BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Kehamilan a. Definisi kehamilan - Erna Pangastuti Rahayu BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori

1. Kehamilan

a. Definisi kehamilan

  Kehamilan adalah dimulai dari proses pembuahan sel telur wanita oleh spermatozoa dari pihak pria. Sel telur yang dibuahi akan berkembang menjadi bakal embrio yang kemudian akan menjalani pembelahan sampai menjadi embrio. Bakal janin ini lalu akan menempel di selaput lender rahim, yang terletak di rongga rahim (Saifudin, 2006;h.89).

  b. Tanda-Tanda Kehamilan Cunningham (2006; h.25) menjelaskan terdapat sejumlah temuan klinis yang sering menandai adanya kehamilan yaitu : 1) Terhentinya menstruasi. 2) Perubahan pada mucus cerviks. 3) Perubahan pada payudara. 4) Perubahan warna mukosa vagina. 5) Meningkatnya pigmentasi kulit dan munculnya striae abdomen.

  c. Tanda pasti kehamilan Tanda pasti kehamilan menurut Pantikawati dan Saryono (2010; h.77- 78) adalah :

  a) Denyut jantung janin (DJJ) Denyut jantung janin dapat didengar dengan stetoskop laenec pada minggu 17-18. Dengan stetoskop ultrasonic (Doppler), DJJ

  6 dapat didengarkan lebih awal lagi sekitar minggu ke-12, melakukan auskultasi pada janin bisa juga mengidentifikasi bunyi-bunyi yang lain, seperti : bising tali pusat, bising uterus dan nadi ibu.

  b) Palpasi Palpasi yang harus ditentukan adalah outline janin. Biasanya menjadi jelas setelah minggu ke-22. Gerakan janin dapat dirasakan dengan jelas setelah minggu ke 24.

  d. Tanda-Tanda Bahaya Pada Kehamilan Lanjut.

  a) Kehamilan Dengan Perdarahan Perdarahan

   antepartum atau perdarahan pada kehamilan lanjut

  adalah perdarahan pada trimester dalam kehamilan sampai bayi dilahirkan. Pada kehamilan lanjut, perdarahan yang tidak normal adalah merah, banyak dan tidak selalu, disertai dengan rasa nyeri (Pantikawati dan Saryono, 2010;h.135-137).

b) Jenis perdarahan antepartum

  1) Perdarahan

  Plasenta Previa adalah merupakan keadaan

  implantasi plasenta sedemikian rupa sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh mulut rahim. Perdarahan dapat menimbulkan gangguan peredaran darah janin dan sirkulasi ibu sehingga terjadi anemia dan dapat jatuh dalam keadaan syok.

  Sebagian besar terjadi tanpa sebab dan timbul mendadak, terjadi tanpa rasa sakit bahkan sering terjadi pada saat tidur (Pantikawati dan Saryono, 2010;h.135-137). 2) Perdarahan Solusio Plasenta adalah lepasnya plasenta sebelum waktunya dari implantasinya yang normal (fundus uteri) sehingga menimbulkan rasa sakit dan gangguan nutrisi pada janin (Pantikawati dan Saryono, 2010; h.135-137).

c) Kehamilan Dengan Ketuban Pecah Dini

  Kehamilan dengan ketuban pecah dini adalah cairan yang keluar tanpa disadari oleh ibu hamil, melalui jalan lahir berbau khas.

  Bahayanya terhadap ibu adalah infeksi langsung, dan pada janin menyebabkan gerakan janin makin terbatas (Pantikawati dan Saryono, 2010; h 138).

  d) Kehamilan Dengan Kematian Janin Dalam Rahim Gerakan janin merupakan tanda penting bahwa janin hidup sehat. Dengan berkurang atau menghilangnya gerak janin dapat menjadi pertanda bahwa janin mengalami kematian dalam rahim. Janin yang telah mati dalam rahim harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan gangguan pembekuan darah dan dapat menimbulkan infeksi dalam rahim (Pantikawati dan Saryono, 2010; h.143).

  e) Kehamilan Dengan Pre eklamsi dan Eklamsi.

  Pre eklamsi dan eklamsi merupakan penyakit yang berkelanjutan dengan batas atau tambahan kejang atau koma.

  Gejala pre eklamsi yaitu pandangan mata kabur, sakit kepala yang berat dan menetap, nyeri ulu hati, bengkak pada muka dan tangan.Bahayanya bagi ibu adalah kejang dan kematian sedangkan bagi janin adalah gawat janin dan kematian.Eklamsi merupakan kelanjutan dari pre eklamsi berat yang disertai kejang atau koma (Pantikawati dan Saryono, 2010;h.147).

2. Pre eklamsi

a. Pengertian

  Pre eklampsi adalah penyakit pada wanita hamil yang secara langsung disebabkan oleh kehamilan. Definisi pre eklampsi adalah hipertensi disertai proteinuri dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik. Eklampsi adalah timbulnya kejang pada penderita pre eklampsi yang disusul dengan koma. Kejang di sini bukan akibat kelainan neurologis (Wiknjosastro, 2002: 103).

  Menurut Bobak dkk (2005: 80) pre eklampsi merupakan suatu penyakit yang melibatkan banyak sistem dan ditanda oleh hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria. Diagnosis pre eklampsi secara tradisional didasarkan pada adanya hipertensi, disertai proteinuria dan/ atau edema. Temuan paling penting adalah hipertensi, dimana 20% pasien tidak mengalami protenuria yang berarti sebelum serangan kejang pertama.

  Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan sistol dan diastol mencapai atau melebihi 140/90 mmHg. Jika tekanan darah ibu pada trimester pertama diketahui, maka angka tersebut sebagai patokan dasar tekanan darah ibu. Dengan menggunakan informasi ini, definisi alternative hipertensi merupakan kenaikan nilai tekanan sistolik sebesar 30 mm Hg atau lebih, kenaikan tekanan diastolik sebesar 15 mmHg di atas nilai tekanan darah dasar ibu. Proteinuria didefinisikan sebagai konsentrasi protein sebesar 0,1 gr/L ( > 2+ ) atau lebih dalam dua kali pemeriksaan dengan jarak enam jam. Pada spesimen urine 24 jam proteinuria didefinisikan sebagai suatu konsentrasi protein 0,3 per 24 jam. Edema tidak lagi perlu menjadi dasar diagnosis pre eklampsi. Jika ada, edema merupakan suatu akumulasi cairan Interstisial umum setelah 12 jam tirah baring atau peningkatan lebih dari 2 kg per minggu (Pritchard, 2009: 54).

b. Faktor Resiko Pre eklamsi 1) Faktor yang berhubungan dengan dengan partner laki-laki

  (a) Primigravida (b) Primipaternity (c) Umur yang ekstrim : terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan (d) Partner laki yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan mengalami preeklamsi.

  (e) Pemaparan terbatas terhadap sperma. (f) Inseminasi donor dan

  donor oocyte

2) Faktor yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu

dan riwayat penyakit keluarga

  (a) Riwayat pernah pre eklampsi (b) Hipertensi kronik (c) Penyakit ginjal (d) Obesitas (e) Diabetes gestational, diabetes mellitus tipe 1 (f) Antiphospholipid antibodies dan hiperhomocysteinemia

3) Faktor yang berhubungan dengan kehamilan

  (a) Molahidatidosa (b) Kehamilan Ganda (c) Infeksi saluran kencing pada kehamilan (d)

  Hydrop fetalis

c. Patofisiologis

  Pada pre eklamsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Dengan biopsi ginjal, Althchek dkk (1968) dalam Mochtar (1998) menemukan spasmus yang hebat pada arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus lumen arteriola demikian kecilnya sehingga hanya dilalui oleh satu sel darah merah. Bila dianggap bahwa spasmus arteriola juga ditemukan di seluruh tubuh. Tekanan darah yang meningkat merupakan usaha mengatasi kenaikan tahanan perifer, oksigenisasi jaringan dapat dicukupi, kenaikan berat badan dan oedema disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial belum diketahui sebabnya. Proteinuria dapat disebabkan spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerolus (Mochtar, 1998) 1) Perubahan pada otak

  Resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih tinggi daripada eklampsi. Walaupun demikian, aliran darah ke otak dan pemakaian oksigen oleh otak hanya menurun pada eklampsi. Pada pre eklamsi aliran darah yang membawa oksigen menuju ke otak akan terganggu, sehingga oksigen tidak bisa masuk ke otak, menjadikan otak kekurangan oksigen dan menyebabkan kejang yang dapat membahayakan ibu dan janin yang dikandung. Dengan adanya perubahan aliran darah pada otak, sehingga kehamilan yang sedang berjalan tersebut harus segera diakhiri.Pengakhiran tersebut untuk menyelamatkan ibu dan janin yang dikandungnya.

  2) Perubahan pada plasenta dan uterus Perubahan aliran darah pada otak sehingga oksigen tidak bisa masuk ke dalam otak, menyebabkan menurunnya aliran darah ke plasenta dan mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Hal ini menyebabkan terjadinya gawat janin sampai kematiannya karena kekurangan oksigenasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering didapatkan pada pre eklampsi dan eklampsi. Sehingga pada pre eklamsi berat harus segera di akhiri kehamilannya dan persalinannya harus dipercepat untuk menyelamatkan ibu dan janinnya. 3) Perubahan pada ginjal

  Aliran darah ke dalam ginjal menurun, sehingga menyebabkan filtrasi glomerulus mengurang. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan air.

  4) Perubahan pada mata Pada pre eklampsi tampak oedema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada satu atau beberapa arteri jarang terlihat perdarahan atau eksudat. Perubahan lainnya pada retina yaitu retinopatia arteriosklertika, ablasio retina, skotoma, diplopia dan ambliopia.

  5) Perubahan pada paru-paru Oedema paru-paru merupakan sebab utama kematian pre eklampsi dan eklampsi. Komplikasi ini disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri. (Mochtar, 1998)

  6) Perubahan pada metabolisme air dan elektrolit Hemokonsentrasi yang menyertai pre eklampsi dan eklampsi tidak diketahui sebabnya. Terjadi pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti oleh kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, sering bertambahnya oedema menyebabkan volume darah mengurang dengan akibat hipoksia (Mochtar, 1998). Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan volume sirkulasi dan curah jantung, lebih lanjut menurunkan perfusi organ dan peningkatan hemoglobin dan hematokrit, berkaitan dengan hasil perinatal yang lebih buruk.

