Laporan Kasus Syaraf (Fatimah NJ – 1610221007)(1)
LAPORAN KASUS
“HNP DENGAN KOINSIDENSI TUMOR SPINAL”
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Saraf
Diajukan Kepada:
Pembimbing: dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc
Disusun Oleh:
Fatimah Nur Janah 1610221007
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
2018
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. T
2. Umur : 51 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Kalibendo 4/1 Candi, Bandungan
6. Pekerjaan : Ibu rumah tangga dengan aktivitas ringan
7. Pendidikan : SMA
8. Status : Menikah
9. No CM : 148xxx-20xx
10. Tanggal pemeriksaan:23 September 200018 di poli saraf RSUD Ambarawa
B. DATA DASAR Dilakukan autoanamnesis, 30 September 2018 di rumah pasien.
1. Keluhan Utama : kedua kaki tidak terasa
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Kira-kira 6 tahun sebelum pemeriksaan, Ny. T usia 51 tahun mengeluh nyeri pada pinggang kanan. Bila diberi skala nyeri, pasien memberikan skala 5 pada nyeri yang dirasakannya. Nyeri muncul diperberat saat pasien kelelahan dan terasa dingin. Keluhan nyeri menjalar sampai ke tungkai atas dan tungkai bawah kaki kanan bagian luar pasien. Pasien berobat ke DKT dan dikatakan mengalami syaraf kejepit. Pasien berobat selama 2 tahun tetapi tidak ada perubahan. Kedua kaki dapat bergerak. Keluhan tidak disertai rasa baal/kurang terasa, pegal-pegal pada punggung bagian bawah (-), sesak napas (-), sulit BAK (-), tidak ada gangguan BAB, kesemutan (-). Pasien kooperatif dan tidak ditemukan adanya disorientasi, penurunan kesadaran, kejang dan bicara pelo.
Setelah itu 3 tahun yang lalu, pasien merasakan nyeri pada kedua kaki, kaki terasa kesemutan dan pasien merasa kakinya melemah. Keluhan dirasakan hilang timbul, berlangsung selama beberapa menit kemudian hilang, membaik saat pasien beristirahat dan memburuk ketika pasien beraktivitas berat dan kelelahan. Pasien mengaku mengkonsumsi jamu dan madu sebanyak 2 kali sehari selama 3 bulan untuk mengurangi rasa sakit. Pasien tidak dapat melakukan pekerjaannya dan memutuskan untuk berobat ke dokter ahli syaraf di daerah Ungaran dan dikatakan pasien mengalami syaraf kejepit. Pasien juga merasa tidak mengalami perubahan. Keluhan tidak disertai rasa baal/kurang terasa, pegal-pegal pada punggung bagian bawah (-), sesak napas (-), sulit BAK (-), tidak ada gangguan BAB. Pasien kooperatif dan tidak ditemukan adanya disorientasi, penurunan kesadaran dan bicara pelo.
Sekitar 3 bulan yang lalu, pasien berobat ke poli syaraf RSUD Ambarawa dengan keluhan nyeri pada pinggang yang menjalar ke kedua kaki dan terasa kesemutan pada kedua kaki, pasien merasa sulit untuk berjalan, pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan dari berat badan awal sekitar 56 kg sekarang berat badan sekitar 45 kg. Pasien merasakan nafsu makan berkurang. Saat di Poli Syaraf RSUD Ambarawa dilakukan rontgen vertebra lumbosacral dan pasien didiagnosis paraparese inferior, akhirnya diputuskan untuk di rujuk ke RS dr.Kariadi untuk menjalani pengobatan lebih lanjut dan MRI. Di RS dr. Kariadi di diagnosis dengan tumor spinal, Pengobatan yang sudah dilakukan adalah operasi untuk pengangkatan tumor spinal serta obat pasca operasi yang diberikan adalah Gabapentin, natrium diklofenak, Vit B1,B6,B12, fisioterapi.
Pasien kontrol kembali ke poli syaraf RSUD Ambarawa (23 September 2018) dengan keluhan kedua kaki pasien mulai dari paha sampai telapak kaki tidak terasa dan nyeri, pasien tidak bisa berjalan post operasi. Nyeri dirasakan hilang timbul dan biasanya timbul saat malam hari. Pasien merasa BAK dan BAB tidak dapat terkontrol. Pasien masih menjalani fisioterapi rutin sampai saat ini. Pasien kooperatif dan tidak ditemukan adanya disorientasi, penurunan kesadaran, kejang dan bicara pelo.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan serupa : disangkal Riwayat Hipertensi : disangkal Riwayat tumor, kanker : disangkal Riwayat trauma : diakui 6 tahun yang lalu, pasien terpeleset dan jatuh terduduk
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
5. Riwayat Pribadi :
Riwayat merokok : disangkal Riwayat minum alkohol : Disangkal Riwayat konsumsi obat : disangkal
6. Sosial Ekonomi :
Sebelumnya pasien bekerja sebagai tukang sayur dengan jam kerja kurang lebih 8 jam dalam sehari. Pasien mengaku sering mengangkat beban berat, sejak timbul keluhan pasien tidak bekerja lagi Pasien terdaftar sebagai peserta BPJS PBI. Pasien tinggal bersama dengan suami dan dua anaknya. Biaya hidup ditanggung oleh suami dan anak pertamanya. Kesan ekonomi kurang.
7. Anamnesis Sistem :
- Sistem Serebrospinal : nyeri kepala (-), muntah (-), pingsan (-), kelemahan anggota gerak (+) di kedua kaki, perubahan tingkah laku (-), wajah merot (-), bicara pelo (-), kesemutan (+), baal (+)
- Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-), nyeri dada (-)
- Sistem Respirasi : Sesak napas (-), batuk (-), riwayat sesak napas (-)
- Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), BAB tidak terkontrol
- Sistem Muskuloskeletal : Kelemahan anggota gerak (+) pada ekstremitas bawah
- Sistem Integumen : Ruam merah (-)
- Sistem Urogenital : BAK tidak terkontrol
C. RESUME ANAMNESIS
Kira-kira 6 tahun sebelum pemeriksaan, Ny. T usia 51 tahun mengeluh nyeri pada pinggang kanan. Bila diberi skala nyeri, pasien memberikan skala 5 pada nyeri yang dirasakannya. Nyeri muncul diperberat saat pasien kelelahan dan terasa dingin. Keluhan nyeri menjalar sampai ke tungkai atas dan tungkai bawah kaki kanan bergerak. Keluhan tidak disertai rasa baal/kurang terasa, pegal-pegal pada punggung bagian bawah (-), sesak napas (-), sulit BAK (-), tidak ada gangguan BAB, kesemutan (-). Pasien kooperatif dan tidak ditemukan adanya disorientasi, penurunan kesadaran, kejang dan bicara pelo.
