ANALISIS TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN KHUSUS SENGKETA PERTANAHAN DI INDONESIA

(1)

ABSTRAK

ANALISIS TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN KHUSUS SENGKETA PERTANAHAN DI INDONESIA

Oleh: Maharani Nurdin

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang dibutuhkan manusia. Pertumbuhan manusia yang semakin meningkat, sedangkan luas tanah di Indonesia praktis tidak bertambah, menjadikan Tanah sebagai sebuah hal yang bernilai tinggi. Hal ini pun memicu munculnya berbagai sengketa pertanahan yang kian kompleks. Pemerintah sudah menyediakan sarana untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, melalui litigasi dan non litigasi.Namun semua opsi tidak mampu menyelesaikan masalah. Maka muncul alternatif penyelesaian sengketa tanah dengan membentuk pengadilan khusus pertanahan. Pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai landasan hukumnya, yang tertuang pula pada Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria.

Dalam skripsi ini peneliti merumuskan masalah (1) apakah dasar pertimbangan pembentukan pengadilan khusus sengketa pertanahan di Indonesia (2) faktor-faktor penghambat dalam pembentukan pengadilan khusus sengketa pertanahan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif empiris, dengan data yang bersumber dari data primer dan sekunder.

Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa dasar pertimbangan pembentukan pengadilan khusus sengketa pertanahan (1) untuk pemenuhan prinsip fundamental kehidupan manusia sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yaitu perlindungan hukum bagi masyarakat dalam hak atas tanah (2) konflik agraria tidak lagi dianggap sebagai masalah yang bersifat

ordinary melainkan sudah menjadi masalah yang bersifat extra ordinary, oleh karena itu perlu adanya sebuah Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan (3) ketidakmampuan badan litigasi maupun non litigasi dalam menyelesaikan sengketa tanah, para hakim kurang memiliki spesialisasi khusus terkait agraria. Beberapa faktor yang menghambat dalam pembentukan pengadilan khusus sengketa pertanahan antara lain (1) belum adanya kesiapan dari hakim maupun perangkat peradilan lainnya, baik itu jaksa, polisi maupun advokat (2) dalam


(2)

pembentukannya membutuhkan waktu yang relatif tidak singkat dan belum sempurnanya Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria.

Kata Kunci : Pengadilan khusus Sengketa Pertanahan, Penyelesaian Sengketa tanah


(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF COURT ESTABLISHING SPECIFIC FOR LAND PROBLEM IN INDONESIA

By

MAHARANI NURDIN

Lands as one of the gift one supreme god which is consist of natural resources is needed by human beings. The growth of human beings which increases, whereas the large of land in Indonesia does not grow practically, it causes land dispute complexity. Government have provided some facilities to solve land problems, thourgh litigation. Nevertheless all of the option do not solve the problems. Accordingly, there is alternative to solve this problem by establishing court specific for land which is on Plan of Act Agrarian Court. In this research, researcher formulate problem what basic are of establishing of land court in Indonesia and what factors are obstacles in establishing land court.

In this research, researcher formulate problem (1) what basic are of establishing land court (2) What factors are obstacles in establishing land court

The research method used was a normative approach to the empirical, with data from primary and secondary data.

The result of research which is done is known that basic of establishing court consideration specific for land (1) to answer fundamental principals human life which is on article 33 no. (3) UUD 1945, (2) agrarian conflict is not assumed as one ordinary problems however it has become extraordinary problems, (3) disability of litigation department and non litigation in solving land dispute. Some of factors that obstacles in court establishment specific for land dispute for example, (1) there will not be ready court elements, (2) in establishing of court need long time and it is not yet perfect in plan of Agrarian Courts Acts.


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karawang, Jawa Barat pada tanggal 24 Desember 1992 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan (Alm) Ayahanda Drs. H. Nurdin Oking dan Ibunda Hj. Rr. Kristiwuri Andayani. Jenjang pendidikan penulis dimulai pada TK Bhayangkari 12 Karawang, Jawa Barat pada tahun 1997 dan selesai pada tahun 1999. Selanjutnya, penulis melanjutkan jenjang Pendidikan di SD Nagasari 1 Karawang, Jawa Barat dan selesai pada tahun 2005. Setelah itu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Karawang, Jawa Barat dan selesai pada tahun 2008. Kemudian penulis melanjutkan jenjang pendidikan ke SMA Yayasan Pendidikan AL-Ma’soem Islamic Boarding School di Bandung, Jawa Barat diselesaikan pada Tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Jalur Ujian Mandiri program pendidikan Strata 1 (S1) dan mengambil bagian Hukum Administrasi Negara (HAN). Penulis merupakan Anggota dari FOSSI tahun ajaran 2011-2012 dan terdaftar sebagai Anggota HIMA HAN tahun 2013-2014.


(8)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kehadirat allah swt, sebuah karya kecil ini , ku persembahkan untuk :

Kedua orang tuaku, (Alm) ayahanda tercinta, Drs. H. Nurdin Oking, dan Ibunda terkasih, Rr. Kristiwuri Andayani,

Terimakasih untuk segala apa yang telah kalian berikan padaku

Semoga kelak aku dapat terus menjadi anak yang membanggakan kalian.

Adik kecil kesayanganku, Astri Safirti Nurdin,

Semoga karya kecil ini dapat sedikitnya memotivasi mu untuk terus belajar lebih giat.

Seluruh keluarga besar, sahabat, dan teman seperjuangan,

Selalu memberi motivasi, Doa dan perhatian sehingga aku lebih semangat dalam kehidupan ini.

Almamater Universitas Lampung,

Tempat aku menimba ilmu, mendapatkan ilmu dan pengetahuan Disinilah gerbang awalku untuk menuju Kesuksesan.


(9)

MOTO

Hukum memang tak sempurna, karena manusia yang membuat hukum juga tak sempurna. Tapi itu di buat dengan percobaan terakhir untuk melakukan

kebaikan.

Kepuasan terletak pada Usaha, bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah Kemenangan Hakiki. (Mahatma Gandhi)

Dan bahwasanya setiap manusia itu tidak akan memperoleh (hasil) , selain apa yang telah diusahakannya.(Qs. An-Najm:39)


(10)

SANWANCANA

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur kehadirat Allah AWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul : “Analisis Tentang Pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan di Indonesia” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi substansi maupun penulisannya. Oleh karena itu, berbagai saran, koreksi, dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penulis menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri akan tetapi berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, di dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan rasa terimakasih yang tulus kepada:

1) Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;


(11)

2) Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara sekaligus Pembahas 1 (satu) atas kesediaannya dan kesabarannya untuk membantu, mengarahkan dan memberi masukan agar terselesaikannya skripsi ini;

3) Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H selaku Sekretaris Bagian Hukum Administrasi Negara sekaligus Pembahas II (dua) atas kesediaannya dan kesabarannya untuk membantu, mengarahkan dan memberi masukan agar terselesaikannya skripsi ini;

