SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN CILACAP LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM) IAIN PURWOKERTO Kerjasama Dengan

  Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Tentang Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

SEKRETARIAT DPRD

KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

  (LPPM) IAIN PURWOKERTO Kerjasama

Dengan

  AFTAR ISI D

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

  1 B. Identifikasi Masalah

  8 C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik

  8 D. Metode Analisis Naskah Akademik

  9 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS

  A. Kajian Teoritis

  11 B. Kajian Empiris

  54 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT

  57 BAB IV KAJIAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

  A. Kajian Filosofis

  87 B. Kajian Sosiologis

  89 C. Kajian Yuridis

  92 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

  

A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase

  99 B. Muatan Materi Peraturan Daerah 102

BAB VI PENUTUP

  105 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TENTANG PERLINDUNGAN ANAK PENYANDANG DISABILITAS DAN ANAK TERLANTAR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia meru-

  pakan salah satu amanat konstitusi negara Republik Indone- sia. Upaya perubahan yang telah dilakukan dalam bidang hu- kum adalah dengan memasukan jaminan HAM bagi warga ne- gara dalam konstitusi, yaitu Undang Undang Dasar Negara Re- publik Indonesia 1945 (UUD RI 1945). Dalam amandemen ke- dua UUD RI 1945 dimasukan ketentuan mengenai HAM, yang dicantumkan dalam Bab tambahan, yaitu Bab XA. Penambah- an jaminan HAM dalam konstitusi merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia dengan serius ingin mendorong penghormat- an, perlindungan, dan pemenuhan HAM oleh negara bagi war- ga negaranya. Upaya tersebut juga sebagai satu langkah nyata dalam membentuk Indonesia sebagai negara hukum yang

  1 demokratis.

  Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM ter- hadap warga negara dijamin dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia. Ruang lingkup warga negara dalam hal ini luas, mencakup siapapun tanpa terke- cuali sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UUD RI 1945, termasuk di dalamnya penyandang disabilitas. Penegas- an mengenai lingkup itu sangat penting, karena HAM bagi pe- nyandang disabilitas masih kerap diabaikan, bahkan dilang- gar. Pelanggaran terjadi karena penyandang disabilitas tidak dianggap sebagai bagian dari warga negara, bahkan juga tidak

  2 dianggap manusia.

  Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Repu- blik Indonesia Tahun 1945 tercantum tujuan negara yang sa- lah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka Negara terutama pemerintah memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memenuhi Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut. Dimana kewajiban dan tanggungjawab juga tercantum secara eksplisit dalam Pasal 28 I ayat (4) 1 bahwa “perlindungan, pemajuan. penegakan

  Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstiusi, 2008), hlm. 9 2 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dan Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2008), hlm. 1 dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara terutama pemerint ah”. Berdasarkan pembukaan dan

  pasal 28 I ayat (4) UUD RI Tahun 1945 tersebut, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk memenuhi hak asasi manusia. Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan marta- bat manusia. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang seca- ra kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal, perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan terutama terhadap kelompok rentan, khususnya anak penyandang disabilitas dan anak terlantar.

  Secara resmi istilah Penyandang Disabilitas digunakan dalam dokumen kenegaraan sebagai pengganti istilah penyan- dang cacat, dengan diundangkannya undang-undang penge- sahan International Convention on the Rights of Persons with

  Disabilities (CRPD) atau Konvensi Mengenai Hak-hak

  Penyandang Disabilitas yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Penyandang disabilitas dipilih sebagai terjemahan istilah persons with disabilities yang sebelumnya diterjemah- kan penyandang cacat.

  Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau

  Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) la-

  hir setelah puluhan tahun PBB bekerja untuk mengubah sikap dan pendekatan terhadap penyandang disabilitas. CRPD meru- pakan wujud puncak perubahan paradigma gerakan disabilitas dari cara pandang lama yang melihat para penyandang disabi- litas sebagai "obyek" amal, pengobatan dan perlindungan sosial (charity atau social-based) berubah menjadi human rights- based.

  Dengan paradigma baru penyandang disabilitas diposisi- kan sebagai "subyek" yang memiliki hak, yang mampu meng- klaim hak-haknya, dan mampu membuat keputusan untuk kehidupan mereka secara merdeka berdasarkan kesadaran

  3 sendiri serta menjadi anggota masyarakat secara aktif.

  Penyandang disabilitas juga banyak mengalami hambat- an, dalam mobilitas fisik maupun dalam mengakses informasi, 3 Supriyadi Widodo Eddyono & Ajeng Gandini Kamilah, Aspek - Aspek Criminal

Justice Bagi Penyandang Disabilitas , (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hlm.

  2. yang selanjutnya akan menghambat untuk terlibat dan berpar- tisipasi dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Peng- guna kursi roda sangat sulit untuk beraktivitas di luar rumah karena lingkungan mereka sangat tidak aksesibel. Demikian pula penyandang tuna netra tidak banyak bisa mengakses ber- bagai informasi, pengetahuan yang berkembang sangat cepat.

  Landasan kesetaraan bagi penyandang disabilitas terle- tak pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Kondisi “disabilitas,” merupakan ham- batan yang dialami oleh seseorang dalam menjalankan akti- vitas disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak mudah diakses (accessible). Dengan cara pandang ini, solusi permasa- lahannya ada pada intervensi negara terhadap lingkungan tempat beraktivitas, sehingga penyandang disabilitas lebih

  accessible dan comfortable.

  Penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak pe- nyandang Disabilitas merupakan kewajiban negara. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak Penyandang Disabi- litas. Penyandang Disabilitas selama ini mengalami banyak diskriminasi yang berakibat belum terpenuhinya pelaksanaan hak penyandang disabilitas.

  Menurut data World Health Organization (WHO), jumlah penyandang cacat di negara-negara berkembang mencapai 10% (sepeluh per seratus) dari total penduduk keseluruhan. Pada tahun 2009 Badan Pusat Statistik menerbitkan statisik disabilitas dalam SUSENAS 2009. Yang menggunakan katego- risasi kecacatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (se- lanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997). Statistik tersebut menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat di pedesaan berjumlah 1.198.185 jiwa, sementara di per- kotaan berjumlah 928.600 jiwa, sehingga jumlah totalnya se- banyak 2.126.785 jiwa.

  Menurut data Sussenas tahun 2003, di Indonesia ter- dapat 679.048 anak usia sekolah berkebutuhan khusus atau 21,42 % dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus. Sedangkan menurut sussenas pada tahun 2009, persentase jumlah anak penyandang disabilitas semakin meningkat yaitu Tuna Netra 10,71 %, Tuna Rungu 5,15 %. Tuna Wicara 6,09 %, Tuna Rungu Wicara 13,73 %, Tuna Daksa 31,71 %, Tuna Grahita 22,07 %, Tuna Ganda 8,25 %, dan Gangguan Jiwa 2,29 %. Anak dengan disabilitas mempunyai berbagai macam

  4 jenis hambatan.

  Mengacu pada banyaknya jumlah penyandang disbilitas, semestinya memang tidak terjadi pembedaan perlakuan peme- nuhan hak antara orang yang normal dengan penyandang disabilitas. Dalam segala hal yang berurusan dengan aktivitas fisik, para penyandang disabilitas mengakui dan menyadari, bahwa mereka memang “beda”, bukan dalam arti kemampuan, namun lebih pada mode of production atau dalam cara-cara berproduksi. Seringkali cara pandang masyarakat dalam me- lihat hasil kerja kaum penyandang disabilitas mengacu kepada pendekatan kuantitas. Hal ini tentu akan menjadi bias dan mempertegas perbedaan tersebut sehingga perlu dikasihani. Dari segi kualitas, terasa sulit untuk melakukan penilaian atas hasil karya penyandang disabilitas dengan orang umum lain- nya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa secara praktis banyak karya mengagumkan yang dihasilkan para pe- nyandang disabilitas.

  Anak-anak penyandang disabilitas menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan itu mempengaruhi mereka dalam ber- bagai tingkatan tergantung dari jenis disabilitas yang mereka alami, di mana mereka tinggal dan budaya serta kelas sosial mereka. Gender juga merupakan sebuah faktor penting. Anak- anak perempuan penyandang disabilitas juga kecil kemungkin- an untuk mendapatkan pendidikan, mendapatkan pelatihan kerja atau mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan anak laki-laki dengan disabilitas atau anak perempuan tanpa dis- abilitas. Anak-anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini menyebabkan mereka menjadi lebih rentan.

  Diskriminasi karena disabilitas berujung pada margina- lisasi dari sumber daya dan pembuatan keputusan, dan bah- kan pada kematian anak. Pengucilan seringkali muncul dari invisibilitas. Tidak banyak negara yang memiliki informasi yang bisa diandalkan tentang berapa banyak warganya yang merupakan anak-anak penyandang disabilitas, disabilitas ma-

4 Gabriela Chrisnita Vani, d

  kk, “Pengasuhan (Good Parenting) Bagi Anak dengan

Disabilitas”, jurnal.unpad.ac.id/share/article/download/13067/5956. Diakses tanggal 28 September 2017. cam apa yang mereka alami atau bagaimana disabilitas ini

  5 mempengaruhi kehidupan mereka.

  Disabilitas merupakan isu multisektor, tidak hanya teri- kat pada sektor sosial saja. Isu disabilitas juga berkaitan de- ngan sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, transporta- si, komunikasi, dan sektor lainnya. Hal itu menyebabkan peru- bahan yang akan dilakukan ke depan haruslah saling beriring- an dan harmonis, antara satu kebijakan dengan kebijakan la- innya.

  Saat ini isu disabilitas dilekatkan hanya pada sektor so- sial, sehingga leading sector Pemerintah untuk isu disabilitas adalah Kementerian Sosial. Paradigma itu harus segera diko- reksi dengan melekatkan isu disabilitas pada beragam sektor yang terkait. Kondisi saat ini, ada beragam kebijakan yang ber- kaitan dengan isu disabilitas, tetapi keberadaan kebijakan itu masih saling terpisah, bahkan tidak harmonis satu dengan yang lainnya.

  Dalam upaya memenuhi hak tersebut di atas, maka pe- merintah harus melakukan tindak pemerintahan, baik berupa tindakan nyata dan tindakan hukum seperti membentuk per- aturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya. Berdasar- kan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan bahwa setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan pada wewenang, dimana we- wenang wajib didasarkan pada peraturan peraturan perun- dang-undangan. Hal ini sesuai dengan asas penyelenggaraan pemerintahan bahwa Indonesia adalah Negara hukum, dimana dalam prinsip negara hukum mensyaratkan penyelenggaraan pemerintahan harus dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersandarkan pada peraturan perundang-un- dangan.