Setelah itu 3 tahun yang lalu, pasien merasakan nyeri pada kedua kaki, kaki terasa kesemutan dan pasien merasa kakinya melemah. Keluhan dirasakan hilang timbul, berlangsung selama beberapa menit kemudian hilang, membaik saat pasien beristirahat dan memburuk ketika pasien beraktivitas berat dan kelelahan. Pasien mengaku mengkonsumsi jamu dan madu sebanyak 2 kali sehari selama 3 bulan untuk mengurangi rasa sakit. Pasien tidak dapat melakukan pekerjaannya dan keluhan ini sangat mengganggu aktivitas dan kualitas tidurnya. Akhirnya pasien memutuskan untuk berobat ke dokter ahli syaraf di daerah Ungaran dan dikatakan pasien mengalami syaraf kejepit. Pasien juga merasa tidak mengalami perubahan. Keluhan tidak disertai rasa baal/kurang terasa, pegal-pegal pada punggung bagian bawah (-), sesak napas (-), sulit BAK (-), tidak ada gangguan BAB. Pasien kooperatif dan tidak ditemukan adanya disorientasi, penurunan kesadaran dan bicara pelo.
Sekitar 3 bulan yang lalu, pasien berobat ke poli syaraf RSUD Ambarawa dengan keluhan nyeri pada pinggang yang menjalar ke kedua kaki dan terasa kesemutan pada kedua kaki, pasien merasa sulit untuk berjalan, pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan dari berat badan awal sekitar 56 kg sekarang berat badan sekitar 45 kg. Pasien merasakan nafsu makan berkurang. Saat di Poli Syaraf RSUD Ambarawa dilakukan rontgen vertebra lumbosacral dan pasien didiagnosis paraparese inferior, akhirnya diputuskan untuk di rujuk ke RS dr.Kariadi untuk menjalani pengobatan lebih lanjut dan MRI. Di RS dr. Kariadi di diagnosis dengan tumor spinal, Pengobatan yang sudah dilakukan adalah operasi untuk pengangkatan tumor spinal serta obat pasca operasi yang diberikan adalah Gabapentin, natrium diklofenak, Vit B1,B6,B12, fisioterapi.
Pasien kontrol kembali ke poli syaraf RSUD Ambarawa (23 September 2018) dengan keluhan kedua kaki pasien mulai dari paha sampai telapak kaki tidak terasa dan nyeri, pasien tidak bisa berjalan post operasi. Nyeri dirasakan hilang timbul dan biasanya timbul saat malam hari. Pasien merasa BAK dan BAB tidak dan bicara pelo..
Riwayat trauma diaku sekitar 6 tahun lalu. Sebelumnya pasien bekerja sebagai tukang sayur dengan jam kerja kurang lebih 8 jam dalam sehari. sejak timbul keluhan pasidn tidak bekerja lagi Pasien terdaftar sebagai peserta BPJS PBI. Pasien tinggal bersama dengan suami dan dua anaknya. Biaya hidup ditanggung oleh suami dan anak pertamanya. Kesan ekonomi kurang.
D. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis Klinis : Paraplegia inferior, gangguan miksi, gangguan defekasi, nyeri, paraparestesia, parahipestesia Diagnosis Topis : Medulla spinalis Diagnosis Etiologi :
o Degeneratif dd HNP o Neoplasma dd tumor spinal o Infeksi dd tuberkuloma spinal
E. DISKUSI 1
Hasil anamnesis pasien didapatkan adanya kedua kaki pasien sulit digerakkan sama sekali sejak 3 bulan post operasi, sebelum keluhan tersebut muncul pasien merasakan punggung nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum diikuti dengan kaki kesemutan tetapi hilang timbul. keluhan tersebut juga disertai penurunan sensibilitas saat diberikan rangsangan. Kelemahan yang terjadi pada pasien dapat disebut plegia karena anggota gerak bawah pasien sama sekali tidak dapat digerakkan. Pada pasien ini terjadi plegia di kedua sisi anggota gerak bawah sehingga disebut paraplegia inferior. Pasien juga mengeluh kurang terasa rabaan pada kedua kaki, sehingga disebut parahipestesia inferior.
Pada pasien ini tidak mengarah ke lesi di otak, melainkan cenderung lesi di medula spinalis. Lesi di otak akan mengakibatkan kelainan di salah satu sisi tubuh dan seringkali disertai gangguan fungsi luhur, sedangkan pada pasien ini tidak ditemukan hal-hal tersebut. Kelainan pada pasien berupa kelemahan di kedua anggota gerak bawah yang sering terjadi pada lesi di medula spinalis. Dapat juga menyebabkan tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis.
F. Hernia Nukleus Pulposus
1. Definisi
Hernia adalah protrusi atau penonjolan dari sebuah organ atau jaringan melalui lubang yang abnormal.Nukleus pulposus adalah massa setengah cair yang terbuat dari serat elastis putih yang membentuk bagian tengah dari diskus intervertebralis.
Hernia Nukleus Pulposus(HNP) merupakan suatu gangguan yang melibatkan ruptur annulus fibrosus sehingga nukleus pulposis menonjol (bulging) dan menekan kearah kanalis spinalis. HNP mempunyai banyak sinonim antara lain : Hernia Diskus Intervertebralis, Ruptur Disc, Slipped Disc, Prolapsed Disc dan sebagainya.
Gambar 1. Penampang korpus vertebra.
