Review Teori Struktural Fungsional Inter (2)

Tugas Review
Teori Struktural Fungsional, Interaksionis Simbolis, dan
Pertukaran Sosial

oleh
Andreas Redi Kurniawan
13 / 347798 / SP / 25676
Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada

A. Pembukaan

Pada tugas yang diberikan untuk memenuhi mata kuliah Sejarah Pemikiran Sosiologi kali ini,
penulis mendapatkan tugas untuk membuat review tiga teori yang kemudian menjadi bahasan
pada mata kuliah di semester tiga ini. Ketiga teori itu adalah teori struktural fungsional,
interaksionis simbolik, dan pertukaran sosial. Karakteristik yang berbeda di antara ketiga teori
tersebut dapat memperkaya pemahaman penulis akan teori – teori yang ada di Sosiologi, dan
sekaligus melatih pemahaman serta pemikiran kritis akan teori – teori yang ada. Berikut adalah
review mengenai ketiga teori tersebut, dimulai dari teori struktural fungsional.

B. Struktural Fungsional


Pada bahasan kali ini, penulis akan mereview inti dari teori struktural fungsional.Menurut
Ritzer, teori struktural fungsional, disebut pernah menjadi teori dominan pada ilmu Sosiologi.
Namun, hal itu kini memudar seiring berjalanya waktu, dan muncul teori – teori yang lebih
sesuai dengan keadaan saat ini. Meskipun begitu, teori ini tetap menarik untuk dipelajari karena
merupakan salah satu basic dari teori – teori yang kemudian bermunculan.
Teori ini mempunyai beberapa tokoh besar di dalamnya, sebut saja Talcott Parsons,
Robert K. Merton, Kinsley Davis, Wilbert Moore, dan beberapa tokoh lain. Teori ini pada intinya
memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari unsur – unsur sistem yang saling
terkait dan bekerja sesuai dengan fungsinya masing – masing. Dengan begitu, setiap sistem yang
ada memberikan sumbangan agar terjadi equilibrium ( keseimbangan ).
Berdasarkan inti dari teori di atas, kita dapat melihat bahwa dalam kehidupan sehari –
hari, jika dilihat berdasarkan teori struktural fungsional merupakan sebuah sistem besar yang
selalu bergerak dan memproduksi individu – individu dari dalam sistem tersebut. Ya, Parson juga
menyebutkan bahwa individu adalah bentukan dari sebuah sistem yang ada.

Pada teori ini

juga, muncul sebuah pernyataan yang mengatakan ketika sesuatu tidak lagi mempunyai fungsi

signifikan pada masyarakat, hal itu akan hilang, sementara segala sesuatu yang dibutuhkan oleh

masyarakat, akan tetap eksis.
Untuk mempermudah analisa kita, penulis akan memberikan contoh kasus yang pernah
terjadi di Indonesia. Era pemerintahan yang pernah terjadi di Indonesia yaitu orde baru, adalah
bukti dari eksistensi teori struktural fungsional ini. Ketika pemerintahan orde baru berjalan,
semua berjalan seperti sistem. Tentu kita ingat bagaimana pemerintah selalu meneriakkan jargon
– jargon propaganda bahwa semua berjalan seperti seharusnya.
Itu adalah salah satu bukti dari adanya sistem yang berjalan di pemerintahan era orde
baru. Dalam teori struktural fungsional, kerusakan pada sistem adalah sesuatu yang harus
dihindari, karena begitu suatu elemen dalam sistem rusak, maka sistem itu akan berakhir. Hal
inilah yang dikhawatirkan pemerintah juga. Maka dari itu, segala bentuk resistensi dari elemen
masyarakat yang ada dalam sistem dipandang sebagai sebuah gangguan yang harus segera
ditangani agar tidak merusak sistem yang ada.
Dalam teori Parson, muncul istilah yang kita sebut sebagai AGIL. AGIL merupakan
singkatan dari elemen – elemen penting yang diperlukan agar sebuah sistem tetap eksis Elemen
itu adalah Adaptation, Goal Attaintment, Integration, Latency. Keempat elemen itulah yang
kemudian juga dapat kita lihat ada pada sistem pemerintahan era orde baru.
Pada Adaptation ( adaptasi ), sistem dituntut harus mampu mengatasi kebutuhan yang
datang dari luar sistem itu. Ia harus mampu beradaptasi agar tidak kandas di tengah jalan.
Adaptasi, dilakukan oleh pemerintah dengan cara represif. Semua bentuk resistensi yang muncul
dari masyarakat, ditekan agar tidak sampai merubah sistem yang ada. Akibatnya, seperti kita

ketahui muncul istilah seperti penembak misterius ( petrus ), tim mawar, dan penculikan aktivis.
Mereka yang menjadi korban dipandang sebagai elemen yang dapat mengganggu dan
menyebabkan hancurnya sistem pemerintahan orde baru.
Goal ( tujuan ) juga merupakan syarat yang perlu dimiliki oleh sebuah sistem agar dapat
terus mempertahankan eksistensinya. Tanpa adanya goal yang jelas, tidak bisa muncul sinergi
antar sub sistem dalam sistem yang ada. Pada contoh kasus ini, goal yang ingin dicapai adalah
untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang bisa memajukan pembangunan Indonesia ( secara
fisik ) dan menginternalisasikan Pancasila ke dalam diri setiap individu Republik Indonesia. Hal

ini memang tidak salah, namun dalam prakteknya terjadi penyimpangan dalam goal ini. Ini yang
nanti akan kita bahas dalam kritik terhadap struktural fungsional.
Integration ( integrasi ) adalah fungsi yang mengatur hubungan antara bagian yang satu
dengan bagian yang lainnya. Bisa dikatakan, integrasi adalah faktor yang menciptakan sinergi
antara satu sub sistem dengan sub sistem lainnya. Fungsi ini juga bertugas mengatur hubungan
antara fungsi Adapatation, Goal, dan Latency. Ketika fungsi ini gagal tercapai, maka tak dapat
dihindari kerusakan sistem tersebut.
Latency, atau latensi bisa dipahami juga sebagai pemeliharaan pola. Sistem yang ada
harus mampu menciptakan motivasi dan pola budaya yang kemudian tertanam pada diri setiap
individu dalam sistem tersebut. Hal ini tampak juga pada pola orde baru, yang
menginternalisasikan pada setiap individu bagaimana kekejaman G30S yang melakukan kudeta,

