SENGKETA PEMEGANG HAK CIPTA SUATU CIPTAA

UNIVERSITAS INDONESIA

SENGKETA PEMEGANG HAK CIPTA SUATU CIPTAAN (Studi Kasus Wen Ken Drug Co. Melawan PT.SBS, Muchtar Pakpahan Melawan Rekson Silaban dan PT. Holcim Indonesia Melawan PM. Banjarnahor).

(Sebagai salah satu komponen penilaian Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual)

Di susun Oleh :

Budi Wibowo Halim (1306495164) Irena Fatma Pratiwi (1306495605)

Rizka Tri Yunita (1306496002) MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM SALEMBA 2014

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hak kekayaan intelektual (HaKI) dikategorikan sebagai hak atas kekayaan mengingat Haki pada akhirnya menghasilkan karya – karya intelektual berupa pengetahuan, seni, sastra, teknologi, dimana dalam mewujudkannnya membutuhkan pengorbanan tenaga, waktu, biaya, dan pikiran. Adanya pengorbanan tersebut menjadikannya memiliki nilai ekonomis. Nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi kekayaan (property) terhadap karya – karya intelektual tadi. Perjanjian internasional TRIPs agreement menetapkan hak cipta sebagai bagian dari Hak kekayaan intelektual. Hak cipta adalah suatu rezim hukum yang dimaksudkan untuk melindungi para pecipta agar mereka

dapat memperoleh manfaat ekonomi atas hasil karya ciptanya. 1 Hak Cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC).

Pasal 1 angka 1 UUHC, menyebutkan bahwa: 2

hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, baik secara sendiri maupun bersama dengan pihak lain. Selain itu, ia juga berhak memberikan izin kepada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.

Sengketa mengenai Hak kekayaan intelektual khususnya bidang Hak Cipta tak terhindarkan. Biasanya se 3 ngketa tersebut berkisar pada masalah yang bersinggungan dengan pendaftaran hak cipta, yang biasanya berkaitan dengan

1 Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2009),

hal. 137.

2 Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 2002, LN No. 85, TLN 4229, ps. 1 angka 1.

siapa pencipta atau pemegang hak cipta dari ciptaan tersebut. Pencipta adalah pemegang hak cipta atas ciptaannya sementara pemegang hak cipta adalah pencipta itu sendiri sebagai pemilik Hak Cipta atau orang yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang

tersebut. 4 Penentuan siapa pencipta atau pemegang hak cipta dari suatu ciptaan tentunya menimbulkan hak bagi pihak yang ditetapkan sebagai pencipta atau pemegang hak cipta, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Selain hak moral sebagai bentuk pengakuan, hak ekonomi juga merupakan suatu tujuan karena dengan hak tersebut satu pihak bisa mendapatkan keuntungan daripada ciptaannya. Salah satu cara untuk mendapatkan keuntungan tersebut bisa dengan cara perjanjian lisensi.

Perjanjian lisensi (licensing agreement) merupakan perjanjian antara pemberi lisensi (licensor) dengan penerima lisensi (licensee). Licensor memberikan izin kepada licensee untuk menggunakan HKI miliknya untuk memproduksi, mendistribusikan, dan memasarkan produk-produk milik licensor, dan sebagai imbalannya licensor mendapatkan royalti dari licensee. HKI yang diberikan lisensinya dapat berupa hak cipta, merek, paten, rahasia dagang, dan lain-lain. Perjanjian lisensi dapat berskala nasional maupun internasional. Dalam skala internasional, pemberian lisensi HKI pada perusahaan di luar negeri merupakan salah satu bentuk perdagangan internasional yang bertujuan untuk memperluas pasar di luar negeri. Bentuk perdagangan semacam ini banyak dijumpai di Indonesia, di mana perusahaan asing memberikan lisensi HKI kepada perusahaan nasional untuk memproduksi, mendistribusikan, dan memasarkan produk-produknya di Indonesia.

Dalam perjanjian lisensi, perjanjian di antara kedua belah pihak dapat saja disalahgunakan oleh pihak lain, seperti dalam Kasus sengketa hak cipta atas lukisan Badak pada kemasan larutan penyegar cap kaki tiga antara Wen Ken Drug Co. melawan PT. SBS. Wen Ken Drug Co. yang berkedudukan di Singapura adalah perusahaan farmasi yang memproduksi obat-obat luar seperti salep dan juga minuman larutan penyegar yang berguna bagi kesehatan dengan merek dagang “Cap Kaki Tiga”. Hubungan bisnis antara Wen Ken Drug Co.

4 Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual : Suatu Pengantar (Bandung : PT. Alumn, 2006), hal 110 4 Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual : Suatu Pengantar (Bandung : PT. Alumn, 2006), hal 110

Sama halnya dengan sengketa lukisan badan pada larutan cap kaki tiga, sengketa mengenai siapa pencipta dari suatu ciptaan juga terjadi dalam kasus sengketa logo organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) antara Muchtar Pakpahan melawan Rekson Silaban. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H, M.A adalah Pendiri, deklarator dan mantan Ketua Umum SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) yang kini menjadi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBI). Pada tahun 1992, pertemuan Buruh Nasional pertama kalinya dilaksanakan di Wisma Cipayung, Cipayung, Bogor, Jawa Barat. Sebelum dilaksanakannya pertemuan tersebut, Muchtar Pakpahan sudah menyiapkan seni gambar logo untuk diajukan dalam pertemuan Buruh Nasional tersebut untuk dijadikan sebagai lambang Organisasi SBSI hingga kemudian gambar logo itu diterima dan ditetapkan menjadi lambang resmi SBSI. Pada awal Januari 2013, Muchtar Pakpahan baru mengetahui bahwa Rekson Silaban telah mengajukan permohonan pendaftaran hak cipta atas gambar logo SBSI Kantor HaKi pada tanggal 14 Mei 2004 dengan judul "Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia". Pendaftaran hak cipta atas gambar logo SBSI ini dilakukan pada saat Rekson Silaban menjabat sebagai Ketua Umum SBSI tanpa sepengetahuan Muchtar Pakpahan yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi SBSI. Oleh karena itu, Muchtar Pakpahan yang mengetahui ciptaannya telah didaftarkan oleh orang lain melakukan gugatan di

