Analisa Sistem Pengaku (Stiffener) pada Gelagar Pelat Girder Penampang - I

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Jembatan merupakan sebuah struktur yang sengaja dibangun untuk
menyeberangi jurang atau rintangan seperti sungai, lembah, rel kereta api maupun
jalan raya. Struktur jembatan dapat terbuat dari bahan baja, beton bertulang, dan
komposit (baja dan beton bertulang).
Dalam tugas akhir ini, yang dibahas adalah mengenai jembatan yang
terbuat dari baja. Jembatan baja adalah jembatan yang mayoritas bahannya dari
baja, sedangkan untuk konstruksinya tergantung pada jenis jembatan yang akan
dibuat. Baja telah banyak dikenal dalam dunia konstruksi.
Baja merupakan bahan elemen struktur yang memiliki ketahanan terhadap
kekuatan tarik tetapi cukup lemah dalam menahan tekan, dimana bahan penyusun
umumnya berupa Besi (Fe) dan Carbon (C) dimana memiliki tambahan bahan
penyusun seperti mangan, batu kapur, Fosfor , dan Sulfur .
Baja yang akan digunakan dalam struktur dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Baja karbon, dibagi menjadi 3 kategori tergantung dari persentase
karbonnya, yaitu baja karbon rendah (C = 0,03 - 0,35%), baja karbon
medium (C = 0,35 – 0,50%), dan baja karbon tinggi (C= 0,55 – 1,70%).
Baja yang sering digunakan dalam struktur adalah baja karbon medium,
misalnya baja BJ 37.

2. Baja paduan rendah mutu tinggi, atau disebut juga HSLA (high strengthlow alloy stell) dimana memiliki tegangan leleh berkisar antara 290-550

Mpa dengan tegangan putus 415-700 Mpa.

6
Universitas Sumatera Utara

7

3. Baja paduan rendah ( low alloy), umumnya hasil tempaan dengan
pemanasan untuk memperoleh tegangan leleh antara 550-760 Mpa.

Gambar 2.1 Hubungan tegangan – regangan tipikal
(sumber: Buku Perencanaan Struktur Baja-A.Setiawan Hal 18)

2.2 Sifat – Sifat Mekanik Baja
Agar dapat memahami perilaku suatu struktur baja, maka seorang ahli
struktur harus memahami pula sifat-sifat mekanis dari baja. Model pengujian yang
paling tepat untuk mendapatkan sifat-sifat mekanik dari material baja, adalah


Universitas Sumatera Utara

8

dengan melakukan uji tarik terhadap suatu benda uji baja. Uji tekan tidak dapat
memberikan data yang akurat terhadap sifat-sifat mekanik material baja, karena
disebabkan adanya kemungkinan terjadinya tekuk pada benda uji, yang
mengakibatkan adanya ketidakstabilan dari benda uji tersebut, selain itu
perhitungan tegangan yang terjadi pada benda uji lebih mudah dilakukan untuk uji
tarik daripada uji tekan.
Dan setelah dilakukan uji tekan, maka hasilnya akan dibuat dalam suatu
bentuk kurva Tegangan–Regangan untuk melihat laju regangannya terhadap
pengaruh tegangannya. Nilai tegangan (f) yang terjadi dalam benda uji diplot
dalam sumbu vertikal, sedangkan regangan (ε) yang merupakan perbandingan
antara pertambahan panjang terhadap panjang mula-mula (ΔL/L) yang diplot
dengan sumbu horizontal.

Gambar 2.2 Kurva Hubungan Tegangan (f) vs Regangan (ε)
(sumber: Buku Perencanaan Struktur Baja-A.Setiawan Hal 19)


Universitas Sumatera Utara

9

Gambar 2.3 Bagian Kurva Tegangan – Regangan yang Diperbesar
(sumber: Buku Perencanaan Struktur Baja-A.Setiawan Hal 19)
Titik – titik penting dalam kurva tegangan – regangan antara lain adalah:
: batas proporsional
: batas elastis
: tegangan leleh atas dan bawah
: tegangan putus
: regangan saat mulai terjadi efek strain-hardening (penguatan regangan)
: regangan saat tercapainya tegangan putus
Titik – titik penting ini membagi kurva tegangan – regangan menjadi beberapa
daerah sebagai berikut:
1. Daerah linier antara 0 dan

, dalam daerah ini berlaku Hukum Hooke,

kemiringan dari bagian kurva yang lurus ini disebut sebagai Modulus

Elastisitas atau Modulus Young,



.

Universitas Sumatera Utara

10

2. Daerah elastis antara 0 dan

pada daerah ini jika beban dihilangkan

maka benda uji akan kembali ke bentuk semula atau dikatakan bahwa
benda uji tersebut masih bersifat elastis.
3. Daerah plastis yang dibatasi oleh regangan antara 1,2-1,5% hingga 2%,
dimana pada bagian ini regangan mengalami kenaikan akibat tegangan
konstan sebesar


. Daerah ini dapat menunjukkan pula tingkat daktilitas

dari material baja tersebut. Perlu diketahui bahwa pada baja mutu tinggi
terdapat pula daerah plastis, namun pada daerah ini tegangan masih
mengalami kenaikan. Karena itu baja jenis ini tidak mempunyai daerah
plastis yang benar-benar datar sehingga tak dapat dipakai dalam analisa
plastis.
4. Daerah penguatan regangan (strain-hardening) antara

dan

. Untuk

regangan lebih besar dari 15-20 kali regangan elastis maksimum, tegangan
kembali mengalami kenaikan namun dengan kemiringan yang lebih kecil
dari daerah elastis. Daerah ini dinamakan daerah penguatan regangan
(strain-hardening), yang berlanjut hingga mencapai tegangan putus.
Kemiringan daerah ini dinamakan modulus penguatan regangan (

).


