The Struggle Monument in Surakarta An Ex

MONUMEN KEJUANGAN DI SURAKARTA
(KAJIAN MAKNA CITRA DAN ESTETIKA)

The Struggle Monument in Surakarta
(An Examination the Meaning of Aesthetics and image)

Agus Nur Setyawan1 dan SP Gustami2

Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
Program Pascasarjana universitas Gadjah Mada

ABSTRACT

There are so many artistic monument building that were built in
Surakarta, included the struggle monument that commemorate to the
heroism act of rakyat Surakarta during the time of Perang Kemerdekaan
in Indonesia. As a symbolic communication media, those monument
buildings are representing some ideological ideas of the initiator.
By multidiscipline approaches, this examination purposes to get
the hidden ideas behind the presentation and location staging of the
monuments. As the field research, the examination based on the artifact

monuments as the main data, besides some verbal and content data that
have been collected from some other resources and references to be a
supporting data.
Based on the critical analysis to the aesthetics and image
presentation, the struggle monument building that were built in
Surakarta, are show the discrepancy locations that gave some
1
2

Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

2

consequences to their limited forming the artistic achievement. On the
other hand, they also gave a certain consequence to a social distance,
between the audience and the symbolic presentation, in the process of
symbolic personification and symbolic identification to the spirit of the
struggle, that are served by the artistic monument building. The
appearance of the monuments are also reflecting and representing the

disharmony and miscommunication among the subject of Perang
Kemerdekaan.

Key words: monument, symbol, and meaning.

MONUMEN KEJUANGAN DI SURAKARTA
(KAJIAN MAKNA CITRA DAN ESTETIKA)

I

Selama masa pemerintahan Orde baru, 1966-1998, banyak
dibangun berbagai monumen menghiasi wajah kota-kota besar di Jawa
khususnya, tidak terkecuali di Surakarta. Di antara

sekian banyak

bangunan monumen yang terdapat di kota Surakarta, monumen yang
dibangun sebagai media komunikasi simbolis dalam konteks revolusi
kemerdekaan Indonesia, dapat ditemui beragam bentuk bangun dan
penyajian monumen sebagai citraan peran kejuangan rakyat Surakarta,

selama masa perang kemerdekaan antara 1945-1949.
Di luar fungsi fisiknya yang secara visual memberikan ciri-ciri
identitas sudut kota, atau landmark,1 serta perannya sebagai ekspresi
jatidiri suatu kota dalam menciptakan harga diri dan identitas sebagai

3

pengejawantahan masa lampau, masa kini dan masa akan datang,2
perwujudan seni bangun monumen sekaligus mengusung kepentingan
ganda, yakni dalam aspek fungsi sosialnya sebagai sarana cermin
masyarakat yang merefleksikan nilai-nilai sosial, budaya maupun
politik, di samping juga sebagai
sarana pewarisan (transform) nilai tertentu yang dianggap penting dari
satu kelompok dan generasi, kepada kelompok dan generasi lainnya.
Perwujudan seni bangun monumen, dalam presentasinya bisa
berupa bangunan tunggal seperti bentuk tugu, patung, atau batu
prasasti, maupun hadir melalui sekelompok bangunan yang disusun
dari beberapa unsur bangunan lain. Terkait dengan perwujudan seni
bangun monumen sebagai ekspresi simbolis, atau dengan kata lain
media komunikasi simbolis, Bennedict R. O’G. Anderson menyebutnya

sebagai pusaka atau wasiat yang menghubungkan secara spesifik tipetipe tertentu masa lalu dan masa depan,3 dalam perannya mewadahi
identitas simbolik yang merupakan kebutuhan eksistensial manusia
dalam hidup social, ekonomi, politik, dan keagamaan.4
Ragam gaya perwujudan dan penyajian monumen kejuangan di
Surakarta merupakan manifestasi peran kejuangan rakyat Surakarta
dalam masa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, yang
semenjak diproklamasikan masih dirongrong oleh upaya pendudukan
bangsa Jepang dan Belanda. Terkait dengan permasalahan di atas,
keberadaan seni bangun monumen kejuangan di Surakarta menarik
untuk dirunut pertama, persitiwa bersejarah apa yang melatar belakangi

