BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Lansia - Nanda Puspitasari BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Lansia Populasi lansia kini lebih banyak dibandingkan dengan

  populasinya di masa lalu. Meningkatnya populasi lansia ini pun terjadi di seluruh dunia. Populasi penduduk lanjut usia di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data dari WHO, penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 18,2 juta orang atau 8,2%, tahun 2007 penduduk lansia berjumlah 18,7 juta orang atau 8,42%, tahun 2010 meningkat menjadi 9,77%, dan pada tahun 2020 diperkirakan menjadi dua kali lipat yaitu berjumlah 28,8 juta orang atau 11,34%. Populasi lansia di Indonesia merupakan populasi tersbesar keempat di dunia setelah Amerika Serikat, China, dan India (Raharja, 2013).

  Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukan kemunduran sejalan sewaktu. Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun, dan 70 tahun. WHO (World Health Organization) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia. Secara umum perubahan fisik pada

  11 masa lanjut usia adalah menurunnya fungsi panca indra, minat dan fungsi organ seksual dan kemampuan motorik (Pieter, 2010).

  Menurut UU RI No.4 tahun 1965 lanjut usia adalah mereka yang berusia 55 tahun keatas. Sedangkan menurut dokumen pelembagaan lanjut usia dalam kehidupan bangsa yang diterbitkan oleh Departemen Sosial dalam rangka perencanaan Hari Lanjut Usia Nasional tanggal 29 Mei 1996 oleh presiden RI, batas usia lanjut adalah 60 tahun atau lebih (Fatimah, 2010).

  Manusia yang telah menginjak masa lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial, serta perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya. Oleh karena itu, kesehatan manusia lanjut perlu mendapatkan pelatihan khusus dengan tetap dipelihara dan ditingkatkan agar selama mungkin dapat hidup secara produktif sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat ikut serta berperan aktif dalam pembangunan (UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 pasal 19 ayat 1 dalam Fatimah, 2010).

a. Batasan Umur Lanjut Usia

  Batasan lanjut usia berdasarkan Undang-Undang No.13 tahun 1998 adalah 60 tahun keatas. Menurut Depkes RI (2013) pengelompokan usia lanjut dibagi atas :

  1) Kelompok pertengahan umur : 45 – 54 tahun

  2) Kelompok lanjut usia dini : 55 – 64 tahun

  3) Kelompok lanjut usia : 65 tahun keatas

  4) Kelompok lanjut usia dengan resiko tinggi : 70 tahun keatas atau kelompok lanjut usia yang hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat atau cacat.

  Sedangkan menurut WHO (World Health Organization) kategori lanjut usia meliputi : 1)

  Usia pertengahan (middle age) : 45 – 59 tahun; 2)

  Usia lanjut (elderly) : 60 – 74 tahun; 3)

  Usia tua (old) : 75 – 90 tahun; 4)

  Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun; Menurut Maryam dkk (2012), lansia memiliki karakteristik sebagai berikut :

  1) Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang kesehatan).

  2) Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif.

  3) Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi 2.

   Dekubitus pada Lansia Ulkus dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur tetapi tetapi

  hal ini merupakan masalah khusus pada lanjut usia. Kehususannya terletak pada insiden kejadiannya yang erat kaitannya dengan imobilitas.

  Seseorang yang tidak immobilitas dapat berbaring di tempat tidur sampai berminggu minggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat berganti posisi beberapa kali dalam satu jam. Pergantian posisi ini, biarpun hanya bergeser di tempat sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh yang kontak dengan alas tempat tidur. lama. Sedangkan im-mobilitas pasti menyebabkan dekubitus bila berlangsung lama. ( Kris,2011)

  Menurut Revis (2015), usia merupakan faktor intrinsik penyebab dekubitus karena pada usia lanjut telah terjadi penurunan elastisitas dan vaskularisasi sehingga meningkatkan resiko terjadi luka tekan. Akibat proses penuaan umumnya lansia mengalami kehilangan elastisitas otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis. Risiko tersebut semakin meningkat karena pada lansia terjadi penurunan kemampuan fisiologis tubuh antara lain berkurangnya toleransi terhadap tekanan dan gesekan, berkurangnya jaringan lemak subkutan, berkurangnya jaringan kolagen dan elastin, serta menurunnya efisiensi kolateral kapiler pada kulit.

