BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kecemasan - BAB II Ratna Trisnawati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kecemasan a. Pengertian Cemas adalah suatu keadaan perasaan dimana individu merasa

  lemah sehingga tidak berani untuk bersikap dan bertindak secara rasional sesuai dengan yang seharusnya. Seseorang yang cemas akan merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya (Wiramihardja, 2007).

  Menurut Stuart (2007), ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai kecemasan. Teori tersebut antara lain : 1)

  Teori Psikoanalitik Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitive, sedangkan super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan norma budaya seseorang.

  Ego atau aku berfungsi mengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

  2) Teori Interpersonal

  Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat. Teori Perilaku

  Kecemasan merupakan hasil dari frustasi, yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli teori perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk menghindari kepedihan. 4)

  Teori Keluarga Teori ini menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan kecemasan dan depresi. 5)

  Teori Biologis Teori ini menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepin, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama-aminobitirat (GABA), yang berperan penting dalam biologis yang berhubungan dengan kecemasan.

  Kecemasan (anxiety) merupakan reaksi emosional terhadap penilaian individu yang subyektif, yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahu secara khusus penyebabnya (Depkes, 2008). Ansietas (kecemasan) adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus ansietas (Videbeck, 2008). khawatir disertai dengan gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan yang berlebihan. Kecemasan merupakan gejala yang umum tetapi non spesifik yang sering merupakan suatu fungsi emosi (Sadock & Sadock, 2010). Kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang berhubungan dengan ketakutan, kekhawatiran, perasaan- perasaan bersalah, perasaan tidak aman dan kebutuhan akan kepastian. Kecemasan pada dasarnya merupakan sebuah respons terhadap apa yang terjadi atau antisipatif, namun faktor dinamik yang dapat mempercepat kecemasan tidak disadari (Semiun, 2006).

  Berdasarkan beberapa pengertian dari cemas di atas, dapat disimpulkan, cemas adalah suatu reaksi emosional terhadap penilaian individu yang subyektif, yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui secara pasti penyebabnya. b.

  Manfaat Kecemasan Kecemasan juga dibutuhkan dalam hidup ini, tanpa ada sedikit kecemasan yang sesuai dengan kenyataan, individu mungkin tidak akan memperhatikan peristiwa-peristiwa akan datang yang sangat penting bagi perlindungan dirinya. Tetapi kecemasan yang tidak wajar (tidak sehat) akan memberatkan individu dan menyebabkan tindakan (Semiun, 2006).

  c.

  Ciri-Ciri Kecemasan Menurut Nevid (2005), seseorang yang mengalami kecemasan akan menampakkan ciri-ciri sebagai berikut :

  1) Ciri fisik dari kecemasan

  Gelisah, gugup, banyak berkeringat, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernafas, bernafas pendek, jantung berdetak kencang, suara yang bergetar, pusing, merasa lemas, tangan yang dingin, sering buang air kecil, terdapat gangguan sakit perut atau mual, muka memerah, leher atau punggung terasa kaku, merasa sensitif atau mudah marah.

  2) Ciri perilaku dari kecemasan

  Seseorang yang mengalami kecemasan biasanya akan menunjukkan perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependen, ataupun perilaku terguncang.

  3) Ciri kognitif dari kecemasan

  Khawatir tentang sesuatu bahkan terhadap hal-hal sepele, perasaan terganggu terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi tanpa ada penjelasan yang jelas, sangat waspada, khawatir akan ditinggal sendiri, sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran, pikiran ketidakmampuan menghadapi masalah, berpikir tentang hal-hal yang mengganggu secara berulang-ulang.

  d.

  Tingkat Kecemasan (Anxiety) Menurut Stuart (2007), tingkat kecemasan dibagi menjadi: 1)

  Ansietas ringan Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari- hari sehingga menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar serta menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.

  2) Ansietas sedang

  Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.

  3) Ansietas berat

  Kecemasan yang sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat

  4) Panik Berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror.

  Pola pikir terpecah dari proporsinya karena mengalami kehilangan kendali, tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.

  e.

