Perspektif komunikasi antar budaya untuk perdamain kasus the 2ND world peace forum CDDC (Center For Dialogue And Cooperation Among Civilizations)

(1)

PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA UNTUK PERDAMAIAN KASUS THE 2ND WORLD PEACE FORUM CDCC

(CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILIZATIONS)

Disusun Oleh:

Fauzia Ningtyas NIM 104051001900

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA UNTUK PERDAMAIAN KASUS THE 2ND WORLD PEACE FORUM CDCC

(CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILIZATIONS)

SKRIPSI

Diajukan sebagai tugas akhir dalam jenjang Strata Satu (S1) pada

Fakultas Dakwah dan Komunikasi guna mencapai gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

FAUZIA NINGTYAS NIM 104051001900

Di bawah bimbingan:

Dr. H. Arief Subhan, MA NIP 199601101993031004

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli penulis

atau merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 6 September 2009


(4)

ABSTRAK

Komunikasi antar Budaya merupakan sebuah topik dan elemen yang sangat penting di tengah zaman globalisasi ini. Hubungan antar bangsa yang tidak didasari oleh Komunikasi antar Budaya yang baik akan menimbulkan konflik dan kekerasan baik itu dalam lingkup nasional maupun internasional. Bagi berbagai kelompok agama, politik, etnis, bangsa maupun ideologi di dunia ini. Kekerasan yang dipicu oleh berbagai faktor etnis, agama, bangsa, ideologi maupun individu itu memberikan dampak sosial yang meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat secara jiwa dan fisik dan juga menghancurkan berbagai infrastruktur negara atau daerah setempat. Oleh karena itu, bagaimana caranya kita bisa menemukan solusi untuk mengurangi berbagai tindak kekerasan tersebut dan mewujudkan perdamaian.

Dalam konteks ini, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) sebagai sebuah lembaga antar peradaban memiliki tujuan untuk mengusung nilai-nilai perdamaian dan berusaha untuk melawan berbagai tindak kekerasan yang terjadi baik di Indonesia maupun di negara lain. Melalui dialog dan kerjasamanya yang konseptual dan praktis diantara berbagai kelompok agama, bangsa, etnik, ideologi, dan lain sebagainya dan diantaranya adalah The 2nd World Peace Forum yang menjadi studi kasus dalam skripsi ini. Forum yang dilatarbelakangi oleh penyebaran konflik dan kekerasan yang begitu meluas serta terjadinya berbagai konflik seperti pertikaian di Aceh antara GAM dan pemerintah, invasi Amerika Serikat terhadap Irak, konflik di Thailand Selatan, konflik antara India dan Pakistan. Forum ini merupakan bekerja sama CDCC dengan Multi Culture Society yang diadakan di Jakarta pada tanggal 24-26 Juni 2009. melalui forum ini, penulis akan melihat bagaimana perspektif para peserta forum tentang tema terkait dan solusi apa yang mereka tawarkan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori komunikasi antar budaya, teori identitas serta stereotif dan prasangka, tujuannya adalah untuk melihat bagaimana faktor komunikasi antar budaya dan identitas yang menjadi penyebab konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai negara, melalui penelaahan pada beberapa pembahasan terkait yang disampaikan oleh para peserta The 2nd World Peace Forum. Dalam Forum internasional ini, penulis akan melihat pendapat beberapa pembicara yang terkait dengan tema Komunikasi antar Budaya untuk Perdamaian. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat eksploratif dengan sumber data yang diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi yang didapat dari buku, brosur CDCC dan situs www.cdccfoundation.org dan www.worldpeaceforum.net, serta arsip-arsip yang ada pada panitia The 2nd World Peace Forum dan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC). Penulis akan menelaah beberapa makalah terkait dengan kaca mata Komunikasi antar Budaya dalam konteks perdamaian yang didukung oleh wawancara dan berbagai dokumentasi terkait.

Penulis melihat kesimpulan bahwa kekerasan dan konflik yang terjadi di berbagai negara memang tidak hanya disebabkan oleh satu faktor utama melainkan beberapa faktor berbeda dan saling mendukung. Faktor agama, politik, bangsa, budaya bahkan ideologi pribadi bersatu bersama menjadi satu alasan konkrit terjadinya konflik dan kekerasan yang merusak perdamaian. Maka dengan diadakannya forum internasional yang membahas konflik dan kekerasan serta solusi untuk memecahkan dan mewujudkan perdamaian ini, diharapkan bisa memberi


(5)

pemahaman baru, motivasi dan harapan baru melalui dialog dan kerja sama yang diadakan diantara berbagai kelompok yang berbeda identitas. Forum ini mengusulkan untuk terus melakukan dialog dan kerja sama dan tetap menjalin komunikasi antar budaya yang bisa mencegah terjadinya konflik dan membantu terwujudnya perdamaian nasional maupun internasional. Selain itu, pemerintah pun menjadi faktor penting dalam menciptakan jembatan komunikasi antar budaya dan selanjutnya ikut serta dalam mewujudkan misi perdamaian dunia.


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan mengucapkan puji serta syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, penggenggam setiap kejadian, pengangkat kemuliaan, dan penyempurna kebahagiaan. Shalawat salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir jaman.

Skripsi ini disusun sebagai tugas terakhir selama menempuh jenjang Strata Satu (S1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, juga sebagai persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini dapat terselesaikan atas dukungan dan bantuan serta bimbingan semua pihak, oleh karena itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dihaturkan kepada:

1. Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Drs. Wahidin Saputra,MA selaku pembantu dekan I, Drs. H. Mahmud jalal, MA selaku Pembantu Dekan II, Drs. Studi Rizal L.K., MA selaku Pembantu Dekan III Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Wahidin Saputra, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Drs. Hasanuddin Ibnu Hibban, MA selaku Pembimbing Akademik mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan 2004 kelas E.


(7)

3. Dr. H. Arief Subhan, MA sebagai pembimbing skripsi, dengan kesabaran dan kebijaksanaan serta keluasan wawasan keilmuannya telah memberikan bimbingan serta arahan dalam pembuatan skripsi ini.

4. Segenap dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu yang bermanfaat selama kuliah di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

5. Ketua beserta staf Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Perpustakaan Umum yang telah memberikan pelayanan dalam mencari referensi-referensi selama kuliah dan dalam pembuatan skripsi ini.

6. Dr Abdul Mu’ti selaku Direktur Eksekutif CDCC dan Ketua OC The 2nd WPF dan Mas Izza Rohman selaku Wakil Direktur Program CDCC dan Sekretaris OC The 2nd WPF yang telah membantu untuk menyediakan bahan-bahan skripsi yang diperlukan.

7. Ayah dan Ibu (Alm), Agus Koswara dan Dra. Ai Fatimah (Alm) serta paman dan Bibi, Ika Rostika dan Bambang Teguh yang telah mendukung baik secara moril maupun materil untuk keberhasilan studi anak mereka.

8. Kepada yang tercinta Raihan Fuadi, yang telah memberikan semangat dan dukungan tanpa henti, yang telah menghiasi kehidupanku dan berjuang bersama menyelesaikan studi dan melanjutkan kehidupan bersama nanti, amin yra.

9. Kepada semua pihak (orangtua, adik, saudara, sahabat dan teman) Raihan Fuadi, Annisa, Amy, Ola, Eky, Nurul F., Destaria, Kanda Muchlas N., teman-teman KPI E 2004 ( Hasan, Maheso, Hanif, Lala dll), BEM FDK dan HMI ( Dera, Santi, Engkong, M. Fadli, Fuad, dll), kawan-kawan di FLAT dan pihak lain yang telah membantu selama masa studi dan proses penulisan skripsi ini.


(8)

Hanya harapan dan do’a kepada Allah SWT, penulis berlindung dan berserah semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu kelancaran skripsi ini semoga selalu dimantapkan iman, Islam dan ihsan dari Allah SWT.

Amien Ya Rabbal A’lamien.

Jakarta, 18 September 2009


(9)

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 6

D. Metodologi Penelitian ………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 9

BAB II : LANDASAN TEORI ……… A. Konsep Komunikasi Antarbudaya ………. . 10

B. Identitas ……… 31

C. Stereotip dan Prasangka ………... 45

D. Harapan Komunikasi antar Budaya ………. 51

E. Implementasi dalam Perdamaian ……… 55

BAB III : GAMBARAN UMUM ORGANISASI CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILIZATIONS (CDCC) DAN THE 2nd WORLD PEACE FORUM ……… A. Profil Organisasi Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Menteng, Jakarta Pusat ... 60

B. Profil The 2nd World Peace Forum ……….. 65

BAB IV : ANALISIS FAKTOR KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM PEMBAHASAN THE 2ND WORLD PEACE FORUM CDCC ... A. Analisis faktor Identitas Agama pada Pembahasan The 2nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin Komunikasi antarbudaya dan mewujudkan Perdamaian ... 71

B. Analisis faktor Identitas Bangsa pada Pembahasan The 2nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin Komunikasi antarbudaya dan mewujudkan Perdamaian ... 98

BAB V : PENUTUP ………. A. Kesimpulan ……… 113

B. Saran ……….. 116


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dunia kini sarat dengan konflik. Setiap kawasan tengah mempertontonkan pertikaian yang tak berkesudahan. Kita melihat bagaimana agresi militer Israel terhadap Lebanon dan Palestina telah menodai perdamaian di kawasan itu. Berbagai fasilitas dan bangunan dihancurkan, korban jiwa pun berjatuhan. Mahalnya sebuah perdamaian ini melahirkan keprihatinan mendalam berbagai kalangan. Dan konflik yang baru-baru ini terjadi yang terjadi di Irak, Palestina-Israel, dan India yang menggunakan agama dan budaya sebagai alat pemicu terjadinya tindak kekerasan dan merusak perdamaian yang sedang diperjuangkan. Kekerasan dalam konteks ini bisa memperpanjang kecurigaaan yang ada antar masyarakat, antar umat beragama, dan akhirnya antar peradaban. Ketiadaan perdamaian yang terjadi itu, juga telah dan akan beresonansi terhadap kehidupan nasional kita. Dalam kehidupan ekonomi, misalnya, konflik Arab-Israel yang telah diredusir menjadi konflik Israel-Hizbullah, pada akhirnya akan berpengaruh pada harga minyak dunia. Konflik ini juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial. Bila konflik tersebut terus berlangsung tanpa ada upaya untuk menghentikan, maka konflik itu akan mendorong terjadinya radikalisme dalam masyarakat. Pun akan memicu adanya konflik antara kelompok. Kita harus menetapkan langkah strategis untuk menghentikannya.


