Httpratnatus . blogspot .co .id201208pandang
Kamis, 23 Agustus 2012
PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG MANUSIA DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
A.
PENDAHULUAN
Manusia dalam jagad raya ini adalah makhluk yang unik, keunikannya sangat
menarik dimata manusia sendiri, sehingga banyak kajian-kajian tentang manusia
yang terus berkembang karena memang pengetahuan manusia tentang dirinya
terbatas. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Al-Qur’an telah banyak
menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan manusia.
Untuk membangun sebuah konsepsi tentang siapa itu manusia Al-Qur’an
menjelaskan konsep manusia yang ditunjukkan dengan kata insan, basyar, bani
adamdan zuriyah Adam, serta an-naas dengan masing-masing penafsiran dan
kedudukannya.
Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan, maka dalam proses
mempersiapkan generasi penerus estafet kekholifahan yang sesuai dengan nilainilai ilahiyah, pendidikan yang ditawarkan harus mampu untuk mengembangkan
aspek-aspek kepribadian anak, baik jasmaniah maupun rohaniah, termasuk didalam
aspek individualitas, sosialitas, moralitas, maupun aspek religius. Sehingga dengan
pendidikan itu akan tercapai kehidupan yang harmonis, seimbang antara kebutuhan
fisik material dengan kebutuhan mental spiritual dan antara duniawiyah dan
ukhrowiyah. Sehingga pendidikan bukan hanya sekedar pewarisan nilai-nilai budaya
bangsa, dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Makalah ini akan membahas tentang“Pandangan Al-Qur’an Tentang Manusia Dan
Implikasinya Dalam Pendidikan” Untuk lebih jelas dan detailnya terkait dengan tema
diatas akan dijelasakan pada bagian pembahasan.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pandangan AL-Qur’an Tentang Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan
a.
Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al-Insan, alBasyr, Bani Adam dan Zuriyah Adam yang hal ini sebagai penolakan terhadap teori
Darwin tentang evolusi, bahwa manusia adalah keturunan dari kera serta an-Nas,
Adapun konsep manusia menurut Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1)
Insan
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak.
Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari pada yang
berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), ataunasa-yanusu
(berguncang) dan ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti “pergerakan
atau dinamisme”.[1] Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa
manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta
berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga
dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke
arah tindakan, sikap, serta prilaku negatif dan merugikan.[2]
2)
Basyar
Kata basyar terambil dari akar kata yang mulanya berarti penampakan sesuatu
dengan baik dan indah, dari akar yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan
kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadianmanusia
sebagai basyar melalui tahap-tahap. Disini tampak bahwa katabasyar dikaitkan
dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu
memikul tanggung jawab, sebab itu pula tugas kekhalifahan dipikulkan kepada
basyar seperti dijelaskan dalam Al Qur’an surat Ar-Ruum ayat 20:[3]
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& Nä3s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? ¢OèO !#sŒÎ) OçFRr&
Öt±o0šcrçŽÅ³tFZs? ÇËÉÈ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari
tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.[4]
3)
Bani Adam dan Zuriyah Adam
Bani Adam dan Zuriyah Adam, maksudnya ialah anak Adam atau keturunan Adam,
digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya.
[5] Penggunaan istilah banii Aadam dan Zuriyah Adam menunjukkan bahwa
manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera).
Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah
dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang
menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta)
dan bukan jamak (antum).[6]
4)
An-Naas
Manusia dilihat dari segala permasalahan hidupnya.[7] Kosa kata An- Naas dalam
Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan
laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling
kenal mengenal “berinterksi”. Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens
yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter
serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen
social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan
kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial.[8]
b. Manusia Dalam Pandangan Al-Qur’an
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki kedudukan yang sangat
mulia. Tetapi sebelum membahas tentang kedudukan, perlu diketahui tentang
esensi dan eksistensi manusia. Manusia memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai
abdullah dan khalifah sebagai utusan Tuhan dimuka bumi, disini harus bersentuhan
dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu
menjadikan ia bersifat kreatif dengan disemangati nilai-nilai trasendensi. Manusia
dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai
ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penjalan amanah Tuhan di muka bumi. Manusia
dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling
berkerjasama dalam rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar
merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap
Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan
diri kepada Tuhan. Beberapa hal yang terkait dengankedudukan manusia dalam
alam semesta menurut al-qur’an adalah sebagai berikut:
1) Manusia Sebagai Khalifah dimuka bumi
Al-Qur’an tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara
kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya
direncanakan untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka bumi
ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS. 2 :30).[9]
øŒÎ)ur tA$s% š•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ’ÎoTÎ) ×@Ïã%y` ’Îû ÇÚö‘F{$# Zpxÿ‹Î=yz ( (#þ
qä9$s%ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ߉šøÿム$pkŽÏù
à7Ïÿó¡o„ur uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ωôJpt¿2 â¨Ïd‰s)çRur y7s9 ( tA$s
% þ’ÎoTÎ)ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak
kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan
bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian :[10]
1) Orang yang diberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun
terbatas.
2) Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat
berbuat kesalahan dan kekeliruan.
Beranjak dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehubungan dengan makna
khalifah yakni unsur intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan
dengan manusia, alam raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur
ekstern (kaitannya dengan hubungan vertical) yaitu penugasan Allah kepada
manusia sebagai mandataris Allah dan pada hakekatnya eksistensi manusia dalam
kehidupan ini adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai
dengan kehendak penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut memang sangat berat.
Namun status ini menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas
petunjuk Allah. Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa kedudukan
manusia selaku makhluk ciptaan-Nya yang paling mulia.[11]
2) Hamba Allah (Abdul Allah)
Dalam konteks konsep abdul Allah, manusia harus menyadari betul akan dirinya
sebagai abdi. Hal ini berati bahwa manusia harus menempatkan dirinya sebagai
yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu allah SWT.
[12] Kedudukan sebagai hamba Allah ini memang menjadi tujuan Allah menciptakan
manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang artinya manusia berkewajiban
memaknai semua usaha dan kegiatannya sebagai ikhtiar dan realisasi
penghambaan diri kepada Allah termasuk melalui aktifitas pengelolaan alam raya
dengan kekuasaan yang dimilikinya guna memenuhi kebutuhan hidup.
[13] Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Adz-Dzariyat ayat:56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku (QS. Adz-Dzariyat ayat:56)[14]
c.
Implikasi Manusia Dalam Proses Pendidikan
Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari
proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi),[15] tidak jauh
berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan
pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu
mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik akhlak atau
moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah mendidik
kecakapan atau ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan
tangan (hand).[16] Berangkat dari arti penting pendidikan ini, Karnadi Hasan
memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai “Human
investment” yang berarti secara historis dan filosofis, pendidikan telah ikut
mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses humanisasi dan
pemberdayaan jati diri bangsa.[17]
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah raja hidup bagi setiap manusia.
Karena kita sadari bahwa tidak ada seorang pun yang lahir di dunia ini dalam
keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini
merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian
kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga
tidaklah sekali jadi. Ada proses penciptaan (khalq), proses penyempurnaan
(taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan
juga di berikannya petunjuk (hidayah). Dengan demikian menurut Sunnatullah
manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi
yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan yang terarah, teratur serta
berkesinambungan yang semuanya merupakan proses dalam rangka
penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari
kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl. secara rinci implikasi manusia dalam
proses pendidikan adalah sebagai berikut:[18]
1) Manusia sebagai orang yang mendidik:
(a) Menjadikan Allah sebagai sentral tujuan dan kurikulum pendidikan Islam.
(b) Menyajikan materi pendidikan yang diorientasikan agar anak didik mampu
mengenal Allah, mengenal diri sendiri, mengenal alam lingkungan sosial.
(c) Menyusun draf-draf materi pelajaran berdasarkan urutan, tingkatan, kemampuan
dan kebutuhannya. Dengan demikian setelah siswa menyelesaikan studinya ia
mampu menempatkan fungsinya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan
makhluk pengelola alam.
(d)Memberikan materi pelajaran yang harus dibatasi dengan ruang lingkupnya.
(e) Menjadikan alam sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan, objek
pendidikan, alat pendidikan, serta media pendidikan,[19] mengingat manusia
adalah pemanfaat dan penjaga kelestarian alam.[20]
2) Manusia sebagai orang yang dapat dididik (peserta didik):[21]
(a) Mengutamakan kesucian hatinya dari akhlak atau moral yang jelek dan sifatsifat yang tercela
(b) Mengurangi kesibukan pikiran dengan hal keduniaan, karena bilamana kurang
konsentrasi, maka sulit mencapai hakikat ilmu yang dipelajari.