4) Bapak (Alm) Sudirman Mechsan, S.H., M.H sebagai dosen yang pernah ikut andil dalam penulisan skripsi ini, memberikan pengarahan kepada penulis, menjadi sosok yg menginspirasi penulis. Nasehat bapak akan selalu penulis Ingat sebagai pelajaran untuk kehidupan penulis kedepannya. Skripsi ini kehilangan separuh jiwanya ketika Kau pergi. Terimakasih Pak, untuk pernah ada di sini;

5) Ibu Sri Sulastuti, S.H., M.H selaku Pembimbing I (satu) yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan koreksi, masukan dan kritik dalam penulisan skripsi ini;

6) Ibu Ati Yuniati, S.H., M.H selaku Pembimbing II (dua) yang telah dengan sabar memberikan koreksi, masukan dan kritik dalam penulisan skripsi ini; 7) Ibu Siti Azizah, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak mengajarkan nilai-nilai moral kehidupan kepada penulis selama di Fakultas Hukum Unila. Terimakasih atas segala bimbingan, dan waktu yang diluangkan selama ini untuk penulis;


(12)

8) Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis, serta kepada seluruh staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Lampung;

9) Bapak Andi Maderumpu, S.H., M.H , Ibu Hastin Kurnia Dewi S.H., M.H dan Ibu Eka Putranti S.H., M.H , ketiganya selaku Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandarlampung, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk penulis melakukan wawancara pada saat penulis melakukan penelitian;

10)Bapak Suhada, S.H., M.H , Bapak Ramli, S.H., M.H , Bapak Suhadi S.H., M.H , Ibu Elis Binarsih S.H., M.H , Ibu Masnah, S.H , kelimanya sebagai pejabat di Kantor Pertanahan Kota Bandarlampung, yang telah dengan ramahnya melayani dan meluangkan waktu untuk penulis melakukan wawancara sekaligus memberikan kuisioner pada saat penulis melakukan penelitian;

11) Sahabat HIMA HAN sebagai sahabat dan keluarga terbaik selama masa perkuliahan, semoga HIMA HAN selalu jaya, terimakasih untuk doa dan dukungannya;

12) Keluarga Besar Fakultas Hukum 2011 terimakasih telah menjadi bagian perjalanan hidupku, besar harapan untuk tetap menjalin silaturahmi tak berujung;

13) Kedua orang tua penulis yang telah menjadi sumber semangat hidup dalam hidup penulis, (Alm) Ayahanda tercinta Drs. H. Nurdin Oking dan Ibunda tercinta Rr. Kristiwuri Andayani yg telah menjadi orang tua yg hebat dan terbaik bagi penulis. Maaf pak, sampai di hari kematian Bapak,


(13)

Saya belum bisa menjadi anak yang membanggakan dan membalas semua pengorbanan yangg telah Bapak lakukan. Terimakasih Bu, telah menjadi Ibu yang kuat, berjuang seorang diri untuk kami. Saya janji kita pasti bahagia. Semoga (Alm) ayahanda di surga sana dapat melihat dan bangga. Untuk Ibu, baru ini yang dapat ku persembahkan, perjuangan ku belum berakhir sampai sini, masih akan berjuang lagi dan lagi melajutkan jenjang pendidikan S2, hingga menjadi Notaris seperti harapan Ibu. Semoga ibu selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan Allah. Menemani saya hingga nanti. Aamin yaa rabbal alamin;

14)Untuk Adikku satu-satunya Astri Safitri Nurdin. Tetap menjadi anak yang baik, adik yang selalu sayang sama mbaknya. Terimakasih untuk doa dan motivasi terbesar untuk mbak.

15)Kakek, Nenekku yang telah teramat menyayangiku sebagai cucunya.Mak Anis yang telah merawatku dari kecil. Terimakasih, panjang umur, sehat selalu. Pakde Sigit, Oom Maman yang telah berperan sebagai pengganti “ayah” dalam hidupku. Bunda dewi, Bude Susi terimakasih untuk kasih sayang, doa dan dukungannya kepadaku selama ini;

16)Untuk Keluarga besar yang menjadi pacuan bagiku untuk meraih kesuksesan, terimakasih untuk doa-doa terbaik yg diberikan untukku; 17)Sahabat terbaikku dari SMP hingga sekarang, Madehameupi ++ (Abi,

Harry, Mega, Upan, Intan, Gina, Ayu ) kangen banget sama kalian, pengen kumpul seperti dulu lagi;

18)Sahabat terbaikku di Fakultas Hukum Universitas Lampung, UG : Prafika, Rachmi, Desy, Laras, Lia aprilliana, Lia Nurjannah, Dwi nur Aulia, dan


(14)

juga untuk M. Rizky Arief Setiawan. Terimakasih untuk kebersamaannya selama ini. Kebahagiaan dan canda tawa yang selalu kalian berikan. Terimakasih juga untuk doa, dukungan, motivasinya. Semoga kita selalu dapat bisa menjalin persahabatan seperti saat ini. Aku sayang kalian!; 19)Untuk teman-teman Kosan Asrama Sultan, Nikmatul Amalia, Fitri Bubun,

Fitri Mop, Elly kurnia, Lia Dn, Erlina, Hilda, Ibet, Tika, Ami, terimakasih untuk keseruan dan kehebohannya, semangat untuk mengerjakan Skripsinya, biar cepet nyusul lulus, Aku Rindu kalian!;

20)Teman-teman KKN Tematik Unila 2014, Uwil, Titi, Winda, Kak Yogi, Kak Bram, Kak Aldo, Kak Evry, Mbak Ayi, Mbak Ovi, Tunjung, Dea, terimakasih sudah menjadi sahabat dan keluarga saat 40 hari disana dan sampai saat ini. Moment yg tak terlupakan saat bersama kalian!;

21)Untuk Estan Rico Maulana sebagai seseorang yang berperan multifungsi dalam hidup saya. Sahabat terkasih, yang sudah menemani saya hingga saat ini. Membagi kebahagian dan kesedihannya bersama saya. Terimakasih untuk segalanya;

22)Untuk seseorang yang masih menjadi Rahasia-Nya yg kelak akan mendampingiku selamanya. Karya Kecil ini untukmu,Mas;

23)Serta semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terimakasih atas doa dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT mencatat dan mengganti semuanya sebagai amal sholeh.