(11)

Semua konflik diatas tak lain dipicu oleh kesalahpahaman-kesalahpahaman antarbudaya seringkali terjadi, ketika kita bergaul dengan kelompok-kelompok budaya yang berbeda. Problem utamanya adalah kita cenderung menganggap budaya kita sebagai suatu kemestian, tanpa mepersoalkannya lagi (taken-for-granted), dan karenanya kita menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya-budaya lain1. Bila seseorang tidak menyetujui nilai-nilai, sebenarnya itu tidak berarti bahwa orang itu salah, alaih-alih secara kultural orang itu sedikit berbeda dari kita2.

Kita bisa melihat wujud kesalahpahaman tersebut dalam berbagai hal di seluruh dunia. Kesalahpahaman seperti itu bisa memicu suatu tindak kekerasan yang juga merusak perdamaian yang ada atau belum ada pada suatu masyarakat. Akar penyebab dari kekerasan bisa berbentuk apa saja, termasuk budaya. Bagaimanapun juga, penggunaan dan penyalahgunaan sentimen agama dan etnik sebagai suatu alat untuk mobilisasi politik dalam situasi politik bisa dengan mudahnya memperburuk masalah.

Oleh karena itu, komunikasi adalah faktor penting yang perlu dibentuk dalam hal ini. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi. Pesan-pesan itu mengemuka lewat perilaku manusia. Ketika kita berbicara, kita sebenarnya sedang berperilaku. Ketika kita melambaikan tangan, tersenyum, bermuka masam, menganggukan kepala, atau memberikan suatu isyarat, kita juga sedang berperilaku. Sering perilaku-perilaku

1

Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet.ke-10, h-8

2


(12)

ini merupakan pesan-pesan; pesan-pesan itu digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada seseorang3.

Perilaku seseorang dalam berkomunikasi ditentukan oleh cara hidupnya. Dan semua itu berkaitan dengan budaya dimana dia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.

Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekwensinya, budaya merupakan landasan komunikasi4. Bila budaya beragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasinya. Corak budaya suatu masyarakat sangat berpengaruh dalam membentuk suatu peradaban. Perbedaan budaya inilah yang seringkali menjadi penyebab kesalahpahaman antar masyarakat terjadi. Kesalahpahaman antarbudaya itu dapat dikurangi bila kita sedikitnya mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya

3

Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet.ke-10, h-12

4

Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet.ke-10,h-19


(13)

dan mempraktikannya dalam berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda budaya.

Melihat hal itu, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) sebagai sebuah lembaga dialog dan kerja sama antar peradaban, yang gencar mendiskusikan wacana dialog peradaban, mencoba untuk menjalin komunikasi antar masyarakat yang berbeda budaya tersebut melalui diskusi antar peradaban dan menawarkannya sebagai solusi guna menghindari benturan tersebut. CDCC merupakan salah satu lembaga antar peradaban di Indonesia yang melalui berbagai program, berusaha untuk mempertemukan dua peradaban yang berbeda dalam sebuah acara yang ditujukan untuk mengurangi benturan antarperadaban yang sudah sejak lama terjadi, khususnya antara timur/Islam dan barat serta mempererat hubungan diantara keduanya. Dan salah satu program CDCC adalah mengadakan The 2nd World Peace Forum (Forum Perdamaian Dunia). Penyelenggaraan The 2nd World Peace Forum (Forum Perdamaian Dunia) ini merupakan salah satu sarana komunikasi yang penting untuk menyamakan pandangan dari berbagai kalangan masyarakat dunia untuk mendorong terwujudnya perdamaian. Ini layaknya interfaith dialogue yang berupaya untuk menyamakan pandangan guna mencegah dan meredam konflik agama dan upaya untuk saling memahami antarpemeluk agama.

Dari latar belakang tersebut, maka peneliti mengambil judul: ’’Perspektif Komunikasi Antarbudaya untuk Perdamaian: Kasus The 2nd World Peace Forum CDCC (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations) Jakarta, Studi Kasus: The 2nd World Peace Forum.“


(14)

1. Pembatasan Masalah

a. Untuk lebih memfokuskan penulisan laporan ini, maka masalah yang akan dibahas dalam laporan ini yaitu Komunikasi Antarbudaya untuk Perdamaian: Kasus Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), studi kasus The 2nd World Peace Forum . b. Dari segi waktu, penelitian ini dibatasi pada Komunikasi

Antarbudaya untuk Perdamaian: Kasus Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC); studi kasus The 2nd World Peace Forum CDCC (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations) yang diadakan pada 24-26 Juni 2008.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah

a. Bagaimana fungsi The 2nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin Komunikasi antarbudaya?

b. Bagaimana aktivitas Komunikasi Antarbudaya The 2nd World Peace Forum CDCC?

c. Bagaimana langkah The 2nd World Peace CDCC dalam menindaklanjuti fenomena-fenomena yang terjadi dalam konflik dan perdamaian?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui fungsi The 2nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin Komunikasi antarbudaya


(15)

b. Mengetahui langkah The 2nd World Peace CDCC dalam menindaklanjuti berbagai konflik yang terjadi dan mencari solusi untuk perdamaian.

2. Manfaat Penelitian a. Segi Akademis

Penelitian ini digunakan sebagai media pengembangan komunikasi yang ada pada saat kini di Fakultas Dakwah dan Komunikasi tentang komunikasi antar budaya, penelitian ini menambah wawasan kita tentang komunikasi antar budaya yang belum dibahas secara mendalam.

b. Segi Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para teoritis, praktisi dan pemikir komunikasi dalam menambah wawasan dalam dunia komunikasi khususnya dunia periklanan sehingga mahasiswa mengetahui betapa pentingnya komunikasi antar budaya yang secara tidak disadari telah mengubah pola tingkah laku masyarakat dalam berkomunikasi dengan masyarakat yang berbeda budaya dan agama.

D. Metodologi Penelitian

Metodologi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat eksploratif dengan sumber data yang diperoleh melalui dokumentasi dan telaah literatur dengan cara


(16)

melihat arsip-arsip The 2nd World Peace yang ada pada Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC).

Dengan mengamati kasus dari berbagai sumber data yang digunakan untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif, berbagai aspek individu, kelompok suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis. Penelaah berbagai sumber data ini membutuhkan berbagai macam instrumen pengumuman data. Karena itu, periset menggunakan wawancara, observasi partisipan, dokumentasi-dokumentasi, rekaman bukti-bukti fisik5.

1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini dilaksanakan di sekretariat Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) Jl. Kemiri no. 24, Menteng, Jakarta Pusat.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, digunakan penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang di lapangan, tempat dimana objek penelitian itu berada6. Untuk pengambilan data penelitian lapangan digunakan metode sebagai berikut.

a. Wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden7. Dalam hal ini, wawancara dilakukan secara langsung dengan nara sumber ataupun panitia yang terkait. b. Observasi, yaitu informasi atau data yang dikumpulkan dalam

penelitian8.

5

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta, 2007), cet ke-2,h.102 6

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2004),h.89

7


(17)

c. Dokumentasi, yaitu data diperoleh dari dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang didapat dari Organisasi Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), seperti buku-buku, newsletter, video, dan situs www.cdccfoundation.org

E. Sistematika Penulisan

Berdasarkan penelitian di atas, maka sistematika penulisan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut.

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan argumentasi mengenai signifikansi studi ini. Dalam bab ini peneliti menguraikan Latar Belakang Masalah, Pembahasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Menjelaskan tentang Faktor-faktor dalam Komunikasi antar Budaya yang terdiri dari Identitas, Stereotip dan Prasangka, Teori-teri Komunikasi antar Budaya, harapan Komunikasi antar Budaya dan Implementasi dalam Perdamian.

BAB III Membahas tentang Gambaran Umum Organisasi Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) dan The 2nd World Peace, profil Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) dan profil The 2nd World Peace

BAB IV menguraikan tentang analisis faktor Identitas Agama dan Bangsa yang dibahas dalam The 2nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin

8


(18)

Komunikasi antarbudaya, mencegah terjadinya konflik dan mewujudkan perdamaian.


(19)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Dalam proses komunikasi antar budaya terdapat berbagai macam perbedaan tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita dan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, perbedaan inilah yang memicu timbulnya suatu konflik. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lain adalah identitas yang dimiliki setiap individu, yang bisa dibentuk oleh usia, ras dan etnik, agama, kelas, bangsa, daerah, maupun individu itu sendiri.

Perbedaan itu bisa juga didukung oleh adanya pandangan umum suatu kelompok terhadap kelompok lain atau lebih khususnya lagi disebut stereotip dan prasangka, yang bisa mempertajam semua perbedaan identitas yang telah ada. Proses komunikasi antar budaya pun bisa terhambat dan tidak efektif. Untuk membantu meneruskan jalannya proses komunikasi diantara kelompok-kelompok yang berbeda, maka harus dicari solusi bersama. Seringkali mediasi atau dialog dibutuhkan untuk menjembatani komunikasi antar budaya yang terhambat itu untuk menghindari konflik dan mewujudkan perdamaian.

A. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA 1. Teori-teori Komunikasi antar Budaya

a. Teori Edward T. Hall & William Foote Whyte

Bila orang awam berpikir tentang budaya, biasanya ia berpikir tentang cara orang berpakaian, kepercayaan, dan kebiasaan. Tanpa menggunakan definisi yang komprehensif, kita dapat mengakui bahwa ketiga hal tersebut


(20)

merupakan aspek-aspek budaya, tapi definisi tersebut belum menyeluruh, baik dilihat dari sudut teori maupun sudut praktik9.