dengan memutar film pemberontakan G30S setiap tahunnya. Selain itu, pelajaran
kewarganegaraan dan Pancasila juga menjadi pelajaran yang wajib dilalui oleh setiap individu
agar dapat diterima di dalam sistem. Hasil dari kedua hal di atas dapat dilihat dari output sistem
orde baru yang menghasilkan individu – individu yang anti terhadap komunisme dan sangat
radikal dalam memegang prinsip Pancasila serta nasionalisme.
Berdasarkan keempat analisa fungsi di atas, tampak bahwa orde baru mampu melakukan
fungsi – fungsi yang diperlukan agar suatu sistem tetap dapat berjalan. Namun perlu menjadi
perhatian juga, dalam pelaksaanaanya, sebuah sistem tetap diisi oleh individu – individu yang
bersifat dinamis, bukan statis. Hal ini sekaligus merupakan kritik terhadap teori struktural
fungsional.
Dalam struktural fungsional, terdapat beberapa poin yang perlu dipahami agar kita dapat
melihat perbedaan antara struktural fungsional dengan teori lainnya. Diantaranya sebagai
berikut; masyarakat dalam teori ini dipandang sebagai sebuah sistem yang saling bekerjasama
sesuai dengan fungsinya masing – masing. Kemudian, kelas dan struktur yang muncul dipandang
sebagai sebuah hal yang tidak bermasalah, karena hal itu muncul atas dasar adanya pembagian
posisi dan peran dalam masyarakat. Perbedaan yang ada, bukanlah masalah karena masing –
masing unsur memegang peranan dan fungsinya tersendiri. Perubahan yang muncul, ada karena
tuntutan dari sistem. Tertib yang terjadi, merupakan sebuah hal yang muncul karena adanya
sistem, dan hal itu dipandang sebagai sebuah hal yang pasti terjadi ketika sistem berjalan.


Dalam prakteknya, menurut penulis hal – hal di atas merupakan hal yang bersifat teoritis,
sehingga di lapangan seringkali hal yang terjadi tidak sama dengan ekspetasi. Misalnya, dalam
pembagian peran yang kemudian menciptakan struktur dan kelas. Pada realitanya, pembagian
peran dan posisi justru rawan menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan, pada masyarakat
terdapat posisi dan peran yang diangggap sebagai posisi dan peran yang kurang penting. Sebagai
contoh, dalam sistem pemerintahan orde baru, mereka yang mendapatkan peran sebagai buruh
tani / buruh pabrik, dipandang sebagai sebuah peran yang mampu mendukung kemajuan sistem.
Namun pada prakteknya, justru mereka sering mendapatkan diskriminasi karena posisi dan status
sosial mereka dalam masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan teori sistem yang memandang
apapun peran dan posisi yang diperoleh, memberikan sumbangan agar terjadinya equilibrium.
Dalam buku Ritzer, David dan Moore juga mengamini hal ini. Mereka mengatakan
bahwa penempatan sosial secara tepat menjadi masalah tersendiri dalam sebuah masyarakat.
Dalam buku The Sociological Theory, mereka mengatakan ada 3 unsur yang perlu diperhatikan
dalam penempatan sosial; yaitu
1. Terdapat posisi yang lebih menyenangkan untuk ditempati ketimbang posisi – posisi lain
2. Terdapat posisi yang lebih penting demi mempertahankan kehidupan masyarkat daripada
posisi – posisi lain
3. Perbedaaan sosial mensyaratkan adanya kemampuan dan bakat yang berlainan
Melihat ketiga hal di atas, tak dapat dipungkiri sebenarnya kelas dan struktur yang tercipta juga
merupakan dominasi satu posisi atas posisi lainnya. Meskipun posisi dan peran dipandang

sebagau satu hal yang saling mensupport satu sama lain, adanya perbedaan ini juga merupakan
bukti bahwa sesungguhnya dalam teori struktural fungsional, dapat terjadi hegemoni dari
kelompok atas terhadap kelompok bawah.
Mereka yang memiliki posisi prestis dalam teori ini, ternyata mampu melegitimasikan
posisi yang telah mereka peroleh sehingga bukan tidak mungkin, posisi – posisi yang memegang
peranan signifikan pada masyarakat dipertahankan sehingga hanya dapat diisi oleh segelintir
orang saja. Celah ini merupakan celah yang ada pada saat sistem orde baru. Kepemimpinan
hanya dipegang oleh orang – orang tertentu dan sekaligus memproduksi individu – individu
yang tunduk terhadap sistem yang dipegang oleh sekelompok orang tersebut.

Kritik pada teori ini juga dapat diketahui dari munculnya teori – teori yang berusaha
menutup kekurangan yang ada pada teori struktural fungsional. Neofungsional, teori konflik, dan
beberapa teori lainnya berusaha menjelaskan apa yang tidak dapat dijelaskan oleh struktural
fungsional.
Kelemahan Parson sendiri adalah karena ia berorientasi dan memandang masyarkat
sebagai suatu hal yang statis. Meskipun begitu, teori Parson ini juga mampu menjadi alat analisis
kita dalam melihat kasus yang terjadi pada masyarakat. Contoh kasus yang telah penulis berikan
di atas adalah salah satu dari hal tersebut.
Runtuhnya orde baru juga merupakan salah satu contoh bagaimana sistem yang tidak
mampu mempertahankan dirinya akhirnya rusak. Namun yang menjadi perhatian adalah,

