikan kategori tokoh ini dapat muncul sebagai situasi marginalitas, salah satu nya pribumi akibat dari tindakan diskriminasi bangsa dalam pandangan kolonial (Kutha Ratna, kolonial Belanda yang mengklasifikasikan 2013:221). penduduk pribumi sesuai dengan ras dan

Ketiga

terpenting dekonstruksi kedudukan sosial mereka.

Tokoh

adalah Jacques Derrida, dalam kaitannya sebagai

teori

post strukturalisme,

dekonstruksi menolak selalu adanya Metode yang digunakan dalam keterkaitan mutlak antara penanda dan penelitian ini adalah metode analisis petanda untuk menghasilkan makna seperti deskriptif

B. METODE PENELITIAN

dengan menggunakan yang dijelaskan dalam teori strukturalisme. dekonsturksi sebagai pendekatan teorinya. Oleh karena itu dekonstruksi berusaha Teori dekonstruksi berupaya membaca melepaskan diri dari kebakuan konsep ulang teks sastra tidak hanya sebagai penanda dan petanda yang ditawarkan makna eksplisit yang tersurat. Namun, Saussure, seperti kutipan yang dijelaskan

dekonstruksi mencoba “merekonstruksi di bawah ini: ulang” teks sastra untuk menemukan

Saussure menjelaskan bahwa makna makna tersirat lainnya yang dapat

melalui pembagian membantu menjelaskan fenomena yang lambang-lambang menjadi penanda sedang berlangsung dalam masyarakat dan petanda. Dekonsruksi menolak sosial yang ada dalam teks sastra. pemusatan tersebut dengan cara

diperoleh

1. Dekonstruksi terus-menerus berusaha melepaskan

Julia Kristeva dalam Nyoman diri, sekaligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. (Kutha

Kutha Ratna menjelaskan tentang definisi dari

Ratna, 2013: 225). membaca teks sastra, lebih terang ia

Derrida dalam hal ini menawarkan memaparkannya sebagai berikut:

trace sebagai perluasan konsep Saussure Dekonstruksi tidak semata-mata yang menjelaskan hubungan antara

signifiant/signife . Makna tidak secara ditujukan terhadap tulisan, tetapi langsung hadir dalam teks, maka trace semua pernyataan kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut yang dimaksud ialah bahwa tanda

memeroleh maknanya hanya dalam adalah teks yang dengan sendirinya hubungannya dengan tanda lain, demikian sudah

mengandung

nilai-nilai,

prasyarat, ideologi, kebenaran, dan seterusnya, sehingga teks pada gilirannya disebutkan sebagai lautan tanda, mosaik tujuan-tujuan tertentu (Kutha Ratna, kutipan (Kutha Ratna, 2013:226). Maka 2013: 223). kutipan ujaran dalam teks sastra dapat

Keterkaitan dekonstruksi dengan dimaknai tidak hanya sebagai makna interteks telah memberikan kesempatan utama yang telah baku, namun lebih dari lebih besar kepada para pembaca teks itu dapat dikaitkan dengan keseluruhan sastra untuk menemukan kandungan nilai pernyataan

kultural seperti yang yang

sebuah dipaparkan Julia Kristeva, dengan tujuan gambaran kondisi kultural yang sedang untuk menggambarkan situasi kondisi terjadi. Sebagai sebuah teori yang lahir di kultural yang sedang terjadi di dalam era post modernisme, dekonstruksi juga masyarakat. erat kaitannya dengan fungsi-fungsi utama

tersembunyi

sebagai

Dalam penelitian ini telaah kritis post modernisme dan dengan demikian dekonstruksi berupaya “membaca dan post strukturalisme yakni berfungsi untuk

Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 511 me rekonstruksi ulang” teks-teks ujaran terbit di Bandung. Kehidupannya sebagai

dalam novel Sunda “Sripanggung” karya jurnalis pada masa pemerintahan kolonial Tjaraka untuk menemukan gambaran yang Belanda tentu saja tak berjalan mulus, ia

dapat dengan jelas merepresentasikan pernah dibui lantaran menulis artikel yang tindakan diskriminasi yang dialami berjudul “Tan Malaka Dibuang”, Tjaraka masyarakat etnis Sunda sebagai dampak juga pernah diasingkan ke Papua sebab dari

melakukan pemberontakan pemerintah kolonial Belanda secara khusus terhadap pemerintah kolonial Belanda. dalam tuturan dan ujaran para tokoh dalam

kolonialisme

yang

dilakukan dituduh

Kiranya bekal jejak biografi ini novel Sripanggung.

cukup untuk memberikan gambaran bahwa sebagai sastrawan, Tjaraka bukan hanya

2. Novel Sunda ”Sripanggung”

seorang pujangga yang mengandalkan Novel Sunda adalah novel yang imajinasi dan romantisme semata dalam

ditulis dalam bahasa Sunda dan merupakan menghasilkan sebuah karya sastra, tapi salah satu karya sastra Sunda modern. ketajaman indera lahir dan batinnya dalam Novel Sunda notabenenya diciptakan oleh mengamati fenomena masyarakat etnis orang Sunda yang lahir di tanah Pasundan Sunda yang kala itu terhimpit belenggu (Jawa Barat). Pun sama halnya dengan kolonialisme. Melalui tuturan para tokoh pengertian novel dalam sastra Indonesia, dalam novel

