Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2 (Studi Kasus Pada Mahasiswi S2 Psikologi)

  Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2 (Studi Kasus Pada Mahasiswi S2 Psikologi)

  Abstract

  

Readiness married a ready state, ready to accept responsibility as a husband or wife, ready to

intercourse, ready set and ready family child care. Women receive greater pressure to get married than

men after a certain age, usually around the age of 30 years. This research is a case study which aims to

describe the dynamics of readiness to marry educated women S2. The sample in this study is three (3)

subjects with backgrounds are studying Psychology and S2 are female. The results of the study showed

no similarity in all three subjects in readiness to marry, namely: tolerance, willing intimate relationships,

affection and willing to share with others. These three themes have in common a high intensity.

Background owned by each of the three subjects with the pair making the subject has an emotional

maturity level is different.

  Kata kunci : saham, nilai intrinsik, proyeksi harga wajar

  Latar Belakang Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau seorang wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami ataupun istri, siap terhadap hubungan seksual, siap mengatur keluarga dan siap mengasuh anak (Duvall & Miller, 1985). Jika seseorang telah memiliki kesiapan maka pernikahan yang bahagia dan kekal akan dapat dicapai oleh pasangan suami-istri. Pernikahan merupakan pola normal dalam kehidupan orang dewasa.

  Sebagian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari orang tua dan lingkungan untuk menikah (Hurlock, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dan diharapkan setiap individu dewasa mengalaminya.

  Menikah sebagai inti dasarnya adalah ibadah dan untuk memenuhi kebutuhan Sri Nugroho Jati, M.Psi, Psi religi seseorang, dengan melakukan

  Universitas Muhammadiyah Pontianak

  pernikahan maka salah satu aspek dalam agama telah dapat dipenuhi sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh individu yang bersangkutan (Walgito, 2002). Menurut Jacoby dan Bernard (dalam Shavreni, 2013) wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dibandingkan dengan pria setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun. Hurlock (1999) mengatakan pria yang melajang tidak mengalami masalah seperti yang dialami wanita yang belum menikah karena pria dapat menikah kapan saja. Pria juga mudah melakukan adaptasi dengan dengan wanita.

  Hasil penelitian Blakemore, Lawton, dan Vartanian (dalam Shavreni, 2013) pun menunjukkan bahwa wanita memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk menikah dibandingkan dengan pria. Dorongan ini muncul karena hingga saat ini wanita masih ingin memenuhi tuntutan tradisional mereka, yaitu menjadi seorang istri dan ibu. Perempuan seringkali dihadapkan pada persoalan untuk memilih antara melanjutkan pendidikan atau menikah. Dan justru banyak dari mereka yang pada akhirnya memilih untuk menikah dari pada mewujudkan mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

  Seperti yang sering kita lihat, masya- rakat Indonesia selalu memberikan tem- pat yang sangat tinggi bagi perempuan- perempuan yang sukses di rumah tang- ganya. Dia diharapkan dapat menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya dan istri yang sangat patuh dan bisa membaha- giakan suami. Masyarakat juga berpan- dangan sinis bila perempuan dalam usia yang sudah kepala tiga masih berstatus single. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Anne Wilson Schaef dalam bukunya Women’s Reality: An emerging Female System in A White Society. Menurut Schaef, “the perfect marriage” atau perkawinan yang sempurna adalah dambaan bagi semua perempuan . (Shavreni, 2013)

  Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, fenomena yang terjadi sekarang ini justru wanita dewasa dini memilih untuk melanjutkan pendidikan tinggi serta selanjutnya berkarir. Hal ini membuat pertanyaan yang menarik tentang kesiapan menikah pada wanita dewasa dini yang berpendidikan tinggi yang merupakan satu studi kasus pada mahasiswa S2.

  Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dilihat bahwa terdapat wanita dewasa dini yang belum menikah dan melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi, sehingga dapat dirumuskan identifikasi masalah penelitian ini.

  Sehingga pertanyaan yang diajukan adalah:

  1. Bagaimana kesiapan menikah wanita berpendidikan tinggi (S2) ?

  2. Faktor yang mempengaruhi wanita lebih memilih melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi (S2) dibanding menikah? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian studi kasus ini adalah memahami dinamika kesiapan menikah pada wanita berpendidikan S2.

  Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

  Manfaat Teoritis: Penelitian ini diharap-

  kan dapat memperkaya khasanah kajian psikologi, terutama psikologi perkem- bangan dan psikologi wanita mengenai kesiapan menikah pada dewasa awal menempuh jenjang pendidikan tinggi S2.

