PENGEMBANGAN VAKSIN BAKTERIAL MASTITIS UNTUK MENYONGSONG SWASEMBADA SUSU 2020 DI INDONESIA

I
:\;

~

PENGEMBANGAN VAKSIN BAKTERIAL MASTITIS
UNTUK MENYONGSONG SWASEMBADA SUSU 2020
DI INDONESIA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas GadjahMada

Oleh:
Prof. Dr. drh. Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, M.Si.

PENGEMBANGAN VAKSIN BAKTERIAL MASTITIS
UNTUK MENYONGSONG SWASEMBADA SUSU 2020
DI INDONESIA


UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Gadjah Mada

Diucapkan

di depan Rapat Terbuka Dewan Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 04 Agustus 2015
di Yogyakarta

Oleh:
Prof. Dr. drh. Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, M.Si.

Yang ferhormaf,
Pimpinan dan anggofa Majelis Wali Amanaf Universitas Gadjah
Mada

Pimpinan dan anggofa Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada
Pimpinan dan anggofa Senaf Akademik Universitas Gadjah Mada
Rekfor dan para Wakil Rektor, Dekan dan para Wakil Dekan, serta
segenap pejabaf strukfural Universitas Gadjah Mada
Para hadirin famu undangan, teman sejawat, dan sanak keluarga
yang saya cintai
Serfa para mahasiswa yang saya banggakan
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua.
Om Swasfiasfu
Rasa syukur yang mendalam saya panjatkan ke hadirat Tuhan,
Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah melimpahkan
berkat-Nya kepada kita semua sehingga pada pagi ini kita semua dapat
berkumpul untuk menghadiri Rapat Terbuka Dewan Guru Besar di
Balai Senat Universitas Gadjah Mada yang megah ini dalam keadaan
sehat dan bahagia. Sebelum membacakan pidato saya, perkenankanlah
saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dewan Guru Besar
Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar
dalam bidang mikrobiologi pada Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Gadjah Mada yang berjudul:
PENGEMBANGAN VAKSIN BAKTERIAL MASTITIS
UNTUK MENYONGSONG SW ASEMBADA SUSU 2020
DI INDONESIA

2
Hadirin yang saya hormati,
Sehubungan dengan berlakunya kesepakatan dengan IMF sejak
era Refonllasi maka peternakan sapi perah rakyat seakan dibiarkan
bersaing dengan industri susu negara-negara maju. Saat ini produksi
susu di Indonesia baru mencapai 775,7 ton (20%) sehingga untuk
memenuhi kebutuhan susu dalam negeri pemerintah harus melakukan
impor susu sebanyak 3.170,68 ton, yaitu sekitar 80% dari kebutuhan
dalam negeri. Oitinjau dari aspek kedaulatan pangan dan juga aspek
ekonomi maka tekad untuk swasembada susu sangat esensial dan
harus menjadi keputusan politik untuk diwujudkan.
Bennodalkan populasi susu sapi perah yang ada sekarang ini
dan sumber daya terkait tennasuk peternak sapi, direncanakan dan
dipertimbangkan untuk mewujudkan swasembada susu di tahun 2020.
Angka tahun 2020 digunakan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:

pertama bahwa tahun 2020 adalah tahun diberlakukannya pasar bebas
dunia. Kedua, tahun 2020 adalah waktu sewindu (delapan tahun) dari
tahun 2012 apabila disepakati untuk mewujudkan swasembada susu
dan waktu yang cukup ideal untuk melakukan langkah progresif.
Ketiga, tahun 2020 (twenty twenty) sangat mudah untuk melakukan
sosialisasi (Anonim, 2014a) .
Swasembada susu tahun 2020 merupakan tantangan yang tidak
ringan. Menurut proyeksi yang disusun oleh lndustri Pengolahan Susu
(IPS), pada tahun 2020 konsumsi bangsa Indonesia sebesar 6 mi1iar
liter, yaitu setara dengan 16,5 juta liter/hari. Oa1am hal ini,
swasembada adalah pemenuhan sekitar 90 persen dari kebutuhan susu
nasional; di tahun 2020 produksi susu segar da1am negeri diperkirakan
sekitar 5,5 miliar liter. Selanjutnya, dengan menggunakan beberapa
asumsi/parameter produktivitas sapi per ekor, yaitu 15 liter/hari maka
pada tahun 2020 harus tersedia sekitar 1.180.000 ekor sapi laktasi. Hal
ini berarti bahwa popu1asi total sapi perah sekurang-kurangnya 2,3
juta ekor. Sampai saat ini tingkat konsumsi susu di Indonesia baru
mencapai 16,421 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini masih rendah
bila dibandingkan dengan negara Thailand, Malaysia, dan Singapura
(Anonim,2014a).


3
Berdasarkan data statistik Oirektorat lenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan tahun 2010 dan hasil PSPK 2011, dapat diketahui
bahwa populasi sapi perah di Indonesia adalah 597.213 ekor, dengan
rata-rata produksi 11,51 liter/ckorlhari. lumlah rumah tangga
pemelihara sapi perah sebanyak 192.142 dengan skala kepemilikan
3-4 ekor sapi per peternak. Kondisi produksi susu segar Indonesia
saat ini sebagian besar (91 %) dihasilkan oleh usaha rakyat dengan
skala usaha 1-3 ekor sapi perah per peternak (Anonim, 2014a).
Sebagian bcsar kebutuhan susu negara kita masih bergantung
pad a produk impor. Berbagai faktor yang berperan dalam produksi
susu adalah faktor pcmilikan sapi masih sangat rendah, kemampuan
teknis peternak, harga pakan, kualitas pakan, harga jual yang tidak
seimbang, dan adanya penyakit pada sapi perah, khususnya mastitis
(radang ambing). Kejadiannya yang sangat tinggi menyebabkan
produksi susu segar relatif stagnan sehingga peternak tidak terpacu
untuk mengembangkan usahanya. Oiperkirakan apabila tidak ada
langkah progresif, persentase kontribusi produksi susu segar dalam
negeri untuk memenuhi kebutuhan susu nasional akan semakin

menurun.

Hadirin yang saya muliakan,

Mastitis (Radang Ambing)
Susu sapi merupakan salah satu bahan pangan yang sangat
penting untuk mencukupi kebutuhan gizi masyarakat. Hal ini terjadi
karena susu sapi mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan
seimbang yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Komponenkomponen penting dalam susu ialah protein, lemak, vitamin, mineral,
laktosa, serta enzim-enzim dan beberapa mikroba. Nilai gizi yang
tinggi ini membuat susu menjadi media yang sangat baik untuk
pertumbuhan berbagai mikroorganisme patogen sehingga mudah
rusak dalam waktu yang singkat dan menjadi tidak layak untuk
dikonsumsi bila tidak ditangani secara benar (Mennane dkk., 2007).
Mastitis merupakan peradangan jaringan internal kelenjar susu
(mammae) yang dapat disebabkan oleh agen infeksius (bakteri, virus,

