Positivisme and Perkembangan Teistis dal

HUBUNGAN LOGIS ANTARA POSITIVISME AWAL
DAN PERKEMBANGAN TEISTIS DALAM HINDUISME
1. Pengantar
Mungkinkah dua aliran pemikiran yang tampaknya berbeda memiliki hubungan logis?
Mungkin! Melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan hubungan logis antara dua aliran yang
berbeda yakni positivisme awal dan perkembangan teistis dalam Hindusime. Dalam pencarian
pengetahuan yang benar, positivisme awal menekankan pentingnya fakta positif (nyata, jelas,
konkret) dan bisa diselidiki dengan metode ilmu pengetahuan (observasi, komparasi dan
eksperimentasi). Di pihak lain, pemikir Hinduisme menekankan refleksi atas hal-hal metafisis
yakni realitas tertinggi sebagai kebenaran tertinggi (Brahman) yang dipersonifikasikan melalui
dewa-dewi. Selain itu, penulis juga akan memaparkan relevansi kedua aliran pemikiran ini bagi
pewartaan iman kristiani.
2.
Positivisme Awal: Auguste Comte dan Ernst Mach
2.1.
Auguste Comte
Apakah positivisme itu? Positivisme adalah aliran filsafat Barat yang mengakui dan
membatasi pengetahuan yang benar kepada fakta-fakta positif. Fakta-fakta ini harus bisa
didekati dengan metode ilmu pengetahuan yakni ekperimentasi, observasi dan komparasi.1
Dengan kata lain, ekperimentasi, observasi dan komparasi adalah metode positivisme. Apa yang
dimaksudkan dengan fakta positif? Maksudnya adalah fakta yang sungguh nyata, pasti, berguna,

jelas dan langsung dapat diamati dan dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan
untuk menelitinya.
Ketika orang membicarakan tentang positivisme mau tak mau mereka harus berhadapan
dengan Auguste Comte (1798-1857). Sebab dialah bapak positivisme. Ia juga menandaskan
bahwa pengetahuan mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan yang benar. Pemikiran ini
menyingkirkan metafisika. Mengapa? Karena metafisika mengulas tentang pengetahuan yang
melampaui fakta inderawi. Bahkan dengan tegas sekali Auguste Comte mengungkapkan bahwa
metafisika itu spekulasi liar atau khayalan.
Comte memahami kata ‘positif’ itu sebagai ‘apa yang berdasarkan fakta.’ Ia juga
membedakan antara yang nyata dan yang khayal; yang pasti dan yang meragukan; yang tepat
dan yang kabur; yang berguna dan yang sia-sia; serta kebenaran relatif dan kebenaran mutlak.
Pengetahuan manusia tidak boleh melampaui fakta. Pemahaman ini menunjukkan bahwa Comte
ingin memisahkan ilmu pengetahuan dengan metafisika. Penyelidikan itu dibatasi hanya pada
fakta. Bahkan menurutnya, penyelidikan atas hal-hal yang metafisis harus dilenyapkan karena
1

Bdk. Zainal Abidin, “Perkembangan Akal Budi Manusia dan Zaman Positif: Filsafat Aguste Comte,” dalam
Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, hal. 130.

