Jurnal Kebijakandan Manajemen pelayanan PNSVol7No2

PROFESIONALITAS DAN PROPORSIONALITAS;
PEGAWAI TIDAK TETAP DALAM PENILAIAN KINERJA PELAYANAN PUBLIK

Hayat
Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang
hayat.150318@gmail.com

ABSTRACT
Good governance as an objective of the reform of the bureaucracy to give the
real concept of an improved system of Indonesian government toward independence.
Temporary staff are shortened PTT as human resources administration will be able to
work together with other HR has the same responsibility in terms of performance in
providing services over the people by referring to the legislation that have been
defined with the principle of equality, justice and kindness. This should be
encouraged on akuntabilitis in performance as the most important part in the solution
of problems that continue to roll with the presence of PTT. PTT does not affect the
existence of the circumstances , but the circumstances that PTT should affect the
performance for the benefit and in a fair and good balance . Government policy
requires all employees in a professional manner therein to direct to a common
understanding with rationally consider the direct proportionality to the ultimate goal ,

namely good governance .

ABSTRAK
Pemerintahan yang baik sebagai tujuan dari reformasi birokrasi untuk
memberikan konsep nyata dari sebuah perbaikan sistem pemerintahan indonesia
menuju kemandirian bangsa. Pegawai tidak tetap yang disingkat PTT sebagai
sumber daya manusia pemerintahan yang diharapkan mampu untuk bersinergi
dengan SDM lainnya mempunyai tanggung jawab yang sama dalam hal kinerja
dalam memberikan pelayanan atas rakyat dengan berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan yang sudah ditetapkan dengan prinsip kesamaan, keadilan
dan kebaikan. Hal ini harus didorong atas akuntabilitis dalam kinerja sebagai bagian
terpenting dalam pemecahan masalah yang terus bergulir dengan keberadaan PTT.
Keberadaan PTT tidak mempengaruhi keadaannya, tapi keadaan PTT yang harus
mempengaruhi terhadap kinerjanya untuk kemaslahatan dan keseimbangan secara
adil dan baik. Kebijakan pemerintah menuntut seluruh pegawai didalamnya secara
profesional untuk mengarahkan kepada pemahaman bersama dengan
mempertimbangkan proporsionalitasnya secara rasional yang mengarahkan kepada
tujuan utamanya, yaitu good governance.
PENDAHULUAN
Reformasi birokrasi memberikan ruang gerak bagi setiap masyarakat dalam

menerima pelayanan sebaik-baiknya dari pemerintah dalam rangka meningkatkan
kualitas lembaga pemerintah dalam aspek kebijakan pelayanan, sarana dan
prasarana pelayanan dan kemanfaatan pelayanan bagi pengguna pelayanan.
Disamping itu, pemerintah selalu mengusahakan pemberian pelayanan terbaik
melalui penetapan-penetapan untuk diimplementasikan sebagai instrument

pengambilan kebijakan yang harus ditaati dan desiminasi. LAN (2009:41)
memberikan gambaran nyata bahwa, faktor yang paling mendukung dalam
keberhasilan kinerja pelayanan publik adalah sumber daya manusia yang memadai
dan mempunyai kompeten dalam bidang keahliannya sebagai upaya melakukan
pekerjaan dengan bidang kemampuannya untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik yang dikehendaki oleh masyarakat sebagai penggunan pelayanan dan
melakukan inovasi terbarukan untuk optimalisasi perkembangan-perkembangan
kehidupan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai.
Asropi (2007: hal.2) menjelaskan bahwa, upaya pemerintah daerah dalam
meningkatkan kualitas pelayanan masih terdapat tantangan yang sulit, karena
tuntutan pelayanan publik semakin kompleks dengan berbagai jenis dan tuntutan
kualitas pelayanan masyarakat semakin meningkat. Pada bagian lain, lembaga
pelayanan publik dihadapkan pada pelbagai keterbatasan, terutama dalam hal
kompetensi dan relevansi pegawai (lack of competencies) dan kemampuan

anggaran daerah untuk memenuhi tuntutan tersebut. Selain itu, gerak lembaga
pelayanan publik di daerah dalam upaya pemberian pelayanan kepada masayarakat,
juga sangat dipengaruhi oleh “kondisi makro” yang disebabkan oleh belum jelasnya
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal itu menjadi
tantangan yang harus dihadapi dan carikan alternatif penyelesaian dan penyesuaian
mengingat pelayanan publik merupakan aspek penilaian kinerja bagi pemerintah
untuk mengukur sebagai keberhasilan pemerintahan yang baik (good governance).
Keberadaan sumber daya manusia (SDM) pelayanan, seringkali menjadi
kendala tersendiri dalam penempatannya, terutama dalam pembagian pekerjaan dan
kompetensi yang dimiliki. Konsep the right man and the right place menjadi
terabaikan ketika kebutuhan SDM pemerintah daerah semakin berkurang dan
kebutuhan masyarakat akan pelayanan semakin meningkat. SDM tidak bisa
dilepaskan dari soft skill yang dimiliki oleh setiap pegawai, terutama pegawai tidak
tetap yang disingkat PTT, menjadi kendala secara individu maupun kelembagaan.
hal ini seringkali menjadi celah bagi pemerintah daerah sendiri maupun bagi pegawai
yang dipekerjakan pada unit atau instansi lembaga pemerintahan. Kecemburuan
sosial juga sering terjadi mengingat perbedaan secara fungsional maupun struktural
tidak bisa dihilangkan. Konsekuensi kompensasi yang diterima oleh pegawai tidak
tetap tidak sama dengan kinerja pegawai negeri sipil. Bukan bermaksud untuk
menjustifikasi perbedaan, akan tetapi proporsional yang kelembagaan menjadi