  (Walker, 2000 dalam Billington, 2009; h. 126).

d. Klasifikasi 1) Pre eklampsi Ringan

  a) Definisi klinik Pre eklampsi ringan adalah sindroma spesifik kehamilan dengan penurunan perfusi pada organ-organ akibat vasospasme dan aktivasi endothel. b) Kriteria diagnostik (1) Tekanan darah 140/90 mmHg - < 160/110 mmHg.

  Kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan kenaikan tekanan diastolik 15 mmHg, tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik pre eklampsi, tetapi perlu observasi yang cermat. (2) Proteinuria : 300 mg/24 jam jumlah urine atau dipstick : 1+. (3) Edema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik kecuali anasarka.

  c) Pengelolaan (1) Rawat Jalan (

  ambulatoir)

  (a) Tidak mutlak harus tirah baring, dianjurkan ambulasi sesuai keinginannya. Di Indonesia tirah baring masih diperlukan.

  (b) Diet reguler : tidak perlu diet khusus (c) Vitamin prenatal (d) Tidak perlu restriksi konsumsi garam (e) Tidak pelu pemberian diuretik, antihipertensi dan sedativum.

  (f) Kunjungan ke rumah sakit tiap minggu (2) Rawat Inap ( hospitalisasi)

  (a) Indikasi pre eklamsi ringan dirawat inap (hospitalisasi) i) Hipertensi yang menetap selama > 2 minggu ii) Proteinuria menetap selama > 2 minggu iii) Hasil test laboratorium yang abnormal iv) Adanya gejala atau tanda 1 (satu) atau lebih pre eklamsi berat

  Pemeriksaan dan monitoring pada ibu i) Pengukuran tekanan darah setiap 4 jam kecuali ibu tidur ii) Pengamatan yang cermat adanya edema pada muka dan abdomen iii) Penimbangan berat badan pada waktu ibu masuk rumah sakit dan penimbangan dilakukan setiap hari iv) Pengamatan dengan cermat gejala pre eklamsi dengan impending eklamsi : Nyeri kepala frontal atau oksipital, gangguan visus, nyeri kuadran kanan atas perut, nyeri epigastrium.

  (b) Pemeriksaan laboratorium i) Proteinuria pada dipstick pada waktu masuk dan sekurang- kurangnya diikuti 2 hari setelahnya. ii) Hematokrit dan trombosit : 2 x seminggu iii) Test fungsi hepar: 2 x seminggu iv) Test fungsi ginjal dengan pengukuran kreatinin serum, asam urat, dan BUN v) Pengukuran produksi urine setiap 3 jam (tidak perlu dengan kateter tetap)

  (3) Pemeriksaan kesejahteraan janin (a) Pengamatan gerakan janin setiap hari (b) NST dua kali seminggu (c) Profil biofisik janin, bila NST non reaktif (d) Evaluasi pertumbuhan janin dengan USG, setiap 3-4 minggu (e) Ultrasound doppler arteri umbilikalis, arteri uterine d) Terapi Medikamentosa Pada dasarnya sama dengan terapi ambulatoar dan bila terdapat perbaikan gejala dan tanda - tanda pre eklamsi dan umur kehamilan ≥ 37 minggu, ibu masih perlu diobservasi selama 2-3 hari kemudian boleh dipulangkan.

  e) Pengelolaan obstetrik Pengelolaan obstetrik tergantung usia kehamilan

  a. Bila penderita tidak inpartu

  1. Umur kehamilan < 37 tahun Bila tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat dipertahankan sampai aterm.

2. Umur kehamilan ≥ 37 tahun

  Kehamilan dipertahankan sampai timbul onset partus dan bila serviks matang pada tanggal taksiran persalinan dapat dipertimbangkan untuk dilakukan induksi persalinan

  b. Bila penderita sudah inpartu Perjalanan persalinan dapat diikuti dengan Grafik

  Friedman

  atau Partograf WHO

  c. Konsultasi Selama dirawat di Rumah Sakit lakukan konsultasi kepada : (a) Bagian penyakit mata (b) Bagian penyakit jantung, dan (c) Bagian lain atas indikasi

  2)

  Pre eklampsi Berat

  a) Definisi klinik Pre eklampsi berat ialah pre eklampsi dengan salah satu atau lebih gejala dan tanda dibawah ini :

  (1) Tekanan darah : pasien dalam keadaan istirahat tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.

  (2) Proteinuria : 5 gr/ jumlah urine selama 24 jam. Atau dipstick : 4 +.

  (3) Oliguria : produksi urine < 400-500 cc/24 jam. (4) Kenaikan kreatinin serum. (5) Edema paru dan sianosis. (6) Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen : disebabkan teregangnya kapsula glisone. Nyeri dapat sebagai gejala awal rupture hepar. (7) Gangguan otak dan visus : perubahan kesadaran, nyeri kepala, scotomata, dan pandangan kabur.

  (8) Gangguan fungsi hepar : peningkatan alanine atau aspartate amino transferase.

  (9) Hemolisis mikroangiopatik. (10) Trombositopenia : < 100.000 celU mml. (11) Sindroma HELLP

  (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet Count).

  b) Pembagian Pre eklampsi berat Pre eklampsi berat dapat dibagi dalam beberapa kategori : (1) Pre eklampsi berat tanpa impending eklampsi.