Pengadilan Niaga. Seseorang dapat dikatakan sebagai pencipta atau pemegang hak cipta suatu ciptaan apabila seseorang adalah memang adalah penciptanya, atau apabila seseorang mendapatkan pengalihan hak cipta dengan cara lisensi atau penyerahan hak cipta. Dengan adanya pengalihan hak cipta tersebut maka pihak yang mendapatkan pengalihan hak cipta tersebut bisa mengeksploitasi hak- hak ekonomi dari suatu ciptaan yang dialihkan. Namun berbeda dengan seseorang yang menciptakan sesuatu dalam hubungan kerja dengan perusahaan atau dengan kata lain, orang tersebut adalah karyawan suatu perusahaan. Berdasarkan Pasal 8 ayat 3 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, pencipta yang merupakan pihak yang membuat ciptaan itu dianggap sebagai pencipta dan pemegang hak cipta, kecuali diperjanjikan lain antara kedua belah pihak. Hal ini masih dapat menyebabkan sengketa, seperti halnya dalam kasus antara PM. Banjarnahor melawan PT. Holcim Indonesia. P.M Banjarnahor adalah karyawan dari PT Holcim Indonesia yang kemudian menuntut pembayaran royalti atas ciptaan yang didaftarkan PT. Holcim Indonesia dengan judul “Database Formulasi PMB’s Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri Golongan C” sebagai salah satu ciptaannya dalam melaksanakan tugas sebagai salah satu wakil/anggota tim dari Penggugat dalam proses pembahasan formula penghitungan ganti rugi penambangan batu kapur di Nusa Kambangan. PT. Holcim Indonesia sangat terkejut atas klaim Tergugat yang mendasarkan pembayaran royalti untuk suatu hal yang disebut sebagai “hak cipta” atas cara dan metode pembayaran atau formulasi kompensasi, sedangkan cara dan metode yang disebutkan haruslah didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku dan merupakan jiplakan belaka dari cara atau metode ataupun rumusan yang dicantumkan dalam Perjanjian yang merupakan hasil rumusan tim penilai.

Berdasarkan kasus- kasus sengketa hak cipta di atas, maka penulis akan membahas dan menganalisa lebih lanjut dalam makalah yang berjudul “ SENGKETA PEMEGANG HAK CIPTA SUATU CIPTAAN (Studi Kasus Wen Ken Drug Co. Melawan PT.SBS, Muchtar Pakpahan Melawan Rekson Silaban dan PT. Holcim Indonesia Melawan PM. Banjarnahor).

1.2 Rumusan Masalah

Dalam pembahasan permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan mengenai:

1. Apakah pemberian hak cipta pada penerima lisensi dan tidak diakuinya pemberi lisensi sebagai satu-satunya pemegang hak cipta atas ciptaan yang

menjadi objek perjanjian lisensi sebagaimana dimaksud dalam Putusan MA No. 104 PK/PDT.SUS/2011 tersebut sudah tepat?

2. Apakah penerima lisensi berhak mendapatkan hak cipta atas ciptaan yang menjadi objek perjanjian lisensi?

3. Bagaimana Status hak cipta logo Partai SBSI?

4. Bagaimanakah status penciptaan dari Database Formulasi PMB’s Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri Tambang Golongan C ?

BAB 2 TINJUAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

2.1 Hak Cipta sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual

Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (selanjutnya disebut IPR) yang dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Pada prinsipnya, IPR sendiri merupakan perlindungan hukum atas HKI yang kemudian dikembangkan menjadi suatu lembaga hukum yang disebut

Intellectual Property Right. 5 Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad, pada dasarnya HKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya yang yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia dan memiliki manfaat ekonomi yang berbentuk

nyata biasanya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. 6 Pengertian HKI juga dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang

timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. 7

5 Andriana Krisnawati, Hak pemulia (Breeder’s Right) sebagai Alternatif Perlindungan Hukum Atas Varietas Baru Tanaman Dalam pembangunan Hukum Nasional Indonesia , Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, 24.

Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), 15-16.

Bambang Kesowo, ”Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia”, Makalah pada Pelatihan Teknis Yustisial Peningkatan Pengetahuan Hukum bagi Hakim Tinggi se-Indonesia yang diselenggarakan Mahkamah Agung RI, Semarang, 20-24 Juni 1995, 206.

Pada dasarnya HKI dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu: 8

1. Hak Cipta (copyrights) yang terdiri dari hak cipta dan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighbouring right).

2. Hak Kekayaan Perindustrian yang terdiri dari:

a. Paten (patent)

b. Merek Dagang (trade mark)

c. Desain Industri (industrial design) Bidang-bidang HKI yang telah diatur dalam hukum Indonesia meliputi: Hak Cipta (Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002), Paten (Undang-undang Nomor

14 Tahun 2001), Merek (Undang-undang Nomor 15 tahun 2001), Rahasia Dagang (Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000), Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000), Desain Industri (Undang- undang Nomor 31 Tahun 2000).

2.2 Definisi Hak Cipta Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang

Hak Cipta yang dimaksud dengan hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Patricia Loughlan, hak cipta merupakan bentuk kepemilikan yang memberikan pemegangnya hak eksklusif untuk mengawasi penggunaan dan memanfaatkan suatu kreasi intelektual, sebagaimana kreasi yang ditetapkan dalam kategori hak cipta, yaitu kesusasteraan, drama, musik dan pekerjaan seni serta rekaman suara, film, radio dan siaran televisi, serta karya tulis yang diperbanyak melalui

perbanyakan (penerbitan). 9

Jill McKeough & Andrew Stewart menjelaskan bahwa perlindungan hak cipta merupakan suatu konsep di mana pencipta (artis, musisi, pembuat film)

9 Patricial Loughlan, Intelectual Property: Creative and Marketing Rights, (Australia : LBC Information Services, Australia, 1998), 3.

yang memiliki hak untuk memanfaatkan hasil karyanya tanpa memperbolehkan pihak lain untuk meniru hasil karyanya tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa hak cipta adalah bagian dari hak kekayaan intelektual, dimana pemiliknya mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan hasil ciptaannya dengan cara mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu adalah ditujukan sebagai penghargaan atas kreativitas pencipta itu sendiri. Hal ini bertujuan agar semangat untuk mencipta semakin berkembang di kalangan masyarakat.