prioritas utama dalam pemberian hak secara adil dan baik. Melihat dari kondisi
diatas, yang menjadi problematikanya adalah apakah pegawai tidak tetap
mempunyai kompetensi yang memadai dalam meningkatkan kinerja pelayanan
publik? Bagaimana meningkatkan kompetensi kinerja pegawai tidak tetap dalam
pelayanan publik dilingkungan instansi pemerintah?
Keberadaan PTT semakin besar kalau RUU ASN (Aparatur Sipil Negara) yang
memberikan lebih banyak ruang bagi PTT dari pada PNS. Komposisi PTT dalam
ASN sebanyak 40-50 persen sedangkan PNS 30-40 persen (Jawa Pos 16/03/2013).
Hal ini menunjukkan bahwa, PTT dalam lingkup instansi pemerintah akan lebih
banyak mempunyai peran dalam kinerja pelayanan publik kepada masyarakat.
adanya PTT dalam ASN merupakan sebuah kinerja yang diangkat atas dasar
kompetensi yang dimiliki oleh PTT. hanya saja dalam kebijakan itu, PTT merupakan
sebuah pegawai kontrak yang dibatasi oleh waktu dalam perjanjian kerja dengan
pemerintah dengan masa kerja minimal 12 bulan dan dapat diperpanjang sesuai
dengan kebutuhan kompetensi yang dimilikinya.

TINJAUAN PUSTAKA
Semil dan Nurham (2005.18) memberikan ilustrasi terkait dengan kinerja
pelayanan dan harapan, bahwa, apabila kinerja lebih rendah dari harapan, maka
pelayanan dianggap tidak memuaskan dan pelanggan merasa kecewa. apabila

kinerja sama dengan harapan yang diinginkan oleh pelanggan, maka pelayanan
dianggap memuaskan walaupun tingkat kepuasannya minimal. Namun, apabila
kinerja menunjukkan lebih besar dari harapan, maka pelayanan yang diberikan oleh
petugas merupakan pelayanan yang prima atau istimewa sehingga menjadikan
pelanggan merasa senang dan bangga atas pelayanan yang diberikan. disitulah
sebenarnya letak kepuasan dan harapan masyarakat terhadap seluruh pelayanan
publik yang berada disektor publik dan begitu juga harapan dari seluruh stakeholder
dan pemerintah dalam memperbaiki pelayanan diberbagai bidang di Indonesia
Cahliana (2008. 17), memberikan pandangan bahwa pelayanan publik yang
diberikan oleh pemerintah daerah akan mempengaruhi minat para investor dalam
menanamkan modalnya di suatu daerah. Excelent Service harus menjadi acuan
dalam mendesain struktur organisasi di pemerintah daerah. Dunia usaha
menginginkan pelayanan yang cepat, tepat, mudah dan murah serta tarif yang jelas
dan pasti. Pemerintah perlu menyusun standar pelayanan bagi setiap institusi di
daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, utamanya dinas
yang mengeluarkan perizinan bagi pelaku bisnis. Perizinan berbagai sektor usaha
harus didesain sedemikian rupa agar pengusaha tidak membutuhkan waktu terlalu
lama untuk mengurus izin usaha, sehingga tidak mengorbankan waktu dan biaya
besar hanya untuk mengurus perizinan. Deregulasi dan debirokratisasi mutlak harus
terus menerus dilakukan oleh Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secra berkala

agar pelayanan public senantiasa memuaskan masyarakat.
Gunawan dkk. 2006 dalam Cahliana (2008:21), dalam penelitiannya
mengatakan bahwa, reformasi birokrasi merupakan alternatif solusi untuk
memperbaiki sistem birokrasi di Indonesia. Selain itu, reformasi birokrasi perlu diikuti
dengan reformasi lainnya seperti pengembangan ilmu administrasi publik, netralitas
birokrasi, merit system dan pengembangan e-government dalam pelayanan on line
langsung kepada masyarakat yang dapat mengurangi celah kegiatan korupsi
sebagai dampak tatap muka antara masyarakat dan penyelenggara pemerintah.
Penelitian yang dilakukan Yudha 2007, dalam Cahliana (2008: 22) menyimpulkan
dalam penelitiannya bahwa, berdasarkan kombinasi preferensi masyarakat dan
penilaian masyarakat, kebijakan alternatif yang dapat diambil oleh pemerintah
daerah Kabupaten Lebak untuk wilayah maju dalam memberikan pelayanan publik
dapat berfokus pada empat atribut, yakni ketersediaan lapangan kerja, akses
informasi program pemerintah daerah, birokrasi yang ramping dan modal petani.
Sedangkan untuk wilayah tertinggal berfokus juga pada empat atribut, yakni
pengentasan kemiskinan, ketersediaan lapangan kerja, jaminan keamanan dan
peningkatan pelayanan tempat peribadatan. Tuntutan pemerintah kepada setiap
pegawai merupakan tuntutan masyarakat secara rasional, baik bagi PNS maupun
PTT yang merupakan aktor keberlanjutan reformasi birokrasi menuju pemerintahan
yang baik dengan dibuktikan oleh kinerja nyata dan kualitas kompetensi yang dimiliki

oleh PTT secara umum sesuai dengan standar kompetensi yang dimiliki oleh PNS.
Sehingga PTT juga mempunyai peran yang maksimal dalam pelayanan kepada
masyarakat terutama yang berdampak langsung kepada kehidupan masyarakat
dengan memperhatikan perkembangan paradigma yang ada dimasyarakat. Begitu
juga dengan tuntutan untuk tidak menerima pemberian berupa apapun dari
konsumen untuk memberikan pelayanannya, tapi kewajibannya adalah memberikan
pelayanan yang baik kepada konsumen, hal itu sebagai upaya pemberantasan