  Kemampuan lansia untuk merasakan sensasi nyeri akibat tekanan berkurang sebagai dampak penurunan persepsi sensori. Penyakit primer maupun sekunder yang mungkin dialami lansia akan meningkatkan risiko kejadian dekubitus karena kondisi sakit menambah ketidakmampuannya melakukan mobilisasi.

  Terjadinya ulkus disebabkan gangguan aliran darah setempat, juga keadaan umum dari penderita. Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan bawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akubat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sengingga menyebabkan gangguan sirkulasi darah setempat. Walaupun semua bagian tubuh dapat mengalami dekubitus bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khusus. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sacrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku. Usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain :

  1. Berkurangnya jaringan lemak subkutan

  2. Berkurangnya jaringan kolagen dan elastik

  

3. Menurunnya efisiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit

menjadi lebih tipis dan rapuh ( Kris,2011).

  Dekubitus merupakan suatu hal yang serius dengan angka mordibitas dan mortalitas yang tinggi pada penderita lanjut usia. Di Negara maju prosentase terjadinya dekubitus mencapai sekitar 11% dan terjadi dua minggu pertama perawatan ( Kris,2011).

  Prevalensi ulkus debitus stadium 2 atau lebih pada pasien rawat akut di rumah sakit berkisar antara 3 sampai 11 persen, dengan insidensi selama perawatan di rumah sakit antara 1-3 persen. Pada pasien yang diperkirakan selama harus berbaring atau duduk selama paling tidak 1 minggu, prevalensi ulkus stadium 2 atau lebih meningkat hingga mencapai 28 persen, dengan insidensi selama perawatan berkisar antara 7,7 dan 29,5 persen. Ulkus dekubitus umumnya terjadi pada 2 minggu pertama perawatan di rumah sakit dan pada pasien yang mengalami ulkus, 54 persennya timbul setelah masuk rumah sakit. Prevalensi ulkus debitus pada usia lanjut yang dirawat di panti werdha dilaporkan sama dengan yang ada di rumah sakit ( Kris,2011).

  Kecenderungan penderita lanjut usia yang kerap kali terpancang tempat tidurnya immobilitas, lebih memperbesar potensi untuk terjadi dekubitus ( Kris,2011).

  Selain imobilitas dan terbatasnya tingkat aktivitas, faktor resiko lain timbulnya ulkus dekubitus adalah inkontinensia, malnutrisi, diabetes mellitus, insuffisiensi vascular, obesitas, hipoalbuminemia, dimensia berat dan berubahnya tingkat kesadaran. Faktor resiko timbulnya ulkus stadium 2 atau lebih termasuk juga kulit yang kering, meningkatnya suhu tubuh tekanan darah yang rendah dan usia lanjut ( Kris,2011).

3. Patofisiologi Tekanan darah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg 33 mmHg.

  Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh seorang penderita immobilitas terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring di atas kasur busa biasa maka tekanan daerah sacrum mencapai 60-70 mmHg, daerah tumit mencapai 30-45 mmHg. Tekanan ini akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nekrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seseorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan mengalami dekubitus selama dapat berganti posisi beberapa kali per jamnya ( Kris,2011).

  Empat faktor yang berpengaruh pada patogenis timbulnya dekubitus adalah tekanan, daya regang, friksi/gesekan, dan kelembaban.

  Efek tekanan pada jaringan diatas tulang yang menojol menyebabkan ikemia dan toksin seluler yang berhubungan dengan oklusi pembuluh darah dan limfatik, sementara efeknya terhadap timbulnya trauma lebih kecil. Trauma akibat tekanan umumnya di mulai pada jaringan yang lebih dalam dan menyebar kepermukaan kulit ( Kris,2011).

  Sedangkan pengaruh faktor lain misalnya : a.

  

Faktor teregangnya kulit misalnya akibat gerakan meluncur ke

bawah pada penderita dengan posisi setengah duduk atau setengan berbaring b.

Faktor terlipatnya kulit akibat gesekan badan yang sangat kurus

dengan alas tempat tidur, sehingga seakan akan kulit “tertinggal” dari area tubuh Kerusakan yang disebabkan daya regang kemungkinan dimediasi

iskemia akibat tekanan pada jaringan yang lebih dalam sama seperti

trauma mekanik yang terjadi dijaringan subkutan. Gesekan dan

kelembaban penting perannya pada timbulnya lesi superfisial tetapi

efeknya juga besar bila terjadi tekanan yang berlebihan.