2. Epidemiologi Prevalensi HNP berkisar antara 1 – 2 % dari populasi. Usia yang paling sering adalah usia 30 – 50 tahun. Pada penelitian HNP paling sering dijumpai pada tingkat L4-L5; titik tumpuan tubuh di L4-L5-S1. Penelitian Dammers dan Koehler pada 1431 pasien dengan herniasi diskus lumbalis, memperlihatkan bahwa pasien HNP L3-L4 secara bermakna dari usia tua dibandingkan dengan pasien HNP L4-L5.
HNP merupakan salah satu penyebab dari nyeri punggung bawah yang penting. dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama. Inside HNP di Amerika Serikat adalah sekitar 5% orang dewasa. Kurang lebih 60-80% individu pernah mengalami nyeri punggung dalam hidupnya. Nyeri punggung bawah tahun. Pada penderita dewasa tua, nyeri punggung bawah mengganggu aktivitas sehari-hari pada 40% penderita dan menyebabkan gangguan tidur pada 20% penderita akan mencari pertolongan medis, dan 25% diataranya perlu rawat inap untuk evaluasi lebih lanjut.
3. Anatomi dan Fisiologi Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra yang berdekatan, sendi antara arkus vertebra, sendi kostovertebralis dan sendi sakroiliaka. Ligamentum longitudinal dan diskus intervertebralis menghubungkan vertebra yang berdekatan. Ligamentum longitudinal anterior, suatu pita tebal dan lebar, berjalan memanjang pada bagian depan korpus vertebra dan diskus intervertebralis, dan bersatu dengan periosteum dan annulus fibrosus.
Ligamentum longitudinalis anterior berfungsi untuk menahan gaya ekstensi, sedangkan dalam kanalis vertebralis pada bagian posterior korpus vertebra dan diskus intervertebralis terletak ligamentum longitudinal posterior, ligamentum longitudinalis posterior berperan dalam menahan gaya fleksi. Ligamentum anterior lebih kuat dari pada posterior, sehingga prolaps diskus lebih sering kearah posterior. Pada bagian posterior terdapat struktur saraf yang sangat sensitif terhadap penekanan yaitu radiks saraf spinalis, ganglion radiks dorsalis.
Diantara korpus vertebra mulai dari vertebra servikalis kedua sampai vertebra sakralis terdapat diskus intervertebralis. Diskus ini membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus vertebra.
Nukleus pulposus adalah bagian tengah diskus yang bersifat semigelatin, nukleus ini mengandung berkas-berkas serat kolagen, sel-sel jaringan penyambung dan sel-sel tulang rawan. Zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan. Selain itu. juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara diskus dan pembuluh-pembuluh darah kapiler.
Anulus fibrosus terdiri atas cincin-cincin fibrosa konsentris yang mengelilingi nukleus pulposus. Anulus fibrosus berfungsi untuk memungkinkan gerakan antara korpus vertebra (disebabkan oleh struktur spiral dari serabut-serabut); untuk menopang nukleus pulposus; dan meredam benturan. Jadi anulus berfungsi mirip dengan simpail di sekeliling tong air atau seperti gulungan pegas, yang menarik korpus vertebra bersatu melawan resistensi elastis Diskus intervertebralis berukuran kira-kira seperempat panjang kolumna vertebralis. Diskus paling tipis terdapat pada daerah torakal sedangkan yang paling tebal tedapat di daerah lumbal. Bersamaan dengan bertambahnya usia, kandungan air diskus berkurang dan menjadi lebih tipis.
a. Patomekanisme
1. Proses Degenaratif Diskus intervertebralis tersusun atas jaringan fibrokartilago yang berfungsi sebagai shock absorber, menyebarkan gaya pada kolumna vertebralis dan juga memungkinkan gerakan antar vertebra. Kandungan air diskus berkurang dengan bertambahnya usia (dari 90% pada bayi sampai menjadi 70% pada orang usia lanjut).
Selain itu serabut-serabut menjadi kasar dan mengalami hialinisasi yang ikut membantu terjadinya perubahan ke arah herniasi nukleus pulposus melalui anulus dan menekan radiks saraf spinal. Pada umumnya hernia paling mungkin terjadi pada bagian kolumna vertebralis dimana terjadi peralihan dari segmen yang lebih mobil ke yang kurang mobil (perbatasan lumbosakral dan servikotolarak).
2. Proses Traumatik Dimulainya degenerasi diskus mempengaruhi mekanika sendi intervertebral, yang dapat menyebabkan degenerasi lebih jauh. Selain degenerasi, gerakan repetitive, seperti fleksi, ekstensi, lateral fleksi, rotasi, dan mengangkat beban dapat memberi tekanan abnormal pada nukleus. Jika tekanan ini cukup besar sampai bisa melukai annulus, nucleus pulposus ini berujung pada herniasi. Trauma akut dapat pula menyebabkan herniasi, seperti mengangkat benda dengan cara yang salah dan jatuh.
Hernia Nukleus Pulposus terbagi dalam 4 grade berdasarkan keadaan herniasinya, dimana ekstrusi dan sequestrasi merupakan hernia yang sesungguhnya, yaitu:
1. Protrusi diskus intervertebralis : nukleus terlihat menonjol ke satu arah tanpa kerusakan annulus fibrosus.
2. Prolaps diskus intervertebral : nukleus berpindah, tetapi masih dalam lingkaran anulus fibrosus.
3. Extrusi diskus intervertebral : nukleus keluar dan anulus fibrosus dan berada di bawah ligamentum, longitudinalis posterior.
Sequestrasi diskus intervertebral : nukleus telah menembus ligamentum longitudinalis posterior Gambar 4. Grading dari Hernia Nucleus Pulposus Berdasarkan
MRI, klasifikasi HNP dibedakan berdasarkan 5 stadium : Tabel 1. Klasifikasi Degenerasi diskus berdasarkan gambaran MRI.