  (2) Pre eklampsi berat dengan impending eklampsi, dengan gejala- gejala impending: nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, nyeri kuadran kanan atas abdomen (Pritchard, 2009: 56).

  c) Dasar pengelolaan pre eklamsi berat Pada kehamilan dengan penyulit apapun pada ibunya, dilakukan pengelolaan dasar sebagai berikut :

  (1) Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya : yaitu terapi medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya

  (2) Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya yang tergantung pada umur kehamilan. Sikap terhadap kehamilannya dibagi 2, yaitu : (a) Ekspektatif ; konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya : kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi medikamentosa

  (b) Aktif, agresif ; bila umur kehamilan ≥ 37 minggu, artinya kehamilan dikahiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

  d) Pemberian terapi medikamentosa (1) Segera masuk rumah sakit (2) Tirah baring miring ke kiri secara intermiten (3) Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5% (4) Pemberian anti kejang MgSO sebagai pencegahan dan terapi

  

4

kejang.

  • Loading dose (initial dose) : dosis awal
  • Maintenance dose : dosis lanjutan

Tabel 2.1 Kriterian pemberian MgSO

  

4

Sumber Regimen Loading dose Maintenance dose Dihentikan

  (5) Pemberian MgSO

  4

  dibagi :

1. Prichar

  d, 1955 1957 Preeklamsi Eklamsi

  Intermitent intramuscular injection 10 g IM

  • - 5g

  IM bokong kanan

  • - 5g

  IM bokong kiri

3) Ditambah 1.0

mllidocaine

  

4) Jika

konvulsi tetap

terjadi

Setelah

  15 menit, beri : 2g 20% IV : 1

g/menit

Obese : 4g iv

Pakailah

jarum 3-inci, 20

gauge

  5g 50% tiap 4- 6 jam Bergantian salah satu bokong 5g 50% tiap 4- 6 jam Bergantian salah satu bokong (10 g MgSO 4 IM dalam 2-3 jam dicapai kadar plasma 3, 5-6 mEq/l 24 jam pasca persalinan

  2. Zuspan , 1966 Preeklamsi berat Eklamsi

  Continous Intravenous Injection

  Tidak ada 4-6 g IV / 5-10 minute 1 g/jam IV

  1 g/jam IV

  

1) 4g 20% IV;

1g/menit

2) 10g 50% IM:

Kuadran atas sisi luar kedua

bokong

  3. Sibai, 4-6 g 20% IV 1) Dimulai 24 jam Continous

  1984 dilarutkan dalam 2g/jam

  IV pascasalin Intravenous

  100 ml/D / 15-20 dalam Injection

5

  • – Preeklamsi menit 10g 1000 cc eklamsi

  D ; 100 cc/jam 5 2) Ukur kadar Mg setiap 4-6 jam 3) Tetesan infus disesuaikan untuk mencapai maintain dose 4-6 mEq/l (4,8-9,6 mg/dL)

  4. Magpie Sama dengan 1) 4g 50% 1) 1g/jam/IV Trial Pritchard dilarutkan dalam dalam 24 jam Colaborative Regimen normal atau Group, 2002 Saline IV / 10-15 2) 5g IM/4 jam menit dalam 24 jam

2) 10 g 50% IM:

  • 5g IM bokong kanan
  • 5g IM bokong kiri

  Syarat pemberian MgSO 4 . 7H 2 O

  1. Refleks patella normal

  2. Respirasi > 16 menit

  3. Produksi urine dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc ; 0,5 cc/kg BB/jam

  4. Siapkan ampul Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc Antidotum

Bila timbul gejala dan tanda intoksikasi MgSO . 7H O , maka diberikan injeksi

4 2 Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc dalam 3 menit

  Refrakter terhadap MgSO 4 . 7H 2 O, dapat diberikan salah satu regimen dibawah ini : 1. 100 mg IV sodium thiopental 2. 10 mg IV diazepam 3. 250 mg IV sodium amobarbital 4. phenytoin : a. dosis awal 1000 mg IV a. 16,7 mg/menit/1 jam

  b. 500 g oral setelah 10 jam dosis awal dalam 14 jam

e) Penyebab

  Pre eklampsi hampir secara eksklusif merupakan penyakit pada multipara. Biasanya terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrem, yaitu pada remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur lebih dari 35 tahun. Pada multipara, penyakit ini biasanya dijumpai pada keadaan-keadaan berikut (Pritchard, 2009: 59) : 1) Kehamilan multifetal dan hidrops fetalis.

  2) Penyakit vaskuler, termasuk hipertensi essensial kronis dan diabetes mellitus.

  3) Penyakit ginjal.

  Sampai saat ini etiologi pasti pre eklampsi/eklampsi masih belum diketahui. Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut diatas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai

  the diseases of theory.

  Adapun teori-teori tersebut antara lain (Wibisono, 1997: 87) : 1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan

  Pada pre eklampsi didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktifasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

  2) Peran Faktor Imunologis Pre eklampsi sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa kehamilan pertama pembentukan bloking antibodi terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. Data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita pre eklampsi : a) Beberapa wanita dengan pre eklampsi mempunyai komplek imun dalam serum.

  b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada pre eklampsi diikuti dengan proteinuri.

  c) Peran Faktor Genetik Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian pre eklampsi antara lain: a) Pre eklampsi hanya terjadi pada manusia.

  b) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi pre eklampsi pada anak-anak dari ibu yang menderita pre eklampsi.

  c) Kecenderungan meningkatnya frekuensi pre eklampsi pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat pre eklampsi dan bukan pada ipar mereka. 3) Peran Renin Angiotensin-Aldosteron