4. Tipe Ulkus Dekubitus

  Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari

suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit

sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga tipe : a.

  Tipe normal Ulkus dekubitus tipe normal mempunyai beda temperatur sampai di bawah kurang 2,5°C dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena ikemia jaringan setempat akibat tekanan tetapi aliran darah dan pembuluh pembuluh darah sebenarnya baik b.

  Tipe arteriosklerotik Ulkus dekubitus arteriosklerotik mempunyai beda temperatur kurang dari 1°C antara daerah ulkus dengan daerah kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukan gangguan aliran darah dan akibat penyakit pada pembuluh darah (arteriosklerotik) ikut berperan terjadinya dekubitus di samping faktor tekanan dengan perawatan ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.

  c.

  Tipe terminal Ulkus dekubitus tipe terminal terjadi pada penderita yang akan meninggal dan tidak dapat menyembuh.Berdasarkan klasifikasi Shea yang telah di modifikasi dan di pakai sebagai panduan klinis oleh The Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR), ulkus dekubitus di bagi menjadi 4 stadium. Stadium 1 bermanifestasi sebagai eritmea yang non balanchable pada kulit yang masih utuh. Pada pasien dengan kulit gelap stadium 1 dapat perupa perubahan warna kulit yang hangat, edema dan berindurasi. Lesi stadium 1 ini berhubungan dengan 10 kali peningkatan resiko lesi stadium yang lebih lanjut. Bila sudah terjadi kehilangan lapisan kulit epidermis dan atau dermis maka lesi di definisikan sebagai stadium 2. Ulkus stadium 3 berkembang ke jaringan lunak dan kelapisan fasia dalam, sementara pada stadium 4 jaringan otot dan tulang sudah terlihat (Kris, 2011).

5. Faktor faktor Resiko Dekubitus

  Ada dua hal utama yang berhubungan dengan resiko terjadinya dekubitus, yaitu faktor tekanan dan toleransi jaringan. Faktor yang mempengaruhi durasi dan intensitas tekanan diatas tulang yang menonjol adalah imobilitas, inaktifitas dan penurunan persepsi sensori. Sedangkan faktor yang mempengaruhi toleransi jaringan dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang berasal dari pasien, sedangkan yang dimaksud dengan faktor ekstrinsik yaitu faktor-faktor yang berhubungan dari luar yang mempunyai efek deteriorasi pada lapisan eksternal dari kulit (Braden dan Bergstorm, 2009).

  Penjelasan dari masing-masing faktor yang mempengaruhi dekubitus diatas adalah sebagai berikut :

a. Faktor Tekanan

  1) Mobilitas dan Aktivitas

  Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktifitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien dengan berbaring terusmenerus ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena dekubitus. Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian dekubitus (Braden & Bergstorm, 2009). Sedangkan imobilitas pada lansia merupakan ketidakmampuan untuk merubah posisi tubuh tanpa bantuan yang disebabkan oleh depresi CNS (Jaul. 2010). Ada beberapa penelitian prospektif maupun retrospektif yang mengidentifikasi faktor spesifik penyebab imobilitas dan inaktifitas, diantaranya

  Spinal Cord Injury (SCI), stroke, multiple sclerosis, trauma

  (misalnya patah tulang), obesitas, diabetes, kerusakan kognitif, penggunaan obat (seperti sedatif, hipnotik, dan analgesik), serta tindakan pembedahan (AWMA, 2012). 2)

  Penurunan Persepsi Sensori Jatmiko (2012) penurunan persepsi sensori dan penurunan derajat toleransi jaringan terhadap tekanan juga

  .

  merupakan faktor risiko terjadinya dekubitus pada lansia Pasien dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan lebih beresiko mengalami gangguan integritas kulit dari pada pasien dengan sensasi normal. Pasien dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan adalah pasien yang tidak mampu merasakan kapan sensasi pada bagian tubuh mereka meningkat, adanya tekanan yang lama, atau nyeri dan oleh karena itu pasien tanpa kemampuan untuk merasakan bahwa terdapat nyeri atau tekanan akan menyebabkan resiko berkembangnya dekubitus (Potter & Perry, 2010).