  Manfaat Praktis: Penelitian ini diharap-

  kan dapat memberikan informasi pada dewasa awal terutama wanita yang masih belum menikah mengenai hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menikah dan agar dapat lebih memperhatikan salah satu tugas perkembangan yang belum diselesaikan yaitu menikah. Selain itu, hasil penelitian kualitatif ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian sebelumnya. Tinjauan Teori Kesiapan Menikah

  Pengertian Kesiapan Menikah

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indo-

  nesia (2002), nikah adalah perjanjian

  antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), perkawin- an, membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri. Menurut Duvall & Miller (1985) menikah merupa- kan hubungan antara pria dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, kekuasaan dalam hal mengasuh anak dan, membentuk tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Menikah adalah menyediakan keintiman, komitmen, per- sahabatan, perasaan, memenuhi kebu- tuhan seksual, kerjasama, kesempatan untuk pertumbuhan emosional sebagai sebuah sumber baru dari identitas dan self esteem (Papalia, 2004).

  Berdasarkan pengertian kesiapan dan menikah, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menikah adalah keadaan siap dalam berhubungan dengan seorang tanggung jawab sebagai suami atau istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga dan mengasuh anak.

Aspek-Aspek Menikah v Kesiapan Pribadi (Personal)

  ∑ Kematangan Emosi ∑ Kesiapan Usia ∑ Kematangan sosial,.

  ∑ Kesehatan Emosional ∑ Kesiapan Model Peran v Kesiapan Situasi (Circumstantial) ∑ Kesiapan Finansial ∑ Kesiapan Waktu

  Faktor-Faktor Kesiapan Menikah Walgito (2000) mengatakan bahwa kesiapan memasuki dunia perkawinan dipengaruhi oleh: ∑ Faktor fisiologis: Faktor fisiologis berkaitan dengan 3 hal yaitu segi kesehatan, keturunan, dan sexual fitness.

  ∑ Faktor Sosial ekonomi

  ∑ Faktor Agama dan Kepercayaan ∑ Faktor Psikologis Dewasa Awal

  Pengertian

  Menurut Elizabeth B. Hurlock, Masa Dewasa Awal (Young Adult Hood) adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan kete- gangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.

  Menurut Piaget, pada tahap Masa Dewasa Awal ini, para dewasa muda sedang berada dalam tahap kognitif

  postformal thought. Cara pemikiran

  orang dewasa biasanya sudah fleksibel, terbuka, adaptif, dan individualistik. Bi- sanya ditandai dengan kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian, keti- dakstabilan, sesuatu yang kontradiktif, ketidaksempurnaan, dan berkompromi.

  Perkembangan Fisik Dewasa Muda Awal

  v Dewasa Muda sebagai Masa TransisiTransisi Fisik: Dari pertumbuhan fisik, menurut Santrock (1999) diketahui bahwa dewasa muda sedang mengalami peralihan dari masa remaja untuk memasuki masa tua.

  ∑ Transisi Intelektual: Menurut anggapan Piaget (dalam Grain, 1992; Miller, 1993; Santrock, 1999; Papalia, Olds, & Feld-man, 1998), kapasitas kognitif dewasa muda tergolong masa operational formal, bahkan kadang-kadang mencapai masa post-operasi formal (Turner & Helms, 1995). Taraf ini menyebab- kan, dewasa muda mampu meme- cahkan masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir abstrak, logis, dan rasional. v Transisi Peran Sosial

  Di dalam kehidupan rumah tangga yang baru, masing-masing pihak baik laki-laki maupun wanita dewasa, memi- liki peran ganda, yakni sebagai individu ataupun sebagai ayah atau ibu bagi anak-anaknya. Sebagai anggota masya- rakat, mereka pun terlibat dalam akti- vitas-aktivitas sosial, misalnya dalam kegiatan pen-didikan kesejahteraan keluarga (PKK) dan pengurus RT/RW.

  Aspek-aspek Perkembangan Fisik Aspek-aspek perkembangan fisik meliputi:

  ∑ Kekuatan dan Energi ∑ Ketekunan ∑ Motivasi Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Muda

  Sebagian besar golongan dewasa muda telah menyelesaikan pendidikan sampai taraf universitas dan kemudian mereka segera memasuki jenjang karier dalam pekerjaannya. Kehidupan psiko- sosial dewasa muda makin kompleks dibandingkan dengan masa remaja karena selain bekerja, mereka akan me- masuki kehidupan pernikahan, memben- tuk keluarga baru, memelihara anak- anak, dan tetap harus memperhatikan orang tua yang makin tua.

  Selain itu, dewasa muda mulai membentuk kehidupan keluarga dengan pasangan hidupnya, yang telah dibina sejak masa remaja/masa sebelumnya. Havighurst (Turner dan Helms, 1995) mengemukakan tugas-tugas perkem- bangan dewasa muda, di antaranya (a) mencari dan menemukan calon pasang- an hidup, (b) membina kehidupan rumah tangga, (c) meniti karier dalam rangka rnemantapkan kehidupan ekonomi negara yang bertanggung jawab.