bagiamana sistem itu dapat berubah sehingga akhirnya rusak.
Seperti kita ketahui, meskipun hidup di bawah tirani dan tekanan dari sistem
pemerintahan orde baru; tetap terdapat elemen masyarakat yang melakukan resistensi. Meskipun
sistem pemerintahan orde baru telah berusaha menerapkan konsep AGIL, tak dapat dipungkiri
individu bukanlah hal yang statis, sehingga tidak dapat diprediksi bagaimana mereka akan
bertindak di kemudian hari.
Adaptasi yang dilakukan, merupakan salah satu upaya untuk menekan konflik yang
terjadi. Dalam teori sistem struktural fungsional, sistem yang melakukan adaptasi akan menekan
konflik yang terjadi sehingga tidak merubah sistem. Namun pada kasus ini, adaptasi yang terjadi
justru menimbulkan resistensi baru dari masyarakat yang tidak puas dengan sistem yang ada. Hal
ini mencapai puncaknya pada saat demonstrasi besar – besaran pada 1998. Sistem yang ada tidak
mampu lagi mengendalikan individu – individu yang seharusnya menjadi output dari sistem.
Hal ini tidak lepas dari adanya penyimpangan goal atau tujuan dari sistem. Dalam
prakteknya, sistem pemerintahan orde baru justru berfungsi untuk melanggengkan kekuasaan
penguasa saat itu. Hal ini menyebabkan disorientasi tujuan, sehingga setiap sub – sistem yang
ada tidak lagi mempunyai kesamaan goal dan berakibat tumbangnya sistem yang telah ada
sebelumnya. Penyimpangan yang terjadi ini juga tidak lepas dari apa yang dikemukakan
Kingsley Davis dan Wilbert Moore; dimana posisi yang ada dalam masyarakat juga dapat
menimbulkan permasalahan baru. Pada contoh kasus ini, mereka yang mempunyai peran dan


posisi sebagai penguasa menggunakan power yang mereka miliki untuk melakukan hegemoni
kekuasaan dan mempertahankan posisi yang mereka miliki. Terbukti dikemudian hari hal ini juga
menjadi salah satu faktor penyebab hancurnya sinergi antar sub sistem yang kemudian
menumbangkan sistem pemerintahan orde baru.
Integrasi yang ada pun tidak lagi berfungsi, ketika tujuan dan adaptasi yang dilakukan
oleh sistem pemerintahan gagal. Meskipun sudah melakukan berbagai usaha termasuk
menghegemoni masyarakat yang ada di dalam sistem, resistensi yang ada akhirnya menyebabkan
sistem tumbang. Resistensi yang muncul dari sub sistem yang tidak setuju dengan adanya
perubahan, dikemudian hari menyebabkan fungsi integrasi tidak lagi berjalan. Hal ini
menjelaskan mengapa menjelang tumbangnya sistem pemerintahan orde baru, terdapat elemen –
elemen serta lembaga – lembaga masyarakat yang menentang orde baru.
Konsep internalisasi yang dijalankan oleh sistem pemerintahan orde baru memang
berhasil mempengaruhi pemikiran masyarakat. Jika dilihat dari teori sistem, hal ini akan terjadi
pada seluruh unsur masyarakat yang terdapat dalam sistem tersebut. Namun pada prakteknya,
internalisasi pola dan motivasi yang terjadi pada individu tidak dapat berjalan seperti dalam teori
sistem. Hal ini disebabkan, individu tidak dapat digeneralisasikan bahwa semuanya sama, dan
akan begitu saja menerima dirinya sebagai “produk” dari sistem yang ada. Kemudian jelas,
ketika terjadi reformasi, hal ini juga yang memancing adanya konflik antara mereka yang
menjadi “produk” dari sistem pemerintahan orde baru, dengan mereka yang menolak sistem
pemerintahan orde baru.

Pada akhirnya, teori struktural fungsional merupakan sebuah teori “hitam di atas putih”
atau teori yang sulit diterapkan di dunia nyata. Para ahli sesudah Parson juga setuju dengan hal
ini, namun menurut penulis; yang patut kemudian menjadi perhatian bagi kita adalah bahwa teori
ini dapat dipakai untuk menganalisa kasus pada tataran makro. Hal ini juga menjadi acuan bagi
teori neo-fungsionalisme, yang kemudian melihat sistem dalam tataran mikro, dimana
pembedanya adalah ketika dalam struktural fungsional individu dilihat sebagai produk dari
sistem, dan perubahan disebabkan oleh adanya gangguan dari luar, maka pada neofungsionalisme perubahan dapat disebabkan oleh individu dalam sistem tersebut.
Begitu juga dengan konflik, teori ini dianggap kurang bisa menangani konflik yang
terjadi di dalamnya, sehingga ketika ada konflik, dan konflik tersebut berkembang hingga tidak

bisa ditangani, maka sistem yang ada akan hancur begitu saja. Ini juga yang kemudian menjadi
salah satu bahasan dalam neo-fungsional.
Terlepas dari segala kekurangannya, teori struktural fungsional merupakan teori yang
perlu dipahami ketika kita melihat permasalahan pada sistem. Sebelum beranjak pada teori lain,
teori ini dapat dipakai untuk menjadi pondasi bagi kita untuk melakukan analisa lebih lanjut.