  Tahun 2011 merupakan tonggak yang memberikan arti penting penyandang disabilitas di Indonesia setelah tiga tahun lebih, semenjak 30 Maret 2007 lalu Indonesia menandatangani Konvensi tentang Hak Penyandang disabilitas (UN Convention

  on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD), akhirnya pada

  18 Oktober 2011 Indonesia telah meratifikasi CRPD tersebut, dan berikutnya pada tanggal 10 November 2011 terbit Undang- Undang tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Pe- nyandang Disabilitas (Undang-Undang Pengesahan CRPD) No. 19 tahun 2011. 5 Unicef, “Anak Penyandang Disabilitas”,

  Diakses tanggal 29 September 2017.

  Istilah penyandang disabilitas secara resmi digunakan di Indonesia semenjak diratifikasinya konvensi PBB tentang hak penyandang disabilitas atau

  “the UN convention on the rights of

persons with disabilities” pada November 2011 lalu melalui

  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Perubah- an paradigma tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam merekonstruksi pemahaman serta memiliki konotasi yang lebih positif dari pemahaman yang awalnya cenderung bersifat charity (belas kasihan) menjadi semangat kesetaraan hak.

  Penyandang disabilitas sendiri merupakan kelompok rentan yang seringkali mengalami kondisi demikian dimana sebagian besar keluarga penyandang disabilitas berada di bawah garis kemiskinan. Menurut Harper (2009), bahwa seki- tar 20% orang-orang termiskin di dunia adalah penyandang disabilitas. Sebesar 98% anak-anak penyandang disabilitas di negara sedang berkembang tidak bersekolah, 30% anak-anak jalanan di dunia adalah penyandang disabilitas, dan tingkat melek huruf penyandang disabilitas dewasa hanya 3%. Dalam konteks Indonesia, Survei Departemen Sosial di 24 Provinsi menyebutkan bahwa tingkat pendidikan kaum disabilitas pada umumnya tidak sekolah atau tidak tamat SD sekitar 60%, dan hampir mayoritas 89% dari mereka tidak memiliki keterampil- an yang dibutuhkan di dunia kerja.

  Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia. Mengingat pembentukan Negara dalam sistem demokrasi dan Negara hukum merupakan kehendak rakyat se- cara kolektif, maka pemerintah bersama semua elemen penye- lenggara Negara lainnya yang dilekati kewajiban untuk bertin- dak atau mengambil kebijakan sesuai batas kewenangan da- lam menjalankan tugas dan fungsi Negara, semua itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholder Negara.

  Salah satu tanggungjawab yang harus dilakukan oleh penyelenggara Negara kepada rakyat atau warga negaranya adalah penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal tersebut diamanatkan sendiri oleh UUD 1945 khususnya pada pasal 28 (i) ayat 4 hasil amandemen ke-

  2 yaitu: “Perlin- dungan, Negara, terutama pemerintah.” Salah satu hak dasar bagi anak penyandang disabilitas adalah hak memperoleh pendidikan secara layak. Dalam

  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pen- didikan Nasional Bab IV bagian kesatu mengenai Hak dan Ke- wajiban Warga Negara Pasal 5 menyebutkan bahwa: (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki ke- lainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial

  6 berhak memperoleh pendidikan khusus.

  Penyandang disabilitas banyak menghadapi hambatan, pembatasan dalam banyak bentuk sehingga sulit mengakses pendidikan yang memadai serta pekerjaan yang layak. Mereka sulit mendapatkan pekerjaan sebagai sumber mata pencaha- rian, sehingga banyak kebutuhan hidupnya belum tercukupi, bahkan harus bergantung pada orang lain. Terbatasnya pendi- dikan, keterampilan dan keahlian yang dimiliki penyandang Disabilitas pada akhirnya dijadikan alasan oleh banyak lembaga dan dunia usaha untuk menolak mereka ketika akan mencari kerja. Kemampuan dan prestasi mereka diragukan. Akibat lebih lanjut adalah tingginya angka penyandang Disabilitas yang tidak bisa mengakses lapangan kerja dan tidak memiliki penghasilan yang dapat dijadikan sumber bagi kemandirian dan kehidupannya. Disinilah terjalin pertautan yang sangat kuat antara disabilitas dan kemiskinan.

  Penyandang disabilitas sering mengalami pengorbanan ganda (double victimization), di satu sisi telah menjadi korban kejahatan dan disisi lain menjadi korban atas stigma negatif serta ketertutupan akses keadilan akibat pemaknaan dan penafsiran sempit tersebut. Salah satu contoh dalam praktik penegakan hukum, terdapat dua kontroversi penting yang harus diselesaikan. Pertama, kontroversi tersebut berkaitan dengan kasus dimana penyandang disabilitas sebagai korban perbuatan pidana dan penyandang disabilitas sebagai pelaku perbuatan pidana. Beberapa kasus mengafirmasi bahwa ketika penyandang disabilitas menjadi korban perbuatan pidana, maka aparat penegak hukum terkesan “malas” dan kesulitan untuk merekonstruksi hukum untuk mengadili pelaku. Dengan alasan korban tidak dapat memberikan kesaksian yang memadai, maka proses peradilan perbuatan pidana tersebut tidak diteruskan. Pada kasus ini, aparat penegak hukum lupa bahwa korban, siapapun dia, seperti apapun kondisi fisik dan mentalnya, mereka adalah manusia yang memiliki hak atas perlindungan dari ancaman dan praktik perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain. Di sinilah letak kewajiban Negara untuk melindungi hak asasi manusia warga negaranya, siapapun dia. 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

  Kondisi kesulitan akses dan minimnya perlindungan atas hak-hak penyandang disabilitas dan anak terlantar terjadi pula di Kabupaten Cilacap. Kondisi inilah yang menjadi alasan utama mengapa harus disusun Peraturan Daerah yang dapat dijadikan dasar hukum untuk meningkatkan kualitas hidup dan menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyan- dang disabilitas di Kabupaten Cilacap.