4

dibangunnya sejumlah monumen kejuangan itu. Kedua, penting untuk
dicermati ciri-ciri dan karakteristik gaya seni bangun monumen
kejuangan yang dihaddirkan, dalam tautannya dengan pemaknaan citra
simbolisnya. Ketiga, penting untuk dipahami adanya sejumlah aspek
yang mempengaruhi cara perwujudan dan penempatan monumen yang
sebagian besar tidak pada lokasi strategis (baca, lokasi umum atau
public area), sebaliknya di tempat tersembunyi seperti halaman rumah

tinggal atau instansi tertentu. Atau dalam rumusan penelitian sebagai
berikut:
1. Peristiwa penting apa yang mendasari dan melatar belakangi
dibangunnya sejumlah monumen kejuangan di Surakarta?
2. Bagaimana ciri-ciri dan karakteristik gaya seni bangun monumen
kejuangan di Surakarta dihadirkan, dikaitkan dengan pemaknaan
simbolisnya?
3. Mengapa penempatan monumen kejuangan di surakarta,

yang

mengemban misi menyampaikan nilai pesan kejuangan kepada
khalayak, sebagian besar tidak didirikan pada lokasi umum, akan
tetapi di tempat tersembunyi?
Dengan

menjawab

berbagai


persoalan

penelitian

sebagaimana

dirumuskan di muka, penelitian diarahkan untuk beberapa tujuan
sebagai berikut:
1. untuk mengetahui latar belakang peristiwa dibangunnya
sejumlah monumen kejuangnan di Surakarta;

5

2. berupaya

untuk

komprehensif

makna


mendapatkan
pesan

pemahaman

komunikasi

secara

simbolis

yang

dihadirkan dalam wujud estetika seni bangun monumen,
dalam kaitannya dengan eksistensi kejuangan pelakunya;
3. untuk memberikan kontribusi minimal

dalam konteks


pembahasan karya seni rupa khalayak (public art) di Indonesia
yang masih sangat langka; dan
4. secara pragmatis memberikan kontribusi kritis terhadap
sistem dan pola perwujudan serta penempatan karya seni rupa
khalayak secara memadai.
Mengingat kelangkaan kajian seputar permasalahan monumen di
Indonesia, maka hasil penelitian ini diharapkan akan menambah kosa
pustaka seni rupa, khususnya menyangkut karya seni rupa khalayak. Di
samping itu dapat memberikan manfaat pemahaman yang semakin luas
dan kaya bagi perencanaan dan pengembangan tata kota. Betatapun,
ketika sebuah seni bangun dihadirkan pada suatu kota, terlebih lagi
dalam fungsi peran mediasi simbolisnya yang sarat dengan makna nilai
pesan moralitas, maka sejumlah kaidah dan prinsip yang mendasarinya
haruslah menjadi pertimbangan penting.5
II
GAYA, dalam bahasa Jawa gaya bisa diartikan sebagai langgam,
menunjukkan suatu ciri umum tertentu (khas) dari beragam objek
sejenis; atau karya dari orang yang sama, karya suku atau bangsa yang
sama, atau karya dari masa yang sama, sehingga menunjukkan adanya


6

suatu gejala kesamaan atau setidaknya kemiripan antara objek yang
satu dengan lainnya. Selain menunjukkan kekhasan dan ciri-ciri objektif
(gaya bentuk), gaya juga bisa menunjukkan kekhasan atau ciri-ciri
suatu jaman (gaya jaman). Atau merupakan suatu ragam (cara, rupa,
bentuk, dsb) yang khusus (mengena.i tulisan, karangan, pemakaian
bahasa, bangunan rumah, dsb.).6 Di samping pengertian umum di atas,
sebagaimana dikutip Yasraf amir Piliang, 7 Hadjinicolau lebih memilih
memakai kata ideologi visual, yakni suatu cara tertentu dalam
memadukan elemen-elemen formal dan tematik satu gambar pada satu
keperluan yang khusus.