Pengertian Hak Cipta sendiri adalah suatu pengertian yang luas yang dapat diklarifikasikan ke dalam beberapa bentuk hak yang berbeda yaitu hak ekonomi (economy rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak

yang berkaitan dengan pemanfaatan secara komersial suatu ciptaan. 10 Suatu ciptaan merupakan hasil karya yang dilihat dari aspek ekonomi pengorbanan merupakan suatu investasi yang perlu dikelola secara komersial untuk mendapatkan pengembalian modal memperoleh keuntungan. Semakin bermutu suatu ciptaan semakin tinggi pula potensi nilai komersialnya. Di samping hak ekonomi seperti yang diuraikan diatas, dikenal pula hak moral (moral rights). Hak moral ini merupakan manifestasi dari adanya pengakuan manusia terhadap hasil karya orang lain yang sifatnya non ekonomi. Dengan kata lain hak moral merupakan penghargaan moral yang diberikan masyarakat kepada seseorang karena orang tersebut tela menghasilkan suatu ciptaan atau karya tertentu kepadanya untuk melakukan sesuatu apabila ada orang yang melanggarnya.

Pengaturan Hak Cipta yang dimiliki oleh Indonesia saat ini memiliki sejarah yang panjang. Lebih dari 70 Tahun lamanya perlindungan Hak Cipta berada dibawah naungan Undang – undang ciptaan Belanda, baru kemudian pada Tahun 1982 kita baru memiliki Undang – undang sendiri yaitu Undang – undang No. 6 Tahun 1982. Namun seiring dengan waktu sejak Undang – undang tersebut diberlakukan ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapakan sesuai

10 Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta Dilengkapi Dengan Susunan dalam Satu Naskah UUHC (1982, 1987 dan 1997) (Jakarta : Penerbit Utan Kayu, 2002), hal. 4 10 Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta Dilengkapi Dengan Susunan dalam Satu Naskah UUHC (1982, 1987 dan 1997) (Jakarta : Penerbit Utan Kayu, 2002), hal. 4

2.3 Prinsip- Prinsip Hak Cipta Berdasarkan Undang- Undang No. 19 Tahun 2002, Prinsip-prinsip dasar

yang terdapat pada hak cipta, yaitu:

1. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli. Dari prinsip ini diturunkan beberapa prinsip yaitu :

a. Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinilitas) untuk dapat menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang.

b. Suatu ciptaan mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tulisan atau bentuk materil lain.

c. Karena hak cipta adalah hak khusus, tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak itu kecuali dengan izin pencipta. 11

2. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis). 12

3. Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak

cipta. 13

4. Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui oleh hukum (legal right) yang harus dipisahkan dan dibedakan dari penguasaan fisik

suatu ciptaan.

5. Hak cipta bukan hak mutlak (absolut).

2.4 Ruang Lingkup dan Pembatasan Hak Cipta

12 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

13 Penjelasan Pasal 35 ayat (4) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Ibid.

Dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta bidang-bidang yang dilindungi hak cipta adalah:

”Ciptaan dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang terdiri dari:

1. Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

2. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

4. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

5. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

6. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

7. Arsitektur;

8. Peta;

9. Seni Batik;

10. Fotografi;

11. Sinematografi;

12. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.”

2.5 Fungsi dan Sifat Hak Cipta Didalam pasal 2 Undang – undang Hak Cipta 1982 yang diperbaharui

dengan Undang – undang Hak Cipta No. 7 Tahun 1987 yang diperbaharui oleh Undang – undang No. 12 Tahun 1997 dan kemudian diperbaharui lagi oleh Undang – undang No.19 Tahun 2002, secara tegas menyatakan dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaan serta memberi izin untuk itu harus memperlihatkan pembatasan– pembatasan menurut peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar setiap penggunaan dan memfungsikan Hak Cipta harus sesuai dengan tujuannya. Yang tujuan utama pembatasan terhadap Hak Cipta ini agar setiap orang dan badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang – wenang, hak cipta mempunyai fungsi sosial, hal ini dengan Undang – undang Hak Cipta No. 7 Tahun 1987 yang diperbaharui oleh Undang – undang No. 12 Tahun 1997 dan kemudian diperbaharui lagi oleh Undang – undang No.19 Tahun 2002, secara tegas menyatakan dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaan serta memberi izin untuk itu harus memperlihatkan pembatasan– pembatasan menurut peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar setiap penggunaan dan memfungsikan Hak Cipta harus sesuai dengan tujuannya. Yang tujuan utama pembatasan terhadap Hak Cipta ini agar setiap orang dan badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang – wenang, hak cipta mempunyai fungsi sosial, hal ini

Didalam penggunaanya harus diperhatikan apakah hal itu tidak bertentangan atau merugikan kepentingan umum. Didalam Undang –undang No. 19 Tahun 2002 menyatakan bahwa Hak Cipta itu merupakan hak khusus, yang berarti tidak ada yang berhak atas hak tersebut kecuali pencipta itu sendiri ataupun orang lain dengan izin dari penciptanya. Artinya, meskipun hak individu itu dihormati namun pada penggunaanya tetap harus memperhatikan

kepentingan umum. Kepentingan – kepentingan tersebut antara lain : 14

1. Pengumuman dan/atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;

2. Pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama pemerintah, kecuali bila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang- undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak ;

3. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar, atau sumber sejenis lain dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap;

4. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;

5. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;

6. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya atau sebagian, guna keperluan ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;

14 Republik Indonesia, Ibid

7. Perbanyakan suatu ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dalam huruf braile guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;

8. Perbanyakan hasil ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan dan pendidikan, dan pusat dokumentasi, yang non-komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;

9. Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan;

10. Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk keperluan sendiri.