Nukleus pulposus yang mengalami herniasi ini dapat menekan nervus di dalam medulla spinalis jika menembus dinding diskus (annulus fibrosus); hal ini dapat menyebabkan nyeri, rasa tebal, rasa keram, atau kelemahan. Rasa nyeri dari herniasi ini dapat berupa nyeri mekanik, yang berasal dari diskus dan ligamen; inflamasi, nyeri yang berasal dari nucleus pulposus yang ekstrusi menembus annulus dan kontak dengan suplai darah; dan nyeri neurogenik, yang berasal dari penekanan pada nervus.
3. Faktor Resiko Berikut ini adalah faktor risiko yang meningkatkan seseorang mengalami HNP
a. Usia Usia merupakan faktor utama terjadinya HNP karena annulus fibrosus lama kelamaan akan hilang elastisitasnya sehingga menjadi kering dan keras, menyebabkan annulus fibrosus mudah berubah bentuk dan ruptur.
b. Trauma Terutama trauma yang memberikan stress terhadap columna vertebralis, seperti jatuh.
c. Pekerjaan Pekerjaan terutama yang sering mengangkat barang berat dan cara mengangkat barang yang salah, meningkatkan risiko terjadinya HNP d. Gender
Pria lebih sering terkena HNP dibandingkan wanita (2:1), hal ini terkait pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan pada pria cenderung ke aktifitas fisik yang melibatkan columna vertebralis.
4. Gambaran Klinis Gejala klinik bervariasi tergantung pada derajatnya dan radiks yang terkena. Pada stadium awal, gejala asimtomatik. Gejala klinis muncul ketika nucleus pulposus menekan saraf. Gejala klinis yang paling sering adalah iskialgia (nyeri radikuler). Nyeri biasanya bersifat tajam, seperti terbakar dan berdenyut menjalar sampai bawah lutut. Bila saraf sensoris kena maka akan memberikan gejala kesemutan atau rasa baal sesuai dermatomnya. Bila mengenai conus atau cauda ekuina dapat terjadi gangguan miksi, defekasi dan disfungsi seksual. Nyeri yang timbul sesuai dengan distribusi dermatom (nyeri radikuler) dan kelemahan otot sesuai dengan miotom yang terkena.
5. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis dapat ditanyakan hal yang berhubungan dengan nyerinya. Pertanyaan itu berupa kapan nyeri terjadi, frekuensi, dan intervalnya; lokasi nyeri; kualitas dan sifat nyeri; penjalaran nyeri; apa aktivitas yang memprovokasi nyeri; memperberat nyeri; dan meringankan nyeri. Selain nyerinya, tanyakan pula pekerjaan, riwayat trauma.
b. Pemeriksaan Neurologi
Untuk memastikan bahwa nyeri yang timbul termasuk dalam gangguan saraf. Meliputi pemeriksaan sensoris, motorik, reflex.
Pemeriksaan sensoris, pada pemeriksaan sensoris ini apakah ada gangguan sensoris, dengan mengetahui dermatom mana yang terkena akan dapat diketahui radiks mana yang terganggu.
Pemeriksaan motorik, apakah ada tanda paresis, atropi otot.
Pemeriksaan reflex, bila ada penurunan atau refleks tendon menghilang, misal APR menurun atau menghilang berarti menunjukkan segmen S1 terganggu.
Gambar 5. Level neurologis yang terganggua sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik. Adapun tes yang dapat dilakukan untuk diagnosis HNP adalah :
a. Pemeriksaan range of movement (ROM)
Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara aktif oleh penderita sendiri maupun secara pasif oleh pemeriksa. Pemeriksaan ROM ini memperkirakan derajat nyeri, function laesa, atau untuk memeriksa ada/ tidaknya penyebaran rasa nyeri.
b. Straight Leg Raise (Laseque) Test: Tes untuk mengetaui adanya jebakan nervus ischiadicus. Pasien tidur dalam posisi supinasi dan pemeriksa memfleksikan panggul secara pasif, dengan lutut dari tungkai terekstensi maksimal. Tes ini positif bila timbul rasa nyeri pada saat mengangkat kaki dengan lurus, menandakan ada kompresi dari akar saraf lumbar.
c. Lasegue Menyilang Caranya sama dengan percobaan lasegue, tetapi disini secara otomatis timbul pula rasa nyeri ditungkai yang tidak diangkat. Hal ini menunjukkan bahwa radiks yang kontralateral juga turut tersangkut.
d. Tanda Kerning Pada pemeriksaan ini penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggung sampai membuat sudut 90 derajat. Selain itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan tungkai atas, bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan tanda kerning positif.
e. Ankle Jerk Reflex Dilakukan pengetukan pada tendon Achilles. Jika tidak terjadi dorsofleksi pada kaki, hal ini mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra L5-S1.
f. Knee-Jerk Reflex Dilakukan pengetukan pada tendon lutut. Jika tidak terjadi ekstensi pada lutut, hal ini mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra L2-L3-L4.
6. Diagnosis Penunjang
a. X-Ray X-Ray tidak dapat menggambarkan struktur jaringan lunak secara akurat. Nucleus pulposus tidak dapat ditangkap di X-Ray dan tidak dapat mengkonfirmasikan herniasi diskus maupun jebakan akar saraf. Namun, X- Ray dapat memperlihatkan kelainan pada diskus dengan gambaran penyempitan celah atau perubahan alignment dari vertebra.
b. Mylogram Pada myelogram dilakukan injeksi kontras bersifat radio-opaque dalam columna spinalis. Kontras masuk dalam columna spinalis sehingga pada X- ray dapat nampak adanya penyumbatan atau hambatan kanalis spinalis
c. MR Merupakan gold standard diagnosis HNP karena dapat melihat struktur columna vertebra dengan jelas dan mengidentifikasi letak herniasi
Gambar
6. MRI dari columna vertebralis normal (kiri) dan mengalami herniasi (kanan) d. Elektromyografi
Untuk melihat konduksi dari nervus, dilakukan untuk mengidentifikasi kerusakan nervus
7. Penatalaksanaan
- terapi konservatif, terdiri atas :
- Terapi Non Farmakologis
a. Terapi fisik pasif
Terapi fisik pasif biasanya digunakan untuk mengurangi nyeri punggung bawah akut, misalnya: Kompres hangat/dingin
Kompres hangat/dingin ini merupakan modalitas yang mudah dilakukan. Untuk mengurangi spasme otot dan inflamasi. Beberapa pasien merasakan nyeri hilang pada pengkompresan hangat, sedangkan yang lain pada pengkompresan dingin.