Sripanggung , Tjaraka novel dalam sastra Sunda memiliki merepresentasikan bagaimana pernyataan pengertian sebagai cerita rekaan yang verbal masyarakat kala itu telah memberikan kesan nyata seolah benar- menggambarkan kondisi kultural yang

benar terjadi dan bentuknya berukuran sedang terjadi seperti dalam telaah kritis panjang. Masuknya novel dalam sastra dekonstruksi. Sunda merupakan pengaruh Barat, yakni

Novel Sripanggung karya Tjaraka Belanda. Novel pertama dalam sastra menceritakan kehidupan wanita buruh Sunda berjudul Baruang ka Nu Ngarora pemetik teh di kontrak Perkebunan Teh karya Daeng Kanduruan Ardiwinata yang Malabar yang bernama Nyi Empat.

terbit di tahun 1914. Maka dapat disebut Kehidupannya sebagai buruh pemetik teh bahwa novel dalam sastra Sunda yang berparas rupawan dan bersuara merupakan hasil adaptasi dari sastra Barat merdu membuatnya harus mengalami dan (Rahayu Tamsyah, 1996: 171).

menghadapi rupa peristiwa yang tak Novel Sripanggung karya Tjaraka dikehendakinya, terlebih ia hidup dalam

terbit pertama kali pada tahun 1963 oleh kondisi masyarakat Sunda yang terjebak penerbit Langensari, Bandung. Novel dalam alam kolonialisme, di mana Juragan Sripanggung merupakan salah satu satu Kawasa dalam hal ini, Orang Belanda dari novel ciptaan Tjaraka yang memuat yang menjadi majikan di perkebunan teh tentang gagasan kolonialisme di Indonesia, tempatnya bekerja selalu dapat berlaku khususnya di kalangan masyarakat etnis sewenang-wenang. Sunda. Tjaraka sendiri adalah orang Sunda

Novel Sripanggung tak hanya yang lahir di Sumedang pada tahun 1902. menceritakan persoalan diskriminasi orang

Novel lainnya yang juga menceritakan Belanda terhadap wanita pribumi yang kolonialisme berjudul Isukan Kuring berkedudukan

rendah (dalam hal Digantung (Besok Saya Digantung).

ekonomi), tapi juga bagaimana pihak Mengamati kehidupan pengarang, kolonial

menjadi agen untuk Tjaraka bukan hanya murni seorang melanggengkan sistem kasta sosial yang sastrawan Sunda. Ia juga berprofesi begitu kental dalam masyarakat Sunda di sebagai seorang jurnalis yang pernah Perkebunan Teh Malabar yang diceritakan

mengelola beberapa surat kabar, salah dalam novel “Sripanggung”. Tindakan satunya Sinar Pasoendan yang pernah diskriminasi

pemerintahan kolonial

512 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522 terhadap masyarakat Sunda saat itu telah kolonialisme

sendiri merupakan membawa dampak buruk terhadap psikis representasi bangsa kulit putih yang masyarakat Sunda khususnya, yakni merasa dirinya bangsa paling unggul, kepercayaan diri.

hingga memandang rendah terhadap bangsa yang berbeda warna kulit

3. Diskriminasi Ras dan Kolonialisme

dengannya.

inilah yang manusia berdasarkan ciri-ciri fisik yang menjerumuskan mereka untuk bertindak nampak pada tubuh manusia, seperti sebagai negara penjajah (kolonial) dan halnya warna kulit, bentuk rambut, dan dengan sewenang-wenang menduduki bentuk fisik tubuh. Oommen dalam Al- bangsa jajahan dan mencoba mengambil Hafizh (2016:178) mengelompokkan ras keuntungan darinya. Penduduk pribumi manusia dalam tiga kelompok besar, yaitu wajib menyerahkan upeti berupa hasil ras Mongoloid atau ras kulit kuning, ras kebun/ladang kepada penguasa sebagai Negroid atau ras kulit hitam, dan ras bukti kepemilikan negara. Kebijakan ini Kaukasoid atau ras kulit putih. Konsep ras tentu saja lahir dari representasi gagasan manusia yang didasarkan berdasarkan ciri ideologi kolonialisme, di mana bangsa fisik ini rentan akan tindakan diskriminasi .

Konsep ras merupakan klasifikasi

Prasangka

kolonial berhak atas sumber daya apa pun Diskriminasi didefinisikan sebagai yang dimiliki oleh bangsa yang dijajah, perlakuan yang tidak seimbang terhadap baik sumber daya alam maupun sumber seseorang

atau sekelompok orang daya manusia (Cahyono, 2003: xiii). berdasarkan kategorial tertentu, seperti

Persoalannya adalah bahwa bukan halnya menurut pemaparan Theodorson & hanya keuntungan materi, tapi kedatangan Theodorson dalam buku Memahami bangsa Belanda yang juga satu paket Diskriminasi sebagai berikut:

dengan budayanya, telah mengubah sistem struktur sosial masyarakat Indonesia, salah

