barbie ikon budaya konsumerisme (1)

Nama: Siti Rachma Fathiya
NIM: 121414153016
Jurusan: S2 Kajian Sastra dan Budaya
Matakuliah: Kajian Sastra dan Budaya Lokal
Jenis Tugas: Ringkasan Buku

Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme
Oleh: Mary F. Rogers
Menawan hati, menghanyutkan, mempesona, memikat, jelita, memperdaya, lembut,
dramatis, cantik, indah, fantastis, bergaya, menarik, glamor, anggun, elok, berseri-seri,
agung, romantis, berkilauan, bercahaya, manis. Kata-kata di atas mewarnai iklan-iklan
Barbie. Anak-anak muda dan orang-orang dewasa juga memilih kata-kata yang sama ketika
harus menggambarkan Barbie. Kata-kata tersebut adalah kata-kata feminitas kelas menengah
modern. Kata sifat ini juga menggambarkan feminitas anak muda, feminitas heteroseksual,
dan feminitas kulit putih. Lebih dari semuanya, tampaknya, Barbie adalah ikon feminitas
dalam hubungannya dengan kelompok menengah masyarakat Barat dewasa ini.
Beberapa siswa sebuah sekolah menengah di Amerika yang murid-muridnya
kebanyakan adalah keturunan Afrika-Amerika dari keluarga-keluarga kelas bawah
berpendapat bahwa Barbie adalah idola mereka karena Barbie cantik, ramping, dan berambut
panjang. Dan mereka berharap bahwa mereka ingin bisa tumbuh seperti Barbie. Meskipun
Barbie adalah sebuah ikon yang merepresentasikan feminitas yang menggoda dan membujuk

karena daya tariknya, ada beberapa gadis berusaha menjaga jarak dari Barbie. Bahkan ada
yang sampai memotong rambut Barbie yang panjang karena dirasa sudah tidak sesuai lagi
dengan citra gadis impian yang sempurna. Namun demikian, bagi kebanyakan gadis, boneka
adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, terutama boneka-boneka fashion. Pada 1996,
John Greenwald melaporkan bahwa 99 persen dari semua anak perempuan di Amerika
Serikat yang berusia antara 3 sampai 10 tahun memiliki setidaknya satu Barbie. Rata-rata
setiap anak perempuan memiliki delapan Barbie. Susan Reda (1995) membuat polling pada
1994 yang menunjukkan bahwa Barbie adalah boneka paling populer sebagai hadiah natal
dengan angka 24 persen dari setiap rumah tangga.

Meskipun kehadirannya ada di mana-mana, Barbie tidak dapat dengan serta-merta
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari karena feminitasnya yang bersifat fantastis. Barbie
melampaui apa yang dikatakan sosiolog R.W. Connell (1987) sebagai “feminitas yang tegas”,
yaitu gaya berpenampilan yang bersikap feminin yang begitu diharapkan dan dikukuhkan
dalam realitas masyarakat kita. Gaya Barbie barangkali bisa disebut “feminitas yang tegas”.
Barbie berpenampilan feminin dan bersikap menentang sifat maskulin. Feminitas Barbie
tidak hanya tampak dalam penampilannya yang serasi, namun juga dalam caranya bersikap
baik dan didorong untuk menjadi sosok yang menyenangkan, dengan tutur katanya yang
lembut, sopan, suka menolong, dan sensitif. Anak perempuan yang baik seperti Barbie tidak
bersikap suka menyerang atau suka berteriak; mereka tidak berisik dan juga tidak suka

mencemooh. Mereka berperilaku sopan dan terhormat. Pengetahuan tentang Barbie, yang
dibangun dari kotak kemasan Barbie, novel-novel Barbie dan buku Little Golden Book,
seperti Very Busy Barbie, menggambarkan gadis yang baik yang kesuksesannya lahir tanpa
sikap kasar atau bahkan persaingan yang keras, seperti menipu atau menikam dari belakang.
Feminitas selalu melahirkan sebuah ikatan sosial khusus sebagaimana juga sikap tertentu dan
penampilan tertentu.
Barbie juga menimbulkan banyak kritik. Ketika Barbie pertama kali memasuki pasar,
penganut agama Kristen di Amerika mengutuk Barbie sebagai simbol paham hedonisme dan
materialisme karena Barbie dianggap mempengaruhi anak-anak perempuan sehingga
mengabaikan kewajiban-kewajiban perkawinan dan pengasuhkan karena Barbie tidak pernah
menikah dan menghabiskan waktunya dengan orang lain hanya karena ia ingin
melakukannya. Namun kritik yang paling deras muncul di sekitar bentuk dan proporsi tubuh
Barbie. Kebanyakan pengkritik membandingkan proporsi Barbie dengan proporsi perempuan
hidup seperti bentuk pinggang ramping Barbie yang mustahil ada, jari-jemari Barbie yang
menyatu sehingga tidak dapat menggenggam ataupun memegang sesuatu, dan Barbie tidak
pernah bisa berdiri sendiri tanpa dibantu alas kakinya. Cookie Lupton (1993) menulis sebuah
puisi yang menggambarkan Barbie sebagai mahasiswa tahun kedua di Universitas Negeri
yang secepatnya membutuhkan pertolongan karena membuat dirinya sendiri lapar.
Sebenarnya, citra Barbie sebagai anoreksis dan bulimis jauh dari kesan luar biasa.
Jadi, Barbie adalah model acuan? Model acuan dibangun berdasarkan sejumlah

idealisasi dan proses melebih-lebihkan. Model acuan memberi inspirasi dan semangat kepada
kita, sebagian karena kita tidak tahu apa-apa mengenai keterbatasan atau kelemahan mereka.
Tampaknya, Barbie berfungsi sebagai salah satu model acuan di antara berbagai model acuan