1


tidak menghasilkan makna apa-apa dan sia-sia. Pernyataan di luar pernyataan positif dinilai
tidak bermakna; tidak nyata!
Hal penting yang ditegaskan dalam positivisme awal adalah hilangnya peranan subjek
dalam meneliti pengetahuan yang benar. Refleksi subjek atas pengetahuannya diganti dengan
penyelidikan atas metodologi dan prosedur ilmu pengetahuan. Hilangnya peran subjek ini
menandaskan bahwa positivisme sangat menekankan objektivitas pengetahuan. Maksudnya
adalah kebenaran pengetahuan itu tidak bergantung pada subjek tetapi pada objeknya. Menurut
Comte, ilmu-ilmu alam adalah contoh pengetahuan yang benar. Mengapa demikian? Karena
ilmu-ilmu alam mempunyai objek atau fakta empiris yang bisa diteliti.
Comte juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan sosial (sosiologi) merupakan puncak
perkembangan pelbagai disiplin ilmiah. Jadi, positivisme awal melahirkan sosiologi. Yang
menarik adalah ilmu sosial dianggap sebagai ilmu ilmiah yang berlandaskan ilmu-ilmu alam.
Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah adanya perbedaan objek observasi antara ilmu alam
dan ilmu sosial. Objek ilmu alam bisa diprediksi dan dikuasai secara teknis, sementara itu objek
ilmu sosial adalah manusia sebagai makhluk historis yang tindakannya tidak begitu saja
diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis. Pemikiran Comte ini bermaksud merancang kontrol
atas masyarakat menurut kontrol atas alam. Dengan demikian, ilmu sosial menjadi positivistik!
Tentu, inilah bahayanya ketika pandangan positivistis diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial.
2.2. Ernst Mach

Ernst Mach (1838-1916) adalah seorang filsuf positivisme awal dari Austria. Pada
zamannya, positivisme dikritik. Melihat kenyataan ini, ia berusaha membela positivisme.
Menurutnya, positivisme merupakan paham yang mengajarkan banyak orang tentang bagaimana
mencari pengetahuan yang benar. Mach menegaskan bahwa para ilmuwan harus mendisiplinkan
diri mereka dalam menentang penggunaan pelbagai istilah dan teori yang tidak memiliki
hubungan dengan fakta pengalaman yang bisa diindrai. Apakah fakta positif itu? Menurutnya,
fakta positif adalah objek yang dialami secara indrawi.
Jenis fakta yang diselidiki secara metodologis menunjukkan jenis ilmu pengetahuan.
Misalnya, jika fakta itu masyarakat, ilmunya sosiologi; jika faktanya ‘gejala kehidupan
material’, ilmunya biologi; jika fakta itu benda, ilmunya fisika. Dengan demikian, semua ilmu
menyelidiki fakta secara metodologis. Akibatnya, ilmu pengetahuan tak lebih dari prosedur
metodologis belaka. Semuanya bertujuan menghancurkan metafisika sebagai hal yang tak
bermakna. Ia mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah itu harus memiliki domain obyektif
dan bukan domain subyektif seperti metafisika. Karena itu ia memilih ilmu alam sebagai contoh
pengetahuan yang benar sebab memiliki data obyektif untuk dianalisis dan diteliti.
Ketika positivisme menyamakan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan objektif, maka
kita menyimpulkan bahwa aliran ini mendewakan objektivitas. Menurut Mach, pengetahuan
2

yang benar tentang kenyataan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menyalin fakta dan

fakta tersebut adalah kenyataan yang dapat diindrai. Maksudnya, harus ada kesesuaian pikiran
dan fakta. Anggapan dasarnya adalah kebenaran merupakan korespondensi antara pengetahuan
dan fakta inderawi. Prosedur yang dibenarkan adalah prosedur ilmu-ilmu alam sebab ilmu alam
itu objektif. Dengan demikian, pengetahuan diperoleh dengan meniru fakta (mimesis). Menurut
Habermas, pendapat ini tak lain adalah ilusi objektivisme karena positivisme menipu ilmu
pengetahuan dengan gambaran dunia otonom yang terdiri atas susunan fakta yang dapat
diindrai. Tetapi dengan ilusi objektivisme ini, subjek tak sanggup melakukan refleksi atas
pengetahuannya karena jalan masuk ke dalam kenyataan telah dihalangi oleh patok-patok
positif.