Pengetahuan tentang kepercayaan bisa membingungkan kita karena hubungan antara kepercayaan dan perilaku jarang bersifat nyata10 Dalam hal kepercayaan agama, kita tahu misalnya bahwa orang-orang Islam harus melakukan shalat lima kali sehari dan karenanya pada hari kerja kita harus meluangkan waktu untuk salat. Ini tentu saja merupakan hal yang penting, tapi masalah tersebut memang begitu jelas sehingga dapat dimengerti oleh siapa pun kecuali oleh orang-orang yang berbeda budaya dan tidak mengetahuinya sama sekali.

Adat istiadat memberikan lebih banyak petunjuk, asalkan kita tidak membatasi diri pada pola perilaku esoteric (hanya dimengerti oleh beberapa orang tertentu) yang sesuai dengan adat istiadat tertentu11. Dalam mengamati perilaku yang berkenaan dengan adat istiadat, para antropolog tidak hanya mengidentifikasi soal-soal individu, soal-soal tersebut mempunyai makna bila membentuk suatu pola.

Budaya mempengaruhi komunikasi dalam banyak hal. Budaya lah yang menentukan waktu dan jadwal peristiwa-peristiwa antarpersonal, tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang pembicara dengan orang lainnya, nada sesuai untuk pembicaraan tertentu. Budaya, dalam hal ini, melukiskan kadar dan tipe kontak fisik yang dituntut oleh adat kebiasaan, dan intensitas emosi yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antara apa yang dikatakan

9

Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya,( Bandung:Remaja Rosda Karya, 2006) h.36

10

Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.36 11


(21)

dan apa yang dimaksudkan seperti ‘tidak’ maksudnya ‘mungkin’ dan ‘besok’ maksudnya ‘tak pernah’. Budaya ini menentukan apakah suatu hal, misalnya suatu kontrak tertentu, harus pertama-tama didiskusikan antara dua orang atau didiskusikan dalam suatu pertemuan sehari penuh yang mengikutsertakan empat atau lima orang dari setiap pihak, dan mungkin dengan bantuan seorang pelayan yang menyuguhkan kopi.

Teori Edward Hall dan William Whyte tidak hanya mementingkan bahasa, namun juga dia menekankan tentang pentingnya bahasa non-verbal, lima dimensi waktu, dan penyesuaian diri dalam berjalan dua arah. Misalnya, komunikasi harus disesuaikan dengan lima konsep waktu: waktu untuk bertemu, waktu untuk berdiskusi, waktu untuk berkenalan, waktu untuk berkunjung dan jadwal waktu.

Komunikasi juga dipengaruhi oleh pola komunikasi masyarakat tertentu yang merupakan bagian dari keseluruhan pola budaya dan dapat dipahami dalam konteks tersebut12. Perbedaan status dan kelas seseorang bisa menyebabkan orang-orang dengan status yang berbeda sulit untuk menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam suatu diskusi atau perdebatan. Dari dulu bahkan sampai sekarang, kita masih sering melihat orang yang statusnya lebih rendah menyatakan rasa hormat pada atasannya.

Untuk bekerja sama dengan orang-orang, haruskah kita menjadi seperti mereka? Hal itu tidak diperlukan bila kita seragam sepenuhnya. Orang Indonesia, Melayu, orang Arab, orang Amerika, orang Cina akan menganggap perilaku kita membingungkan dan tidak tulus bahkan

12

Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya,( Bandung:Remaja Rosda Karya, 2006) h.40


(22)

mencurigai motif kita. Kita diharapkan untuk berbeda. Namun, kita pun diharapkan untuk menghormati dan menerima orang lain apa adanya. Dan kita dapat tanpa memaksa kepribadian kita, untuk berlajar berkomunikasi dengan mereka dengan mengamati pola-pola tradisi mereka yang tidak tertulis. Kesadaran tentang adanya kekeliruan dalam hubungan lintas-budaya merupakan langkah maju pertama yang besar. Dan menerima fakta bahwa pendirian kita tak selamanya benar ketimbang pendirian orang lain merupakan suatu hal yang baik.

b. Teori Wilbur Schramm

Menurut Wilbur Schramm, ada dua garis tanggung jawab yang berkaitan dengan komunikasi antar budaya, yaitu: faktor personal dan governmental atau pemerintah13. Diskusi tentang jembatan antar budaya sangatlah penting, bukan hanya karena kita memerlukan jembatan yang lebih banyak dan lebih bagus tetapi karena dengan memiliki jembatan itu kita dapat mengendalikan siapa dan apa yang lewat di atasnya14 Itulah sumber kekuasaan besar. Sedikit bangsa yang tidak setuju dengan adanya jembatan antar budaya ini, tetapi banyak pemerintah saat ini sering memperhatikan apa yang lewat di atas jembatan itu. Misalnya UNESCO (United Nations for Education and Children Organization) selama tahun 1950-an sampai tahun 1960-an, memiliki tujuan utama yaitu free flow of information (arus bebas informasi). Banyak program organisasi ini dirancang untuk mendukung tujuan itu: konvensi hak cipta, konvensi pertukaran bahan budaya dan pendidikan, perhatian pada satelit

13

Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, h.2 14


(23)

komunikasi dan agen berita, dll. Namun sekarang program itu telah dikesampingkan dan beralih pada program Right to Communicate (Hak Berkomunikasi), dan masalah kebijaksanaan komunikasi bagaimana harus mengontrol penggunaan jembatan antar budaya. Begitu pun dengan pemerintah kita, yang memiliki program pertukaran mahasiswa ke luar negeri, peningkatan hak bagi media, dan lain-lain.

Jembatan komunikasi antar budaya ada karena : pertama, telah tumbuh rasa saling bergantung di seluruh dunia15 Bila dulu jembatan antar budaya itu dianggap perlu, sekarang justru jembatan itu bersifat essensial. Kedua, ketakutan akan satelit komunikasi yang menyebar ke negara Dunia Ketiga pada permulaan tahun 1970-an16. Dapat dimaklumi jika negara-negara Dunia Ketiga mencemaskan efek hiburan murah dan iklan yang merayu yang akan dicurahkan pada bangsa mereka oleh kapitalis besar pemilik satelit. Maka itulah saat yang tepat untuk membuat isu politik dan mencubit ekor kekuasaan-kekuasaan itu, terutama kekuasaan yang paling besar. Maka timbulah berbagai konfrontasi, diantara satu pihak yang menentang masuknya siaran televisi ke suatu negeri tanpa sensor dan izin, dan pihak yang berpegang teguh pada konsep abstrak kebebasan berbicara, arus bebas, dan penyiaran tak terbatas.

Konfrontasi ini mendatangkan manfaat pada siapa pun, kecuali secara emosional, tetapi konfrontasi ini juga telah membayang-bayangi pemikiran dan perencanaan komunikasi intercultural. Misalnya, apakah arus informasi bebas ini hanya untuk bangsa-bangsa yang memiliki media internasional? Yang lebih penting lagi, konfrontasi ini memfokuskan

15

Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya ,h.3 16


(24)

perhatian pada hubungan antar kebudayaan dan komunikasi. Para ahli, misalnya Prof. Hall, melihatnya sebagai “Budaya adalah komunikasi, komunikasi adalah budaya”17. Namun, pemimpin negara Dunia Ketiga melihatnya dari sebab akibat: komunikasi mempertahankan dan mengubah budaya. Karena itu, mengendalikan komunikasi berarti mengendalikan apa yang akan terjadi pada budaya mereka.

Sedangkan faktor individual menekankan pada penghormatan. Pertama, kita harus menghormati anggota budaya lainnya sebagai manusia yang memiliki nama, sejarah hidup dan kepribadian. Kedua, kita harus menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana kita menghendakinya. Ketiga, menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Dan akhirnya, kita yang berkomunikasi lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang yang berbeda budaya. Professor Hall menambahkan dalam karyanya The Message “bahwa seluruh penafsiran kita tentang buaya bersifat relatif; kita tidak boleh menilai budaya yang lain berdasarkan budaya kita yang terbatas, tapi kita harus mencari keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lain”

2. Budaya, Komunikasi dan Konflik

Memahami konflik antar budaya sangatlah penting sekarang. Konflik tidak bisa dihindari, bisa terjadi di mana saja di dunia ini. Misalnya dalam tingkat sosial, perbedaan budaya dalam bebrapa pendapat yang menganggap pentingnya memelihara lingkungan dibandingkan dengan

17


(25)

pentingnya mengembangkan industri bisa memicu konflik yang terjadi antara para pecinta lingkungan dengan para pengusaha.

1) Budaya

Gazalba mendefinisikan budaya sebagai cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan satu waktu18 Definisi tersebut secara implisit mengetengahkan bahwa jenis-jenis kebudayaan, cara berpikir dan cara merasa merupakan kebudayaan batiniah, sedangkan manifestasinya dalam bentuk cara berbuat atau cara hidup. Begitupun yang diungkapkan oleh Liliweri yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masayarakat19.

“Culture [is] those deep, common, unstated experiences which members of a given culture share, which they communicate without knowing, and which form the backdrop against which all other events are judged”20 sedangkan dari pengertian ini kita bisa budaya merupakan pengalaman mendalam dan kebiasaan suatu masyarakat yang berbudaya, dimana mereka berkomunikasi tanpa mengetahui dan kemudian membentuk suatu pandangan yang berlawanan dengan apa yang dipersepsikan. Maka bisa kita simpulkan, budaya sebagai gaya hidup masyarakat, yang disusun oleh pola perilaku mereka, nilai-nilai, norma, dan objek

18

Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka Antara, 1963),Cet. Ke-3, h.11 19

Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi antar Budaya, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), 2003, h.107 20

Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, (Illinois: Waveland Press. Inc,1966),p.87


(26)

material. Budaya memiliki pengaruh terhadap perilaku seseorang, termasuk perilaku komunikasinya.