yang lain sehingga anak-anak perempuan belajar bahwa penampulan mereka sangatlah
penting bagi feminitas mereka, sebagaimana juga daya tarik mereka dan peranan mereka.
Banyak atau mungkin kebanyakan, gadis terhindar dari gempuran pesan tersebut. Namun
hanya sedikit yang selamat tanpa cedera. Semua yang kita tahu tentang distorsi citra tubuh,
praktik diet kronis, dan kebencian terhadap tubuh yang kegemukan misalnya, menunjuk pada
adanya konsistensi di antara para perempuan di semua kelas sosial, kelompok umur, orientasi
seksual, dan kelompok ras serta etnik. Untuk menjadi seksi dan atraktif, dengan demikian
lebih berarti untuk menjadi mirip dengan Barbie ketimbang tidak.
Pada Mondo Barbie, sebuah antologi puisi bertema gay dan anti-Barbie, menuliskan
bahwa betapa seringnya Barbie dilaporkan sebagai sasaran perilaku kekerasan. Barbie adalah
sebuah ikon, barangkali, mengenai bagaimana gender dan kekerasan ditautkan menjadi satu
dalam realitas masyarakat modern, gender dan perang, gender dan kekerasan domestik,
gender dan pemerkosaan, gender dan penyiksaan anak-anak, serta gender dan sikap agresif.
Sebagai sasaran kekerasan, Barbie mungkin menyimbolkan lebih banyak hal ketimbang
sekedar citra feminitas yang tegas.
Barbie, sekurang-kurangnya, adalah objek yang dipenuhi citra gender. Tidak

mengejutkan, kemudian, bahwa kebanyakan anak laki-laki menganggapnya bukan sebagai
bagian dunia mereka yang membuat beberapa di antara mereka bahkan menolak kehadiran
Barbie dengan sikap kebencian yang amat sangat. Beberapa anak laki-laki yang lain
mengakui daya tarik Barbie, namun mampu untuk tetap tidak menunjukkan ketertarikan
mereka. Kebanyakan memilih menghindarinya, dengan berpura-pura tidak tertarik atau
sedikit tertarik, atau malah tidak tertarik sama sekali.
Penyiksaan terhadap Barbie biasanya dalam bentuk pencopotan kepala hingga lepas,
menarik lengannya dan membakar habis rambutnya. Bahkan yang lebih ekstrim ada yang
membakar habis rambut Barbie serta memotong-motong tubuhnya dengan pisau. Perilaku
semaca ini tidak terbatas pada anak laki-laki yang bereaksi kepada saudara perempuannya,
demi mengungkapkan kejengkelan mereka pada apa pun makna Barbie bagi mereka, atau
demi sebuah hasrat perusakan yang tanpa makna. Ketika Mattel, perusahaan yang
memproduksi Barbie, membatalkan upayanya untuk mengambil alih Hasbro, sebuah
perusahaan boneka yang lain, para karyawan Hasbro merayakannya dengan menusuk boneka
Barbie seperti daging, memanggangnya di Hasbro Magic Smoking Grill dan menyebut
boneka panggang tersebut sebagai “Barbieque”.

Feminitas Barbie yang tegas berangkat dari realitas nyata dengan beberapa cara.
Feminitas Barbie tidak hanya mencitrakan akualitas tubuh perempuan, tetapi juga memberi
kesempatan Barbie untuk menikmati sedikit keistimewaan dunia laki-laki. Feminitas Barbie

barangkali tidak sepenuhnya tertutup, tetapi jelas ia tidak mencakup sifat keibuan atau
bahkan perkawinan. Feminitas Barbie, dengan demikian adalah feminitas yang relatif luwes
tanpa harus menyubordinasi laki-laki, tanpa pembagian tugas-tugas rumah tiangga yang
sering kali tidak adil, serta tanpa kewajiban-kewajiban pengasuhan. Dengan kata lain, Barbie
bukanlah ikon perempuan tertindas yang tak mampu berbuat apa-apa. Sebaliknya, Barbie
mengambil alih tanda-tanda subordinasi perempuan –perhatian pada tubuh, sikap yang selalu
manis, dan kepribadian yang menawan dalam segala hal— dan mengubahnya menjadi sarana
menuju kesuksesan, kebahagiaan, kegembiraan, dan keglamoran.
Di sisi lain, Barbie adalah sosok istimewa. Dia, pertama-tama, adalah sosok
heteroseksual; berkulit putih seputih gading-salju; berasal dari kelas menengah; Barbie bukan
lagi anak-anak, tapi juga bukan orang dewasa; bertubuh sehat tanpa cacat. Kecuali, orientasi
gendernya, Barbie berada dalam kelompok tangan di atas atau setidaknya cukup dihargai
dalam masyarakat modern. Bahkan dengan orientasi gendernya itu Barbie menjadi semajam
Ratu Lebah. Barbie adalah gambaran cukup sempurna atas sifat keistimewaan, bahwa
gambaran ini muncul pada 1959 bukanlah semata kebetulan budaya ataupun sejarah; serta
bahwa Barbie terus mewarnai secara mendasar, di dalam dan di luar realitas masyarakat
pasca-industrual dewasa ini, juga bukan suatu kebetulan.
Dalam bukunya Black Feminist Though, Patricia Hill Collins (1991) berbicara tentang
matriks dominasi, sebuah susunan hierarki sosial yang saling berkaitan dan berbeda satu
sama lain meskipun tetap saling mendukung dan memperkuat. Barbie adalah sebuah ikon

dalam matriks tersebut, yang muncul dari orientasi gender, orientasi seksual dan ras, serta
kelas sosial sebagaimana juga dari usia dan kesempurnaan tubuh. Kedudukan Barbie dalam
berbagai hal, kecuali dalam salah satu hierarki sosial ini, memberinya kesempatan untuk
mengelak dari praktik subordinasi serius yang berlangsung secara sistematis. Dengan
demikian, daya tarik barbie barangkali berasal dari sifat-sifat istimewa yang ia
representasikan, sebagaimana kekerasan terhadap Barbie barangkali berasal dari berbagai
kebencian terhadap sifat keistimewaannya, terutama keistimewaan yang diterimanya sebagai
kodrat, namun malah dipamer-pamerkan.

M.G. Lord (1994) melihat persamaan antara sosok Barbie dan seorang pahlawan
perempuan yang gagah berani, yang agak mementingkan diri sendiri dan yang sangat bersifat
subversif dari tokoh Helen Gurley Brown. Ia menyatakan bahwa persamaan ini membuat
Barbie tampak sebagai sosok radikal yang terselubung. Radikal atau tidak, yang pasti Barbie
merepresentasikan titik awal pandangan mistik feminin (feminine mystique) tahun 1950-an,
seperti dicatat oleh Betty Friedan pada 1963 dengan penuh warna dan nuansa, dalam sebuah
bukunya dengan judul yang sama. Konsep mistik feminin memberikan sebuah warna
tersendiri pada praktik subordinasi laki-laki terhadap perempuan dengan mengagungagungkan tempat tinggal golongan kelas menengah sebagai tempat yang nyaman bagi
pemenuhan kebutuhan perempuan sebagai istri, ibu, dan desainer interior. Bagi kebanyakan
orang, seks dianggap sedemikiann kotor. Seks hanya untuk mereka yang sudah menikah
dengan tujuan memberikan keturunan. Namun demikian, kebahagiaan seorang perempuan