(15)

Akhir kata, sangat penulis sadari bahwa berakhirnya masa studi ini adalah awal dari perjuangan panjang untuk menjalani kehidupan yang sesungguhnya.Sedikit harapan semoga karya kecil ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandarlampung, Penulis,


(16)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

DAFTAR ISI ... .ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. ... 1

1.2 Rumusan masalah. ... 4

1.3 Tujuan dan kegunaan Penelitian. ... 5

1.3.1. Tujuan Penelitian. ... 5

1.3.2. Kegunaan Penelitian. ... 5

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Tanah. ... 6

2.2 Pengadilan dan Peradilan. ... 7

2.2.1 Pengertian Pengadilan dan Peradilan. ... 7

2.2.2 Lembaga Peradilan di Indonesia. ... 8

2.2.3 Pengadilan Khusus. ... 9

2.3 Kasus Pertanahan. ... 9

2.3.1 Sengketa Pertanahan. ... 11

2.3.2 Konflik Pertanahan. ... 12

2.3.3 Perkara Pertanahan. ... 13

2.4 Jalur Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia. ... 14

2.4.1 Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Pengadilan. ... 14

2.4.2 Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. ... 16

2.4.3 Penyelesaian Sengketa Menurut HukumAdat. ... 23


(17)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian... 28

3.2 Sumber Data... 28

3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data. ... 30

3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data. ... 30

3.3.2 Prosedur Pengolahan Data. ... 30

3.3 Analisis Data. ... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Dasar Pertimbangan Pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan di Indonesia. ... 32

4.1.2 Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat ... 42

4.1.3 Pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan. ... 47

4.1.4 Pandangan Hakim Tata Usaha Negara Bandarlampung. ... 54

4.1.5 Pandangan Aparat Kantor Pertanahan Bandarlampung.. ... 56

4.1.6 Skema Pengadilan Khusus Pertanahan ... 58

4.2 Faktor Penghambat Pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan di Indonesia. ... 59

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan. ... 66

5.2 Saran. ... 67

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik yang langsung untuk kehidupannya seperti bercocok tanam atau tempat tinggal, maupun untuk melaksanakan usaha, seperti untuk tempat perdagangan, industri, pertanian, perkebunan, pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana lainnya.

Tanah diatur dalam Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Pasal 2 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa, “Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan di dalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. UUPA adalah hukum tanah nasional yang berlaku di Negara Republik Indonesia. UUPA merupakan hukum agraria nasional yang di-saneer dari hukm adat.1 Sebagai hukum tanah nasional, UUPA merupakan peraturan dasar/pokok bagi 44 aturan pelaksanaannya, baik yang berupa Undang-Undang maupun peraturan pemerintah.

1

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan hukum tanah,


(19)

2

Dewasa kini, dengan pertambahan penduduk yang semakin meningkat sedangkan luas tanah Indonesia praktis tidak bertambah, maka munculah berbagai masalah atau konflik pertanahan. Sejumlah besar kasus sengketa tanah yang terjadi di Indonesia tidak mampu di selesaikan dengan tuntas oleh lembaga peradilan nasional, ini mengakibatkan sengketa pertanahan yang berlarut-larut dan tidak adanya kepastian hukum atas status kepemilikan tanah. Secara umum, sengketa tanah timbul antara lain akibat faktor-faktor berikut, seperti peraturan yang belum lengkap, ketidaksesuaian peraturan, pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia, data yang kurang akurat dan kurang lengkap, data tanah yang keliru, keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah, transaksi tanah yang keliru, ulah pemohon hak atau adanya penyelesaian dari instansi sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Pemerintah sudah menyediakan sarana untuk menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut, yaitu melalui litigasi maupun non litigasi. Namun kesemuanya tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan tidak memberikan rasa keadilan bagi para pihak terkait.

Bila melihat kembali pada catatan sejarah, penyelesaian konflik pertanahan dahulu di tangani oleh pengadilan land reform. Pengadilan land reform hanya mengadili perkara-perkara perdata, pidana, dan administrasi yang timbul karena penerapan peraturan land reform seperti UU No.2/1960, UU No 56 Prp Tahun


(20)

3

1960, UU No.5/1960, UU N0 38 Prp Tahun 1960, UU No. 51 Prp Tahun 1960 dan UU No. 16/1964.2

Dalam praktiknya peradilan land reform tidak berjalan lancar. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain karena terlalu luasnya wilayah hukum tiap-tiap pengadilan land reform daerah. Sumber daya manusia penegak hukumnya juga menjadi masalah. Ternyata para pejabat terkait banyak sekali yang tak peduli terhadap peraturan-peraturan land reform seperti penerapan ketentuan UU No. 56 Prp 1960, PP No. 224 Tahun 1961, UU No.2 Tahun 1960. Akibatnya, banyak persoalan tanah di pengadilan land reform tidak dapat terselesaikan dengan baik.

Seiring waktu land reform yang awalnya merupakan kebijakan politik pemerintah untuk merombak struktur penguasaan tanah yang di warnai feodalisme tidak dapat dikembangkan dengan mulus karena adanya pemanfaatan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Muncul kemudian persepsi bahwa UUPA merupakan produk PKI. Soekarno digantikan Soeharto sebagai kepala Negara. Selama Pemerintahan Soeharto (Orde baru) kebijakan politik ekonomi Indonesia berfokus pada pertumbuhan. Land reform tidak lagi menjadi isu sentral.

Pemerintah Soeharto menganggap banyak ketidakjelasan hukum yang berkaitan dengan land reform ini. Selain itu penyelesaian perkara tanah oleh pengadilan

land reform pun tidak efektif. Begitu pula, materi yang di atur dalam peraturan

land reform, khususnya UU Ni.21/1964, bertentangan dengan materi yang di atur dalam UUD 1945. Maka melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1970 tanggal 31

2

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta,2003, hlm400-401.


(21)

4

Juli 1970 (LN 1970 No.41-TLN No.2939), UU No.21/1964 dicabut dan pengadilan land reform di hapuskan. Sejak keberadaan pengadilan land reform

dihapuskan tahun 1970, maka penyelesaian konflik agraria secara struktural disatukan melalui mekanisme pengadilan umum.

Sengketa agraria memang merupakan suatu bentuk sengketa yang bersifat kompleks atau multidimensi dan spesifik sehingga memerlukan pengetahuan khusus. Kurang tersedianya tenaga ahli dalam badan peradilan yang menangani kasus sengketa pertanahan serta belum adanya peraturan pelaksanaan dalam UUPA mengenai hal ini menjadi salah satu penyebab sulitnya menyelesaikan masalah pertanahan.

Berdasarkan Uraian di atas Penulis tertarik untuk melakukan analisis tentang masalah ini. Penelitian ini di tuangkan dalam judul skripsi : ANALISIS TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN KHUSUS SENGKETA PERTANAHAN DI INDONESIA

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1) Apakah dasar pertimbangan pembentukan pengadilan khusus sengketa pertanahan di Indonesia ?

2) Apakah faktor penghambat dalam pembentukan pengadilan khusus sengketa pertanahan di Indonesia?


(22)

5

1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui dasar pertimbangan sehingga lahir ide pembentukan pengadilan khusus sengketa pertanahan di Indonesia.

2) Untuk mengetahui faktor penghambat dalam pembentukan pengadilan khusus sengketa pertanahan di Indonesia.

1.3.2 Kegunaan Penelitian 1) Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperluas juga memperdalam ilmu hukum termasuk di dalamnya ilmu hukum administrasi negara yang berkaitan dengan hukum agraria dalam mengkaji atau menganalisis mengenai permasalahann hukum di Indonesia terutama menyangkut solusi penyelesaian masalah pertanahan di Indonesia.