Kata monumen,8 pada umumnya merujuk kepada bangunan
atau arsitektur yang mengemban misi spiritual dengan harapan
mapu memberikan inspirasi kepada khalayak penghayat melalui
perwujudannya yang dihadirkan secara unik, khas dengan
penggayaan melalui suatu kaidah penciptaan tertentu sehingga
lahir


sebagai

kehadirannya,

suatu
monumen

bentuk
nyaris

ekspresi
selalu

simbolis.
mengandung

Dalam
istilah

monumental. Secara fisik kata monumental bisa berarti memiliki

skala besar (dalam ukuran), sedangkan secara spiritual ia terkait
dengan suatu peristiwa “besar” yang memiliki nilai penting:
apakah nilai kejuangan, kepahlawanan, kesetiaan dan sebagainya,
sehingga patut dikenang, diteladani dan disebarluaskan kepada
khalayak maupun diwariskan kepada generasi berikut.

7

Seni bangun monumen kejuangan di Surakarta memiliki
cara penyajian yang khas dan bernada “menyimpang” dari kaidah
pilihan

lokasi

penempatan

maupun

perwujudannya.

Untuk

memahami lebih jauh aspek-aspek terkait dengan fenomena
objektif keberadaannya, tulisan ini diawali dengan studi lapangan
untuk mendapatkan gambaran pendahuluan seputar objek kajian,
kemudian diikuti dengan studi kepustakaan sebagai langkah
pendalaman aspek keterkaitan historis yang melatar belakanginya,
kemudian kembali ke lapangan untuak mencermati artefak yang
ada, dalam kerangka mengkaji secara kritis estetika struktur
bentuk bangun monumen yang terdapat di kota Surakarta.
Langkah pendalaman dengan sengaja dilakukan secara berulang
antara studi yang satu kepada studi lainnya, untuk mendapatkan
kekayaan nuansa dan kesahihan (validity) data yang diperlukan.
III
Ketika sebuah metafora visual atau simbol melintasi batas budaya
pemakainya, atau pemaknanya, ia telah menjadi simbol yang universal.
Sebagaimana dicontohkan McCleod, 9 dalam dunia komik misalnya,
smbol-simbol visual yang dipakai para komikus dalam melukiskan emosi
subjeknya telah dapat diterima dan menjadi simbol universal. Dalam
satu dan lain hal, pembangunan monumen dengan seluruh atribut dan
pencitraannya, merupakan cara seseorang atau sekelompok orang

8

(korps) guna memperluas identitas diri. Sebagaimana dijelaskan oleh
McCleod,
“…identitas dan kesadaran kita tertanam dalam berbagai benda
mati yang ada didalam keseharian hidup ini. Misalnya pakaian yang kita
kenakan dapat mengubah cara orang lain melihat kita dan bagaimana
kita melihat DIRI SENDIRI ….(Sic.)

Lebih jauh McCleod memerinci, dalam semua kasus, kesadaran
akan diri sendiri muncul mencakup objek yang menjadi perpanjangam
identitas kita. Sebagaimana sesuatu yang nirkasatmata, identitas
sebagai sebuah gagasan merupakan sebuah konsep. Dikaitkan dengan
seni bangun monumen, meski monumen hadir dengan spesifikasi
bentuk fisik yang menjadi wadah gagasan, ia lahir dan berawal dari
sebuah konsep. Monumen dengan segala kompleksitas bentuknya hadir
sebagai satu upaya mencitrakan (visualized) suatu konsep. Pada tahap
selanjutnya, konsep berkaitan erat dengan pemaknaan. Lalu ketika
konsep pemaknaan suatu gagasan dihadirkan secara kongkrit, ia akan
melahirkan suatu sistem penandaan (secara semiotis) apakah itu
sekedar menjelma sebagai indeks, apakah sebentuk ikon ataukah
sebagai sebuah simbol. Mengikuti rumusan McCleod di atas, suatu
upaya pencitraan atau pengejawantahan konsep makna ke dalam
bentuk seni bangun monumen, merupakan upaya pemilik gagasan
untuk mengajak khalayak ikut mengidentifikasikan dirinya melalui
monumen. Perjalanan proses gagasan menuju konsep, dan selanjutnya
mengkristal dan menjelma sebagai makna, berlangsung dalam satu
bentuk proses abstraksi. Abstraksi inilah yang mengantarkan sebuah