  Kesiapan Menikah Pada Wanita yang Berpendidikan Tinggi (S2)

  Pernikahan merupakan pola normal dalam kehidupan orang dewasa. Seba- gian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari orang tua dan teman-teman untuk menikah (Hurlock, 1999). Selain sebagai peme- nuhan kebutuhan seksual, pernikahan juga dapat memenuhi kebutuhan psiko- logis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan religi seseorang (Walgito, 2002). Menu- rut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) menikah merupakan tugas perkembang- an yang muncul pada masa dewasa awal.

  Jacoby dan Bernard (dalam Setyowati & Riyono, 2003) mengatakan bahwa wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dibandingkan dengan pria umumnya sekitar usia 30 tahun. Menurut Hurlock (1999) bahwa saat berusia dua-puluhan tahun wanita yang belum menikah tujuan hidupnya adalah perkawinan, tetapi pada saat ia belum juga menikah pada waktu usianya mencapai tiga puluh tahun, maka ia cenderung untuk menukar tujuan hidup- nya ke arah nilai, tujuan dan hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan. Kesiapan ini meliputi dua aspek, yaitu kesiapan menikah pribadi dan kesiapan menikah situasi. Kesiapan menikah pribadi meliputi kematangan emosi, kesiapan usia, kematangan sosial, kese- hatan emosional, dan kesiapan model peran. Sementara yang termasuk dalam finansial dan kesiapan waktu.

  Berdasarkan uraian di atas telah dijelaskan sebelumnya ditinjau dari dari aspek kesiapan menikah maka dapat dikatakan bahwa manita dewasa awal yang berpendidikan tinggi (S2) telah siap dalam usia, kematangan emosi, kema- tangan sosial, dan finansial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita dewasa awal yang sedang melanjutkan pendi- dikan tinggi (S2) telah siap menjalani suatu pernikahan (Blood, 1988) Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan dengan pendekatan studi kasus dan bertujuan untuk melihat kesiapan menikah wanita yang berpen- didikan tinggi dan sedang menempuh S2.

  Subjek Penelitian

  Subjek pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu : subjek kasus dan subjek partisipan. Adapun karakteristik respon- den dalam penelitian ini adalah: ∑ Dewasa dini dengan kisaran usia 24 sampai 30 tahun. ∑ Berjenis kelamin wanita ∑ Sedang menempuh S2 ∑ belum pernah menikah

  Lokasi & Waktu Penelitian

  Penelitian ini dilakukan di sebuah universitas swasta di Semarang yang memiliki program pascasarjana. Tempat disesuaikan dengan kemauan respon- den, dengan syarat responden merasa aman dan nyaman dengan keberadaan- nya dalam mengunkapkan hal-hal mengenai dirinya.

  Waktu penelitian dilakukan pada hari yang berbeda pada masing-masing subyek. Pada subyek I waktu penelitia dilakukan pada tanggal 1 Juli 2010 di rumah subyek, pada pukul 14.30 WIB dan berlangsung selama 45 menit dan tanggal 3 Juli 2010 pukul 10.30 WIB waktu untuk wawancara selama 20 menit. Subyek II waktu penelitian di laksanakan pada tanggal 9 Juli 2010 di kos subyek, pada pukul 14.00 WIB dan wawancara berlangsung selama 1 jam. Pada subyek III wawancara dilakukan pada tanggal 4 Juli 2010 di rumah sub- yek, pada pukul 13.00 WIB dan wawan- cara berlangsung selama 60 menit.

  Teknik Pengukuran

  Wawancara Panduan wawancara dalam penelitian terdiri dari tujuh topik pertanyaan, antara lain : ∑ kematangan emosi ∑ usia ∑ kematangan sosial ∑ kesehatan emosional ∑ kesiapan model peran ∑ finansial ∑ waktu

  Panduan wawancara untuk penelitian ini, dapat dilihat pada bagian lampiran penelitian. Observasi

  Selain menggunakan metode wawan- cara, peneliti menggunakan metode observasi untuk melakukan triangulasi di lapangan penelitian. Jenis observasi dalam penelitian ini adalah observasi partisipan, di mana orang yang menga- dakan observasi (observer) turut ambil bagian dalam perikehidupan observee. ∑ Analisis Data

  Sebelum melakukan analisis data langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan koding, yaitu membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Adapun langkah awal koding adalah sebagai berikut: (a) menyusun traskrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangan; (b) memberi nomor pada baris-baris transkrip dan atau catatan lapangan tersebut secara urut dan kontinyu; (c) memberi nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. ∑ Keterandalan

  Berdasakan teknik-teknik pemeriksan keabsahan data tersebut, dalam peneli- tian ini peneliti menggunakan teknik ketekunan pengamatan, serta kecukup- an referensial dalam triangulasi data. Moleong (2007: 329) mengatakan bah- wa ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.

  Triangulasi adalah teknik pemerik- saan keabsahan data yang memanfaat- kan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau seba- gai pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2007).