2) Kegunaan Praktis

a) Upaya peningkatan dan perluasan pengetahuan bagi penulis dalam bidang hukum.

b) Bahan kajian bagi penulis maupun masyarakat dalam melihat perkembangan sistem hukum di Indonesia menyangkut soal pertanahan.

c) Sumbangan pemikiran dan bahan bacaan dan sumber informasi serta bahan kajian lebih lanjut bagi yang membutuhkan.

d) Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Universitas Lampung bagian Hukum Administrasi Negara.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengertian Tanah

Tanah (bahasa Yunani: ager; bahasa Latin: akker) adalah bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik. Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah itu di gunakan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanahadalah :

1) permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; 2) keadaan bumi di sustu tempat

3) permukaan bumi yang diberi batas;

4) bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir,cadas,napal dan sebagainya).

Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” di pakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.


(24)

7

Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa atas dasar hak menguasai dari negara… ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah , yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang..1

Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi. Menurut pendapat Jhon Salindeho mengemukakan bahwa : Tanah adalah suatu benda bernilai ekonomis menurut pandangan bangsa Indonesia, ia pula yang sering memberi getaran di dalam kedamaian dan sering pula menimbulkan guncangan dalam masyarakat, lalu ia juga yang sering menimbulkan sendatan dalam pelaksanaan pembangunan.

2.2 Pengadilan dan Peradilan

2.2.1 Pengertian Pengadilan dan Peradilan

Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Bentuk dari sistem Peradilan yang dilaksanakan di Pengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian keadilan baik dalam perkara sipil, buruh, administratif, maupun kriminal.

Sedangkan Peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan atau menemukan hukum “in concret” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan

1

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: SejarahPembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm.18


(25)

8

kepadanya untuk diadili dan di putus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara procedural yang ditetapkan oleh hukum formal.

Dari kedua uraian di atas dapat dikatakan bahwa, Pengadilan adalah lembaga tempat subjek hukum mencari keadilan, sedangkan Peradilan adalah sebuah proses dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan itu sendiri.2

2.2.2 Lembaga Peradilan di Indonesia

Badan peradilan tertinggi di Indonesia adalah Mahkamah Agung, sedangkan Badan Peradilan yang lebih rendah yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah :

1) Badan peradilan Umum a) Pengadilan Tinggi b) Pengadilan Negeri 2) Badan Peradilan Agama

a) Pengadilan Tinggi Agama b) Pengadilan Agama

3) Badan Peradilan Militer a) Pengadilan Militer Utama b) Pengadilan Militer Tinggi c) Pengadilan Militer

2

pn-yogyakarta.go.id/pnyk/info-peradilan/pengertian-peradilan.html (diunduh 15/07/2014 jam 14.25)


(26)

9

4) Badan Peradilan Tata Usaha Negara a) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara b) Pengadilan Tata Usaha Negara

2.2.3 Pengadilan Khusus

Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, memutus perkara tertentu yang hanya dapat di bentuk dalam satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-Undang. Hingga saat ini terdapat delapan pengadilan khusus, yakni enam pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, satu pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, dan satu pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.3

2.3 Kasus Pertanahan

Era reformasi yang ditandai dengan semangat demokratisasi dan transparansi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, membangkitkan keberanian masyarakat untuk menuntut penyelesaian atas apa yang dirasakannya sebagai suatu ketidakadilan, dan hal itu juga menyangkut masalah pertanahan. Terlebih lagi bila masalah ini juga ditunjang dengan semakin pentingnya arti tanah bagi penduduk. Pertumbuhan penduduk yang amat cepat baik melalui migrasi maupun urbanisasi, sementara jumlah lahan yang tetap menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi.4

3

http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilankhusus (diunduh 16/07/2014 jam 20.00)

4


(27)

10

ermasalahan tanah sekarang sudah merambah kepada persoalan sosial yang kompleks dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan secara komprehensif. Perkembangan sifat dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya persoalan administrasi pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi, tetapi kompleksitas tanah tersebut sudah merambah kepada ranah politik, sosial, budaya dan terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak asasi manusia. Persoalan tanah juga masuk ke persoalan hukum pidana yakni persengketaan tanah yang disertai dengan pelanggaran hukum pidana (tindak pidana). Tidak jarang, persoalan pertanahan atau agraria secara umum disertai dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.

Dalam keputusan Kepala BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan disebutkan bahwa Masalah pertanahan meliputi permasalahan teknis, sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian. Dalam keputusan tersebut, disebutkan pula bahwa permasalahan teknis adalah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan atau Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, di pusat maupun daerah berkaitan dengan sistem perundang-undangan, administrasi pertanahan, atau mekanisme penanganan yang belum sempurna.5

Sedangkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan memberi batasan mengenai apa itu kasus pertanahan. Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala BPN tersebut menyatakan

5


(28)

11

bahwa kasus pertanahan adalah sengketa, konflik, atau perkara pertanahan yang di sampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.

2.3.1 Sengketa Pertanahan

Dalam ranah hukum, dapat dikatakan bahwa sengketa adalah masalah antara dua orang atau lebih dimana keduanya saling mempermasalahkan suatu objek tertentu. Hal ini terjadi di karenakan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Berdasarkan Keputusan BPN RI Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, sengketa pertanahan adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau public) mengenai status penguasaan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.

Definisi mengenai sengketa pertanahan mendapat sedikit penekanan dalam peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara social-politis.


(29)

12

Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.

Sedangkan obyek sengketa tanah meliputi tanah milik perorangan atau badan hukum, tanah aset negara atau pemda, tanah negara, tanah adat, dan ulayat, tanah eks hak barat, tanah hak nasional, tanah perkebunan, serta jenis kepemilikan lainnya.6

2.3.2 Konflik Pertanahan

Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.

Menurut Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, konflik adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status Keputusan Tata Usaha Negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tertentu, serta mengandung aspek politik,ekonomi dan social budaya.

Penekanan “mengandung aspek politik, ekonomi, sosisl dan budaya” inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan konflik pertanahan versi Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2007 tersebut.

6


(30)

13

Demikian juga dengan definisi konflik pertanahan menurut Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, yang memberi penekanan bahwa konflik pertanahan adalah perselisihan pertanahan anatara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis.7

Sengketa atau konflik hakekatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih.8

2.3.3 Perkara Pertanahan

Definisi perkara menurut Keputusan Kepala BPN Nomor 34 Tahun 2007 adalah sengketa dan atau konflik pertanahan yang penyelesaiannya dilakukan melalui badan peradilan. Senada dengan definisi tersebut, Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan memberi pengertian bahwa perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganannya di BPN RI.

Dari kedua pengertian ini, dapat dikatakan bahwa sebuah konflik atau sengketa berkembang menjadi perkara bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya dengan melakukan pengaduan atau gugatan

7

Ibid , hlm, 51

8


(31)

14

melalui badan peradilan umum baik secara langsung maupun melalui kuasa hukum kepada pihak yang di anggap sebagai penyebab kerugian.9

2.4 Jalur Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia 2.4.1 Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Pengadilan a) Pengadilan Umum

Prinsip penting yang harus dipegang oleh negara hukum adalah terjaminnya penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka. Arti merdeka di sini adalah bebas dari pengaruh kekuasaan lain saat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan keadilan, kebenanaran, dan kepastian hukum. Agar itu terwujud perlu pengaturan susunan, kekuasaan, serta lingkungan peradilan umum. Yang terakhir ini dasarnya adalah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.10

Pengadilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 1986).11

Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum di jalankan oleh : 1) Pengadilan Negeri yang merupakan pengadilan tingkat pertama. 2) Pengadilan Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding.

3) Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum berpuncak pada Mahkamah Agung RI sebagai pengadilan negara tertinggi

4) (Pasal 3 UU No. 2 Tahun 1986)

9

Bernhard Limbong , Op.cit., hlm 52.

10

Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, PT Gramedia, Jakarta, 2014, hlm.225

11

Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm.32.


(32)

15

Pengadilan Negeri berkedudukan di kotamadya atau di ibukota kabupaten. Daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Sedangkan Pengadilan Tinggi Berkedudukan di ibukota provinsi. Daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

b) Pengadilan Tata Usaha Negara

Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal penyelesaian sengketa atas tanah dapat dilihat dalam ketentuan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 2, Pasal 5 ayat (1), Pasal 50, Pasal 51. Sedangkan dalam Yurispudensi dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 84 K/TUN/1999 tanggal 14 Desember 2000 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 168 K/Pdt//1998 tanggal 29 September 1999.12

Macam-macam sengketa yang ditangani pengadilan tata usaha negara pada inti penyebabnya adalah putusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pejabat TUN yang berwenang.

Sengketa Tata Usaha Negara diselesaikan dengan dua cara yakni : 1) Melalui upaya administrasi (vide Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986).13

Cara ini merupakan prosedur yang dapat ditempuh seseorang atau badan hukum perdata apabilatidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara.

Bentuk upaya administrasi adalah:14

12

Bernhard Limbong , Op.cit., hlm 327

13

Erman Suparman, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara), Fokusmedia, Bandung, 2044, hlm.59.

14


(33)

16

a) Banding Administratif, yaitu upaya penyelesaian yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan itu. b) Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri

oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu.

2) Melalui gugatan

Subjek atau pihak-pihak yang berpekara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua pihak, yaitu:

a) Penggugat, yaitu seseorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di pusat maupun di daerah.

b) Tergugat, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.

2.4.2 Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan adalah melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau dalam bahasa Inggris disebut

Alternative Disputes Resolution (ADR). Ada juga yang menyebutnya sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Koorperatif (MPSSK).15

Penyelesaian sengketa dengan menggunakan Alternative Disputes Resolution

(ADR) sebenarnya merupakan model penyelesaian sengketa yang sangat cocok dengan karakter dan cara hidup masyarakat yang bersifat kekeluargaan,

15

Priyatna Adurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm.11.


(34)

17

dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan yang cenderung bersifat konfrontatif, lebih memperhitungkan menang dan kalah, lebih memperhitungkan aspek yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sebagaimana juga di atur dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dapat dilakukan melalui cara-cara berikut ini:16

a) Musyawarah ( Negotiation)

Negosiasi merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang banyak digunakan oleh berbagai pihak dalam menyelesaikan permasalahan ataupun sengketa di antara mereka. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Penyelesaian sengketa atau beda pendapat ini disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2).

Negosiasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa atau oleh kuasanya, tanpa bantuan dari pihak lain, dengan cara musyawarah atau berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap adil di antara para pihak. Hasil dari negosiasi berupa penyelesaian kompromi yang tidak mengikat secara hukum. Pada umumnya negosiasi digunakan dalam sengketa yang tidak terlalu pelik, dimana para pihak masih beritikad baik dan bersedia untuk duduk bersama memecahkan masalah.17

16

Bernhard Limbong, Op.Cit., hlm.335

17


(35)

18

b) Konsiliasi

Konsiliasi merupakan bentuk pengendalian konflik sosial yang utama. Pengendalian ini terwujud melalui lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan. Dalam bentuk konsiliasi, konflik pertanahan diselesaikan melalui parlemen, dimana kedua belah pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai kesepakatan.18

Konsiliasi adalah penyelesaian konflik, termasuk konflik pertanahan yang di tengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral yang dipilih atas kesepakatan para pihak. Konsiliator tersebut harus terdaftar di kantor yang berwenang menangani masalah pertanahan, dalam hal ini misalnya di Kantor BPN. Konsiliator harus dapat menyelesaikan perselisihan tersebut paling lama tiga puluh hari sejak menerima permintaan penyelesaian konflik tersebut. Pada kesempatan pertama penyelesaian tersebut, konsiliator wajib mendamaikan para pihak terlebih dahulu. Jika terjadi kesepakatan damai, maka dibuatkan perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di pengadilan wilayah hukum mana kesepakatan damai itu di buat. Bila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan tersebut, pihak lainnya dapat mengajukan permohonan eksekusi di pengadilan tempat perjanjian bersama didaftarkan.

c) Mediasi

Mediasi merupakan pengendalian konflik (pertanahan) yang dilakukan dengan cara membuat consensus di antara dua pihak yang berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyelesaian

18


(36)

19

konflik. Pengendalian ini sangat berjalan efektif dan mampu menjadi pengendalian yang selalu digunakan oleh masyarakat.19

Dalam menyelesaikan konflik melalui cara mediasi, kedua belah pihak sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga. Penyelesaian konflik melalui bentuk ini dilakukan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak yang berkonflik bahwa masalah mereka akan diselesaikan melalui bantuan seorang atau beberapa penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Pihak ketiga yang bersifat netral (tidak memihak) serta independen, dalam artian tidak dapat diintervensi oleh pihak lainnya.

Dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik melalui mediasi, Gunawan Wijaya berpendapat bahwa mediator selaku pihak di luar perkara yang tidak memiliki kewenangangan memaksa, berkewajiban mempertemukan para pihak yang berkonflik guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipermasalahkan.20

Sebagai suatu cara penyelesaian alternatif, mediasi mempunyai ciri-ciri yakni waktunya singkat, terstuktur, berorientasi kepada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif. Pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai kelebihan dari segi biaya, waktu, dan pikiran bila dibandingkan dengan berpekara di muka pengadilan, disamping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya membuat lembaga pengadilan

19

Ibid., hlm.339

20

Gunawan Wijaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 92


(37)

20

merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, kiranya pemanfaatan lembaga mediasi dapat merupakan alternatif yang berdampak positif untuk penyelesaian sengketa pertanahan.21

d) Arbitrase

Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa akan hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan bagi mereka dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Dalam penyelesaian secara arbitrase, kedua belah pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar bagi konflik yang terjadi di antara para pihak. Yang berperan untuk menyelesaikan konflik di sini ialah seorang arbitrator atau majelis arbitrator.

Sehubungan dengan pemakaian bentuk arbitrase ini, Maria S.W. Soemardjono pernah melontarkan gagasan tentang penggunaan lembaga Arbitrase Pertanahan sebagai alternatif penyelesaian sengketa pertanahan. Untuk melaksanakan arbitrase pertanahan ini, menurut Soemardjono, diperlukan pemahaman tentang peta permasalahan tanah sebagai latar belakang dan prinsip dasar arbitrase untuk menjawab apakah perlunya atau belum diperlukannya kehadiran arbitrase pertanahan sebagai suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan.22 Lebih lanjut Soemardjono menyatakan bahwa pembentukan arbitrase pertanahan dimaksud

21

Bernhard Limbong, Op.Cit., hlm. 343

22

Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan:Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 170


(38)

21

lebih mengarah pada pembentukan arbitrase pertanahan yang berfungsi untuk meredam konflik yang terjadi di seputar perbedaan persepsi dan ekspektasi antara pemegang hak atas tanah dan pihak lain yang memerlukan tanah tersebut berkenaan dengan penghargaan terhadap hak atas tanah.