bukan berasal dari kehidupan seksual mereka atau apa pun, melainkan dari perkawinan
mereka dengan seorang kepala keluarga yang baik dan bertanggung jawab dan mengasuh
seorang anak berusia tiga tahunan dengan pipi merah dan hidung yang tidak pernah beringus.
Jika tetap membujang, terutapa setelah melewati usia pertengahan dua puluhan, dianggap
akan membuat seorang perempuan menjadi tidak bahagia.
Pada tahun 1962 buku Brown, Sex and the Single Girl, memotong tepat pada akar
ideologi mistik feminin tersebut. Kalimat pembuka buku ini mengungkapkan sebuah
pendirian tanpa malu-malu mengenai konsep hidup yang dianggap baik bagi perempuan
lajang, “Saya menikah pertama kali pada usia 37 tahun.” Selanjutnya, Brown mengatakan
bahwa perkawinan adalah tahun-tahun terburuk dalam kehidupan Anda. Dalam tahun-tahun
terbaik, Anda tidak membutuhkan seorang suami. Siapa pun dia, Barbie adalah boneka tahuntahun terbaik tersebut. Ia melambangkan kebebasan dan kegembiraan yang dapat dimiliki
seorang perempuan lajang jika ia memiliki keberanian dan uang.
Karya Brown juga mencakup sebuah bab mengenai “The Care and Feeding of
Everybody”. Para pembaca akan dicekam oleh sebuah mentalitas mistik feminin dengan
berpikiran bahwa bab tersebuh berisi tanggung jawab sosial perempuan bujang. Dalam satu
hal, memang demikianlah kenyataannya, namun tanggung jawab seperti ini sebenarnya hanya
dijalankan di rumah dan seseorang secara efisien dapat melepaskan diri dari kewajibankewajiban semacam ini. Sebagaimana dicatat oleh Molly McCaskill, dalam pengertian besar
mengenai berbagai hal, kecantikan Barbie tampaknya ditujuan bukan untuk siapa-siapa,

kecuali untuk dirinya sendiri, bahkan meskipun hal itu merefleksikan pandangan masyarakat

mengenai apa yang dipahami laki-laki sebagai kecantikan.
Dengan sikap independensinya, Barbie menyangkal pandangan mistik feminin.
Artinya, ia mengambil bagian dalam kedudukan istimewa laki-laki dengan menjadi individu
atas dirinya dan bersumpah untuk berkorban demi sebuah aktualisasi diri. Laki-laki
dipandang sekadar mencari sesuap nasi bagi keluarganya, sekadar berjuang untuk mencapai
sukses atau sekadar berusaha menjadi bujangan yang baik. Sebaliknya, perempuan dengan
perilaku yang sama sering kali dikecam sebagai perempuan yang mementingkan diri sendiri.
Tapi tentu saja Barbie lolos dari penilaian buruk semacam ini. Barbie sama sekali tidak punya
keinginan bersombong diri. Ia mungkin dianggap ambisius dalam pengertian dunia maskulin
tradisional, namun yang pasti Barbie mampu melakukan hal yang lebih baik ketimbang
sekadar menyodorkan tangannya meminta belas kasihan kepada orang lain. Barbie justru
memperdaya dengan feminitas yang tegas dan memberikan dasar bagi penyimpangan
sejumlah kode feminitas yang tampaknya memang ingin diungkapkannya.
Ketika memasuki tahun-tahun masa remaja atau malah sebelumnya, kebanyakan
wanita heteroseksual memikirkan seorang laki-laki atau pemuda sebagai pusat kehidupan
mereka. Ketika beranjak melewati masa pubertas menuju usia dewasa, seorang gadis mulai
menyadari bahwa popularitasnya di sekolah, penampilannya yang feminin, serta banyak hal
yang lain sangat bergantung pada daya tariknya di mata teman laki-lakinya dan hubungan
khususnya dengan seseorang di antara mereka. Ketika semakin sadar dengan orientasi
heteroseksualnya, seorang gadis mulai menghadapi tekanan untuk menjadikan teman laki-laki

dan kencan sebagai prioritas utama dalam hidupnya. Pada gilirannya, ia akan semakin bayak
memberi perhatian pada ukuran dan bentuk tubuhnya, variasi dan isi lemari pakaiannya, gaya
rambutnya, serta riasan wajahnya. Barbie menyuarakannya, meskipun agak melebihlebihkan, kodrat kefemininannya seperti ini. Ia memberikan kesempatan tanpa batas pada
banyak gadis yang memilikinya untuk mendandaninya, menyikat, dan menyisir rambutnya;
dan menempatkannya dalam berbagai situasi seperti dalam kelas aerobik, di sekolah tari, atau
di pusat perbelanjaan.
Namun demikian, Barbie tidak terkait dengan bentuk-bentuk aktivitas tipikal seperti
ini. Pada akhirnya, tampak bahwa ia juga tidak melibatkan perasaannya dalam hubungannya
dengan Ken, yang dengan berbagai cara telah berhasil memonopoli perhatiannya. Barbie
seolah memancarkan sebuah sikap independensi yang menyimpang dari kode-kode feminitas

utama. Bahwa ia tetap membujang dan tidak punya anak bukanlah sosok feminin yang
normal. Fakta bahwa Barbie tidak memiliki suami ataupun anak, bukan ditujukan bagi
dirinya. Sebaliknya, kondisi seperti ini membuat Barbie selalu terbuka untuk berbagai
interpretasi yang kadang kala bahkan saling bertentangan. Interpretasi ini juga memperluas
wilayah makna ikon ini, dan dengan demikian juga cakupan konsumen yang dapat
digodanya.
Dalam wilayah pemaknaan budaya seperti itu, muncul kemungkinan bahwa Barbie
barangkali bukan sosok heteroseksual. Bahkan, bisa jadi dia bukan perempuan. Barbie
barangkali sesosok Ratu Waria. Barbie barangkali adalah sosok ultra-feminin yang