3. Perkembangan Teistis dalam Hinduisme
Brahman adalah realitas tertinggi yang tidak dapat didefinisikan secara harfiah. Ia dapat
didekati dan dipahami secara konseptual. Karena Brahman berada di balik konsep, maka pada
akhirnya kualitas-kualitas yang melukiskan Brahman harus disangkal dengan jalan via negativa.
Penyangkalan dengan cara ini dalam tradisi India dikenal sebagai neti-neti (bukan begitu, bukan
begitu). Neti-neti dengan jelas menyingkapkan pengertian filosofis bahwa Brahman tidak dapat
dimengerti dalam term-term konseptual.
Kendati demikian, realitas dapat juga didekati dengan jalan yang tidak konseptual. Para
pemikir Hinduisme menekankan bahwa indra-indra merangsang perasaan dan iman serta
pikiran. Pengertian religius nilainya sama tinggi dengan pengertian yang dicapai melalui

pemikiran abstrak. Pengertian religius bersifat aktif dan menuntun seorang untuk memeluk atau
menghindari realitas dalam bentuk-bentuknya yang langsung dan konkret. Berikut ini adalah
ulasan tentang dewa-dewi yang merupakan perwujudan Brahman dalam Hinduisme.
VISHNU
Vishnu dikenal sebagai dewa pengasuh dan penopang hidup. Ia merupakan personifikasi
cinta, keindahan dan kebaikan realitas. Karena Vishnu juga merupakan personifikasi cinta dan
keindahan, maka hal ini kemudian dikaitkan dengan pengalaman manusia yang hampir universal
bahwa hidup diasuh dan ditopang oleh cinta.
Bentuk-bentuk Vishnu
Dua bentuk penjelmaan Vishnu yang paling populer ialah Rama dan Krishna.
Penjelmaan Vishnu dalam sosok Rama yang dikisahkan dalam epos Ramayana merupakan
perwujudan dari kebaikan. Dalam konteks ini Rama hadir sebagai sosok laki-laki ideal dan Sita
istrinya sebagai sosok yang mewakili perempuan ideal. Rama dan Sita istrinya merupakan
paradigma kebajikan manusia, yakni memberi teladan kebajikan dalam hal bertindak secara
3

benar. Sedangkan Vishnu yang menjelma dalam sosok Krishna hadir sebagai dewa yang paling
populer dan sangat dicintai dari semua dewa lainnya, sebab ia merupakan perwujudan utama
cinta dan keindahan.
Kendatipun perhatian terhadap penjelmaan Vishnu ini pertama-tama lebih kepada

Krishna, namun perlu diingat bahwa Vishnu juga mengambil banyak bentuk lain dalam
usahanya untuk melindungi dan menopang dunia. Dalam tradisi Hindu dikenal sepuluh
penjelmaan utama Vishnu, yakni Matsya, Kurma, Varaha, Narasimha, Vamana, Paraushrama,
Rama, Krishna, Buddha (pendiri Hinduisme yang mengalami pencerahan) dan Kalkin.
Krishna
Dalam 18 bab dari syair “Nyanyian Tuhan” (Bhagavad Gita), Krishna digambarkan
sebagai sosok pengemudi kereta perang Arjuna. Ia datang membawa berita gembira kepada
umat manusia dan mengajarkan jalan devosi kepada Dewa yang memadukan pengetahuan dan
tindakan. Krishna menyatakan bahwa meskipun ia hadir dalam bentuk manusia sebagai seorang
pengemudi kereta perang, namun ia sesungguhnya adalah realitas tertinggi, sumber, pemimpin,
kuasa dan kesatuan yang berdiam dalam semua eksistensi. Sebagai Dewa yang mahatinggi,
segala sesuatu hadir dalam dia, dan ia hadir dalam segala sesuatu. Meskipun Krishna sebagai
Dewa hadir dalam segala hal, namun keberadaannya jauh melampaui segala hal itu.
Krishna Vrindavana hadir untuk menjawab kondisi manusia yang menuntut suatu bentuk
Dewa yang agak rendah hati dan lebih manusiawi. Krishna Vridavana adalah Dewa yang hadir
sebagai sosok penggembala sapi yang juga membakar semangat devosional dan imaginasi
Hindu. Krishna inilah yang disingkapkan sebagai seorang bayi mungil yang dapat disembah,
seorang bocah laki-laki sebagai penggembala yang rendah hati dan menyingkapkan keindahan
ilahi, kegembiraan dan cinta akan realitas tertinggi.
KALI