2.3 Tipe-Tipe Jembatan
Ditinjau dari sistem strukturnya maka jembatan dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut:
1. Jembatan lengkung (arch bridge).
Pelengkung adalah bentuk struktur non linier yang mempunyai
kemampuan sangat tinggi terhadap respon momen lengkung. Yang
membedakan bentuk pelengkung dengan bentuk – bentuk lainnya adalah

Universitas Sumatera Utara

11

bahwa kedua perletakan ujungnya berupa sendi sehingga pada perletakan
tidak diijinkan adanya pergerakan kearah horisontal. Bentuk jembatan
lengkung hanya bisa dipakai apabila tanah pendukung kuat dan stabil.
Jembatan tipe lengkung lebih efisien digunakan untuk jembatan dengan
panjang bentang 100 – 300 meter.
2. Jembatan gelagar (beam bridge).
Jembatan bentuk gelagar terdiri lebih dari satu gelagar tunggal yang

terbuat dari beton, baja atau beton prategang. Jembatan jenis ini dirangkai
dengan menggunakan diafragma , dan umumnya menyatu secara kaku
dengan pelat yang merupakan lantai lalu lintas. Jembatan ini digunakan
untuk variasi panjang bentang 5 – 40 meter.
3. Jembatan cable-stayed
Jembatan cable-stayed menggunakan kabel sebagai elemen pemikul lantai
lalu lintas. Pada cable-stayed kabel langsung ditumpu oleh tower .
Jembatan cable-stayed merupakan gelagar menerus dengan tower satu atau
lebih yang terpasang diatas pilar – pilar jembatan ditengah bentang.
Jembatan cable-stayed memiliki titik pusat massa yang relatif rendah
posisinya sehingga jembatan tipe ini sangat baik digunakan pada daerah
dengan resiko gempa dan digunakan untuk variasi panjang bentang 100 600 meter.
4. Jembatan gantung (suspension bridge)
Sistem struktur dasar jembatan gantung berupa kabel utama (main cable)
yang memikul kabel gantung (suspension bridge). Lantai lalu lintas
jembatan biasanya tidak terhubungkan langsung dengan pilar, karena

Universitas Sumatera Utara

12


prinsip pemikulan gelagar terletak pada kabel. Apabila terjadi beban angin
dengan intensitas tinggi jembatan dapat ditutup dan arus lalu lintas
dihentikan. Hal ini untuk mencegah sulitnya mengemudi kendaraan dalam
goyangan

yang

tinggi.

Pemasangan

gelagar

jembatan

gantung

dilaksanakan setelah sistem kabel terpasang, dan kabel sekaligus
merupakan bagian dari struktur launching jembatan. Jembatan ini

umumnya digunakan untuk panjang bentang sampai 1400 meter.

5. Jembatan beton prategang (prestressed concrete bridge)
Jembatan beton prategang merupakan suatu perkembangan mutakhir dari
bahan beton. Pada Jembatan beton prategang diberikan gaya prategang
awal yang dimaksudkan untuk mengimbangi tegangan yang terjadi akibat
beban. Jembatan beton prategang dapat dilaksanakan dengan dua sistem
yaitu post tensioning dan pre tensioning. Pada sistem post tensioning
tendon prategang ditempatkan di dalam duct setelah beton mengeras dan
transfer gaya prategang dari tendon pada beton dilakukan dengan
penjangkaran di ujung gelagar. Pada pre tensioning beton dituang
mengelilingi tendon prategang yang sudah ditegangkan terlebih dahulu
dan transfer gaya prategang terlaksana karena adanya ikatan antara beton
dengan tendon. Jembatan beton prategang sangat efisien karena analisa
penampang berdasarkan penampang utuh. Jembatan jenis ini digunakan
untuk variasi bentang jembatan 20 - 40 meter.

Universitas Sumatera Utara

13


6. Jembatan rangka (truss bridge)
Jembatan rangka umumnya terbuat dari baja, dengan bentuk dasar berupa
segitiga. Elemen rangka dianggap bersendi pada kedua ujungnya sehingga
setiap batang hanya menerima gaya aksial tekan atau tarik saja. Jembatan
rangka merupakan salah satu jembatan tertua dan dapat dibuat dalam
beragam variasi bentuk, sebagai gelagar sederhana, lengkung atau
kantilever. Jembatan ini digunakan untuk variasi panjang bentang 50 – 100
meter.