dipersonifikasikan oleh figur Ratu Waria. Kakinya yang sangat panjang dan pinggangnya
yang ramping menegaskan hal ini. Feminitas Barbie adalah sebuah feminitas yang cerdas,
namun sekaligus gemerlapan. Ikon feminin yang tegas dan unik ini bahkan memiliki daya
tarik yang besar di kalangan kaum laki-laki gay. Dunia Barbie secara relatif terbebas dari
paham heterosentrisme dan heteroseksisme ini dan dengan demikian memiliki daya tarik
relatif bagi orang-orang nonheteroseksual, terutama kaum laki-laki gay. Kaum lesbian,
terutama mereka condong untuk menolak sejumlah karakter utama dunia Barbie,
sebagaimana kaum biseksual yang barangkali menganggap penampilan monoseksualitas
Barbie tidak terlalu menarik. Bagaimanapun juga, dunia barbie memang tetap memungkinkan
proses pembacaan yang menyimpang.
Sebagai ikon waria, Barbie menggambarkan apa yang telah dikatakan oleh para
pemikir feminis dan kritikus kebudayaan selama bertahun-tahun. Dalam pengertian ini,
Barbie memperlihatkan bahwa feminitas adalah sebuah realitas yang diciptakan. Jika Barbie
dapat dipersonifikasikan dengan sosok Ratu Waria sebagai contoh karakter feminitas yang
dikonstruksi, dia juga dapat menjadi ikon feminitas nonheteroseksual. Pada titik ekstrem,
barangkali Barbie adalah sosok lesbian, perempuan biseksual yang pada suatu saat sangat
memperhatikan dan menjalin hubungan cinta dengan Ken namun pada saat yang lain memilih
berhubungan dengan Midge, teman baiknya, atau Barbie barangkali adalah sosok aseksual.
Dia mungkin seksi, namun tidak harus menjadi seksual; menarik, namun tidak harus tertarik
dengan lawan jenisnya. Semua kemungkinan ini memberikan ruang berbagai kisah bertema

gay dalam majalah Barbie Bazaar dan banyak media lainnya.
Meskipun semenjak tahun 1960-an, Barbie telah memiliki banyak versi dari berbagai
warna kulit dan selama 15 tahun terakhir Barbie versi Afrika-Amerika, Asia, dan Hispanik

telak dipasarkan. Sedari lahir Barbie adalah boneka berkulit putih. Meskipun ia telah
berganti-ganti penampilan, misalnya, sebagai gadis berambut coklat semenjak tahun 1959
dan kadang kala muncul sebagai gadis berambut merah, Barbie pun sedari lahir berambut
pirang. Meskipun matanya bisa berubah warna secepat warna rambutnya, pada dasarnya
Barbie memiliki mata paling biru yang begitu sulit diterka warnanya, sebagaimana pernah
digambarkan oleh Toni Morrison. Tidak peduli identitas rasial atau etnik apa yang ia
pergunakan, Barbie tetap lahir di depan saya sebagai boneka perempuan berkulit putih,
sebagai pemilik status istimewa kulit putih serta sebagai bukti nyata dominasi budaya kulit
putih. Dengan kata lain, Barbie tampaknya hanya memiliki sedikit kredibilitas sebagai
boneka perempuan berkulit hitam, Asia, pribumi Amerika, atau Hispanik.
Secara umum, kolektor adalah seseorang yang membeli seluruh rangkaian boneka
Barbie tanpa harus membeli boneka Barbie versi kulit hitam, Hispanik, pribumi Amerika,
atau boneka-boneka yang secara rasial dan etnik layak dijual. Artinya, setiap boneka Barbie
di luar Boneka Seri Dunia (Dolls of the World), selalu hadir dalam versi kulit putih, yang
secara rasial tidak terlalu diperhatikan dan secara luas dianggap sebagai versi boneka yang
telah diterima khalayak umum. Sebagaimana ditunjukkan oleh Billy Boy, misalnya, seri
Basic Barbie Doll Fashion Model yang dipasarkan tahun 1959 memuat teks yang
mengindikasi “Boneka Barbie Anda ini dibuat dari vinyl plastik, yang putih dan kokoh”
(ditambahkan penekanan). Lebih jauh, dalam berbagai kasus, satu-satunya versi boneka
Barbie yang diterima khalayak umum adalah boneka Barbie versi kulit putih dengan rambut
pirang. Karenanya, gadis-gadis yang disewa khusus, atau diberi penghargaan karena menjadi
Barbie dalam acara konvensi Barbie dan berbagai acara lainnya adalah gadis-gadis berkulit
putih. Bagi kebanyakan orang, Barbie yang sesungguhnya atau autentik adalah Barbie
berkulit putih. Boneka-boneka lain dianggap sebagai yang lain, yang diperlakukan sebagai
sesuatu yang berbeda atau bahkan eksotis.
Kebangkitan sistem ekonomi konsumsi di Amerika Utara, Eropa, dan Jepang, serta
berbagai tempat lainnya di dunia telah membawa konsekuensi semakin banyaknya orang
yang terlibat dalam aktivitas konsumsi secara besar-besaran. Bahkan, di kalangan yang secara
historis sebenarnya tidak produktif atau belum produktif, orang-orang tersebut turut tersedot
ke mal-mal, restoran-restoran, bioskop, persewaan video, tempat makan cepat saji, tamantaman hiburan, butik, dan berbagai tempat lain yang dibangun sebagai tempat aktivitas
konsumsi. Artinya, bahwa para pensiunan dan anak-anak muda, terutama mereka yang
berusia di bawah 18 tahun, kini telah menjadi sasaran berbagai macam produk konsumsi.