Diskriminasi adalah perlakuan yang satunya dalam struktur sosial masyarakat tidak seimbang terhadap perorangan, Sunda. Kontak jangka panjang kaum atau kelompok, berdasarkan sesuatu, bangsawan Indonesia dengan kaum biasanya bersifat kategorikal, atau penjajah mengubah cara pandang mereka atribut-atribut

khas,

seperti

terhadap kehidupan keseharian. Maka berdasarkan ras, kesukubangsaan, interaksi tersebut telah menimbulkan agama, atau keanggotaan kelas-kelas berbagai bentuk produk budaya feodalisme sosial. Istilah tersebut biasanya (Nurfaidah, 2015:81). untuk melukiskan suatu tindakan Pada praktiknya ideologi rasisme dari pihak mayoritas yang dominan tidak dapat dipisahkan dengan konsep dalam

hubungannya

dengan

kolonialisme. Tindakan kolonialimse yang minoritas yang lemah (Fulthoni, dilakukan bangsa ras kulit putih, dalam hal et.al , 2009:3). ini bangsa Belanda terhadap penduduk

Tindakan diskriminasi yang pribumi etnis Sunda dapat dikatakan dilakukan bangsa Belanda terhadap kaum sebagai tindakan diskriminasi yang berasal pribumi, khususnya masyarakat etnis dari ideologi rasisme. Secara historis Sunda yang digambarkan Tjaraka dalam rasisme berkembang ketika ras yang novel

dalam konteks manisfestasi dari superioritas bangsa kulit kolonialisasi. putih dalam hal ini Belanda (ras

Sripanggung merupakan berbeda

bertemu

Paul Spoonley dalam bukunya yang kaukasoid) dalam memandang kaum berjudul Racism and Ethnicity (1993) pribumi

(ras mongoloid) sebagai mencoba menelusuri jejak-jejak rasisme, ia representasi kaum kelas bawah dan juga menyimpulkan bahwa ras adalah sebuah bangsa

yang inferior. Tindakan konsep kolonial yang berkembang ketika

Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 513 semangat untuk melakukan ekspansi pemetik teh di kontrak (perkebunan).

itu Meski memiliki suara merdu tidak lantas diperkenalkanlah konsep ras dalam ranah membuat status sosial Nyi Empat interaksi sosiologis dunia. Sebagai bagian membaik, bahkan kala itu perempuan yang dari

melanda Eropa.

Mulai

saat

ideologi kolonial, rasisme memiliki bakat seni dalam dirinya melegitimasi eksploitasi yang dilakukan dianggap memiliki reputasi yang buruk. masyarakat kolonial kulit putih Eropa Seperti yang dituturkan Ajip Rosidi dalam terhadap ras lain yang dianggapnya lebih pengantar Novel Sripanggung, yakni di inferior atau rendah.

alam kolonialisme, perempuan yang memiliki bakat dalam bidang seni suara

C. HASIL DAN BAHASAN

hanya akan menjadi ronggeng permainan

1. Ringkasan Cerita para lelaki (Tjaraka, 2002: 10). Secara garis besar, ringkasan cerita

Selain kisah cinta antara Cep Tatang novel Sunda “Sripanggung” karya Tjaraka dan Nyi Empat, novel “Sripanggung” menceritakan karakter dua tokoh utama, karya Tjaraka juga menggambarkan pola yakni Nyi Empat dan Cep Tatang yang pikir masyarakat Sunda di zaman hidup pada masa kolonialisme, tepatnya kolonialisme, khususnya di Perkebunan setting waktu dalam novel terjadi pada Teh Malabar, yang mengidentifikasi masa akhir pendudukan pemerintah kedudukan

sosial bahkan hanya Kolonial Belanda di Indonesia. Nyi Empat berdasarkan ciri fisik semata. Pola pikir digambarkan

dari yang telah tertanam di benak masyarakat masyarakat golongan cacah (miskin) yang etnis Sunda

sebagai

tokoh

sekian lama selama memiliki wajah rupawan dan suara yang pemerintah kolonial Belanda memasuki merdu, sedangkan Cep Tatang mewakili kehidupan mereka, terutama dalam gambaran tokoh ménak (bangsawan) yang pengelolaan perekonomian sebagai akibat ada dalam struktur sosial masyarakat dari penguasaan sektor sumber daya alam Sunda kala itu. Keduanya bertemu di perkebunan teh serta penguasaan sumber kontrak (perkebunan teh) tempat Nyi daya manusia, yakni memperkerjakan Empat bekerja sebagai buruh pemetik teh, masyarakat sebagai buruh pemetik teh.

dan Cep Tatang sebagai anak Mandor

Besar (orang kepercayaan Juragan 2. Telaah Kritis Dekonstruksi Novel

Kawasa ).

“Sripanggung” Karya Tjaraka

Cep Tatang dan Nyi Empat lantas Seperti yang telah dikemukan Julia saling jatuh cinta, meski status sosial Kristeva bahwa dekonstruksi adalah

keduanya berbeda namun benih-benih strategi untuk membaca teks sastra dalam cinta itu tak dapat dipungkiri lagi. Cep rangka menemukan gambaran kondisi Tatang begitu terpesona dengan kecantikan kultural yang sedang terjadi dalam rupa Nyi Empat ditambah dengan merdu masyarakat, maka seperti juga yang telah suaranya. Namun seperti yang sudah dikemukakan Derrida bahwa untuk diramalkan, kisah cinta keduanya tidaklah membaca teks sastra secara menyeluruh berjalan mulus akibat dari perbedaan status diperlukan usaha untuk melepaskan teks sosial yang disandang keduanya.