2.6 Jangka Waktu Hak Cipta UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta membedakan jangka waktu

perlindungan bagi ciptaan-ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta. Bagi hak cipta atas ciptaan: buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain; drama atau drama musikal, tari koreografi; segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung; seni batik, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, arsitektur, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lain, alat peraga, peta terjemahan, tafsir, saduran dan bunga rampai diberikan jangka waktu perlindungan selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah

pencipta meninggal dunia. 15 Sementara, untuk ciptaan yang telah disebutkan di atas yang diiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih diberikan perlindungan hak cipta selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung

hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya. 16

Selanjutnya hak cipta atas ciptaan program komputer, sinematografi, fotografi, database, data karya hasil pengalihan-wujudan diberikan perlindungan

15 Pasal 29 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

16 Pasal 29 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. 17 Hak cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan diberikan perlindungan selama 50 (lima

puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. 18

2.7 Pendaftaran Hak Cipta Hak cipta berbeda dengan paten dan merek, dimana paten dan merek

mempunyai kewajiban untuk didaftarkan. Sementara hak cipta tidak demikian, hak cipta boleh didaftarkan bleh tidak, karena bila tidak didaftarkan pun hak cipta pun mendapat perlindungan hukum. Seperti yang ditegaskan dalam pasal

5 Undang-Undang Hak Cipta yaitu :

1. Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta adalah :

a. Orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum ciptaan dan pengumuman resmi tentang pendaftaran pada Departemen Kehakiman sperti yang dimaksudkan dalam pasal 29

b. Orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumukan sebagai pencipta pada suatu ciptaan.

2. Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah tidak tertulis dan tidak tertulis dan

tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya, maka orang yang berceramah dianggap sebagai penciptanya. Maka dapat disimpulkan dari keterangan diatas, bahwa untuk mnjadi pemegang hak cipta tidak harus mendaftarkannya. Hak itu telah ada sejak pencipta menciptakan ciptanya.

Namun bila didaftarkan akan lebih menguntungkan dari sisi pencipta, karena nama orang yang tercantum didalam daftar yang ada di kantor hak cipta dinggap sebagai pencipta, yang bila ada pihak lain yang menuntut maka orang yang terdaftar itu dianggap sebagai satu-satunya pemegang hak cipta. Pendaftaran ciptaan bukan hal mutlak untuk memperoleh hak cipta, hanya saja lebih memudahkan pembuktian bila timbul perselisihan.

17 Pasal 30 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

18 Pasal 30 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Satu hal penting dalam Undang-undang Hak Cipta tentang pendaftaran hak cipta terdapat dalam pasal 30 bahwa pendaftaran hak cipta tidak berarti pengesahan isi, arti, atau bentuk dari ciptaan yang didaftarkan. Dengan kata lain penerima pendaftaran (pemerintah) tidak bertanggung jawab atas isi dan juga tidak mengesahkan isi dari yang didaftarkan itu. Pendaftaran dimaksud diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan dicantumkan dalam daftar umum ciptaan yang dapat dilihat oleh setiap orang. Permohonan pendaftaran ciptaan diajukan kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia melalui Direktorat Paten dan Hak Cipta dengan surat permohonan rangkap dua yang disertai :

1. Biaya pendaftaran yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman

2. Contoh ciptaan atau penggantinya Surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu

ciptaan. Apabila permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama beberapa orang maka harus ditulis semua dan memuat satu alamat pemohon. Dan bila pemohon merupakan badan hukum maka permohonan harus disertai dengan akta pendirian badan hukum tersebut. Terhadap permohonan pendaftaran yang memenuhi syarat akan dilakukan pemeriksaan, sedangkan yang tidak memenuhi syarat akan dikembalikan kepada pemohn untuk dilengkapi.

Selanjutnya, Direktorat Paten dan Hak Cipta kemudian akan memeriksa apakah pemohon benar-benar pencipta atau pemegang hak tas ciptaan yang dimohonkan. Apabila permohonan diterima, Direktorat Paten dan Hak cipta akan mendaftarkannya dalam Daftar Umum ciptaan, selanjutnya dalam daftar umum ciptaan sebagaimana Pasal 33 dimuat antara ain tanggal penerimaan, surat permohonan, tanggal lengkap persyaratan (surat permohonan) dan nomor pendaftaran ciptaan. Sebaliknya bila ditolak, pemohon dapat mengajukan permohonan kembali dalam jangka waktu 3 bulan setelah diterimanya penolakan pendaftaran tersebut oleh pemohon.

BAB 3 ANALISA KASUS

Dalam makalah ini kami akan membahas 3 buah kasus, yaitu Kasus sengketa hak cipta atas lukisan Badak pada kemasan larutan penyegar cap kaki tiga antara Wen Ken Drug Co. melawan PT. SBS, kemudian sengketa hak cipta logo organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia anata Muchtar Pakpahan melawan Rekson Silaban, serta Kasus sengketa hak cipta antara PM Banjarnahor melawan PT. Holcim Indonesia.

3.1 Kasus Wen Ken Drug Co VS PT.SBS

3.1.1 Kasus Posisi Perusahaan Singapura Wen Ken Drug Co. Pte Ltd (Wen Ken) adalah

pemberi lisensi hak cipta dan merek minuman penyegar Cap Kaki Tiga kepada perusahaan nasional PT. Sinde Budi Sentosa (PT. SBS). Wen Ken yang berkedudukan di Singapura adalah perusahaan farmasi yang memproduksi obat-obat luar seperti salep dan juga minuman larutan penyegar yang berguna bagi kesehatan dengan merek dagang “Cap Kaki Tiga”. Salah satu produk Wen Ken adalah Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dengan gambar seekor badak pada labelnya. Untuk memasuki pasar Indonesia, pada tahun 1978 Wen Ken pemberi lisensi hak cipta dan merek minuman penyegar Cap Kaki Tiga kepada perusahaan nasional PT. Sinde Budi Sentosa (PT. SBS). Wen Ken yang berkedudukan di Singapura adalah perusahaan farmasi yang memproduksi obat-obat luar seperti salep dan juga minuman larutan penyegar yang berguna bagi kesehatan dengan merek dagang “Cap Kaki Tiga”. Salah satu produk Wen Ken adalah Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dengan gambar seekor badak pada labelnya. Untuk memasuki pasar Indonesia, pada tahun 1978 Wen Ken

Dalam perjanjian lisensi yang ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 8 Februari 1978 tersebut dinyatakan bahwa Wen Ken memberikan lisensi kepada PT. SBS untuk:

1. memproduksi dan memasarkan produk dengan merek dagang “Cap Kaki Tiga”;

2. mengatur pengurusan pendaftaran Merek dan Hak Cipta “Cap Kaki Tiga” di Indonesia;

3. melakukan pendaftaran produk-produk dengan merek “Cap Kaki Tiga” di Departemen Kesehatan RI.