C. Interaksionis Simbolik

Pada review berikut ini, penulis akan berusaha mengungkapan dan mengkritisi teori yang
menitikberatkan pemahamannya kepada interaksi yang dilakukan oleh setiap individu. Teori ini

disebut dengan teori interaksionis simbolik. Pengagas teori ini adalah mereka yang melihat
bahwa manusia sebagai makhluk yang mampu beradaptasi dengan sekitarnya, adalah makhluk
yang memiliki kemampuan berpikir yang membedakan mereka dengan binatang. Tokoh – tokoh
yang muncul dari teori ini ada beberapa; diantaranya adalah Charles Horton Cooley, George
Herbert Mead, W.I Thomas, Herbert Blumer, dan Erving Goffman. Secara keseluruhan, inti dari
teori ini adalah manusia berinteraksi tidak secara langsung, akan tetapi melalui simbol – simbol
yang sebagian besar berupa kata – kata, bisa secara lisan maupun tulisan. Kata sendiri
sebenarnya adalah sebuah bunyi yang pada awalnya tidak memiliki makna, akan tetapi setelah
masyarakat sepakat akan makna dari kata tersebut, barulah kata tersebut menjadi bermakna.
Dapat dipahami, bahwa simbol – simbol dan interaksi yang ada tidak lepas dari masyarakat.
Mereka muncul dari dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam teori ini, George Herbert Mead mengidentifikasi ada lima tahap dasar yang saling
terkait satu sama lain. Empat tahap tersebut yaitu; impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumasi.
Berdasarkan uraian Mead ini, tampak ada kemiripan antara hewan dengan manusia. Akan tetapi,
ada hal dasar yang menjadi pembeda antara kedua makhluk biologis ini, yaitu bahwa manusia
memiliki akal yang memberikannya kemampuan untuk berpikir lebih daripada hewan.
Pada tahap impuls, tahap ini merupakan tahapan ketika sang aktor ( bisa merupakan manusia
atau bukan ) mendapatkan stimulus indrawi secara langsung, dan melihat reaksi dari aktor

terhadap stimulus tersebut, kebutuhan untuk berbuat sesuatu. Jika Mead memberikan contoh

mengenai rasa lapar secara mendasar, penulis akan berusaha menganalisis analogi tersebut. Mead
mengutarakan rasa lapar akan mendorong aktor untuk merespons secara langsung tanpa perlu
berpikir, namun aktor manusia lebih cenderung berpikir tentang respon yang sesuai. Menurut
penulis, poin disini yang membedakan secara mendasar antara manusia dengan hewan adalah
kemampuan untuk berpikir.
Manusia yang memiliki kemampuan untuk berpikir akan berpikir lebih lanjut sebelum
merespon impuls. Hewan, ketika lapar akan segera memakan apa yang ada di hadapannya jika
hal itu sesuai dengan seleranya. Seperti contoh, anjing yang kelaparan akan segera memakan sisa
daging ataupun tulang ayam yang ada di tempat sampah, meskipun harus berebut dengan anjing
– anjing lainpun hal itu tetap dia lakukan karena didorong oleh insting. Manusia, dalam keadaan
lapar tidak akan berbuat seperti itu. Meskipun lapar, dia tetap akan berpikir bagaimana bisa
memenuhi kebutuhannya tanpa mengabaikan unsur – unsur lain, seperti kapan dia harus makan,
dimana dia akan makan, dan apa yang akan dia makan. Hal ini dipengaruhi juga oleh lingkungan
dimana manusia tersebut berada. Misalnya, seorang siswa SMA yang kelaparan di tengah jam
pelajaran tentu akan berpikir dua kali sebelum dia makan di dalam kelas. Hal ini disebabkan, dia
berada di lingkungan dengan norma dan nilai yang membatasi kapan dia harus menuruti impuls
yang terjadi pada dirinya. Meskipun begitu, pada setiap individu respon terhadap impuls akan
berbeda. Seorang anak kecil yang kelaparan ketika berada di rumah, akan segera makan ketika
dia lapar. Hal ini disebabkan dia bisa segera memenuhi kebutuhannya tersebut. Dengan begitu,
impuls merupakan tahapan yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi dari aktor yang
mengalami. Respon setiap individu juga bisa berbeda, tergantung bagaimana kondisi mereka saat
menerima stimulasi tersebut.
Tahap kedua yang muncul adalah persepsi, tahap dimana aktor mencari, dan bereaksi
terhadap stimulus yang terkait dengan impuls. Jika melihat analogi tentang rasa lapar, yang
dimaksud persepsi adalah bagaimana cara aktor memuaskan stimulasi yang ada. Hal ini hampir
sama dengan respon terhadap stimulus dalam impuls, namun yang membedakan adalah hal ini
terjadi pada manusia. Penulis akan memberikan contoh seperti berikut; anak SMA yang
kelaparan tadi akhirnya mendapatkan waktu untuk memuaskan rasa laparnya. Menjadi pilihan
bagi dirinya untuk makan apa dan dimana dia akan makan. Beragam opsi bisa muncul, namun

pilihan tetap berada di tangannya sendiri. Pertimbangan seperti berapa harga makanan,
bagaimana kebersihan tempat makan, menjadi faktor yang membuktikan bahwa mereka tidak
sekedar terikat dengan stimulasi eksternal, mereka juga aktif menyeleksi sejumlah karakteristik
stimulus dan memilih stimulus – stimulus lain ( Mead, 1938 )
Tahap selanjutnya yaitu tahap manipulasi. Pada saat ini, impuls yang telah mewujudkan
dirinya dan objek telah dipersepsi, maka aktor akan mengambil tindakan dalam kaitannya
dengan obyek tersebut. Agar lebih mudah memahaminya, masih meneruskan analogi rasa lapar
tadi, dapat dipahami sebagai berikut; anjing kelaparan yang memilih untuk makan di tempat
sampah, tidak memiliki kemampuan utnuk memikirkan masa lalu dan masa depan, sehingga
tidak terpikir olehnya apa yang akan terjadi setelah ia makan di tempat sampah tersebut. Selain
itu, keterbatasan fisik juga mempengaruhi hal ini. Anjing yang secara fisik tidak mempunyai jari
untuk mencengkeram, akan langsung memakan makanan yang ada dengan mulutnya. Namun hal
berbeda terjadi pada diri manusia. Anak SMA yang kelaparan dan hendak makan tadi, memiliki
kemampuan untuk berpikir. Ia akan berpikir apa yang terjadi jika ia makan di tempat yang kotor.
Ia bisa memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya, jika ia tetap memaksakan kehendaknya
makan di tempat tersebut. Ia sadar sepenuhnya akan konsekuensi logis yang akan terjadi bila ia
melakukan hal itu; dimana hal ini juga menjadi pembeda dari manusia dan binatang. Kemudian,
bila terkait dengan fisik, manusia memang mempunyai kelebihan dibanding hewan. Misalnya,
dibandingkan dengan anjing yang tadi; manusia memiliki tangan dengan jari yang dapat
menggenggam dan bisa melakukan aktifitas dengan baik, seperti memegang sendok, garpu,
gelas, piring, dan peralatan makan lainnya. Dengan adanya keadaan seperti ini, telah
terkonstruksi juga pada manusia, bahwa makan dengan bantuan alat – alat makan merupakan hal
yang baik. Namun yang perlu menjadi kritik bagi Mead, adalah munculnya kebiasaan yang
berbeda – beda disetiap tempat. Di satu tempat, makan tanpa menggunakan alat makan seperti
sendok dan garpu adalah hal yang wajar, namun di tempat lain hal itu tidak wajar. Inilah
dinamika dari tahap manipulasi.
Kemudian adalah tahap konsumasi. Di tahap ini, adalah tahap ketika aktor memuaskan
impuls awal. Dalam tahap ini juga terdapat contoh yang dapat menggambarkan bagaimana
impuls awal dapat dipenuhi, namun dengan cara yang berbeda. Berdasarkan analogi penulis,
maka pada tahap inilah si anjing akan memakan makanannya, dan anak SMA yang tadi