7. Jembatan box girder
Jembatan box girder umumnya terbuat dari baja atau beton konvensional
maupun prategang. box girder terutama digunakan sebagai gelagar
jembatan, dan dapat dikombinasikan dengan sistem jembatan gantung,
cable-stayed maupun bentuk pelengkung. Manfaat utama dari box girder

adalah momen inersia yang tinggi dalam kombinasi dengan berat sendiri
yang relatif ringan karena adanya rongga ditengah penampang. box girder
dapat diproduksi dalam berbagai bentuk, tetapi bentuk trapesium adalah
yang paling banyak digunakan. Rongga di tengah box memungkinkan

pemasangan tendon prategang diluar penampang beton. Jenis gelagar ini
biasanya dipakai sebagai bagian dari gelagar segmental, yang kemudian
disatukan dengan sistem prategang post tensioning. Analisa full
prestressing suatu desain dimana pada penampang tidak diperkenankan

adanya gaya tarik, menjamin kontinuitas dari gelagar pada pertemuan
segmen. Jembatan ini digunakan untuk variasi panjang bentang 20 – 40
meter.

Universitas Sumatera Utara

14

2.4 Jenis Gelagar
Gelagar atau balok ada 2 jenis:
1. Gelagar Tunggal
Gelagar tunggal merupakan komponen struktur yang memikul bebanbeban gravitasi, seperti beban mati dan beban hidup. Komponen struktur
gelagar merupakan kombinasi dari elemen tekan dan tarik. Dengan kata
lain gelagar tunggal merupakan profil baja gilas panas dengan dimensi
terbesar yang mampu memikul beban yang bekerja.

Gambar 2.4 Penampang Gelagar Tunggal
sumber: Setiawan, A. (2008)

2. Gelagar Tersusun
Gelagar tersusun atau yang sering disebut dengan balok girder merupakan
komponen struktur lentur yang tersusun dari beberapa elemen pelat. Balok
girder pada dasarnya adalah sebuah balok dengan ukuran penampang
melintang yang besar serta bentang yang panjang. Penampang melintang
yang besar tersebut merupakan konsekuensi dari panjang bentang balok.
Jika profil baja yang terbesar masih kurang cukup untuk memikul beban
yang bekerja akibat panjangnya bentang, maka langkah awal yang
dilakukan adalah dengan menambahkan elemen pelat pada salah satu atau
kedua flens profil. Jika masih belum mampu memberikan tahanan momen

Universitas Sumatera Utara

15

yang mencukupi, maka akan dibuat elemen pelat pada bagian web profil.
(Setiawan, A. (2008)

Gambar 2.5 Penampang Gelagar Tersusun (Balok Girder)
sumber: Setiawan, A. (2008)

2.5 Balok Pelat Berdinding Penuh (Balok Girder)
Pada dasarnya balok pelat berdinding penuh adalah merupakan sebuah
balok yang tinggi. Gambar 2.6 menunjukkan kurva hubungan antara kuat momen
nominal

vs rasio λ. Batasan untuk tekuk torsi lateral (Gambar 2.6.a) hanya

berlaku untuk penampang yang kompak.

Universitas Sumatera Utara

16

Gambar 2.6 Kondisi Batas untuk Balok Terlentur
sumber: Setiawan, A. (2008)

Kuat momen nominal,

, untuk penampang yang tak kompak

harus ditentukan berdasarkan ketiga macam kondisi batas, yaitu
tekuk torsi lateral, tekuk local flens serta tekuk local web. Nilai

yang terkecil

Universitas Sumatera Utara

17

dari ketiganya adalah nilai yang menentukan besarnya kuat momen nominal dari
suatu komponen struktur terlentur.
Profil baja dengan web yang langsing ,



(

⁄√

dikategorikan sebagai balok pelat berdinding penuh. Penampang dengan nilai
tidak melebihi

akan mampu mencapai

),

tanpa mengalami tekuk elastis. Kuat

lentur dan geser dari suatu balok pelat berdinding penuh sangat tergantung dari
web profil, web yang langsing akan menimbulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Tekuk akibat lentur pada bidang web, akan mengurangi efisiensi dari
web untuk memikul momen lentur
2. Tekuk pada flens tekan dalam arah vertikal akibat kurang kakunya web
3. Tekuk akibat geser
Hal khusus yang dijumpai pada komponen struktur balok pelat berdinding
penuh ialah adanya pemasangan pengaku melintang (stiffener ). Perencanaan
pengaku yang tepat dapat meningkatkan kuat geser pasca tekuk (post buckling
strength) dari balok pelat berdinding penuh. Pengaku yang dipasang pada balok

berdinding penuh akan mengakibatkan balok tersebut memiliki perilaku seperti
rangka batang, bagian web akan memikul gaya tarik diagonal sedangkan pengaku
akan memikul gaya tekan. Perilaku ini disebut sebagai aksi medan tarik (tensionfield action) (Setiawan, A. , 2008)

Menurut (Salmon, C.G, dkk) gelagar pelat (plate girder) adalah balok yang
dibentuk dari elemen-elemen pelat untuk mencapai penataan bahan yang lebih
efisien dibanding dengan yang bisa diperoleh dari balok profil giling (rolled