(c) Harus patuh kepada perintah guru
(d)Hendaknya mempelajari semua cabang ilmu dan memperhatikan maksud dan
tujuannya.
(e) Tidak boleh mendalami suatu cabang ilmu yang lebih tinggi, sebelum
memahami betul ilmu yang sebelumnya. Karena ilmu-ilmu itu mempunyai tingkatan
sistematis dan sebagian ilmu itu merupakan jalan atau tangga untuk sapai pada
sebagian lainnya.
C.
ANALISIS DAN DISKUSI
1.
Analisis
Sesungguhnya pandangan Al-Qur’an terhadap manusia adalah pandangan yang
menyeluruh, terpadu, seimbang, dan tepat. Manusia bukan hanya berupa wujud
materi sebagaimana pandangan filosof-filosof materialistis. Manusia juga bukan
hanya roh yang terlepas dari raga, manusia menurut Al-Qur’an adalah terdiri dari
jiwa dan raga yang keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi,
manusia bukanlah seekor binatang yang akan habis riwayatnya dan lenyap
hidupnya setelah ia mati, manusia juga bukanlah makhluk yang paling tinggi dan
tidak ada sesuatu diatasnya namun manusia mempunyai keutamaan dan kelebihan
untuk berfikir, Saifuddin Anshori M.A dalam bukunya “Ilmu, Filsafat
Agama” mengatakan bahwa manusia adalah makhluk berfikir, berfikir adalah
bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari
kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan manusia adalah untuk
mencari suatu kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran akan penciptanya, sehingga
dengan begitu manusia akan selalu menjalakan tugas dan fungsinya sebagai
khalifah dimuka bumi dan sebagai hamba Allah. Jika dilihat dari segi kemampuan
dasar pedagogis, manusia dipandang sebagai homo edukandum yaitu makhluk
yang harus mendidik dan dididik. Manusia dapat mendidik dan dapat dididik karena
manusia mempunyai akal, mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan,
disamping manusia juga memiliki kemampuan untuk berkembang dan membentuk
dirinya sendiri.
2.
Diskusi
Implikasi al-insan, al-basyar, bani adam, dan an-naas dalam pendidikan
a. Implikasi al-insan dalam pendidikan dilihat dari arti al-insan itu sendiri
yangmengarah pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi,
maka dalam hal ini implikasi konsep al-insan dalam pendidikan adalah berupaya
untuk mengajarkan tentang bagaimana berkreasi dan berinovasi sehingga nantinya
manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu
pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan yang kemudian melalui
kemampuan berinovasi tersebut, manusia mampu merekayasa temuan-temuan
baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya
makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
b. Implikasi konsep al-basyar dalam pendidikan jika dilihat dari artinya
adalahkehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti
berkembang biak, makan dan minum. Sehingga dalam hal ini implikasi konsep albasyar dalam pendidikan adalah mengajarkan bagaimana manusia
mampumemenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan penciptanya, yakni
dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier selaku makhluk biologis.
c. Implikasi konsep bani adam dalam pendidikan jika dilihat dari artinya
adalahkonsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada
penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian karena pada dasarnya al- qur’an
menjelaskan bahwa manusia lebih unggul daripada makhluk lain sehingga dalam
konteks pendidikan implikasi konsep bani adam adalah mengajarkan akan anjuran
sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding
makhluk-Nya yang lain, seperti anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan
Allah. Di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya,
mengingatkan pada manusia agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang
mengajak kepada keingkaran, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta
dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya.
d. Implikasi konsep an-naas dalam pendidikan jika dilihat dari artinya konsep annaas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial,
sehingga dalam hal ini implikasi konsep an-naas dalam pendidikan adalah
mengajarkan bagaimana manusia hidup dilingkungan sosial sekaligus sebagai
makhluk sosial sehingga mampu membentuk pemahaman bahwa manusia harus
hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan.
D.
KESIMPULAN
1. Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan empat
macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-basyar kata basyar
mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahaptahap. Bani Adam dan Zuriyah Adam, maksudnya ialah anak Adam atau keturunan
Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya.
Sedangkan an-Naas adalah manusia jika dilihat dari segala permasalahan hidupnya.