mengambil keputusan untuk makan. Namun masih terdapat pembeda pada tahap ini, yaitu pada
tahap ini seorang aktor akan memutuskan sesuai tingkat intelegensinya. Manusia yang mampu
berpikir, pada contoh penulis adalah anak SMA, ketika dihadapkan pada opsi tempat makan yang
kotor, jika tetap harus makan di situ akan memilih makanan yang bersih. Namun anjing yang
tidak bisa berpikir panjang, akan tetap makan apapun yang ada di tempat sampah tersebut,
meskipun dengan cara mencoba satu – satu makanan yang ada di tempat sampah tersebut sampai
ada yang cocok dengan dirinya. Jika dicermati, keempat tahap ini adalah tahap yang saling
mempengaruhi untuk menciptakan satu proses. Tahapan yang satu bisa mempengaruhi tahapan
yang lainnya. Jadi impuls bisa mempengaruhi persepsi, begitu juga sebaliknya, persepsi bisa
mempengaruhi impuls.
Dengan melihat proses di atas, Mead dapat dipahami menyampaikan bahwa tindakan dan
respon manusia tidak bisa lepas dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang
mempengaruhi adalah faktor lingkungan, keadaan, norma dan nilai, serta waktu dan tempat
dimana terjadi stimulasi. Faktor internal adalah keadaan aktor, posisi, status dan peran yang
dimiliki, serta pemikiran aktor tersebut.
Kemudian teori Mead yang juga dapat membawa kita memahami pemikirannya adalah teori
pengambilan peran ( Role Taking Theory ). Dalam teori ini, tampak ketertarikan Mead pada asal
usul diri, sekaligus ia melihat bahwa sebenarnya perkembangan seseorang tidak lepas dari
interaksi yang dilakukan olehnya dengan orang lain.
Mead memisahkan tahapan perkembangan seorang individu menjadi tiga bagian, yaitu Play
Stage, Game Stage, dan Generalized Other. Pada teori ini, Mead secara implisit menyatakan
bahwa untuk menjadi individu yang dapat diterima oleh masyarakat, seorang individu harus
menjadi anggota masyarakat dan diarahkan oleh masyarakatnya dengan sikap yang sesuai.
Penjelasan pada tahap play stage, adalah tahap dimana seorang individu mulai meniru
peran orang tua atau orang dewasa yang sering berinteraksi dengan dirinya. Mead
menganalogikan ini dengan seorang anak yang sering berinteraksi dengan ayah atau ibunya, akan
berusaha menirukan peran yang dipegang oleh ayah atau ibunya tersebut. Misalkan ayahnya
adalah seorang dokter, ia juga akan turut menjadi seorang dokter dalam permainannya tersebut.
Ia juga akan ikut serta menirukan tindakan yang dilakukan ayahnya, misalnya menyuntik. Pada
tahap ini, sang anak memiliki kesadaran peran yang dijalankannya, namun ia tidak paham alasan

kenapa seorang perlu disuntik, dan apa makna tindakan menyuntik tersebut. Menurut
pemahaman penulis, pada tahap ini terjadi kesadaran terhadap peran yang ditirukan, akan tetapi
belum ada pemahaman terhadap tindakan yang harus dilakukan oleh peran tersebut.
Tahapan setelahnya adalah, game stage. Pada tahap ini, seorang anak mampu serta paham
apa fungsi peran dan bagaimana ia harus bertindak ketika memegang peranan tersebut. Sebagai
contoh, seorang anak yang bermain sepak bola dan berperan sebagai keeper, akan bertindak
sesuai yang semestinya dilakukan oleh seorang keeper. Ia akan bermain sesuai aturan, dan ia juga
sadar posisi serta peran yang ia ambil. Pada tahap ini, muncul kesadaran antara peran dan
konsistensi tindakan yang ia ambil atas perannya tersebut.
Tahapan terakhir adalah tahap generalized other, atau tahapan ketika seseorang telah
“menemukan dirinya” sendiri. Pada tahap ini, ia telah memiliki kemampuan untuk memilih
peran, dan ia mampu mengevaluasi dirinya sendiri dari sudut pandang orang lain. Pada tahap ini
juga seorang anak sudah dapat diterima oleh masyarakat, dan mampu ikut membangun
masyarakat itu. Jadi seorang individu tidak hanya membentuk masyarakat, akan tetapi juga
dibentuk oleh masyarakat.
Prinsip lain yang menjadi bahasan Mead adalah prinsip I dan Me. Secara singkat, I dan
Me adalah hal yang sama sekaligus berbeda. Meskipun sama – sama ada pada tataran individu,
kedua hal ini berbeda dalam tingkat pengaruh dan bagaimana I dan Me mengekspresikan diri
mereka dalam kehidupan sehari – hari. I, dapat dipahami sebagai sesuatu yang memungkinkan
perubahan, karena tidak didominasi oleh kontrol baik eksternal maupun internal. I
memungkinkan adanya kreativitas yang membuat perubahan pada tataran makro. Namun yang
menjadi perhatian adalah, I merupakan unsur yang berbeda dari kehidupan masyarakat. I
merupakan unsur perubahan, sehingga seorang individu tidak bisa beradaptasi dengan
masyarakat secara tiba – tiba dengan I. Untuk menyediakan alternatif hal tersebut, maka disinilah
peran Me muncul. Me merupakan kepribadian yang sesuai dengan dunia sosial. Dengan Me,
maka seorang individu dapat tinggal dengan nyaman di dunia sosial masyarakat. Namun, Me
tidak menawarkan perubahan – perubahan yang diperlukan masyarakat. Oleh karena itu, konsep
I dan Me adalah konsep yang diciptakan untuk saling berdampingan. Ada kalanya I perlu muncul
untuk melakukan perubahan, sementara Me muncul agar tercipta keseimbangan sosial.