Universitas Sumatera Utara

18

shape). Gelagar pelat akan ekonomis bila panjang bentang sedemikian rupa
hingga biaya untuk keperluan tertentu bisa dihemat dalam perencanaan.
Pengertian yang lebih baik tentang kelakuan gelagar pelat, baja yang
berkekuatan lebih tinggi, dan teknik pengelasan yang sudah maju membuat
gelagar pelat ekonomis untuk banyak keadaan yang dahulu dianggap ideal untuk
rangka batang. Umumnya, bentangan sederhana sepanjang 70 sampai 150 ft (20
sampai 50 m) merupakan jangkauan pemakaian gelagar pelat.
Salah satu kriteria perancangan balok baja adalah stabilitas, yaitu tekuk
torsi lateral. Momen lentur pada saat terjadi tekuk torsi lateral disebut momen
kritis. Besarnya momen kritis digunakan sebagai kriteria disain.
Momen kritis dibedakan menjadi momen kritis elastis dan momen kritis
inelastis. Bila akibat momen krtiis tegangan yang terjadi pada balok besarnya
lebih kecil daripada tegangan leleh maka momen kritis tersebut disebut momen
kritis elastis, tetapi bila akibat momen kritis tegangan pada balok sudah ada yang
mencapai tegangan leleh, momen kritisnya disebut momen kritis inelastis.
Besarnya momen kritis elastis ditentukan oleh parameter besaran elastis
(modulus elastisitas dan modulus geser), besaran penampang (momen inersia
terhadap sumbu lemah, konstanta torsi, konstanta warping), panjang balok,
kondisi batas dan distribusi momen lentur. (Wijaya, 2013)
2.5.1 Kegagalan Akibat Tekuk
Menurut (Oentoeng, 1999), web buckling adalah suatu distorsi pada badan
balok yang keluar dari bidangnya, yang dihasilkan dari suatu kombinasi dari ratio


yang besar dan tegangan lentur. Panjang yang tidak dibraced pada sayap

yang tertekan dapat juga memberi kontribusi pada web buckling. Web buckling

Universitas Sumatera Utara

19

dikontrol oleh batasan baik dari ratio ⁄
digunakan bagi ratio



maupun dari tegangan yang dapat

yang diketahui. Hal ini diijinkan pada beberapa

spesifikasi. Web buckling dilukiskan pada Gambar 2.7 di bawah ini.

Gambar 2.7 Kehancuran badan yang dicegah dalam desain
Sumber : Oentoeng, (1999)
Web crippling dapat terjadi bila tegangan tekan dalam bidang badan cukup
besar. Hal ini dapat terjadi jika jarak-jarak reaksi atau pelat-pelat pendukung
beban yang dipakai untuk mengalihkan beban-beban kolom ke sayap terlalu
sempit. Web crippling dapat pula terjadi jika beban terbagi rata di atas sayap
terlalu besar bagi tebal badan.
2.5.2 Pesyaratan Balok Pelat Berdinding Penuh (Balok Girder)
Komponen struktur dapat dikategorikan sebagai balok biasa atau sebagai
balok pelat berdinding penuh, tergantung dari rasio kelangsingan web, ⁄

dengan h adalah tinggi bersih bagian web dan


⁄√

,

adalah tebal dari web. Jika

, maka komponen struktur tersebut dikategorikan sebagai

balok biasa, dan jika nilai ⁄

⁄√ , maka dalam perencanaannya harus

dikategorikan sebagai balok pelat berdinding penuh. Untuk balok hibrida maka

Universitas Sumatera Utara

20

nilai

diambil dari nilai

flens, hal ini disebabkan karena stabilitas dari web

untuk menahan tekuk lentur tergantung pada regangan yang terjadi dalam flens.
Batas atas dari kelangsingan web, harus ditetapkan untuk mencegah
terjadinya tekuk vertikal dari flens. Batas atas dari ⁄

merupakan fungsi dari

perbandingan a/h, dengan a adalah jarak antar pengaku vertikal, dan h adalah
tinggi bersih dari web.

Gambar 2.8 Tampak Samping dan Potongan Melintang Balok Girder - I
sumber : Setiawan, A. (2008)
2.5.3 Kuat Momen Nominal Balok Girder
Kuat momen nominal dari komponen struktur balok girder, ditentukan
dalam SNI 03-1729-2002 pasal 8.4.1 :
(2.1)
Dimana :
adalah tegangan kritis yang besarnya akan ditentukan
S

adalah modulus penampang
adalah koefisien balok girder

Koefisien balok girder,

diambil sebesar :

Universitas Sumatera Utara

21

Dengan


[



]

(2.2)

adalah perbandingan luas pelat badan terhadap pelat sayap (
. Kuat momen nominal dari balok girder diambil dari nilai terkecil

keruntuhan tekuk torsi lateral (yang tergantung panjang bentang) dan tekuk lokal
flens (yang tergantung pada tebal flens tekan).
2.5.3.a Tipe Keruntuhan Tekuk Torsi Lateral
Kelangsingan yang diperhitungkan adalah kelangsingan dari bagian balok
girder yang mengalami tekan.
(2.3)


(2.4)



(2.5)

Dengan L adalah panjang bentang tak terkekang, dan

adalah jari-jari girasi

daerah pelat sayap ditambah sepertiga bagian web yang mengalami tekan.
2.5.3.b Tipe Keruntuhan Tekuk Lokal Flens Tekan
Faktor

kelangsingan

yang

diperhitungkan

adalah

berdasarkan

perbandingan lebar dengan tebal flens tekan.
(2.6)

dengan :



(2.7)



(2.8)

Universitas Sumatera Utara

22

(2.9)