Berdasarkan perjanjian lisensi tersebut, PT. SBS sejak tahun 1980 memproduksi, mendistribusikan, dan memasarkan minuman Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga di wilayah Indonesia. Perjanjian lisensi tersebut kemudian didaftarkan PT. SBS di Direktorat Merek, Ditjen HKI, Departemen Hukum dan HAM tanggal 7 Juli 2008.

Setelah 30 tahun kerja sama antara Wen Ken dengan PT. SBS berjalan dengan baik, Wen Ken dengan surat tertanggal 4 Februari 2008 memutus perjanjian lisensi secara sepihak. Alas an Wen Ken melakukan hal tersebut adalah karena PT. SBS tidak membayar royalti dan tidak menyampaikan laporan produksi dan penjualan produk secara periodic, serta menghilangkan Logo Kaki Tiga dari kemasan produk. Wen Ken meminta PT. SBS untuk tidak lagi memproduksi minuman penyegar merek Cap Kaki Tiga mulai tanggal 7 Februari 2008 dan mengajukan beberapa gugatan pada Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai pembatalan merek dan hak cipta yang berkaitan dengan produk minuman penyegar Cap Kaki Tiga yang telah didaftarkan oleh PT. SBS dan Komisaris Utamanya, Budi Yuwono. Salah satu gugatan tersebut adalah gugatan pembatalan Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 tentang Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badan yang terdaftar atas nama Wen Ken, PT. SBS, dan Budi Yuwono (BY).

Dalam gugatannya, Wen Ken (Penggugat) memohon kepada Pengadilan Niaga untuk menetapkan bahwa dialah satu-satunya pencipta dan atau Dalam gugatannya, Wen Ken (Penggugat) memohon kepada Pengadilan Niaga untuk menetapkan bahwa dialah satu-satunya pencipta dan atau

Dalil-dalil yang diajukan Penggugat dalam gugatannya, antara lain, adalah bahwa ia telah memproduksi minuman penyegar Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak sejak tahun 1937. Ia jugalah yang pertama kali mengumumkan (to make public ) Lukisan Badak yang melekat pada merek Cap Kaki Tiga. Wen Ken menuduh para tergugat memiliki itikad tidak baik dalam mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak, karena tanpa seizing, persetujuan, dan sepengetahuannya, BY mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak sebagai milik bersama antara Wen Ken, PT. SBS, dan BY.

Pengadilan Niaga dengan Putusan No. 31/Hak Cipta/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 21 Juli 2010 mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya. Pengadilan Niaga menetapkan Wen Ken sebagai satu- satunya pencipta dan pemegang hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga, serta membatalkan pendaftaran atas nama PT. SBS dan BY dalam Daftar Hak Cipta dengan nomor pendaftaran 015649.

Merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Niaga tersebut, PT. SBS dan BY kemudian mengajukan kasasi ke MA, PT. SBS dan BY selaku Pemohon Kasasi dalam permohonan kasasinya menilai, Pengadilan Niaga telah salah dalam menerapkan hukum. Hal ini karena Wen Ken (Termohon Kasasi) tidak memiliki bukti yang akurat mengenai Lukisan Badak dan Cap Kaki Tiga yang diklaim telah lama digunakannya. Di sisi lain, yang didaftarkan Pemohon Kasasi bukanlah semata-mata Logo Cap Kaki Tiga, melainkan Seni Lukis Etiket Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga yang merupakan hasil ciptaan Pemohon Kasasi yang orisinil (asli) dan Pemohon Kasasi dapat membuktikan bahwa ciptaannya benar- benar orisinil pada saat pendaftaran hak cipta.

Dalam putusannya MA berpendapat bahwa Pengadilan Niaga telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian. Yang menjadi pertimbangan MA adalah Termohon Kasasi tidak memiliki bukti sebagai pemegang hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dari Negara Singapura atau negara lainnya. Termohon Kasasi juga Dalam putusannya MA berpendapat bahwa Pengadilan Niaga telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian. Yang menjadi pertimbangan MA adalah Termohon Kasasi tidak memiliki bukti sebagai pemegang hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dari Negara Singapura atau negara lainnya. Termohon Kasasi juga

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, MA denagn Putusan No. 768 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 30 November 2010 mengabulkan permohonan kasasi dari PT. SBS dan BY. Dengan demikian, hak cipta dengan nomor pendaftaran 015649 tidak dibatalkan.

Dalam putusan kasasi ini terdapat dissenting opinion dari Hakim Agung Prof. MK. Ia berpendapat, termohon kasasi dapat membuktikan bahwa dialah pemilik hak cipta atas karya lukis Logo Cap Kaki Tiga karena dia yang pertama kali mengumumkan karya cipta tersebut. Apakah hak cipta tersebut harus berdasarkan hukum di Singapura. Prof. MK menilai sangat berlebihan untuk meyakini bahwa asal produk dan hak cipta maupu etiket adalah murni milik Pemohon Kasasi. Lebih lanjut ia berpendapat, bahwa perjanjian lisensi bukanlah perjanjian jual beli, ia hanya izin untuk memproduksi dan memasarkan. Oleh karena itu, Pengadilan Niaga tidak salah menerapkan hukum sehingga permohonan kasasi harus ditolak.