  Penyebab Kecemasan 1)

  Kontribusi biologis Daerah otak yang paling sering berhubungan dengan kecemasan adalah sistem limbik, yang bertindak sebagai mediator antara batang otak dan korteks. Batang otak yang lebih primitif memonitor dan merasakan perubahan dalam fungsi-fungsi jasmaniah kemudian menyalurkan sinyal-sinyal bahasa potensial ini ke proses-proses kortikal yang lebih tinggi melalui sistem limbik (Durand, 2007).

  2) Kontribusi psikologis

  Sense of control (perasaan mampu mengontrol) sejak dini

  yang tinggi pada seseorang merupakan faktor psikologis yang sangat rentan mengakibatkan kecemasan (Durand, 2007) Kontribusi sosial

  Peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan stress dapat memicu kerentanan terhadap kecemasan. Misalnya masalah di sekolah, tekanan sosial untuk selalu menjadi juara kelas, kematian orang yang dicintai, dan lain sebagainya (Durand, 2007).

  f.

  Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan Menurut Stuart (2007), tingkat kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi hal berikut:

  1) Potensi stresor

  Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya.

  2) Maturasi (kematangan)

  Individu yang matang yaitu yang memiliki kematangan kepribadian sehingga akan lebih sukar mengalami gangguan kecemasan, sebab individu yang matang mempunyai daya adaptasi yang besar terhadap stressor yang timbul. Sebaliknya individu yang berkepribadian tidak matang akan bergantung dan gangguan kecemasan.

  3) Tingkat pendidikan

  Tingkat pendidikan yang rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan dibanding dengan mereka yang tingkat pendidikannya tinggi. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru (Sarwono, 2000). Menurut Kemendikbud (2013), dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan di Indonesia dibagi menjadi 2 tingkat yaitu tingkat pendidikan dasar 9 tahun (SD, SMP) dan tingkat pendidikan tinggi (SMA, PT).

  4) Status ekonomi

  Status ekonomi yang rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan dibanding dengan mereka yang status ekonominya tinggi. Menurut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 560/60 Tahun 2013, tanggal 18 Nopember 2013 tentang Upah Minimum gambaran tentang status ekonomi masyarakatnya. Di Kabupaten Banyumas, UMK mengalami kenaikan dari Rp 877.500,- pada tahun 2013 menjadi Rp 1.000.000,- pada tahun 2014. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur tersebut, maka status ekonomi masyarakat, dibagi menjadi 2 yaitu: a)

  Di bawah UMK (penghasilan ≤ Rp 1.000.0000)

  b) Di atas UMK (penghasilan > Rp 1.000.000)

  5) Tingkat pengetahuan

  Tingkat pengetahuan yang rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami gangguan kecemasan. 6)

  Keadaan fisik Individu yang mengalami gangguan fisik seperti cidera, penyakit badan, operasi, cacat badan lebih mudah mengalami kecemasan. Disamping itu orang yang mengalami kelelahan fisik juga akan lebih mudah mengalami kecemasan.

  7) Tipe kepribadian

  Individu dengan tipe kepribadian tipe A lebih mudah mengalami gangguan kecemasan dari individu dengan kepribadian B. Adapun ciri – ciri individu dengan kepribadian A adalah tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa buru – buru waktu, sangat setia (berlebihan) terhadap mudah bermusuhan, mudah tersinggung, otot – otot mudah tegang. Sedangkan individu dengan kepribadian tipe B mempunyai ciri – ciri yang berlawanan dengan individu kepribadian tipe A. 8)

  Sosial Budaya Cara hidup individu di masyarakat yang sangat mempengaruhi pada timbulnya kecemasan. Individu yang mempunyai cara hidup sangat teratur dan mempunyai falsafah hidup yang jelas maka pada umumnya lebih sukar mengalami gangguan kecemasan. Demikian juga keyakinan agama akan mempengaruhi timbulnya kecemasan.

  9) Lingkungan atau situasi

  Individu yang tinggal pada lingkungan yang dianggap asing akan lebih mudah mangalami kecemasan dibanding bila dia berada di lingkungan yang biasa dia tempati.