B. Identifikasi Masalah

  Berdasakan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, beberapa masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  1. Kurang maksimalnya pelayanan Pemerintah Daerah terha- dap perlindungan anak penyandang disabilitas dan anak terlantar dalam memperoleh pelayanan hak-hak dasar seba- gai warga Negara dalam berbagai bidang kehidupan

  2. Banyaknya anak penyandang disabilitas dan anak terlantar tidak sebanding dengan penyediaan infrastruktur yang men- dukung terpenuhinya hak dasar mereka sehingga terkesan masih ada “diskriminasi” sosial yang menempatkan mereka rentan untuk diperlakukan tidak adil dan manusiawi dari masyarakat dan pemerintah daerah.

  3. Masih adanya anggapan sosial terhadap anak penyandang disabilitas dan anak terlantar sebagai kelompok masyarakat yang bermasalah. Pandangan yang salah ini menempatkan mereka pada posisi subordinatif dan termarjinalkan secara sosial dan tentu sangat menghambat perkembangan fisik dan psikhis mereka untuk berkembang sebagai anak yang sehat dan normal.

4. Belum adanya regulasi yang menjadi payung hukum bagi

  Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap Untuk memberikan fasilitasi yang menjamin terpenuhinya hak

  • –hak dasar mere- ka sebagai manusia yang memiliki hak asasi manusia yang sama. Dengan adanya Peraturan daerah ini koordinasi dan fasilitasi program menjadi sinergis dan terintegrasi antar sektor dalam organisasi perangkat daerah.

C. Tujuan dan manfaat

  Adapun tujuan yang hendak dicapai dari Naskah Akade- mik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang perlindungan anak penyandang disabilitas dan anak terlantar adalah untuk melakukan penelitian atau pengkajian terkait dengan kewajiban Pemerintah Daerah dalam melakukan pro- gram perlindungan anak penyandang disabilitas dan anak terlantar. Oleh karena itu, tujuan pokok dari penyusunan Nas- kah akademik peraturan daerah ini adalah sebagai berikut:

  1. Terselenggaranya peningkatan akses dan mutu pelayanan pemenuhan hak-hak dasar anak penyandang disabilitas dan anak terlantar sehingga mereka tumbuh kembang se- bagai anak normal pada umumnya.

  2. Tersedianya infrastruktur yang memadahi bagi anak pe- nyandang disabilitas dan anak terlantar dalam memperoleh hak-hak dasar mereka dalam segala bidang kehidupan mereka.

  3. Menjamin terpenuhinya hak penyandang disabilitas dan anak terlantar melalui kemudahan dan perlakuan khusus agar tercipta kemandirian, kesejahteraan, dan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan

  4. Terbangunnya peningkatan kesadaran dan partisispasi ma- syarakat dalam memberikan perhatian dan perlakuan seca- ra adil dan bermartabat sebagai warga Negara kepada anak penyandang disabilitas dan anak terlantar.

  5. Terbentuknya sinergi dan kerjasama antar seluruh pe- mangku kepentingan (stakeholders), organisasi profesi, akademisi, swasta dan masyarakat dalam memberikan layanan untuk menjamin terpenuhinya hak penyandang disabilitas dan anak terlantar.

  Adapun tujuan pokok dari dibuatnya Peraturan daerah ini adalah sebagai landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam upaya perlindungan hak anak penyandang disabilitas dan anak terlantar untuk terciptanya kemandirian dalam hi- dup sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang seutuhnya.

D. Metode Analisis Naskah Akademik

  Metode analisis yang digunakan dalam naskah akademik ini adalah metode sosiolegal. Artinya, kaidah-kaidah hukum, baik yang berupa perundang-undangan, maupun berbagai tra- disi lokal, dijadikan sebagai bahan rumusan pasal-pasal yang dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas dan Anak Terlan- tar.

  Metode ini didasari oleh sebuah teori bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tidak hanya berlandaskan pada kaidah-kaidah teoritis, akan tetapi juga berlandaskan pada kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu tata nilai sosial (local wisdom) yang diyakini dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.

  Secara sistematis, penyusunan naskah akademis ini me- liputi tahapan-tahapan :

  1. Identifikasi permasalahan terkait perlindungan anak pe- nyandang disabilitas dan anak terlantar di Kabupaten Cilacap.

  2. Inventarisasi bahan hukum yang terkait.

  3. Sistematisasi bahan hokum.

  4. Analisis bahan hukum, dan 5. Perancangan dan penulisan.

  •  --

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK A. Kajian Teoritis

1. Perlindungan Anak; Perspektif Filosofis Dan Sosiologis

  Gagasan bahwa usia anak-anak perlu diwarnai dengan suasana yang ceria, bersekolah dan aneka ragam kegiatan bermain bukan merupakan hal baru dalam dunia peradaban umat manusia. Dalam dunia anak-anak harus ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengetahuan. Pengetahuan dengan segala kemajuan peradabannya merupakan suatu faktor esensial akan keberlangsungan kehidupan di masa depan. Namun bersamaan itu pula, umat manusia perlu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan yang ruang lingkupnya primer, seperti pemenuhan sandang, papan dan pangan, maupun kebutuhan sekunder, seperti kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya sebagai pelengkap.