2. Menelaah kedudukan manusia baik sebagai khalifah dimuka bumi dan sebagai
hamba Allah dalam rangka identifikasi posisi saja, sesungguhnya kedua posisi
tersebut sulit untuk dibedakan secara tegas. Posisi manusia sebagai khalifah
dimuka bumi berkuasa dan bertugas mengelola alam semesta untuk memenuhi
kebutuhan manusia guna melaksanakan kehidupannya. Posisi manusia sebaga
hamba Allah berarti ia berkewajiban memaknai semua usaha dan kegiatannya
sebagai ikhtiar dan realisasi penghambaan diri kepada Allah, termasuk melalui
aktifitas mengelola alam raya dengan kekuasaan yang dimilikinya guna memenuhi
kebutuhan hidup.
3. Secara singkat implikasi manusia dalam pendidikan adalah sebagai orang yang
mendidik dan sebagai orang yang dapat dididik
DAFTAR RUJUKAN
Abd. Mujib, Muhaimin, 1993, Pemikiran Pendidikan Kajian Filosofis Dan Kerangka
Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya
Al-Qur’an Digital20.--------- Al-Qur’an & Terjemahnya. Rajab 1424 September 2003.
Website : http ://geocities.com/al-qur’an indo.
Arifin, 2000, Filsafat Pendidikan Islam,Cet. VI, Jakarta: PT Bumi Aksara
El Habeb's, Najm, Kedudukan manusia dalam alam semesta (kajian filsafat
pendidikan), (http://www.blog.com, diakses pada 14 Oktober 2011
Hadhiri SP, Choiruddin, 2005, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jilid 1, Jakarta: Gema
Insani Press
Halimsani, filsafat-manusia-siapakah-manusia, (http://www.wordpress.com, Diskses
pada 14 Oktober 2011
Ikah Rohilah, hakikat manusia dalam al-Qur’an, (http://www.wordpress.com, diakses
pada 14 Oktober 2011)
Jalaludin, 2001, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika Islam dan Budaya
Jawa, No 3 tahun 2000, (Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000)
Muhammad, Abubakar, tt, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut Al-Qur’an,
Surabaya: Al-Ikhlas
Paulo freire dalam Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman (pilihan Artikel basis).
Sinhunata (ed), Kanisius, 2001 sebagaimana dikutip dalam Resensi Amanat, Edisi
84/Februari 2001
Shihab, Quraish, 2001, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan Media Utama
Shihab, Quraisy, 2003, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat”, Bandung: Mizan, Cet. XXV
Syar’i, Ahmad, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firda
[1] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan Media Utama, 2001) 280
[2] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001) 21
[3] Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat 278279
[4] Al-Qur’an Digital20.--------- Al-Qur’an & Terjemahnya. Rajab 1424 September
2003. Website : http ://geocities.com/al-qur’an indo.
[5] Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat , 278
[6] Ikah Rohilah, hakikat manusia dalam al-Qur’an, (http://www.wordpress.com,
diakses pada 14 Oktober 2011)
[7] Choiruddin Hadhiri SP, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jilid 1 (Jakarta: Gema
Insani Press 2005) 56
[8] Najm El habeb’s, Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta (Kajian Filsafat
Pendidikan),(http://www.blogspot.com, diakses pada 14 Oktober 2011)
[9]Halimsani, filsafat-manusiasiapakah-manusia (http://www.wordpress.com,
Diskses pada 14 Oktober 2011
[10] M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat” ( Bandung: Mizan Cet. XXV 2003) 158
[11] Najm El Habeb's blog.html, loc.cit, diakses pada 14 Oktober 2011
[12] Ibid.,
[13] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus 2005) 13-14
[14] Al-Qur’an Digital 20
[15] Paulo freire dalam Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman (pilihan Artikel
basis). Sinhunata (ed), Kanisius, 2001 sebagaimana dikutip dalam Resensi Amanat,
Edisi 84/Februari 2001 16
[16] Prof. H.M. Arifin, M. Ed., Filsafat Pendidikan Islam Cet. VI (Jakarta: PT Bumi
Aksara 2000) 57
[17] Karnadi Hasan, “Konsep Pedidikan Jawa” dalam : Jurnal Dinamika Islam dan
Budaya Jaw No 3 tahun 2000 (Pusat Pengkajian Islam Strategis IAIN Walisongo
2000) 29
[18]Muhaimin, Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Kajian Filosofis Dan Kerangka Dasar
Operasionalnya (Bandung: Trigenda Karya 1993) 76
[19] Ibid., 67
[20] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm.