korupsi yang sudah akut di Negara ini dengan harapan kinerja PTT bisa
mempengaruhi kinerja PNS.
Pegawai negeri yang merupakan abdi negara dan abdi masyarakat ini memiliki
jenis dan kedudukan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang No.43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu pada pasal 2 ayat (1) menjelaskan
bahwa “Pegawai negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional
Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Selain Pegawai
Negeri yang disebutkan diatas, pejabat yang berwewenang dapat mengangkat
Pegawai Tidak Tetap, yaitu pada pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa “disamping
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang
dapat mengangkat Pegawai Tidak Tetap”. Sehingga Pasal 2 ayat (3) dari UU No.43
Tahun 1999 ini merupakan dasar hukum daripada Pegawai Tidak Tetap. Sebagai

bagian dari aparatur negara, PTT merupakan salah satu motor penggerak
kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional yakni
mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban moderen,
demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi.
Pengangkatan PTT dalam penjelasan ASN diatur berbeda dengan PNS yang
notabene adalah pejabat public yang memiliki kewenangan hukum , sedangkan PTT
adalah pegawai yang diangkat dengan kompetensi yang dimiliki dengan ketentuan
perjanjian kerja sesuai dengan kebutuhan pemerintah dengan masa kerja minimal 12
bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi PTT (Jawa
Pos, 16/03/2013). Pasal 3 ayat (3) PTT bekerja berdasarkan surat perjanjian kerja
dalam jangka waktu yang telah ditetapkan selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjan untuk tahun berikutnya berdasarkan kebutuhan dan hasil evaluasi
kinerja dengan nilai minimal baik. Pada prinsipnya PTT mempunyai tanggungjawab
yang sama dengan PNS secara kontekstual. Namun, PTT terikat dengan kontrak
waktu yang sudah ditetapkan sesuai dengan kinerjanya. sebagai tenaga tetap
dilingkungan daerah PTT dibedakan atas kompensasi secara menyeluruh, walaupun
saat ini sedang digalakkan tentang kesetaraan kompensasi antara PTT dengan PNS
terkait dengan kompensasi gaji yang akan diberikan. bahwa gaji PTT dan PNS
disamakan, hanya saja PTT tidak mendapatkan pensiunan.
PEMBAHASAN

Kualitas Pelayanan Publik; Reformasi Birokrasi Sebagai Upaya Menciptakan
Pemerintahan yang Baik (Good Goverment)
PTT yang merupakan pegawai pembantuan bagi pemerintah dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, juga dituntut untuk lebih mampu mengaplikasikan
kompetensinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelanggan yang
merupakan penerima pelayanan dari pemerintah akan merasa puas atas apa yang
diterimanya, jika pelayanan yang diberikan berdampak positif terhadap
keberlangsungan sebuah pelayanan, sehingga diharapkan adanya keseimbangan
antara kepuasanan pelayanan dan reward yang diberikan oleh masyarakat kepada
pemerintah juga berdampak positif terhadap kinerja pegawai. SDM PTT juga tidak
bisa dianggap biasa saja ketika kinerjanya melebihi apa yang diharapkan oleh
pemangku kepentingan dalam berbagai lembaga pemerintah, karena penilaian
kinerja diukur dari kinerja itu sendiri, bukan dari statusnya. Kompensasi yang
diberikan minimal menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas kinerja PTT sebagai
upaya penyeimbang dari keberadaannya sebagai calon apparatur Negara.
Paradigma yang masih ada di Indonesia terhadap manajemen pelayanan
publik terhadap birokrasi adalah pola pekerjaan yang sudah membudaya yakni
meminta untuk dilayani dan mengontrol kehidupan warganya yang dilandasi dengan
distrust. Hal itu dibuktikan dengan prasyarat untuk mendapatkan sebuah pelayanan


penting dari pemerintah, masyarakat harus terlebih dahulu mengikuti peraturan yang
panjang mulai dari tingkat RT, RW hingga ketingkat Kabupaten/Kota. (Pusat Kajian
Manajemen Pelayanan. LAN. 2009:12). Pola atau budaya pelayanan yang terjadi
memang sudah mengakar di masyarakat maupun para birokrat dalam melakukan
pelayanan. karena pada prinsipnya pelayanan publik itu terjadi antara hubungan
birokrasi atau pemberi pelayanan dengan masyarakat atau pengguna pelayanan. Hal
itu seperti pada gambar berikut:

Mengontrol
Birokrasi

Rakyat

pemegang kekuasaan

Obyek kekuasaan

Melayani, Mematuhi dan Menghormati

(Sumber: Dwiyanto dalam Pusat Kajian Manajemen Pelayanan: 2009. hal. 13)

Gambar 1.
Pola Hubungan Antara Birokrasi dengan Warga Saat Ini
Dwiyanto dalam Pusat Kajian manajemen pelayanan LAN (2009),
menambahkan bahwa secara teori antara penerima pelayanan dan pemberi
pelayanan adalah bersifat kontraktual seperti antara pribadi dan agen. Masyarakat
sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan, memberikan amanah kepada
pemerintah untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, yang merupakan hak
dari rakyat untuk mendapatkannya. Sementara itu, pemerintah sebagai penerima
amanah mempunyai kewajiban untuk mematuhi aturan perundang-undangan yang
berlaku. Secara ideal pola hubungan pemerintah dengan rakyatnya adalah seperti
pada gambar dibawah ini:

Mengontrol
Birokrasi

Rakyat

Agen

Prinsipal

Melayani, Mematuhi dan Menghormati

(Sumber: Dwiyanto dalam Pusat Kajian Manajemen Pelayanan: 2009. hal. 14)
Gambar 2.
Pola Ideal Hubungan Antara Birokrasi dengan Warga
Amanah rakyat terhadap birokrasi merupakan sebuah kontrak nyata yang
harus saling mengontrol, melayani, mematuhi dan menghormati. Amanah yang
diberikan rakyat melalui pembayaran pajak dari setiap unsur pelayanan yang
diberikan oleh birokrasi kepada rakyatnya, tentu rakyat menginginkan sebuah
pelayanan yang berkualitas dan mempunyai akuntabilitas realistis untuk
keberlanjutan suatu kontrak kebijakan tersebut. Paling mendasar dalam prinsip
pelayanan dan pola pelayanan adalah setiap warga Negara mempunyai hak
terhadap pelayanan yang diinginkan, dan pemerintah mempunyai kewajiban untuk
memenuhi hak rakyat sebagai tanggungjawab yang harus dijalani sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dilema dan Kebutuhan Pemerintah dalam pengangkatan PTT; Persfektif
Anggaran dan Kinerja Pelayanan
Ada perbedaan antara PTT dan PNS dalam aspek sosiologi dan filosofisnya.
PNS merupakan pegawai yang ditetapkan oleh pemerintah dengan berbadan hukum
melalui Surat Keputusan oleh pejabat Negara. PNS merupakan idaman bagi seluruh
masyarakat Indonesia, karena kondisi PNS dengan kompensasi yang lumayan tinggi
dan sulit untuk diberhentikan sekalipun mempunyai kinerja yang buruk. saat ini
gejolak honorer untuk diangkat menjadi PNS semakin tinggi dengan kebijakan
pemerintah yang akan mengangkat PTT menjadi PNS melalui K1 ataupun K2. hanya
saja dalam konstruksi ini, pemerintah juga tidak serta merta langsung memberikan
SK pengangkatan PNS kepada PTT yang sudah masuk dalam katagori
pengangkatan PNS, ada beberapa persyaratan yang harus dijalani oleh PTT untuk
diangkat sebagai PNS, misalnya, ada tes seperti pada penerimaan PNS pada
umumnya, kemampuan dan kompetensi yang dimiliki.
Sedikit melihat dari RUU ASN yang bersumber dari Kemenpan dan RB, bahwa
PTT dalam aspek sosiologis dan filosofisnya, merupakan balancing dari PNS dalam
meningkatkan budaya organisasi sebagai sarana berkompetisi dalam meningkatkan
kualitas diri dan karakter diri pegawai. Keberadaan PTT bagi setiap instansi
pemerintah menjadikan keharusan bagi pemerintah daerah dalam rangka
menciptakan good governance untuk kepentingan bersama. PTT sebagai pegawai

yang diangkat melalui kompetensi yang dimiliki merupakan sebuah inspirasi dan
motivasi bagi PNS untuk berkompetisi dalam meningkatan kinerja. peningkatan
kinerja dilalui oleh pengukuran kinerja, baik dari disiplin waktu, efektifitas kinerja,
efisiensi anggarana dan kebijakan-kebijakan yang membangun untuk meningkatkan
reformasi birokrasi dengan meminimalisir unsure KKN yang sudah mewabah di
beberapa daerah.
Dalam Rancangan Undang-Undang ASN pasal 1 yang dimaksud: (1) Aparatur
Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil
dan pegawai tidak tetap pemerintah yang bekerja pada instansi dan perwakilan; (2)
Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat Pegawai ASN adalah
pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap pemerintah yang diangkat oleh pejabat
yang berwenang; (3) Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah
warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan dan diangkat oleh pejabat
yang berwenang; (4) Pegawai Tidak Tetap Pemerintah adalah warga negara
Indonesia yang memenuhi dan diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai
Pegawai ASN; (5) Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan
Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai-nilai dasar, etika profesi, bebas dari
intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; (6) Sistem
Informasi ASN adalah rangkaian informasi dan data mengenai Pegawai ASN yang
disusun secara sistematis, menyeluruh, dan terintegrasi dengan berbasis teknologi;
(7) Jabatan Eksekutif Senior adalah sekelompok jabatan tertinggi pada instansi dan
perwakilan; (8) Aparatur Eksekutif Senior adalah Pegawai ASN yang menduduki
Jabatan Eksekutif Senior melalui seleksi secara nasional yang dilakukan oleh Komisi
Aparatur Sipil Negara dan diangkat oleh Presiden; (9) Jabatan Administrasi adalah
sekelompok jabatan yang berisi tugas pokok dan fungsi berkaitan dengan pelayanan
administrasi, manajemen kebijakan pemerintahan, dan pembangunan; (10) Pegawai
Jabatan Administrasi adalah Pegawai ASN yang menduduki Jabatan Administrasi
pada instansi dan perwakilan; (11) Jabatan Fungsional adalah sekelompok jabatan
yang berisi tugas pokok dan fungsi berkaitan dengan pelayanan fungsional yang
berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu; (12) Pegawai Jabatan
Fungsional adalah Pegawai ASN yang menduduki Jabatan Fungsional pada instansi
dan perwakilan; (13) Pejabat yang Berwenang adalah pejabat karier tertinggi pada
instansi dan perwakilan; (14) Instansi adalah instansi pusat dan instansi daerah; (15)
Instansi Pusat adalah kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian,
kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga non-struktural; (16)
Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah
kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dinas daerah,dan lembaga teknis daerah.
Status hukum PNS dan PTT juga berbeda, secara umum status PNS
merupakan pejabat public yang memiliki kekuatan hukum untuk mengambil
kebijakan yang dilandasi oleh kewenangan khusus untuk pengambilan kebijakan
public. Sedangkan PTT merupakan pegawai Negara yang mempunyai keahlian
khusus dan bertugas sebagai pelaksana sesuai dengan keahliannya, misalnya
seperti operator atau teknisi dari setiap kebijakan-kebijakan pemerintah. artinya, PNS
dan PTT mempunyai kewenangan yang berbeda dalam menjalankan aktifitas kinerja,
dimana PTT dalam hal ini sebagai pengambil kebijakan Negara, sementara PTT
sebagai pelaksana kebijakan Negara. Status hukum sebenarnya hanyalah sebuah
pengakuan dari pemerintah terhadap pegawainya, namun hal itu tidak menjadikan
diskriminasi antara PNS dan PTT dalam kinerja. Kinerja pegawai merupakan sebuah
langkah pengukuran bagi pagawai dari atasan untuk menjadi bahan evaluasi terkait
dengan aktifitas kinerja pegawainya, tidak menutup kemungkinan kinerja PTT lebih
baik dari pada PNS.