  Menurut Bobak dkk, (2005: 85) faktor resiko pre eklampsi/ eklampsi adalah : a) Primigravida atau multipara dengan usia lebih tua.

  b) Usia < 18 tahun atau > 35 tahun.

  c) Berat badan < 50 kg atau gemuk.

  d) Adanya proses penyakit kronis : diabetus mellitus, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit pembuluh darah kolagen (lupus eritematus sistemik).

  e) Kehamilan mola.

  f) Komplikasi kehamilan : kehamilan multiple, janin besar, hidrop janin, polihidramnion.

  g) Pre eklampsi pada kehamilan sebelumnya.

  h) Materi genetik baru.

f) Perubahan Adaptasi ibu hamil pada pre eklamsi

  Pada ibu pre eklamsi mengalami perubahan-perubahan yang abnormal yaitu :

Tabel 2.2 Perubahan adaptasi ibu hamil pada pre eklamsi

  

No. Perubahan Normal Pre eklamsi Keterangan

(Dibanding (Dibanding tidak hamil) hamil normal)

  

1 Cardiac output Meningkat Meningkat Pada hamil

normal, ketika resistensi perifer belum meningkat

  

2 Volume darah Hipervolemia Hipovolemia Hipovolemia

pada preeklamsi akibat vasokonstriksi menyeluruh dan peningkatan permeabilitas vaskuler.

  

3 Resistensi perifer Menurun Meningkat Tidak terjadi

disproporsi antara volume darah dan volume intravaskular

4 Aliran darah ke : Meningkat Menurun Peningkatan

  a. utero berat badan > plasenta Meningkat Menurun 0,57 kg/ minggu b. ginjal Meningkat Sama harus waspada

  c. otak Meningkat Sama kemungkinan

  d. hepar preeklamsi

  5 Berat badan Meningkat Meningkat Edema tidak 60% hamil dengan dipakai lagi hipertensi sebagai kriteria 80% hamil dengan preeklamsi hipertensi dan kecuali anasarka proteinuria

  • 6 Edema 40% ada Sama edema

  7 Sel darah Meningkat Deformabilitas Akibat : meningkat hipovolemia, ekstravasasi albumin. CVP dan PCWP meningkat

  

8 Hemokonsentrasi Hemodilusi Hemokonsentrasi Pada preeklamsi

tinggi akibat : hipovolemia dan peningkatan resistensi perifer

  9

  • Viskositas darah Menurun Meningkat

  10 Hematokrit Menurun Meningkat Kecuali pada preeklamsi diberi diuretikum dosis tinggi, restriksi garam dan infuse oxytocine

  

11 Elektrolit Menurun Sama Pada preeklamsi

dengan hipoksi dapat terjadi gangguan keseimbangan asam basa

  12 Keseimbangan - - Pada kejang asam basa eklamsi kadar bikarbonat menurun karena asidosis laktat, dan hilangnya karbondioksida

  13

  14

  15

  • Akibat hipovelimia dan peningkatan permeabilitas vaskuler

  16

  17 Natrium dan kalium Protein serum dan plasma Lipid plasma Asam urat dan kreatinin Koagulasi dan fibrinolisis Disesuaikan dengan peningkatan cairan tubuh Menurun Hiperlipidemia Menurun

  • Sama Bertambah menurunnya Bertambah hiperlipidemia Meningkat Trombositopenia Peningkatan FDP Penurunan anti trombin III

  g) Kriteria Diagnosis

  Apabila pada kehamilan >20 minggu didapatkan satu atau lebih gejala dan tanda sebagai berikut : 1) Tekanan darah sistolik >160 mmHg. 2) Tekanan darah diastolik > 110 mmHg. 3) Oliguria ( produksi urin) < 500 cc/24 jam disertai kenaikan kreatinin plasma.

  4) Proteinuria > 3/24 jam. 5) Gangguan visus dan serebral. 6) Nyeri epigastrium. 7) Edema paru dan sianosis. 8) Gangguan pertumbuhan janin intrauteri. 9) Koma (Wiknjosastro, 2002: 111).

  h) Pencegahan

  Pemeriksaan antenatal yang teratur dapat menemukan tanda-tanda dini pre eklampsi. Perlu lebih waspada akan timbulnya pre eklampsi dengan ditemukan faktor-faktor predisposisi. Walaupun timbulnya pre eklampsi tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penyuluhan secukupnya dan pengawasan yang baik pada wanita hamil. Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu diartikan berbaring di tempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein, dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan yang tidak berlebihan perlu dianjurkan (Wiknjosastro, 2002: 113). Menurut Manuaba (2008: 121), untuk mencegah kejadian pre eklampsi ringan dapat dilakukan nasehat berkaitan dengan: 1) Diet makanan

  Makanan tinggi protein, tinggi kalori, cukup vitamin dan rendah lemak. Kurangi garam apabila berat badan bertambah atau edema. Makanan berorientasi pada empat sehat lima sempurna.

  2) Cukup istirahat Istirahat yang cukup pada hamil tua dalam arti bekerja seperlunya dan disesuaikan dengan kemampuan.

  3) Pengawasan antenatal Bila terjadi perubahan perasaan dan gerak janin dalam rahim segera datang ke tempat pemeriksaan. Keadaan yang memerlukan perhatian adalah : a) Uji kemungkinan pre eklampsi (1) Pemeriksaan tekanan darah dan kenaikannya.