Balok girder dengan kuat leleh yang berbeda antara flens dengan web,
sering dinamakan sebagai balok hibrida. Pada umumnya kuat leleh bagian flens
lebih tinggi daripada bagian web, sehingga bagian web akan mengalami leleh
terlebih dahulu sebelum kuat maksimum flens tercapai. Kuat momen nominal dari
balok hibrida adalah:
(2.10)
Dengan :
(2.11)
dan :


= rasio antara luas penampang melintang web dengan penampang



= rasio antara kuat leleh web dengan kuat leleh flens

melintang flens

2.5.4 Kuat Geser Nominal
Kuat geser desain balok girder adalah

, dengan

= 0,9. Kuat geser

balok girder merupakan fungsi dari rasio tinggi dan tebal web ( ⁄

serta

dipengaruhi pula oleh jarak di antara pengaku vertikal yang dipasang. Kuat geser
balok girder dapat dibedakan menjadi kuat geser pratekuk dan kuat geser pasca
tekuk yang dihasilkan dari aksi medan tarik. Aksi medan tarik hanya terjadi jika
balok girder dipasang pengaku vertikal. Jika tak ada pengaku vertikal, atau bila
jarak antara pengaku vertikal cukup jauh, maka kuat geser balok girder hanya
disumbang oleh kuat geser pratekuk.

Universitas Sumatera Utara

23

2.5.4.a Tekuk Elastis Akibat Geser Murni
Tegangan tekuk elastis untuk sebuah elemen pelat adalah:
(2.12)



Untuk kasus geser murni pada balok girder, maka persamaan dapat
dituliskan menjadi:
(2.13)



Nilai

merupakan fungsi dari rasio a/h, dalam SNI 03-1729-2002 pasal 8.8.2,

ditetapkan:
(2.14)



Nilai

untuk daerah tekuk elastis, dalam SNI 03-1729-2002 pasal 8.8.5,

ditetapkan:
(2.15)



2.5.4.b Tekuk Inelastis Akibat Geser Murni
Pada daerah transisi antara tekuk elastis dengan leleh, besarnya


adalah:

(2.16)

Jika persamaan diatas dibagi dengan

serta mengambil nilai

, maka diperoleh bentuk:


Dengan mengambil



(2.17)

serta v = 0,3 maka diperoleh nilai

untuk

daerah tekuk inelastis:

Universitas Sumatera Utara

24







(SNI 03-1729-2002, pasal 8.8.4)

(2.18)

Kuat geser nominal dari balok girder ditentukan sebagai berikut:
(

)

(2.19)

2.5.5 Kuat Geser Nominal Dengan Pengaruh Aksi Medan Tarik
Gaya geser yang bekerja pada balok girder dapat menimbulkan tekuk
(elastis dan inelastis). Tahanan pasca tekuk yang timbul dari mekanisme rangka
batang yang bekerja pada panel balok girder yang dibatasi oleh pengaku-pengaku
vertikal. Mekanisme rangka batang ini dinamakn sebagai aksi medan tarik, gayagaya tekan dipikul oleh pengaku vertikal sedangkan gaya-gaya tarik diterima oleh
pelat web.

Gambar 2.9 Aksi Medan Tarik Balok Girder
sumber : Setiawan, A. (2008)

Universitas Sumatera Utara

25

Kapasitas geser balok pelat berdinding penuh dengan mempertimbangkan
tahanan pasca tekuk akibat medan tarik ditunjukkan dalam Gambar 2.13.

Gambar 2.10 Kapasitas Geser dengan Aksi Medan Tarik
sumber : Setiawan, A. (2008)
Aksi medan tarik boleh disertakan dalam perhitungan kuat geser balok
pelat berdinding penuh apabila ⁄

dan ⁄

⁄ ⁄

. Selain itu

aksi medan tarik tak boleh diperhitungkan untuk balok hibrida serta pada panelpanel ujung (panel A pada Gambar 2.12) balok pelat berdinding penuh.
Kuat

geser

nominal

balok

pelat

berdinding

penuh

dengan

mempertimbangkan aksi medan tarik dapat diekspresikan sebagai:
. Dengan

(

)

sesuai persamaan 2.18. Nilai

ditentukan dalam persamaan 2.15 dan 2.18 untuk tekuk elastis dan inelastis.
merupakan sumbangan dari aksi medan tarik.
2.5.6 Interaksi Geser Dan Lentur
Jika kuat geser balok girder diperhitungkan dengan mempertimbangkan
aksi medan tarik, maka kombinasi lentur dan geser harus turut dipertimbangkan

Universitas Sumatera Utara

26

pula. Hubungan interaksi antara kuat lentur dengan kuat geser ditunjukkan pada
gambar dibawah ini.

Gambar 2.11 Interaksi Geser dan Lentur
sumber : Setiawan, A. (2008)
Gambar 2.11 hendak menyatakan:
a. Jika
b. Jika



, maka



, maka

Dalam desain LRFD kedua kondisi tersebut dapat dituliskan sebagai:
1. Untuk


2. Untuk




, berlaku
(2.20)
, berlaku
(2.21)

Apabila kedua kondisi di atas tidak terpenuhi maka harus diperhitungkan
interaksi lentur dan geser, yang direpresentasikan sebagai garis lurus AB dalam
Gambar 2.11 yang memiliki persamaan:
(2.22)