13
[21] Abubakar Muhammad, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut Al-Qur’an
(Surabaya: Al-Ikhlas tt) 212-213
PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG MANUSIA DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
A.
PENDAHULUAN
Manusia dalam jagad raya ini adalah makhluk yang unik, keunikannya sangat
menarik dimata manusia sendiri, sehingga banyak kajian-kajian tentang manusia
yang terus berkembang karena memang pengetahuan manusia tentang dirinya
terbatas. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Al-Qur’an telah banyak
menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan manusia.
Untuk membangun sebuah konsepsi tentang siapa itu manusia Al-Qur’an
menjelaskan konsep manusia yang ditunjukkan dengan kata insan, basyar, bani
adamdan zuriyah Adam, serta an-naas dengan masing-masing penafsiran dan
kedudukannya.
Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan, maka dalam proses
mempersiapkan generasi penerus estafet kekholifahan yang sesuai dengan nilainilai ilahiyah, pendidikan yang ditawarkan harus mampu untuk mengembangkan
aspek-aspek kepribadian anak, baik jasmaniah maupun rohaniah, termasuk didalam
aspek individualitas, sosialitas, moralitas, maupun aspek religius. Sehingga dengan
pendidikan itu akan tercapai kehidupan yang harmonis, seimbang antara kebutuhan
fisik material dengan kebutuhan mental spiritual dan antara duniawiyah dan
ukhrowiyah. Sehingga pendidikan bukan hanya sekedar pewarisan nilai-nilai budaya
bangsa, dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Makalah ini akan membahas tentang“Pandangan Al-Qur’an Tentang Manusia Dan
Implikasinya Dalam Pendidikan” Untuk lebih jelas dan detailnya terkait dengan tema
diatas akan dijelasakan pada bagian pembahasan.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pandangan AL-Qur’an Tentang Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan
a.
Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al-Insan, alBasyr, Bani Adam dan Zuriyah Adam yang hal ini sebagai penolakan terhadap teori
Darwin tentang evolusi, bahwa manusia adalah keturunan dari kera serta an-Nas,
Adapun konsep manusia menurut Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1)
Insan
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak.
Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari pada yang
berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), ataunasa-yanusu
(berguncang) dan ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti “pergerakan
atau dinamisme”.[1] Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa
manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta
berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga
dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke
arah tindakan, sikap, serta prilaku negatif dan merugikan.[2]
2)
Basyar
Kata basyar terambil dari akar kata yang mulanya berarti penampakan sesuatu
dengan baik dan indah, dari akar yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan
kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadianmanusia
sebagai basyar melalui tahap-tahap. Disini tampak bahwa katabasyar dikaitkan
dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu
memikul tanggung jawab, sebab itu pula tugas kekhalifahan dipikulkan kepada
basyar seperti dijelaskan dalam Al Qur’an surat Ar-Ruum ayat 20:[3]
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& Nä3s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? ¢OèO !#sŒÎ) OçFRr&
Öt±o0šcrçŽÅ³tFZs? ÇËÉÈ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari
tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.[4]
3)
Bani Adam dan Zuriyah Adam
Bani Adam dan Zuriyah Adam, maksudnya ialah anak Adam atau keturunan Adam,
digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya.
[5] Penggunaan istilah banii Aadam dan Zuriyah Adam menunjukkan bahwa
manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera).
Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah
dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang
menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta)
dan bukan jamak (antum).[6]
4)
An-Naas
Manusia dilihat dari segala permasalahan hidupnya.[7] Kosa kata An- Naas dalam
Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan
laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling
kenal mengenal “berinterksi”. Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens
yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter
serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen
social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan
kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial.[8]
b. Manusia Dalam Pandangan Al-Qur’an
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki kedudukan yang sangat
mulia. Tetapi sebelum membahas tentang kedudukan, perlu diketahui tentang
esensi dan eksistensi manusia. Manusia memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai
abdullah dan khalifah sebagai utusan Tuhan dimuka bumi, disini harus bersentuhan
dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu
menjadikan ia bersifat kreatif dengan disemangati nilai-nilai trasendensi. Manusia
dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai
ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penjalan amanah Tuhan di muka bumi. Manusia
dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling
berkerjasama dalam rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar
merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap
Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan
diri kepada Tuhan. Beberapa hal yang terkait dengankedudukan manusia dalam
alam semesta menurut al-qur’an adalah sebagai berikut:
1) Manusia Sebagai Khalifah dimuka bumi
Al-Qur’an tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara
kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya
direncanakan untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka bumi
ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS. 2 :30).[9]
øŒÎ)ur tA$s% š•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ’ÎoTÎ) ×@Ïã%y` ’Îû ÇÚö‘F{$# Zpxÿ‹Î=yz ( (#þ
qä9$s%ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ߉šøÿム$pkŽÏù
à7Ïÿó¡o„ur uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ωôJpt¿2 â¨Ïd‰s)çRur y7s9 ( tA$s
% þ’ÎoTÎ)ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak
kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan
bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian :[10]
1) Orang yang diberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun
terbatas.
2) Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat
berbuat kesalahan dan kekeliruan.
Beranjak dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehubungan dengan makna
khalifah yakni unsur intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan
dengan manusia, alam raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur
ekstern (kaitannya dengan hubungan vertical) yaitu penugasan Allah kepada
manusia sebagai mandataris Allah dan pada hakekatnya eksistensi manusia dalam
kehidupan ini adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai
dengan kehendak penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut memang sangat berat.
Namun status ini menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas
petunjuk Allah. Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa kedudukan
manusia selaku makhluk ciptaan-Nya yang paling mulia.[11]
2) Hamba Allah (Abdul Allah)
Dalam konteks konsep abdul Allah, manusia harus menyadari betul akan dirinya
sebagai abdi. Hal ini berati bahwa manusia harus menempatkan dirinya sebagai
yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu allah SWT.
[12] Kedudukan sebagai hamba Allah ini memang menjadi tujuan Allah menciptakan
manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang artinya manusia berkewajiban
memaknai semua usaha dan kegiatannya sebagai ikhtiar dan realisasi
penghambaan diri kepada Allah termasuk melalui aktifitas pengelolaan alam raya
dengan kekuasaan yang dimilikinya guna memenuhi kebutuhan hidup.
[13] Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Adz-Dzariyat ayat:56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku (QS. Adz-Dzariyat ayat:56)[14]
c.
Implikasi Manusia Dalam Proses Pendidikan
Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari
proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi),[15] tidak jauh
berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan
pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu
mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik akhlak atau
moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah mendidik
kecakapan atau ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan
tangan (hand).[16] Berangkat dari arti penting pendidikan ini, Karnadi Hasan
memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai “Human
investment” yang berarti secara historis dan filosofis, pendidikan telah ikut
mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses humanisasi dan
pemberdayaan jati diri bangsa.[17]
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah raja hidup bagi setiap manusia.
Karena kita sadari bahwa tidak ada seorang pun yang lahir di dunia ini dalam
keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini
merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian
kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga
tidaklah sekali jadi. Ada proses penciptaan (khalq), proses penyempurnaan
(taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan
juga di berikannya petunjuk (hidayah). Dengan demikian menurut Sunnatullah
manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi
yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan yang terarah, teratur serta
berkesinambungan yang semuanya merupakan proses dalam rangka
penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari
kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl. secara rinci implikasi manusia dalam
proses pendidikan adalah sebagai berikut:[18]
1) Manusia sebagai orang yang mendidik:
(a) Menjadikan Allah sebagai sentral tujuan dan kurikulum pendidikan Islam.
(b) Menyajikan materi pendidikan yang diorientasikan agar anak didik mampu
mengenal Allah, mengenal diri sendiri, mengenal alam lingkungan sosial.
(c) Menyusun draf-draf materi pelajaran berdasarkan urutan, tingkatan, kemampuan
dan kebutuhannya. Dengan demikian setelah siswa menyelesaikan studinya ia
mampu menempatkan fungsinya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan
makhluk pengelola alam.
(d)Memberikan materi pelajaran yang harus dibatasi dengan ruang lingkupnya.
(e) Menjadikan alam sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan, objek
pendidikan, alat pendidikan, serta media pendidikan,[19] mengingat manusia
adalah pemanfaat dan penjaga kelestarian alam.[20]
2) Manusia sebagai orang yang dapat dididik (peserta didik):[21]
(a) Mengutamakan kesucian hatinya dari akhlak atau moral yang jelek dan sifatsifat yang tercela
(b) Mengurangi kesibukan pikiran dengan hal keduniaan, karena bilamana kurang
konsentrasi, maka sulit mencapai hakikat ilmu yang dipelajari.