  (2) Pemeriksaan kenaikan berat badan atau edema. (3) Pemeriksaan protein dalam urin. (4) Pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, gambaran darah umum dan pemeriksaan retina mata.

  b) Penilaian kondisi janin dalam rahim (1) Penilaian tinggi fundus uteri.

  (2) Pemeriksaan janin: gerakan janin dalam rahim, deyut jantung janin, pemantauan air ketuban.

  (3) Pemeriksaan USG (Wiknjosastro, 2002: 117).

i) Penatalaksanaan

  Pengobatan hanya dapat dilakukan secara simtomatis karena etiologi pre eklampsi dan faktor-faktor yang menyebabkannya belum dapat diketahui. Tujuan utama penanganan: 1) Mencegah terjadinya eklampsia. 2) Melahirkan janin hidup. 3) Melahirkan janin dengan trauma minimal.

  Penanganan pre eklampsi terdiri atas pengobatan medis dan penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup umur/matur untuk hidup diluar uterus. Setelah persalinan berakhir, jarang terjadi eklampsi dan janin yang cukup matur lebih baik hidup di luar kandungan daripada didalam uterus.

  Pada umumnya indikasi untuk merawat pasien pre eklampsi di rumah sakit adalah: (1) tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan atau tekanan diastol 90 mmHg atau lebih;. (2) proteinuria 1+ atau lebih; (3) kenaikan berat badan 1,5 kg atau lebih dalam seminggu yang berulang; (4) penambahan edema secara tiba-tiba.

  Pada pasien yang dirawat di rumah sakit dilakukan pemeriksaan: 1) Anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan obstetrik, dan pemeriksaan laboratorium rutin.

  2) Tekanan darah, air kencing berat badan diperiksa tiap hari, dan edema dicari terutama didaerah sakral.

  3) Balance cairan diukur setiap hari. 4) Funduskopi dilakukan pada saat pasien masuk ke rumah sakit dan kemudian tiap 3 hari .

  5) Keadaan janin diperiksa tiap hari dan besarnya dinilai. 6) Penentuan hematokrit dilakukan berulang-ulang. 7) Penderita diingatkan untuk segera memberitahu apabila terdapat gejala sakit kepala, merasa mual, merasa nyeri di daerah epigastrium, atau menderita gangguan penglihatan.

  Pengobatan pre eklampsi yang tepat ialah pengakhiran kehamilan karena tindakan tersebut menghilangkan sebabnya dan mencegah terjadinya eklampsi dengan bayi masih prematur. Penundaan pengakhiran kehamilan dapat menyebabkan eklamsi dan kematian janin. Pada janin dengan berat rendah pun kemungkinan hidup pada pre eklampsi berat lebih baik diluar dari pada dalam uterus. Cara pengakhiran dapat dilakukan dengan induksi persalinan atau SC. Pada umumnya indikasi untuk pengakhiran kehamilan adalah: 1) Pre eklampsi ringan dengan kehamilan cukup bulan. 2) Pre eklampsi dengan hipertensi dan atau proteinuria menetap selama 10-14 hari dan janin sudah cukup matur.

  3) Pre eklampsi berat. 4) Eklamsi.

  Pada pasien yang masuk rumah sakit sudah dengan tanda- tanda dan gejala

  • –gejala pre eklampsi berat harus segera diberi sedative yang kuat untuk mencegah timbulnya kejang-kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut dapat di atasi, dapat dipikirkan cara terbaik untuk menghentikan kehamilan. Tindakan ini diperlukan untuk mencegah bahaya eklampsi selanjutnya. Pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang (Wiknjosastro, 2002: 119).

3. Induksi Persalinan

a. Pengertian

  Induksi Persalinan

   (induction of labour) adalah merangsang uterus

  untuk mengawali proses persalinan. Saat ini sudah terbukti bahwa tindakan induksi persalinan semakin sering dilakukan. American

  College of Obstetricians and Gynecologists (1999a) berdasarkan resiko

  persalinan yang berlangsung secara cepat, tidak mendukung tindakan ini kecuali untuk indikasi-indikasi tertentu (rumah parturien yang jauh dari rumah sakit atau alasan psikososial).

  Luthy dkk (2002) Tindakan induksi persalinan berhubungan dengan kenaikan angka kejadian tindakan SC. Hoffman dan Sciscione (2003) Induksi persalinan elektif menyebabkan peningkatan kejadian SC 2-3 kali lipat.

  Induksi persalinan elektif pada kehamilan aterm sebaiknya tidak dilakukan secara rutin mengingat bahwa tindakan SC dapat meningkatkan resiko yang berat sekalipun jarang dari pemburukan out come maternal termasuk kematian. Induksi persalinan eletif yang dirasa perlu dilakukan saat aterm (≥ 38 minggu) perlu pembahasan secara mendalam antara dokter dengan pasien dan keluarganya.

  b. Indikasi 1) Ketuban pecah dini dengan chorioamnionitis 2) Pre-eklampsia berat 3) Ketuban pcah dini tanpa diikuti dengan persalinan 4) Hipertensi dalam kehamilan 5) Gawat janin 6) Kehamilan postterm

  c. Kontraindikasi

  1) Cacat rahim ( akibat SC jenis klasik atau miomektomi intramural) 2) Grande multipara 3) Plasenta previa 4) Insufisiensi plasenta 5) Makrosomia

  6) Hidrosepalus 7) Kelainan letak janin 8) Gawat janin 9) Ragangan berlebihan uterus :

  gemeli dan hidramnion

  10) Kontra indikasi persalinan spontan pervaginam:

  a) Kelainan panggul ibu (kelainan bentuk anatomis, panggul sempit)

  b) Infeksi herpes genitalis aktif

  c) Karsinoma Servik Uteri

  d. Teknik pemberian oksitosin

  Pemberian Induksi oksitosin menggunakan prosedur yang sesuai dengan standard operasional yang tersusun diantaranya : 1) Pasien berbaring di tempat tidur dan tidur miring kiri 2) Lakukan penilaian terhadap tingkat kematangan servik.