Universitas Sumatera Utara

27

Dalam SNI 03-1729-2002 pasal 8.9.3, persamaan 8.9-2, interaksi geser
dan lentur disyaratkan:
(2.23)
dengan:
adalah kuat geser nominal balok pelat berdinding penuh
adalah momen lentur nominal balok pelat berdinding penuh
adalah gaya geser ultimit yang bekerja
adalah momen lentur ultimit yang bekerja
Kondisi 1 dan 2 dapat dikombinasikan untuk memperoleh batasan-batasan
penggunaan persamaan interaksi geser dan lentur. Asumsikan pertidaksamaan
2.22 dan 2.22 tidak terpenuhi, maka masing-masing akan memberikan sepasang
pertidaksamaan baru.
(2.24.a)
(2.24.b)
(2.25.a)
(2.25.b)
Bagi persamaan 2.24.a dengan 2.24.b serta persamaan 2.25.a dengan
2.25.b sehingga menghasilkan:
(2.26.a)
(2.26.b)
Kedua persamaan ini dapat dituliskan kembali menjadi:
(2.27)

Universitas Sumatera Utara

28

Persamaan 2.27 memberikan batasan-batasan penggunaan persamaan
interaksi geser dan lentur (persamaan 2.23).
2.5.7 Jenis – Jenis Stiffener (Pengaku)
Pengaku (stiffener) ada dua jenis yaitu :
a. Pengaku memanjang (pengaku horizontal)
b. Pengaku melintang (pengaku vertikal)
2.5.7.a Pengaku Memanjang (Pengaku Horizontal)
Pengaku biasanya diperlukan apabila web realtif tipis. Momen lendut akan
menghasilkan gaya tekan dan tarik pada web. Pengaku memanjang (horizontal)
mencegah tekukan web akibat lendutan dengan memberi tekanan pada bagian atas
web. Karena momen lendut terbesar berada di tengah bentang, pengaku
memanjang (horizontal) akan ditempatkan pada bagian ini. Pengaku memanjang
(horizontal) tidak disarankan hingga mencapai batas ketahanannya. Pada SNI 031729-2002 butir 8.7.4 persamaan 8.7-2.a, sudah dijelaskan alasan tidak
digunakannya pengaku memanjang.
2.5.7.b Pengaku Melintang (Pengaku Vertikal)
Ciri-ciri suatu balok girder adalah adanya pengaku-pengaku vertikal yang
dipasang. Dua macam parameter stabilitas balok girder adalah rasio ⁄

serta

a/h. Jika kedua parameter ini diambil serendah mungkin maka tekuk yang

diakibatkan oleh geser dapat dihindarkan. Jika pengaku vertikal yang dipasang
setiap jarak a sedemikian rupa sehingga nilai a/h cukup kecil maka akan timbul
aksi medan tarik yang dapat mengakibatkan kuat geser nominal dari balok girder.
Dimensi pengaku vertikal harus direncanakan sedemikian hingga mampu

Universitas Sumatera Utara

29

menahan gaya tekan yang timbul akibat aksi medan tarik, sehingga mekanisme
rangka batang dapat timbul pada panel-panel balok girder.
Pengaku vertikal boleh tidak digunakan jika kuat lentur penampang dapat
tercapai tanpa terjadinya tekuk akibat geser. Dari Gambar 2.10 pengaku vertikal
tak perlu digunakan jika:


Nilai

(2.27)
dapat diambil sama dengan 5, jika pengaku vertikal tak digunakan

sehingga persamaan 2.27 menjadi:


(2.28)

Jika batasan pada persamaan 2.28 tak terlampaui, maka kuat geser nominal
maksimum dapat tercapai:
(2.29)
Jika kuat geser rencana yang diperlukan lebih kecil dari kuat geser
maksimum, maka pengaku vertikal tak dibutuhkan bila:
(2.30)
Persamaan 2.30 tidak berlaku jika rasio
pengaku vertikal harus dipasang bila ⁄



melebihi 260, sebab

melebihi 260. Nilai

dapat diambil

sesuai persamaan 2.15 (untuk tekuk elastis) dan 2.18 (untuk tekuk inelastis)
dengan nilai

= 5:

1. Jika:



√ ⁄





(tekuk inelastis)

(2.31.a)

Universitas Sumatera Utara

30



2. Jika:

(tekuk elastis)
(2.31.b)



Secara ringkas, pengaku vertikal tak diperlukan apabila kedua kriteria
berikut terpenuhi:
1.

(2.32)

2.

(2.33)
Pengaku vertikal harus mempunyai kekakuan yang cukup untuk mencegah

web berdeformasi keluar bidang ketika terjadi tekuk pada web. Oleh karena itu,
perlu ditentukan momen inersia minimum yang harus dimiliki oleh pengaku
vertiakl, yaitu:
(2.34)
Dengan:
adalah momen inersia pengaku vertikal yang diambil terhadap
tengah tebal pelat web untuk sepasang pengaku vertikal, dan
diambil terhadap bidang kontak dengan web jika hanya ada sebuah
pegaku vertikal.
(2.35)



Pengaku vertikal harus mempunyai luas yang cukup agar mampu menahan
gaya tekan yang timbul akibat aksi medan tarik. Akibat aksi medan tarik, pengaku
vertikal memikul gaya tekan sebesar:
[







]

(2.36)

Universitas Sumatera Utara

31

Jika kedua ruas dalam persamaan 2.36 dibagi dengan kuat leleh dari
pengaku vertikal (