  10) Usia

  Ada yang berpendapat bahwa faktor usia muda lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan dari pada usia tua, tetapi ada yang berpendapat sebaliknya. Miller (1992) dalam Dariyo (2004) menyatakan bahwa tahap dimana seorang individu mulai menunjukkan kematangan emosionalnya yaitu saat mulai kognitif dan psikososialnya berkembang pesat sehingga mampu berpikir secara abstrak, logis dan sistematis terutama pada saat menghadapi suatu masalah yang menimbulkan kecemasan. Menurut Depkes RI (2009), kategori usia dewasa dibagi menjadi 2, yaitu:

  a) Usia dewasa: 26-45 tahun

  b) Usia lanjut : ≥ 46 tahun

  11) Jenis kelamin

  Menurut Sadock dan Sadock (2010), perempuan lebih cenderung mengalami gangguan kecemasan dari pada laki-laki.

  Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Nuralita dan Hadjam (2002), mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kecemasan antara pasien laki-laki dan perempuan yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit. g.

  Pencegahan Kecemasan Menurut Hawari (2008), kecemasan dapat dicegah dengan: 1)

  Makanan yang baik dan halal secara tidak berlebihan dan mengandung gizi seimbang.

  2) Tidur secukupnya, 7-8 jam semalam. 3)

  Olahraga, untuk meningkatkan kekebalan fisik dan mental, 4) Tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman beralkohol. 5) Banyak bergaul. 6)

  Pengaturan waktu dalam kehidupan sehari-hari (manajemen waktu yang baik dan kedisiplinan diri).

  7) Rekreasi. 8) Mengatur keuangan dengan baik. 9) Kasih sayang, support dan motivasi.

  h.

  Epidemiologi Sekitar 6% dari populasi umum mengalami gangguan cemas.

  

Generalized Anxiety Disorder (GAD) adalah gangguan yang paling

  sering ditemui, terjadi pada 2-4% populasi. Gangguan ansietas lebih sering terjadi pada perempuan dan usia paruh baya. Angka yang lebih rendah terjadi pada laki-laki muda dan orang lanjut usia, walaupun angka yang lebih rendah pada usia lebih dari 65 tahun mungkin disebabkan karena kesulitan yang lebih besar mendeteksi ansietas dengan instrumen standar pada populasi ini. Gangguan ansietas juga dihubungkan dengan kesulitan sosio-ekonomi (Katona, Cooper & Robertson, 2008). i.

  Penanganan Gangguan Kecemasan Jika kecemasan itu sudah sangat mengganggu dalam meliputi:

  1) Terapi humanistika

  Terapi yang berfokus pada membantu klien mengidentifikasi dan menerima dirinya yang sejati dan bukan dengan bereaksi pada kecemasan setiap kali perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhannya yang sejati mulai muncul ke permukaan (Nevid, 2005). 2)

  Terapi psikofarmaka Terapi psikofarmaka berfokus pada penggunaan obat anti cemas (anxiolytic) dan obat-obat anti depresan seperti Diazepam,

  Clobazam, Bromazepam, Lorazepam, Meprobamate, Alprazolam, Oxazolam, chlordiazepoxide HCl, Hidroxyzine HCl (Hawari, 2008).

  3) Terapi somatik

  Terapi somatik dilakukan dengan memberikan obat-obatan untuk mengurangi keluhan-keluhan fisik pada organ tubuh yang bersangkutan yang timbul sebagai akibat dari stres, kecemasan dan depresi yang berkepanjangan (Hawari, 2008).

  4) Psikoterapi

  Terapi dilakukan dalam sebuah group dan biasanya dipilih group terapi dengan kondisi anggota yang satu tidak jauh beda dengan anggota yang lain sehingga proses penyembuhan dapat pernafasan dan teknik relaksasi ketika menghadapi kecemasan serta sugesti bahwa kecemasan yang muncul adalah tidak realistis (Hawari, 2008).

  5) Terapi psikososial

  Terapi psikososial adalah untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang bersangkutan dapat kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, sekolah/kampus, di tempat kerja maupun di lingkungan pergaulan sosialnya (Hawari, 2008). 6)

  Terapi psikoreligius Pendekatan agama akan memberikan rasa nyaman terhadap pikiran, kedekatan kepada Allah, dzikir dan doa-doa yang disampaikan akan memberikan harapan positif (Hawari, 2008). 7)

  Pendekatan Keluarga Dukungan (support) keluarga cukup efektif dalam mengurangi kecemasan (Nevid, 2005).