Iontophoresis Merupakan metode pemberian steroid melalui kulit. Steroid tersebut menimbulkan efek anti inflamasi pada daerah yang menyebabkan nyeri. Modalitas ini terutama efektif dalam mengurangi serangan nyeri akut.
Unit TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulator) Sebuah unit transcutaneous electrical nerve stimulator (TENS) menggunakan stimulasi listrik untuk mengurangi sensasi nyeri punggung bawah dengan mengganggu impuls nyeri yang dikirimkan ke otak
Ultrasound Ultrasound merupakan suatu bentuk penghangatan di lapisan dalam dengan menggunakan gelombang suara pada kulit yang menembus sampai jaringan lunak dibawahnya. Ultrasound terutama berguna dalam menghilangkan serangan nyeri akut dan dapat mendorong terjadinya penyembuhan jaringan.
b. Latihan dan modifikasi gaya hidup
Berat badan yang berlebihan harus diturunkan karena akan memperberat tekanan ke punggung bawah. Program diet dan latihan penting untuk mengurangi NPB pada pasein yang mempunyai berat badan berlebihan. Direkomendasikan untuk memulai latihan ringan tanpa stres secepat mungkin. Endurance exercisi latihan aerobit yang memberi stres minimal pada punggung seperti jalan, naik sepeda atau berenang dimulai pada minggu kedua setelah awaitan NPB.
Conditional execise yang bertujuan memperkuat otot punggung
dimulai sesudah dua minggu karena bila dimulai pada awal mungkin akan memperberat keluhan pasien. Latihan memperkuat otot punggung dengan memakai alat tidak terbukti lebih efektif daripada latihan tanpa alat.
c. Terapi Farmakologis
Analgetik dan NSAID ( Non Steroid Anti Inflamation Drug) Obat ini diberikan dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi sehingga mempercepat kesembuhan. Contoh analgetik : paracetamol, Aspirin Tramadol. NSAID : Ibuprofen, Natrium diklofenak, Etodolak, Selekoksib.
Obat pelemas otot (muscle relaxant) Bermanfaat bila penyebab NPB adalah spasme otot. Efek terapinya tidak sekuat NSAID, seringkali di kombinasi denganNSAID. Sekitar 30% memberikan efek samping mengantuk. Contoh Tinazidin, Esperidone dan Carisoprodol.
Opioid Obat ini terbukti tidak lebih efektif daripada analgetik biasa yang jauh lebih aman. Pemakaian jangka panjang bisa menimbulkan toleransi dan ketergantungan obat.
kortikosteroid oral Pemakaian kortikosteroid oral masih kontroversi. Dipakai pada kasus HNP yang berat dan mengurangi inflamasi jaringan.
Anelgetik ajuvan Terutama dipakai pada HNP kronis karena ada anggapan mekanisme nyeri pada HNP sesuai dengan neuropatik. Contohnya : amitriptilin, Karbamasepin, Gabapentin.
suntikan pada titik picu
Cara pengobatan ini dengan memberikan suntikan campuran anastesi lokal dan kortikosteroid ke dalam jaringan lunak/otot pada titik picu disekitar tulang punggung. Cara ini masih kontroversi. Obat yang dipakai antara lain lidokain, lignokain, deksametason, metilprednisolon dan triamsinolon.
d. Terapi operatif pada pasien dilakukan jika:
a. Pasien mengalami HNP grade 3 atau 4.
b. Tidak ada perbaikan lebih baik, masih ada gejala nyeri yang tersisa, atau ada gangguan fungsional setelah terapi konservatif diberikan selama 6 sampai 12 minggu.
c. Terjadinya rekurensi yang sering dari gejala yang dialami pasien menyebabkan keterbatasan fungsional kepada pasien, meskipun terapi konservatif yang diberikan tiap terjadinya rekurensi dapat menurunkan gejala dan memperbaiki fungsi dari pasien.
d. Terapi yang diberikan kurang terarah dan berjalan dalam waktu lama.
Pilihan terapi operatif yang dapat diberikan adalah: Distectomy Pengambilan sebagian diskus intervertabralis.
Percutaneous distectomy Pengambilan sebagian diskus intervertabralis dengan menggunakan jarum secara aspirasi.
Laminotomy/laminectomy/foraminotomy/facetectomy Melakukan dekompresi neuronal dengan mengambil beberapa bagian dari vertebra baik parsial maupun total.
Spinal fusion dan sacroiliac joint fusion: Penggunaan graft pada vertebra sehingga terbentuk koneksi yang rigid diantara vertebra sehingga terjadi stabilitas
8. Pencegahan Hernia nukleus pulposus dapat dicegah terutama dalam aktivitas fisik dan pola hidup. Hal-hal berikut ini dapat mengurangi risiko terjadinya HNP : a.Olahraga secara teratur untuk mempertahankan kemampuan otot seperti berlari dan berenang.
b. Hindari mengangkat barang yang berat, edukasi cara mengangkat yang benar. c.Tidur di tempat yang datar dan keras.
d. Hindari olahraga/kegiatan yang dapat menimbulkan trauma e.Kurangi berat badan
Tumor Medula Spinalis
1. Definisi
Tumor medula spinalis adalah tumor yang berkembang dalam tulang belakang atau isinya dan biasanya menimbulkan gejala - gejala karena keterlibatan medula spinalis atau akar-akar saraf. Tumor Medulla spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat terjadi pada daerah cervical pertama hingga sacral, yang dapat dibedakan atas :
Tumor primer : o jinak yang berasal dari tulang;osteoma dan kondroma serabut saraf disebut neurinoma (Schwannoma) berasal dari selaput otak disebut Meningioma; jaringan otak; Glioma, Ependinoma. o ganas yang berasal dari
jaringan saraf seperti; Astrocytoma, Neuroblastoma, sel muda seperti Kordoma. Tumor sekunder: merupakan anak sebar (metastase) dari tumor ganas di daerah rongga dada, perut, pelvis dan tumor payudara.