Sebagai model busana remaja, Barbie dengan demikian mempresentasikan pasar yang
ditujunya. Pada saat yang sama, Barbie juga melambangkan fenomena konsumerisasi anakanak, yaitu sebuah proses transformasi anak-anak menjadi konsumen yang memiliki sejumlah
ukuran otonomi tertentu sebagai pembelanja dan pembeli.
Banyak anak perempuan melihat sebuah aktivitas konsumsi yang tinggi dalam diri
Barbie. Bagi mereka, Barbie menyimbolkan kondisi ketersediaan berbagai hal yang bahkan
berlebih-lebihan dalam sistem konsumsi. Memiliki semua barang Barbie seperti rumah
Barbie, mobil-mobilan Barbie, dan berbagai aksesoris lain yang berkaitan dengan Barbie bagi
kebanyakan anak perempuan melihatnya sebagai simbol status di antara teman-temannya.
Semakin lengkap dan banyak perlengkapan Barbie yang dimilikinya, semakin tinggi pula
statusnya.
Dari sudut pandang produsen Barbie, sebagaimana dikemukakan Dick (seorang staf
pengajar universitas, berusia paruh baya, dan berkulit putih) bahwa Barbie memiliki
sekelompok teman dekat dan mimpi basah para produsen tentang dewi-dewi yang bisa
dimiliki yang tanpa Barbie semuanya menjadi terasa kurang lengkap. Dick melihat Barbie
sebagai mesin uang yang luar biasa bagi para produsen. Darlene, seorang pustakawan melihat
Barbie sebagai titik awal praktik strategi pemasaran yang menguasai pikiran anak-anak.
Dengan demikian, dia melihat Barbie sebagai bagian dan paket dari proses konsumerisasi
anak-anak. Proses konsumerisasi ini meliputi praktik menjual Barbie sebagai benda koleksi
bagi anak-anak.
Barbie cenderung tampil sebagai sosok pembelanja ketimbang kolektor. Apa yang ia
peroleh selama bertahun-tahun sangatlah fenomenal. Bahkan, seorang konsumen shop until
you drop sekalipun tidak cukup mudah ditekan untuk membeli lemari pakaian yang lebih
besar, lebih banyak peralatan rumah tangga, semakin banyak peralatan olahraga dan waktu
luang, semakin banyak rencana perjalanan, atau lebih banyak binatang peliharaan. Rebecca
Ann Rupp dalam bukunya Treasury of Barbie Doll Accessories 1961-1995 (1996), mencoba
melakukan survei atas berbagai perlengkapan yang ada dalam dunia Barbie. Dalam buku itu,
terdapat bab-bab mengenai rumah-rumah Barbie, perlengkapan rumah tangga, kendaraan
(termasuk kendaraan darat, laut, dan udara), serta hewan peliharaan. Seperti ditunjukan oleh
Rupp, pilihan rumah-rumah Barbie sangatlah beragam. Selama bertahun-tahun rumah-rumah
tersebut memiliki berbagai macam desain arsitektur, ukuran, dan harga seperti halnya
kebanyakan real estate. Rumah Barbie yang pertama, Dream House, yang kemudian disusul

oleh rumah Deluxe Dream House. Pada 1973, muncul Country Living Home; antara tahun
1974 dan 1979, muncul sebuah rumah model perkotaan. Rupp menghitung bahwa Barbie
setidaknya meiliki 19 rumah, sementara keluarga dan teman-temannya hanya memiliki lima
rumah. Namun demikian, Ken tidak memiliki rumah satu pun. Itu semua belum termasuk
beberapa ruangan dalam rumah Barbie yang dapat dibeli secara terpisah.
Bahkan binatang-binatang Barbie ini juga memiliki perlengkapan yang sangat banyak.
Seekor anjing Afghan yang bernama Beauty, semenjak tahun 1983 memiliki dua buah tenda
kecil, sebuah kalung leher, tiga buah rantai, sebuah mahkota, sebuah tempat makanan anjing,
sebuah topi, tiga buah pita, sebuah sisir, dan sikat, dan juga tulang-tulang dan surat kabar, dan
lain-lain. Barbie juga memiliki sebuah mobil Ferrari merah, Austin Healy, Classy Corvette,
Porsche warna putih, Mustang merah muda, dan Jaguar warna merah. Jennifer King (1990)
mencatat bahwa Barbie juga memiliki sekurang-kurangnya satu mantel bulu. King
menganggap Barbie sebagai “ratu pengonsumsi dari plastik yang menyolok mata”. Secara
keseluruhan, Barbie tampaknya memiliki semua yang ada dalam dunia impian, jika bukan
realitas nyata, para konsumen kalangan kelas menengah yang gemar berbelanja.
Kenyataan bahwa Barbie dipasarkan sebagai model busana remaja dan bahwa dia
dipasarkan untuk anak-anak perempuan adalah dua buah kondisi yang membentuk status
Barbie sebagai ikon konsumerisme. Barbie memasuki sebuah dunia selama sebuah periode
ketika masa kanak-kanak dan dewasa ada dalam fase perubahan. Kemunculan Barbie selama
gerakan perjuangan hak asasi manusia di kalangan masyarakat Afrika-Amerika dan puncak
gerakan feminisme pasca-Perang Dunia II barangkali bukanlah sebuah kebetulan sejarah.
Kesesuaiannya dengan budaya kelas-menengah, lahirnya sistem perekonomian konsumsi
yang dijejali dengan kartu kredit. Subkultur anak muda, dan banyak hal lainnya seolah sama
bagusnya dengan kesesuaian desain gaun-gaunnya.
Elliott West (1996) menyatakan bahwa boneka Barbie mencerminkan lahirnya
kemandirian, kemampuan membeli, dan kekuatan anak-anak muda untuk memiliki barangbarang material. Anak-anak muda kini mulai sadar untuk menjadi anggota sebuah kelompok
khusus dengan bahasa, musik, pakaian, dan waktu luang milik mereka sendiri. Perusahaanperusahaan seperti Mattel, merupakan inovator yang membitik pasar anak-anak melalui iklan
televisi, adalah para pemain utama dalam proses konsumerisasi anak muda. Anak-anak
perempuan antara usia 6 sampai 9 tahun tampaknya menjadi sasaran utama Mattel. Selama
tahun 1960-an anak-anak tersebut mulai beranjak remaja dan banyak di antara mereka telah