Ketentuan pensiun, bukan satu-satunya jalan dalam memperbaiki kehidupan
pegawai, walaupun dalam ASN disebutkan bahwa, PTT tidak mendapatkan dana
pensiun, akan tetapi mendapatkan hak seperti yang melekat dalam diri PNS itu
sudah menjadi kebahagiaan tersendiri, karena secara peraturan memang dibedakan
dari pengangkatan hingga pemberhentiannya. Akan tetapi pemerintah sudah
menyiapkan penghargaan bagi PTT yang mempunyai kinerja yang baik dan
maksimal, baik secara langsung ataupun tidak, karena pada prinsipnya dana
pensiun itu adalah reward dari pemerintah atas pengabdian yang sudah dilakukan
oleh pegawai. Sedangkan kinerja adalah sesuatu yang melekat dalam diri pegawai
secara umum, tidak memandang apakah PNS atau PTT, secara konstitusi sama,
karena hal itu berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat sebagai
konsumen pemerintah. Pasal 20, pasal 21 dan pasal 22 RUU ASN terkait dengan
kewajiban PNS dan PTT diantaranya (1) menaati dan melaksanakan semua
ketentuan peraturan perundang-undangan, (2) melaksanakan tugas kedinasan yang
dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran dan
tanggungjawab;(3) menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku,
tindakan dan ucapan kepada setiap orang baik didalam maupun diluar kedinasan
serta (4) menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia
jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Beberapa aspek perbedaan itu, diharapkan pemerintah mengkaji lagi terkait
keberadaan PTT dalam RUU ASN sebagai upaya memberikan keadilan kinerja bagi
seluruh pegawai. baik PTT maupun PNS pada prinsip filosofinya adalah untuk
menumbuhkan motivasi diri dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai, hanya saja
pada proses kompensasi lebih dimatangkan untuk mengambil sebuah langkah
kebijakan yang lebih baik dan berkeadilan. dari berbagai perbedaan, muali dari
aspek sosilogis hingga kepada aspek status hukum
masih dibilang kurang
menguntungkan bagi PTT. secara nyata dapat disimpulkan bahwa PTT mempunyai
sebuah tanggung jawab yang sama dengan PNS, akan tetapi secara kebutuhan
masih lebih besar PNS. hal ini menurut penulis akan memperlebar ruang gerak
outsorcing yang saat ini seringkali disuarakan untuk ditiadakan.
Oleh karena itu, dibutuhkan kejelian pemerintah dalam mengambil langkah
kongkrit dalam penanganan PTT, terutama berkaitan dengan status dan hak serta
kewajiban PTT dalam status abdi Negara. karena hal itu akan berimplikasi kepada
masyarakat secara umum sebagai impact dari keberadaan PTT dalam hal ini yang
berkaitan langsung ialah pelayanan public. pengambilan kebijakan yang diharapkan
adalah menyelesaikan masalah kepegawaian dalam tatanan birokrasi yang baik dan
menciptakan kondisi dan kinerja yang lebih baik pula. ASN sebagai upaya jalan
tengah bagi pemerintah untuk memberikan ruang bagi PTT sebagai abdi Negara
dengan ketentuan yang sudah diatur baik tugas, fungsi dan wewenangnya agar
dijalankan sebagai upaya reformasi birokrasi kedepan sesuai dengan harapan
pemerintah dan masyarakat. pemerintah sebagai pemberi pelayanan, dan
masyarakat sebagai penerima layanan atau konsumen. artinya, walaupun PTT
dipisahkan secara status dari PNS, diharapkan kinerja bisa mengalahkan PNS
terutama dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Good Governance: Barometer Penilaian Kinerja Pelayanan Publik bagi PTT
Cahliana (2008:14) mengungkapkan, bahwa berdasarkan pengertian World
Bank, Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan
yang solid dan bertanggung jawab serta sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar
yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik
secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan
legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Kunci utama

memahami good governance adalah pemahaman prinsip-prinsip di dalamnnya. hal
ini juga bisa diberlakukan kepada pegawai tidak tetap pemerintah, karena kondisi
seperti ini menjadi pembelajaran bagi PTT untuk meningkatkan kualitas pelayanan
yang akan diberikan kepada masyarakat. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip good
governance bagi PTT merupakan keharusan yang dilakukan dengan tidak
memandang status kepada PNS. ketika kinerja PTT melebihi PNS, maka sudah
seharusnya pemerintah memberikan reward yang harus diterimanya. bukan melihat
kepada sebuah statusnya, tetapi lebih kepada kinerja individu pegawainya, begitu
juga pendidikan dan pelatihan yang harus diterima oleh PTT juga seimbang dengan
yang diterima oleh PNS, karena pengaruh pemahaman terhadap good governance
juga tergantung kepada individu pegawainya.
Crescent, 2003, dalam Cahliana (2008:15), memberikan pembagian prinsipprinsip good governance, yaitu: 1) Partisipasi Masyarakat, Semua warga masyarakat
mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun
melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif;
(2) Tegaknya Supremasi Hukum, Tegaknya supremasi hukum artinya kerangka
hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya
hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia; (3) Transparansi, Tranparansi
dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti
dan dipantau; (4) Peduli Pada Stakeholder, Peduli pada stakeholder berarti lembagalembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak
yang berkepentingan; (5) Berorientasi pada Konsensus, Tata pemerintahan yang
baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya
suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok
masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur; (6) Kesetaraan, Kesetaraan berarti semua warga masyarakat
mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka;
(7) Efektivitas dan Efisiensi, Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga
membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan
sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin; (8) Akuntabilitas, Para pengambil
keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasiorganisasi masyarakat
bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga
yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan
lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan; (9) Visi Strategis, Para
pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata
pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja
yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga
harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang
menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Pemberdayaan PTT dalam Meningkatkan Kinerja Pelayanan Publik
Pemberdayaan merupakan konsep pembinaan melalui pendidikan, pelatihan,
motivasi dan pemberian reward bagi PTT dalam menjalankan tugasnya sebagai
syarat untuk peningkatan kualitas kompetensi PTT dan kualitas pelayanan yang
akan diberikan kepada masyarakat. Pemberdayaan merupakan penyeimbang bagi
hak dan kewajiban PTT untuk bekerja lebih baik. Handyadi (2011:63) memberikan
konsep pemberdayaan, antara lain: (1) meningkatkan kualitas, inovasi, loyalitas, rasa
berprestasi dan produktivitas pegawai; (2) meningkatkan kreativitas dan komitmen