Beralih kepada tokoh lain, yaitu Charles Horton Cooley dengan teori Looking Glass Self
( teori cermin diri ). Pada teori ini, secara singkat ada 3 langkah untuk dapat berinteraksi dengan
baik di dalam masyarakat; yaitu tahap pertama, ketika aktor memberikan aksi kepada orang lain,
kemudian dilanjutkan orang lain memberikan reaksi kepada aktor, dan aktor menginterpretasikan
aksi tersebut. Pada teori ini, dapat kita pahami bahwa seorang aktor memerlukan kepekaan sosial
untuk dapat tinggal di tengah masyarakat. Tanpa hal itu, aktor tidak akan memiliki modal sosial
untuk dapat terus berada dalam masyarakat.
Penulis akan memberikan analogi seperti berikut; ketika seorang karyawan berbicara
kepada atasannya, ia menggunakan bahasa yang kurang sopan, dan ditegur oleh atasannya,
sehingga ia merubah gaya bahasanya menjadi lebih sopan sehingga ia dapat berinteraksi dengan
baik dengan atasannya.
Karyawan tadi menggunakan teori looking glass self. Dengan melihat reaksi orang lain
terhadap apa yang dikatakannya, ia dapat memperbaiki dirinya sendiri sehingga orang tersebut
mendapatkan perhatian dari orang lain tersebut. Inti dari teori ini adalah, seorang aktor tidak
dapat lepas dari peran orang lain untuk dapat berinteraksi dengan baik. Jika aktor tidak dapat
menyesuaikan diri dengan lawan interaksinya, bukan tidak mungkin tidak akan terjadi interaksi
yang baik. Kritik bagi Cooley adalah, bahwa setiap interaksi yang terjadi tidak semata – mata
dipengaruhi oleh faktor internal dari dalam individu itu saja, akan tetapi juga dipengaruhi
berbagai faktor eksternal, dalam hal ini adalah adanya perbedaan kelas dan jabatan yang
mempengaruhi cara seseorang berinteraksi terhadap orang lain, terutama dalam sektor formal.
Pada hal di atas pula dapat dipakai analisa dengan teori definisi situasi oleh William Issac
Thomas. Seseorang akan berinteraksi dengan tepat manakala ia dapat mendefinisikan situasi
dengan tepat pula. Pada umumnya tidak mungkin seorang karyawan akan bertegur sapa dengan
atasannya sebagaimana ia bertegur sapa dengan sesama karyawan. Ia mendefinisikan situasi
dimana ia adalah seorang bawahan yang harus menghormati atasannya.
Kemudian kita beralih kepada teori yang dikemukakan oleh Erving Goffman. Menurut
Goffman, dunia adalah satu panggung sandiwara besar dengan kita semua sebagai aktor –
aktornya. Inti dari teori dramaturgi Goffman adalah, ketika kita berada di atas panggung ini, kita
semua bukanlah diri kita yang sebenarnya. Penampilan kita dipengaruhi oleh banyak hal,

diantaranya adalah penilaian orang lain, peran dan posisi, manajemen kesan, jarak peran, dan
stigma.
Ketika kita berada di panggung depan pertunjukan, setiap aktor yang terlibat akan
berusaha menampilkan apa yang ingin mereka tunjukkan kepada orang lain. Hal ini dapat kita
lihat pada situasi dan kondisi politik yang ada di dunia. Mereka yang berada di panggung politik,
akan berusaha menampilkan hal – hal yang ingin mereka tunjukkan kepada para audien.
Misalnya, meskipun di balik panggung ia adalah seorang penindas, maka di depan panggung ia
akan berperan sebagai seorang pembebas. Ia tidak akan menampilkan kepribadian aslinya di atas
panggung. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk manajemen peran yang dilakukan oleh para
pementas. Mereka akan melindungi diri mereka sekaligus panggung pertunjukan agar tetap dapat
berjalan, walaupun itu berarti mereka harus menutupi diri mereka yang sebenarnya.
Konsep jarak dan peran, juga berfungsi agar panggung pertunjukkan tetap dapat berjalan.
Sebagai contoh, seorang hakim akan menjaga jarak dengan terdakwa, sehingga ia nampak
sebagai orang berwibawa dan mempunyai peran dan status yang jelas, yaitu sebagai hakim yang
berwenang menghakimi terdakwa. Dengan menjaga jaraknya, ia membuktikan kepada audien
bahwa ia memang memegang kekuatan di atas panggung pengadilan.
Konsep stigma, adalah konsep dimana terdapat perbedaan perlakuan terhadap mereka
yang mempunyai identitas maya dengan identitas sebenarnya. Konsep ini menitikberatkan
perbedaan interaksi kepada mereka yang mempunyai kekurangan yang terlihat, yang disebut
sebagai stigma yang didiskreditkan, misalnya kekurangan fisik yaitu cacat pada tangan, dan
stigma yang dadap didiskreditkan, misalnya kekurangan yang tidak terlihat, seperti homoseksual.
Mereka yang memiliki stigma yang didiskreditkan, mempunyai inti masalah pada bagaimana
mereka dapat menangani fakta yang timbul setelah para audiens tahu masalah tersebut. Namun
pada kasus stigma yang dapat didiskreditkan, masalah intinya adalah bagaimana aktor dapat
mengatur arus informasi sehingga masalah itu tidak sampai kepada para audiens. Hal inilah yang
sering terjadi pada panggung politik. Para politikus yang memiliki masalah terkait dengan
skandal korupsi yang belum terbongkar misalnya, akan berusaha mati – matian mempertahankan
agar identitas aslinya tersebut tidak tersebar.
Inti dari teori Erving Goffman adalah, bahwa manusia ketika berinteraksi tidak
menggunakan dirinya sendiri, namun dia berinteraksi menggunakan bayangan semu yang dia