4
fungi), dan berbagai faktor traumatik serta toksin yang dihasilkannya.
Mastitis umumnya berhubungan dengan rendahnya higienitas

pemerahan dan lingkungan kandang, juga disebabkan oleh rusaknya
jaringan ambing dan puting terkait trauma, pemerahan yang salah,
maupun karena gigitan paras it. Berdasarkan gejalanya, mastitis dapat
dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu mastitis klinis dan mastitis
subklinis. Mastitis klinis biasanya disertai gejala klinis seperti
kebengkakan ambing, panas sakit jika dipegang, merah, dan
penurunan fungsi pada ambing yang dapat mengakibatkan produksi
susu terhenti (ambing mati).
Mastitis subklinis adalah mastitis yang tidak menampakkan
perubahan yang nyata pada ambing, tetapi susu yang dihasilkan
mengalami penurunan dalam kuantitas maupun kualitasnya. Mastitis
subklinis merupakan bentuk manifestasi mastitis yang sering terjadi,
di mana keradangan tidak dapat dideteksi secara klinis melalui
inspeksi, palpasi, maupun pemeriksaan ambing. Akibatnya banyak
petemak tidak mengetahui bahwa sapinya menderita mastitis
subklinis.
Hadirin yang saya hormati,
Untuk mengetahui adanya mastitis subklinis, diperlukan suatu
metode diagnosis yang tepat (Subronto, 2003). Sapi perah yang
menderita mastitis subklinis akan menunjukkan penurunan produksi

susu dari produksi normalnya dan jumlah tbtal plate count (TPC) akan
meningkat melebihi 106 koloni/ml susu. Menurut Badan Standar
Nasional (2009), apabila susu menunjukkan jumlah TPC melebihi 106
koloni/ml susu, pada keadaan demikian susu tersebut dinyatakan tidak
layak untuk dikonsumsi. Pada uji laboratorium lain, yaitu menghitung
jumlah sel somatik atau sel radang (somatic cell count : SCC); susu
mastitis subklinis menunjukkan jumlah SCC yang melebihi 200.000
sel per ml susu (Ruegg, 2005). Uji mastitis subklinis juga dilakukan
dengan White Side Test (WST) dan California Mastitis Test (CMT),
IPB-l, Nagase Test, Winconsin Mastitis Test, maupun uji lain seperti
Electronic Cell Count untuk mendeteksi keberadaan white blood cells
(WBe) di dalam susu serta identifikasi bakteri susu secara laboratorik.

5
Susu akan mengandung sejumlah besar sel epitel dan sel darah putih
ketika terjadi infeksi bakteri pada ambing (Shearer dan Harris, 2009).
Jika sapi perah yang menderita mastitis subklinis tidak ditanggulangi
secara tepat, dapat berlanjut pada kejadian mastitis klinis.
Hadirin yang saya hormati,
Tingkat Kejadian Mastitis

Mastitis subklinis merupakan tipe mastitis yang paling sering
terjadi, yaitu sekitar 15-40 kali lebih banyak daripada mastitis klinis.
Data mengenai .kasus mastitis di Indonesia telah banyak dilaporkan.
Tingkat kejadian mastitis subklinis pada masing-masing wilayah
berbeda-beda, yaitu Bogor (76%), Boyolali (91 %), dan Malang (81 %)
(Wahyuni dkk., 2006). Sudarwanto et al. (2006) juga melaporkan
bahwa kejadian mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun
2006 sekitar 75-83%. Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di
Y ogyakarta memiliki rata-rata tingkat kejadian 72%, Jawa Tengah
65% dan Jawa Timur 44,66% (Wahyuni, 2008). Supriyanto (2014)
melaporkan bahwa prevalensi mastitis pada sapi perah di Eks
Karesidenan Madiun sebesar 77,78% yang terdiri atas mastitis
subklinis 72,57% dan mastitis klinis 5,31 %.
Infeksi ambing pada umumnya terjadi pada saat kering kandang,
terutama dua minggu setelah penghentian pemerahan dan dua minggu
menjelang waktu beranak. Infeksi terjadi pada periode tersebut dan
terus berlangsung selama masa laktasi. Mammae sangat peka terhadap
kemungkinan infeksi menjelang waktu beranak dan awal masa laktasi
(Hillerton dan Berry 2005).
Hadirin yang kami hormati,

Bakterial Mastitis
Proses terjadinya mastitis merupakan interaksi antara sapi, agen
penyebab, dan lingkungan. Agen penyebab yang berada dalam
kuartir/ambing dapat ditularkan dari sapi satu ke sapi yang lain selama
proses pemerahan. Mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan

6
mastitis adalah bakteri (85%). Mastitis disebabkan oleh berbagai
macam bakteri yang dapat dikelompokkan menjadi bakteri patogen
menular (contagious pathogen) dan bakteri komensal (enviromental
pathogen). Bakteri patogen yang berada di kulit ambing dan di dalam
ambing dapat ditularkan dari sapi satu ke sapi yang lain dengan atau
tanpa perantara seperti tangan pemerah maupun alat pemerah. Bakteri
komensal merupakan bakteri yang secara alami berada di lingkungan
petemakan; penularannya melalui kontak langsung antara puting dan
area yang terkontaminasi. Tingkat kejadian penyakit yang disebabkan
oleh agen yang berada dalam kuartir lebih tinggi jika dibandingkan
dengan mastitis subklinis yang disebabkan oleh agen penyakit yang
berasal dari lingkungan (Sori et at., 2005).
Kelompok

bakteri
patogen
penyebab
mastitis
ialah
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus
dysgalactiae, Streptococcus agalactiae, dan Streptococcus uberis serta
bakteri Coliform, terutama Escherichia coli dan Klebsiella. Supar dan
Ariyanti (2008) melaporkan bahwa Staphylococcus epidermidis
mendominasi, yaitu sebesar 91,5%, sedangkan pada mastitis subklinis
yang mendominasi Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis.
Wahyuni dkk. (20 lOa) melaporkan bahwa berbagai jenis bakteri dapat
ditemukan pada susu normal, mastitis subklinis, maupun mastitis
klinis. Persentase pencemaran oleh Streptococcus sp. (41 %),
Staphylococcus aureus koagulase negatif (28%), Bacillus Gram positif
(20,3%), Escherichia coli (7,6%), Staphylococcus aureus koagulase
positif (6%), Staphylococcus koagulase negatif (3,3%).
Jika dilihat dari jumlah maupun jenis bakterinya, mastitis
subklinis menempati urutan pertama, yaitu sebesar 66,1% yang terdiri
atas 6 jenis bakteri; susu normal 20,35% yang terdiri atas 4 jenis
bakteri; dan pada susu mastitis klinis 13,55% terdiri atas 3 jenis
bakteri. Bakteri yang selalu ada di ketiga kelompok susu tersebut
adalah Escherichia coli. Hasil penelitian Hidayatullah (2014)
menunjukkan bahwa bakteri yang teridentifikasi dari susu sapi perah
di KPSBU adalah Staphylococcus
(41,7%) yang terdiri atas
Staphylococcus hyicus (41 %), Staphylococcus epidermidis (20%),
Staphylococcus chromogenus, Staphylococcus aureus koagulase
positif, Staphylococcus aureus koagulase negatif, dan Staphylococcus