(c) Harus patuh kepada perintah guru
(d)Hendaknya mempelajari semua cabang ilmu dan memperhatikan maksud dan
tujuannya.
(e) Tidak boleh mendalami suatu cabang ilmu yang lebih tinggi, sebelum
memahami betul ilmu yang sebelumnya. Karena ilmu-ilmu itu mempunyai tingkatan
sistematis dan sebagian ilmu itu merupakan jalan atau tangga untuk sapai pada
sebagian lainnya.
C.
ANALISIS DAN DISKUSI
1.
Analisis
Sesungguhnya pandangan Al-Qur’an terhadap manusia adalah pandangan yang
menyeluruh, terpadu, seimbang, dan tepat. Manusia bukan hanya berupa wujud
materi sebagaimana pandangan filosof-filosof materialistis. Manusia juga bukan
hanya roh yang terlepas dari raga, manusia menurut Al-Qur’an adalah terdiri dari
jiwa dan raga yang keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi,
manusia bukanlah seekor binatang yang akan habis riwayatnya dan lenyap
hidupnya setelah ia mati, manusia juga bukanlah makhluk yang paling tinggi dan
tidak ada sesuatu diatasnya namun manusia mempunyai keutamaan dan kelebihan
untuk berfikir, Saifuddin Anshori M.A dalam bukunya “Ilmu, Filsafat
Agama” mengatakan bahwa manusia adalah makhluk berfikir, berfikir adalah
bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari
kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan manusia adalah untuk
mencari suatu kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran akan penciptanya, sehingga
dengan begitu manusia akan selalu menjalakan tugas dan fungsinya sebagai
khalifah dimuka bumi dan sebagai hamba Allah. Jika dilihat dari segi kemampuan
dasar pedagogis, manusia dipandang sebagai homo edukandum yaitu makhluk
yang harus mendidik dan dididik. Manusia dapat mendidik dan dapat dididik karena
manusia mempunyai akal, mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan,
disamping manusia juga memiliki kemampuan untuk berkembang dan membentuk
dirinya sendiri.
2.
Diskusi
Implikasi al-insan, al-basyar, bani adam, dan an-naas dalam pendidikan
a. Implikasi al-insan dalam pendidikan dilihat dari arti al-insan itu sendiri
yangmengarah pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi,
maka dalam hal ini implikasi konsep al-insan dalam pendidikan adalah berupaya
untuk mengajarkan tentang bagaimana berkreasi dan berinovasi sehingga nantinya
manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu
pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan yang kemudian melalui
kemampuan berinovasi tersebut, manusia mampu merekayasa temuan-temuan
baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya
makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
b. Implikasi konsep al-basyar dalam pendidikan jika dilihat dari artinya
adalahkehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti
berkembang biak, makan dan minum. Sehingga dalam hal ini implikasi konsep albasyar dalam pendidikan adalah mengajarkan bagaimana manusia
mampumemenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan penciptanya, yakni
dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier selaku makhluk biologis.
c. Implikasi konsep bani adam dalam pendidikan jika dilihat dari artinya
adalahkonsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada
penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian karena pada dasarnya al- qur’an
menjelaskan bahwa manusia lebih unggul daripada makhluk lain sehingga dalam
konteks pendidikan implikasi konsep bani adam adalah mengajarkan akan anjuran
sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding
makhluk-Nya yang lain, seperti anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan
Allah. Di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya,
mengingatkan pada manusia agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang
mengajak kepada keingkaran, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta
dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya.
d. Implikasi konsep an-naas dalam pendidikan jika dilihat dari artinya konsep annaas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial,
sehingga dalam hal ini implikasi konsep an-naas dalam pendidikan adalah
mengajarkan bagaimana manusia hidup dilingkungan sosial sekaligus sebagai
makhluk sosial sehingga mampu membentuk pemahaman bahwa manusia harus
hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan.
D.
KESIMPULAN
1. Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan empat
macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-basyar kata basyar
mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahaptahap. Bani Adam dan Zuriyah Adam, maksudnya ialah anak Adam atau keturunan
Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya.
Sedangkan an-Naas adalah manusia jika dilihat dari segala permasalahan hidupnya.