b. Faktor Toleransi Jaringan

  1) Faktor Intrinsik :

  a) Nutrisi

  Hipoalbumin, kehilangan berat badan dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai faktor predisposisi terhadap terjadinya dekubitus, terutama pada lansia. Derajat III dan

  IV dari dekubitus pada orang tua berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi. Menurut Jaul (2010), ada korelasi yang kuat antara status nutrisi yang buruk dengan peningkatan resiko dekubitus. Pasien yang level serum albuminnya di bawah 3 g/100 ml lebih beresiko tinggi mengalami luka daripada pasien yang level albumin tinggi (Potter & Perry, 2010).

  Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.

  Berat badan kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif. Oleh karena itu, mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang.

  Indonesia memiliki batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalam klinis dan hasil penelitian dibeberapa negara berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:

  Kategori

  IMT

  Kekurangan berat < 17,0 badan tingkat berat

  Kurus Kekurangan berat

  17,0 – 18,4 badan tingkat ringan Normal 18,5

  • – 25,0 Kelebihan berat

  25,1

  • – 27,0 badan tingkat ringan

  Gemuk Kelebihan berat

  > 27,0 badan tingkat berat Jika seseorang termasuk kategori : 1.

  IMT < 17,0: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat berat atau Kurang Energi Kronis (KEK) berat.

  2. IMT 17,0 – 18,4: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat ringan atau KEK ringan.

  b) Umur / Usia

  Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori, penurunan elstisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis.

  Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain yang akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan dan tenaga merobek (Irawan, 2014). Seiring dengan meningkatnya usia akan berdampak pada perubahan kulit yang di indikasikan dengan penghubung dermis-epidermis yang rata (flat), penurunan jumlah sel, kehilangan elastisitas kulit, lapisan subkutan yang menipis, pengurangan massa otot, dan penurunan perfusi dan oksigenasi vaskular intradermal (Jaul, 2010) sedangkan menurut Potter & Perry, (2012) 60% - 90% dekubitus dialami oleh pasien dengan usia 65 tahun keatas.

  c) Tekanan arteriolar

  Tekanan arteriolar yang rendah menurunkan tekanan sirkulasi sehingga nutrisi dan oksigen tidak dapat sampai ke jaringan, hal ini dapat menurunkan elastisitas kulit dan kulit menjadi mudah robek ditambahkan oleh faktor gesekan dan pergerakan (Joseph & Davies, 2013). Studi yang dilakukan oleh Bergstrom & Braden (1992) menemukan bahwa tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang rendah berkontribusi pada perkembangan dekubitus.

  2) Faktor ekstrinsik

  a) Kelembaban

  Adanya kelembaban dan durasi kelembaban pada kulit meningkatkan resiko pembentukan kejadian dekubitus.

  Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, perspirasi yang berlebihan, serta inkontinensia fekal dan urine (Potter & Perry, 2012). Kelembaban yang disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi. Selain itu, kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan pergeseran (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan luka daripada inkontinensia urine karena adanya bakteri dan enzim pada feses yang dapat meningkatkan PH kulit sehingga dapat merusak permukaan kulit ( AWMA, 2012).

  b) Gesekan

  Gaya gesek (Friction) adalah Pergesekan terjadi ketika ada dua permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan.Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa terjadi pada saat pergantian sprei pasien yang kurang berhati hati (Wahyu, 2015) . Cidera akibat gesekan memengaruhi epidermis atau lapisan kulit yang paling atas. Kulit akan merah, nyeri dan terkadang disebut sebagai bagian yang terbakar. Cidera akibat gaya gesek terjadi pada pasien yang gelisah, yang memiliki pergerakan yang tidak terkontrol seperti keadaan spasme dan pada pasien yang kulitnya ditarik bukan diangkat dari permukaan tempat tidur selama perubahan posisi (Potter & Perry, 2012). Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan. Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit. c) Pergeseran

  Gaya geser adalah peningkatan tekanan yang sejajar pada kulit yang berasal dari gaya gravitasi, yang menekan tubuh dan tahanan (gesekan) diantara pasien dan permukaan (Potter & Perry, 2012). Contoh yang paling sering adalah ketika pasien diposisikan pada posisi semi fowler yang melebihi 30°. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Jaul (2010) bahwa pada lansia akan cenderung merosot kebawah ketika duduk pada kursi atau posisi berbaring dengan kepala tempat tidur dinaikkan lebih dari 30°. Pada posisi ini pasien bisa merosot kebawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak kebawah namun kulitnya masih tertinggal. Hal ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh darah, serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot, namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit (WOCNS, 2008). Ada hipotesis lain mengenai faktor pencetus terjadinya dekubitus, antara lain sebagai berikut : a.