7
schleo.fer subs. coagulans, masing-masing 10%. Kelompok Streptococcus (33,3%) terdiri atas Streptococcus pneumoniae (33,2%),
Streptococcus uberis (12,5%), dan Streptococcus dysgalactiae subs.
dysgalactiae (12,5%). Kelompok Coliform (25%) terdiri atas
Escherichia coli (33,2%), Proteus mirabilis, Enterobacter aerogenes,
Klebsiella pneumonia, Yersinia enterocolica, masing-masing 16,7%.
Hadirin yang saya muliakan,
Pengendalian Mastitis
Pengobatan Mastitis dengan Antibiotik
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kejadian
mastitis terutama mastitis subklinis sangat tinggi, dan lebih dari 85%
kejadian mastitis tersebut disebabkan oleh bakteri dan terutama
Staphylococcus, Streptococcus, dan kelompok Coliform. Oleh karena
itu, tindakan pencegahan dan pengendalian mastitis sangat diperlukan
sebagai salah satu upaya penanganan penyakit di lapangan. Ada
beberapa strategi pencegahan dan pengendalian mastitis pada sapi
perah, yaitu dengan perbaikan sistem manajemen pemeliharaan yang
meliputi pemeriksaan kesehatan sapi perah secara teratur, tes mastitis
secara teratur, pencelupan/dipping puting dengan antiseptik; menjaga
kebersihan ambing, pemberian asupan pakan yang baik serta
pengobatan dengan antibiotik yang sesuai pada masa kering kandang
(Kivaria dan Noordhuizen, 2006).
Sampai sekarang pengobatan mastitis di 1apangan dengan
antibiotik. Antibiotik merupakan substansi hasil metabolisme alami
beberapa mikroorganisme, terutama fungi yang dalam jumlah kecil
dapat mencegah pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme
lainnya. Sedangkan antimikrobial memiliki definisi yang lebih luas
dari antibiotik, meliputi substansi alami, semisintetik, atau bahan
sintetik yang dapat membunuh atau mencegah pertumbuhan
mikroorganisme tanpa menyebabkan atau hanya sedikit menyebabkan
kerusakan pad a sel inangnya. Namun, dalam penggunaannya, istilah
antibiotik biasanya disamakan dengan antimikrobial (Giguere dkk.,
2006).

8
Beberapa antibiotik yang sering digunakan untuk pengobatan
mastitis atau penyakit lain pada sapi perah ialah penisilin, streptomisin, ampisilin, eritromisin, gentamisin, siprofloksasin, tetrasiklin,
metisilin, trimetropim, oksasislin, dan kloramfenikol. Staphylococci
sensitif terhadap banyak antibiotik, tennasuk penisilin, streptomisin,
klortetrasiklin, oksitetrasiklin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin,
basitrasin, neomisin, katomisin, streptonivisin, spiramisin, dan
vankomisin (Katzung, 2004).
Pengobatan dengan antibiotik yang tepat pada semua kuartir
pada saat kering kandang dapat membantu mengendalikan infeksi oleh
Streptococcus spp. Intervensi pada saat kering kandang merupakan
tindakan pengendalian yang sangat spesifik terhadap infeksi intra
mammary untuk menghindari terjadinya kerugian ekonomi yang
semakin besar (Halasa et al., 20 10). Pemberian antibiotik pada saat
kering kandang memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi
(80-90%) jika dibandingkan dengan pemberian pada saat laktasi
(30--40%) (Waldner, 2014). Hasil penelitian yang serupa disampaikan
pula oleh Supar dan Ariyanti (2008) bahwa pengendalian mastitis
subklinis dengan pemberian antibiotik pada saat kering kandang dapat
meningkatkan produksi susu.
Hadirin yang kami muliakan,
Dampak Ekonomis Mastitis
Mastitis secara ekonomis merupakaB penyakit yang terpenting
pada ternak sapi perah karena menurunkan produksi susu baik secara
kualitas maupun kuantitas (Schroeder,
2010). Para peneliti
menyimpulkan bahwa mastitis subklinis bertanggung jawab tcrhadap
kerugian ekonomi paling tinggi pada produksi sapi perah karena efek
infeksi yang ditimbulkan (Ruegg, 2005; Ahmed dkk., 2008).
Mastitis dapat menurunkan kuantitas maupun kualitas produksi
sapi perah. Susu dari sapi perah yang menderita mastitis tidak layak
untuk dikonsumsi sehingga susu harus dibuang sia-sia. Perubahan
fisik susu akibat mastitis meliputi warna, bau, rasa, dan konsistensi.
Warna yang biasanya putih kekuningan akan berubah mcnjadi putih
pucat atau agak kebiruan. Rasa yang agak manis berubah menjadi

9
getir atau agak asin. Bau yang harum berubah menjadi asam.
Konsistensi yang biasanya cair dengan emulsi yang merata akan
berubah menjadi pecah, lebih cair, dan kadang disertai jonjot atau
endapan fibrin dan gumpalan protein yang lain. Perubahan secara
kimiawi meliputi pcnurunan jumlah kasein sehingga apabila dibuat
keju kualitasnya menurun. Protein total susu juga menurun dcngan
meningkatnya jumlah albumin dan globulin dan terjadi penurunan
gula susu dan laktosa sehingga nilai kalori yang dikandungnya
mcnurun. Mastitis sccara tidak langsung juga bisa menyebabkan
penurunan produksi susu sehingga sangat merugikan petemak sapi
pcrah.
Kejadian mastitis pad a negara-negara bcrkembang juga dapat
mengakibatkan pcdet-pedet mati atau pertumbuhannya terhambat
karena tidak mendapatkan kolustrum maupun susu yang cukup dari
induknya (Oliver, 2000; Soebronto, 2003). Oliver dkk. (2000)
menambahkan, secara ckonomis, mastitis banyak menimbulkan
kerugian karena adanya penurunan produksi yang dapat mencapai
70% dari seluruh kerugian akibat mastitis. Kejadian mastitis subklinis
dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar, terutama
karena turunnya produksi susu yang dapat mencapai 25% dari total
produksi (Han dkk., 2000). Supriyanto (2014) menyampaikan bahwa
penurunan produksi susu oleh mastitis subklinis sebesar 13,98% dan
penurunan mastitis subklinis akibat Staphylococcus aureus sebesar
26,62%, tetapi penurunan mencapai 100% apabila disebabkan oleh
mastitis klinis, baik oleh mastitis klinis dengan atau tanpa
Staphylococcus aureus.
Kerugian ekonomi akibat mastitis subklinis dilaporkan di Eks
Karesidenan Madiun scbesar Rp2.025.752,00/ekor/tahun.
Namun,
apabila mastitis subklinis diakibatkan oleh Staphylococcus aureus
kerugian dapat mencapai Rp3.887.252,00/ekor/tahun. Kerugian akibat
mastitis klinis dapat mencapai Rp 14.618.252,00/ekor/tahun. Sebagai
pembanding kerugian akibat mastitis subklinis dan mastitis klinis
per ckor/tahun juga dilaporkan di negara-negara lain, seperti:
Swedia Rp964.938,00 dan Rp4.422.632,00; Brazil Rp 1.111.200,00
sampai
Rp1.655.063,00;
Nebraska
Rp2.324.200,00;
Australia
Rp2.324.200,00; dan Belanda Rp2.986.597,00 (Supriyanto, 2014).