), maka akan didapat luas minimum yang dibutuhkan dari

pengaku vertikal.
[







]

(2.37)

Sambungan pengaku vertikal ke web dan ke flens tekan harus
diperhitungkan sedemikian rupa sehingga las dapat mentransfer gaya tekan,

,

dengan baik. Sedangkan antara pengaku vertikal dengan flens tarik tidak perlu
dilakukan penyambungan dengan las, sebab konsentrasi dengan tegangan pada
flens tarik akan menyebabkan terjadinya keruntuhan akibat lelah (fatigue) dan
keruntuhan getas. Tanpa adanya pengelasan antara pengaku vertikal web
diharapkan dapat menimbulkan keruntuhan yang daktail. Jarak sambungan las
web dan pengaku vertikal dengan sambungan las flens tarik dan web harus
diambil sedemikian rupa sehingga tidak lebih dari 6 kali tebal web dan tidak
kurang 4 kali tebal web.
2.5.8 Pengaku Penahan Gaya Tumpu

Gambar 2.12 Sambungan Las pada Balok Girder
sumber : Setiawan, A. (2008)

Universitas Sumatera Utara

32

2.5.8.a Kuat Leleh Web
Kuat tumpu terhadap leleh suatu web adalah:
a. Bila jarak beban terpusat terhadap ujung balok lebih besar dari tinggi
balok:
(2.38)
b. Bila jarak beban terpusat terhadap ujung balok lebih kecil atau sama
dengan tinggi balok:
(2.39)
Dengan:
k adalah tebal flens ditambah jari-jari peralihan
N adalah dimensi longitudinal pelat perletakan atau tumpuan

(minimal = k)
2.5.8.b Kuat Tekuk Dukung Web
Kuat web terhadap tekuk di sekitar flens yang dibebani adalah:
a. Bila beban terpusat dikenakan pada jarak lebih d/2 dari ujung balok
[

( ) ]√

(2.40)

( ) ]√

(2.41)

b. Bila beban terpusat dikenakan pada jarak kurang dari d/2 dari ujung balok
Untuk

Untuk

Dengan:





:
[

[

:

( ) ]√

(2.42)

Universitas Sumatera Utara

33

d adalah tinggi total balok pelat berdinding penuh

adalah tebal flens balok pelat berdinding penuh
2.5.8.c Kuat Tekuk Lateral Web
Kuat tekuk lateral web adalah:
a. Untuk flens yang dikekang terhadap rotasi dan hanya dihitung bila




:


[



]

(2.43)

b. Untuk flens yang tidak dikekang terhadap rotasi dan hanya dihitung bila




Dengan:

:
[





]

(2.44)

jika
L adalah panjang bentang tak terkekang dari flens yang terbesar

2.5.8.d Kuat Tekuk Lentur Web
Kuat tekuk lentur web adalah:


(2.45)

Jika pada tiap lokasi beban terpusat telah dipasang pengaku penahan gaya
tumpu, maka tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan kuat web terhadap leleh,
tekuk dukung, tekuk lateral dan tekuk lentur.
Lebar pengaku pada setiap sisi web harus diambil lebih besar dari
sepertiga lebar flens dikurangi setengah tebal web, sedangkan tebal pengaku harus
diambil lebih tebal dari setengah tebal flens serta memenuhi syarat kelangsingan:

Universitas Sumatera Utara

34



dengan

(2.46)

adalah lebar pengaku dan

adalah tebal pengaku.

Tahanan tumpu dari sebuah pengaku penahan gaya tumpu diambiul
sebesar:
(2.47)
Dengan

adalah luas penampang dari pengaku penahan gaya tumpu.

Selanjutnya pengaku ini harus diperiksa seperti halnya sebuah batang tekan
dengan persyaratan:
1. Pengaku harus dipasang sepasang setinggi pelat web
2. Penampang yang dihitung sebagai batang tekan adalah penampang
melintang dari pengaku ditambah dengan 12.
25.

(untuk panel ujung) atau

(untuk panel dalam).

3. Panjang tekuk diambil sebesar 0,75.h
2.6 Desain Balok Pelat Berdinding Penuh (Pelat Girder)
Tujuan dari proses desain sebuah balok girder adalah menentukan ukuranukuran dari flens ataupun web, disamping itu perlu juga diputuskan terlebih
dahulu pemakaian pengaku-pengaku vertikal serta pengaku-pengaku penahan
gaya tumpu. Proses akhir desain adalah menyambungkan bagian-bagian dari suatu
balok girder dengan menggunakan alat sambung las. Secara umum proses desain
suatu balok girder adalah sebagai berikut:
1. Tentukan tinggi dari balok girder, secara praktis seperti halnya pada desain
balok biasa, maka tinggi dari balok girder dapat diambil 1/10 – 1/12 dari
panjang bentang.