  Sekitar abad ke 18, kehidupan anak mulai dirambah oleh masuknya gerakan industrialisasi dan urbanisasi di daratan Eropa dimana kedudukan anak yang mula-mula selalu bersandingan dengan dunia penuh keceriaan, kegembiraan dan beraneka ragam hiburan dan permainan berubah secara fundamental. Pada saat itu, hubungan antara dunia industri dengan dunia anak-anak sangat tipis sehingga pengaruh industrialisasi dirasakan pula oleh dunia anak-anak. Termasuk diantaranya adalah bertambah besarnya tenaga kerja anak-anak yang digunakan dalam sektor tersebut. Setiap industri membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit sehingga usia-usia yang dikategorikan masih anak-anak tidak lepas dari bidikannya.

  Karena itu, masyarakat memberikan proteksi yang bertujuan melindungi anak-anak dari berbagai akses negatif atas kehadiran industri-industri yang umumnya sangat

  7 berbahaya.

  Sementara itu, perlindungan terhadap anak-anak dari berbagai ancaman tindak kekerasan masih dirasakan kurang maksimal dan bahkan sepertinya tidak memihak kepada hak-hak dasar yang melekat pada anak itu sendiri. Kekerasan masih terjadi dimana-mana tanpa suatu 7 penanganan yang betul-betul dapat menjerakan si pelaku

  Mengenai implikasi industrialisasi ini, lihat makalah Kuntowijoyo,

“Paruh Industrialisasi Indonesia Yang Manusiawi”, Makalah Seminar di Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, Yogjakarta, 4 Desember 1990. tindak kekerasan tersebut. Memang organisasi PBB telah membuat konvensi tentang hak-hak anak pada tanggal 20 Novermber 1989 yang bertujuan untuk menetapkan standar umum bagi hak-hak yang diperoleh anak di seluruh dunia. Konvensi ini juga dilahirkan untuk tujuan melindungi anak- anak dari segala bentuk tindakan penyia-nyiaan, eksploitasi dan penyalahgunaan. Dengan demikian konvensi tersebut merupakan alat normatif yang diakui oleh masyarakat Internasional untuk menjaga dan melindungi anak-anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara layak sesuai dengan potensi dasar yang dimilikinya sejak lahir di muka bumi.

  Perlindungan anak yang masih didasarkan atas tradisi atau adat-kebiasaan memang dimiliki oleh setiap komunitas masyarakat. Setiap masyarakat mempunyai norma-norma sosial yang cukup dihormati keberlakuannya. Dengan berbagai macam tradisi sosial itu, suatu masyarakat dapat melindungi berbagai macam kepentingan dan kebutuhan anggotanya, termasuk bagaimana melindungi anak-anak agar tetap tumbuh dewasa tanpa perlakuan kekerasan. Tradisi sosial yang di dalamnya menyimpan sanksi-sanksi sosial itu bertujuan melindungi hak-hak anak sampai menginjak usia dewasa. Umumnya, norma-norma itu berlaku secara alamiah yang menyimpan berbagai macam

  8 bentuk sanksi-sanksi yang dikenal oleh masyarakat.

  Namun dengan konvensi tersebut mulai muncul kesamaan pandangan dan langkah-langkah hukum dalam melindungi anak dari berbagai tindakan kekerasan. Dengan demikian, tradisi-tradisi yang telah menjadi suatu

  9

  kebiasaan (customary law) masyarakat selama itu tidak bertentangan dengan norma-norma umum, justru makin mendapatkan pengukuhan dengan adanya konvensi tersebut.

  Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) berlaku umum dan sampai saat sekarang telah diratifikasi tidak kurang dari 187 negara-negara di dunia. Konvensi ini merupakan perjanjian Internasional dan paling banyak diratifikasi daripada pernjanjian-perjanjian Internasional lainnya. Negara Republik Indonesia sendiri berkepentingan terhadap perlindungan anak-anak dari berbagai tindak kekerasan, 8 sehingga melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun

  Pengertian sanksi-sanksi Sosial, lihat lebih lanjut Lili Rasjidi, Filsafat Hukum: Apakah Hukum Itu?, (Bandung: Remadja Karya, 1985), hlm. 3-8. 9 Bandingkan dengan istilah Adat-Recht, lihat, Imam Sudiyat, Asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, (Yogjakarta: Liberty, 1982), hlm. 1-34.

  1990, tanggal 25 Agustus 1990, secara resmi melakukan ratifikasi terhadap KHA tersebut.

  Selang satu dekade lebih sejak diratifikasinya KHA tersebut, pada tahun 2002, pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, yang dituangkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002.

  Secara umum garis besar substansi KHA tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: pertama, hak-hak kelangsungan hidup yang mencakup hak hidup dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai; kedua, hak-hak tumbuh kembang yang mencakup semua jenis pendidikan, baik formal maupun non formal dan hak menikmati standar kehidupan yang layak bagi tumbuh kembang fisik, mental, spiritual, moral dan sosial; ketiga, hak-hak perlindungan yang mencakup perlindungan terhadap diskriminasi, penyalahgunaan dan pelalaian, perlindungan bagi anak-anak tanpa keluarga dan perlindungan bagi anak-anak pengungsi; keempat, hak-hak partisipasi yang meliputi hak-hak untuk menyampaikan pendapat atau pandangan dalam semua hal yang

  10 menyangkut nasib anak.