10
Hadirin yang kami muliakan,
Dampak Kesehatan Masyarakat Mastitis
Resistensi Antibiotik
Pengobatan mastitis menggunakan antibiotik terutama ditujukan
untuk membunuh bakteri, tetapi banyaknya macam antibiotik yang
dipergunakan dan cara pemberian dengan dosis yang tidak
terkontrollirasional dapat menyebabkan masalah baru. Permasalahan
baru tersebut meliputi timbulnya resistensi terhadap antibiotik, residu
antibiotik dalam susu, reaksi alergi, serta memengaruhi proses
pengolahan hasil susu. Resistensi bakteri merupakan salah satu proses
alamiah yang dilakukan oleh organisme dan bersifat terus-menerus
sebagai bentuk toleransi terhadap lingkungan yang baru. Hal ini
disebabkan oleh suatu faktor yang memang telah ada pada
mikroorganisme tersebut atau diperoleh dari hasil adaptasi. Beberapa
hasil penelitian tentang resistensi bakteri pada susu terhadap beberapa
jenis antibiotik, yaitu Staphylococcus sp. yang diisolasi dari susu sapi
perah di Boyolali telah resisten terhadap eritromisin sebesar 13,3%
dan gentamisin 20%. Dilaporkan juga bahwa Staphylococcus aureus
pada susu sapi dari Malang sudah resisten terhadap eritomisin sebesar
35,71 % dan gentamisin 28,5%.
Resistensi terhadap antibiotik tidak hanya oleh Staphylococcus
sp., tetapi juga oleh Streptococcus sp. dan Escherichia coli; sebanyak
57,14% Escherichia coli sudah resisten te~hadap eritromisin. Seperti
diketahui bahwa tetrasiklin, ampisilin, dan eritromisin adalah
antibiotik pilihan atau yang paling sering digunakan di lapangan.
Dilaporkan juga oleh Wahyuni et al. (2014) bahwa sebanyak 50%
Staphylococcus aureus dari susu sapi perah yang berasal dari Jateng
dan Jatim juga sudah resisten terhadap metisilin/ Methycilin Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) selain resisten terhadap penisilin G
(84,3%) dan ampisilin (93,75%). Persentase MRSA sebanyak 93,75%
dapat ditemukan pada susu mastitis subklinis.
Penggunaan antibiotik dengan dosis yang tidak terkontrolltidak
rasional dan pengobatan yang tidak selesai dapat menjadi penyebab
utama terjadinya resistensi tersebut. Oleh karena itu, perlu

11
pemahaman atau pcngertian tentang penyebab bakterial mastitis dan
profil sensitivitas terhadap antibiotik sangat penting untuk dilakukan.
Residu Antibiotik
Residu antibiotika adalah scnyawa asal dan/atau metabolitnya
yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan tennasuk residu hasil
uraian lainnya dari antibiotika tcrsebut. Jadi, residu dalam bahan
pangan mcliputi scnyawa asal yang tidak berubah, metabolit dan/atau
konjugat lain. Ancaman potensial residu antibiotika dalam makanan
terhadap keschatan dapat'dibagi mcnjadi tiga kategori, yaitu (1) aspek
toksikologis, (2) aspek mikrobiologis, dan (3) aspek imunopatologis.
Menurut Haagsma (1988), residu antibiotika dalam makanan dan
penggunaannya dalam bidang kcdoktcran hewan berkaitan dengan
aspek kesehatan masyarakat vetcrincr, aspek teknologi, dan aspek
lingkungan. Oitinjau dari aspck toksikologis, residu antibiotika
bcrsifat racun terhadap hati, ginjal, dan pus at hemopoitika
(pembcntukan darah). Oitinjau dari aspek mikrobiologis residu
antibiotika dapat mengganggu mikrof1ora dalam saluran pencernaan
dan menycbabkan tcrjadinya resistensi mikroorganisme yang dapat
mcnimbulkan masalah besar dalam bidang kcsehatan manusia dan
hewan. Oitinjau dari aspck imunopatologis, residu antibiotika dapat
menimbulkan reaksi alergi yang ringan dan bersifat lokal, bahkan
dapat menyebabkan shock yang berakibat fatal. Dipandang dari aspek
teknologi, kcberadaan rcsidu antibiotika dalam bahan pangan dapat
menghambat atau menggagalkan proses fenncntasi.
Tindakan pcncegahan dan pengcndalian residu antibiotik antara
lain dcngan mcncrapkan kebijakan penggunaan jenis antibiotik di
bidang kedokteran hewan (tidak menggunakan jenis antibiotik yang
digunakan manusia untuk hewan), pengawasan pemakaian antibiotik,
penerapan good practices sepanjang rantai pangan (Fom farm to
table), penerapan jaminan keamanan pangan di unit usaha pangan asal
hcwan, serta pelaksanaan pemantauan dan surveilans residu antibiotik
pada pangan asal hcwan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
32,52% susu pastcurisasi dan 31,10% susu segar di wilayah Jakarta,
Bogor, dan Bandung mengandung residu antibiotika dalam jumlah

12
yang cukup tinggi. Seperti diketahui bahwa residu antibiotik pad a susu
ini berpotensi membahayakan kesehatan manusia.
Bakterial Mastitis yang Membahayakan Kesehatan Manusia
Penyakit yang dapat ditularkan melalui susu dan produknya
(milk borne disease) dapat disebabkan oleh Escherichia coli,
Salmonella sp., Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, dan
Campylobacter jejuni (Jeffrey et al., 2009). Bakteri-bakteri tersebut
dapat menimbulkan penyakit pada manusia melalui rantai makanan
(susu) sehingga dapat digolongkan sebagai zoonoses. Pada bulan
September 2004, telah terjadi keracunan pada 72 siswa sekolah dasar
(SO) di Tulungagung Jawa Timur setelah minum susu, 300 siswa SO
di Bandung dan 73 karyawan Carrefour di Surabaya. Kasus serupa
juga terjadi pada tanggal 2 Juni 2009 pad a 10 siswa SO di Cipayung,
Jakarta Timur dan 293 siswa SO di Kecamatan Sindangkarta,
Kabupaten Bandung. Gejala keracunan yang timbul, ialah siswa
mengalami mual-mual setelah mengonsumsi susu dalam kemasan.
Menurut Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM), kasus
tersebut disebabkan oleh Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
Susu segar merupakan salah satu sumber utama munculnya
Staphylococcus aureus pada produk susu. Staphylococcal enterotoxin
(SE) merupakan penyebab utama kasus keracunan makanan yang
berhubungan dengan kasus gastroenteritis dengan gejala klinis
muntah, dengan atau tanpa disertai diare sebagai hasil infcksi dari satu
atau beberapa jenis bakteri penghasil enterotoksin. Munculnya
keracunan makanan pada manusia disebabkan kurangnya higienitas
dan ketidaksempumaan saat pasteurisasi, juga adanya infeksi pada
sapi perah. Oi beberapa negara di Eropa, seperti Norwegia,
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri utama penyebab
keracunan setelah minum susu. Oari hasil penelitian Prasidhanti
(2014), dilaporkan bahwa SE pada susu nonnal dan susu mastitis
klinis ditemukan sebesar 100%, sedangkan pada susu mastitis
subklinis 5,2%. Berdasarkan hasil penelitian ini, peluang untuk
terjadinya keracunan makanan sangat tinggi.

13
Listeria
monocytogenes
yang
mencemari
susu
dapat
menyebabkan penyakit listeriosis pada manusia. Laporan kasus
listeriosis pada manusia di Indonesia yang ditularkan melalui makanan
sampai saat ini belum ada. Meski sangat jarang, namun bakteri ini
dapat ditularkan secara langsung dari hewan yang terinfeksi ke
manusia. Gejala klinis pada manusia dapat dibagi dalam dua bentuk,
yaitu non-invasif yang dikenal sebagai gastroenteritis listerial dan
bentuk invasif parah yang disertai gejala klinis. Hasil penelitian
Yuswandi (2015) menunjukkan bahwa susu segar dan susu
pasteurisasi terce mar oleh Listeria monocytogenes masing-masing
sebesar 0,55%.