9

konsep menjadi sebuah bentuk yang indeksikal, ikonis, atau simbolis.
Dengan kata lain, kegiatan abstraksi yang mungkin
penyederhanaan

atau

penggayaan,

merupakan

berbentuk

suatu

proses

pencanggihan yang mengkristalisasikan gagasan dan konsep penggagas,
sehingga visinya terwakili (represented) dan terwadahi pencitraannya.
Uraian

di

atas

secara

jelas

menunjukkan,

bahwa

dibutuhkan

keterlibatan pihak lain di luar diri penggagas, yaitu khalayak atau publik
dalam memfungsikan simbol secara baik. Dalam penjelasan lain, ketika
sebuah bentuk rupa mendapatkan kesepakatan maknawinya, ia telah
menjelma menjadi sebuah bahasa, yang oleh dukungan potensi
simboliknya, menjelma sebagai sebuah metafora visual, atau sebuah
simbol visual. Lebih jauh lagi, pada saat sebuah metafora visual, atau
sebuah simbol telah melintasi suatu batas budaya pemakai atau
pemaknannya, ia telah menjadi simbol yang universal.
IV
Terdapat beragam gaya perwujudan dan lokasi penempatan seni
bangun monumen yang mewarnai keberadaan sejumlah monumen
kejuangan di Surakarta, meliputi gaya monumen prasasti, yakni
pencitraan yang mengacu pada perwujudan prasasti kuno, yüpa 10
misalnya, yakni semacam tugu peringatan dengan inskripsi peringatan
sebagai komponen pokok. Dalam hal monumen kejuangan di Surakarta
berpola

prasasti,

memiliki

kecenderungan

berstruktur

bentuk

sederhana, menempati lokasi tempat di mana peristiwa yang diperingati
pernah berlangsung, mengakibatkan aspek perupaannya tidak menonjol.

10

Sedangkan unsur inskripsi merupakan presentasi dominan. Kedua,
monumen dengan gaya perwujudan menhir dan atau obelisk11 juga hadir
dalam wujud sederhana. Satu hal yang membedakan dengan pola
monumen prasasti adalah skala ukurannya yang besar, di samping
peletakannya di ruang ekslusif (non public area). Ketiga adalah gaya
monumen figuratif yang menggambarkan bentuk figur secara realistis,
baik tokoh tertentu maupun anonim. Keempat merupakan perwujudan
ideal monumen sebagai gaya perpaduan. Pola gaya monumen perpaduan
diciptakan dengan cara menyusun beberapa bangunan dalam satu
konfigurasi tunggal. Unsurnya meliputi bangunan abstrak, patungpatung figuratif, dan unsur kelengkapan lain, seperti bangunan prasasti
yang diletakkan terpisah dari bangunan utama, gapura, kesemuanya
diolah dirancang dalam suatu kompleks bangunan dengan lahan luas.
Munculnya beragam gaya citraan dan penempatan monumen,
didominasi oleh tempat tersembunyi dan eksklusif, banyak dipengaruhi
oleh latar belakang situasi psikologis yang terjadi pada masa di mana
peristiwa

yang

diperingati

itu

berlangsung.

Sebagaimana

sejarah

mencatat, peristiwa kejuangan penting yang menjadi identitas dan
jatidiri (eksistensi) warga atau rakyat Surakarta, terutama dalam
kaitannya dengan pergolakan perang kemerdekaan, meliputi peristiwa
perebutan kekuasaan Jepang dan pertempuran di markas Kenpeitai
yang mengakibatkan pemuda Arifin gugur, peristiwa serangan umum 4
hari di Sala12 7-10 Agustus 1949 yang mengakibatkan banyak korban
gugur di kalangan sipil, serta peristiwa perundingan perjanjian gencatan
senjata, 11 Agustus 1949. Dalam peristiwa serangan umum 4 hari di

11

Sala

khususnya,

ketegangan

di

berlangsung
kalangan

dalam

para

suasana

pejuang,

kebingungan

sehubungan

dan

dengan

dikeluarkannya dua perintah siasat dari dua komandan berbeda. Satu
dari Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106/Arjuna,13 satu lainnya
dari

Letkol

Slamet

Riyadi,

komandan

Wehrkreise

I.

14

Suasana

ketegangan dan ketidak harmonisan komunikasi yang terjadi antara
kelompok pasukan TP di satu pihak dan kelompok pasukan TNI di pihak
lain, menyelimuti suasana batin kedua kelompok pasukan bukan saja
pada masa pertempuran, bahkan hingga ke masa pembangunan
monumen yang berlangsung antara tahun 1974 hingga 1986.