buat dengan pertimbangan penilaian orang lain. Seperti telah dikemukakan tadi di awal, manusia
berada di atas panggung raksasa, sehingga setiap interaksi yang ada hanyalah pertunjukkan
belaka. Perilaku yang dilakukan sangat ditentukan oleh ketepatan membayangkan bagaimana
respon audiens terhadap aktor tersebut.
Inti dari interaksionalisme simbolis sendiri dapat dilihat dari berbagai pemikiran ahli di
atas, dan pada dasarnya dapat dibedakan sebagai berikut; pertama, bahwa manusia tidaklah
sama dengan binatang, mereka mampu berpikir, mampu bertindak sesuai dengan akal dan
pikirannya, dan mempertimbangkan segala kemungkinan yang terjadi baik pada diri mereka
sendiri maupun kepada orang lain. Kedua kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial
antar manusia, dan di dalam interaksi sosial tersebut, orang mempelajari berbagai macam kata,
simbol, yang kemudian memungkinkan mereka dapat berpikir, berinteraksi, dan bertindak
dengan baik di tengah masyarakat. Ketiga, adalah bahwa setiap orang mampu melakukan
perubahan terhadap makna dan simbol yang ada berdasarkan definisi situasi yang ada. Keempat,
mereka mampu melakukan modifikasi dan perubahan, karena kemampuan mereka yang telah
berkembang, sehingga mereka mampu memahami diri mereka sendiri dan menentukan pilihan
terbaik yang diterapkan dalam tindakan mereka. Kelima, pola dan tindakan yang saling berkaitan
tersebut kemudian merupakan pola yang kemudian membentuk kelompok dan masyarakat.
Kritik bagi teori ini adalah, interaksi juga tidak lepas dari kelas dan posisi sosial yang ada
di dalam masyarakat. Interaksi juga tidak dapat lepas dari perkembangan masyarakat. Dalam
teori Mead misalnya, mengenai tahap – tahap perkembangan seorang individu. Dalam
masyarakat modern seperti saat ini, interaksi antara anak dan orang tua telah bergeser, digantikan
dengan interaksi anak dengan baby sitter, atau pengasuh anak. Hal ini dapat mempengaruhi
bagaimana penanaman peran dan posisi kepada seorang anak. Internalisasi nilai – nilai dan
norma juga dapat berubah, karena penanaman nilai dan norma yang sejatinya dilakukan oleh
keluarga, digantikan oleh pengasuh yang datang dari lingkungan luar keluarga tersebut. Interaksi
ini dapat menyebabkan munculnya nilai dan norma baru yang tumbuh pada diri anak tersebut.
Meskipun begitu, secara umum teori interaksionis simbolik dapat dipakai untuk
menjelaskan bagaimana sesungguhnya individu dapat terbentuk. Proses internalisasi individu
tidak lepas dari pengaruh masyarakat. Interaksi yang terjadi pun mendapatkan pengaruh dari
berbagai unsur dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan seorang individu bisa

memperoleh “dirinya” sendiri. Dengan memahami masyarakat, seorang individu dapat bisa
berada ditengah masyarakat dengan nyaman, begitu juga ia dapat eksis dengan menyesuaikan
diri di dalam masyarkat. Interaksi yang terjadi juga dapat terjadi karena adanya kesepakatan di
antara masyarakat, sehingga terbentuklah bermacam – macam simbol ataupun kata yang
mempunyai makna berbeda – beda, tergantung dimana hal itu berada.

D. Pertukaran Sosial
Ketika membicaraka pertukaran sosial, kita tidak bisa lepas dari filsafat ilmu pengetahuan
yang berorientasi positivistik. Ketiga bahasan yang ada pada teori ini, saling terkait satu sama
lain. Dengan berangkat dari unsur positivis, ketiga teori ini berusaha menerangkan bahwa
sejatinya semua tindakan yang dilakukan oleh seorang individu tidak lepas dari perhitungan
untung dan rugi, sehingga apapun tindakan yang dilakukan oleh seorang individu, ia cenderung
melakukan tindakan yang memberikan keuntungan lebih besar daripada biaya yang ia keluarkan.
Tokoh – tokoh dari teori – teori ini adalah George Homans, Peter Blau, Richard Emerson, dan
para pengikutnya.
Dimulai dari behaviorisme, teori ini melihat dampak yang ditimbulkan akibat suatu tindakan
terhadap sang aktor. Dengan melihat dari sudut pandang teori ini, dapat kita jelaskan mengenai
cost and reward yang terjadi pada interaksi antar individu maupun kelompok. Secara sederhana,
pola behaviorisme melihat adakah keuntungan yang didapat ketika melakukan suatu tindakan
bagi sang aktor. Ketika terdapat keuntungan, maka ia akan mengulang tindakan tersebut di masa
yang akan datang. Konsekuensi dari tindakan masa lalu, menentukan tindakan aktor tersebut
pada saat ini. Inilah yang disebut imbalan dan ongkos ( cost and reward ). Pada tahap ini, bisa
muncul dorongan yang memperkuat perilaku sang aktor, dalam bentuk imbalan, sementara itu
bisa juga muncul ongkos yang mengurangi kecenderungan dilakukannya suatu perilaku. Ini yang
kemudian menjadi dasar pertimbangan seorang individu dalam melakukan suatu tindakan.
Kemudian pada teori pilihan rasional, disini aktor cenderung akan melakukan tindakan yang
menurutnya akan membawa keuntungan baginya, baik lewat pengalaman diri sendiri maupun
pengalaman individu lain. Sebagai contoh, penulis akan memberikan analogi berikut; seorang
pekerja yang mampu mengerjakan tugas dengan baik akan mendapatkan upah besar dari