  Merokok Merokok mungkin sebuah prediktor terbentuknya dekubitus.

  Insiden dekubitus lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. afinitas hemoglobin dengan nikotin dan meningkatnya radikal bebas diduga sebagai penyebab resiko terbentuknya dekubitus pada perokok (Bryant, 2008).

  b.

  Temperatur kulit Setiap terjadi peningkatan metabolisme akan menaikkan 1°C dalam temperatur jaringan. Dengan adanya peningkatan temperatur ini akan beresiko terhadap iskemik jaringan. Selain itu dengan menurunnya elastisitas kulit, akan tidak toleran terhadap adanya gaya gesekan dan pergerakan sehingga akan mudah mengalami kerusakan kulit (AWMA, 2012) c.

  Penyakit Kronis Selain beberapa faktor diatas, Australian Wound

  

Management Association (AWMA , 2012) juga menyebutkan penyakit

kronis sebagai salah satu faktor ekstrinsik terjadinya dekubitus.

  Penyakit kronis dapat mempengaruhi perfusi jaringan, dimana penyakit dan kondisi tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pengiriman oksigen ke jaringan. Ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan resiko terjadinya dekubitus, diantaranya adalah diabetes mellitus, kanker, penyakit pada pembuluh darah arteri, penyakit kardiopulmonar lymphoedema, gagal ginjal, tekanan darah rendah, abnormalitas sirkulasi serta anemia.

6. Klasifikasi Dekubitus

  National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) 2014

  membagi derajat dekubitus menjadi enam dengan karakteristik sebagai berikut :

a) Derajat I : Nonblanchable Erythema

  Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan tanda-tanda akan terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), dan perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih luka akan kelihatan sebagai kemerahan yang menetap, sedangkan pada orang kulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu. Cara untuk menentukan derajat I adalah dengan menekan daerah kulit yang merah (erytema) dengan jari selama tiga detik, apabila kulitnya tetap berwarna merah dan apabila jari diangkat juga kulitnya tetap berwarna merah.

Gambar 2.1 Dekubitus Derajat 1 (Sumber : NPUAP, 2009) b) Derajat II : Partial Thickness Skin Loss

  Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superfisial dengan warna dasar luka merah-pink, abrasi, melepuh, atau membentuk lubang yang dangkal. Derajat I dan II masih bersifat refersibel.

Gambar 2.2 Dekubitus Derajat 2 (Sumber : NPUAP, 2009)

  c) Derajat III : Full Thickness Skin Loss

  Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fasia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam. Disebut sebagai

  “typical decubitus” yang ditunjukkan dengan adanya

  kehilangan bagian dalam kulit hingga subkutan, namun tidak termasuk tendon dan tulang. Slough mungkin tampak dan mungkin meliputi undermining dan tunneling.

Gambar 2.3 Dekubitus Derajat 3 (Sumber : NPUAP, 2009)

  d) Derajat IV : Full Thickness Tissue Loss

  Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang, tendon atau otot. Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin ditemukan pada beberapa bagian dasar luka (wound bed) dan sering juga ada undermining dan tunneling. Kedalaman derajat IV dekubitus bervariasi berdasarkan lokasi anatomi, rongga hidung, telinga, oksiput dan malleolar tidak memiliki jaringan subkutan dan lukanya dangkal. Derajat IV dapat meluas ke dalam otot dan atau struktur yang mendukung (misalnya pada fasia, tendon atau sendi) dan memungkinkan terjadinya osteomyelitis. Tulang dan tendon yang terkena bisa terlihat atau teraba langsung

Gambar 2.4 Dekubitus Derajat 4 (Sumber : NPUAP, 2009)

  7. Tempat (Lokasi) Kejadian Dekubitus

  Menurut Stephen & Haynes (2008), mengilustrasikan area-area yang beresiko untuk terjadinya dekubitus. Dekubitus terjadi dimana tonjolan tulang kontak dengan permukaan. Adapun lokasi yang paling sering adalah sakrum, tumit, dan panggul.