  ∑ Prosedur Penelitian o Tahap Awal Penelitian Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan pene- litian sebagai berikut: (a) Mengumpul- kan informasi dan teori yang berhu- bungan dengan kesiapan menikah, (b) Mencari responden penelitian, (c) Menyusun pedoman wawancara, (d) Persiapan untuk pengumpulan data, (e) Membangun rapport o

  Tahap Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini diawali dengan perke- nalan serta memberi penjelasan pada responden mengenai tujuan peneli- tian. Peneliti juga menjelaskan mengenai prosedur dan kerahasiaan data penelitian, kemudia wawancara dilakukan di tempat yang disepakati oleh peneliti dan responden penelitian. Proses wawancara akan direkam dengan perekam dari awal hingga akhir wawancara o

  Tahap Pencatatan Data Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. o

  Beberapa tahapan dalam meng- analisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu: (1) Koding, (2) Organisasi Data, (3) Analisis Te- matik, (4) Tahapan Interpretasi Anali- sis, (5) Pengujian Terhadap Dugaan. Hasil Penelitian

  Analisa Data Subjek I

  Menikah bagi subyek adalah salah satu hal penting yang nantinya akan dijalani dengan pasangan hidupnya. Tetapi untuk saat ini, subyek lebih me- musatkan diri pada pendidikan, apalagi mengingat tidak sedikit pengorbanan materi dan mental yang harus dia persiapkan. Apalagi sebelumnya subyek pernah mengalami masalah yang cukup berat dengan lawan jenis.

  Pada awal pengalaman menjalin hubungan serius dengan lawan jenis diawali ketika subyek sedang menem- puh studi S1. Saat itu subyek yang tergolong aktif di kampus dalam kegiatan keorganisasian dan banyak memiliki teman salah satunya pacar subyek. Proses menjalin hubungan sudah 3 tahun berjalan akan tetapi putus di tengah jalan. Subyek semasa menjalani hubungan dengan pasangan dan teman dapat cukup baik dan bisa memberikan kasih sayang, hal ini dikatakan kalau subyek berusaha menjalani hubungan secara baik dalam suka dan duka.

  Ketika hubungan dengan pasangan mulai kurang baik dan putus subyek masih bisa merasakan perasaan sayang belum hilang.

  Perhatian pada pasangan diberikan sangan dalam masalah. Subyek menco- ba memberi masukan dan selalu mengingatkan untuk tetap ibadah dan berdoa agar hati bisa tenang. Sebaliknya ketika subyek mengalami masalah, biasanya pasangan subyek juga mena- nyakan masalah subyek kemudian mencari solusi bersama. Biasanya subyek kurang bisa menerima saran pada orang yang dianggapnya belum berpengalaman dan kondisi subyek masih belum reda emosinya. Terkadang muncul sikap subyek yang semaunya sendiri kalau ternyata lingkungan tidak menunjukkan contoh yang baik buat subyek.

  Teman-teman subyek memberikan dorongan ketika subyek dalam masalah. Hal ini karena subyek juga termasuk orang yang suka memberikan perhatian dan menolong pada orang sekitarnya dengan tidak menghindar ketika teman ada masalah, dengan memberikan saran dan solusi pada masalah yang dialami orang lain. Perhatian pada orang lain membuat subyek banyak memiliki teman dan mudah bersosialisasi di lingkungan rumah maupun kampus.

  Ketika subyek dihadapkan pada permasalahan subyek banyak diam dan menyendiri untuk bisa menyelesaikan- nya, baru setelah beberapa waktu subyek mulai mencari penyelesaian dengan yang bersangkutan. Sikap diam subyek saat menghadapi masalah terkadang membawa dampak yang kurang baik, subyek menjadi mudah depresi, karena mencoba menahan rasa tertekannya dan akhirnya sakit. dapi kesukaran secara konstruktif mun- cul saat subyek mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan memilih untuk melanjutkan kuliah jenjang S2 bukan tanpa alasan dan pertimbangan. Subyek merasa sudah tidak kondusif lagi suasana kerja dan bagi subyek banyak hal yang bertentangan dengan hati nuraninya. Perusahaan tempat subyek bekerja tidak lagi proposional dalam memandang tenaga kerja. Di satu sisi subyek dituntut untuk bertanggung jawab pada perusahaan atas posisi yang di dudukinya, disatu sisi subyek harus juga memperhatikan nasib karyawan di bawahnya. Karena tidak mampu lagi menghadapi sikap perusahaan yang arogan, subyek memilih untuk keluar kerja.

  Peritiwa yang menimbulkan frustasi dan tekanan mendalam dialami subyek selepas keluar dari kerja subyek mendapat kenyataan yang tidak baik karena diputus hubungan oleh pasangan padahal waktu itu subyek dalam keada- an sakit dan diopname di rumah sakit. ganya sudah bisa brpikir lebih ke depan Permasalahan yang cukup berat harus dalam hal pendidikan. subyek hadapi dalam waktu yang hampir bersamaan. Beberapa waktu subyek Intensitas tema

  Tabel 1

  sempat mengalami stress kondisi

  Intensitas Tema Subyek I

  badannya yang waktu itu sakit sempat

  Aspek-Aspek Kesiapan Menikah Pada Wanita yang

  melemah bahkan berat badannya

  Berpendidikan S2 menurun drastis.