majikannya. Hal itu mendorong pekerja yang lain untuk melakukan hal serupa untuk
mendapatkan upah besar juga dari sang majikan. Meskipun tidak mengalami sendiri, mereka
akan melakukan hal serupa dengan asumsi hal itu juga akan sukses seperti yang dialami oleh
rekan mereka. Sementara itu, pekerja yang telah mendapatkan upah cenderung akan mengulang
pekerjaan yang ia lakukan, agar ia kembali mendapatkan upah besar tersebut.
Kemudian, ada konsep rasionalitas, dimana seorang individu cenderung melakukan tindakan
yang menurutnya mungkin akan mendapatkan imbalan. Yang dimaksud disini adalah, ketika ia
menimbang – nimbang suatu pekerjaan, dan ia merasa bahwa kemungkinan ia mendapatkan
imbalan tinggi, ia akan melakukan pekerjaan tersebut meskipun imbalannya tidak seberapa.
Akan tetapi, ketika ia mendapatkan kesempatan untuk melakukan pekerjaan dengan imbalan
tinggi akan tetapi kemungkinan ia mendapatkan imbalan tersebut rendah, ia cenderung tidak
akan mau melakukan pekerjaan tersebut. Dalam hal ini, seorang manusia memikirkan lebih baik
memperoleh yang dapat diperoleh dengan mudah, daripada memperoleh sesuatu yang tidak dapat
diperoleh. Namun terdapat kritik bagi proposisi rasionalitas ini, adalah terdapat kemungkinan
munculnya tindakan yang diluar kecenderungan. Ada kalanya seorang manusia mengambil
resiko untuk mendapatkan imbalan yang lebih besar, meskipun ia tahu kemungkinan
mendapatkan hal tersebut rendah.
Pada akhirnya, inti dari teori ini sendiri ada tiga disebutkan oleh Emerson dalam Ritzer dan
Goodman (2014 : 465 ), yang pertama adalah bahwa setiap individu yang mengambil manfaat
dari peristiwa cenderung bertindak rasional, dan dengan demikian peristiwa tersebut pun bisa
terjadi. Kedua, karena biasanya orang dijejali dengan peristiwa – peristiwa behaviorial, peristiwa
tersebut mulai berkurang manfaatnya; dan yang ketiga, keuntungan yang diperoleh orang melalui
proses sosial tergantung pada keuntungan yang dapat mereka berikan dalam pertukaran, sehingga
memberikan “fokus pada aliran manfaat melalui interaksi sosial” kepada teori pertukaran.
Meskipun begitu, penulis melihat adanya berbagai kritik yang dapat diutarakan dalam teori
ini. Meski pada dasarnya setiap interaksi yang dilakukan manusia didasari atas hitungan untung
dan rugi, pada kesempatan tertentu dapat terjadi tindakan yang didasari atas dimensi transenden.
Di Indonesia misalnya, terdapat tindakan – tindakan sosial yang tidak dapat dijelaskan dengan
teori ini. Misalnya, fenomena pengobatan tradisional yang percaya kesembuhan berasal dari
kekuatan yang menciptakan alam semesta. Seorang yang sakit dan datang kepada dukun, diberi

mantra – mantra tertentu dan sembuh, tentu tidak rasional dibandingkan seseorang dengan sakit
yang sama berobat kepada dokter spesialis, diberi obat akan tetapi tidak sembuh.
Kemudian, teori ini juga perlu melihat adanya kecenderungan perbedaan definisi keuntungan
pada masyarakat komunal. Pada masyarakat yang masih erat hubungan dan interaksinya,
meskipun bukan keluarga, masih ada anggapan bahwa lebih baik mendapatkan sedikit
keuntungan tetapi memiliki banyak relasi daripada mendapatkan banyak keuntungan tetapi tidak
memiliki relasi. Contoh kasusnya adalah fenomena untung satak bathi sanak, yang ada di daerah
pedesaan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya. Ungkapan di atas
mempunai terjemahan kurang lebih seperti ini; lebih baik mendapatkan keuntungan ( materiil )
sedikit tetapi mendapatkan tambahan saudara ( relasi ). Melihat fenomena di atas, dapat kita
pahami bahwa sesungguhnya kehidupan manusia tidak selalu soal untung – rugi, akan tetapi juga
terdapat pertimbangan lain seperti hubungan antara manusia dengan Yang Kuasa, hubungan
manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Akan tetapi kita
tidak dapat menyangkalnya, bahwa kecenderungan yang terjadi memang manusia pada dasarnya
selalu melihat untung – rugi dalam setiap tindakan yang akan dilakukannya.

E. Penutup
Kiranya itulah beberapa review yang mampu penulis tuliskan dari 3 teori, yaitu Struktural
Fungsional, Interaksionis Simbolis, dan Pertukaran Sosial. Semoga dengan adanya review ini
menambah pemahaman kita bersama mengenai teori – teori tersebut, dan mempertajam
pemikiran kritis kita akan fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita.

Daftar Pustaka

Ritzer G, dan Goodman J. Douglas, 2014. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Materi perkuliahan Sejarah Pemikiran Sosiologi, 2014.