Kali adalah Dewi yang hadir sebagai personifikasi kematian dan kehancuran, sehingga
penampilannya mengerikan dan menakutkan. Namun sebagai ibu ilahi, ia memberikan
kehangatan dan keamanan cinta keibuan kepada anak-anaknya. Sebagai personifikasi dimensi
yang menakutkan, ia menolong para pendevosinya untuk melawan kekerasan, penderitaan dan
kematian yang menimpa hidup manusia. Menghadapi Kali dalam manifestasinya yang kasar dan
ngeri adalah menghadapi ketidakstabilan dan ketidakteraturan dunia serta merasakan terornya
yang tersembunyi. Namun sebagai ibu agung, ia bukan hanya meluputkan anaknya dari terorteror dunia, tetapi juga menegaskan bahwa cinta itu lebih fundamental sifatnya daripada
kekerasan.

4

SHIVA
Shiva adalah Dewa yang bersifat paradoks. Ia tuan atas kematian tetapi serentak tuan
atas ciptaan; ia adalah penari kosmis dan serempak sang yogi yang tidak bergerak. Shiva juga
merupakan dewa tertinggi yang berkuasa atas kehancuran, ciptaan dan yang memelihara dunia.
Ia dapat menggabungkan semua fungsi yang dimainkan oleh para dewa lain. Ia melampaui
semua eksistensi, karena segala eksistensi itu terbentuk dan keluar dari dirinya.
Shiva juga digambarkan sebagai dewa penari yang dapat diuji dengan ketiga fungsi yang
disatukan dalam dirinya, yaitu menyatukan, memelihara dan merusak dunia, namun serempak ia
juga melampaui semua polaritas-polaritas itu. Ketika menari dalam lingkaran api, Shiva

menjelmakan energi kreatif primordialnya menjadi eksistensi. Ritme tariannya dan energi
geraknya mentransformasi energi primordial menjadi hidup. Seluruh alam semesta adalah akibat
tarian kekal Shiva yang secara serempak menciptakan dan menghancurkan dunia dalam satu
proses yang tak pernah berakhir.

4. Hubungan Logis
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hubungan logis antara positivisme awal dan
perkembangan teistis dalam Hinduisme.
4.1.

Titik Temu

a. Mencari Kebenaran
Pemikir positivisme awal mencari kebenaran. Tepatnya, mereka mencari pengetahuan yang
benar melalui metode ekperimentasi, observasi dan komparasi. Bahwasannya pengetahuan yang
benar harus jelas, nyata dan bisa diteliti. Di pihak lain, para pemikir Hinduisme juga mencari
kebenaran. Kebenaran itu ditemukan dalam Brahman sebagai realitas tertinggi. Uraian tentang
penjelmaan Brahman dalam rupa dewa-dewi merupakan upaya untuk mendekatkan diri para
pendevosinya dengan sang Kebenaran itu. Jadi, baik postivisme awal maupun pemikir
Hinduisme sama-sama mencari kebenaran menurut cara pandangnya masing-masing.