2. Etiologi
Pada sejumlah kecil individu, tumor SSP dapat disebabkan penyakit genetik tertentu, seperti neurofibromatosis dan tuberous sclerosis, atau paparan radiasi. Sebagian kecil tumor medulla spinalis terjadi di saraf medulla spinalis itu sendiri. Kebanyakan adalah ependyoma dan glioma lainnya. Tumor dapat berawal di jaringan spinalis yang disebut tumor spinalis primer. Tumor dap at menyebar ke spinalis dari tempat lain (metastasis) yang disebut tumor spinalis sekunder.Penyebab tumor spinalis primer tidak diketahui. Beberapa tumor spinalis primer terjadi karena defek genetic. Tumor spinalis umumnya lebih sedikit di banding tumor otak primer. Tumor medulla spinalis dapat terjadi : Di dalam medulla (intramedularis) Dalam membrane (mening) menutupi medulla spinalis (exramedularis- intradural) Di antara meninges dan tulang spinalis (extradural)
Atau tumor merupakan perluasan dari tempat lain. Kebanyakan tumorspinalis adalah extradural. Patogenesis dari neoplasma medula spinalis belum diketahui, tetapi kebanyakan muncul dari pertumbuhan sel normal pada tempat tersebut. Riwayat genetik terlihat sangat berperan dalam peningkatan insiden pada keluarga tertentu atau syndromic group (neurofibromatosis). Astrositoma dan neuro ependymoma merupakan jenis yang tersering pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2, yang merupakan kelainan pada kromosom 22. Spinal hemangioblastoma dapat terjadi pada 30% pasien dengan von hippel-lindousyndrome sebelumnya,yang merupakan abnormalitas dari kromosom 3.
Faktor risiko lainnya yang menyebabkan tumor SSP primer termasuk ras (Kaukasian lebih sering didapatkan tumor SSP dari ras lain) dan penduduk. Pekerja di tempat yang berhubungan dengan kontak radiasi pengion atau bahan kimia tertentu, termasuk yang digunakan untuk memproduksi bahan bangunan atau plastik dan tekstil, memiliki kesempatan lebih besar mengidap tumor otak.
3. Klasifikasi
Tumor pada medulla spinalis dapat dibagi menjadi tumor primer dantumor metastasis. Kelompok yang dominan dari tumor medula spinalis adalah metastasis dari proses keganasan di tempat lain. Tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi tiga kelompok, berdasarkan letak anatomi dari massa tumor. Pertama, kelompok ini dibagi dari hubungannya dengan selaput menings spinal, diklasifikasikan menjadi tumor intradural dan tumor ekstradural. Selanjutnya, tumor intradural sendiri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu tumor yang tumbuh pada substansi dari medula spinalis itu sendiri – intramedullary tumours- serta tumor yang tumbuh padaruangsubarachnoid (extramedullary). Tumor Intradural Berbeda dengan tumor ekstradural tumor intradural pada umumnya jinak o Tumor Ekstramedular Terletak diantara durameter dan medula spinalis, sebagian besar tumor didaerah ini merupakan neurofibroma atau meningioma jinak o Tumor Intramedular Berasal dari dalam medula spinalis itu sendiri.
Tumor Ekstradural o Tumor ekstradural terutama merupakan metastase dari lesi primer di payudara, prostat, tiroid, paru-paru, ginjal, dan lambung o Tumor ekstradural pada umumnya berasal dari kolumna vertebralis ataudari dalam ruangan ekstradural. Neoplasma ekstradural dalam ruanganekstradural biasanya karsinoma dan limfoma metastase.
4. Patofisiologi
Tumor intramedulla menyusup dan menghancurkan parenkim medula,dapat meluas lebih dari beberapa segmen medulla spinalis atau menyebabkan suatu syrinx. Medula spinalis terdiri dari banyak berkas saraf yang naik dari dan turun ke otak. Impuls listrik yang dibawa dan dikirim untuk memfasilitasi gerakan dan sensasi. Dengan tumor medulla spinalis intramedulla, kompresi, dan peregangan dari system serabut menyebabkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik. Sejalan pertumbuhan tumor, fungsi neurologi pasien lebih memburuk.
Patofisiologi tumor medulla spinalis intrameduler bervariasi sesuai dengan jenis tumor. Ependymoma biasanya lambat, tumor berkapsul yang secara histologis jinak. Nyeri dan defisit neurologis timbul sebagai akibat dari peregangan progresif dan distorsi serat saraf. Biasanya gambaran anatomi yang jelas terdapat saat operasi, dan hasil reseksi visual anatomis yangbesar dalam pe ngobatan. Subtipe anaplastik yang langka dapat invasif, bagaimanapun, dan lebih cenderung kambuh atau menyebar melalui ruang CSF. Bahkan secara histologi jinak muncul ependymomas medulla spinalis dapat bermetastasis dengan cara ini.
5. Insidensi
Insidensi tumor medulla spinalis terjadi 1,1 kasus per 100.000 orang. Tumor medulla spinalis umumnya lebih sedikit dibanding tumor otak. Meskipun semuanya mengenai orang-orang dari segala usia, tumor medulla spinalis paling sering terjadi pada usia dewasa muda dan paruh baya. Hampir 3.200 tumor sistem saraf pusat didiagnosis setiap tahun pada anak di bawah usia 20.
Jumlah tumor medula spinalis mencakup kira-kira 15 % dari seluruh neoplasma susunan saraf. Sebagian besar tumor-tumor intradural tumbuh dari konstituen seluler medula spinalis dan filum terminale, akar saraf atau meningens. Metastasis ke dalam kompartemen intradural kanalis spinalis jarang terjadi (paraganglioma, neoplasma melanositik). Sebagian besar tumor primer medula spinalis tumbuh pada intradural. Lokasi tumor medula spinalis:Thorak (50%), lumbal (30%), servikal (20%).Tumor medula spinalis yang paling sering pada intrameduler adalah glioma. Tipe lainnya yang sering adalah astrositoma, ependimoma, dan ganglioglioma, lebih jarang hemangioblastoma dan tumor neuroektodermal primitif.