V

Munculnya beragam bentuk perwujudan dan penyajian
monumen kejuangan di Surakarta, pada satu sisi mencoba
menampilkan kebersamaan peran kejuangan antara sipil-militer,
namun

sebagaimana

tampak

dalam

perwujudan

estetisnya,

penggunaan dan penempatan ikonografi pejuang lebih didominasi
oleh peran ketokohan militer. Dalam cara itu, mitos kebersamaan,
atau dalam bahasa politis orde baru disebut kemanunggalan sipilmiliter yang dalam masa perjuangan terjalin antara kelompok
tentara pelajar (TP), sebagai personifikasi peran sipil, di satu
pihak, dengan kelompok tentara atau TNI sebagai personifikasi
militer, di pihak lain, yang dalam realitas simbolis berupa

12

monumen kejuangan dalam beberapa hal digambarkan sebagai
terjalin padu, pada kenyataan presentasi estetisnya dalam bentuk
bangun monumen beserta kelengkapan atributnya justru semakin
melegitimasi adanya diskprepansi peran kejuangan. Sebagai
contoh, Monumen Perjuangan 45 di Banjarsari, personifikasi
tokoh-tokoh yang ditampilkan berupa

Kyai, dan rakyat, juga

figure/sosok perawat dan pemuda, cenderung lebih bersifat politis.
Dengan kata lain, seni bangun monumen itu cenderung untuk
diberi peran sebagai konstruksi simbolisasi spirit kesatuan dan
persatuan,

daripada

sebagai

konstruksi

simbolis

kenyataan

empirik yang terjadi di medan sesungguhnya. Dapat dikatakan,
monumen di atas lebih menampakkan gejala pseudo symbolism
dalam nuansa politis, di mana tokoh-tokoh kyai dan rakyat
ditampilkan, meski keduanya bukanlah sosok riel yang terlibat
langsung

dalam

pertempuran

dan

perjuangan

fisik

yang

sesungguhnya. Pada kasus ini, keduanya tampak lebih diarahkan
bagi kepentingan pengembangan spirit kebersamaan (sebagai
representasi ragam keterwakilan rakyat), dibandingkan tampilan
realitas empirik dari peristiwa yang sebenarnya, yang lebih banyak
melibatkan/mengorbankan rakyat sipil tanpa status ketokohan
tertentu.
Solidaritas kesatuan yang muncul dan nampak dalam cara
penempatan monumen, terutama ditunjukkan oleh monumen

13

patung

tokoh

surakarta,

Slamet

dan

Riyadi,

monumen

monumen

patung

Perjuangan

tokoh

Gatot

Gerilya

Soebroto,

menunjukkan adanya disparitas solidaritas kesatuan, antara
kesatuan TP dengan kesatuan TNI. Hal itu tampak pada cara
penokohan dan sekaligus penempatan monumen yang cenderung
memilih lokasi-lokasi eksklusif pada wilayah teritori militer
sendiri, daripada wilayah publik sebagai tempat ideal dalam
meletakkan seni bangun

monumen yang selayaknya memang

ditujukan bagi kepentingan publik, daripada kepentingan korps
dan kesatuannya sendiri.

VI
Seni

bangun

monumen

sebagai

perwujudan

ekspresi

simbolis yang dalam peran fungsi sosialnya menjelma sebagai
media komunikasi simbolis, merupakan suatu bentuk ideologi
visual

dalam

mengekspresikan,

cara

mana

seseorang

mengidentifikasikan

atau

kepada

kelompok
orang

dan

kelompok lainnya. Dalam cara ini, beragam perwujudan seni
bangun monumen kejuangan yang tersebar di kota Surakarta,
merupakan citraan dari suatu bentuk ekspresi simbolis yang
dijadikan sebagai instrumen ideologisasi, dalam hal ini ideologi
militer. Sebagaimana tampak dari cara dan moda pencitraan
melalui pilihan tokoh militer, pilihan lokasi dan penempatan seni

14

bangun monumennya yang dominan pada lokasi-lokasi ekslusif di
halaman

institusi

Warastratama,

dan

resmi

(halaman

halaman

markas

rumah

sakit

Korem

Slamet

074

Riyadi).