2. Menelaah kedudukan manusia baik sebagai khalifah dimuka bumi dan sebagai
hamba Allah dalam rangka identifikasi posisi saja, sesungguhnya kedua posisi
tersebut sulit untuk dibedakan secara tegas. Posisi manusia sebagai khalifah
dimuka bumi berkuasa dan bertugas mengelola alam semesta untuk memenuhi
kebutuhan manusia guna melaksanakan kehidupannya. Posisi manusia sebaga
hamba Allah berarti ia berkewajiban memaknai semua usaha dan kegiatannya
sebagai ikhtiar dan realisasi penghambaan diri kepada Allah, termasuk melalui
aktifitas mengelola alam raya dengan kekuasaan yang dimilikinya guna memenuhi
kebutuhan hidup.
3. Secara singkat implikasi manusia dalam pendidikan adalah sebagai orang yang
mendidik dan sebagai orang yang dapat dididik
DAFTAR RUJUKAN
Abd. Mujib, Muhaimin, 1993, Pemikiran Pendidikan Kajian Filosofis Dan Kerangka
Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya
Al-Qur’an Digital20.--------- Al-Qur’an & Terjemahnya. Rajab 1424 September 2003.
Website : http ://geocities.com/al-qur’an indo.
Arifin, 2000, Filsafat Pendidikan Islam,Cet. VI, Jakarta: PT Bumi Aksara
El Habeb's, Najm, Kedudukan manusia dalam alam semesta (kajian filsafat
pendidikan), (http://www.blog.com, diakses pada 14 Oktober 2011
Hadhiri SP, Choiruddin, 2005, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jilid 1, Jakarta: Gema
Insani Press
Halimsani, filsafat-manusia-siapakah-manusia, (http://www.wordpress.com, Diskses
pada 14 Oktober 2011
Ikah Rohilah, hakikat manusia dalam al-Qur’an, (http://www.wordpress.com, diakses
pada 14 Oktober 2011)
Jalaludin, 2001, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika Islam dan Budaya
Jawa, No 3 tahun 2000, (Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000)
Muhammad, Abubakar, tt, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut Al-Qur’an,
Surabaya: Al-Ikhlas
Paulo freire dalam Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman (pilihan Artikel basis).
Sinhunata (ed), Kanisius, 2001 sebagaimana dikutip dalam Resensi Amanat, Edisi
84/Februari 2001
Shihab, Quraish, 2001, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan Media Utama
Shihab, Quraisy, 2003, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat”, Bandung: Mizan, Cet. XXV
Syar’i, Ahmad, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firda
[1] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan Media Utama, 2001) 280
[2] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001) 21
[3] Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat 278279
[4] Al-Qur’an Digital20.--------- Al-Qur’an & Terjemahnya. Rajab 1424 September
2003. Website : http ://geocities.com/al-qur’an indo.
[5] Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat , 278
[6] Ikah Rohilah, hakikat manusia dalam al-Qur’an, (http://www.wordpress.com,
diakses pada 14 Oktober 2011)
[7] Choiruddin Hadhiri SP, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jilid 1 (Jakarta: Gema
Insani Press 2005) 56
[8] Najm El habeb’s, Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta (Kajian Filsafat
Pendidikan),(http://www.blogspot.com, diakses pada 14 Oktober 2011)
[9]Halimsani, filsafat-manusiasiapakah-manusia (http://www.wordpress.com,
Diskses pada 14 Oktober 2011
[10] M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat” ( Bandung: Mizan Cet. XXV 2003) 158
[11] Najm El Habeb's blog.html, loc.cit, diakses pada 14 Oktober 2011
[12] Ibid.,
[13] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus 2005) 13-14
[14] Al-Qur’an Digital 20
[15] Paulo freire dalam Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman (pilihan Artikel
basis). Sinhunata (ed), Kanisius, 2001 sebagaimana dikutip dalam Resensi Amanat,
Edisi 84/Februari 2001 16
[16] Prof. H.M. Arifin, M. Ed., Filsafat Pendidikan Islam Cet. VI (Jakarta: PT Bumi
Aksara 2000) 57
[17] Karnadi Hasan, “Konsep Pedidikan Jawa” dalam : Jurnal Dinamika Islam dan
Budaya Jaw No 3 tahun 2000 (Pusat Pengkajian Islam Strategis IAIN Walisongo
2000) 29
[18]Muhaimin, Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Kajian Filosofis Dan Kerangka Dasar
Operasionalnya (Bandung: Trigenda Karya 1993) 76
[19] Ibid., 67
[20] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm.
13
[21] Abubakar Muhammad, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut Al-Qur’an
(Surabaya: Al-Ikhlas tt) 212-213