  8) Konseling

  Konseling dapat dilakukan secara efisien dan efektif bila ada motivasi dari kedua belah pihak, antara klien (orang yang mendapat konsultasi) dan konselor (orang yang memberikan konsultasi) (Hawari, 2008).

   Diabetes Melitus a.

  Definisi Menurut ADA (2005), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya dan menurut kriteria diagnostik. Seseorang dikatakan menderita DM jika memiliki kadar GDP

  ≥126 mg/dl atau GDS ≥200 mg/dl (Perkeni, 2011).

  Diabetes melitus adalah sekelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Gustaviani, 2006).

  b.

  Epidemiologi Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi epidemiologik, suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut hendak mencoba menghubungkan hal-hal tersebut dengan morbiditas dan mortalitas pada beberapa golongan penduduk dan menghubungkannya dengan faktor sosio- ekonomi serta demografi masyarakat masing-masing (Suyono, 2006).

  c.

  Diabetes Melitus di Masa Datang Penyakit degeneratif atau penyakit tidak menular akan satu diantaranya. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, dan lain-lain.

  Data epidemiologik di negara berkembang memang masih belum banyak. Oleh karena itu angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju (Suyono, 2006). Diabetes melitus dapat menyerang masyarakat segala lapisan umur dan sosial berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti atau ada 178 juta penduduk berusia > 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi diabetes melitus sebesar 4% akan didapatkan 7 juta penderita (Utoyo, 2003).

  Diabetes melitus adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang berperan dalam pengelolaannya tidak hanya tim medis dan paramedis tetapi lebih penting lagi keikutsertaan pasien sendiri dan keluarganya.

  Diagnostik diabetes melitus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan dengan (Askandar, 2003; Darmono, 2007).

Tabel 2.1 Kadar GDS dan GDP sebagai Patokan

  Penyaring dan Diagnosa DM Konsentrasi (mg/dl)

  No. Teknik Bahan Bukan Belum pasti DM DM DM

  Plasma vena <100 100-199 ≥200

  1 GDS Darah kapiler <90 90-199

  ≥200 Plasma vena <100 100-125

  ≥126

  2 GDP Darah kapiler

  <90 90-99 ≥100

  (Sumber : Perkeni, 2011) d. Kelompok risiko tinggi diabetes melitus:

  1) Kelompok usia dewasa tua ( ≥ 45th )

  2) Punya riwayat keluarga penderita diabetes melitus

  3) Obesitas {Berat Badan(BB)(kg) ≥ 120%, dan BB ideal

  (tinggi badan (cm)– 100 ) –10%} 4)

  Riwayat diabetes melitus pada kehamilan 5)

  Riwayat melahirkan bayi ≥ 4000 gr 6)

  Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg

  7) Dislipidemia (kadar HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserid > 250 mg/dl)

  8) Pernah mengalami Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) e.

  Kriteria diagnostik diabetes melitus : 1)

  Kadar GDS (plasma vena) ≥ 200 mg/dl atau 2)

  Glukosa Darah Puasa (GDP) (plasma vena) ≥ 126 mg/dl (puasa 3)

  Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gr pada Test Tolerance Glucosa Oral (Suyono, 2006) f. Menurut American Diabetes Association (2005), diabetes melitus diklasifikasikan menjadi :

  1) Diabetes melitus tipe I : Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Terjadi melalui proses imunologik dan idiopatik.

  2) Diabetes melitus tipe II : Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.

  3) Diabetes melitus tipe lain :

  a) Defek genetik fungsi sel beta

  b) Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A,

  leprechaunism , sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik , lainnya. c) Penyakit

  eksokrin pankreas: pancreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik,

hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus , lainnya.

  d) Endokrinopati: akromegali, sindroma cushing,

  feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma , lainnya.

  Karena obat/zat kimia

f) Infeksi : rubella kongenital, CMV, lainnya.

  g) Imunologi (jarang) : sindrom”Stiff-man”, antibodi anti reseptor insulin, lainnya.

  h) Sindrom genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter,

  sindrom Turner, sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, sindroma Laurence-Moon-Biedl , distrofi miotonik, porfiria, sindroma Prader Willi , lainnya.