  Selama beberapa waktu subyek mencoba untuk menenangkan diri dan mencari solusi permasalahan dengan banyak berkomunikasi dengan teman dan keluarga. Dukungan keluarga saat subyek mengutarakan untuk melanjut-

  Matrik Antar Tema

  sudah bersedia membantu membiayai

  Tabel 2

  kuliahnya. Hal ini menjadi penyemangat

  Matriks Antar Tema Subyek I

  bagi subyek untuk terus bisa lebih optimis dan berfikir positif bagi masa depannya.

  Setelah melewati masa-masa yang tidak menyenangkan dalam pengalaman menjalin hubungan serius dengan lawan jenis subyek memutuskan untuk menja- lani kehidupan sendiri. Saat menjalani kesendirian, subyek lebih bisa tenang dan fokus pada pendidikannya. Walau- pun tidak menutupi kemungkinan juga masih mau membuka diri bagi orang lain Analisa Data Subyek II dan nantinya menikah. Saat dihadapkan pada pilihan meni-

  Kesiapan menikah bagi subyek tidak kah atau melanjutkan S2, subyek lang- melihat harus ditentukan usia. Yang sung memutuskan untuk kuliah lagi. lebih diutamakan adalah kesiapan Alasan subyek karena saat itu subyek mental dan finansialnya. Subyek sendiri belum benar-benar serius berpacaran berkeinginan menikah di usia 28 tahun, dan masih pendekatan. Akan tetapi dengan pertiimbangan telah lulus S2, dukungan orang tua terutama ayah memperoleh pekerjaan dan kemudian membuat subyek semakin semangat mencari pasangan. Apalagi dalam untuk kuliah lagi. keluarga subyek usia pernikahan tidak

  Menikah bagi subyek bukan kepu- dipermasalahkan, karena dalam keluar- tusan yang mudah, diperlukan kema- tangan secara emosi terutama mental dalam menghadapi permasalahan dalam pernikahan. Subyek menjalani hubungan dengan pasangan selayaknya pasangan lain, bedanya hanya subyek tidak bisa menentukan untuk tiap hari atau bahkan seminggu sekali bisa ketemu karena jarak yang lumayan jauh. Namun, rasa sayang subyek tidak berkurang dan bisa menerima keterbatasan itu.

  Saat menghadapi masalah yang menyangkut hubungan psibadi kedua- nya, subyek berusaha menyelesaikan secara bersama-sama. Kadang-kadang menjadi pemicu kesalahpahaman. Pada awal hubungan subyek cenderung posesif, begitupula pasangannya. Tapi seiring perjalanan sikap posesif mulai berkurang karena masing-masing mera- sa tidak nyaman dengan kondisi saling salah paham dan curiga.

  Kekhawatiran subyek juga muncul saat pasangan mengalami masalah ber- usaha untuk membantu walaupun komu- nikasi terbatas hanya dengan telepon dan sms. Subyek sendiri cenderung orang yang agak tertutup untuk masa- lah-masalah pribadi karena takut menim- bulkan konflik. Hal ini terkadang menim- bulkan emosi pacar subyek, karena tidak langsung menyampaikannya akan tetapi terkadang dipendam dulu oleh subyek.

  Pada hal-hal yang bisa membuat stress dan frustasi, subyek cenderung melampiaskannya dengan menangis, curhat dengan teman apalagi kalau menyangkut hubungan psibadi dan ini berlangsung beberapa waktu. Subyek termasuk orang yang mudah panik bila mendapat kegagalan, rasa bersalah dan penuh kekhawatiran. Kondisi ini bisa mempengaruhi perilaku dan motivasi belajar subyek.

  Secara sosialisasi subyek termasuk orang yang mudah bergaul dengan sia- pa saja, memiliki sahabat dan ling- kungan teman yang baik. Begitupula hubungan lawan jenis baik itu pasangan atau teman laki-lakinya. Karena pada dasarnya subyek sangat senang ber- gaul, tapi juga menginginkan menjalin hubungan yang serius dengan laki-laki. Walaupun pernah sebelumnya menjalani tetap memiliki hubungan dekat dengan seorang teman laki-laki yang usianya lebih tua 3 tahun diatasnya dan subyek merasa nyaman dengan kesendrian saat itu.

  Usia subyek saat ini 24 tahun dan sudah memasuki tahap usia dewasa awal kalau dalam tahapan perkem- bangan sudah memasuki tahapan untuk mulai mempersiapkan pernikahan. Sub- yek sendiri menginginkan menikah di usia 30 tahun ke atas. Alasannya karena subyek ingin benar-benar mempersi- apkan diri baik secara intelektual, mental dan materi. Target yang subyek ingin raih saat ini adalah lulus kuliah lalu bekerja baru kemudian menikah.