dari makna penanda dan petanda yang Cep Tatang adalah pemuda dengan telah ditetapkan sebelumnya dalam konsep

kedudukan terhormat,

bahkan strukturalisme Saussure. Berikut di bawah menempuh sekolah di sekolah MULO ini contoh telaah kritis dekonstruksi di (kini setingkat sekolah menengah pertama) dalam beberapa kutipan ujaran teks sastra yang didirikan pemerintah kolonial novel Sripanggung karya Tjaraka. Belanda. Sementara, Nyi Empat hanya anak seorang buruh pemetik teh, yang kemudian juga bekerja sebagai buruh

ia

514 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522

Contoh telaah 1:

bahkan di sisi lain dianggap sebuah “...teu anéh di kontrak mah aya kehormatan jika mendapatkan keturunan

parawan nu reuneuh atawa boga dari Tuan Belanda yang mewakili anak téh...Tuh si Saimah, geuning representasi ras kulit putih. Maka kata

sok kadieu ngais budak jiga sinyoh, ngareuneuhan tidak lagi dianggap pan éta anak Juragan Anom berkonotasi negatif. Borrel...Tuh si Kasih nu anyar

Contoh telaah 2:

ngajuru, pan nu ngareuneuhanana téh Anom Henrik

“...Bet ragrag ka anakna Mang

..” (hal. 35)

“...gadis perawan yang hamil dan Kasim, bujang kontrak, mustika sora teh jeung make geulis sagala, da

mempunyai anak bukanlah hal yang geuning bapana mah jiga kitu bae. aneh

Naha turunan ti indungna kitu! ” contohnya Si Saimah, sekarang

di tanah

perkebunan,

(hal. 27)

menggendong anak yang mirip sinyo “...Kenapa bisa anak secantik dan (peranakan Eropa), bukannya itu bersuara merdu itu menjadi anak si anak Tuan Muda Borrel, belum lagi Kasim, padahal si Kasim hanya si Kasih yang baru saja melahirkan, seperti itu, apa dia mirip ibunya? ...” bukannya yang menghamilinya juga Tuan Muda Henrik...”

“...Tah si Empat oge geura, ari Ujaran teks

geulis kitu mah cadu teuing anak si memberikan gambaran bahwa anak

sastra di

atas

Kasim ” (hal. 35) perawan yang berasal dari keluarga cacah

“...Lihat si Empat yang cantik itu, atau miskin begitu rendah “harga diri-nya”,

tidak mungkin dia anak si Kasim..” setidaknya untuk label yang diberikan

kepada mereka

“...Ras eling kana dirina sorangan, kepercayaan” (Mandor Besar/Priyayi)

oleh

“pribumi

ret deui nenjo papih, inget deui ka pemerintah kolonial Belanda, bahkan oleh

Cep Tatang, rupana, dedeg- bangsa Belandanya sendiri.

pangadegna Cep Tatang teh bet jiga Para Juragan Kawasa , yakni

Juragan Kawasa ” (hal. 35) sebutan bagi tuan-tuan Belanda yang

“...Dia ingat dirinya sendiri, lalu menjadi penguasa Kontrak (Perkebunan)

melihat wajah Papih, kemudian tersebut dapat dengan mudah memenuhi

melihat lagi wajah Cep Tatang, hasrat mereka untuk melajur nafsu pada

wajahnya, tubuhnya mirip sekali gadis-gadis pribumi etnis Sunda yang

dengan Juragan Kawasa ...” miskin dengan iming-iming uang atau

Ketiga ujaran teks sastra tersebut predikat sosial sebagai Nyai (Nyonya) memuat makna kultural tersirat yang hingga yang terparah iming-iming untuk menggambarkan bahwa ada konsep rasial mendapatkan keturu nan “ras kulit putih” yakni membedakan manusia berdasarkan yang dianggap ras unggul dalam ciri fisik, yang ditanamkan pemerintah pandangan mereka, meskipun untuk kolonial Belanda begitu membekas di mendapatkannya mereka harus menginjak- ingatan masyarakat pribumi etnis Sunda. injak harga dirinya sendiri. Dalam teks ujaran kesatu dan kedua, Kata ngareuneuhan yang berarti seorang perempuan dengan wajah cantik menghamili

rupawan bahkan dianggap mustahil lahir berkonotasi negatif karena si perempuan dari manusia pribumi golongan cacah yang pribumi dari golongan cacah yang dihamili memiliki rupa tidak sebaik pribumi sebetulnya tidak dinikahi secara resmi oleh golongan priyayi atau keturunan Belanda. para Tuan Belanda tersebut. Namun,

karena hal tersebut sudah lumrah terjadi Kalimat, “hanya seperti itu” secara tersirat menandakan sikap merendahkan dan tidak dalam kehidupan masyarakat Sunda,

Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 515 menghormati manusia sebagai sesama

juragan Anom mah, saban poé makhluk ciptaan Tuhan.