Kalah di tingkat kasasi, Wen Ken kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK). Dalam permohonan PK, Wen Ken (Pemohon PK) mengemukakan alasan-alasan diajukannya PK, antara lain karna MA dalam putusannya telah salah dan keliru menerapkan ketentuan pendaftaran hak cipta sebagai kepemilikan menurut UUHC. Pemohon PK berargumen, hak cipta diperoleh dan dimiliki bukan berdasarkan pendaftaran, namun berdasarkan pengumuman ke publik yang pertama kali. Pemohon PK berpendapat bahwa sistem pendaftaran hak cipta di Indonesia adalah sistem deklaratif. Artinya, pendaftaran tidaklah menerbitkan hak, tetapi hanya memberikan dugaan atau sangkaan bahwa si pendaftar adalah pencipta.

Terhadap permohonan PK tersebut, MA berpendapat bahwa alasan- alasan permohonan PK yang diajukan Pemohon PK tidak dapat diterima. MA menilai, tidak ada kekhilafan/kekeliruan nyata dalam putusan kasasi karena Terhadap permohonan PK tersebut, MA berpendapat bahwa alasan- alasan permohonan PK yang diajukan Pemohon PK tidak dapat diterima. MA menilai, tidak ada kekhilafan/kekeliruan nyata dalam putusan kasasi karena

3.1.2 Analisa

Berdasarkan kasus di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa, pada awalnya, Diantara PT Wen Ken Drug Co. dan PT.SBS terdapat perjanjian lisensi terhadap merek dan hak cipta atas logo Badak pada kemasan minuman penyegar Cap Kaki Tiga dan produk minuman penyegar Cap Kaki Tiga itu sendiri. Kemudian, pihak PT. SBS diketahui bahwa di kemudian hari telah mendaftarkan merek dan logo Cap Kaki Tiga tanpa izin, persetujuan, maupun sepengetahuan pihak Wen Ken Drug di Kantor Hak Cipta, sebagai milik bersama.

 Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang No.19 Tahun 2002, Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan- pembatasan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam Undang- Undang ini, dinyatakan pula bahwa Hak Cipta berlaku secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan. Berdasarkan pasal 5 UU No.19 Tahun 2002, yang dianggap sebagai pencipta adalah :

- Orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal, atau

- Orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu Ciptaan.

Sedangkan, berdasarkan Intellectual & Property Rights Singapore, yang mengatur mengenai Hak Kekayaan Intelektual di Singapura, tempat dimana Wen Ken Drug Co. berada, menyatakan bahwa :

Unlike registered designs, patents and trade marks, there are no formalities required for copyright to subsist and no system of registration of rights. In general, copyright subsists in a work or subject-matter in Singapore if (1) the work or subject-matter was first published or made in Singapore or in a member country of the Berne Convention or the WTO; or (2) the author of the work or the maker of the subject was a citizen or resident of Singapore or of a member country of the Berne Convention or the WTO at the time when the work was first published or made

Yang menyatakan bahwa : Tidak ada formalitas yang mengatur mengenai pendaftaran Hak Cipta, asalkan objek Hak Cipta tersebut pertama diumumkan di Singapura atau dibuat di Singapura, dan penciptanya merupakan warganegara Singapura atau warganegara dari Negara yang mengikuti Berne Convention atau WTO pada saat Ciptaan tersebut dilahirkan.

Selain itu Intellectual & Property Rights Singapore juga mengatur bahwa :

The general rule is that the person who created a work is the owner of the copyright in the work. However, another person is the owner if :

 the copyright was assigned to that person; or  the work was created by the creator in the course of his employment by that

person. Dapat kita lihat bahwa berdasarkan klausa di atas, bahwa Pencipta adalah orang

yang membuat suatu ciptaan yang merupakan pemegang hak cipta dari ciptaan tersebut, namun orang lain juga bisa menjadi pemegang hak cipta apabila hak cipta atas ciptaan tersebut dialihkan kepada orang lain, atau apabila ciptaan tersebut tercipta oleh seseorang dikarenakan pekerjaan, atau dapat disimpulkan, membuat ciptaan tersebut atas suruhan orang lain. Sebagai tambahan, disebutkan pula bahwa :

Additionally, if the person who created the work was doing so in the course of his employment as a journalist or a writer for a newspaper, magazine or Additionally, if the person who created the work was doing so in the course of his employment as a journalist or a writer for a newspaper, magazine or

Seseorang yang bukan pencipta dapat memegang hak cipta atas suatu ciptaan akibat pekerjaan hanya sementara, yaitu dapat menggunakan ha katas ciptaannya dalam tujuan tertentu saja, misalnya seorang fotografer yang menggunakan hak atas foto yang ia buat hanya untuk kepentingan publikasi di majalah / Koran.

Berdasarkan fakta- fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Wen Ken Drug Co. sebagai perusahaan yang berbasis di Singapura, adalah Pencipta dan Pemegang Cipta yang sah dari produk minuman penyegar Cap Kaki Tiga, yang sudah menjadi satu kesatuan dengan Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak yang berada di kemasan minuman penyegar Cap Kaki Tiga. Oleh karena adanya perjanjian lisensi antara Wen Ken Drug Co. dengan PT. SBS, maka PT. SBS dapat dikatakan adalah pemegang lisensi dari produk minuman larutan Cap Kaki Tiga dan pemegang hak cipta dari logo dan format keseluruhan kemasannya.

Dirumuskan oleh Pasal 1 angka 14 UU No. 19 Tahun 2002, Lisensi adalah izin yang diberikan Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/ atau memperbanyak ciptaannya atau produk Hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Dalam pasal ini dapat kita lihat bahwa lisensi adalah suatu bentuk pemberian izin dari pemegang Hak Cipta atau pemegang Lisensi, dimana penerima Lisensi dapat memanfaatkan dan menggunakan hak tersebut, dan bukan mengalihkan hak tersebut, berdasarkan syarat- syarat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang umumnya disertai dengan imbalan berupa royalti.