Culture is stored in individual human beings, in the form of their beliefs, attitudes, and values. There are strong similarities in the belief systems among the members of a given culture21 Budaya itu tersimpan dalam diri manusia, dalam bentuk kepercayaan, sikap, dan aturan mereka. Ada persamaan yang kuat dalam sistem kepercayaan diantara kebudayaan mereka. Kepercayaan merupakan sebuah representasi seseorang di dunia luar. Kepercayaan dianggap sebagai sistem yang menyimpan pengalaman masa lalu kita, termasuk pikiran, memori, dan pemahaman kita tentang suatu kejadian. Kepercayaan juga dibentuk oleh budaya seseorang. Sedangkan sikap juga merupakan faktor internal dan tidak bisa dilihat orang lain secara langsung. Sikap dan kepercayaan membentuk sebuah sistem budaya antar individu tersebut. Perilaku dan kepercayaan mengindikasikan tujuan dari suatu perilaku, kecenderungan seseorang dalam menanggapi kejadian, pikiran dan masyarakat dengan cara tertentu. Dan aturan disini adalah apa yang dianggap baik dan buruk oleh seseorang. Aturan memiliki sebuah komponen yang bisa diperbaiki. Aturan ini seringkali berkaitan dengan cita-cita, seperti aturan keselamatan Kristen, atau jihad dalam Islam, aturan tentang perdamaian dunia, lingkungan, dan lain-lain. Aturan itu juga berkaitan dengan cara meraih tujuan-tujuan, seperti kejujuran, kebersihan, atau cara berbicara dan bertingkah hati-hati dan tidak mengganggu orang lain.

21


(27)

“When a belief is held by most members of a culture we call it a cultural belief”22. Ketika sebuah kepercayaan dianut oleh mayoritas anggota suatu budaya, maka hal itu disebut kepercayaan budaya. Budaya bisa mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang yang terwujud dalam kepercayaan, aturan, dan norma yang penting dalam menciptakan kotak-kotak budaya. Selain itu kepercayaan budaya pun dipengaruhi oleh faktor sejarah.

I shall examine some of the areas of differences between cultures, which can give rise to communication problems. Any successful form of social skills training shoul take accunt of these differences: Language,non-verbal communication, rules, social relationship, motivation, concept and ideology23. Dalam proses komunikasi antar budaya terdapat banyak perbedaan yang ditemui, diantaranya adalah: bahasa, komunikasi nonverbal seperti perilaku komunikasi dengan orang lain, aturan (nepotisme, hadiah, penyuapan, jual beli, makan dan minum, waktu, cara duduk, dan cara berpikir), hubungan sosial (keluarga, kelompok, kelas), motivasi (motivasi prestasi, ketegasan, kepedulian, mimik muka, nilai), serta konsep dan ideologi.

2) Karakteristik Konflik antar Budaya

“In a sense, then, the economic contexts, the cultural identities and belongingness, and the political and religious contexts all work together to shape this conflict”24 Konteks ekonomi, identitas budaya

22

Edward T. Hall, Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, p.82

23

Stephen Bochner, Cultures in Contact,(England: Pergamon Press, 1983), p.63 24

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.402


(28)

dan kepemilikan, serta konteks politik dan agama, semuanya menjadi faktor penyebab suatu konflik. Beberapa orang tidak percaya bahwa kerusuhan dan kekerasan merupakan cara yang tepat untuk merubah permasalahan sosial dalam suatu masyarakat. Sedangkan yang lainnya percaya bahwa suatu kekerasan adalah salah satu jalan dimana masyarakat bisa diprovokasi untuk menginterogasi ketidakadilan sosial dan memulai proses panjang untuk merubah suatu masyarakat. Intinya adalah, tidak ada alasan untuk mencari satu sumber sebuah konflik. Kesuhan yang terjadi di Aceh, Papua, dan di tempat lainnya bersumber pada berbagai penyebab. Konflik antar budaya ini bisa dikarakterisasikan oleh ambiguitas, yang dengan cepat memaksa kita. Jika cara yang kita pilih untuk menangani konflik adalah dengan menanganinya dengan cepat, sedangkan lawan kita ingin menghindarinya, maka konflik akan semakin tajam jika kita tetap saling bertahan pada prisnsip kita.

Konflik antar budaya juga bisa dikarakterisasi oleh kombinasi orientasi konflik dan gaya menangani suatu konflik.

3) Orientasi Konflik

Tidaklah mudah untuk menangani suatu konflik. Maka kita harus mencari dari keterkaitan antara konflik dan budaya. “Neither orientation is always the best approach, nor does always any culture only utilize one approach to conflict”25

25


(29)

a. Konflik sebagai Kesempatan: Seringkali konflik didefinisikan sebagai suatu keterkaitan ketidakcocokan tujuan, nilai, harapan, proses atau manfaat yang terasa atau nyata antara dua atau lebih individu/ kelompok yang saling bergantung. Menurut David Augsburger, pendekatan pada konflik harus berdasakan pada empat asumsi: konflik itu suatu hal yang normal dan proses yang berguna, semua isu bisa dirubah melalui negosiasi, konfrontasi langsung dan konsiliasi itu penting, konfik merupakan sebuah kebutuhan untuk bernegosiasi kembali pada sebuah kontrak tak langsung –sebuah pertukaran kesempatan kembali, pelepasan ketegangan, dan memperbaharui hubungan. b. Konflik sebagai kehancuran

Banyak kelompok budaya yang menganggap konflik sebagai suatu hal yang tidak produktif dalam hubungan, sebuah pandangan yang bisa berakar dari nilai spiritual atau budaya. Menurut Augsburger,ada empat asumsi tentang pandangan ini: konflik merupakan sebuah gangguan perdamaian yang destruktif, sistem social tidak jharus mengatur kebutuhan anggotanya dan mereka harus beradaptasi dengan nilai-nilai yang ada, konfrontasi itu destruktif dan tidak efektif, dan orang yang berselisih seharusya lebih berdisiplin.


(30)

“In a social science approach, we identify five difference types of conflict and some strategies for responding to conflict”26 Dalam teori ini, kita akan mengidentifikasi lima macam konflik yang berbeda dan beberapa strategi untuk menanganinya.

1. Tipe-tipe Konflik

Ada beberapa tipe konflik yang berbeda dan kita menanganinya dengan cara yang berbeda juga. Menurut Mark Cole, ada beberapa kategori konflik:

A. Konflik Afektif

Konflik afektif terjadi ketika seseorang memerhatikan perasaan dan emosi nya yang saling bertentangan. Misalnya, ketika seseorang jatuh cinta pada teman dekatnya namun perasaannya tidak terbalas, hal tersebut bisa menimbulkan konflik.

B. Konflik Kepentingan

Konflik Kepentingan menggambarkan situasi dimana orang-orang memiliki pilihan aksi atau rencana yang bertentangan.

C. Konflik Nilai

Konflik nilai terjadi ketika orang-orang berbeda dalam ideology dan isu-isu tertentu.

D. Konflik pengertian

26


(31)

Konflik pengertian menggambarkan sebuah situasi dimana dua orang atau lebih memperhatikan proses pemikiran atau persepsi mereka yang tidak sama

E. Konflik tujuan

Konflik tujuan terjadi ketika orang-orang tidak setuju dengan sebuah hasil yang diinginkan.

2. Strategi dan Taktik dalam menangani Konflik

Cara orang menangani konflik bisa dipengaruhi oleh latar belakang budaya mereka. Seringkali strategi konflik merefleksikan bagaimana orang menata diri mereka dalam aturan yang berkaitan. Walaupun orang bisa saja memiliki kecenderungan yang umum untuk menangani konflik dengan cara yang khusus, bisa saja mereka memilih taktik yang berbeda dalam situasi yang beda pula. Orang tidak terikat pada sebuah strategi khusus. Ada lima cara khusus untuk menangani konflik.

A. Dominasi

Gaya dominasi menggambarkan keterlibatan diri yang tinggi dan sedikit melibatkan orang lain. Perilaku yang menyertainya adalah gaya bicara yang keras dan kuat, yang mana bisa saja tidak produktif pada resolusi konflik.

B. Mengintegrasikan/ menggabungkan

Gaya integrasi ini sangat melibatkan diri dan orang lain serta melibatkan sebuah pertukaran yang terbuka dan


(32)

langsung dalam usaha untuk mencapat solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. Gaya ini menganut prinsip kolaborasi, empati, objektifitas, kreatifitas dan kesadaran perasaan.

C. Kompromi

Gaya kompromi merupakan sebuah strategi managemen konflik yang melibatkan pembangian dan pertukaran informasi yang luas sehinggan kedua belah pihak bisa memberikan keputusan yang saling menguntungkan dan diterima bersama.

D. Membantu

Gaya membantu merupakan strategi managemen konflik yang memerankan perbedaan dan ketidaksesuaian selagi menekankan kebiasaan

E. Menghindari

Gaya mengindar merupakan strategi managemen konflik yang berasal dari konteks budaya Amerika Serikat dan sedikit dipengaruhi diri dan orang lain. Bagaimanapun, dalam beberapa konteks budaya lainnya, strategi ini dilihat sebagai taktik untuk mempertahankan hubungan nyang harmonis.


(33)

“Another way to understand cultural variations in intercultural conflict resolution is to look at how cultural values influence conflict management”27 Cara lain untuk memahami keberagaman budaya dalam resolusi konflik antar budaya yaitu dengan memperhatikan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi managemen konflik.

Nilai-nilai budaya pada masyarakat yang individual berbeda dengan masyarakat yang kolektif. Masyarakat individual lebih mementingkan faktor pribadi daripada kelompok seperti dalam keluarga atau kelompok kerja. Sebaliknya, masyarakat kolektif lebih mementingkan keluarga dan kesetiaan pada kelompok.

Nilai-nilai yang bertentangan ini bisa mempengaruhi pola komunikasi. Satu teori, negosiasi langsung, keterkaitan nilai-nilai budaya pada kerangka kerja dan gaya konflik. Kerangka kerja merupakan strategi komunikasi khusus yang kita gunakan untuk menyelamatkan reputasi kita atau orang lain; bagaimana kita memiliki kerangka kerja berbeda-beda dari satu budaya hingga yang lain dan mempengaruhi gaya gaya konflik yang terjadi

.