  Subyek menginginkan pernikahan sekali seumur hidup, dan subyek tidak menginginkan ada pernikahan kedua dan seterusnya. Dan keadaan peni- kahan yang tidak hanya sekali sudah di lihatnya dalam keluarganya sendiri, dimana ayah subyek menikah lagi dan akhirnya subyek memiliki mama serta maupun duka. Ketika menjalani hubung- adik tiri. an dengan pasangan subyek juga bisa

  Kecukupan Finansial bagi subyek merespon dengan baik permasalahan sangat perlu dipersiapkan sebelum yang pernah dihadapi, karena subyek menikah, karena memiliki penghasilan bisa menerima kekurangan pasangan. sendiri dengan bekal pendidikan S2 Hanya saja respon positif subyek tidak yang dimilikinya kelak membuat subyek diimbangi dengan respon positif memiliki harapan bisa mencukupi keluarganya terhadap pasangannya. kebutuhan keluarganya bersama-sama Subyek saat itu juga sudah berusaha pasangan hidupnya kelak. untuk menerima kenyataan harus berpisah jauh dan berhubungan jarak

  Intensitas tema jauh, komunikasi menjadi terbatas, sampai dengan perbedaan agama. Akan

  Tabel 3

  tetapi pada akhirnya keduanya harus

  Intensitas Tema Subyek II Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2

  hadapi kegagalan cukup bisa membe- rikan sikap yang positif, tidak mau berlarut-larut dan mulai berpikir untuk melakukan aktifitas yang bisa memoti- vasinya dengan bekerja dan kuliah.

  Subyek telah menjalin hubungan beberapa kali dan gagal juga. Saat menjalani kesendiriannya sekarang

  Matrik Antar Tema subyek lebih banyak melakukan aktifitas kuliah dan bekerja. Disini nampak bahwa

  Tabel 4

  subyek merasa tidak keberatan dengan

  Matriks Antar Tema Subyek II

  kesendiriannya sekarang, karena dalam dirinya optimis kelak akan mendapatkan jodoh yang sesuai.

  Sebelumnya subyek pernah berke- inginan menikah sebelum usia 30 tahun dan target tesebut sampai sekarang tidak menjadi bahan pemikiran subyek. Subyek lebih menginginkan pada per- siapan mental dahulu. Apalagi sering mendengar adanya kasus perceraian,

  Subyek III dan bagi subyek hal ini dikarenakan Analisa Data III pasangan tidak memiliki kesiapan men-

  Dilihat dari usia subyek sudah matang tal untuk bisa saling menerima keku- secara emosi, dalam arti sudah cukup rangan dan kelebihan masing-masing. mengalami pengalaman hidup baik suka Kemapanan dari segi finansial juga perlu tetapi pada umumnya kesiapan menikah menurut subyek. Tentu saja karena yang terjadi pada ketiga subyek muncul subyek sendiri merasa untuk bisa mera- karena alasan yang sama. Namun ada wat dan memberikan pendidikan pada tema yang berbeda, hal itu disebabkan anak-anaknya nanti kecukupan secara oleh karena masalah pribadi dalam diri finansial sangat penting dan subyek seseorang yang berbeda dari yang nantinya menginginkan pasangan yang lainnya. juga siap secara mental dan finansial.

  Tabel 7 Tema-Tema Kesiapan Menikah Pada Wanita yang

  Intensitas tema

  Berpendidikan S2 Tabel 5 Intensitas Tema Subyek III Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2

  Tabel 8 Faktor-faktor Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2

  Matrik Antar Tema

  Tabel 6 Matriks Antar Tema Subyek III Keterangan :

  : kecil + : sedang ++

  • : besar

  Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa pada dasarnya ketiga subyek memiliki keinginan awal untuk menikah walaupun dengan latar bela- kang usia yang berbeda, sesuai dengan

  Pembahasan yang dikatakan oleh Duvall & Miller

  Intensitas tema antar kasus

  (1985) kesiapan menikah tidak dipan- Berdasarkan pada analisis yang telah dang dari usia individu yang akan meni- dilakukan terhadap ketiga subyek dite- kah. Usia individu dalam menikah ber- mukan beberapa tema yang sama dan variasi disebabkan oleh banyak hal, memiliki intensitas yang cukup tinggi. antara lain (1) pencapaian pendidikan;

  Meskipun terdapat sedikit perbedaan (2) perbedaan individu; (3) perubahan keadaan sosial ekonomi. Sebelum memasuki dunia pernikahan, seorang individu memerlukan suatu kesiapan agar dapat menuju suatu pernikahan yang bahagia. Oleh karena itu, kesiapan menikah merupakan hal yang penting untuk dapat menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik. (Blood).