  Secara politis harus diakui bahwa Indonesia bersungguh-sungguh melakukan upaya perlindungan, yang ditandai dengan keputusan melakukan ratifikasi KHA dan menindaklanjutinya dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Namun perlindungan itu tidak semata-mata dapat dilakukan secara efektif atas terbitnya peraturan-peraturan tersebut, melainkan juga memperhatikan kendala-kendala yang selama ini menjadi ganjalan dalam mengefektifkan kerja untuk kepentingan perlindungan anak.

  Adapun kendala utama dalam pelaksanaan KHA dan peraturan-peraturan lainnya di Indonesia adalah belum adanya sosialisasi yang menyeluruh atas substansi KHA tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Akibatnya, masih banyak elemen masyarakat yang belum begitu mengerti dan mengetahui hak-haknya, demikian pula dengan hak-hak anak. Sementara itu, pihak pemerintah sendiri kurang atau tidak menyadari atas 10 implikasi lebih lanjut dari tidak meratanya sosialisasi

  Sinung D. Kristanto, “Konvensi Hukum Anak-Anak (KHA): Isi Dan

Kendala Pelaksanaannya di Indonesia”, dalam Bagong Suyanto dan Sri Sanituti

Hariadi (ed.), Pekerja Anak, Masalah, Kebijakan Dan Penanganannya,

(Surabaya: Penerbit Lutfansah, 2000), hlm. 106.

  11

  tentang KHA dan Undang-undang itu di masyarakat. Di sisi lain, KHA dan peraturan lainnya belum terintergrasi pada semua aspek pelayanan yang tersedia bagi kebutuhan perlindungan anak-anak.

  Pengintegrasian merupakan faktor penting dalam rangka pemenuhan tanggungjawab negara untuk meningkatkan kualitas perlindungan hak-hak anak. Lemahnya lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya dalam melakukan perlindungan anak-anak sangat dirasakan betul oleh semua pihak sehingga setiap terjadi tindak kekerasan hak-hak anak tidak cepat tertangani secara memuaskan, dengan berbagai alasan, baik segi administrarif maupun aspek kompetensinya. Sementara itu, hubungan antara lembaga pemerintah dengan lembaga non pemerintah (LSM) belum berfungsi secara optimal, baik segi koordinatif maupun segi konsolidatif dan advokatif. Padahal lembaga-lembaga tersebut mempunyai kekuatan sosial yang jika dioptimalkan hubungan diantara keduanya sangat berguna/efektif bagi perlindungan anak-anak.

  Kendala selanjutnya dari perlindungan hak-hak anak adalah berkaitan dengan sektor lainya, seperti tingkat kemiskinan dan pengangguran yang makin membengkak, baik di sektor perkotaan maupun di sektor perdesaan. Sementara itu, tingkat dan jenjang pendidikan yang relatif rendah disertai dengan kurangnya kesadaran orang tua terhadap pemahaman jender dan hak-hak anak, menjadikan mereka buta terhadap perlindungan anak. Nilai-nilai sosial yang kurang mendukung pemberian perlindungan hak-hak anak, seperti perkawinan di bawah umur atau anak-anak yang putus sekolah (drop out) dan dipekerjakan pada sektor-sektor yang berbahaya, dan lain sebagainya.

  Ada banyak bukti yang memperlihatkan bahwa anak rawan adalah anak yang sejak usia dini telah dibebani oleh kewajiban-kewajiban orang tua dan keluarganya atau pekerjaan yang tidak pantas untuk dikerjakan oleh anak- anak, namun hal itu selalu dipaksakan dengan berbagai macam alasan.

  Posisi anak-anak yang demikian rawan dengan kasus putus sekolah lebih banyak karena faktor ekonomi, meski 11 tidak harus dikatakan bahwa putus sekolah selalu

  Ibid., hlm. 110-111; lihat jug a Muhammad Farid, “Konvensi Hak Anak:

Isi dan Masalah Implementasinya”, dalam Bagong Suyanto dan Sri Sanituti

Hariadi (ed.), Pekerja Anak di Sektor Berbahaya, (Surabaya: Lutfansah, 2000), hlm. 157-166. dikaitkan dengan keluarga miskin. Akan tetapi bagi anak yang putus sekolah dari anak-anak kelurga miskin akan kesulitan untuk masuk kembali ke sekolah tersebut atau enggan kembali bersekolah, dan terbukti memang dari lingkungan keluarga miskin itulah diketemukan banyak anak-anak yang putus sekolah. Dengan demikian anak- anak yang putus sekolah lebih didasarkan atas masalah- masalah ekonomi keluarga.

  Meski demikian, terdapat penyebab lainnya yang terkait dengan kasus putus sekolah, yaitu kondisi yang tidak nyaman bagi anak-anak keluarga miskin di sekolah- sekolah yang didominasi oleh keluarga berpenghasilan tinggi, tingkat kualitas pengajaran yang tidak memenuhi syarat dan kurikulum yang kurang relevan dengan kondisi

  12 lingkungan yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak-anak.

  Selain itu, faktor-faktor yang sering mencuat kepermukaan adalah tidak adanya alternatif lain yang menjadi sarana dalam mendidik anak-anak dari keluarga miskin. Sebab dalam kenyataanya, anak-anak dari keluarga yang demikian mengalami kesulitan sosial dalam bergaul dengan sesama temannya yang berasal dari keluarga berpenghasilan tinggi. Ada kalanya faktor yang dianggap sepele seperti tidak adanya hubungan pergaulan yang sepadan antara anak-anak dari keluarga yang tingkat ekonominya berbeda, akhirnya berujung dengan putus sekolah.