Akibat dari Lisensi adalah :

1. Pemilik HaKi dapat memakai hak tersebut untuk menciptakan suatu bentuk tambahan penghasilan. Berarti HaKi menjadi asset yang lebih 1. Pemilik HaKi dapat memakai hak tersebut untuk menciptakan suatu bentuk tambahan penghasilan. Berarti HaKi menjadi asset yang lebih

2. Pengguna Haki selain pemilik HaKi dapat melisensikan hak atas produk- produk dan proses- proses mereka, karena ini seringkali lebih efisien

daripada penggunaan sendiri oleh pemilik HaKi. 19

Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa pendaftaran merek dan Hak Cipta minuman penyegar Cap Kaki Tiga oleh PT. SBS ke Kantor HaKi yang mengatasnamakan Wen Ken Drug Co., PT. SBS dan Budi Yuwono adalah tidak dibenarkan. Karena, status PT. SBS hanyalah sebagai pemegang lisensi dari Wen Ken Drug Co. yang merupakan pemegang Hak Cipta asli dari keseluruhan minuman Cap Kaki Tiga. Sebagai pemegang lisensi, PT. SBS hanya berhak mendapatkan hak ekonomis yaitu untuk memproduksi, menjual, memasarkan, dan mendistribusikan produk tersebut di wilayah Republik Indonesia, sehingga pendaftaran hak cipta dan merek oleh PT. SBS tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan sudah sewajarnya dinyatakan batal.

3.2 Kasus Muchtar Pakpahan VS Rekson Silaban

3.2.1 Kasus Posisi

Dr. Muchtar Pakpahan, S.H, M.A adalah Pendiri, deklarator dan mantan Ketua Umum SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) yang kini menjadi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBI). Pada tahun 1992, pertemuan Buruh Nasional pertama kalinya dilaksanakan di Wisma Cipayung, Cipayung, Bogor, Jawa Barat. Pertemuan Buruh Nasional tersebut diprakarsai oleh Penggugat, Almarhum KH.Abdurahman Wahid, Almarhum Suko Waluyo dan Sabam Sirait dan dihadiri oleh 107 (seratus tujuh) orang termasuk Penggugat yang menjadi deklarator berdirinya SBSI pada tanggal 25 April 1992. Sebelum dilaksanakannya pertemuan tersebut, Muchtar Pakpahan sudah menyiapkan seni gambar logo untuk diajukan dalam pertemuan Buruh Nasional tersebut untuk dijadikan sebagai lambang Organisasi SBSI hingga kemudian gambar logo itu diterima dan ditetapkan menjadi lambang resmi SBSI.

19 Pengantar HaKi

Gambar logo yang menjadi lambang organisasi SBSI yang terdiri dari:

1. Warna dasar lambang yaitu putih, yang mencerminkan kesucian

2. Lambang warna hitam atas warna dasar terdiri dari:

a. Rantai, terdiri dari 27 lingkaran atau mata rantai yang mencerminkan persatuan di 27 propinsi;

b. Roda mesin, terdiri dari lima gigi roda mesin, yang mencerminkan kekuatan buruh yang berazaskan Pancasila;

c. Padi dan kapas, yang mencerminkan kemakmuran dan kesejahteraan;

d. Timbangan/ dacing, yang berwarna biru yang mencerminkan keadilan;

e. Pita berwarna merah di bawah lambang organisasi dengan tulisan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, mencerminkan keberanian untuk memperjuangkan tujuan organisasi;

Kemudian, pada tanggal 25 April 1992 Penggugat diangkat secara aklamasi oleh peserta pertemuan Buruh Nasional menjadi Ketua Umum Pertama SBSI dan sejak saat itu gambar logo tersebut digunakan oleh SBSI sebagai lambang resmi dalam setiap aktivitas organisasi. Pada bulan April 2003, Rekson Silaban menjadi Ketua Umum SBSI untuk menggantikan Muchtar Pakpahan dengan masa jabatan dari April 2003 sampai dengan April 2007 dan Rekson Silaban kemudian terpilih menjadi Presiden Konfederasi SBSI untuk periode April 2007 sampai dengan April 2011.

Pada awal Januari 2013, Muchtar Pakpahan baru mengetahui bahwa Rekson Silaban telah mengajukan permohonan pendaftaran hak cipta atas gambar logo SBSI Kantor HaKi pada tanggal 14 Mei 2004 dengan judul "Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia". Pendaftaran hak cipta atas gambar logo SBSI ini dilakukan pada saat Rekson Silaban menjabat sebagai Ketua Umum SBSI tanpa sepengetahuan Muchtar Pakpahan yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi SBSI. Oleh karena itu, Muchtar Pakpahan yang mengetahui ciptaannya telah didaftarkan oleh orang lain melakukan gugatan di Pengadilan Niaga.

Berdasarkan dalil- dalil Penggugat dan eksepsi dari Tergugat, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa :

1. Bahwa dari dalil jawaban Tergugat dan keterangan saksi Siti Musdalifah dan saksi Sunarti sebagaimana di atas, adalah fakta bahwa gambar logo tersebut merupakan konsep dan usul dari Penggugat yang ditawarkan pada peserta pertemuan buruh pada tahun 1992, kemudian ditanggapi oleh para peserta dan disempurnakan dan akhirnya disepakati menjadi logo Organisasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia.

2. Bahwa dengan demikian maka perbuatan Tergugat yang mendaftarkan gambar logo Serikat Buruh Sejahtera Indonesia ciptaan Penggugat tersebut menjadi logo "Konfederasi Serikat Buruh Sejahterah Indonesia" dalam Daftar Umum Ciptaan dengan Nomor Daftar 028742 sebagai karya ciptaan Tergugat adalah tidak sesuai dengan pengertian Pasal 1 ayat (2) jo. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Rl No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu: "Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra".