Pengembangan Vaksin Bakterial Mastitis
Hadirin yang saya muliakan,
Hasil pengobatan mastitis yang disebabkan oleh bakteri dengan
antibiotika semakin jauh dari memuaskan karena adanya risiko
resistensi terhadap antibiotik dan residu antibiotik pada susu sehingga
perlu dicari altematif lain yang lebih menjanjikan dan aman.
Pengembangan vaksin bakterial mastitis menjadi salah satu harapan
yang menjanjikan untuk pengendalian mastitis. Vaksin adalah
mikroorganisme
atau
metabolitnya
yang
telah
dilemahkan
virulensinya (daya racun) atau diinaktifkan, tetapi tetap bersifat
imunogenik. Imunogenik merupakan sifat antigen yang mampu
menginduksi antibodi adaptif atau antibodi protektif. Vaksin dapat
dibuat dari virus, bakteri, protozoa atau produk metabolitnya. Aplikasi
vaksin dilakukan untuk melindungi individu atau populasi dari
serangan penyakit tertentu. Vaksin ini memegang peran yang sangat
penting dalam pencegahan infeksi agen penyakit dan mampu
mencegah transmisi penyakit dari satu individu ke individu yang
lainnya. Individu yang imun terhadap suatu penyakit mampu
berfungsi
sebagai
penyaring
agen
penyakit
tersebut
dan
memusnahkannya dengan sistem imun yang dimilikinya.

14
Hadirin yang kami muliakan,
Untuk melakukan pencegahan pada suatu penyakit, harus
dipahami proses atau mekanisme infeksi dari penyakitnya. Pada
mastitis subklinis, kemampuan penempelan (adhesi) sangat penting
sebagai langkah awal kolonisasi bakteri pada permukaan sel ambing
daripada kemampuan perasukan (invasi). Seperti diketahui bahwa
sistem imun lokal di dalam ambing sapi perah berbeda dengan sistem
imun di organ lain pada umumnya. Aksi semburan susu berperan
untuk mencegah invasi oleh bakteri patogen. Oleh karena itu, hanya
bakteri-bakteri yang mempunyai kemampuan adesi kuat yang dapat
bertahan supaya terbebas dari pengaruh semburan. Pada kasus mastitis
subklinis ini tidak dijumpai perubahan yang berarti pada jaringan
ambing maupun gejala klinis yang muncul.
Menurut Wizeman et al. (2000), penghalangan/ blocking tahap
awal dari suatu infeksi, yaitu adhesi merupakan strategi yang sangat
efektif untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri. Salah satu cara
untuk menghalangi/menghambat adhesi adalah dengan antibodi dari
bakteri penyebab adhesi tadi. Ofek et al. (1996) melakukan kajian in
vitro yang menunjukkan bahwa perlekatan bakteri pada sel inang
dapat dihambat oleh berbagai faktor, misalnya antiserum/antibodi
spesifik, panas, dan pH.
Hadirin yang saya muliakan,
Berdasarkan hasil penclitian yang dilakukan Wahyuni (2004)
tentang kemampuan adesi Streptococcus agalactiae dari susu sapi
perah mastitis subklinis pada sel epitel ambing, diketahui bahwa
bakteri yang memiliki hemaglutinin dan bersifat hidrofob akan
mempunyai nilai adesi jauh lebih besar (20x) dibandingkan dengan
bakteri yang tidak mempunyai hemaglutinin dan bersifat hidrofil.
Oemikian juga Staphylococcus aureus penyebab mastitis pada sapi
perah yang mempunyai
hemaglutinin
dan bersifat hidrofob
mempunyai kemampuan adesi pada sel epitel ambing yang lebih besar
jika dibandingkan dengan bakteri yang tidak memiliki hemaglutinin
dan bersifat hidrofil (Wahyuni, 2005). Hasil penelitian lebih lanjut

15
menunjukkan kemampuan adesi pada sel epitel ambing oleh beberapa
jenis bakteri dari urutan paling tinggi adalah kelompok Streptococcus
sp., Staphylococcus sp., dan Escherichia coli (Wahyuni et al., 2010b).
Proses adhesi dibedakan dalam dua bentuk, yaitu adhesi yang
bersifat spesifik dan stabil (irreversible) dan adesi yang tidak spesifik
dan labil (reversible). Issacson (1985) menyampaikan bahwa adesin
merupakan struktur bakteri yang mendukung terjadinya adhesi,
sedangkan hemaglutinin adalah adesin yang mengaglutinasi eritrosit.
Diduga hemaglutinin berperan sebagai adesin irreversible, sedangkan
permukaan yang bersifat hidrofob sebagai adesin reversible. Hal ini
diperkuat oleh penelitian Wibawan et at. (2005) yang melaporkan
bahwa proses adhesi oleh Staphylococcus aureus yang memiliki
hemaglutinin pada sel epitel ambing berbentuk kelompok-kelompok
kecil (cluster) dengan jumlah antara 2 sampai 5 per sel epitel ambing.
Sebaliknya, pada bakteri yang tidak mempunyai hemaglutinin tidak
dijumpai adanya adhesi bakteri pada sel epitel ambing (Wahyuni et
al., 2005).
Hasil uji hambat adhesi oleh antibodi spesifik terhadap
hemaglutinin Streptococcus agalactiae mampu menghambat adhesi
pada sel epitel ambing sampai dengan 91% (Wahyuni, 1998).
Penelitian lain tentang kemampuan hambat adhesi oleh antibodi
spesifik terhadap hemaglutinin
Streptococcus
agalactiae
dan
Staphylococcus aureus telah dilakukan oleh Wahyuni et at. (2005) dan
Wibawan et al. (2005). Pada penelitian tersebut dibuktikan bahwa
antibodi spesifik terhadap hemaglutinin Streptococcus agalactiae
hanya akan bereaksi dengan antigen dari Streptococcus agalactiae dan
tidak bereaksi dengan antigen Staphylococcus aureus, demikian juga
sebaliknya. Di sini tampak bahwa antibodi terhadap hemaglutinin
bersifat spesifik hanya dengan antigen pembentuknya. Oleh karena
itu, meskipun kedua bakteri tersebut mempunyai hemaglutinin, tidak
terjadi efek hambat silang. Lebih lanjut disampaikan bahwa
hemaglutinin Streptococcus agalactiae merupakan protein dengan
berat molekul 28 kDa, sedangkan hemaglutinin Staphylococcus
aureus sebesar 27 kDa (Wahyuni et al., 2005). Antibodi terhadap
Streptococcus agalactiae yang mempunyai antigen permukaan protein
dan bersifat hidrofobik mampu menurunkan jumlah bakteria dalam

16
jumlah yang signifikan pada hewan percobaan yang diinokulasi
Streptococcus agalactiae pada glandula mammae (Wahyuni dan
Wibawan, 2009).
Hadirin yang saya muliakan,
Bagaimanakah perkembangan vaksin bakterial mastitis selama
ini? Beberapa jenis vaksin mastitis sudah dikembangkan antara lain
vaksin Coliform mastitis yang dibuat dari Escherichia coli dan
Salmonella mutan (telah dihilangkan kemampuan menyintesis antigen
polisakarida). Kelebihan vaksin ini adalah antibodi yang dihasilkan
dapat mempunyai efek cross-reaction (bereaksi silang) dengan bakteri
patogen Gram negatif lainnya sehingga bakteri Gram negatif lainnya
akan tertangani oleh antibodi ini. Selain itu, vaksin ini mampu
menurunkan gejala-gejala klinis Coliform mastitis sebesar 70%.
Pengembangan vaksin mastitis juga telah dilakukan dengan
Staphylococcus aureus. Protein A bakteri ini disuntikkan secara
intramuskuler atau ke daerah kelenjar getah bening Supra mammary.
Vaksin ini berhasil mengurangi jumlah kasus baru mastitis. Hasil
observasi di lapangan oleh Bradley et al. (2015) menunjukkan bahwa
penggunaan vaksin mastitis polyvalent (Startvac, Hipra UK Ltd.,
Nottingham, UK) tidak berkorelasi dengan penurunan kejadian
mastitis klinis maupun mastitis subklinis pada awallaktasi (120 day in
milk, DIM), tetapi menurunkan mastitis klinis. yang berat dan
meningkatkan secara signifikan jumlah produksi susu dan bahan
padat.