dikirim ti dayeuh! ” (hal. 30) Pada teks ujaran ketiga, perilaku

“...Itu juga sama roti, hanya itu membandingkan rupa antara keturunan

sudah basi, sudah dari beberapa hari pribumi dan keturunan Belanda, di mana

lalu, sedangkan roti yang dimakan dalam teks tersebut Ibunda Cep Tatang

Juragan Kawasa dan Juragan Anom membandingkan wajah anaknya yang

setiap harinya dikirim dari kota ...” rupawan ternyata lebih mirip dengan wajah

“...kadieu atuh! Da Emang ogé ari dibanding dengan ayahnya sendiri seorang

Juragan

Kawasa (Tuan

Belanda)

kana roti mantéga mah, komo maké Mandor Besar keturunan pribumi. Makna

selé mah tara manggih sabulan yang muncul adalah tokoh Juragan

sakali . Juragan Hup ogé bané baé Kawasa (Tuan Belanda) telah dipakai

pédah aya putrana..” (hal. 30) sebagai tolak ukur untuk menentukan

“...bawa ke sini rotinya! Emang juga definisi rupa yang baik/indah dan rupa

jarang makan roti mentega, apalagi yang tidak baik/tidak indah, artinya jika

roti yang memakai selai. Juragan seseorang berwajah mirip keturunan

Hup juga jarang memakan roti, ia Belanda, maka dianggap telah mewakili

hanya makan kalau ada putranya representasi rupa yang baik/indah.

saja ...”

Di sisi lain mendapatkan keturunan Dua ujaran teks sastra dalam novel dari orang Belanda sebagai representasi “Sripanggung” karya Tjaraka berikutnya

bangsa ras kulit putih yang superior telah mengutip kata “roti” secara khusus. Roti dianggap sebagai sebuah berkah, karena adalah sebuah makanan pokok yang sudah dengan percampuran darah keturunan itu dikonsumsi pada saat itu di dalam latar secara otomotis dapat mengangkat derajat

novel, namun dikonsumsi secara terbatas masyarakat etnis Sunda secara khusus hanya di kalangan masyarakat Belanda

dalam struktur sosial masyarakat itu (keluarga Juragan Kawasa). Menurut sendiri. Pandangan tersebut di sisi lain

sebagai penegasan bahwa “diri” mereka KBBI online, roti memiliki definisi sebagai makanan yang terbuat dari bahan pokok

(etnis Sunda) adalah bangsa kelas bawah tepung terigu yang banyak macamnya, yang kedudukannya tidak sama dengan

seperti roti tawar dan roti bakar. Namun, bangsa kolonial Belanda sebagai bangsa makna roti yang dimaksud dalam

kelas atas. keseluruhan ujaran tersebut dimaknai tidak

Contoh telaah 3:

hanya sebagai sebuah jenis makanan yang

“...Dupi roti nu keur sasarap abdi dikonsumsi masyarakat Sunda saat itu. tadi aya keneh? Aya tuh dina lomari

Makanan roti dalam kutipan ujaran dua gepok...Naha kitu rek dibikeun teks tersebut secara tersirat dimaknai ka si Kasim? Atuh model si Kasim sebagai sebuah produk komoditi yang dibere roti make mantega mah, moal dipakai untuk melanggengkan isu rasial teu utah geura! ” (hal. 26)

terhadap masyarakat Sunda. Roti dapat “...Apa roti untuk sarapan saya tadi dikatakan sebagai produk budaya modern masih ada? Ada di lemari, Kenapa? yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda

Mau diberikan ke si Kasim? Orang terhadap penduduk pribumi. seperti Kasim diberi roti mentega

Sebelumnya penduduk pribumi tidak nanti dia muntah ...”

mengenal roti sebagai bahan makanan pokok yang biasa mereka konsumsi.

“...Eta oge sarua roti, ngan eta mah Sementara roti adalah makanan pokok geus galaeun, roti geus sabaraha yang biasa dikonsumsi oleh bangsa

poe, kapan ari roti nu ditaruang ku Belanda sebagai bahan makanan pengganti Juragan Kawasa mah, juragan- nasi, yang justru menjadi bahan makanan

516 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522

pokok bagi masyarakat Pribumi, termasuk Contoh telaah 4:

masyarakat Sunda. “...Bogoheun ka Nyai, nya Aden teh Seperti dikutip dari artikel online

cek Mandor. Piraku Mang Mandor! detik. com, bahwa Roti di Indonesia sudah

Itu mah....eh abdi mah bujang petik, ada sejak zaman Belanda sekitar tahun

keur goreng patut teh nya kampung 1930, budaya makan roti biasa dilakukan

nya cacah ” (hal. 30) orang-orang Barat mulai diperkenalkan

“...Aden menyukai Nyai ya? Kata pada warga pribumi dengan cara

Mandor. Tidak mungkin Mang diperjualbelikan. Pada tahun 1950-an,

Mandor! Tidak pantas untuk saya citarasa roti sudah lebih gurih dan

yang hanya buruh petik teh, sudah aromanya lebih enak karena mulai

jelek rupa ditambah orang kampung ditambahi mentega.

yang miskin..”

Roti mulai dikonsumsi

oleh

Stereotipe sebagai bangsa kelas kalangan tertentu terbatas hanya di bawah telah melekat dalam diri masyarakat kalangan masyarakat priyayi, sementara Sunda itu sendiri, baik secara fisik maupun roti masih menjadi makanan yang asing psikis. Pandangan tersebut sebagai dampak bagi masyarakat cacah, hal ini tergambar dari kebijakan dan perlakuan pemerintah dalam kutipan

ujaran teks yang kolonial Belanda terhadap masyarakat mempercakapkan mengenai roti tersebut.

novel Sripanggung . Maka roti kembali digunakan untuk Akibatnya diri individu masyarakat membedakan tingkat kedudukan sosial mengalami penindasan secara psikologis, antara masyarakat kolonial Belanda yang dapat berupa hilangnya rasa dengan masyarakat Sunda. Pada kutipan ujaran teks, “Atuh model si Kasim dibere kepercayaan diri dan keberanian dalam