  Bagi anak-anak yang putus sekolah dari keluarga miskin, biasanya semua pihak tidak ambil peduli lebih dalam akan hal itu. Kasus seperti itu merupakan gejala yang terbiasa terjadi di desa-desa yang tergolong miskin. Penduduk desa telah menganggap bahwa anak-anak yang putus sekolah tidak memiliki dana untuk melanjutkan biaya sekolah yang dianggap terlalu tinggi dipikul oleh keluarga orang-orang miskin. Lingkungan sosial akan selalu memakluminya dan menerima kehadiran anak-anak putus sekolah, tanpa mempertanyakan faktornya, tapi justru menganggap bahwa hal itu sudah menjadi kebiasaan yang sering terjadi di keluarga miskin.

  Tentu sangat ironis sekali karena hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar kita, pasal 31 UUD 1945, ayat 1 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak 12 mendapat pengajaran dan ayat 2 menyatakan bahwa

  ST. Vembriarto, Kapita Selekta Pendidikan, Jilid Pertama, (Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, 1984), hlm. 35-39. pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang- undang.

  Menangani anak-anak miskin yang putus sekolah memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah meski tidak harus diartikan suatu kesulitan yang terus menerus ditunda-tunda penanganannya. Bagi institusi sebesar negara, menyelesaikan persoalan putus sekolah merupakan hal yang kecil karena selain memiliki alokasi dana yang besar juga hal itu merupakan suatu kewajiban. Namun yang lebih penting dari itu adalah kelangsungan proses pendidikan terhadap anak-anak merupakan hak dasar yang harus mendapatkan prioritas dari pihak pemerintah. Sebab selama ini tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap tumbuhnya kesadaran akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam tata pergaulan masyarakat.

  Selain itu, produktifitas baik di dunia industri maupun di dunia agraris dapat ditingkatkan berkat tingkat pendidikan anggota masyarakat yang lebih berkualitas dengan tingkat profesional dan skill yang lebih baik. Tingkat pendidikan tinggi lebih mudah menumbuhkan suatu kesadaran akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, sedangkan tingkat pendidikan rendah mungkin mengalami kesulitan tersendiri dalam menumbuhkan kesadaran akan hal itu.

  Dampak negatif dari putus sekolah sangat besar dirasakan oleh lingkungan keluarga dimana anak-anak tersebut dibesarkan. Yang jelas pengetahuan mereka menjadi terbatas dan kesadaran untuk memahami hak- haknya secara otomatis berkurang seiring dengan tingkat pendidikan yang diperolehnya. Selain itu, lingkungan sosial mereka rentan tindak kekerasan, sebagaimana contoh munculnya tindak kekerasan sering bersumber dari faktor yang cukup sederhana. Kekerasan sering terjadi dalam komunitas yang tingkat ekonominya rendah atau pengangguran daripada komunitas yang berpenghasilan tinggi atau telah memiliki kesibukan bekerja.

  Dampak yang diakibatkan oleh putus sekolah begitu besar, maka seharusnya semua pihak, baik pihak pemerintah --pusat dan daerah-- maupun non pemerintah (LSM), tokoh masyarakat formal maupun informal segera mencarikan solusi yang tepat bagi penanganan mereka yang pendidikannya putus di tengah jalan.

  Terlepas dari faktor-faktor yang menjadi sumber kasus putus sekolah, seperti persoalan ekonomi atau persoalan sosial lainnya. Di satu sisi, pihak pemerintah seharusnya secara serius mencarikan solusi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang tepat dalam memberikan angin segar bagi anak-anak yang tergolong keluarga miskin.

  Di sisi lain, kalangan non pemerintah, termasuk LSM berperan memberikan pendampingan sukarela sesuai dengan perannya sehingga hal itu dapat mendorong program peningkatan kualitas pendidikan anak-anak miskin. Bila perlu antara pihak pemerintah dan kalangan LSM membentuk koalisi dalam rangka program dampingan yang legalitasnya mendapatkan perhatian pihak pemerintah. Pihak LSM bekerja sesuai dengan keahliannya, termasuk sisi-sisi persiapan, perencanaan dan pelaksanaan, sementara itu, pihak pemerintah menyediakan berbagai sarana dan prasarana bagi kemudahan program dampingan yang telah dirancang

  13 bersama oleh kedua belah pihak.

  Bila ditelusuri munculnya tindakan kekerasan terhadap anak kadang-kadang tidak lepas dari pemahanan sepihak yang dilakukan oleh orang tua atau lingkungan sosial sekitar keberadaan anak-anak. Pemahaman ini mempunyai implikasi yang besar dalam mendudukan anak dimana selama ini anak dijadikan objek dan bukan subjek. Apalagi pandangan itu kemudian diperkuat lagi dengan status anak-anak yang dikategorikan masih di bawah umum yang belum memiliki kompetensi melakukan perbuatan hubungan hukum atau perbuatan masih belum membawa konsekwensi yuridis sampai menunggu usia dewasa.

  Tindak diskriminasi atas hak-hak anak dapat terjadi dimana saja, baik dalam ruang lingkup kecil, seperti unit keluarga, komunitas sekolah atau suatu komunitas masyarakat tertentu. Pada umumnya, dalam sistem sosial kita hampir semua anggota masyarakat memberikan penilaian lebih tinggi akan hak-hak orang-orang dewasa daripada hak-hak anak.