Tumor intradural intramedular yang tersering adalah ependymoma,astrositoma dan hemangioblastoma. Ependymoma merupakan tumor intramedular yang paling sering pada orang dewasa. Tumor ini lebih sering didapatkan pada orang dewasa pada usia pertengahan (30-39 tahun) dan lebih jarang terjadi pada usia anak- anak. Insidensi ependidoma kira-kira sama dengan astrositoma. Dua per tiga dari ependydoma muncul pada daerah lumbosakral.
Diperkirakan 3% dari frekuensi astrositoma pada susunan saraf pusat tumbuh pada medula spinalis. Tumor ini dapat muncul pada semua umur, tetapi yang tersering pada tiga dekade pertama. Astrositoma juga merupakan tumor spinal intramedular yang tersering pada usia anak-anak, tercatat sekitar 90% dari tumor intramedular pada anak-anak dibawah umur 10 tahun, dan sekitar 60% pada remaja. Diperkirakan 60% dari astrositoma spinalis berlokasi disegmen servikal dan servikotorakal. Tumor ini jarang ditemukan pada segmentorakal, lumbosakral atau pada conus medialis.
Hemangioblastoma merupakan tumor vaskular yang tumbuh lambat dengan prevalensi 3% sampai 13% dari semua tumor intramedular medula spinalis. Rata-rata terdapat pada usia 36 tahun, namun pada pasien dengan von Hippel-Lindau syndrome (VHLS) biasanya muncul pada dekade awal dan mempunyai tumor yang multipel. Rasio laki-laki dengan perempuan 1,8 : 1. Tumor intradural ekstramedular yang tersering adalah schwanoma, dan meningioma. Berdasarkan table 2, schwanoma merupakan jenis yang tersering (53,7%) dengan insidensi laki-laki lebih sering dari pada perempuan, pada usia 40-60 tahun dan tersering pada daerah lumbal.
Meningioma merupakan tumor kedua tersering pada kelompok intradural- ekstramedullar tumor. Meningioma menempati kira-kira 25% dari semua tumor spinal. Sekitar 80% dari spinal meningioma terlokasi pada segmen thorakal, 25% pada daerah servikal, 3% pada daerah lumbal, dan 2% pada foramen magnum.
6. Gejala Klinis
Gejala klinis bergantung pada tempat, tipe tumor, dan keadaan umum. Tumor dapat menyebar ke spinalis dari bagian lain (metastasis) seringnya progresif cepat. Tumor primer seringnya progresif lambat lebih dari minggu sampai tahun. Umumnya gejala berkembang perlahan dan memburuk sesuai dengan pertumbuhan tumor.
Tumor medulla spinalis (intrameduler) biasanya memberikan gejala, kadang- kadang melebihi besar bagian tubuh. Tumor diluar medulla spinalis (extramedular) dapat tumbuh lama sebelum menyebabkan kerusakan saraf. Gejala umum dari tumor medulla spinalis termasuk rasa sakit, mati rasaatau perubahan sensorik, dan masalah motorik dan hilangnya kontrol otot. Nyeri dapat merasa seolah- olah berasal dari berbagai bagian tubuh.
Nyeri tulang belakang dapat meluas ke pinggul, tungkai, kaki, dan lengan. Nyeri ini sering menetap dan bisa memberat. Hal ini sering progresif dan dapat terasa terbakar atau sakit. Mati rasa atau perubahan sensorik dapat mencakup penurunan sensitivitas kulit, suhu dan progresif mati rasa atau kehilangan sensasi, terutama pada kaki. masalah motorik dan hilangnya kontrol otot termasuk kelemahan otot, spastik (dimana otot-otot berkontraksi tetap kaku),dan gangguan kandung kemih dan atau kontrol buang air besar.
Jika tidak diobati, gejala dapat memperburuk termasuk disfungsi otot, penurunan kekuatan otot, ritme jalan normal yang disebut ataksia, dan kelumpuhan. Gejala dapat menyebar di berbagai bagian tubuh ketika tumor satu atau lebih meluas ke beberapa bagian dari medulla spinalis. Gambaran klinik pada tumor medulla spinalis sangat ditentukan olehlokasi serta posisi pertumbuhan tumor dalam kanalis spinalis. Gejala klinik berdasarkan lokasi tumor o Tumor foramen magnum
Gejala awal dan tersering adalah nyeri servikalis posterior yang disertai dengan hiperestesi dermatom daerah vertebra servikalis 2 (C2). Setiap aktivitas yang meningkatkan tekanan intrakranial (misal, batuk,mengedan, mengangkat barang atau bersin) dapat memperburuk nyeri. Gejala tambahan adalah gangguan sensorik dan motorik pada tangan dengan pasien yang melaporkan kesulitan menulis atau memasang kancing. Perluasan tumor menyebabkan kuadraplegia spastik dan hilangnya sensasi secara bermakna. Gejala lainnya adalah pusing, disatria, disfagia, nistagmus, kesulitan bernafas, mual dan muntah, serta atrofi otot sternokleidomastiodeus dan trapezius. Temuan neurologik tidak selalu timbul tetapi dapat mencakup hiperrefleksia, rigiditas nuchal, gaya berjalan spastic, palsy N.IX sampai XI, dan kelemahan ekstremitas. o Tumor daerah servikal
Lesi daerah servikal menimbulkan gejala sensorik dan motorik mirip lesi radikular yang melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga melibatkan tangan. Keterlibatan tangan pada lesi servikalis bagian atas diduga disebabkan oleh kompresi suplai darah ke kornu anterior melaui arteria spinalis anterior. Pada umumnya terdapat kelemahan dan artrofi gelang bahu dan lengan. Tumor servikalis yang lebih rendah (C5, C6,C7) dapat menyebabkan hilangnya refleks tendon ekstremitas atas (biseps,brakhioradialis, triseps). Defisit sensorik membentang sepanjang tepi radial lengan bawah dan ibu jari pada kompresi C6, melibatkan jari tengah dan jari telunjuk pada lesi C7; dan lesi C7 menyebabkan hilangnya sensorik jari telunjuk dan jari tengah. o Tumor daerah thorakal
Penderita lesi daerah thorakal seringkali datang dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parastesia. Pasien dapat mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada dan abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat intrathorakal dan intraabdominal. Pada lesi thorakal bagian bawah, refleks perut bagian bawah dan tanda beevor dapat menghilan. o Tumor daerah lumbosakral