Ketiga jenis pengendalian konflik diatas, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrase pertanahan memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindari kemungkinan terjadinya ledakan sosial dalam masyarakat. Akan tetapi, yang lebih penting adalah peran dari negara untuk menjadi wasit yang tidak memihak dalam penyelesaian konflik. Peranan negara atau pemerintah untuk menjadi wasit yang tidak memihak kepada salah satu pihak yang berkonflik serta menyediakan satu sistem yudisial yang menjamin keadilan perlu diwujudkan sebagai salah satu pelaksanaan tugas utama negara.

Selain ketiga jenis pengendalian konflik yang sudah dipaparkan, Badan Pertanahan Nasional pun sebagai Lembaga Pemerintah Pelaksana Kebijakan Nasional Pertanahan. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa negara adalah pihak yang menguasai dan mengelola tanah untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Atas dasar ketentuan tersebut maka negara membentuk Badan Pertanahan Nasional yang diharapkan sebagai perpanjangan negara dalam hal penguasaan dan pengelolaan tanah bagi kemakmuran rakyat. Pembentukan BPN didasarkan atas Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 tentang BPN. Organisasi dan tata kerja BPN dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala BPN No.11/KBPN/1988 jo Keputusan Kepala BPN No.1 Tahun 1989


(39)

22

tentang Organisasi dan Tata Kerja BPN di Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya.23

Tujuan dibentuknya BPN adalah untuk membuat sistem pengelolaan masalah pertanahan di Indonesia. Karena itu pemerintah melakukan pengangkatan status Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan membentuk suatu organisasi dan tata kerja suatu lembaga yang di beri nama Badan Pertanahan Nasional.

Tugas lembaga BPN adalah mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan baik berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi pengaturan penggunaan, penguasaan dan pemeliharaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, pengurusan dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan Presiden, sedangkan fungsi lembaga BPN adalah merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan penguasaan dan pengurusan tanah; merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan prinsip tanah mempunyai fungsi sosial; melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah; melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah; melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan.24

23

Ibid., hlm 143

24

S.B Silalahi, Sejarah Perkembangan Lembaga Agraria/Pertanahan di Indonesia, Seminar Ilmiah Masalah Hukum dan Perekonomian Serta Masalah Pertanahan Proviinsi Bangka Belitung, Februari 2004, hlm 6


(40)

23

BPN adalah lembaga Pemerintahan Non Departemen yng bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang dijabat oleh Menteri Dalam Negeri.

Dalam hal ini BPN mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional di bidang:

1) Pengaturan peruntukan, persediaan, dan penggunaan tanah. 2) Pengaturan hubungan hukum antara orang-orang dan tanah

3) Pengaturan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah sesuai Pasal 2 Keppres No. 95 Tahun 2000.25

2.4.3 Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Adat

Selain bentuk penyelesaian melalui pengadilan umum dan penyelesaian di luar pengadilan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa di atas, dalam masyarakat yang masih kental dengan adat, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian melalui hukum adat. Penyelesaian dengan mengacu pada hukum adat ini juga sedang ramai disuarakan belakangan ini.

Perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyarakat. Nilai-nilai tersebut cenderung untuk memberikan tekanan pada hubungan-hubungan personal, solidaritas, komunal serta penghindaran terhadap sengketa-sengketa. Mempertahankan perdamaian merupakan suatu usaha terpuji, sehingga dalam menghadapi konflik terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi, pendekatan lunak (soft approach).

25

Keputusan Presiden RI No. 95 Tahun 2000 Tentang BPN, CV Mini Jaya Abadi, Jakarta, 2000, hlm 73


(41)

24

Dalam sistem hukum modern, penyelesaian sengketa dilakukan oleh lembaga peradilan yang berkarakter mengadili dan memberikan keputusan, yang diharapkan adil. Hal ini berbeda dengan sistem hukum tradisional. Penyelesaian sengketa pada sistem adat tidak didesain untuk mengadili dan memutus tetapi menyelesaikan dengan cara mendamaikan. Namun, tidak berarti bahwa mekanisme penyelesaian sengketa pada sistem hukum tradisional mengabaikan aspek keadilan. Tujuannya tidak pernah lepas dari tujuan untuk menemukan penyelesaian, yang secara bersama diyakini adil sebagai ganjaran atas tindakan pelanggaran yang dilakukan.

2.5 Keaktifan Hakim dalam Proses Peradilan (Sifat Hakim)

Istilah Keaktifan Hakim” atau “Keaktifan Peradilan” yang diterjemahkan secara bebas dari pengertian aslinya “Judicial Activism” dapat diperuntukan dan

diterapkan dalam berbagai macam proses peradilan, yaitu: bidang hukum perdata, bidang hukum pidana, bidang hukum administrasi (Tata Usaha Negara/Pemerintahan), dan lain sebagainya, dengan variasi kasus-kasusnya.

Makna dan hakikat “judicial activism” untuk juga dipahami dan di

implementasikan oleh Hakim Tata Usaha Negara mengingat adanya kekhususan/karakteristik Hukum Acara dalam proses pemeriksaan perkara di Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:26

a) Peran hakim yang aktif (sifat domitus litis) dalam memimpin proses persidangan.

26

http://www.duniakontraktor.com/keaktifan-hakim-dalam-proses-peradilan/.html ( diunduh 20/08/1014 jam 11.00)


(42)

25

b) Dalam pembuktian diproses persidangan, hakim mencari kebenaran materiil, bukan sekedar kebenaran formil.

c) Putusan Hakim berlaku dan bersifat “erge omnes”,tidak semata-mata berlaku bagi para pihak yang berpekara.

Lain hal dengan Hakim perdata, yaitu :

Hakim bersifat menunggu. Dalam pengajuan tuntutan hak merupakan inisiatif dari para pihak yang berkepentingan. Tidak ada tuntutan, tidak ada hakim. Hakim bersifat menunggu adanya tuntutan yang diajukan kepadanya (118 HIR, 142 Rbg)

Hakim Pasif. Ruang lingkup dan luas pokoknya perkara ditentukan oleh para pihak yang berkepentingan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan untuk mengatasi segala hambatan untuk tercapainya suatu keadilan (pasal 5 UU No. 14 Tahun 1970). Hakim terikat pada peristiwa yang di ajukan oleh para pihak. Para pihak bebas mengakhiri sendiri sengketa yang diajukannya, baik melalui perdamaian ataupun pencabutan gugatan (130 HIR, 154 Rbg)

Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di tuntut atau mengabulkan lebih dari yang di tuntut (Ultra Petita, pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, 189 ayat 2 dan 3 Rbg).

