Analisis Pembentukan Peraturan Perundang. pdf

Nama : Rangga Perbawa Raharja Kartasasmita
NPM : 2014200157
Kelas : B
ESAI FILSAFAT HUKUM :
Analisis Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Nilai-Nilai
Pancasila Dikaitkan Dengan Buku “Philosophy of Law : An Introduction” dari Mark
Tebbit Part 1 BAB I-III

Pancasila telah menjadi dasar keyakinan bagi setiap orang untuk kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia ini. Nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila merupakan
kesepakatan bersama seluruh masyarakat Indonesia. Maka, Pancasila sebagai simbol dan
identitas bangsa sebenarnya sudah bukanlah hal yang asing bagi semua orang. Ditinjau lebih
jauh lagi, Pancasila sejatinya bukanlah simbol atau identitas semata, namun sudah menjadi
pedoman, ideologi serta roh dari bangsa ini untuk membentuk semangat kesatuan dan
harmonisasi.
Keyakinan nilai-nilai Pancasila yang dianggap baik membuat penerapan Pancasila begitu
fleksibel dan mudah diterima masyarakat. Pengedukasian nilai Pancasila menjalar juga
terhadap bidang-bidang sosial yang mempengaruhi masyarakat secara umum. Pendekatanpendekatan yang dilakukan terhadap Pancasila mewujudkan pengaplikasian dalam dunia
hukum, sosial budaya, politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga seringkali terdengar istilah
“Pancasila Sebagai Landasan Hukum”, “Pancasila Sebagai Etika Politik”, “Ekonomi
Pancasila” dan sebagainya. Penerapan tersebut tercipta karena Pancasila dapat menyatukan

pemikiran-pemikiran yang ada.
Dalam konteks hukum, kedudukan Pancasila sebagai suatu ideologi merupakan suatu
landasan dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum yang berlandaskan Pancasila dapat
membentuk “masyarakat toleran” dari pluralitas yang ada karena merupakan karya bersama
bangsa Indonesia yang sumbernya berasal dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu
pembentukan suatu aturan hukum tidak dapat mengesampingkan Pancasila yang sudah
tumbuh dan berkembang menjadi nilai-nilai kehidupan masyarakat.
Mengenai pembentukan peraturan yang akan diterapkan, terdapat produk hukum berupa
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan yang mengatur mengenai mekanisme pembentukan aturan-aturan tersebut,

1

Pancasila sendiri setidaknya disebut sebanyak 9 kali didalamnya undang-undang tersebut,
termasuk Pasal 2 yang berbunyi “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum
negara.”. Pasal tersebut memberikan penegasan akan justifikasi Pancasila sebagai sumber

yang fundamental dari hukum di Indonesia.
Pada kenyataannya, saat ini kekokohan dari Pancasila terutama sebagai sumber hukum
sedang mengalami kegelisahan dari orang-orang. Hal ini terjadi karena hilangnya jati diri dan
keyakinan orang-orang terhadap nilai-nilai relevansi Pancasila yang dipandang sudah kuno.

Pandangan terhadap Pancasila sekarang ini dilihat terlalu abstrak sehingga membuat orangorang memilih nilai-nilai yang sesuai dengan pandangan modern yang sesuai bagi individuindividu. Dengan begitu Pancasila sebagai indentitas perekat bangsa-pun seolah hanya
identitas belaka tanpa penerapan secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Melihat kegelisahan dan keresahan saat ini, Pancasila sebagai sumber hukum sebenarnya
bukan berarti anti terhadap kritik. Henry Thomas Simarmata dalam acara seminar
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila membuat
pernyataan menarik, bahwa Ideologi (Pancasila) bukan tidak dapat diperdebatkan, justru
seharusnya dapat diperdebatkan. Dari pernyataan tersebut kekuatan dari Pancasila inilah yang
akan menjadi ujian dalam fase-fase krisis saat ini untuk kembali dipercayai menjadi sumber
hukum yang kokoh. Jika kembali ke zaman awal perumusan Pancasila sendiri sebenarnya
tercipta melalui perdebatan yang panjang sebelum akhirnya menjadi suatu trust yang
merangkul semua agar menjadi kuat.
Melalui pro-kontra pembentukan Pancasila, hal tersebut merupakan semangat bekerjasama
yang dilakukan semata-mata agar mengfungsikan Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee).
UUD 1945 (Undang-Undang Dasar 1945) sebagai konstitusi negara secara tidak langsung
juga menyinggung perihal rechtsidee dari Pancasila, yakni pada alinea ke-4 yang
menyebutkan bahwa “…Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan

mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” artinya nilai-nilai

Pancasila sebagai sumber hukum juga telah menerima pembenaran secara konstitusional
untuk menjadi rechtsidee.