  Ada kesamaan tema pada ketiga subyek dalam kesiapan menikah yaitu: toleransi, bersedia membina hubungan intim, kasih sayang dan bersedia berbagi dengan orang lain. Ketiga tema tersebut memiliki kesamaan intensitas tinggi. menunjukkan bahwa subyek memiliki kemampuan untuk bisa menerima keku- rangan dan kelebihan orang lain, mampu memberi membangun dan memperta- hankan hubungan pribadi, mampu mengerti perasaan orang lain (empati), dan sanggup membuat komitmen jangka panjang dimana kehidupan pernikahan memerlukan harapan yang realistik. Harapan yang realistik dapat membuat seseorang mampu menerima dirinya sendiri dan mampu menerima orang lain apa adanya. Kehidupan pernikahan yang memiliki pasangan yang matang secara emosi dan memiliki harapan- harapan pernikahan yang realistik akan lebih mudah dipertahankan.

  Intensitas yang tinggi pada tema kasih sayang pada ketiga subyek sesuai dengan yang dikatakan Murria (1992) menunujukkan individu yang matang dalam arti mampu memberikan meng- ekspresikan rasa kasih sayang yang diberikan orang lain. Hal ini juga menjadi salah satu wujud kematangan emosi, individu yang belum memiliki kema- tangan emosi akan bersikap egosentris hanya mau menerima kasih sayang orang lain tetapi tidak mau mengasihi orang lain.

  Intensitas yang tinggi pada ketiga subyek menunjukkan bahwa dalam tahapan usia subyek sudah memiliki siap dengan komitmen membina rumah tangga. Membentuk suatu hubungan dan memilih pasangan yang bijak merupakan langkah pertama yang dilakukan menuju suatu pernikahan yang bahagia. Walaupun dalam kenyataannya benar-benar sesuai dengan yang diha- rapkan dan masih menemui kegagalan. Hal ini dikarenakan suatu pernikahan selain mental dan fisik juga melibatkan banyak aspek. (Blood 1988)

  Hasil penelitian Blakemore, Lawton, dan Vartanian (dalam Suryani, 2005) menunjukkan bahwa wanita memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk meni- kah dibanding pria. Dorongan ini muncul karena hingga saat ini wanita masih ingin memenuhi tuntutan tradisional mereka, yaitu menjadi seorang ibu dan istri. Penundaan pernikahan bisa terjadi karenan wanita dewasa mempertim- bangkan karir, pendidikan dan finansial sebagai prasyarat dalam melakukan pernikahan. Wanita berpendidikan tinggi lebih memilih untuk menata karir dan pendidikan terlebih dahulu.

  Dalam penelitian ini ketiga subyek sedang melanjutkan pendidikan tinggi S2 dan mereka memiliki alasan yang hampir sama dalam ketika harus menunda menikah dan memilih kuliah lagi. Seperti disampaikan bahwa Masa perkembangan dewasa muda (young

  adulthood] ditandai dengan keinginan

  mengaktualisasikan segala ide-pemikir- an yang dimatangkan selama mengikuti pendidikan tinggi (universitas/akademi). Mereka bersemangat untuk meraih ting- kat kehidupan ekonomi yang tinggi (mapan).

  Pada kesiapan menghadapi masalah kehidupan ketiga subyek memiliki inten- sitas yang berbeda-beda. Pada subyek

  III memiliki intensitas paling tinggi dibanding dengan subyek I dan subyek dupan diantaranya kemampuan untuk menghadapi peristiwa secara positif, memiliki kemampuan dalam menghadapi peristiwa yang menimbulkan frustasi, memiliki kemampuan mengatasi kesu- karan secara konstruktif. Pada subyek III saat menghadapi permasalahan yang sempat membuat subyek merasa stress karena kegagalan menjalin hubungan dengan pasangan subyek mampu mengatasinya dengan berpikir positif dan lebih mengalihkan pada hal-hal yang positif. Sehingga subyek III bisa cepat mengambil keputusan untuk tidak larut dalam kesedihan dan mencoba membangun keyakinan dengan keya- kinan bahwa akan menemukan jodoh yang tepat.

  Sedangkan pada subyek I dan subyek

  II dalam reaksinya menghadapi masalah kehidupan yang menimbulkan frustasi akibat kegagalan dengan reaksi yang hampir sama walaupun dalam situasi dan latar belakang yang berbeda, yaitu lebih pada mencari dukungan pada teman, menangis dan sempat menga- lami kesedihan yang cukup mendalam.

  Dalam menjalani kesendirian ketiga subyek mengaku menjalaninya dengan lebih santai. Saat ini hanya subyek II yang memiliki pasangan sedangkan subyek I dan subyek III belum beren- cana untuk mencari pasangan lagi.

  Single life membuat individu memiliki

  waktu luang untuk diri sendiri agar mandiri dan waktu bersama orang lain serta keluarga. Dalam penelitian ini waktu luang digunakan subyek untuk lebih memusatkan diri pada kuliah S2 lebih luas dan melakukan aktifitas- aktifitas sosial lainnya.