menjadi pekerja-pekerja remaja. Kecenderungan tersebut mendapatkan pendorong pada
dekade tahun 1990-an. Semenjak tahun 1990-an, setengah hingga dua pertiga remaja
Amerika melakukan kerja paruh-waktu selama masa studi mereka. West melaporkan bahwa
lebih dari separuh dari semua pekerja senior (dan hampir seperempat pekerja tahun kedua)
bekerja lebih dari 20 jam per minggu. Ia menyimpulkan bahwa para pekerja remaja yang
mewah tersebut, yang mencari uang untuk hal-hal yang tidak terlalu penting, seperti membuat
tato di tubuh dan membeli CD serta skateboard, telah memenuhi hasrat konsumerisme yang
kelaparan.
Namun demikian, para remaja saat ini mulai meninggalkan permainan boneka.
Jawaban Mattle menghadapi kondisi ini adalah dengan memasarkan boneka-boneka untuk
dikoleksi, termasuk sejumlah boneka khusus remaja. Bahkan, seri koleksi anak-anak, yang
menampilka Barbie sebagai Cinderella, memiliki sasaran pasar anak berusia tiga tahun ke
atas. Orang tua mereka mungkin yang memulai koleksi tersebut, namun Mattel beranggapan
bahwa ketika mereka nanti mulai memiliki penghasilan sebagai remaja, banyak di antara
mereka yang akan melanjutkan menambah koleksi mereka.
Barbie membawa aktivitas konsumsi pada batasannya yang tertinggi. Dunia Barbie,
seperti dikatakan Don Richard Cox (1977), adalah sebuah “miniatur utopia” yang muncul
dari sederetan panjang barang-barang konsumsi dari aktivitas waktu senggang ketimbang dari
perdamaian, harmoni, dan itikad baik setiap orang. Helen Cordes (1992) menyatakan bahwa
Barbie telah mengkhotbahkan paham konsumerisme, dan dia bukan siapa-siapa tanpa
produk-produk yang dimilikinya. Erica Rand (1995) melihat popularitas Barbie sebagai
proses glamorisasi sebuah karakter dengan sejumlah besar uang yang tidak akan pernah
habis, dan sejumlah besar barang mewah yang tak ada bandingannya. Karenanya, Barbie
tidak hanya menjadi ikon konsumerisme, tetapi juga ikon materialisme, yakni penggunaan
barang-barang hak milik untuk menandakan dan membentuk jati diri seseorang. Dia
mengirimkan pesan-pesan meterialis sekuat ikon-ikon yang lain yaitu “seseorang dinilai dari
apa yang ia miliki”.
Barbie secara ikonis berkaitan dengan kelas sosial, terutama melalui aktivitas
konsumsinya. Terlebih, Barbie menunjuk pada sikap ambivalensi masyarakat Amerika
Serikat mengenai fenomena ketidaksetaraan kelas dan hasrat mereka terhadap sikap
membantu diri sendiri, prinsip untuk berusaha sendiri sekuat Anda. Pada saat yang sama,
Barbie juga merupakan ikon masa kanak-kanak yang dibentuk oleh proses perubahan sosial

dan budaya era pasca-Perang Dunia II. Pada akhirnya, Barbie juga membangkitkan makna
yang mendalam mengenai hubungan antara kelas dan masa kanak-kanak, yakni hubungan
antara perkembangan diri seseorang dengan kelas sosial orangtua mereka dan juga hubungan
antara pengasuhan anak kondisi kelas sosial mereka saat ini. Status ikonis Barbie juga
menunjuk pada hubungan antara kerasnya masa kanak-kanak kebanyakan masyarakat
Amerika Serikat kejamnya struktur kelas masyarakat Amerika Serikat.
Daya tarik Barbie yang sedemikian kuat barangkali juga melibatkan hubungan masa
kecil yang keras dan kejamnya struktur kelas masyarakat Amerika. Suka atau tidak, sebagian
besar rakyat Amerika Serikat sadar bahwa banyak anak dalam masyarakat mereka yang hidup
dalam kemiskinan dan tidak memiliki jaminan medis atau gizi yang baik meskipun tetap ada
anak-anak yang beruntung menikmati kebahagiaan masa kecil. Barbie merepresentasikan
impian kebanyakan rakyat Amerika Serikat untuk dan mengenai anak-anak, meskipun
masyarakat mereka mengabaikan berjuta-juta anak yang lain. Barbie sungguh-sungguh sehat
dan energik; dia senantiasa merasa aman dan terjaga; dia tidak memiliki ketakutan apa pun di
dunia ini. Ia memiliki apa yang tidak dimiliki kebanyakan anak. Barbie tidak pernah tahu
betapa kejam dan sewenang-wenangnya struktur kelas yang ada. Ikon ini merepresentasikan
sebuah dunia tanpa kelas, tanpa kehidupan anak-anak yang menderita.
Namun demikian, pada akhirnya Barbie tetap tidak mampu mentransedensi struktur
kelas. Apa yang dilakukannya adalah menyuarakan ambiguitas dan kontradiksi dalam dirinya
sendiri. Barbie bisa menjadi dokter anak atau polisi, astronot atau guru, anggota militer atau
balerina. Ikon ini dapat menggenakan pakaian mencolok White Trash yang terkesan murahan
atau pakaian High Society. Barbie bisa mengendarai Harley Davidson atay mobil Chevy
mewah. Barbie adalah setiap orang dari pegawai rendahan kelas menengah nawah, hingga
profesional kelas atas. Ia adalah simbol feminitas utama yang terentang dalam masyarakat
kelas menengah karena aktivitas konsumsi merajalela dan kelas menengah adalah cermin
bagaimana kebanyakan orang mengidentifikasikan dirinya, baik apakah mereka para pekerja
rendahan ataupun profesional dengan gaji tinggi. Barbie lebih dari sekadar sebuah
ambiguitas. Dalam masyarakat Amerika Serikat, ambiguitas Barbie begitu mempesona,
terutama ketika berkaitan dengan persoalan kelas sosial, yang memperlihatkan bahwa
kebanyakan rakyat Amerika tampaknya memiliki bakat untuk mengabaikan kelas yang satu
dari kelas yang lain.