Sebagaimana yang telah di sebutkan dalam Pasal 19 UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di tegaskan bahwa Hakim memiliki kedudukan sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang di atur dalam


(43)

26

undang-undang. Hakim dalam pasal tersebut adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan peradilan tata usaha negara serta hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Kemudian ketentuan dalam pasal tersebut dipertegas dalam pasal 31 ayat 1 yang menyebutkan bahwa hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Selain UU kekuasaan kehakiman, peraturan perundangan lain yang mengatur tentang kedudukan hakim pengadilan ini ialah pada pasal 2 UU No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dimana Hakim ditempatkan pula sebagai bagian dari Penyelenggara Negara. Selain itu pada ketentuan Pasal 11 ayat 1 huruf d UU No. 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian juga memperkuat kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara.27

Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim Ad Hoc adalah “Hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya di atur undang-undang.”

27

http://musashiachmadputra1.blogspot.com/2013/03/kedudukan-hakim.html (diunduh 20/08/2014 jam 06.30)


(44)

27

Hakim Ad Hoc sendiri diangkat pada pengadilan khusus, yang merupakan pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Berdasarkan ketentuan UU kehakiman, Hakim Ad Hoc juga berkedudukan sebagai pejabat negara. Perbedaan Hakim Ad Hoc dengan hakim umumnya, terutama dalam hal masa tugasnya yang sementara atau dibatasi untuk waktu tertentu, di samping harus memiliki keahlian dan pengalaman tertentu di bidangnya. Pengadilan khusus yang menjadi tempat pelaksanaan tugas Hakim Ad Hoc sendiri tidak selalu bersifat Ad Hoc (sementara). Sebagian besar adalah pengadilan khusus yang bersifat tetap.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan empiris.

Pendekatan normatif yaitu pendekatan yang di lakukan dengan cara mempelajari ketentuan dan kaidah berupa aturan hukumnya atau ketentuan hukum yang ada hubungannya dengan judul penelitian dan permasalahan yang di bahas.

Pendekatan empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan hubungan langsung terhadap pihak-pihak yang di anggap mengetahui hal-hal yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang di bahas dalam penelitian ini

3.2 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada Pejabat Kantor Pertanahan, Hakim PTUN, beserta dosen hukum terutama ahli hukum agraria, untuk dimintai pendapat maupun pandangan terhadap rencana pembentukan pengadilan pertanahan di Indonesia.


(46)

29

Data sekunder yang digunakan diperoleh dari bahan-bahan :

a) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat, bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah :

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

3) Undang-Undang No 7 Tahun 1970 Tentang Penghapusan Pengadilan Landreform;

4) Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;

5) Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

6) Undang-Undang No 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; 7) Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria;

8) Rancangan Undang-Undang Pertanahan;

9) Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman;

10) Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional;

11) Keputusan Kepala BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan;

12) Peraturan Kepala BPN RI Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penangan Kasus Pertanahan;

13) Beberapa Undang-Undang dan Peraturan Lain yang berkaitan dengan pertanahan.


(47)

30

b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer yang di ambil dari berbagai literatur atau buku-buku tentang hukum agrarian ataupun buku lain yg berkaitan.

3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data

Untuk membantu dalam proses penelitian ini, maka peneliti menggunakan dua macam teknik pengumpulan data, yaitu :

a) Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah data sekunder yang diperoleh dengan membaca, mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

b) Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer, maka diadakan studi lapangan degan teknik wawancara. Dalam wawancara tersebut, digunakan teknik wawancara dengan bertatap muka langsung dengan narasumber, dengan menggunakan beberapa catatan-catatan yang berisi beberapa pertanyaan yang nantinya akan dikembangkan saat wawancara berlangsung.

3.3.2 Prosedur Pengolahan Data

Langkah selanjutnya setelah data terkumpul baik data primer maupun sekunder, dilakukan pengolahan data dengan cara ;


(48)

31

a) Seleksi Data, yaitu memilih mana data yang sesuai dengan pokok permasalahan yang di bahas.

b) Pemeriksaan Data, yaitu meneliti kembali data yang diperoleh mengenai kelengkapannya serta kejelasan dan kebenaran jawaban.

c) Klasifikasi Data, yaitu pengelompokan data menurut pokok bahasan agar memudahkan dalam mendeskripsikannya.

d) Penyusunan data, yaitu data di susun menurut aturan yang sistematis sebagai hasil penelitian yang telah disesuaikan dengan jawaban permasalahan yang diajukan.

3.3 Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalis dengan menggunakan cara analisis kualitatif, yaitu dengan cara menginterprestasikan data dan memaparkan dalam bentuk kalimat untuk menjawab permasalahan pada bab-bab selanjutnya dan melalui pembahasan tersebut diharapakan permasalahan tersebut dapat terjawab sehingga memudahkan untuk di tarik kesimpulan dari permasalahan tersebut.


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :

1) Pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan didasarkan pada pertimbangan, sebagai pemenuhan prinsip fundamental kehidupan manusia yang diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD Tahun 1945, yaitu perlindungan hukum bagi masyarakat dalam hak atas tanah. Konflik agraria tidak lagi dianggap sebagai masalah yang bersifat ordinary melainkan sudah menjadi masalah yang bersifat extra ordinary. Konflik agraria merupakan suatu bentuk sengketa yang bersifat spesifik sehingga memerlukan pengetahuan khusus.

Lembaga litigasi yaitu baik Pengadilan Umum maupun Pengadilan Tata Usaha Negara tidak tuntas dalam menyelesaikan pertanahan mengingat dewasa ini masalah pertanahan sangat kompleks, mengingat banyaknya keputusan yang tumpang tindih dari pengadilan dan memakan waktu serta biaya yang tak murah dan lama. Begitu pula dengan Lembaga Non Litigasi yang memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam proses penyelesaian perkaranya. Pengadilan khusus sengketa pertanahan diperlukan untuk menghindari terjadinya putusan yang tumpang tindih dan saling kontradiksi sehingga kurang menjamin adanya


(50)

67

kepastian hukum yang berdasarkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Dalam Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan nanti dapat digunakan hakim ad hoc, guna menjamin berkepastian hukum.

2) Faktor penghambat dalam pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan adalah harus dipersiapkan dahulu sumber daya manusia nya agar mumpuni dalam hal ini mempersiapkan perangkat peradilan yang berkompeten (ahli dalam bidang keagrariaan), begitu juga dalam pembentukan pengadilan khusus sengketa pertanahan ini membutuhkan waktu yang relatif tidak singkat. Begitu juga dengan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria juga belum sempurna sehingga masih perlu dilakukan uji shahih.

5.2Saran

Dalam hal ini penulis sekaligus peneliti menyarankan :

1) Pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan harus memakai asas cepat, murah dan sederhana.

2) Perekrutan Hakim Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan di Indonesia harus orang-orang yang mumpuni dalam bidang agraria, seperti dari bagian Hukum Administrasi Negara yang memang mempelajari bidang hukum agraria.

3) Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria harus terus dilakukan pengujian agar sempurna.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Adurrasyid, Priyatna, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Fikahati Aneska, Jakarta

Ahmad, Mujahidin,2007, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta

Effendie, Bachtiar, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah,

Alumni, Bandung

Harsono, Boedi, 1989, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan hukum tanah , Djambatan, Jakarta. Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria di Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria , Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Kartasapoetra ,1992 , Masalah Pertanahan Di Indonesia , Rineka Cipta , Jakarta

Keputusan Presiden RI No. 95 Tahun 2000 Tentang BPN, 2000, CV Mini Jaya Abadi, Jakarta

Limbong, Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan, Pustaka Margaretha, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1997 , Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Jakarta


(52)

Sutiyoso, Bambang, 2006, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta.

Syarief, Elsa, 2014, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, PT Gramedia, Jakarta.

Sembiring,Sentosa, 2006, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang- Undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung.

Soemardjono, Maria S.W. , 2001, Kebijakan:Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta

S.B Silalahi, 2004, Sejarah Perkembangan Lembaga

Agraria/Pertanahan di Indonesia, Seminar Ilmiah Masalah Hukum dan Perekonomian Serta Masalah Pertanahan Proviinsi Bangka Belitung

Suparman, Erman, 2004, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara), Fokusmedia, Bandung.

Wijaya, Gunawan, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Peraturan perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 Tentang Penghapusan Pengadilan Landreform

Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Kekuasaan Kehakiman


(53)

Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria

Rancangan Undang-Undang Pertanahan.

Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional

Keputusan Kepala BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan

Peraturan Kepala BPN RI Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penangan Kasus Pertanahan.

Website

http://musashiachmadputra1.blogspot.com/2013/03/kedudukan- hakim.html

http://www.duniakontraktor.com/keaktifan-hakim-dalam-proses-peradilan/.html

pn-yog0yakarta.go.id/pnyk/info-peradilan/pengertian-peradilan.html


(1)

31

a) Seleksi Data, yaitu memilih mana data yang sesuai dengan pokok permasalahan yang di bahas.

b) Pemeriksaan Data, yaitu meneliti kembali data yang diperoleh mengenai kelengkapannya serta kejelasan dan kebenaran jawaban.

c) Klasifikasi Data, yaitu pengelompokan data menurut pokok bahasan agar memudahkan dalam mendeskripsikannya.

d) Penyusunan data, yaitu data di susun menurut aturan yang sistematis sebagai hasil penelitian yang telah disesuaikan dengan jawaban permasalahan yang diajukan.

3.3 Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalis dengan menggunakan cara analisis kualitatif, yaitu dengan cara menginterprestasikan data dan memaparkan dalam bentuk kalimat untuk menjawab permasalahan pada bab-bab selanjutnya dan melalui pembahasan tersebut diharapakan permasalahan tersebut dapat terjawab sehingga memudahkan untuk di tarik kesimpulan dari permasalahan tersebut.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :

1) Pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan didasarkan pada pertimbangan, sebagai pemenuhan prinsip fundamental kehidupan manusia yang diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD Tahun 1945, yaitu perlindungan hukum bagi masyarakat dalam hak atas tanah. Konflik agraria tidak lagi dianggap sebagai masalah yang bersifat ordinary melainkan sudah menjadi masalah yang bersifat extra ordinary. Konflik agraria merupakan suatu bentuk sengketa yang bersifat spesifik sehingga memerlukan pengetahuan khusus.

Lembaga litigasi yaitu baik Pengadilan Umum maupun Pengadilan Tata Usaha Negara tidak tuntas dalam menyelesaikan pertanahan mengingat dewasa ini masalah pertanahan sangat kompleks, mengingat banyaknya keputusan yang tumpang tindih dari pengadilan dan memakan waktu serta biaya yang tak murah dan lama. Begitu pula dengan Lembaga Non Litigasi yang memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam proses penyelesaian perkaranya. Pengadilan khusus sengketa pertanahan diperlukan untuk menghindari terjadinya putusan yang tumpang tindih dan saling kontradiksi sehingga kurang menjamin adanya


(3)

67

kepastian hukum yang berdasarkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Dalam Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan nanti dapat digunakan hakim ad hoc, guna menjamin berkepastian hukum.

2) Faktor penghambat dalam pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan adalah harus dipersiapkan dahulu sumber daya manusia nya agar mumpuni dalam hal ini mempersiapkan perangkat peradilan yang berkompeten (ahli dalam bidang keagrariaan), begitu juga dalam pembentukan pengadilan khusus sengketa pertanahan ini membutuhkan waktu yang relatif tidak singkat. Begitu juga dengan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria juga belum sempurna sehingga masih perlu dilakukan uji shahih.

5.2Saran

Dalam hal ini penulis sekaligus peneliti menyarankan :

1) Pembentukan Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan harus memakai asas cepat, murah dan sederhana.

2) Perekrutan Hakim Pengadilan Khusus Sengketa Pertanahan di Indonesia harus orang-orang yang mumpuni dalam bidang agraria, seperti dari bagian Hukum Administrasi Negara yang memang mempelajari bidang hukum agraria.

3) Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria harus terus dilakukan pengujian agar sempurna.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Adurrasyid, Priyatna, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa,Fikahati Aneska, Jakarta

Ahmad, Mujahidin,2007, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta

Effendie, Bachtiar, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung

Harsono, Boedi, 1989, Hukum Agraria Indonesia Himpunan

Peraturan-Peraturan hukum tanah , Djambatan, Jakarta.

Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria di Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria , Isi dan

Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Kartasapoetra ,1992 , Masalah Pertanahan Di Indonesia , Rineka Cipta , Jakarta

Keputusan Presiden RI No. 95 Tahun 2000 Tentang BPN, 2000, CV Mini Jaya Abadi, Jakarta

Limbong, Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan, Pustaka Margaretha, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1997 , Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Jakarta


(5)

Sutiyoso, Bambang, 2006, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta.

Syarief, Elsa, 2014, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan

Khusus Pertanahan, PT Gramedia, Jakarta.

Sembiring,Sentosa, 2006, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-

Undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan

Hukum, Nuansa Aulia, Bandung.

Soemardjono, Maria S.W. , 2001, Kebijakan:Antara Regulasi dan

Implementasi, Kompas, Jakarta

S.B Silalahi, 2004, Sejarah Perkembangan Lembaga

Agraria/Pertanahan di Indonesia, Seminar Ilmiah Masalah Hukum dan Perekonomian Serta Masalah Pertanahan Proviinsi Bangka Belitung

Suparman, Erman, 2004, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan

Tata Usaha Negara), Fokusmedia, Bandung.

Wijaya, Gunawan, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Peraturan perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 Tentang Penghapusan Pengadilan Landreform

Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Kekuasaan Kehakiman


(6)

Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria

Rancangan Undang-Undang Pertanahan.

Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional

Keputusan Kepala BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan

Peraturan Kepala BPN RI Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penangan Kasus Pertanahan.

Website

http://musashiachmadputra1.blogspot.com/2013/03/kedudukan- hakim.html http://www.duniakontraktor.com/keaktifan-hakim-dalam-proses-peradilan/.html pn-yog0yakarta.go.id/pnyk/info-peradilan/pengertian-peradilan.html