Sunda

dalam

mengemukakan pendapat atau perasaannya roti make mantega mah, moal teu utah geura”, bila ditelaah secara keseluruhan sendiri. Perlakuan inilah yang dapat

digolongan sebagai bentuk dari tindakan dikaitkan dengan konteks kultural yang

diskriminasi.

lekat pada teks tersebut, maka ada makna Hilangnya rasa percaya diri dan lain yang disembunyikan dalam kutipan keberanian tersebut tergambar pada ujaran teks tersebut. teks dalam percakapan antara Nyi Empat Persoalannya adalah bukan hanya dengan Mandor ketika Nyi Empat merasa karena Si Kasim yang berasal dari tidak pantas bersanding dengan Cep golongan masyarakat Cacah itu tidak bisa Tatang karena merasa dirinya hina (berasal makan roti karena sesudahnya dia akan dari masyarakat kelas bawah) dan buruk muntah jika memakannya, tetapi secara rupanya, padahal menurut gambaran tersirat dapat berarti bahwa makanan roti Tjaraka dalam novel, Nyi Empat sebagai makanan yang dikonsumsi digambarkan sebagai perempuan Sunda masyarakat kolonial Belanda tidak pantas yang bagus rupanya, Nyi Empat tidak diberikan kepada Si Kasim, karena ia hanya menawan hati Cep Tatang, namun berasal dari masyarakat golongan cacah juga telah berhasil memikat hati para Tuan sebagai

Belanda pada masa itu. Begitupun kalimat model si Kasim,

menyiratkan secara jelas bahwa ada suatu Contoh telaah 5:

proses merendahkan harga diri seseorang “...Jajaka kota putra Juragan karena penggunakan kata “model” merujuk

Besar, ku ihtiar pada bentuk fisik. Dengan begitu makna

Mandor

Juragan Kawasa “roti” tidak lagi sesederhana seperti dalam

pangjeujeuh

Kontrak bisa asup ka sakola MULO. kutipan teks tersebut.

Harita manéhna (Cep Tatang) geus kelas tilu ..” (hal. 15)

Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 517 “...Pemuda kota putra Juragan kopi, tebu, teh, dan rempah-rempah di

Mandor Besar, atas usaha dan dunia internasioanl. dukungan dari Juragan Kawasa

Para Priyayi ini yang membantu Kontrak ia bisa masuk ke sekolah Belanda untuk “menekan” golongan cacah MULO. Saat itu ia (Cep Tatang) untuk bekerja kepada pemerintah Belanda. sudah menginjak kelas tiga...”

Pada kutipan tuturan di atas tergambar bahwa ada dua tokoh yang bernama

“...Kabeneran eta mah Juragan „Juragan Mandor Besar‟ yang diposisikan Mandor Besar, abong anak emas sebagai elit priyayi dan tokoh „Juragan

Juragan Kawasa, kapan Kawasa Kontrak‟ yang diposisikan sebagai nyakolakeun ka Ha-I-Es oge hese, orang dari bangsa Belanda yang diberi teu sagala anak jelema ditarima, manda t untuk menguasai „kontrak‟ dalam mangkaning ieu mah make bisa asup hal ini perkebunan teh. Cep Tatang sebagai sakola Walanda sagala, nya terus ka putera dari Juragan Mandor Besar, yang Mulo.. ” (hal. 19)

dapat dikatakan merupakan kaki tangan “...Kebetulan dia anak Juragan dari

Kawasa Kontrak Mandor Besar, mentang-mentang mendapatkan akses pendidikan yang layak anak emas

Juragan

Juragan Kawasa, sebagai penduduk pribumi dengan status bersekolah di Ha-I-Es saja sulit, elit priyayi disebabkan adanya hubungan tidak semua anak manusia diterima, kedekatan antara elit priyayi dengan apalagi ini bisa sampai disekolahkan bangsa Belanda. ke sekolah Belanda segala, ke MULO...”

Lebih jauh hubungan seperti itu

“...Atuh da di kelas tilu mah, ngan telah memunculkan dampak yang lebih kompleks terhadap nasib kaum cacah, di

saurang-urangna bangsa urang mana para kaum cacah tersebut terjebak di mah, nya Cép Tatang. Sawaréhna antara

kepentingan yang mah sinyoh wungkul. Ti sajumlah disodorkan para elit priyayi tersebut

berbagai

murid kabéh aya tilu ratusna bangsa dengan bangsa Belanda. Ujaran teks sastra urangna mah ngan aya lima welas yang diucapkan tokoh yang menyatakan para putra ménak .. ” (hal. 64)

bahwa “tidak semua anak manusia dapat “...di kelas tiga hanya ada satu orang diterima di sekolah khusus” tersebut

yang berasal dari bangsa kita, yaitu menegaskan adanya praktek atau tindakan Cep Tatang. Sebagian yang sinyoh diskriminasi terhadap masyarakat Sunda di (keturunan Belanda). Dari sejumlah bidang pendidikan. tiga ratus murid hanya ada lima

belas putra bangsawan dari bangsa Contoh telaah 6:

kita..” “...bujang-bujang kontrak, pukul lima rebun-rebun kudu geus

Dalam praktik sosial kala itu, ngajingjing émbér-émbér, mawa Bangsa Belanda memanfaatkan peran elit