b. Pemahaman manusia tentang realitas selalu berkembang
Pada abad pertengahan, banyak pemikir yang sibuk merefleksikan hal-hal metafisis atau
yang melampaui bukti-bukti empiris. Kemudian, kaum positivis ‘meruntuhkan’ cara berpikir
metafisis itu dan mengajak orang untuk berpusat pada objek yang bisa diobservasi dan diteliti
secara ilmiah oleh manusia. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman manusia tentang realitas
itu selalu berkembang seiring dengan kemajuan zamannya.
Di pihak lain, dalam uraian tentang perkembangan teistis, tampak bahwa pemikir Hinduisme
berusaha mendekati Brahman dengan aneka gambaran dewa-dewi sebagai penjelmaannya.
Brahman yang sebelumnya tampak jauh dari manusia dipersonifikasikan dalam rupa dewa-dewi
yang sangat dekat dengan manusia. Walaupun Brahman itu tetap tidak terpahami secara tuntas,
5

paling tidak berkat penjelmaannya dalam rupa dewa-dewi, para pendevosinya mengalami
kedekatan dengannya. Inipun merupakan gambaran bahwa cara memahami realitas tertinggi
dalam Hinduisme turut berkembang seiring kemajuan cara berpikir para pendevosinya.
c. Kebenaran tidak pernah tuntas
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang bisa diuji, diteliti dengan metode-metode
ilmu pengetahuan. Inilah yang diperjuangkan oleh positivisme. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan yang benar itu selalu membuka ruangnya untuk diteliti kembali oleh ilmuwan lain.
Dengan kata lain, kebenaran pengetahuan itu tidak pernah tuntas.

Di pihak lain, dalam perkembangan teistis Hinduisme, kebenaran itu juga tidak pernah
tuntas dibahas. Sebab personifikasi dewa-dewi bukanlah Sang Kebenaran itu sendiri. Kehadiran
dewa-dewi hanyalah sarana untuk mendekatkan para pendevosinya dengan Sang Kebenaran
tertinggi yang tidak pernah dipahami secara tuntas.
4.2.

Perbedaan
a. Peranan Subjek Pengetahuan
Dalam positivisme awal, subjek kehilangan peranannya dalam menemukan pengetahuan
yang benar, sebab positivisme sangat menekankan objektivitas. Sedangkan dalam
perkembangan teistis Hinduisme, subjek berperan penting dalam merefleksikan kehadiran
Brahman melalui penjelmaannya dalam rupa dewa-dewi.
b. Objek pengetahuan
Yang menjadi objek pengetahuan dalam positivisme awal adalah fakta positif yang bisa
didekati dengan metode ilmiah (observasi, ekperimentasi dan komparasi). Sedangkan dalam
perkembangan teistis Hinduisme, yang menjadi objek pengetahuan adalah hal-hal metafisis
yakni Brahman yang menjelma dalam rupa dewa-dewi.
c. Tujuan pencarian kebenaran
Dalam positivisme awal, tujuan pencarian kebenaran adalah mencapai ‘kepuasan’
intelektual. Sedangkan dalam perkembangan teistis Hinduisme, tujuan pencarian kebenaran

adalah menggapai ‘kepenuhan’ spiritual. Ketika dekat dengan realitas tertinggi, mereka
merasa dilindungi sehingga menciptakan rasa aman dan damai dalam hidupnya.

5. Relevansi
Penulis memilih dua hal penting yang perlu diulas tentang relevansi pemikiran positivisme
awal dan perkembangan teistis dalam Hinduisme bagi pewartaan iman Katolik zaman ini.
a. Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati (Yakobus 2:17)
Dalam uraian tentang perkembangan teistis Hinduisme ditekankan kehadiran realitas
tertinggi yang sangat mencintai manusia. Visnu adalah personifikasi cinta dan keindahan. Krisna
adalah perwujudannya yang paling utama. Melalui Krisna, para pendevosinya sungguh-sungguh
6