Sebaliknya perwujudan seni bangun monumen yang merupakan
representasi peran kejuangan kelompok sipil (TP) dominan hadir
dalam perwujudan sederhana, dan ditempatkan pada lokasi-lokasi
yang tersembunyi, karena mengandalkan dan mendasarkan pada
prioritas lokasi tempat di mana peristiwa yang diperingati pernah
berlangsung.
Gaya seni bagnun monumen kejuangan di Surakarta
sebagai representasi peran kejuangan rakyat Swurakarta,
sekaligus

merefleksikan

kenyataan

terembunyi

ketidak

harmonisan relasi sipil-militer.
Betapapun upaya peneyebarluasan dan pewarisan nilai
luhur pengorbanan dan dedikasi para pelaku kejujangan dalam
perwujudan

monumen,

realitas

perupaan

simbolisnya

kontraprestasi dengan maksud dan tujuan dibangunya monumen
tersebut. Dikaitkan dengan prinsip dan kaidah penciptaan seni,
sebagai karya seni rupa khalayak, moda pencitraan monumen
kejuangan yang sarat dengan ikonnografi militeristik diserta moda
penempatannya pada lokasi eksklusif, pada kenyataannya justrtu
menciptakan kesenjangan sosial (social distance) antara khalayak
dengan personifikasi yang direpresentasikan. Pada ranah makro,

15

moda pencitraan simbolisme kejuangan itu merefleksikan bentuk
otoritas pemaknaan nilai kejuangan yang secara hegemonis
didominasi oleh militer, yang sekaligus menempatkan peran sipil
dalam posisi subordinan.
1

Agus Dermawan T., menyebutnya sebagai tanda-tanda tempat yang menjadi tengara, atau titik
indah suatu kota, “Tanda Tanda Tempat yang Bernama Landmark,” dalam Katalog Gelar Karya
Sayembara Landmark (Jakarta: P.T. Pembangunan Jaya Ancol, 2001), 4.
2

Sidharta dan Eko Budiarjo, Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno bersejarah Surakarta
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986).

Bennedict R. O’G. Anderson, Kuasa Kata Jelajah Budaya Budaya Jawa. Terj.
Revianto Budi Santosa (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000), 367.

3

Abdul Munir Mulkan, “Konflik dalam Budaya Idenitas dan perkembangan
Politik di Indonesia,” dalam Media, Militer,`Politik (Yogyakarta: Galang Press,
2002), 31.

4

5

Hadi Sabari Yunus, Struktur Tata Ruang Kota (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000).
6

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga (Jakarta; Balai Pustaka, 1996), 297.

7

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, TafsirCultural atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra,
2003)198.
8(monument)

merupakan suatu padan kata yang berarti mengenang kembali
suatu peristiwa atau seseorang, berasal dari bahasa Latin “monumentum” atau
monimentum; monere (old France) to remind Encyclopaedia of Britanica. Volume
15 (A Society of Gentlemen In Scotland, Chicago, London, Toronto, Geneva,
Sidney, Tokyo, Manila: William Benton Publisher, 1765), 804.
9

Scot McCleod, Understanding Comics, The Invisible Art. Terj. S. Kinanti (Jakarta:
Kepustakaan Popular Gramedia, 2001), 24-59.
10

Sejarah Awal, Indonesian Heritage (Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier
International Inc., 2002), 52.
11

Obelisk semacam tugu yang terbuat dari batu granit merah, dengan tinggi bisa
mencapai 24 meter. Obelisk didirikan sebagai penghormatan bangsa Mesir kuno
(2613-2694 SM) terhadap dewa matahari, Re sebagai kelengkapan dari
bangunan candi atau piramid. Encyclopedia Britanica.CD-Rom (2002).
12

Periksa Sadikun Sugihwaras (ed.), Ofensif TNI Empat Hari di kota Sala dan
Sekitarnya, Serangnan Umum TNI Empat Hari di Sala 7-10 Agustus 1949
(Jakarta: Dewan Redaksi Sejarah Ex anggota TNI Detasemen II Brigade 17,
2000), 20.

16

13

No. 1/8/Swk/A-3/Ps-49, tanggal 5 Agustus 1949.

14

No. 0181Co.P.P.SJ49, tertanggal 8 Agustus 1949.