  Dari pembahasan ketiga subyek di atas dapat diketahui bahwa masing- masing subyek memiliki pemikiran dan permasalahan yang berbeda dalam me- nilai kesiapan menikah. Latar belakang yang dimiliki masing-masing subyek dengan pasangan membuat ketiga subyek memiliki tingkat kematangan emosional yang berbeda-beda. Bukan karena usia menyebabkan seseorang memiliki kematangan emosi yang baik dalam menghadapi permasalahan akan tetapi pengalaman dan proses bertindak secara lebih positif dalam mencari solusi penyelesaian membuat individu dewasa awal dinilai matang dalam sikap dan pemikiran. Matriks Antar Tema

  Tabel 9 Matrik Antar Tema: Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal Yang sedang S2

  Keterangan : KE : Kematangan Emosi TR : Toleransi BHI : Bersedia membina hubungan Intim KS : Kasih sayang pada orang lain BG : Bersedia berbagi dengan orang lain BTS : Menerima keterbatasan orang lain TJ : Siap bertanggungjawab MK : Siap menghadapi masalah kehidupan MD : Mandiri

  = X mempengaruhi Y = Y mempengaruhi X =

  X dan Y saling mempengaruhi Tabel 10 Matrik Antar Kasus: Kesiapan Menikah Pada Wanita

  Dewasa Awal Yang sedang S2

  Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah pada wanita yang memiliki dan sedang melanjutkan S2 bahwa pada dasarnya perlu mempersiapkan diri se- cara mental, spiritual dan juga finansial. Oleh karena itu perlu diperhatikan juga faktor kematangan emosi dan kesiapan untuk menghadapi permasalahan dalam memasuki jenjang pendidikan. Subyek yang ada dalam penelitian ini memiliki kesamaan dalam kematangan emosi walaupun dengan latar belakang perma- salahan yang berbeda akan tetapi pada penentuan penyelesaian masalah memi- liki cara yang berlainan.

  Saran oleh, maka peneliti memiliki beberapa saran:

  Saran Metodologis

  ∑ Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, disaarankan untuk peneliti selan- jutnya tidak hanya menggunakan me- tode wawancara dan observasi tapi bisa menggunakan asesmen lainnya sebagai tambahan dokumen pene- litian. ∑ Perlu uji keabsahan data untuk pene- litian lanjutan dengan menggunakan alat bantu berupa pengumpulan data informasi tambahan dari pihak-pihak lain yang terkait seperti keluarga, teman, serta dokumentasi pribadi seperti catatan harian subyek, agar data lebih akurat

  ∑ Diharapkan peneliti selanjutnya agar dalam melakukan wawancara lebih mendalami teknik-teknik mengenai

  rapport yang baik dan benar agar

  lebih mendapatkan data yang di- inginkan. Saran Praktis ∑ Perlunya dukungan dari keluarga un- tuk tetap memotivasi pilihan individu yang melanjutkan pendidikan S2 dan tetap memberikan arahan ketika individu sudah siap untuk menikah

  ∑ Perlu kesiapan pada masing-masing individu yang ingin menikah agar dapat menghadapi dan menjalani permasalahan yang ada dalam suatu rumah tangga. Daftar Pustaka Alsa, A. 2003. Pendekatan Kuantitahf

  Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda- karya.

  Walgito, Bimo. 2002. Bimbingan

  Span Development. Forth wort : Harcout Brace College Publisher.

  Turner,J.S. & Helms, D.B,. 1995.. Life

  Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja. Sripsi. USU

  Shavreni Oktadi Putri, 2007. Kesiapan

  Perbedaan Aspirasi Karir Antar Wanita Yang Sudah Menikah dan yang Belum Menikah Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Psikologika, Vol.8, No.16.

  Setyowati, Retno, & Riyono,.2003.

  Development. Dallas : Brown & Benchmark.

  USA : McGraw Hill. Santrock, John W. 2002. Life Span

  Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. 2004. Human Development.

  Gramedia Pustaka Utama. Moleong. 1995. Metodologi Penelitian

  dan Kualitahf Serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogya-

  Penerbit Erlangga. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002.

  bangan: Suatu Pendekatan Sepan- jang Rentang Kehidupan. Jakarta:

  Hurlock, E. 1999. Psikologi Perkem-

  New York : Harper & Row Publisher.

  Marriage and Family Development.

  Gramedia Pustaka Utama. Duvall, E.M. & Miller, B.C. 1985.

  Dariyo, A. 2003. Psikologi Perkem- bangan Dewasa Muda. Jakarta : PT.

  Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

  New York : Free Press. Chaplin, J.P. 2000. Kamus Lengkap

  karta: Pustaka Pelajar. Blood, Margaret, Bob. 1988. Marriage .

  Konseling Perkawinan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.