Gambar 2.5 Area resiko terkena Dekubitus (Sumber : NPUAP, 2009)

  8. Pengkajian Resiko Terjadinya Dekubitus

  Ada 5 (lima) instrumen yang digunakan dalam mengkaji resiko terjadinya dekubitus (Kozier, 2010). Berdasarkan hasil meta analisis (AWMA, 2012) yang

  Australian Wound Management Association mengindikasikan bahwa skala braden mempunyai reliabilitas paling kuat. Skala Braden mempunyai validitas yang paling tinggi dibandingkan dengan skala yang lainnya (Satekoa & Ziakova, 2014).

  a.

  Skala Braden Skala Braden terdiri dari 6 sub skala faktor resiko terhadap kejadian dekubitus diantaranya adalah : persepsi sensori, kelembaban, aktivitas, mobilitas, nutrisi, pergeseran dan gesekan. Nilai total berada pada rentang 6 sampai 23, nilai rendah menunjukkan resiko tinggi terhadap kejadian dekubitus. Apabila skor yang didapat mencapai ≤ 16, maka dianggap resiko tinggi mengalami dekubitus (Jaul, 2010). Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang validitas instrumen pengkajian resiko dekubitus antara lain untuk skala Braden di ruang ICU mempunyai sensitivitas 83% dan spesifitas 90% dan di nursing home mempunyai sensitivitas 46% dan spesifitas 88%, sedangkan diunit orthopedic mempunyai sensitivitas 64% dan spesifitas 87%, dan diunit Cardiotorasic mempunyai sensitivitas 73% dan spesifitas 91% (Bell J, 2008).

  Skala Braden :

  Berjalan dengan atau tanpa bantuan.

  Mampu menghabiskan lebih dari ½ porsi makannya 4.

  2. Jarang mampu menghabiska n ½ porsi makanannya atau intake cairan kurang dari jumlah optimum 3.

  Tidak dapat menghabisk an 1/3 porsi makannya, sedikit minum, puasa atau minum air putih, atau mendapat infus lebih dari 5 hari

  Nutrisi 1.

  4. Dapat merubah posisi tanpa bantuan

  Dapat membuat perubahan posisi tubuh atau ekstremitas dengan mandiri

  Tidak dapat merubah posisi secara tepat dan teratur 3.

  Tidak mampu bergerak 2.

  Mobilitas 1.

  4. Dapat berjalan sekitar Ruangan

  Tidak bisa berjalan 3.

  

PARAMETER TEMUAN SKOR

Persepsi sensori 1.

  Terbaring ditempat tidur 2.

  Aktivitas 1.

  4. Kulit kering

  3. Kadang lembab

  2. Sangat lembab

  Selalu terpapar oleh keringat atau urine basah

  Kelembapan 1.

  Tidak ada gangguan sensori, berespon penuh terhadap perintah verbal.

  Gangguan sensori pada 1 atau 2 ekstremitas atau berespon pada perintah verbal tapi tidak selalu mampu mengatakan ketidaknyamanan 4.

  2. Gangguan sensori pada bagian ½ permukaan tubuh atau hanya berespon pada stimuli nyeri 3.

  Tidak merasakan atau respon terhadap stimulus nyeri, kesadaran menurun

  Dapat menghabi s kan porsi Makannya , tidak memerluk an suplement asi nutrisi.

  Gesekan 1.

  2.

  3. Tidak Membutuhka Membutuhkan mampu n bantuan bantuan mengangkat minimal minimal badannya mengangkat mengangkat sendiri, atau tubuhnya tubuhnya spastik, kontraktur atau gelisah

9. Pencegahan Dekubitus

  Pencegahan dekubitus merupakan prioritas dalam perawatan pasien dan tidak terbatas pada pasien yang mengalami keterbatasan mobilisasi (Potter & Perry, 2010). Berdasarkan National Pressure Ulcer

  Advisory Panel (2014), untuk mencegah kejadian terhadap dekubitus ada

  5 (lima) point yang bisa digunakan untuk menilai faktor resiko dekubitus, antara lain sebagai berikut : a.