para pegawai; (3) meningkatkan pelayanan kepada pelanggan; (4) alat penting untuk
memperbaiki kinerja melalui penyebaran pembuatan keputusan dan tanggung jawab
karena mendorong keterlibatan para pegawai; (5) dapat menyadarkan, mendukung,
mendorong, dan membantu mengembangkan potensi yang terdapat pada diri
individu sehingga menjadi manusia mandiri tetapi tetap berkepribadian.
Said (2003:23-25), memberikan pandangan alternatif etika dan moral bagi
pegawai dengan 6 pendekatan dasar, yaitu: Pertama, nilai dasar personal (basic
personal values) yang meliputi: (a) kepercayaan; kecurigaan antara sesama
pegawai, dalam segala aspek perlu dihilangkan, sehingga dapat menciptakan sinergi
dalam melakukan pekerjaan; (b) bertanggung jawab; karena rasa saling curiga tidak
ada lagi diantara pegawai, sehingga memungkinkan semua pegawai merasa
memiliki, sekaligus merasa bertanggung jawab terhadap semua kinerja; (c)
bersungguh-sungguh; pegawai dalam menghadapi tugas dan tanggung jawab yang
berada dipundaknya, bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan berbagai
problematika yang ada; (d) pengabdian; aspek pengabdian diartikan sebagai aspek
pengorbanan pegawai sebagai dasar dari pemberdayaan; (e) ketertiban; setiap tugas
dan tanggung jawab yang diberikan dilaksanakan secara disiplin dan tertib; (f)
bekerjasama; pekerjaan menjadi tanggung jawab bersama dan diselesaikan secara
bersama sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing untuk mencapai
tujuan bersama, tanpa kebersamaan, maka bisa dipastikan tujuan yang diharapkan
tidak sesuai dengan harapan organisasi; (g) bersih diri; kerjasama yang baik, akan
berdampak kepada saling mengawasi satu sama lain guna menciptakan
pemerintahan yang bersih; (h) rajin atau tekun; sikap kerajinan menjadi sesuatu
kebutuhan setiap pegawai; (i) lemah Lembut; nampak keramah tamahan dalam
memberikan pelayanan..
Kedua, nilai yang berfokus pada kebiasaan (custome-focussed values) meliputi:
(a) mulia; memberikan persepsi dengan menunjukkan pegawai yang harus dihargai;
(b) sabar; mengutamakan kesabaran dalam memberikan pelayanan dan
mengahdapi segala permasalahan yang ada; (c) sopan; berkomunikasi secara baik
dan penuh kelembutan; (d) ramah; rasa bersahabat diantara sesama pegawai
maupun terhadap orang yang dilayani.
Ketiga, nilai kepemimpinan (leadership values) yang meliputi: (a) adil; berlaku
adil dan baik dalam mengambil keputusan tanpa adanya diskriminasi antar sesama
pegawai; (b) berani; tegas dan tanpa ragu-ragu dalam mengambil keputusan; (c)
bersedia menerima; menghargai setiap pendapat pegawai yang ada dalam
lingkungannya maupun yang dilingkungan organisasinya.
Keempat, nilai profesional (professional values) yang meliputi: (a) pengetahuan;
memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas untuk mempertimbangkan pengambilan
kebijakan; (b) memiliki daya cipta; selalu berusaha untuk dapat menciptakan sesuatu
dan sekaligus mendorong setiap pegawai untuk menemukan sesuatu yang baru dan
bermanfaat bagi organisasi; (c) pembaharuan; menciptakan sebuah kebaharuan
dalam menerpakan suatu pekerjaan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan;
(d) kejujuran Intelektual; tidak mengakui terhadap sesuatu ia ciptakan menurut
pikirannya adalah hasil ciptaan dari orang lain; (e) bertanggungjawab; setiap
masalah yang dihadapi selalu dipertanggungjawabkan tanpa harus meminta orang
lain untuk bertanggungjawab; (f) tidak memihak; dalam menyelesaikan
permasalahan tidak berdiri disalah satu pihak.
Kelima, nilai kualitas dan produktivitas (productivity/quality values), meliputi: (a)
berproduksi; hasil yang dicapai selalu dapat dimanfaatkan oleh orang lain; (b)
berkualitas; hasil yang dimanfaatkan orang lain tersebut sekaligus berkualitas.
Keenam, nilai umum (universal values), antara lain: (a) berterima kasih;
menyampaikan suatu penghargaan terhadap siapa saja yang diketahui berhasil; (b)