5) Mengatur Konflik antar Budaya

27


(34)

Satu hal yang harus kira pertimbangkan dalam menghadapi konflik antar budaya yaitu dengan memilih managemen reolusi konflik mana yang lebih berhasil.

a) Konflik Produktif vs Konflik Destruktif

“ Scholar David Augsburger suggests that productive intercultural conflict is different from destructive conflict in four ways. First, in productive conflict, individuals or groups narrow the terms of definition, focus, and issues. Second, in productive conflict, individuals or groups limit conflict to the original issue. Third, in productive conflict, individuals or groups direct the conflict toard cooperative problem solving. Finally, in productive conflict, individuals or groups trust leadership that stresses mutually satisfactory outcomes”28 David Augsburger berpendapat bahwa konflik antar budaya yang produktif berbeda dengan konflik yang destruktif dalam empat hal. Pertama, dalam konflik produktif individu atau kelompok membatasi konflik secara arti, focus maupun isu. Sedangkan dalam konflik destruktif, mereka memperluas isu atau perilaku negative. Kedua, dalam konflik produktif, individu atau kelompok membatasi konflik langsung pada isu utamanya. Sedangkan dalam konflik destruktif, mereka memperluas isunya mualai dari yang utama dengan segala aspek yang terkait. Ketiga, dalam konflik produktif, individu atau

28


(35)

kelompok langsung menangani menangani konflik melalui kerja sama yang membuahkan hasil keputusan bersama. Sebaliknya, konflik destruktif, strategi-strateginya melibatkan penggunaan kekuatan, ancaman, pemaksaan, dan tipu muslihat.

b) Kompetisi vs kerja sama

Sebuah Atmosfer kompetitif akan menawarkan suatu paksaan, tipu muslihat, kecurigaan, dan ketakutan, serta sedikit melibatkan komunikasi. Sedangkan kerja sama akan menawarkan kesamaan yang terasa, kepercayaan, fleksibilitas, dan komunikasi yang terbuka. Kunci nya adalah untuk membuat suatu hal yang positif, atmosfer kerja sama pada awal hubungan suatu interaksi kelompok. Lebih sulit untuk merubah suatu hubungan yang kompetitif menjadi koooperatif/ kerja sama ketika suatu konflik sudah meluas.

Inti dari suatu kerja sama adalah sebuah pendalaman. Sedangkan sebuah kompetisi selalu bergantung pada argumentasi. Pendalaman bisa dilakukan dalam berbagai hal dalam budaya yang berbeda-beda tapi memiliki beberapa langkah. Kelompok tersebut harus mengetahui isu yang ada dan mendalami semua hal yang terkait atau mendiskusikannya dengan pihak ketiga.


(36)

Tidak ada jawaban yang mudah untung menangani konflik antar budaya. Terkadang, kita bisa mengaplikasikan beberapa prinsip dialektik, tapi terkadang kita harus kembali dan menunjukkan pertahanan diri kita. Kadang-kadang, walaupun lebih tepat jika kita menegaskan diri kita dan tidak takut pada emosi yang kuat. Ada beberapa solusi untuk menangani konflik:

1. Tetap terpusat dan jangan memperluas 2. Mempertahankan kontak

3. Menyadari perbedaan gaya yang berbeda 4. Mengidentifikasi gaya kita sendiri

5. Bersikap kreatif dan memperluas gaya bicara kita 6. Menyadari pentingnya konteks suatu konflik 7. Bertujuan untuk memaafkan

4. Mediasi

“Sometimes two individuals or groups cannot work through conflict on their own. They may request an intermediary, or may be assigned to intervence”29 Terkadang dua individu atau kelompok tidak bisa bekerja sendiri dalam menangani konflik. Mereka membutuhkan perantara, atau salah satunya akan merasa diintervensi. Dalam beberapa kelompok, pihak ketiga ini bersifat informal. Sedangkan di masyarakat barat, merka cenderung menjadikannya secara legal dan dalam sistem yudisial.

29


(37)

Model mediasi kontemporer dari barat seringkali mengindahkan keberagaman proses konflik. Sadangkan masyarakat tradisional sering menggunakan model yang berdasarkan pada maksud yang tidak langsung. Modelnya bermacam-macam tapi berbagi karakteristik-karakteristik.

Mediator kontemporer mengadaptasi beberapa nilai dari model tradisional yang non-barat. Mediasi itu bermanfaat karena mengandalkan keterlibatan aktif dan komitmen dari dua pihak yang berselisih untuk mengahasilkan sebuah resolusi. Semua pihak dilibatkan dalam penanganannya, jasi lebih kreatif dan integral

B. IDENTITAS

Identity serves as a bridge between culture and communication. It is important because we communicate our identity to others, and learn who we are through communication”30 Identitas itu menyediakan sebuah jembatan antara budaya dan bahasa. Hal ini sangat penting karena kita mengkomunikasikan identitas kita pada yang lainnya, dan kita belajar tentang diri kita melalui komunikasi. Melalui berkomunikasi –dengan keluarga, teman, dan yang lain –kita pun akan mengerti tentang diri kita dan bentuk identitas kita. Isu-isu tentang identitas merupakan hal yang paling penting dalam interaksi budaya.

30

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.154


(38)

“How can individual’s identity develops depends partly on the relative position or location of the identity within the societal hierarchy”31 Bagaimana identitas seseorang bisa berkembang tergantung dari identitas posisi dan lokasi yang berkaitan dalam suatu hirarki sosial. Beberapa identitas memiliki posisi yang lebih tinggi dalam suatu hirarki sosial. Misalnya, identitas heteroseksual mempunyai posisi yang lebih dihormati dibandingkan dengan identitas homoseksual, dan lain sebagainya. Untuk membedakan posisi yang beragam, ‘suatu identitas mayoritas’ biasanya lebih dihormati daripada ‘identitas minoritas’.

a) Perkembangan Identitas Mayoritas

Identitas mayoritas berkembang melalui proses yang kompleks. Para ahli berpikir tentang bagaimana sebuah identitas mayoritas berkembang, dari mulai proses penerimaan hirarki sosial yang mendukung beberapa identitas dan menolak sebagian lainnya, hingga proses untuk melawan ketidakadilan tersebut.

Rita Hardiman outlines five stages: Unexamined identity, acceptance, resistance, and redefinition”32 Rita Hardiman menyimpulkan beberapa tahapan yang terjadi pada identitas mayoritas ini, yaitu:

1. Identitas terabaikan. Sebagaimana yang terjadi pada identitas minoritas, dalam tahap ini orang mungkin sadar dengan perbedaan yang mereka miliki, namun mereka tidak terlalu memikirkan tentang identitas mereka.

2. Penerimaan. Dalam tahap ini terjadi sebuah proses internalisasi, sadar atau tak sadar tentang sebuah ideologi rasis atau muslim

31

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,p.154 32


(39)

atau kelompok minoritas lain. Bisa saja melibatkan sebuah penerimaan yang pasif atau aktif.

3. Perlawanan. Dalam tahap ini terjadi sebuah peralihan paradigma utama, yang melibatkan sebuah tindakan yang menyalahkan kelompok minoritas yang menamai mereka dan menyalahkan kelompok dominan mereka sebagai sumber masalah.

4. Definisi baru. Tahap ini merupakan proses dimana mereka memikirkan lagi tentang identitas mereka dan mulai menghargai serta bersikap yang bisa menghapus tekanan dan ketidakadilan bagi yang lain.

5. Integrasi. Dalam tahap ini, kelompok mayoritas pun memahami identitas yang mereka miliki dan menghormati adanya kelompok lain.

b) Perkembangan Identitas Minoritas

“in general, minority identities tend to develop earlier that the majority identities”33 Pada umumnya, identitas minoritas cenderung untuk berkembang lebih awal daripada identitas mayoritas. Misalnya, orang biasa cenderung tidak selalu memikirkan orientasi seksual mereka, sedangkan kaum gay lebih cenderung untuk seringkali memikirkan orientasi seksual mereka yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan, dan lebih mengembangkan sebuah nilai identitas orientasi seksual daripada orang biasa/ normal. Sama halnya, orang kulit putih bisa mengembangkan sebuah identitas etnik yang kuat, mereka tidak selalu memperhatikan identitas ras mereka, sedangkan anggota

33


(40)

kelompok etnik minoritas memperhatikan identitas ras mereka sejak dulu. “Minority identity often develops in the following stages: unexamide identity, conformity, resistance and separatism, integration”34 Menurut Judith, identitas minoritas berkembang dalam beberapa tahapan:

1. Identitas yang terabaikan, dimana seseorang kurang memperhatikan dan tertarik tentang identitas mereka. Tahap ini ada dikarenakan kurangnya pengetahuan akan identitas mereka sendiri baik itu etnis, orientasi seksual, gender dan lain sebagainya

2. Penyesuaian, dimana dalam tahap ini masuknya nilai dan norma dari kelompok dominant dan sebuah keinginan kuat untuk bisa menerimanya.

3. Perlawanan dan separatisme. Banyak kejadian yang bisa memicu terjadinya tahap ketiga ini, seperti diskriminasi atau sebuah sebutan. Dalam tahap ketidaksesuaian atau kesdaran yang semakin meningkat bahwa tidak semua nilai dari kellompok dominant itu sesuai untuk mereka, yang bisa memicu terjadi perlawanan dan separatisme.

4. Integrasi. Tahap ini hanya bisa terjadi apabila seseorang benar-benar memahami identitasnya sendiri dan menghormati adanya budaya lain. “Cultural identities – those aspects of our identities which arise from our ‘belonging’ to distinctive ethnic, racial, linguistic, religious and, above all, national cultures”35 Dalam konteks komunikasi antar budaya ini, identitas yang akan kita bahas adalah identitas budaya yang mana muncul dari kepemilikan khusus seseorang pada ras, etnik, bahasa, agama, bangsa dan

34

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.164

35

Stuart Hall, David Held & Tony McGrew, Modernity and its Futures. (London: Polity Press,Open University, 1992), p 274


(41)

faktor budaya lainnya. Yang kemudian membagi masyarakat ke dalam berbagai jenis kelompok identitas, seperti: gender, usia, ras dan etnik, kulit putih, agama, kelas, kebangsaan, daerah dan pribadi. Namun ada tiga identitas yang menjadi pembahasan disini karena efeknya yang sering muncul dalam sebuah konflik, yaitu:

1. Identitas Ras dan Etnik 1) Identitas ras

“Race conciousness or racial identity, is largely a modern phenomenon”36 Kesadaran ras atau identitas ras, umumnya merupakan sebuah fenomena modern. Saat ini di Amerika Serikat, isu ras sangat controversial dan perpasive. Ini menjadi topik diskusi, dari talkshow di tv hingga percakapan di radio. Banyak orang sudah merasa sangat tidak nyaman membicarakannya atau berpikir hal itu tidak seharusnya menjadi topic dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita akan lebih mengerti tentang isu-isu kontemporer jika kita memperhatikan ide-ide tentang ras yang berkembang dalam sejarah di AS.