Kompresi segmen lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi kehilangan refleks lutut dan refleks pergelangan kaki dan tanda babynski bilateral. Nyeri umumnya dialihkan ke selangkangan. Lesi yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-segmen sakral bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot-otot perineum, betis dan kaki. Hilangnya sensasi daerah perianal dan genitalia yang disertai gangguan kontrol usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang mengenai daerah sakral bagian bawah. o Tumor kauda ekuina
Lesi dapat menyebabkan nyeri radikular yang dalam, kelemahan dan atrofi dari otot-otot termasuk gluteus, otot perut, gastrocnemius, dan otot anterior tibialis. Refleks APR mungkin menghilang, muncul gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tanda-tanda khas lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum dan perineum yang kadang-kadang menjalar ketungkai. Paralisis flaksid terjadi sesuai dengan radiks saraf yang terkena dan terkadang asimetris. Perjalanan klinis tumor berdasarkan letak tumor dalam kanalis spinalis o Lesi Ekstradural Perjalanan klinis yang lazim dari tumor ektradural adalah kompresi cepat akibat invasi tumor pada medula spinalis, kolaps kolumna vertebralis, atau perdarahan dari dalam metastasis. Begitu timbul gejala kompresi medula spinalis, maka dengan cepat fungsi medula spinalis akan hilang sama sekali. Kelemahan spastik dan hilangnya sensasi getar dan posisi sendi di bawah tingkat lesi merupakan tanda awal kompresi medula spinalis. o Lesi Intradural
Intradural Ekstramedular Lesi medula spinalis ekstramedular menyebabkan kompresi medula spinalis dan radiks saraf pada segmen yang terkena. Sindrom Brown-Sequard mungkin disebabkan oleh kompresi lateral medula spinalis. Sindrom akibat kerusakan separuh medula spenalis ini ditandai dengan tanda-tanda disfungsi traktus kortiko spinalis dan kolumna posterior ipsilateral di bawah tingkat lesi. Pasien mengeluh nyeri, mula-mula di punggung dan kemudian di sepanjang radiks spinal. Seperti pada tumor ekstradural, nyeri diperberat oleh traksi oleh gerakan, batuk, bersin atau mengedan, dan paling berat terjadi pada malam hari. Nyeri yang menghebat pada malam hari disebabkan oleh traksi pada radiks saraf yang sakit, yaitu sewaktu tulang belakang memanjang setelah hilangnya efek pemendekan dari gravitasi. Defisit sensorik mula-mula tidak jelas dan terjadi di bawah tingkat lesi (karena tumpah tindihdermatom). Defisit ini berangsur-angsur naik hingga di bawah tingkat segmen medula spinalis. Tumor pada sisi posterior dapat bermanifestasi sebagai parestesia dan selanjutnya defisit sens orik proprioseptif, yang menambahkan ataksia pada kelemahan. Tu mor yang terletak anterior dapat menyebabkan defisit sensorik ringan tetapi dapat menyebabkan gangguan motorik yang hebat. Intradural Intramedular Tumor-tumor intramedular tumbuh ke bagian tengah dari medula spinalis dan merusak serabut-serabut yang menyilang serta neuron-neuron substansia grisea. Kerusakan serabut-serabut yang menyilang ini mengakibatkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu bilateral yang meluas ke seluruh segmen yang terkena, yang pada gilirannya akan menyebabkan kerusakan pada kulit perifer. Sensasi raba, gerak, posisi dan getar umumnya utuh kecuali lesinya besar. Defisit sensasi nyeri dan suhu dengan utuhnya modalitas sensasi yang lain dikenal sebagai defisit sensorik yang terdisosiasi. Perubahan fungsi refleks renggangan otot terjadi kerusakan pada sel-sel kornu anterior. Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi disebabkan oleh keterlibatan neuron-neuron motorik bagian bawah. Gejala dan tanda lainnya adalah nyeri tumpul sesuai dengan tinggi lesi, impotensi pada pria dan gangguan sfingter.
7. Pemeriksaan Penunjang
Modalitas utama dalam pemeriksaan radiologis untuk mendiagnosa semua tipe tumor medulla spinalis adalah MRI. Alat ini dapat menunjukkan gambaran ruang dan kontras pada struktur medula spinalis dimana gambaran ini tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan yang lain.
Tumor pada pembungkus saraf dapat menyebabkan pembesaran foramen interverebralis. Lesi intramedular yang memanjang dapat menyebabkan erosi atau tampak berlekuk lekuk (scalloping) pada bagian posterior korpus vertebra serta pelebaran jarak interpendilkular. Mielograf selalu digabungkan dengan pemeriksaan CT. Tumorintradural – ekstramedular memberikan gambaran filling defect yang berbentuk bulat pada pemeriksaan myelogram. Lesi intramedular menyebabkan pelebaran fokal pada bayangan medula spinalis.
Pada pasien dengan tumor spinal, pemeriksaan CSS dapat bermanfaat untuk differensial diagnosa ataupun untuk memonitor terapi. Apabila terjadi obstruksi dari aliran CSS sebagai akibat dari ekspansi tumor, pasien dapat menderita hidrosefalus. Punksi lumbal harus dipertimbangkan secara hati- hati pada pasien tumor medulla spinalis dengan sakit kepala (terjadi peningkatan tekanan intracranial) Pemeriksaan CSS meliputi pemeriksaan sel-sel malignan (sitologi), protein dan glukosa. Konsentrasi protein yang tinggi serta kadar glukosa da n sitologi yang normal didapatkan pada tumor apabila telah menyebar ke selaput otak, kadar glukosa didapatkan rendah dan sitologi menunjukkan malignansi.