péso pangot mangkat ka kebon priyayi dari golongan bumiputera untuk

nyadap getah karét. Bujang-bujang meneguhkan posisi kolonial dalam

kebon atawa sok disebut kuli-kuli mengeruk sebanyak mungkin tenaga kerja

kontrak, awéwé-lalaki, ogé barudak pribumi yang berasal dari golongan cacah

nu sawawa rebun-rebun geus (miskin). Dengan adanya para priyayi,

diharudum halimun, kudu geus aya Belanda dengan mudah mengatur urusan

di kebon téh, metik pucukna..” (hal. perekonomian

memasok pendapatan mereka terutama di “...buruh-buruh kontrak itu pada jam bidang perdagangan hasil kebun seperti

lima subuh sudah harus membawa

518 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522 ember dan pisau untuk pergi ke dalam prakteknya, Bangsa Belanda

kebun menyadap karet. Buruh-buruh memanfaatkan peran elit priyayi dari kebun atau sering disebut kuli-kuli golongan bumiputera untuk meneguhkan kontrak, perempuan dan laki-laki, posisi kolonial dalam mengeruk sebanyak juga anak-anak remaja pagi buta mungkin tenaga kerja pribumi yang berasal yang diselimuti kabut, harus sudah dari golongan cacah (miskin). Dengan ada di kebun untuk memetik pucuk adanya para ménak ini, Belanda dengan teh..”

mudah mengatur urusan perekonomian mereka di Indonesia.

Kutipan dalam ujaran teks dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka di atas Sedangkan golongan cacah (miskin)

yang dimaksud adalah masyarakat pribumi terdapat dalam bagian awal novel. Sebuah etnis Sunda yang bekerja di perkebunan deskripsi awal untuk menggambarkan sebagai tenaga buruh, seperti dalam kehidupan masyarakat etnis Sunda di

kontrak atau perkebunan teh Malabar. “buruh-buruh kebun

kutipan teks sastra:

atau sering disebut kuli-kuli kontrak. Sesuai

dengan

undang-undang

Dengan memanfaatkan peran para ménak penggolongan penduduk yang ditetapkan yang ditempatkan dalam kedudukan yang Belanda, masyarakat Pribumi dalam hal ini

menguntungkan dan termasuk juga masyarakat etnis Sunda ketidakberdayaan yang dialami masyarakat digolongkan menjadi masyarakat kelas golongan cacah, pemerintah Kolonial bawah. Namun tak berhenti sampai di situ, Belanda telah berhasil melegitimasi diri masih dengan campur tangan pemerintah sebagai ras kelas atas yang dapat dengan kolonial Belanda, penduduk pribumi mudah melakukan tindakan diskriminasi terbagi pula dalam dua golongan dengan terhadap masyarakat pribumi sebagai ras kedudukan yang tidak sama, yakni

tinggi

dan

kelas bawah.

masyarakat golongan miskin (cacah) dan Tokoh Cep Tatang dalam novel masyarakat golongan priyayi (ménak).

Dalam struktur sosial masyarakat “Sripanggung” karya Tjaraka merupakan representasi dari masyarakat golongan Sunda kala itu (latar waktu dalam novel ménak , maka dapat pula dikatakan sebagai Sripangggung ), masyarakat

golongan

wakil dari masyarakat kolonial Belanda. priyayi digambarkan sebagai masyarakat Tokoh Cep Tatang merupakan anak dari dengan kedudukan lebih tinggi dan Mandor Besar „terhormat‟ , seorang pribumi golongan dibandingkan dengan

ménak sebagai kaki tangan kepercayaan masyarakat golongan cacah (miskin). orang Belanda. Sedangkan tokoh Nyi Kalangan masyarakat ménak biasanya Empat dan ayahnya, yakni Kasim adalah diberi mandat oleh pemerintahan kolonial reprsentasi dari masyarakat golongan Belanda untuk mengatur pemerintahan cacah . Maka kisah cinta yang tak dapat setingkat desa, seperti yang dijelaskan terwujud di antara Cep Tatang dan Nyi Furnivall dalam buku Sistem Tanam Paksa Empat karena perbedaan kelas sosial di Jawa menjelaskan bahwa kebijakkan merupakan representasi dari tindakan Van den Bosch adalah memperkuat posisi diskriminasi ras yang dilakukan bangsa para bupati dan membiarkan desa,

Belanda.

republik-republik kecil dengan campur

tangan sesedikit mungkin tetap berada di Contoh telaah 7:

bawah kekuasaan kepala desa (van Niel, “...Kasim bodo hah! Empat candak 2003: 238)

buru-buru kadieu. Engke Kasim Tak hanya itu, masyarakat golongan

kagungan artos seueur, ditambah ménak juga diberi mandat untuk mengatur

deui salawe, jadi lima puluh ” urusan kontrak (perkebunan) di bawah

(hal. 45)

pengawasan Juragan Kawasa “...Kasim bodoh! Segera Empat (pemerintahan kolonial Belanda). Maka,

bawa ke sini. Nanti Kasim saya beri

Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 519 uang banyak, ditambah salawe, jadi sebuah hal yang lumrah atau biasa terjadi

lima puluh..” dalam sebuah hubungan antara buruh dan majikannya. Pemilihan kata „bodoh‟

“...Ulah bohong ka Juragan (anom menyiratkan sebuah pernyataan kultural Anton). Engke Juragan bendu ka yang lebih luas maknanya sebagai sebuah Kasim. Mun bohong engke Empat bentuk penindasan mental. dipaksa dibawa ku mandor ka dieu.