  3) Lakukan penilaian denyut nadi, tekanan darah dan his serta denyut jantung janin 4) Catat semua hasil penilaian pada partograf 5) 2.5 - 5 unit Oksitosin dilarutkan dalam 500 ml Dekstrose 5% (atau PZ) dan diberikan dengan dosis awal 10 tetes per menit.

  6) Naikkan jumlah tetesan sebesar 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus yang adekuat.

  7) Jika terjadi

  hiperstimulasi (lama kontraksi > 60 detik atau lebih dari

  4 kali kontraksi per 10 menit) hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan pemberian: 8) Terbutalin 250 mcg IV perlahan selama 5 menit atau 9) Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan RL 10 tetes permenit

  10) Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat setelah jumlah tetesan mencapai 60 tetes per menit.

  11) Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dekstrose 5% (atau PZ) dan sesuaikan tetesan infuse sampai 30 tetes per menit (15mU/menit)

  12) Naikan jumlah tetesan infuse 10 tetes per menit setiap 30 menit sampai kontraksi uterus menjadi adekuat atau jumlah tetesan mencapai 60 tetes per menit.

  Jika masih tidak tercapai kontraksi uterus adekuat dengan konsentrasi yang lebih tinggi tersebut maka :

  1) Pada multipgravida : induksi dianggap gagal dan lakukan SCia. 2) Pada primigravida, infuse oksitosin dapat dinaikkan konsentrasinya

  yaitu :

  a) 10 Unit dalam 400 ml Dextrose 5% (atau PZ) , 30 tetes permenit

  b) Naikkan jumlah tetesan dengan 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus adekuat.

  c) Jika sudah mencapai 60 tetes per menit, kontraksi uterus masih tidak adekuat maka induksi dianggap gagal dan lakukan SC.

  Jangan berikan oksitosin 10 Unit dalam 500 ml Dextrose 5% pada pasien multigravida dan atau penderita bekas SC

4. Seksio Caesaria

  a. Pengertian SC adalah suatu persalinan buatan, janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Wiknjosastro, 2007; h. 133). SC menurut Mochtar (1998) adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina.

  b. Jenis- jenis operasi SC 1) Abdomen (SC abdominalis)

  a) SC transperitonealis (1) SC klasik atau korporal dengan insisi memanjang pada korpus uteri

  (a) Kelebihan : mengeluarkan janin lebih cepat, tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik, sayatan bisa diperpanjang. (b) Kekurangan : infeksi mudah menyebar secara intra abdominalis karena tidak ada reperitonealis yang baik, untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptur uteri spontan.

  (2) SC ismika atau profunda atau low cervical dengan insisi pada segmen bawah rahim (a) Kelebihan : penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka dengan reperitonealis yang baik, tumpang tindih dari reperitoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritonium, perdarahan sedikit, dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri lebih kecil.

  (b) Kekurangan : luka dapat melebar sehingga dapat menyebabkan arteri uterina putus sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak, keluhan pada kandung kemih post operatif tinggi.

  (3) SC ekstraperitonealis, yaitu tanpa membuka peritonium parietalis dengan demikian tidak membuka kavum abdominal 2) Vagina (SC vaginalis)

  Menurut arah sayatan pada rahim, yaitu

  a) Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig

  b) Sayatan melintang (transversa) menurut Kerr

  c) Sayatan huruf T (T - Incission) (Mochtar, 1998; h. 119)

  c. Prognosis Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi.

  Namun dengan perkembangan dalam teknik operasi, anestesi, penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun. Angka kematian ibu pada rumah sakit dengan fasilitas operasi yang baik dan tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 dalam 1000 persalinan.

  Nasib janin yang ditolong secara SC sangat tergantung dari keadaan janin sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari negara- negara dengan pengawasan antenatal yang baik dan fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4 - 7% (Mochtar, 1998; h. 121). d. Faktor Determinan SC 1)Faktor Sosiodemografi

  a) Faktor umur

  b) Suku

  c) Agama

  d) Tingkat Pendidikan

  e) Pekerjaan

  f) Sumber biaya 2) Faktor Mediko-Obstetrik

  Hal-hal yang perlu diperhatikan pada faktor mediko obstetri adalah paritas, jarak persalinan, riwayat obstetri jelek, dimana hal ini akan memberi gambaran atau prognosa pada kehamilan dan persalinan berikutnya.

  e. Indikasi SC 1) Indikasi Medis

  Melahirkan dengan cara SC sebaiknya dilakukan atas pertimbangan medis dengan memperhatikan kesehatan ibu maupun bayinya. Artinya, janin atau ibu dalam keadaan gawat dan hanya dapat diselamatkan jika persalinan dilakukan dengan SC dengan tujuan untuk memperkecil terjadinya resiko yang membahayakan jiwa ibu dan bayinya.

  a) Faktor janin : bayi terlalu besar, kelainan letak bayi ( letak sungsang, letak lintang), ancaman gawat janin (

  fetal distress), dan bayi kembar.

  b) Faktor plasenta : Plasenta previa dan solusio plasenta

  c) Faktor ibu : Disproporsi Sevalo-Pelvik, disfungsi uterus, ruptura uteri (robekan rahim), partus tak maju, pre eklamsi dan eklamsi.