  4) Diabetes melitus kehamilan/gestasional

  Secara tradisional diabetes kehamilan merupakan istilah yang digunakan untuk perempuan yang menderita diabetes selama kehamilan dan kembali normal sesudah hamil.

  g.

  Gejala Klinis Menurut Waspadji (2003) dari sudut pasien diabetes melitus sendiri, hal yang paling sering menyebabkan pasien datang berobat ke pelayanan kesehatan dan kemudian di diagnosis sebagai diabetes melitus ialah keluhan : 1)

  Kelainan Kulit : gatal, bisul-bisul 2)

  Kelainan ginekologi : keputihan 3)

  Kesemutan, rasa baal 4)

  Kelemahan tubuh Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh

  6) Infeksi saluran kemih

  Pada pasien dengan diabetes melitus, sering terdapat keluhan yang berbeda-beda. Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi pada daerah genital, ataupun daerah lipatan kulit lain seperti di ketiak dan di bawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur.

  Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka yang lama tidak mau sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu, tertusuk peniti dan sebagainya. Pada perempuan, keputihan merupakan salah satu keluhan yang sering menyebabkan pasien datang ke pelayanan kesehatan dan sesudah diperiksa lebih lanjut ternyata diabetes melitus yang menjadi latar belakang keluhan tersebut. Rasa baal dan kesemutan akibat sudah terjadinya neuropati, juga merupakan keluhan pasien, disamping keluhan lemah dan mudah merasa lelah. Pada pasien laki-laki terkadang keluhan impotensi menjadi alasan untuk datang berobat.

  Keluhan lain yang mungkin menyebabkan pasien datang berobat ialah keluhan mata kabur yang disebabkan katarak, ataupun gangguan refraksi akibat perubahan-perubahan pada lensa yang disebabkan hiperglikemia. Keluhan kabur tersebut mungkin pula disebabkan kelainan pada corpus vitreum. Diplopia binokuler akibat kelumpuhan sementara bola mata dapat pula merupakan salah satu sebab pasien berobat ke pelayanan kesehatan (Waspadji, 2003).

  h.

  Komplikasi Diabetes Melitus Mansjoer, et al (2001) menyebutkan Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan terjadinya penyakit lain) yang paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Komplikasi Diabetes melitus baik akut maupun kronis akan mulai muncul setelah menderita lebih dari 3 tahun (Perkeni, 2006). Komplikasi pada Diabetes melitus dibagi menjadi dua (Perkeni, 2006), yaitu : 1)

  Komplikasi Akut

  a) Koma hipoglikemi

  b) Ketoasidosis

  c) Koma hiperosmolar nonketotik

  2) Komplikasi kronik

  a) Makroangiopati,mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung (Acute Myocard Infark), pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak (stroke)

  b) Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetika, nefropati diabetika Neuropati diabetika

  d) Katarak

  e) Rentan infeksi, seperti tuberculosis paru, gingivitis dan infeksi saluran kemih

f) Kaki diabetika.

  i.

  Pengelolaan Diabetes melitus Tujuan pengelolaan diabetes melitus dibagi 2 (Perkeni, 2006), yaitu : 1)

  Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala diabetes melitus dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.

  2) Jangka panjang: mencegah penyulit baik makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortalitas diabetes melitus.

  Dengan kegiatan mengelola pasien secara holistik dan mengajarkan perawatan mandiri. Pilar utama pengelolaan diabetes melitus adalah penyuluhan, perencanaan makan, latihan jasmani, dan obat berkhasiat hipoglikemi (Suyono, 2006). Dalam hal ini peran psikiatri banyak diperlukan pada pilar pertama pengelolaan diabetes melitus yaitu penyuluhan dengan menunjang perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya dan penyesuaian keadaan psikologis serta kualitas hidup yang lebih baik (Suyono, 2006; Budihalim, Mudjadid dan Sukatman, 2006).

  Salah satu prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi dan menghindari terjadinya kecemasan dan depresi dengan mengingat sifat penyakit diabetes melitus yang menahun dan berlangsung seumur hidup (Budihalim dan Sukatman, 2003).