“Racial categories, are based to some extent on physical characteristic, but they are also constructed influid social contexts”37 Kategori-ketegori ras, kemudian berdasarkan pada beberapa tingkatan dalam karakteristik fisik, tapi juga dibentuk oleh konteks-konteks sosial yang cair. Hal tersebut menambah nilai kesadaran untuk membicarakan formasi ras daripada kategori-kategori ras, dengan demikian menguji ras itu sebagai sebuah kompleks dari nilai-nilai

36

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007),p.174

37


(42)

social daripada sebagai sebuah konsep yang pasti dan objektif. Bagaimana masyarakat mengkonstruksi nilai-nilai ini dan berpikir tentang pengaruh-pengaruh ras dalam cara mereka berkomunikasi.

2) Identitas Etnik

“In contrast to racial identity, ethnic identity may be seen as a set of ideas about one’s own ethnic group identity. It typically includes several dimension: self-identification, knowledge about ethnic culture(traditions, customs, values, and behaviours), and feeling about belonging to particulat group”38

Identitas etnik bisa dilihat sebagai seperangkat ide-ide tentang keanggotaan kelompok etnik. Identitas ini meliputi beberapa dimensi: pengenalan diri, pengetahuan tentang budaya etnik (tradisi, kebiasaan, nilai-nilai dan perilaku) dan perasaan saling memiliki terhadap suatu kelompok tertentu. Identitas etnik seringkali melibatkan suatu nilai originalitas dan sejarah, yang bisa menyambungkan kelompok-kelompok etnis pada budaya-budaya yang jauh di Papua, Asia, Eropa, Amerika Latin atau lokasi lainnya.

Memiliki identitas etnik berarti mengalami sebuah nilai kepemilikan terhadap kelompok tertentu dan mengetahui suatu pengalaman untuk dibagi dalam kelompok. Misalnya, Judith tumbuh dalam sebuah komunitas etnik. Dia mendengar orangtua dan kerabatnya berbicara dengan bahasa Indonesia, dan kakek dan neneknya memberi saran

38


(43)

untuk kembali ke Jerman dan berbicara tentang nenek moyang mereka di Jerman. Pengalaman ini akan menambah identitas etniknya.

Para ahli saling berselisih tentang apakah identitas etnik dan identitas ras itu sama atau berbeda. Beberapa ahli berpendapat bahwa identitas etnik dibentuk oleh dirinya dan hal lainnya tapi identitas ras hanya dibentuk oleh faktor lain. Mereka menekankan seperti mereka mengesampingkan etnisitas dalam cara mereka mengklasifikasikan orang lain.

Jika kita tidak pernah membicarakan ras, tapi hanya etnisitas, bisakah kita memperhatikan efek dan pengaruh dari rasisme?

Untuk menyortir hubungan antara etnisitas dan ras adalah untuk membedakan antara identitas terikat dan dominan (atau normatif). “Bounded cultures are characterized by groups that are specific, not dominant”39 Budaya-budaya yang terikat dikarakterisasi oleh kelompok-kelompok yang spesifik bukan dominant. Untuk kebanyakan orang kulit putih, sangatlah mudah untuk memahami rasa saling memiliki dalam sebuah kelompok terikat (kelompok etnik). Jelasnya, sebagai contoh, menjadi seorang Amish berarti mengikuti ordung (nilai-nilai masyarakat). Tumbuh di sebuah rumah Indonesia-jerman, identitas Judith menjadi sangat serius dan sedikit sekali berekspresi dalam caranya untuk komunikasi. Identitas ini sangat berbeda dengan temannya di kampus yang seorang Italia-Amerika, dia sangat ekspresif dalam berkomunikasi.

39


(44)

Nilai ras atau identitas etnik kita berkembang seiring dengan waktu, dalam tingkatannya dan melalui komunikasi dengan orang lain. Tahap-tahap ini seolah merefleksikan pemahaman kita tentang siapa kita dan tergantung pada beberapa tingkat kelompok kita. Banyak kelompok etnik dan ras saling berbagi tentang pengalaman penindasan mereka. Dalam menanggapinya, mereka bisa mengenerasikan konsistensi sikap dan tingkah laku dengan sebuah usaha inernal yang alami untuk mengembangkan identitas kelompok dan identitas diri. Untuk kebanyakan kelompok budaya, identitas kuat ini memastikan untuk bertahan hidup.

2. Identitas Keagamaan

“Religious identity can be important dimension of many people’s identities, as well as an important site of intercultural conflict. Religious identity often is conflated with racial or ethnic identity, which makes it difficult to view religious identity simply in terms of belonging to a particular religion”40 Identitas keagamaan bisa menjadi sebuah dimensi penting dari identitas masyarakat banyak, sebagaimana pentingnya dalam faktor konfilk antar budaya. Identitas keagamaan bersatu dengan identitas ras atau etnik, yang membuat sulit untuk melihat identitas keagamaan dari keterkaitannya dengan suatu agama tertentu. Misalnya, ketika seseorang berkata “aku orang Yahudi”, apakah itu berarti bahwa dia melakukan Judaisme? Bahwa dia melihat identitas Yahudi sebagai sebuah identitas etnik? Atau ketika orang berkata, “Dia memiliki nama belakang Islam”

40


(45)

apakah itu merupakan pernyataan bahwa untuk menyadari identitas keagamaannya? Dengan pandangan sejarah, kita bisa melihat Yahudi sebagai sebuah kelompok ras, sebuah kelompok etnik dan sebuah kelompok keagamaan.

Menggambarkan perbedaan antara bermacam-macam identitas – ras,etnik, kelas, bangsa dan daerah—sangatlah sulit. Isu-isu agama dan etnisitas menjadi perhatian utama dalam perang antara Al-Qaeda dan kelompok militan lainnya. Walaupun mereka yang melakukan serangan ke Pentagon dan World Trade Center adalah orang Muslim dan Arab, sulit untuk membenarkan bahwa semua orang Muslim adalah Arab dan semua orang Arab adalah muslim.

Perbedaan-perbedaan keagamaan menjadi akar konflik-konflik kontemporer dari mulai dari Ambon(Maluku), Timur Tengah hingga irlandia utara, India dan Pakistan hingga Bosnia-Herzegovina. Di Amerika Serikat, konflik-konflik keagamaan menyebabkan orang-orang Mormon melarikan diri ke Midwest di Utah pada pertangahan abad ke 19. Konflik-konflik keagamaan menjadi kenyataan bagi orang Arab-Amerika setelah pemerintah AS menegaskan perang melawan terorisme. Dan muslim militan di Timur Tengah dan tempat lainnya melihat usaha perlawanan mereka terhadap AS sebagai suatu usaha keras yang sangat serius dan bersedia mati demi keyakinan agama mereka.

Di AS, kita seringkali melihat bahwa orang-orang bebas untuk mempraktekan agama apapun yang mereka yakini. Dan konflik pun muncul ketika kepercayaan agama mereka ditunjukkan kepada mereka yang berbeda keyakinan. Misalnya, beberapa orang Yahudi melihat


(46)

dominasi pohon–pohon Cristmas dan salib-salib Kristen sebagai penghinaan pada keyakinan mereka.

Beberapa penganut agama berkomunikasi dan menandakan perbedaan-perbedaan agama mereka dengan pakaian. Misalnya, yahudi hassidic memakai pakaian tradisional, dan pakaian yang berwarna gelap, dan wanita muslim memakai kerudung atau penutup kepala sesuai dengan aturan muslim tentang pakaian wanita. Penganut agama Buddha yang taat menjadi bhiksu dengan memperlihatkan pakaian yang biasa dipakai oleh para bhiksu. Tentu saja, tidak semua agama tidak dikenal oleh pakaian. Misalnya, kita tidak bisa tahu bahwa seseorang itu Buddha, Hindu, katolik, Lutheran atau atheis berdasarkan cara pakaian mereka. Karena identitas keagamaan mereka kurang mencolok, interaksi setiap hari tidak akan memperlihatkan identitas keagamaan mereka.

“When individuals change their religious and/or ethnic identity, they often change their name to reflect their new identification. For instance, when the world heavy weight boxer Cassius Clay became a Black Muslim, he changed his name to Mohammed Ali”41 Ketika seseorang berganti identitas agama atau etnik mereka, seringkali mereka mengganti nama mereka untuk menunjukkan identitas baru mereka. Misalnya, ketika seorang petinju kelas berat Cassius Clay menjadi seorang muslim kulit hitam, dia pun merubah namanya menjadi Muhammad Ali, begitu pun dengan pemain basket bernama Kareem Abul-Jabbar yang dulu bernama Lew Alcindor sebelum dia masuk Islam. Ada juga beberapa imigran

41

Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, ( Illinois: Waveland


(47)

China yang datang ke Indonesia yang merubah nama mereka dengan nama yang lebih dimengerti oleh para pegawai sipil di Indonesia.

3. Identitas Kebangsaan

“Among many identities, we also a national identity, which should not be confused with racial or ethnic identity. Nationality, unlike racial or ethnic identity, refer’s to one’s legal status in relation to a nation”42 Diantara semua identitas, kita juga memiliki identitas kebangsaan, yang tidak harus dibingungkan dengan identitas ras dan etnik, kebangsaan menunjukkan status sah terkait pada sebuah bangsa. Banyak penduduk AS bisa melacak etnisitas mereka ke Amerika latin, Asia, Eropa atau Afrika, tapi kebangsaan mereka atau kewarganegaraan mereka, bersama Amerika Serikat.