  Di negara Indonesia, anak-anak dari keluarga tidak mampu dan anak-anak dalam kondisi rentan lainnya, 13 seperti anak penyandang disabilitas, sering mendapatkan

  Anwar Sholihin, “Strategi Advokasi Terhadap Hak-Hak Anak”, dalam

Bagong Suyanto dan Sri Sanituti Hariadi (ed.), Pekerja Anak: Masalah,

Kebijakan Dan Upaya Penanganannya, (Surabaya: Lutfansah, 2000), hlm.173- 180. perlakuan tidak adil, termasuk hak-hak anak di bidang kesehatan, pendidikan, gizi, keamanan yang umumnya diabaikan begitu saja. Dengan berlakunya undang-undang perlindungan anak-anak yang didahului sebelumnya keputusan meratifikasi KHA adalah suatu langkah maju untuk memproteksi hak-hak anak. Kepedulian atau kewajiban negara dalam melindungi hak-hak anak perlu mendapatkan perhatian yang serius sehingga hal itu dapat mengurangi tindak kekerasan terhadap anak-anak.

2. Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas

a. Preview Kondisi Umum

  Sejatinya, setiap anak, anak laki-laki dan dan perempuan adalah saudara atau teman yang memiliki makanan, nyanyian, atau permainan yang sama; anak- anak yang memiliki mimpi dan keinginan yang akan dipenuhi. Dalam konteks ini, anak penyandang disabilitas adalah juga anak yang memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya.

  Dengan diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang sebagaimana anak-anak lainnya, anak- anak penyandang disabilitas berpotensi untuk menjalani kehidupan secara penuh dan berkontribusi pada vitalitas sosial, budaya, dan ekonomi dari masyarakat mereka.

  Namun untuk tumbuh dan berkembang bisa jadi sulit bagi anak-anak penyandang disabilitas. Mereka menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi miskin dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tanpa disabilitas. Bahkan bila anak-anak memiliki ketidakberuntungan yang sama, anak-anak penyandang disabilitas menghadapi tantangan- tantangan lain akibat ketidakmampuan mereka dan berbagai rintangan yang dihadirkan oleh masyarakat mereka sendiri.

  Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan adalah mereka yang paling kecil kemungkinannya untuk memperoleh manfaat dari pendidikan dan pelayanan kesehatan, misalnya, tapi anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan memiliki disabilitas lebih kecil lagi kemungkinannya untuk bisa bersekolah atau pergi ke klinik.

  Di banyak negara, respons terhadap situasi anak penyandang disabilitas umumnya terbatas pada institusionalisasi, ditinggalkan atau ditelantarkan. Respons

  • –respons semacam ini merupakan masalah,
dan itu sudah mengakar dalam asumsi-asumsi negatif atau paternalistik tentang ketidakmampuan, ketergantungan dan perbedaan yang muncul karena ketidaktahuan.

  Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen terhadap hak-hak anak ini dan masa depan mereka, dengan memprioritaskan anak yang paling tidak beruntung sebagai masalah kesetaraan dan manfaat bagi semua.

  Anak-anak penyandang disabilitas menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan itu mempengaruhi mereka dalam berbagai tingkatan, bergantung pada jenis disabilitas yang mereka alami, di mana mereka tinggal dan budaya serta kelas sosial mereka. Anak- anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini menyebabkan mereka menjadi lebih rentan.

  Diskriminasi karena disabilitas berujung pada marginalisasi dari sumber daya dan pembuatan keputusan, dan bahkan pada kematian anak. Pengucilan seringkali muncul dari invisibilitas. Tidak banyak negara yang memiliki informasi yang bisa diandalkan tentang berapa banyak warganya yang merupakan anak-anak penyandang disabilitas, disabilitas macam apa yang mereka alami atau bagaimana disabilitas ini mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, anak-anak yang dikucilkan tidak tahu dan oleh sebab itu terputus dari pelayanan publik yang sebenarnya merupakan hak bagi mereka untuk mendapatkannya.

  Pembatasan ini bisa memiliki efek yang panjang, yang membatasi akses mereka pada pekerjaan atau partisipasi mereka dalam masalah-masalah kemasyarakatan di kemudian hari, misalnya.

  Akan tetapi, akses pada pelayanan dan teknologi bisa menempatkan anak penyandang disabilitas pada posisi tertentu untuk mengambil tempat di dalam masyarakat dan memberikan kontribusinya. Masa depan sama sekali tidak suram. Dengan adanya komitmen untuk menegakkan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (KHPD), pemerintah di seluruh dunia telah mengambil tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh anak, baik itu penyandang disabilitas atau bukan, bisa menikmati hak-hak mereka tanpa diskriminasi apa pun.

  Kedua konvensi itu menjadi saksi atas meningkatnya pergerakan global yang didedikasikan untuk inklusi anak penyandang disabilitas dalam kehidupan masyarakat. Kedua konvensi itu menyatakan bahwa anak penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya. Inklusi lebih dari sekedar integrasi. Sebagaimana bisa dicontohkan dari bidang pendidikan, integrasi bisa dicoba hanya dengan merancang dan melaksanakan bahwa seluruh anak bisa belajar dan bermain bersama. Ini berarti memberikan akomodasi yang diperlukan untuk mengakses Braille, bahasa isyarat dan kurikulum yang diadaptasi.

  Inklusi akan menguntungkan semua orang. Masih mengambil contoh dari bidang pendidikan, jalan masuk yang lebih landai dan pintu masuk yang lebar menuju sebuah lembaga pendidikan dapat meningkatkan akses dan keselamatan bagi seluruh anak, guru, orang tua dan pengunjung, bukan hanya mereka yang menggunakan kursi roda.