Oleh karena itu Majelis Hakim sampai pada putusannya untuk :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;

2. Menyatakan Penggugat sebagai pencipta gambar seni logo Serikat Buruh Sejahtera Indonesia;

3. Menyatakan Pendaftaran Hak Cipta dengan judul KONFEDERASI SERIKATBURUH SEJAHTERA INDONESIA Nomor 028742 yang didaftarkan Tergugatdalam Daftar Umum Ciptaan tidak menunjukkan keasliannya;

4. Membatalkan Pendaftaran Hak Cipta dengan judul KONFEDERASI SERIKAT BURUH SEJAHTERA INDONESIA Nomor 028742 yang didaftarkan Tergugat dalam Daftar Umum Ciptaan tersebut;

5. Memerintahkan Pemerintah Republik Indonesia c.q. Menteri Hukum Dan HakAsasi Manusia Republik Indonesia, c.q. Direktur Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang, 5. Memerintahkan Pemerintah Republik Indonesia c.q. Menteri Hukum Dan HakAsasi Manusia Republik Indonesia, c.q. Direktur Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang,

6. Memerintahkan Turut Tergugat untuk menerima pendaftaran gambar seni logo Serikat Buruh Sejahtera Indonesia karya ciptaan Penggugat tersebut dan mencatatnya dalam Daftar Umum Ciptaan;

7. Menolak gugatan Penggugat yang lain dan selebihnya;

8. Menghukum Tergugat dan Turut Tergugat untuk membayar biaya perkara.

3.2.2 Analisa

Berdasarkan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa Muchtar Pakpahan, adalah pencipta dan pemegang hak cipta dari suatu ciptaan yang berupa karya seni yang dijadikan logo dari suatu organisasi yaitu Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBI). Sementara itu, tanpa sepengetahuan Muchtar Pakpahan, Rekson Silaban sebagai Ketua Umum KSBI telah mendaftarkan logo KSBI tersebut kepada Dirjen HaKi sebagai pencipta dan pemegang hak cipta dari logo tersebut, sehingga ia telah mendapatkan sejumlah keuntungan dari penggunaan logo tersebut, dan kemudian melarang Muchtar Pakpahan, yang masih menjadi Dewan Penasihat KSBI, untuk menggunakan logo tersebut.

Berdasarkan pasal 1 angka 2 UU No.19 Tahun 2002, Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama- sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Dalam hal ini, Muchtar Pakpahan adalah pencipta dari logo KSBI, yang berupa suatu lambang dengan atribut- atribut antara lain Rantai, terdiri dari 27 lingkaran atau mata rantai yang mencerminkan persatuan di 27 propinsi, Roda mesin, terdiri dari lima gigi roda mesin, yang mencerminkan kekuatan buruh yang berazaskan Pancasila, Padi dan kapas, yang mencerminkan kemakmuran dan kesejahteraan, Timbangan/ dacing, yang berwarna biru yang mencerminkan keadilan, dan Pita berwarna merah di bawah lambang organisasi Berdasarkan pasal 1 angka 2 UU No.19 Tahun 2002, Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama- sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Dalam hal ini, Muchtar Pakpahan adalah pencipta dari logo KSBI, yang berupa suatu lambang dengan atribut- atribut antara lain Rantai, terdiri dari 27 lingkaran atau mata rantai yang mencerminkan persatuan di 27 propinsi, Roda mesin, terdiri dari lima gigi roda mesin, yang mencerminkan kekuatan buruh yang berazaskan Pancasila, Padi dan kapas, yang mencerminkan kemakmuran dan kesejahteraan, Timbangan/ dacing, yang berwarna biru yang mencerminkan keadilan, dan Pita berwarna merah di bawah lambang organisasi

Logo ini adalah bentuk pemikiran pribadi Muchtar Pakpahan dan para pendiri organisasi SBSI yang sebagian besar merupakan prakarsa Muchtar Pakpahan sendiri yang pada saat itu merasakan pentingnya keberadaan suatu logo dari organisasi yang hendak dibuatnya (pada saat itu bernama Serikat Buruh Sejahtera Indonesia / SBSI). Hak atas ciptaan tersebut kemudian tidak didaftarkan, karena di Indonesia, tidak ada ketentuan yang mewajibkan pendaftaran Ciptaan untuk mendapatkan Hak Cipta, namun Hak Cipta akan dilindungi secara otomatis.

Pada dasarnya penulis sudah setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim mengenai kasus di atas, dimana Majelis Hakim akhirnya mengabulkan gugatan dari Muchtar Pakpahan. Namun, mempertimbangkan pembelaan dari Tergugat, yaitu Rekson Silaban yang menyatakan bahwa logo tersebut adalah milik bersama, milik organisasi sehingga tidak dapat dimiliki oleh satu orang, patut diperhatikan. Tergugat juga menyatakan bahwa pendaftaran logo tersebut merupakan perintah organisasi untuk mencegah penggunaan logo yang sama oleh pecahan organisasi SBSI, yaitu SBSI 1992. Berdasarkan UU Hak Cipta, dalam suatu ciptaan terdapat 2 jenis hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak yang dimiliki seorang pencipta untuk memanfaatkan ciptaannya dalam tujuan komersial yang mendatangkan keuntungan, selain itu hak moral adalah hak seorang pencipta untuk dicantumkan namanya dalam ciptaannya. Hak ekonomi dapat beralih, sementara hak moral melekat seumur hidup dengan penciptanya.

Muchtar Pakpahan membuat logo SBSI berdasarkan pemikirannya, yang diinspirasikan oleh perjuangan kaum buruh pada saat itu. Tujuan Muchtar Pakpahan pada saat itu tidak bersifat komersial, namun berkaitan dengan perlunya adanya logo yang dapat dijadikan lambang dari suatu organisasi yaitu SBSI atau Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Oleh karena itu sudah sewajarnya apabila logo tersebut dapat dikatakan adalah “milik organisasi” dan bukan milik pribadi Muchtar Pakpahan semata. Oleh karena awal mula pembuatan logo ini Muchtar Pakpahan membuat logo SBSI berdasarkan pemikirannya, yang diinspirasikan oleh perjuangan kaum buruh pada saat itu. Tujuan Muchtar Pakpahan pada saat itu tidak bersifat komersial, namun berkaitan dengan perlunya adanya logo yang dapat dijadikan lambang dari suatu organisasi yaitu SBSI atau Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Oleh karena itu sudah sewajarnya apabila logo tersebut dapat dikatakan adalah “milik organisasi” dan bukan milik pribadi Muchtar Pakpahan semata. Oleh karena awal mula pembuatan logo ini

3.3 Kasus PM. Banjarnahor VS PT. Holcim Indonesia

3.3.1 Kasus Posisi Penggugat, yaitu PT. HOLCIM INDONESIA Tbk (dahulu PT. SEMEN