  Kriteria pengendalian diabetes melitus digunakan untuk dapat dipergunakan sebagai acuan pengendalian diabetes melitus dan dapat mendeteksi terjadinya komplikasi kronik. Perjalanan penyakit diabetes melitus dapat terjadi komplikasi akut dan menahun.

  Penyakit akut terdiri dari : ketoasidosis diabetika, hiperosmolar non ketotik, dan hipoglikemia. Sedangkan pada penyakit menahun terdiri dari : (1) Makroangiopati : pembuluh darah tepi dan pembuluh darah otak, (2) Mikroangiopati : Retinopati diabetik, dan Nefropati diabetik, (3) Neuropati, (4) Rentan infeksi, (5) Kaki diabetik, dan (6) Disfungsi ereksi (Tjokroprawiro, 2003).

3. Hubungan Antara Kecemasan dengan Diabetes Melitus

  Perubahan besar terjadi dalam hidup seseorang setelah mengidap penyakit DM. Ia tidak dapat mengkonsumsi makanan tanpa aturan dan tidak dapat melakukan aktifitas dengan bebas tanpa khawatir kadar gulanya akan naik pada saat kelelahan. Selain itu, penderita DM juga harus melakukan pemeriksaan kadar gula darah menderita penyakit DM memerlukan banyak sekali penyesuaian di dalam hidupnya, sehingga penyakit DM ini tidak hanya berpengaruh secara fisik, namun juga berpengaruh secara psikologis pada penderita.

  Saat seseorang didiagnosis menderita DM maka respon emosional yang biasanya muncul yaitu penolakan, kecemasan dan depresi, tidak jauh berbeda dengan penyakit kronis lain (Taylor, 1995). Penderita DM memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi, yang berkaitan dengan aturan yang harus dijalani dan terjadinya komplikasi serius. Kecemasan yang dialami penderita berkaitan dengan aturan yang harus dijalani seperti diet atau pengaturan makan, pemeriksaan kadar gula darah, konsumsi obat dan juga olah raga. Selain itu, resiko komplikasi penyakit yang dapat dialami penderita juga menyebabkan terjadinya kecemasan.

  Penderita DM jika mengalami kecemasan, akan mempengaruhi proses kesembuhan dan menghambat kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pasien diabetes yang mengalami kecemasan memiliki kontrol gula darah yang buruk dan meningkatnya gejala-gejala penyakit (Taylor, 1995). Kecemasan merupakan hal yang tidak mudah untuk dihadapi oleh penderita DM.

  Oleh karena itu, penderita DM tentu sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan sosialnya. menyenangkan yang meliputi perasaan khawatir, takut, was-was yang ditimbulkan oleh pengaruh ancaman atau gangguan terhadap sesuatu yang belum terjadi dan dapat mempengaruhi aktivitas. Penderita DM merupakan suatu gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, sehingga didapati hiperglikemi dan glukosuria. Dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.

  Kecemasan dan depresi memang faktor-faktor yang dapat membuat seseorang menjadi rentan dan lemah, bukan hanya secara mental tetapi juga fisik. Penelitian terbaru membuktikan kecemasan, depresi dan gangguan tidur malam hari adalah faktor pemicu terjadinya penyakit diabetes khususnya di kalangan pria (Amidah, 2002).

B. Kerangka Teori Penelitian .

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian modifikasi teori menurut Stuart (2007), Perkeni (2006)

  Karakteristik Pasien :

C. Kerangka Konsep Penelitian Karakteristik Pasien : . Keterangan :

  : Obyek yang diteliti

  • > : Obyek yang tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis Penelitian

  Hipotesis penelitian merupakan suatu proposisi atau anggapan yang mungkin benar dan sering digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan atau pemecahan persoalan ataupun untuk dasar penelitian lebih lanjut (Supranto, 2009). Hipotesis penelitian ini adalah: 1.

  Ada perbedaan tingkat kecemasan pada pasien diabetes melitus.

  2. Ada hubungan karakteristik responden (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi, dan lama di diagnosa DM) pada pasien diabetes melitus dengan tingkat kecemasan.