  2) Indikasi Sosial Persalinan yang dilakukan dengan SC sering dikaitkan dengan masalah kepercayaan yang masih berkembang di Indonesia. Masih banyak penduduk di kota-kota besar mengaitkan waktu kelahiran dengan peruntungan nasib anak dilihat dari faktor ekonomi. Tentunya tindakan SC dilakukan dengan harapan apabila anak dilahirkan pada tanggal dan jam sekian, maka akan memperoleh rezeki dan kehidupan yang baik.

  Adanya ketakutan ibu-ibu akan kerusakan jalan lahir (vagina) sebagai akibat dari persalinan normal, menjadi alasan ibu memilih bersalin dengan cara SC. Padahal penelitian membuktikan bahwa mitos tersebut tidak benar karena penyembuhan luka di daerah vagina hampir sempurna. Pendapat lain yaitu, bayi yang dilahirkan dengan SC menjadi lebih pandai karena kepalanya tidak terjepit di jalan lahir. Padahal sebenarnya tidak ada perbedaan antara kecerdasan bayi yang dilahirkan dengan cara SC ataupun pervaginam.

  Pada sisi lain, persalinan dengan SC dipilih oleh ibu bersalin karena tidak mau mengalami rasa sakit dalam waktu yang lama. Hal ini terjadi karena kekhawatiran atau kecemasan menghadapi rasa sakit pada persalinan normal.

  f. Komplikasi Tindakan SC Komplikasi yang terjadi setelah tindakan SC adalah 1) Infeksi Puerperal (nifas)

  Infeksi puerperal terbagi 3 tingkatan, yaitu:

  a) Ringan : dengan kenaikan suhu tubuh beberapa hari saja

  b) Sedang : dengan kenaikan suhu tubuh lebih tinggi, disertai dehidrasi dan sedikit kembung. c) Berat: dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita jumpai pada partus terlantar, dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartal karena ketuban yang telah pecah terlalu lama.

  2) Perdarahan Perdarahan dapat disebabkan karena banyaknya pembuluh darah yang terputus dan terbuka, atonia uteri, dan perdarahan pada placental bed. Perdarahan dapat mengakibatkan terbentuknya bekuan-bekuan darah pada pembuluh darah balik di kaki dan rongga panggul

  3) Luka Kandung kemih Tindakan SC, apabila dilakukan dengan tidak hati-hati dapat mengakibatkan luka pada organ lain seperti kandung kemih, yang dapat menyebabkan infeksi

5. Kewenangan Bidan

  Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan, kewenangan yang dimiliki bidan meliputi : a. Kewenangan normal

  Kewenangan normal adalah kewenangan yang dimiliki oleh seluruh bidan. Kewenangan ini meliputi: 1) Pelayanan kesehatan ibu

  a) Ruang lingkup: (1) Pelayanan konseling pada masa pra hamil (2) Pelayanan antenatal pada kehamilan normal

  (3) Pelayanan persalinan normal (4) Pelayanan ibu nifas normal (5) Pelayanan ibu menyusui (6) Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan

  b) Kewenangan: (1) Episiotomi (2) Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II (3) Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan (4) Pemberian tablet Fe pada ibu hamil (5) Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas (6) Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif (7) Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum (8) Penyuluhan dan konseling (9) Bimbingan pada kelompok ibu hamil (10) Pemberian surat keterangan kematian (11) Pemberian surat keterangan cuti bersalin

  2) Pelayanan kesehatan anak

  a) Ruang lingkup: (1) Pelayanan bayi baru lahir (2) Pelayanan bayi (3) Pelayanan anak balita (4) Pelayanan anak pra sekolah b) Kewenangan: (1) Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini (IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0- 28 hari), dan perawatan tali pusat

  (2) Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk (3) Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan (4) Pemberian imunisasi rutin sesuai program Pemerintah (5) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah (6) Pemberian konseling dan penyuluhan (7) Pemberian surat keterangan kelahiran (8) Pemberian surat keterangan kematian

  3) Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana a) Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana b) Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom

  b. Kewenangan dalam menjalankan program Pemerintah Selain kewenangan normal sebagaimana tersebut di atas, khusus bagi bidan yang menjalankan program pemerintah mendapat kewenangan tambahan untuk melakukan pelayanan kesehatan yang meliputi:

  1) Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit 2) Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu (dilakukan di bawah supervisi dokter) 3) Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan 4) Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan

  5) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah 6) Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas 7) Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya

  8) Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi 9) Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah

  Khusus untuk pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), hanya dapat dilakukan oleh bidan yang telah mendapat pelatihan untuk pelayanan tersebut. c. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter.

  Khusus di daerah (kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum ada dokter, bidan juga diberikan kewenangan sementara untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan normal, dengan syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

  Kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan normal tersebut berakhir dan tidak berlaku lagi jika di daerah tersebut sudah terdapat tenaga dokter. B. Kerangka Teori

  Kehamilan Normal Faktor ibu :