Barbie menyimbolkan kesuksesan sebuah perusahaan dalam dunia pasar global
dewasa ini. Umurnya yang panjang, pasarnya yang luas, serta daya tariknya yang mendunia
telah menjadi alasan mengapa ia muncul di majalah Forbes dan Business Week serta
halaman-halaman bisnis surat kabar New York Times, The Time, dan berbagai surat kabar di
seluruh dunia. Barbie adalah sebuah ikon kecerdikan perusahaan di era kemerosotan dan
restrukturisasi perusahaan sekaligus era kompetisi global. Merujuk pada presiden dan CEO
Mattel, Jill Barad, Barbie adalah sebuah merek berkekuatan global.
Semenjak awal, Mattel hadir untuk mengambil peluang dalam bisnis mainan anakanak. Majalah Bussiness Week tahun 1961 memuat artikel “It’s Not the Dolls, It’s the
Clothes” yang menekankan besarnya keuntungan dari banyaknya perlengkapan pakaian dan
aksesoris Barbie. Artikel ini menunjuk dengan tepat kemampuan Mattel untuk tetap
mengeruk keuntungan ketika seorang anak mulai terpikat dengan dunia Barbie. Pada tahun
1991, Gretchen Morgenson menyatakan bahwa Barbie telah menyumbang hampir separuh
dari nilai penjualan Mattle sebesar $1,4 miliar pada tahun itu. Morgenson menyatakan,
“Barbie tampak selalu muda dan selalu populer. Ia adalah mainan merek dunia seperti halnya
Coca-Cola atau Marlboro, merek-merek yang senantiasa sukses sepanjang masa.”
Dalam realitas budaya komoditi, ketergantungan anak-anak kepada orang tua mereka
kini semakin digantikan oleh ketergantungan mereka kepada media dan objek-objek yang
didukung oleh kepentingan berbagai perusahaan. Kini semakin gamblang bahwa anak-anak
belajar mengenai banyak hal dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak dari birokrasi
berorientasi-keuntungan. Perusahaan-perusahaan ini menjalankan bisnis bukan untuk
menginspirasi imajinasi anak-anak ataupun mendorong proses perkembangan mental dan diri
mereka, tetapi semata-mata untuk menarik anak-anak ini agar membeli produk mereka.
Perusahaan-perusahaan seperti Mattel berdiri dengan landasan anak-anak. Alex
Molnar (1996) mengatakan bahwa anak-anak kini telah menjadi penghasil uang tunai bagi
perusahaan-perusahaan semacam ini, yang motif keuntungannya dinyatakan tidak dapat
mewakili kepentingan anak-anak. Brian Sutton-Smith (1986) mengamati anak-anak yang
bermain dengan mainan favoritnya, ia mengatakan bahwa sebuah mainan bisa menjadi
sebuah identitas anak tersebut dalam mengorganisasikan tindakan dan pandangannya
mengenai dunia. Tindakan dan pandangan tersebut sering kali merefleksikan kurangnya
kebebasan anak-anak untuk berimajinasi dan kuatnya nilai-nilai budaya yang ditanamkan
dalam mainan favorit mereka. Mainan seperti boneka Barbie, telah mendorong anak-anak

untuk berpikir tentang dunia orang dewasa, gender, kelas, dan berbagai persoalan identitas
dalam pengertian yang terlalu sempit. Hampir setiap mainan yang ada di pasaran mendorong
pada tindakan mengonsumsi secara terus-menerus dalam seri mainan yang ada sehingga
membiasakan aktivitas konsumsi bagi anak-anak, sama halnya seperti mengajarkan pada
mereka dasar-dasar tentang kehidupan orang dewasa.
Boneka-boneka fashion seperti Barbie dan boneka-boneka laga seperti He-Man
tampaknya memperkuat batasan gender yang telah membatasi peta dunia seorang anak. Willis
(1991) mencatatbahwa mainan anak-anak dewasa ini telah semakin mendorong praktik
pembedaan seksual ketimbang apa yang seharusnya terjadi. Yang menyedihkan adalah anakanak barangkali juga dibodoh untuk berpikir tentang perbedaan ras, kelas, dan usia telah
menciptakan jurang perbedaan sosial yang tidak mungkin dipertemukan. Anak-anak dari
keluarga kelas menengah berada di puncak struktur, dan sering kali tidak peduli atau jauh dari
teman-teman sebaya mereka yang berasal dari keluarga kelas di bawahnya.
Secara kultural, Barbie bergandengan tangan dengan citra tubuh kontemporer yang
dibentuk oleh paham konsumerisme, hasrat-hasrat fantastis, dan teknologi baru pembentukan
tubuh. Ia menjadi simbol bagaimana tubuh menolah batasan-batasan yang dahulu dipahami
sebagai kodrat alam. Dengan demikian, Barbie adalah ikon konsumerisme somatis yang baru
lahir, yakni sebuah teknologi pembentukan tubuh yang digerakkan oleh keyakinan bahwa
tubuh bisa menjadi apa pun yang kita inginkan hanya dengan memberikan cukup uang dan
perhatian terhadapnya. Perkembangan ini kemudian menjadikan tubuh sebagai instrumen
aerobik, objek bedah plastik, eksperimen diet, dan sebongkah daging yang siap dibentuk
secara terus menerus.
Erving Goffman dan para pemikir sosial pasca Perang Dunia II lainnya melihat era ini
sebagai era berkuasanya penampilan, manaheman impresi, dan konsep jati diri yang
mengambang. Namun demikian, secara umum, para pemikir ini kurang memadai dalam
memandang persoalan diskriminasi karena usia dengan hubungannya dengan proses
pembentukan jati diri yang menegaskan krisis identitas dalam hidup seseorang. Sementara
itu, ikonisitas Barbie menjadi peringatan tidak hanya mengenai konsep tubuh plastik yang
bisa diubah-ubah secara terus-menerus, namun juga mengenai citra kemudaan abadi seperti
yang dijanjikan oleh sifat plastisitas tubuh Barbie. Dengan kata lain, Barbie adalah
penjelmaan praktik disiplin tubuh. Namun demikian, tubuh Barbie sekaligus juga
menggambarkan citra kemudaan yang fantasinya telah membawa konsumennya untuk

membeli segala sesuatu mulai dari megavitamin hingga minoxidil serta berbagai obat
pencegah kebotakan. Dalam berbagai hal, Barbie seolah-olah adalah impian citra kemudaan
yang terus bisa diperbarui yang menjadi kenyataan.
Goffman menekankan bahwa dengan kehadiran orang lain, kita tidak lagi dapat
berdiam diri. Dengan demikian ia merujuk pada sifat ekspresi tubuh yang senantiasa terbuka.
Goffman menyebut ekspresi tubuh sebagai “perilaku” (demeanor), yakni pakaian, aksesoris,
sikap, pandangan, dan tanda-tanda tubuh lain yang mengomunikasikan karakter individu
tertentu. Sebagaimana dikemukakan oleh Kaja Silverman (1994), “Pakaian dan berbagai
perhiasan telah membuat tubuh manusia bisa terlihat secara budaya.” Kondisi demikian
memberikan pengaruh terhadap munculnya hasrat kemewahan dalam sejarah umat manusia,
sebagaimana juga dengan munculnya apa yang disebut sebagai “moralitas kemewahan”.
Lebih jauh, pakaian dan perhiasan telah menempatkan tubuh manusia dalam sebuah matriks
makna budaya yang penuh sesak dan terbangun di sekitar peran dan status; karakter dan
kelas; gender dan seksualitas; ras dan usia.
Banyak studi yang menunjukkan bahwa penampilan dan berbagai variabelnya sangat
mempengaruhi popularitas, kepuasan diri, perekrutan dan promosi jabatan, kencan, dan lainlain. Siasat politik perilaku dengan demikian telah merembes ke dalam setiap sisi kehidupan
modern dan paling tajam menampakkan dirinya di kalangan kelas menengah yang “gila”
status. Sebagaimana kebanyakan siasat politik, siasat politik perilaku juga berkaitan dengan
kekuasaan. Kekuasaan untuk menggoyang dan menonjolkan diri, menggoda dan
memamerkan diri, menahan dan mengabaikan, serta kekuasaan untuk membangun harga diri
dan kerelaan. Namun demikian, dalam pengertian luas, siasat politik perilakku merujuk pada
kekuasaan untuk membeli, dengan kata lain, kekuasaan uang dan kekuasaan kartu kredit.
Dunia Barbie adalah juga sebuah dunia percintaan dalam pengertian yang lebih luas.
Dunianya adalah dunia percintaan konsumerisme yang secara luas dijajakan dalam budaya
komoditi. Romantisme yang lebih luas ini muncul di sekitar gagasan bahwa konsumen dapat
membeli jalan keluar dari hampir semua pengalaman tidak menyenangkan mereka seperti,
kebosanan, kesendirian, kegelisahan, ketakutan, dll. Apa pun yang tidak diinginkan seseorang
dalam dunianya dapat dihindari, setidaknya untuk sementara, dengan tunai ataupun
menggunakan kartu kredit.
Ketidaknyamanan perempuan terhadap tubuh mereka, sangat sempurna dalam dunia
bisnis. Banyak industri yang mendukung ketidaksukaan tersebut seperti industri kecantikan,