Makna kata „bodoh‟ dalam Maneh ku Juragan diusir teu keseluruhan konteks kalimat ujaran meunang aya di kontrak ” (hal. 45)

tersebut tentu dapat dimaknai, pertama, “...Jangan bohong sama Juragan. bahwa si Kasim memang bodoh dalam arti

Nanti Juragan marah pada Kasim. kata sesungguhnya karena tidak dapat Kalau bohong nanti Empat dibawa menangkap maksud atau keinginan dari paksa oleh Mandor ke sini. Lalu Juragan Anton yang tidak sabar ingin kamu Juragan usir dari kontrak bertemu dengan Nyi Empat, kedua, Si (perkebunan teh)..”

Kasim bodoh karena tidak mau menuruti keinginan

Juragan Anton untuk Dua kutipan ujaran teks sastra di

Nyi Empat lalu atas tidak lagi secara tersirat namun telah menyembunyikan Nyi Empat, ketiga, begitu terang dan jelas menunjukkan Kasim bodoh karena tidak mau menerima perlakuan diskriminasi yang dilakukan iming-iming uang yang akan diberikan jika bangsa Belanda terhadap masyarakat ia menyerahkan Nyi Empat pada juragan golongan cacah (miskin). Hal tersebut

menyerahkan

Anton.

tergambar dalam kutipan ujaran teks sastra dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka Ketiga makna tersebut secara

tersirat telah menunjukkan adanya indikasi tersebut di atas. bahwa Kasim sebagai representasi dari Percakapan dalam kutipan tersebut

golongan cacah harus dilakukan di antara dua tokoh bernama menuruti kehendak Juragan Anton sebagai Kasim sebagai representasi masyarakat representasi dari masyarakat kelas atas golongan cacah dan Juragan Anton bangsa Belanda. Harga diri Nyi Empat sebagai representasi masyarakat kolonial sebagai seorang perempuan bahkan Belanda. Juragan Anton yang jatuh cinta disandingkan dengan iming-iming uang terhadap Nyi Empat lantas meminta Kasim (ayah Nyi Empat) untuk „menyerahkan‟ sebesar lima puluh rupiah, uang yang kala

masyarakat

itu mungkin hanya cukup untuk membeli anaknya. lima karung beras. Namun, bagi Juragan Perlakuan Juragan Anton terhadap Anton jumlah uang tersebut dirasa cukup Kasim tentu bukan perlakuan yang baik

dengan meminta Nyi Empat secara paksa antas untuk „membeli‟ seorang

dan p

perempuan Sunda yang berasal dari hanya

masyarakat golongan cacah (miskin), yang menginginkannya. Di sisi lain, Kasim pada masa itu kondisi ekonominya serba berusia lebih tua daripada Juragan Anton, kekurangan sebagai pekerja buruh pemetik di mana seharusnya Juragan Anton

teh di perkebunan.

bersikap lebih menghormatinya. Namun, Perlakuan diskriminasi lainnya juga tentu saja konsep tata krama ini tidak tergambar dalam kutipan ujaran teks sastra berlaku pada saat itu, bahwa Kasim tetap lainnya dalam teks sastra dalam novel direpresentasikan sebagai kaum kelas

bawah yang kedudukan sosialnya lebih “Sripanggung” karya Tjaraka seperti dalam rendah.

kutipan kalimat: “...kalau bohong nanti Empat dipaksa dibawa mandor ke sini, dan

Secara lebih eksplisit, penggunaan lalu kamu, Juragan usir dari kontrak kalimat “Kasim Bodoh” yang ditujukan Juragan Anton terhadap ayah Nyi Empat (perkebunan)”. Pertanyaan kultural dalam

kutipan teks sastra tesebut jelas bermakna tentu tidak lagi dapat dipandang sebagai

520 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522 adanya sikap merendahkan dan sewenang-

Tokoh Ibu Eneng dalam kutipan wenang yang dilakukan oleh bangsa ujaran

sastra dalam novel Belanda terhadap masyarat pribumi etnis Sripanggung karya Tjaraka digambarkan Sunda golongan cacah.

teks

sebagai representasi dari masyarakat Maka, jika Kasim si tokoh dari golongan ménak yang telah diangkat golongan cacah yang diposisikan sebagai kedudukan sosialnya dalam struktur sosial buruh di perkebunan milik Juragan masyarakat Sunda karena telah dinikahi Kawasa tidak mau menuruti kehendak oleh Tuan dari bangsa Belanda, yakni yang pribadi majikannya, meski di sisi lain hal bernama Tuan Susman. Oleh karena itu, tersebut

atau Ibu Eneng yang dulu disebut Nyi Suminah membahayakan dirinya sendiri, Kasim mendapat kedudukan sosial yang tinggi, yang tidak berdaya akan diperlakukan meski sebelumnya bahkan Ibu Eneng sewenang-wenang oleh Juragan Kawasa, berprofesi sebagai ronggeng ketuk tilu, contohnya dipecat dari pekerjaannya sebuah profesi yang pada kala itu dianggap sebagai buruh perkebunan bahkan diusir sebagai profesi rendahan di mata keluar dari tempat tinggalnya di masyarakat. perkebunan.

dapat

merugikan