2

Kedudukan Pancasila dan UUD 1945 sebagai kebijakan tertinggi memang sudah seharusnya
saling menguatkan. Pancasila berperan sebagai ideologi dan sumber dari segala sumber
hukum sedangkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan dasar hukum sekaligus hukum
tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan demikian
rumusan kebijakan apapun secara langsung selalu mengacu kepada kedua hal tersebut agar
menjadi suatu keadilan bagi semua orang.
Kalimat ‘keadilan bagi semua orang’ yang mengacu pada superioritas Pancasila dengan UUD
1945 sebagai kebijakan tertinggi tentu menimbulkan pertanyaan. Keadilan yang diberikan
melalui wujud ideologi dan konstitusi kedalam sistem hukum hanyalah wadah untuk
mewujudkan keadilan tapi bukan keadilan yang sesungguhnya disertai kesetaraan bagi
individu-individu. Jika esensi keadilaan tersebut tidak ditemukan maka tak heran juga
seringkali kekokohan dari Pancasila sebagai kunci dianggap tidak relevan lagi sebagai
rechtsidee yang artinya UUD 45 sebagai hierarki serta peraturan hukum dibawahnya pun


akan ikut rapuh.
Mempertanyakan keadilan didalam ideologi tersebut sebenarnya bisa muncul karena adanya
moralitas yang timbul dari dorongan “Sesuatu yang dianggap baik dan benar oleh seseorang,
belum tentu dianggap baik dan benar bagi orang lain”. Namun, jika hanya ditarik dari suatu
pernyataan seperti itu maka sudah tentu hal tersebut akan mengarah kejawaban sederhana,
yakni relativitas. Pencarian esensi keadilan yang berujung pada relativitas inilah yang
seharusnya dihindari karena dengan demikian perumusan dan perdebatan dalam
pembentukan Pancasila oleh para founding fathers selama ini seolah tidak berguna.
Disatu satu sisi, menerima begitu saja ideologi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum juga sebenarnya tidak bisa dibenarkan karena manusia mempunyai rasio dan akal
untuk terus bepikir. Kemampuan berpikir dengan cara seperti itu yang sebenarnya melatar
belakangi aliran natural law theory (Hukum Kodrat) melalui pemikir seperti St Thomas
Aquinas (1225–74). Pancasila yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum
kenyataannya tercipta melalui pola berpikir manusia-manusia melihat kondisi Indonesia demi
melahirkan suatu nilai-nilai persatuan. Jika menggunakan cara berpikir natural law theory
tentu penerapan yang akan dilakukan oleh Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum tidak mencerminkan kebenaran hukum yang sesungguhnya karena sudah menyentuh
hukum-hukum yang berasal dari pikiran manusia. Dengan begitu, cara berpikir seperti ini,
subyek harus melihat Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang benar secara


3

lahiriah dan mengakomodasi manusia jauh sebelum Pancasila tersebut dibentuk sehingga
terciptalah keadilan melalui hukum yang sebenarnya, artinya juga Pancasila dan aturanaturan lain yang berdasarkan ideology Pancasila harus mempunyai kekuatan seperti
kebenaran dari Tuhan.
Pandangan terhadap Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum tentu kontras
dengan aliran positivism yang mengesampingkan hal-hal lahiriah serta penjelasan yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan melalui ilmu pengetahuan. Aliran positivism sebenarnya
didahului oleh konsep berpikir utilitarianism dari David Hume (1711–76) yang berbicara
mengenai moralitas dipandang sebagai pencarian konsep realia baik dan buruk. Sehingga
melalui padangan Hume, pola pikir dari nila-nilai Pancasila akan menyangkut tingkah laku
dan perbuatan manusia melalui moralitas tersebut. Dengan perkembangan aliran
utilitarianism yang digagas lebih luas dan secara tegas diungkapkan Jeremy Bentham (1748–

1832) maka dapat dipandang bahwa Pancasila merupakan obyek yang dapat dipertanggungjawabkan karena kemanfaatannya berupa rechtsidee yang diinginkan orang-orang. Berbicara
mengenai subyek orang-orang, maka perlu ditelusuri lebih lanjut lagi sebenarnya orang-orang
mana yang dimaksud disini, karena jika mengacu pada gagasan John Austin (1790–1859)
yang mengatakan bahwa hukum yang sebenarnya itu berasal dari orang-orang yang memiliki
kekuasaan dan kekuatan yang superior dalam politik untuk memerintah. Jika demikian dapat