fashion, diet, dan fitness. Orang barangkali bisa menyebut hal ini sebagai industri fantasi
yang merajut cerita-cerita percintaan dan menjanjikan hasil yang juga fantastis. Dalam sistem
ekonomi, hasrat ini kemudian tidak mengejutkan bahwa sejumlah perempuan berusaha untuk
mengubah penampilan untuk mengubah kehidupan.
Banyak orang menyatakan bahwa pengamatan terhadap roman konsumerisme seperti
meributkan sesuatu yang sepele. Mereka memandang Barbie sebagai sosok lemah, sama
halnya ketika mereka memandang model fashion remaja yang begitu ramping di dalam
majalah-majalah remaja-dewasa sebagai sosk-sosok yang tidak membahayakan. Lebih dari
itu, mereka mengatakan, “Barbie hanyalah sebuah boneka mainan anak-anak dan kaum
perempuan tahu bahwa foto-foto fashion menggunakan teknik air brushing atas semua
kosmetik dan pencahayaan yang dibuat untuk menciptakan citra dunia-lainnya.” Wolf (1992)
menolak pandangan semacam ini dengan mengatakan, “Bahaya citra-citra ini bukanlah
bahwa mereka hadir, melainkan bahwa citra ini berkembang dengan mengorbankan
kebanyakan citra dan cerita lain mengenai pahlawan-pahlawan perempuan, model-model
acuan, musuh-musuh, orang-orang eksentrik, pelawak, pengkhayal, dewa-dewa seks, serta
orang-orang yang suka mengolok-olok.. Jika ikon model fashion anoreksi adalah salah satu
citra umum dari sejumlah citra gadis-gadis muda menemukan ratusan pilihan pandangan
mengenai masa depan yang paling liar dan menggoda, ikon tersebut tidak akan memiliki
kekuatan untuk menyakiti diri mereka; skenario fashion dan kecantikkan akan menjadi
sumber kebahagiaan dan godaan yang pasti bagi kehidupan dalam tubuh perempuan.”
Wolf mengingatkan kita bahwa keglamoran merefleksikan kemampuan manusia
untuk memikat orang lain dan dalam dirinya tidak bersifat destruktif. Dengan demikian,
Barbie berdiri sebagai sebuah ikon dari karakteristik ambigu yang semakin meningkat dalam
kebudayaan komoditi, tempat segala sesuatu diubah dan diterjemahkan secara visual dan
sebaliknya mampun mengguncang realitas yang merentang di luar tubuh dan tingkah
lakunya. Budaya komoditi memperdalam kekayaan artefaktual tubuh pada titik tubuh
menjadi metaforikal secara samar-samar. Pada saat yang sama, budaya komoditi memberikan
jalan menuju konsep diri plastik. Sebagaimana ditunjukkan Schouen (1991), budaya komoditi
membawa kita untuk melihat berbagai belanjaan dengan sebuah mata menuju diri yang
memungkinkan. Budaya pasca-industrial, budaya yang didorong oleh media membentuk
konsep jati diri dengan menjadikannya sebagai komoditi meskipun kompleks dan sulit
dipahami,

yang tersedia di pasar

dunia. Budaya

pasca-industrual mengawinkan

konsumerisme dan jati diri. Budaya ini mengharamkan perceraian atau bahkan pemisahan di

antara keduanya. Barangkali, perkawinan tersebut melibatkan ambivalensi sebanyak
ambiguitas di dalamnya.
Barbie menghadirkan suatu bentuk pribadi yang kontemporer, yang dipandang
beberapa pihak sebagai pribadi yang mengundang kecaman, sedangkan di pihak lain
dipandang sebagai pribadi bebas. Pribadi yang dimilikinya selalu berubah-ubah, suatu bentuk
diri yang selalu terikat pada konteks yang dijalaninya, yaitu suatu konteks yang selalu
berubah sesuai dengan situasi dari waktu ke waktu, dan dari aturan ke aturan. Identitas Barbie
terletak pada suatu landasan yang tidak terikat pada suatu pakem tertentu. Kita tahu apa yang
ia lakukan, kita tahu bagaimana penampilannya, kita tahu apa yang akan ditampilkan. Pada
akhirnya, Barbie tak dapat dicapai. Barbie adalah tetangga sebelah rumah yang berusaha terus
kita kenali dengan lebih baik. Ia adalah seorang teman kerja yang tak asing bagi kita, namun
bukan merupakan kawan. Ia adalah seorang pengasuh anak yang penilaiannya dapat kita
percayai, namun kehidupan pribadinya tidak kita ketahui. Barbie menghadirkan suatu bentuk
interaksi, seperti juga bentuk selfhood ascendant dalam masyarakat pasca-industrial dengan
budaya komoditi yang mereka miliki. Segala yang ada pada Barbie merupakan bentuk pribadi
yang berpusat pada tubuh. Bentuk pribadi ini semakin dimanjakan dengan adanya berbagai
perkembangan pesat pada teknologi, terutama teknologi yang berada di balik kantor ahli
bedah plastik. Ia menghadirkan bentuk kepribadian plastik. Yang paling penting sebagai suatu
ikon, pertumbuhan pesat Barbie tak dapat lepas dari unsur ambiguitas.