.

Vaksin
inaktif polyvalent
untuk mastitis juga
sudah
dikembangkan (Mastivac, Ovejero). Vaksin ini terdiri atas tujuh jenis
bakteri, yaitu Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae,
Streptococcus
uberis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, dan Arcanobacterium pyogenes. Hasil uji
lapangan vaksin ini menunjukkan peningkatan kesembuhan secara
spontan, meningkatkan penyembuhan pada masa kering, waktu henti
obat/withdrawal
time nol, menurunkan
jumlah
SCC, dan
meningkatkan produksi susu (Anonim, 2014b).

17
Berdasarkan hasil pengembangan yang sudah dilakukan, vaksin
Coliform, vaksin Staphylococcus aureus, maupun vaksin polyvalent
belum didasarkan pada kemampuan adhesi dari bakteri penyebabnya.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembangkan vaksin yang
didasarkan
pada
bakteri
penyebab
utama
mastitis,
yaitu
Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, dan Escherichia
coli dan mempunyai kemampuan adhesi tinggi.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Wahyuni (1998, 2004, 2005, 2006, 2009, 2010), dapat diketahui
adanya peluang yang besar untuk mengembangkan vaksin yang
didasarkan pada kemampuan adhesi yang kuat terhadap epitel ambing.
Diharapkan
anti~odi spesifik yang terbentuk mampu untuk
menghambat adhesi bakteri penyebab mastitis ke sel epitel ambing
sehingga tidak ada/sangat sedikit bakteri yang hidup dalam ambing.
Vaksin mastitis ini diharapkan akan mampu menjadi solusi
pengendalian mastitis subklinis yang efektif dan aman selain cara
pengendalian lainnya.
Penutup
Hadirin yang saya hormati,
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa untuk
mencapai swasembada susu tahun 2020, sangat penting untuk
mengembangkan suatu strategi yang tepat untuk meningkatkan secara
bertahap populasi sapi perah produktif
dalam negeri dan
meningkatkan produktivitas susu setiap sapi secara maksimal dalam
kuantitas maupun kualitasnya. Salah satu syarat penting adalah
memelihara sapi perah yang sehat, khususnya yang bebas dari
mastitis. Berdasarkan fakta dari lapangan dan data hasil penelitian,
dapat diambil beberapa kesimpulan penting, yaitu:
I. Kejadian mastitis subklinis yang sangat tinggi dan menimbulkan
kerngian sangat besar, serta pengobatan mastitis dengan antibiotika
dapat menimbulkan masalah barn, yaitu berkembangnya bakteri
yang resisten terhadap antibiotik dan timbulnya residu antibiotik di

18
dalam susu sehingga harus dicari pengendalian altematif yang lebih
efektif dan aman.
2. Pengembangan vaksin bakterial mastitis yang didasarkan pada
kemampuan adesi yang kuat sehingga antibodi spesifik yang
terbentuk mampu menghambat adhesi bakteri ke sel epitel ambing
merupakan terobosan baru yang sangat menjanjikan.

3. . Pengembanganvaksinmastitispolivalenyangterutamaterdiri atas
Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae maupun
Escherichia coli perlu ditindaklanjuti sebagai salah satu solusi
untuk pengendalian bakterial mastitis dalam rangka mendukung
swasembada susu 2020.
Hadirin yang saya muliakan,

Ucapan Terima Kasih
Sebelum mengakhiri pidato pengukuhan ini, perkenankanlah
saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak. Pertama-tama
kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia yang telah memberi kepercayaan kepada saya untuk
mengemban jabatan guru besar. Rektor, para Wakil Rektor; Ketua,
Sekretaris, dan anggota Senat Akademik; Ketua, Sekretaris, dan
anggota Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada; Senat dan
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada yang
telah menyetujui pengusulan saya sebagai ,guru besar. Demikian pula
terima kasih saya sampaikan kepada para staf Urusan Kepegawaian,
baik tingkat fakultas maupun universitas yang telah dengan tulus
membantu kelancaran proses pengusulan jabatan saya.
Kepada semua guru SO Negeri Karanganyar Y, SMP Negeri I
Karanganyar, dan SMA Negeri I Karanganyar yang tidak dapat saya
sebutkan satu per satu, saya mengucapkan terima kasih tak terhingga
atas bimbingannya sehingga saya dapat berdiri mengucapkan pidato di
tempat ini. Terima kasih yang sebesar-besamya juga kami sampaikan
kepada dosen-dosen saya di Fakultas Kedokteran Hewan UGM.
Kepada para dosen senior di Bagian Mikrobiologi yang sudah puma,
drh. Sugiman, M.Sc.; drh. Suharso (aIm.); Drs. B. Sardjono, M.Sc.;

19
serta drh. Arab Bangun, M.Sc., Ph.D., terima kasih atas perhatian,
bimbingan, dan arahan serta saran-sarannya. Teman sejawat di Bagian
Mikrobilogi FKH: Prof. drh. Widya Asmara, S.U., M.Sc., Ph.D.;
Dr. drh. Surya Amanu, S.U.; Dr. drh. Tri Untari, M.Si.; Dr. drh.
Michael Haryadi Wibowo M.P., dan drh. Sidna Artanto, M.Biotech,
terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Terima kasih juga
kepada pembimbing tesis dan disertasi saya di FKH Institut Pertanian
Bogor (IPB), Prof. drh. Masduki Partadiredja, M.Sc., Ph.D. (aIm.);
Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.S.; Prof. Dr. drh.
Fachriyan Hasmi Pasaribu; Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo
Priosoeryanto, M.S., Ph.D'.; serta Prof. drh. Widya Asmara, S.u.,
Ph.D. (UGM), t~rima kasih atas bimbingan, kepercayaan yang
diberikan kepada saya dan mendorong saya menjadi seorang peneliti
dan mencapai gelar tertinggi. Terima kasih pula saya haturkan kepada
Prof. drh. Charles Rangga Tabbu, M.Sc., Ph.D. yang tidak bosanbosannya untuk mendorong dan memberi semangat sehingga
memperoleh jabatan tertinggi di bidang pendidikan.
Kepada para mahasiswa bimbingan saya di jenjang pendidikan
S-l, S-2, maupun S-3, saya juga mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya. Tanpa kerja sama kalian semua, tidaklah mungkin
jabatan tertinggi ini dapat saya raih. Terima kasih juga saya sampaikan kepada tenaga kependidikan di Bagian Mikrobiologi FKH UGM
yang telah membantu kelancaran tugas saya sehari-hari selama ini.
Jabatan akademik tertinggi ini juga saya persembahkan kepada
almarhum dan almarhumah bapak-ibu saya (Bpk. Soekranto K. dan
Ibu Sarni) yang dengan kesabaran dan kegigihannya selalu mendorong
anak-anaknya sekolah, memberi semangat dan selalu memberi rasa
optimis, selalu mendoakan kebaikan anak-anaknya. Masih ingat
pennintaan Ibu agar saya menjadi seorang guru. Maafkan jika waktu
itu saya tidak menjawab sesuai harapan Ibu. Namun ternyata doa Ibu
itu luar biasa dan Tuhan telah mengabulkan doa Ibu, saya menjadi
guru besar. Terima kasih yang tiada tara kepada kedua kakak saya:
Drs. Joko Supriyanto, M.Sc. (aIm.) dan Ir. Edhy Sri Yannanto, M.Sc.,
karena kakak berdualah
sebagai pengganti kedua orangtua,
mengantarkan saya sampai di temp at ini. Kepada ketiga adik saya:
Dra. Elizabet Titik Kuspangestiningrum, Dra.Yasinta Wardani Sutera