dilihat bahwa proses pembentukan Pancasila sendiri sebenarnya memang tidak lepas dari
orang-orang yang memilki kekuatan pada masanya. Sehingga harus diakui pada masa lalu
dengan periode-periode yang dilalui Indonesia, Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa
untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan politik melalui penafsiran-penafsiran yang
menguntungkan pihak-pihak tertentu. Meskipun begitu, terdapat hal menarik dimana falsafah
Pancasila masih memberikan ruang terbuka kepada masyarakat karena tetap dirasa masih
memberikan manfaat secara pribadi maupun komunal yang sejatinya merupakan inti dari
keseluruhan aliran utilitarianism itu sendiri.
Melanjutkan aliran positivism yang sudah disinggung sebelumnya, jika berangkat kepada
pemikiran Hans Kelsen (1881–1973) yang menyatakan bahwa hukum memang seharusnya
dipandang secara murni sebagai sesuatu yang normatif dan seharusnya memang demikian
adanya, maka Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum merupakan energi kuat yang
menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi diantara berbagai peraturan perundangundangan secara vertikal maupun horizontal karena kemurnian Pancasila sebagai dasar
negara merupakan nilai normatif terluhur bangsa Indonesia. Artinya melalui pemikiran
4

Kelsen ini, Pancasila merupakan hukum yang mutlak dengan sendirinya sekalipun tanpa
melalui pandangan praktis sosial, politik atau ekonomi. Dalam perkembangan aliran
positivism yang lain, jika Pancasila ditinjau melalui pemikiran H.L.A. Hart (1907–95) maka


Pancasila harus dilihat diantara kesatuan aturan primer dan aturan sekunder karena Hart
menyatakan rule of recognition sebagai sesuatu yang penting untuk memenuhi pembentukan
hukum normatif yang dimaksud. Dengan demikian Pancasila dilihat sebagai aturan dasar
negara yang primer menjadi konsep terhadap aturan-aturan sekunder, proses revitalisasi nilainilai Pancasila dalam berbagai bidang proses legislasi hukum menjadi penting ketika akan
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan rule of recognition
sesuai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui aliran positivism ini
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dapat dipandang sebagai sesuatu yang
kokoh dan mengatur secara murni pembentukan norma demi kepastian bagi rakyat Indonesia
yang plural ini.
Dari tulisan-tulisan diatas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia saat ini
memandang Pancasila sejatinya bukanlah simbol atau identitas semata. Kegelisahan dan prokontra yang tumbuh tentang hilangnya kepercayaan terhadap ideologi negara tersebut
sebenarnya hanyalah menjadi ujian dalam menghadapi krisis-krisis yang ada. Nilai-nilai
Pancasila yang menjadi sumber dari segala sumber hukum adalah trust yang tercipta melalui
perdebatan yang panjang dibalik sejarahnya sehingga konflik untuk menciptakan Pancasila
lebih baik adalah gotong royong demi cita-cita bangsa ini. Konsepsi Pancasila sebagai dasar
hukum negara Indonesia merupakan keadaan yang timbul melihat kondisi masyarakat
Indonesia yang plural ini yang dirasa memerlukan instrumen pemersatu bangsa. Melihat
Pancasila dari segi keadilan yang menjadi salah satu rumusannya dapat dipertanyakan
melalui keadilan yang mewakili individu atau kelompok tertentu menjadi cukup penting dari
situasi plural tersebut. Melalui perspektif aliran-aliran yang berkembang seperti natural law

theory, utilitarianism dan positivism untuk melihat Pancasila merupakan bentuk kritis

terhadap ideologi negara dalam konteks hukum positif terutama sebagai hukum tertinggi
diluar konstitusi serta dasar pembentukan setiap aturan. Dalam pandangan tersebut Pancasila
ternyata aplikatif pada setiap aliran-aliran yang berkembang tersebut mengingat nilai-nilai
luhur Pancasila yang terbuka pada kondisi dan keadaan masyarakat terhadap hukum ataupun
hukum terhadap masayarakat, sehingga setiap pembentukan peraturan perundang-undang
berlandaskan Pancasila memberikan indikasi dan keinginan dari pembuat aturan demi
mewujudkan keadilan yang tidak realitf pada moralitas semata.
5

DAFTAR PUSTAKA
Tebbit, Mark. 2005. Philosophy of Law : An introduction, 2nd Edition. New York :
Routledge
Bolo, Andreas Doweng, eta al. 2012. Pancasila Kekuatan Pembebas. Yogyakarta : PT
Kanisius.
Simarmata, Henry Thomas. 2017. Budaya Politik dan Hukum Indonesia
Rumusan Hasil Seminar Pembangunan Hukum Nasional : Revitalisasi Pancasila Dalam
Rangka Penataan Regulasi Untuk Membangun Sistem Hukum Nasional. Oktober 2017.


Referensi Elektronik
Kuncono, Ongky Setiono. Posisi Pancasila Sebagai Landasan Hukum di Indonesia . 2013.
Study Park of Confucius. http://www.spocjournal.com/hukum/422-posisi-pancasila-sebagailandasan-hukum-di-indonesia.html

6

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63