Walaupun identitas kebangsaan bisa terlihat sebagai isu yang jelas, tapi tidak selalu seperti itu. Misalnya, konflik berdarah yang pecah selama masa percobaan penarikan negara-negara konfederasi dari Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1800-an. Konflik yang sama terjadi juga saat ini ketika Eritrea berusaha untuk memisahkan diri dari Ethiopia, dan Czechnya memisahkan diri dari Rusia. Tidak sedikit Konflik berdarah yang melibatkan kedudukan sebagai Negara yang merdeka, misalnya konflik yang terjadi ketika provinsi Timor Timur ingin memisahkan diri dari negera Indonesia, terjadi konflik berdarah antara warga dan pemerintah dan akhirnya kemudian bisa memisahkan diri dan berdiri sendiri dengan nama Timor Leste pada tahun 2002. Begitu pula di

42

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.186


(48)

Czecoslovakia terdahulu, hingga pemisahan Slovakia dan Republik Czechnya.

Kesimpulannya, orang memiliki pendapat yang beragam tentang kebangsaan mereka, sebagaimana mereka sering bingung tentang kebangsaan dan etnisitas. Sehingga, seringkali kita mendengar seorang siswa bertanya kepada siswa dari kalangan minoritas, “Apa kebangsaanmu?” ketika yang di maksud adalah, “Dari etnik mana kamu berasal?” kebingungan ini bisa mengarah dan mungkin merefleksikan pada kurangnya pemahaman tentang, katakanlah, Asia-Amerika (kelompok etnik) dan Asia (kelompok bangsa). Hal itu juga bisa mengasingkan orang-orang Asia-Amerika dan orang-orang-orang-orang yang telah tinggal di Amerika Serikat selama beberapa tahun tapi tetap dianggap sebagai orang asing.

4. Identitas Daerah

“Closely related to nationality is the notion of regional identity. Many regions of the world have separate, but vital and important, cultural identities”43 Identitas daerah sedikit berkaitan dengan identitas kebangsaan. Banyak daerah di dunia yang telah terpisah, tapi yang utama dan penting, adalah identitas budaya. Wilayah orang Jawa Timur berbeda dengan wilayah orang Jawa Barat, mereka memiliki keberagaman budaya sendiri. Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan provinsi-provinsi yang dipisahkkan oleh lautan luas dan membuat budaya mereka berbeda dan memiliki satu identiitas khusus.

43


(49)

Perbedaan kedaerahan ini terkadang menjadi pemicu pecahnya suatu konflik nasional. Begitu pula perbedaan identitas regional di berbagai bagian negara di Amerika Serikat. Dalam hal ini, identitas daerah bisa dijadikan sebagai identifikasi dengan sebuah daerah geografik khusus dari sebuah Negara.

Identitas memiliki pengaruh yang sangat besar pada proses komunikasi antar budaya. Pertama, kita bisa menggunakan dinamika individu budaya untuk mengetahui isu-isu yang muncul ketika kita menemui orang yang tidak kita ketahui identitasnya. Dalam interaksi komunikasi antar budaya, identitas yang disalahgunakan selalu barakibat buruk dan bisa mengakibatkan masalah komunikasi.

Terkadang kita berasumsi tentang identitas seseorang bardasarkan keanggotaannya dalam suatu kelompok budaya tertentu. Ketika kita melakukannya, kita sedang mengacuhkan aspek individualnya dan dengan menggunakan aspek dialektikal, kita bisa mengenal dan menyeimbangkan antara aspek budaya dan individual dari identitas seseorang. Perspektif ini bisa membimbing cara kita berkomunikasi dengan orang tersebut dan juga orang lain.

C. STEREOTIP DAN PRASANGKA 1. Stereotip

“The identity characteristics described previously sometimes form the basis for stereotypes, prejudice, and racism. The origins of these have both


(50)

individual and contextual elements”44 Karakteristik identitas yang telah digambarkan terkadang bisa membentuk sebuah dasar adanya stereotip, prasangka dan rasisme, yang berasal dari faktor individu maupun kontekstual.

Untuk dapat mengerti tentang banyaknya jumlah informasi yang kita terima, kita harus mengkategorisasikan dan mengeneralisirnya, terkadang juga bersandar pada beberapa stereotip –kepercayaan khalayak umum tentang suatu kelompok.

Stereotip juga membantu kita mengetahui apa yang kita harapkan dari orang lain. Bisa saja positif atau negatif. Misalnya, orang Asia-Amerika yang seringkali bersikap subjektif terhadap stereotif positif “model minoritas”, yang membuat semua orang Asia dan Asia-Amerika menjadi pekerja keras dan serius. Stereotip ini menjadi sangat biasa terjadi di Amerika Serikat selama masa gerakan hak asasi sipil tahun 1960an-1970an. Pada waktu itu orang Asia-Amerika dilihat sebagai minoritas “bagus” –berbeda dengan Afrika-Amerika, kita selalu konfrontatif dan bahkan militant dalam perlawanan mereka untuk mencapai sebuah persamaan dengan kelompok mayoritas.

Bahkan stereotip positif bisa berbahaya jika menciptakan harapan yang tidak nyata pada seseorang. Bukan berarti karena seseorang itu Asia-Amerika (atau cantik, atau pintar) maka dia akan lebih unggul di sekolah atau ramah atau menawan. Stereotip akan jadi sangat mengganggu apabila berubah menjadi negatif dan tidak fleksibel. Riset membuktikan bahwa, sekali diikuti, maka stereotip itu akan sulit untuk dihilangkan. Faktanya

44


(51)

bahwa masyarakat lebih cenderung mengingat informasi yang mendukung stereotip mereka dan menghapus informasi yang berlawanan. (Hamilton, Sherman & Ruvolo, 1990).

“Gordon Allport, a Harvard University psychologist, was another pioneering scholar in research on prejudice when showed that stereotypes-generalizations about some group of people that oversimplify reality-lead to prejudice. Allport's (1954/1979) book, The Nature of Prejudice, discussed how human cognitive activities like categorization and generalization can lead to prejudiced attitudes. Prejudiced individuals often think in stereotypes. The generalizations prevent accurate perception of the qualities of unalike others”45

Seorang psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport berpendapat bahwa generalisasi dari sebuah stereotip itu bisa mengarahkan suatu kelompok untuk menyederhanakan suatu kenyataan yang kemudian bisa menimbulkan adanya sebuah prasangka. Dalam bukunya, The Nature of Prejudice, Allport membahas bagaimana aktifitas kognitif manusia seperti kategorisasi dan generalisasi bisa menimbulkan kebiasaan berprasangka. Seseorang yang sering berprasangka seringkali berpikir dalam kerangka stereotip. Generalisasi tersebut mencegah adanya suatu persepsi akurat yang berkualitas tentang orang lain. Sikap-sikap yang menganut stereotip dan prasangka inilah yang menjadi salah satu pemicu timbulnya sebuah konflik.

2. Prasangka

45

Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, (Illinois: Waveland


(52)

“ Prejudice is anegative attitude toward a cultural group based on a little or no evidence”46 Martin menyebutkan bahwa prasangka merupakan sikap negatif tentang suatu budaya baik itu berdasarkan pengalaman atau tidak. Singkatnya merupakan tuduhan tanpa ada bukti yang cukup. Stereotip itu memberitahu kita tentang sebuah kelompok, sedangkan prasangka merupakan bagaimana perasaan kita tentang suatu kelompok (Newberg, 1994).

Prasangka bisa muncul dari kebutuhan seseorang untuk berpikir positif tentang kelompoknya sendiri dan merasa negatif terhadap kelompok lain, atau bisa juga muncul dari ancaman yang terlihat atau nyata (Hecht,1998). Peneliti Walter Stephan dan Cookie Stephan (1999) berpendapat bahwa tekanan antara berbagai kelompok budaya dan kontak negatif terdahulu, disertai oleh status ketidaksamaan dan ancaman yang nyata, bisa menimbulkan prasangka. Jadi prasangka itu bisa disimpulkan sebagai sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap sebuah kelompok budaya berdasarkan bukti atau tidak.

“Some prejudices consist of the irrational suspicion or hatred of a particular group or religion. They can create avoidance and interpersonal conflict-and prevent effective communication between culturally different individuals”47 selain itu, Prasangka mengandung kecurigaan yang tidak rasional dan kebencian terhadap suatu kelompok atau agama tertentu, yang mana bisa mengakibatkan penghindaran dan konflik antar pribadi serta

46 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.191

47

Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, ( Illinois: Waveland


(53)

mencegah terjadinya komunikasi yang efektif diantara individu yang berbeda budaya.

“Why do people do prejudice? Psycologist Richard Brislin suggest that, just as stereotyping arises from normal cognitive functioning, holding prejudice may serve understandable functions. These functions may not excuse prejudice, but they do help us understand why prejudice is so widespread. He identifies four such functions: the utilitarian function, the ego-defensive fuction, the value-expressive functions and the knowledge function”48

Seorang psikolog Richard Brislin (1999) berpendapat bahwa prasangka timbul karena memiliki beberapa fungsi, sebagaimana stereotip yang timbul dari fungsi kognitifnya. Fungsi-fungsi ini mungkin bukan menjadi alasan utama, tapi setidaknya kita bisa mengerti mengapa prasangka itu bisa menyebar luas. Dia menyebutkan beberapa fungsi tersebut:

1) Bermanfaat. Orang berprasangka karena bermanfaat bagi mereka, misalnya mereka lebih mudah untuk bersikap seperti itu dalam beberapa kelompok dan tidak harus berseteru karena berbeda pandangan.

2) Pertahanan diri. Mereka yang berprasangka karena mereka sendiri tidak ingin mengingat hal-hal tidak menyenangkan tentang diri mereka.

48

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.191


(54)

3) Nilai ekspresif. Orang mempertahankan prasangka mereka tentang stu hal karena mereka inging memperkuat beberapa aspek kehidupan yang sangat mereka junjung tinggi.

4) Pengetahuan. Orang-orang berprasangka karena sikap seperti itu bisa membuat mereka mampu untuk mengatir dan menyusun dunia mereka dengan cara yang masuk akal bagi mereka, sama halnya dengan stereotip yang juga membantu kita untuk mengatur dunia kita.