20
Dewi, dan Anastasia Soetjiati Soelistijaningsih, S.Sos., terima kasih
untuk kebersamaan, rasa persaudaraan, dan kasih sayang serta
pengertian dari dulu hingga sekarang. Kepada kedua kakak ipar: Dra.
Susilo Hastuti; Cynthia Setyowati, Dipl. Eng., dan adik-adik ipar: Drs.
Priyadi Soeprapto; Heri Indra Setiawan S.Sos.Mmtr; Yosef Anung
Darmawan, S.E beserta seluruh keponakan, terima kasih atas kasih
sayang dan pengertiannya selama ini. Tanpa doa dan dorongan dari
kalian semua, belum tentu saya berada di tempat ini untuk
menyampaikan pidato ini. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih
kepada keluarga besar bapak ibu mertua, Bpk. Drs. H. Soetjipta,
M.Sc. (aIm.) dan Ibu Hj. Sri Rahayoeningsih (almh.) serta seluruh
kakak dan adik ipar beserta keluarga masing-masing, terima kasih atas
dukungannya selama ini. Terima kasih juga untuk keluarga besar Ibu
Des Durias atas perhatian selama ini. Ucapan terima kasih yang
sebesar-besamya saya sampaikan kepada suami, drh. Setio Seputro
Widodo Triono serta dua buah hati saya yang menjadi pemacu
semangat: Dimas Husada dan Setia Bhagawanta. Terima kasih atas
pengertian, kesabaran, dan dukungan kalian selama ini.
Dengan hati yang tulus, saya mohon maaf apabila banyak pihak
yang terlewatkan dan tidak saya sebutkan. Andai tidak ada batasan
waktu dan kesempatan, tak terungkapkan betapa ingin saya
menyebutkan satu per satu rasa terima kasih atas semua bantuan dan
dukungan bagi saya. Saya hanya bisa mendoak~n semoga semua
menjadi amal ibadah yang pahalanya dilipatgandakan oleh Tuhan.
Terima kasih yang sebesar-besamya kepada para hadirin atas
perhatian dan kesabarannya dalam mengikuti upacara ini. Saya
memohon maaf atas segala kekurangan dalam menyampaikan pidato
ini dan mohon doa restu agar mampu mengemban amanah jabatan ini.
Semoga Tuhan yang Mahapengasih dan Penyayang memberkati
semua.

21
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, W. M., Sherein, 1. Abd El-Moez., and Ghaba, M.N., 2008.
"Observation on Subclinical Mastitis in Buffalo-Cows with
Emphasis on Measuring of Milk Electrical Resistence for Its
Early Detection". Global Veterinaria, 2(1): 41-45.
Anonim, 2014a. "Ayo Sukseskan Swasembada Susu 2020". 26 Juli
2014.
Anonim, 2014b. "Mastivac, Vaksin Mastitis untuk Sapi Perah".
Bradley, A.J., J.E. Breen., B. Payne., V. White., and M.J. Green.
2015. "An Investigation of Efficacy of Polyvalent mastitis
Vaccine Using Different Vaccination Regimens under Field
Conditions in the United Kingdom". J Dairy Sci., 98: 1-15.
Giguere, S., Prescott, IF., Baggot, J.D., Walker, R.D., Dowling, P.M.,
2006. Antimicrobial Theraphy in Veterinary Medicine, fourth
edition. Blackwell Publishing, Iowa. 121-124, 191-192,
231-232,241-244.
Haagsma, N., 1988. "Control of Veterinary Drug Residues in Meat a
Contribution to the Development of Analytical Procedures".
Tesis. The University of Utrecht, the Netherlands.
Halasa, T., Nie1en, M., Werven, T.V., Hogeveen.,
2010.
"A Simulation Model to Calculate Cost and Benefits of Dry
Period Interventions in Dairy Cattle". J Liv. Sci., 129: 80-87.
Hillerton, J.E. and Berry, E.A., 2005. "Treating Mastitis in the Cow is
A Tradition or An Archaism". J Appl. Microbiol., 98:
1250-1255.
Hidayatullah,
H.,
2015.
"Identifikasi
Staphylococcus
sp.,
Streptococcus sp., dan Coliform dari Susu di Koperasi Petemak
Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang". Skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Isaacon, R.E., Sevage, D.C and Fletcher, M., 1985. Pilus Adhesin:
Bacterial Adhesin Mechanism and Physiological Significance.
Plenum Publishing Corp, New York. 307-336.
Jeffry, T., Lejeune, and P.J.R. Schltz. 2009. "Unpasteurized Milk: A
Continnued Publich Health Threat. Food Safety". Clin. Infect.
Dis.,48:93-100

22
Katzung, B.G., 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku 3 Edisi 8.
Salemba Medika, Jakarta. Pp: 3-7, 37-43, 47-48, 63-65.
Kivaria, F.M. and Noordhuizen, J.P.T.M., 2006. "A Retrospective
Study on the Aetiology and Temporal Distribution of Bovine
Clinical Mastitis in Smallholder Dairy Herds in Dar es Salaam
Region,
Tanzania".
The
Veterinary
Journal
doi:
10.10 16/j.tvj1.2006.0 1.008.
Mennane, Z., Ouhssine, M.K., and Elyachioui, M., 2007. "Hygiene
Quality of Raw Cow's Milk Feeding from Domestic Waste in
Two Regions in Morocco". Int. J Agric. Bioi., 9(1 ):46-47.
Ofek, L, Kahane, L, and Sharon., 1996. "Toward Anti Adhesion
Therapy for Microbial Disease". Trend. Microbiol., 4:297-299.
Oliver, S.P.F.N., Schrick, M.E., Hockett., and Dowlen, H.H., 2000.
"Clinical and Subclinical Mastitis during Early Lactation
Impairs
Reproductive
Perfonnance
of Dairy
Cows".
Proceedings of National Mastitis Council. Inc. Regional
Meeting. 34-51.
Prasiddhanti, L., 2014. "Deteksi Gen Enterotoksin G dan I
Staphylococcus aureus dari Susu Nonnal, Mastitis Subklinis dan
Mastitis Klinis dengan Teknik Multiplex Polymerase Chain
Reaction". Tesis. Program Studi Sain Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan UGM.
Ruegg, P.L., 2005. "California Mastitis Test (CMT)". Fact Sheet 1.
Resources
Milk
Money.
http://milkqmility.wisc.edu/wpcontent/uploads/20 11/09/california-mastitis. test- fact-sheet. pdf.
Schroeder, J.W., 2010. "Mastitis Program Control: Bovine Mastitis
and Milking Management". Extension Service. North Dakota
State University (NDSU). AS-1129.
Shearer, J.K. and Harris, B., 2009. "Mastitis in Dairy Goats". DS 85
Journal of IFAS, Florida: 1-4.
Sori, H., Seihum, A., and Abdicho, S., 2005. "Dairy Cattle Mastitis in
and Around Sebeta, Ehiopia". In!. J Appl. Res. Vet. Med.,
3:332-338.
Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) L Ed ke-2. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