mengalami kebaikan, cinta dan keindahan sang realitas tertinggi. Dalam agama Katolik, hal ini
bisa dikatakan sebagai refleksi teologis. Sebuah refleksi tentang cinta Allah yang tak berhingga
kepada umatnya. Akan tetapi, refleksi ini perlu dikonkretkan dengan tindakan-tindakan kasih
sehari-hari. Tindakan kasih yang nyata inilah yang menjadi sumbangan positivisme awal bagi
pewartaan iman kristiani. Bahwasannya, cinta Tuhan yang dialami hendaknya dibagikan kepada
orang lain. Misalnya, ketika ada orang yang kelaparan hendaknya dibantu, atau ketika ada warga
yang mengalami bencana alam hendaknya diberikan sumbangan. Yang pasti bukan hanya
melalui kata-kata peneguhan, tetapi terutama melalui bantuan nyata (misalnya uang, pakaian,
makanan). Inilah ungkapan iman kepada Allah sang Cinta! Iman ini hendaknya dibuktikan
dalam perbuatan kasih. Tindakan ini sejalan dengan ungkapan terkenal dari Surat Yakobus: Jika
iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati (Yak 2:17).
b. Pastoral berbasis data
Dalam Gereja Katolik sering didiskusikan tentang pastoral berbasis data. Apa
maksudnya? Maksudnya adalah karya pastoral Gereja hendaknya memperhatikan data-data
konkret yang berkaitan dengan kehidupan umat beriman. 2 Jadi, karya pastoral Gereja bukan
tindakan spekulatif, tetapi berdasarkan fakta positif. Untuk mendapat data-data tersebut, petugas
pastoral membutuhkan ilmu lain, misalnya Sosiologi dan Antropologi. Ketika data diperoleh,
petugas pastoral bisa melakukan karya yang menyentuh kebutuhan umat. Hampir pasti bahwa
karya pastoral yang demikian akan membawa perubahan hidup bagi umat yang dilayani. Dengan
kata lain, umat akan semakin beriman kepada Tuhan karena karya pelayanan yang menyentuh
persoalan hidup mereka; bahkan ‘mengeluarkan’ mereka dari persoalan hidup tertentu.
Penghargaan terhadap data-data inilah yang diperjuangkan oleh positivisme awal. Dan hal
demikian merupakan sumbangan untuk karya pastoral Gereja. Singkatnya, refleksi tentang
Tuhan yang Mahatinggi (sebagaimana juga dilakukan oleh pemikir Hinduisme) akan bermanfaat
bagi umat beriman apabila pelayan pastoral melakukan karya-karya konkret (fakta positif,
sebagaimana diperjuangkan oleh Positivisme awal) yang memenuhi kebutuhan umat.
6. Penutup
Penulis telah berusaha menjelaskan tentang positivisme awal dan perkembangan teistis
dalam Hinduisme. Selain itu, penulis juga telah berusaha menemukan hubungan logis antara
keduanya. Pemikiran positivisme awal dan perkembangan teistis dalam Hinduisme ternyata juga
memiliki relevansinya untuk pewartaan iman kristiani. Akhirnya, penulis menemukan bahwa
dua aliran pemikiran yang berbeda ternyata masih memiliki hubungan logis dan relevansinya,
asalkan dianalisis dengan baik dalam sudut pandang filsafat. Inilah yang luar biasa dari filsafat!

2

Ignatius Haryanto, Pastoral Berbasis Data, dalam http://www.hidupkatolik.com/2012/01/30/ignatius-haryantopastoral-berbasis-data, diakses 10 Desember 2013.

7

Daftar Pustaka

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2009.
Koller, John M., Filsafat Asia (terj. Donatus Sermada), Maumere: Ledalero, 2010.
Sermada, Donatus, Pengantar Ilmu Perbandingan Agama, Malang: Pusat Publikasi Filsafat
Teologi Widya Sasana, 2011.

Ignatius Haryanto, Pastoral Berbasis Data, dalam
http://www.hidupkatolik.com/2012/01/30/ignatius-haryanto-pastoral-berbasis-data, diakses 10
Desember 2013.

8

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

The correlation intelligence quatient (IQ) and studenst achievement in learning english : a correlational study on tenth grade of man 19 jakarta

0 57 61

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22