3. Diskriminasi

“When a negative attitude toward an outgroup is translated into action, the behavior is called discrimination, defined as the process oftreating individuals unequally on the basis of their ethnicity, gender, age, sexual orientation, or other characteristics”49 Ketika sebuah sikap negative diteruskan pada sebuah perbuatan, sikap tersebut disebut diskriminasi, yang mana bisa didefinisikan sebagai proses memperlakukan seseorang dengan tidak sama berdasarkan etnis, gender, usia, orientasi sexual, atau karakteristik lainnya yang berbeda. Tingkah laku seperti itu dihasilkan dari stereotip dan prasangka.

Diskriminasi bisa berdasarkan pada ras (rasisme), gender (sexism), atau identitas lainnya. “It may range from subtle nonverbal behavior such as lack of eye contact or exclusion from a conversation, to verbal insult and exclusion from jobs or other economy opportunities, to physical

49

Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, ( Illinois: Waveland


(55)

violence and systematic exclusion”50 Diskriminasi bisa dimulai dari sikap nonverbal seperti kurangnya kontak mata atau keluar dari sebuah percakapan, sampai pada sebuah penghinaan verbal dan keluar dari pekerjaan atau diskriminasi dalam kesempatan ekonomi lain, sampai pada kekerasan fisik dan keluar dari keseluruhan sistem.

D. Harapan Komunikasi antar Budaya

Pendekatan dialektikal kita telah menyebutkan tentang peran penting kemapuan individu dan paksaan kontekstual dalam mengembangkan hubungan antar budaya. “The First step in applying our knowledge to intercultural communication is to recognize the connectedness of humans ang the importance of dialogue”51 Langkah awal untuk mengaplikasikan pengetahuan kita tentang komunikasi antar budaya adalah untuk menyadari adanya keterkaitan antar manusia dan pentingnya sebuah dialog.

A. Memasuki sebuah Dialog

Untuk menyadari dan merangkul keterkaitan kita bahkan pada orang yang berbeda dengan kita, kita harus terlibat dalam sebuah dialog sejati. Ide utama dalam sebuah dialog adalah saling berbagi dan saling memberi. Menurut Starosta dan Chen untuk membentuk inti suksesnya sebuah dialog, harus ada fokus untuk mendengarkan, daripada berbicara.

50

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.192

51


(56)

Sebuah model komunikasi antar budaya adalah mendengarkan. Dalam model ini, komunikator antar budaya komunikator antar budaya haruslah efektif, sensitif pada orang lain, berpikir sebelum berbicara, dan menyampaikan sebuah pesan yang tidak pernah mengancam atau mengutuk ataupun menimbulkan arti yang beragam. Pendengar pun mendengarkan pesan yang disampaikan, menyadarinya, mempertimbangkan kembali, mencoba interpretasi beda yang mungkin –berusaha untuk memahami usulan pembicara. Ketika pendengar percaya bahwa dia telah mengerti pesan yang sedang dibuat, dia menanggapinya, dan tidak dengan sikap yang mengancam. Kita tahu bahwa dalam proses mendengarkan, ambiguitas itu ada, yang berlawanan dengan maksud sebuah komunikasi yang menghendaki sebuah kejelasan dan ringkas. Dan dialog komunikasi antar budaya itu haruslah jelas.

B. Menjadi sekutu

Kita perlu membuat suatu jalan baru untuk memikirkan tentang keberagaman budaya dan perbedaan budaya –sebuah cara yang menyadari kompleksitas dalam berkomunikasi antar budaya dan menagarah pada isu tentang kekuatan. Sebaliknya, kita bisa terjebak diantara sebuah kerangka konpetitif: jika kita menang sesuatu, dan orang lain kalah, berarti kita bisa menang jika orang lain kalah. Pemikiran seperti ini membuat kita merasa frustasi dan bersalah.

Tujuannya adalah untuk menemukan cara dimana kita mendapatkan kesatuan yang wajar daripada mendapat banyak perbedaan dan kebenaran yang kontradiktif, sebuah kesatuan yang berdasarkan pada koalisis yang


(57)

disadari, kesadaran menarik dan politik kekeluargaan, dimana kita semua menang.

Dan bagaimana kita bisa melakukannya? Pertama kita bisa mengidentifikasi persekutuan antar budaya. Ada tiga isu yang membentuk sebuah persekutuan antar budaya. Pertama, kita harus menyikapi kekuatan dan hak istimewa yang ada: teman antar budaya menyadari dan mengerti bagaimana perbedaan etnik, gender, dan kelas mengarah pada kekuatan dan berusaha untuk mengatur kekuatan isu-isu tersebut. Persekuatuan antar budaya ikatan antara individu atau kelompok antar budaya yang ditandai dengan saling menyadari kekuatan dan akibat dari sebuah sejarah serta oleh orientasi ketegasan.

C. Membangun Koalisi

Beberapa konteks yang akan muncul di kemudian hari, bisa membuat kita berpikir kembali tentang ientitas kita. Retorika yang digunakan untuk menggerakan koalisi itu bisa bermacam-macam. Ketika kita berusaha untuk membangun hubungan antar budaya, terkadang kita harus melebihkan beberapa identitas kita, atau kita harus memperkuat identitas kita. Identitas yang saling bergantian ini membuat kita bisa membangun koalisi dengan orang-orang yang berbeda, untuk mengembangkan hubungan antar budaya yang positif dan untuk dunia yang lebih baik.

D. Keadilan sosial dan Transformasi

Dalam keadilan sosial kita harus mengetahui tentang adanya penindasan dan ketidakadilan –setelah kita menyimpulkan bahwa komunikasi


(1)

• The powers of government are more effective and less costly when allied to attempts to restore and rehabilitate citizens instead of to punish and destroy. • Adults are responsible of the majority of social ills now ascribed to young

people. Ignorance not boys is our common enemy.

“We must learn to live together as brothers or perish together as fools.” Martin Luther King Jnr.

To bring about a cessation of violence, we need to confront our own biases and prejudices, which are fuelled by ignorance and fear, to embrace the oneness of humanity.

We must all stand up for those who are discriminated against because of race, religion, culture and sex. We must embrace what is common between us – particularly when it comes to the young.

The partnership between Muhammadiyah and Youth Off the Streets concerning tsunami victims is a clear sign to the world that we can unite around what makes us common and then leads to respect and understanding around what makes us different.[]

Habib Chirzin, Islamic Forum on Peace, Human Rights and Development

!

"#$%

&&' ( ) & * '!+& +,'- ' . * !

/ 0 "#$$* '&!1 $ "#$2*

3 . & . 4

"#$#

Dialogue will call for some basic parameters to be achieved. There is a need for a global ethic that transcends and governs interfaith relationships. Human rights standards and mechanism for a common standard of achievement in peace, justice and integrity in the more globalized world. Human rights are conducive to peace, and


(2)

there is no peace without human rights. Human rights are an indispensable condition for peace, which means that the separate value of peace cannot be attained without securing the separate value of human right,. The statement that there is a right to peace means that this right is already included in the catalogue of human rights or that it must be immediately included in it. This right was solemnly proclaimed by the UN General Assembly in the Declaration on the Right of Peoples to Peace on 12 November 1984:

5 6 7 7 5 7 * 8 / ' 5 6 9 ! ' : ; ' + < -- ;

- : 9

)


(3)

-- ; = 5 6 < = >?


(4)

Wawancara dengan Dr. Abdul Mu’ti

Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC)

Penulis: Sebenarnya apa yang melatar belakangi berdirinya CDCC,pak?

Abdul Mu’ti: Sebenarnya CDCC dibentuk berdasarkan pada beberapa alasan, diantaranya adalah:

1. Seiring dengan meningkatnya jumlah tindakan kekerasan baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya yang disebabkan oleh faktor politik, agama, ekonomi, budaya, dan lain-lain.

2. Adanya sinyalemen bahwa penyebab utama dari berbagai tindak kekerasan itu adalah adanya benturan peradaban. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Tapi sebenarnya teori itu tidak sepenuhnya benar, karena setiap peradaban memiliki nilai universalitas sendiri yang bisa diterima oleh peradaban lainnya.

3. Maka oleh karena itu, CDCC berusaha untuk memahami berbagai perbedaan tersebut dan berusaha untuk mencari titik temunya. Dialog dan kerja sama pun dijadikan CDCC sebagai jalan untuk mewujudkannya.

4. Selama ini, hampir semua dialog yang bersifat konseptual saja,hanya sebatas pertukaran pikiran. Dan CDCC bertujuan untuk membuat dialog yang konseptual dan praktis. Sehingga berbagai kerja sama bisa diadakan untuk melawan tindak kekerasan dan menghindari bernturan-benturan peradaban.


(5)

Penulis: Sejak didirikan pada tahun 2006, bagaimana perkembangan yang dialami CDCC?

Abdul Mu’ti: Alhamdulillah CDCC sudah bermitra dengan berbagai lembaga, nasional maupun internasional. Karena fokus yang kami lakukan itu memberikan sedikit banyak manfaat dalam konstelasi global maupun nasional, maka CDCC ikut juga menjadi opinion maker nasional. Selain itu, sekarang CDCC sudah menjadi salah satu NGO internasional dengan banyaknya kerja sama dengan berbagai lembaga internasional seperti Multi Culture Society, Kedutaan-kedutaan negara asing, Pemerintah Australia, Pemerintah Inggris, dan lain sebagainya.

Penulis: Program dialog dan kerja sama seperti apa yang telah dilakukan CDCC? Abdul Mu’ti: Dialog- dialog antar agam dan bangsa sering kita lakukan setiap bulan. Selain itu, acara World Peace Forum juga merupakan agenda besar kita dalam mengadakan dialog internasional yang melibatkan berbagai negara di dunia. Dan ketika terjadi konflik yang memuncak antara Palestina dan Israel yang menelan banyak korban dari masyarakat sipil dan menghancurkan infrastruktur negara yang mendapat kecaman dunia, CDCC bekerja sama dengan kedutaan palestina menggalang dana bantuan untuk mereka.


(6)