kepercayaan; selalu memberikan penugasan kepada siapa saja yang memiliki
kompetensi tanpa harus mencurigai; (c) bertaqwa kepada tuhan; saling meyakinkan
satu sama lain bahwa segala seuatu yang dicapai itu adalah berkat kekuasaan
Tuhan, dan berusaha menghindari segala perbuatan yang tercela.
Winarty (2003:54-60), bahwa langkah-langkah yang diperlukan dalam
pemberdayaan aparatur pemerintah pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut: (1) dukungan dari pimpinan. Maksudnya adalah seorang pimpinan
berkewajiban untuk menggali, menyalurkan, membina serta mengembangkan
potensi pegawainya; (2) pendelegasian. Pemberdayaan erat kaitannya dengan
pendelegasian, oleh karena itu pendelegasian wewenang hendaknya diarahkan agar
bawahan mempunyai inisiatif dalam pengambilan keputusan; (3) bimbingan.
Pimpinan sebagai fasilitator dan organisator diharapkan mampu memberikan
bimbingan dan pengarahan kepada bawahannya dalam mengembangkan
kemampuan dan pengetahuan yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas dan
tanggungjawabnya; (4) kemampuan sistem informasi. Tersedianya informasi yang
lengkap akan mempermudah pegawai dalam pelaksanaan pekerjaannya. Semakin
lengkap sistem informasi yang tersedia akan sangat membantu dalam proses
pengambilan keputusan; (5) dukungan dari organisasi. Organisasi dalam hal ini
menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam hal pelaksanaan pekerjaan. Baik itu
kegiatan diklat, maupun dalam hal penghargaan kepada pegawai, bisa dalam bentuk
promosi, mutasi untuk menghindari kejenuhan, serta penempatan pegawai pada
jabatan/pekerjaan yang tepat; (6) kinerja organisasi publik. Cara termudah dalam
mengukur kinerja sektor publik adalah dengan kriteria efisiensi dan efektivitas; (7)
kebutuhan learning and growth bagi aparatur. Organisasi yang mampu bertahan
dimasa depan adalah organisasi yang melakukan proses learning dengan baik. Oleh
karena itu dituntut upaya yang sungguh-sungguh dari apaatur untuk meningkatkan
kemampuan yang dimilikinya; (8) kepuasan pegawai. Tingkat kepuasan kerja
pegawai dapat menunjukkan suatu keadaan emosional yang menyenangkan dengan
mana apartur memandang pekerjaan mereka. Sikap ini dicerminkan oleh moral,
disiplin kerja, dan prestasi kerja pegawai; (9) motivasi. Kondisi ini tercermin dari
banyaknya saran yang disampaikan aparatur, banyaknya saran yang
dilaksanakan/direalisasikan, banyaknya saran yang berhasil guna, serta banyaknya
aparatur yang mengetahui dan mengerti visi dan misi organisasi.
Strategi Pengembangan Akuntabilitas dan Kinerja PTT
Akuntabilitas kinerja merupakan sebuah kewajiban bagi pegawai dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan yang akan diberikan kepada konsumen sebagai
konskuensi dari bagian good governance, baik PNS maupun PTT. Bagi PTT,
pengukuran kinerja adalah penunjang utama untuk menajdi acuan dalam berkaya,
inovasi dan bekerja, karena PTT sebagai tenaga honorer yang ditertibkan melalui
administratif dalam lingkup kepegawaian melalui pemerintah dengan waktu kerja
sesuai kebutuhan. Oleh karena itu akuntabilitas kinerja PTT layaknya menjadi garda
terdepan dalam memberikan penilaian yang lebih baik bagi atasan maupun
masyarakat sebagai penilaian kepada kinerjanya.
Penilaian kinerja aparatur pemerintah dapat dilakukan secara eksternal yaitu
melalui respon kepuasan masyarakat. Pemerintah menyusun alat ukur untuk
mengukur kinerja pelayanan publik secara eksternal melalui Keputusan Menpan No.
25/KEP/M.PAN/2/2004. Berdasarkan Keputusan Menpan No. 25/KEP/M.PAN/2/2004
tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan
Instansi Pemerintah, terdapat 14 indikator kriteria pengukuran kinerja organisasi
sebagai berikut: (1) prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan; (2)

persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan
untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya; (3) kejelasan
petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan
pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya); (4)
kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan, terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang
berlaku; (5) tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan
tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan; (6)
kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki
petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat; (7)
kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu
yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan; (8) keadilan mendapatkan
pelayanan,
yaitu
pelaksanaan
pelayanan dengan tidak membedakan
golongan/status masyarakat yang dilayani; (9) kesopanan dan keramahan petugas,
yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati; (10) kewajaran
biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang
ditetapkan oleh unit pelayanan; (11) kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian
antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan; (12) kepastian
jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan; (13) kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan
prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa
nyaman kepada penerima pelayanan; (14) keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya
tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang
digunakan sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan
terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
Penilaian Kinerja; Upaya Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik Bagi PTT
LAN (2012) Bukti tentang buruknya kualitas pelayanan publik itu juga
didukung oleh beberapa hasil penelitian mengenai kinerja pelayanan yang dilakukan
oleh birokrasi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hasil penelitian dari
Governance Assessment Survey pada tahun 2006 di sepuluh provinsi di Indonesia
menunjukkan bahwa persepsi masyarakat tentang pelayanan publik masih sangat
buruk. Yang lebih mengejutkan ialah bahwa sebagian besar responden mengatakan
bahwa penyebab kegagalan usaha di daerah ialah birokrasi yang korup (41,7%),
kepastian hukum atas tanah (33,1%), dan regulasi yang tidak pasti (25,2%).
Informasi ini jelas menunjukkan bahwa pelayanan publik di daerah belum berhasil
menjadi penggerak investasi. Sebaliknya, banyaknya keluhan dari para pelaku usaha
di daerah menunjukkan bahwa birokrasi pelayanan publik justru menjadi sumber
penghambat dari investasi dan pengembangan ekonomi kerakyatan. sementara itu,
Dwiyanto (2007: 5) tersedianya ruang untuk menyampaikan aspirasi (voice) dalam
bentuk pengaduan dan protes terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan publik akan sangat penting peranannya bagi upaya perbaikan kinerja
tata pemerintahan secara keseluruhan.
Pengukuran kinerja pelayanan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan public di Indonesia didasar atas berbagai kondisi dan situasi yang
memunkinkan semuanya berjalan dengan baik. LAN. 2007, menggambarkan secara
teoritik bahwa kualitas pelayanan pasti dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
menjadi penentu apakah pelayanan itu baik atau buruk. berikut gambar diagram
faktor yang mempengaruhi pelayanan publik:

B.
menentukan
kebutuhan penggunan
dengan biaya yang
terjangkau
C.
memadukan inovasi
dan teknologi baru
dalam penyedia
pelayanan

A.
menentukan
kebutuhan
penggunan
pelayanan

pelayanan
yang efektif
F.
memastikan
pengguna pelayanan
mendapatkan
keuntungan
maksimum

D.
pengukuran kinerja
secara akurat

E.
memungkinkan
pengguna pelayanan
mendapatkan keadilan

Sumber: NAO (2003) dalam LAN (2007. hal. 4)
Gambar 3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan
PENUTUP
Keberadaan PTT sebagai konskuensi rasional bagi pemerintah dalam
pengangkatannya merupakan keharusan yang diharapkan tidak menimbulkan
permaslahan baru dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pengangkatan
PTT sebagai abdi Negara yang diperbantukan dilembaga pemerintahan merupakan
harapan nyata dari masyarakat terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik yang
diterimanya dengan tidak lagi melihat status yang melekat dalam dirinya. PTT
sebagai SDM pemerintah harus patuh dan taat atas asa dan hukum yang ditetapkan
dengan tetap memandang secara arif dan bijak baik dari pemerintah sebagai
pemangku kebijakan dan PTT sebagai penerima kebijakan untuk secara
proporsional dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Kualitas dan kuantitas PTT
juga harus menjadi perhatian pemerintah dalam rangka menciptakan SDM yang
berkualitas dan berkompten dalam bidang yang ditekuninya sebagai upaya
meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik kepada perbaikan birokrasi
sebagai cita-cita bersama terhadap reformasi birokrasi yang sudah dijalankan
dengan tujuan menciptakan pemerintahan yang baik.
Pemerintahan yang baik, tercipta jika pelayanan kepada masyarakat sudah
dianggap baik, pelayanan yang baik, tentunya harus didukung dan teraplikasi dari
kinerja yang baik dan disiplin serta mempunyai etika dan etos kerja yang tinggi
diantara pegawai. Kinerja sebagai sebuah sendi SDM dalam mingkatkan
pelayanannya dengan sebuah proporsi yang seimbang antara hak dan kewajiban
untuk memberikan motivasi dan penghargaan terhadap pegawai yang mempunyai

reputasi dan prestasi yang tinggi. Kinerja sebagai penilaian terhadap pegawai
merupakan corong dari keberhasilan reformasi birokrasi yang didukung oleh skil dan
kemampuan SDM dengan kompetensi yang memadai sesuai dengan kapabilitasnya
sebagai penyelenggara Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Asropi. 2007. Manajemen Stratejik, Instrumen Peningkatan Kinerja Lembaga
Pelayanan Publik di Daerah. Diterbitkan di “Manajemen Pembangunan” No.
58/II/Tahun XVI, 2007
Cahliana, cecep. 2008. Analisis Penilaian Masyarakat Terhadap Kinerja Pelayanan
Publik Pemerintah Kabupaten Bogor. Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan
Kecamatan Jasinga. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumber
Daya. Fakultas Pertanian Institut Teknologi Pertanian Bogor.
Handyadi, Agus. 2011. Pemberdayaan Aparatur Daerah; Telaah Teoritis Terhadap
Kinerja Aparatu Daerah. Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu
Pemerintahan. Vol I Nomor 1 Tahun 2011
Jawa Pos 16/03/2013. Ikhtiar Reformasi Kinerja Birokrasi Lewat RUU Aparatur Sipil
Negara.
Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004
tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit
Pelayanan Instansi Pemerintah.
Lembaga Administrasi Negara. 2007. Kajian Model Penilaian Kinerja Pelayanan
Publik. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah. 2012. Pengukuran dan Evaluasi kinerja
manajemen PNS di Daerah. Info Kajian Lembaga Administrasi Negara, Vol. 6
No. 1. 59-75
Pusat Kajian Manajemen Pelayanan, Deputi II Bidang Kajian Manajemen Kebijakan
dan Pelayanan Lembaga Administrasi Negara. 2009. Standar Pelayanan
Publik: Langkah-langkah Penyusunan. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara
RUU ASN tentang Aparatur Sipil Negara
Said, Ismail. Tantangan Sumber Daya Aparatur, dalam Jurnal Ilmiah Good
Governance Vol. 2 No. 1, Maret Tahun 2003, Jakarta, STIA-LAN. 2003
Semil, Nurham. 2005. Analisis Penilaian Kinerja Pelayanan Publi Instansi
Pemerintah. Studi Kasus di Kantor Pertanahan Kota Semarang. Tesis. Program
Pascsarajana Universitas diponegoro. Semarang
Undang-undang Nomor: 43/1999 pasal 20 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Winarty, Army. Pemberdayaan Sumber Daya Aparatur dalam Rangka Peningkatan
Kinerja Organisasi Publik, dalam Jurnal Ilmiah Good Governance Vol. 2 No. 1,
Maret Tahun

View publication stats