  Mengkaji faktor resiko Pengkajian resiko dekubitus seharusnya dilakukan pada saat pasien masuk Rumah Sakit dan diulang dengan pola yang teratur atau ketika ada perubahan yang signifikan pada pasien, seperti pembedahan atau penurunan status kesehatan (Potter & Perry, 2010).

  Berdasarkan National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP, 2014) mempertimbangkan semua pasien yang berbaring ditempat tidur dan dikursi roda, atau pasien yang kemampuannya terganggu untuk memposisikan dirinya, dengan menggunakan metode yang tepat dan valid yang dapat diandalkan untuk menilai pasien yang beresiko terhadap kejadian dekubitus, mengidentifikasi semua faktor resiko setiap pasien (penurunan status mental , paparan kelembaban, inkontinensia, yang berkaitan dengan tekanan, gesekan, geser, imobilitas, tidak aktif, defisit gizi) sebagai panduan pencegahan terhadap pasien yang beresiko, serta memodifikasi perawatan yang sesuai dengan faktor resiko setiap pasien.

  b.

  Perawatan pada kulit Perawatan kulit yang dimaksud disini adalah dengan cara menjaga kebersihan kulit dan kelembaban kulit dengan memberikan

  

lotion atau creams. Mengontrol kelembaban terhadap urine, feses,

  keringat, saliva, cairan luka, atau tumpahan air atau makanan, melakukan inspeksi setiap hari terhadap kulit. Kaji adanya tanda- tanda kerusakan integritas kulit (Carville, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Handayani, et al (2011) pemberian Virgin Coconut

  

Oil (VCO) dengan massage efektif untuk digunakan dalam

  pencegahan dekubitus derajat I pada pasien yang berisiko mengalami dekubitus. Penelitian yang dilakukan oleh Utomo, et al (2014)

  

Nigella Sativa Oil efektif untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus

pada pasien tirah baring lama.

  c.

  Memperbaiki status nutrisi

  Australian Wound Management Association (AWMA, 2012)

  memberikan rekomendasi untuk standar pemberian makanan untuk pasien dengan dekubitus antara lain intake energi/kalori 30

  • – 35
kal/kg per kgBB/hari, 1

  • – 1,5 g protein/kg per kg BB/hari dan 30 ml cairan/kg per kg BB/hari.

  d.

  Support surface

  Support surface yang bertujuan untuk mengurangi tekanan

  (pressure), gesekan (friction) dan pergeseran (shear) (Carville, 2009). Support surface ini terdiri dari tempat tidur, dan matras meja operasi, termasuk pelengkap tempat tidur dan bantal (AWMA, 2012).

  e.

  Memberikan edukasi Pendidikan kesehatan kepada keluarga dilakukan secara terprogram dan komprehensif sehingga keluarga diharapkan berperan serta secara aktif dalam perawatan pasien, topik pendidikan kesehatan yang dianjurkan adalah sebagai berikut : etiologi dan faktor resiko dekubitus, aplikasi penggunaan tool pengkajian resiko, pengkajian kulit, memilih dan atau gunakan dukungan permukaan, perawatan kulit individual, demonstrasi posisi yang tepat untuk mengurangi resiko dekubitus, dokumentasi yang akurat dari data yang berhubungan, demonstrasi posisi untuk mengurangi resiko kerusakan jaringan, dan sertakan mekanisme untuk mengevaluasi program efektifitas dalam mencegah dekubitus (NPUAP, 2014).

B. Kerangka Teori ↓Mobilitas Tekanan ↓Aktifitas P er k em Kelembaban ↓Presepsi Sensori b an gan Friction (gesekan) Faktor Ekstrinsik De k u Shear

  b itu s Toleransi Nutrisi Jaringan Usia Tekanan Faktor Intrinsik Arteriolar Merokok Suhu Kulit

  38 C. Kerangka Konsep

Gambar 2.7 Kerangka Konsep D.

   Pertanyaan Penelitian a.

  Bagaimana karakteristik faktor resiko kejadian dekubitus pada lansia ? b.

  Faktor yang berpengaruh pada faktor resiko kejadian dekubitus ?

  Variable Bebas Faktor Resiko Variable Terikat Kejadian

  Dekubitus