23
Sudarwanto, M., Latif, M., and Noordin, 2006. The Relationship of
the Somatic Cell slCounting to Sub-clinical Mastitis to Improve
Milk Quality". I International AA VS Scientific Conference,
Jakarta, Indonesia.
Supar dan Ariyanti, T., 2008. "Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis
Pada Sapi Perah". Dalam Kusuma, D., Elizabeth, W., Atien, P.,
Lily, N., Tati, H., Budi, P., Prospek /ndustri Sapi Perah Menuju
Perdagangan Bebas 2020. Pus at Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor, Indonesia. Pp: 360-366.
Supriyanto, 2014. "Prevalensi, Faktor Risiko dan Analisis Kerugian
Nilai Ekonomi Mastihs oleh Staphylococcus aureus pada Susu
di Eks Ka:residenan Madiun". Tesis. Program Studi Sain
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, UGM, Yogyakarta.
Waldner, D.N., 2014. "Dry Cow Therapy for Mastitis Control".
Oklahoma
State
University.
http://osufacts.okstate.edu
/pdCfile/factsheets/DNWaldner,
Pp: 1-4.
Wahyuni, A.E.T.H., 1998. "Peran Hemaglutinin Streptococcus
agalactiae dalam Proses Adesi pada Sel Epitel Ambing Sapi
Perah". Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pp:
23-31.
2004. 'The Role of Hemaglutinin of Streptococcus
agalactie in Adhesion of Udder Ephitelial Cells in Dairy
Cattle". Jurnal Galuryoku. Vol. X No.2.
2008. 'Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi
Perah di Beberapa Wilayah DIY, Jateng dan Jatim". Prosiding
Seminar
Nasional,
Pengembangan
Agroindustri
Usah
Persusuan Nasional Untuk Perbaikan Gizi Masyarakat dan
Kesejahteraan Peternak. Pp: 246-251.
Wahyuni, A.E.T.H, Wibawan, LW.T., dan Wibowo, M.H., 2005.
Karakterisasi Hemaglutinin
Streptococcus
agalactiae dan
Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi
Perah. J Sain. Vet., 23: 79-86.
Wahyuni, A.E.T.H. and Wibawan, LW.T., 2009. "Characteristic of
Protein Antigen of Streptococcus aglactiae in Subclinical
Mastitis of Dairy Cattle as a Vaccin Candidate". Proceeding

24
International Conference on Animal Health and Human Safety,
Malaysia.
Wahyuni, AE.T.H., Tjahajati, I., Wahyudim, F., Franky., Danna,
R.S., Widyawati, L., dan Pratami. R., 20 lOa. "Gambaran Bakteri
yang Diisolasi dari Susu Sapi Perah Nonnal, Mastitis Subklinis,
dan Mastitis Klinis di Peternakan Sapi Perah di Magelang". The
Proceeding of Indonesian Veterinary Medicine Association
(IVMA CCE), 2010.
Wahyuni, A.E.T.H., Sukarini, N.E., Aryani, D.R., 2010b. "The
Adhesion Ability of Staphylococcus aureus, Streptococcus sp.,
and Eschericia coli as Mammary Ephitelial Cells that Isolated
from Subclinical Mastitis of Dairy Milk". Proceeding 13th
Association of Institution for Tropical Veterinary Medicine
International Conference, Bangkok, Thailand
Wahyuni, AE.T.H., Winarso, D., Valenty, V., and Franky., 20lOc.
'The Surface Character of Staphylococus aureus Isolated from
Subclinical Mastitis of Dairy Cow Supporting Adherence to
Udder Ephitelial Cell". Journal of the Indonesian Tropical
Animal Agriculture, 35(3): 206-212.
Wahyuni, AE.T.H., Agustina, D.W., F.X. Satria, P., Supriyanto,
2014. "Detection of Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) Isolated from Dairy Cattle Milk". Proceeding of the 3
Joint International Meetings 2014. Pp: 57-58. .
Wibawan, I.W.T., Harlina, E., Damayant}, C.S., dan Zarkasie, K.,
2005.
"Preparasi
Antiserum
terhadap
Hemag1utinin
Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus serta
Peranannya sebagai Anti Adhesin dan Opsoni". J Vet., 6(2):
52-58.
Wizeman, T.M., Andamou, lE., and Langennann, S., 2000.
"Adhesins
as
Targets
for
Vaccine
development".
http://www.cdc.gov/neiidodleidlvoI5no3/wizeman.htm.
Yuswandi,
2015.
"Identifikasi
dan
Karakterisasi
Listeria
monocytogenes dari Susu Segar dan Susu Olahan di Kabupaten
Sleman". Tesis. Program Studi Sain Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, UGM.

25
BIODA T A
..

: Prof. Dr. drh. Agnesia
Endang Tri Hastuti
Wahyuni, M.Si.
Tempat, Tanggal Lahir: Karanganyar,
15 Agustus 1962
: 196208151900032001
NIP
: pembina/IVa
Pangkat/Golngan
Jabatan. akademik
: guru besar/profesor
dalam bidang ilmu
fungsional mikrobiologi
FKH UGM

Nama Lengkap

Alamat Kantor

Alamat Rumah

Bagian Mikrobiologi FKH UGM
J1.Fauna No.2, Karangmalang,
Yogyakarta 55281
Telp. 0274-560862, Fax: 0274-560861
Plosokuning IVGg. Rambutan 4, Minormartani,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55281

Keluarga:
Suami : drh. Setio Seputro Wldodo Triono
Anak : 1. Dimas Husada
2. Setia Bhagawanta
Pendidikan
S-I, drh.: Fakultas Kedokteran Hewan UGM
S-2
: Program Studi Sain Veteriner, FKH IPB
S-3
: Program Studi Sain Veteriner, FKH IPB

26
Riwayat Pekerjaan
1.
2.
3.
4.
5.

Dosen Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM:
1990-sekarang
Sekretaris Bagian Mikrobiologi FKH UGM: 2003-2005
Sekretaris Pengelola Program Diploma III FKH UGM:
2004-2005
Wakil Ketua Pengelola Pendidikan Profesi Dokter Hewan FKH
UGM: 2008
Ketua Pengelola Program Studi S-2 dan S-3 Sain Veteriner:
2008-2012

Jabatan
1.
2.

Profesi:

Anggota Komisi Obat Hewan, Direktorat Jenderal Petemakan,
Departemen Pertanian: 2007-2012
Anggota Komisi Ahli Kesehatan
Masyarakat
Veteriner,
Direktorat Jenderal Petemakan, Departemen Pertanian: 2012sekarang

Publikasi dalam Jurnal maupun Prosiding 2 Tahun Terakhir
1.

2.

3.

Wahyuni, A.E.T.H., Irene Linda M.S., Lalita Prasidhanti., Bagus
Bramantyo A., F.X. Satria P., 2014. "Detection of Coagulase
Positive and Coagulase Negative Staphylococcus aureus Isolated
from Dairy Cattle Milk". Makalah untuk Proceeding International Seminar Indonesia Society of Microbiology (ISISM) 2014.
Suwito, W., Nugroho, W.S., A.E.T.H, Wahyuni., dan Sumiarto,
B., 2014. "Virulence Factor of Staphylococcus sp. Isolated from
Subclinical Masttis in Ettawah Grade Goat's Milk