Universitas Sumatera Utara

35

2. Tentukan ukuran web, tinggi web dapat ditentukan dengan cara
mengurangi tinggi total balok girder dengan dua kali tebal felns, tentunya
tebal flens harus ditentukan terlebih dahulu. Selanjutnya tebal web
ditentukan dari batasan-batasan berikut:
Untuk a/h > 1,5 :






3. Tentukan ukuran dari flens, ukuran dari flens dapat ditentukan berdasarkan
momen yang bekerja pada balok girder. Prosedur penentuan ukuran flens
dilakukan dengan menghitung dahulu nilai momen inersia balok girder:

Dengan



adalah luas satu buah flens. Selanjutnya modulus penampang

dapat dihitung:








Dari persamaan kuat momen nominal:



Samakan dengan nilai S yang diperoleh sebelumnya:


Universitas Sumatera Utara

36

Atau
Jika diambil nilai

Dengan

dan

, maka:

adalah luas web. Selanjutnya ukuran flens dapat ditentukan,

dan perhitungan berat sendiri balok juga dapat ditentukan, sehingga besar
momen dan gaya lintang dapat dihitung ulang.
4. Periksa kuat momen nominal dari penampang yang sudah ada.
5. Periksa kuat gesernya, juga tentukan jarak antar pengaku vertikal.
6. Periksa interaksi geser-lentur.
7. Periksa kekuatan web tehadap gaya tumpu yang bekerja, rencanakn pula
pengaku penahan gaya tumpu jika diperlukan.
8. Rencanakan sambungan-sambungan yang diperlukan.
Sumber : Setiawan, A. (2008)
2.7 Peraturan Pembebanan
Sebelum melakukan analisis perhitungan struktur jembatan seorang
perencana harus mencermati beban-beban yang akan bekerja yang disesuaikan
dengan peraturan yang berlaku. Pada tugas akhir ini peraturan pembebanan yang
digunakan sebagai acuan adalah peraturan RSNI 2005.
Beban yang bekerja pada jembatan merupakan kombinasi dari beberapa
macam aksi rencana pembebanan. Aksi rencana pembebanan digolongkan
kedalam aksi tetap dan transien.

Universitas Sumatera Utara

37

Tabel 2.1 Berat isi untuk beban mati (kN/m3)
No. Bahan

Berat/satuan isi

Kerapatan masa

(kN/m3)

(kg/m3)

1

Campuran aluminium

26.7

2720

2

Lapisan permukaan beraspal

22.0

2240

3

Besi tuang

71.0

7200

4

Timbunan tanah dipadatkan

17.2

1760

5

Kerikil dipadatkan

18.8 - 22.7

1920 – 2320

6

Aspal beton

22.0

2240

7

Beton ringan

12.25 – 19.6

1250 – 2000

8

Beton

22.0 – 25.0

2240 – 2560

9

Beton prategang

25.0 – 26.0

2560 – 2640

10

Beton bertulang

23.5 – 25.5

2400 – 2600

11

Timbal

111

11400

12

Lempung lepas

12.5

1280

13

Batu pasangan

23.5

2400

14

Neoprin

11.3

1150

15

Pasir kering

15.7 – 17.2

1600 – 1760

16

Pasir basah

18.0 – 18.8

1840 – 1920

17

Lumpur lunak

17.2

1760

18

Baja

77.0

7850

19

Kayu (ringan)

7.8

800

20

Kayu (keras)

11.0

1120

Universitas Sumatera Utara

38

21

Air murni

9.8

1000

22

Air garam

10.0

1025

23

Besi tempa

75.5

7680

(sumber : Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan, RSNI T-02-2005)
2.7.1 Aksi tetap
Menurut RSNI 2005, aksi tetap adalah semua beban tetap yang berasal
dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala
unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya.
Pembebanan akibat aksi tetap terdiri dari :
2.7.1.a Berat Sendiri
Berat sendiri adalah berat dari bagian tersebut dan elemen-elemen
struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah berat bahan dan
bagian jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan elemen
nonstruktural yang dianggap tetap.
Tabel 2.2 Faktor beban untuk berat sendiri
Faktor beban
Jangka waktu

Tetap

K

K
Biasa

Terkurangi

Baja, aluminium

1,0

1,1

0,9

Beton pracetak

1,0

1,2

0,85

Beton dicor di tempat

1,0

1,3

0,75

Kayu

1,0

1,4

0,7

(sumber : Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan, RSNI T-02-2005)

Universitas Sumatera Utara

39

2.7.1.b Beban Mati Tambahan
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. Semua jembatan harus direncanakan untuk bisa
memikul beban tambahan yang berupa aspal beton setebal 50 mm untuk pelapisa
kembali dikemudian hari. Lapisan ini harus ditembahkan pada lapisan
permuakaan yang tercantum dalam gambar.
Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada
jembatan harus dihitung setepat mungkin. Berat dari pipa untuk saluran air bersih,
saluran air kotor dan lain-lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh
sehingga kondisi yang paling membahayakan dapat diperhitungkan.
Tabel 2.3 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan
Faktor beban
Jangka waktu

Tetap

K

K
Biasa

Terkurangi

Keadaan umum

1,0 (1)

2,0

0,7

Keadaan khusus

1,0

1,4

0,8

CATATAN (1) Faktor beban daya layan 1.3 digunakan untuk berat utilitas
(sumber : Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan, RSNI T-02-2005)
2.7.2 Aksi Transien
Aksi transien adalah aksi akibat pembebanan sementara dan bersifat
berulang ulang seperti beban lalu lintas (beban lajur “D” atau beban “T”), beban
rem, aliran air (banjir), dan lain sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

40

Secara umum, yang menjadi penentu dalam perhitungan jembatan dengan
bentang sedang sampai panjang adalah beban “D”, sedangkan beban “T”
digunakan untuk bentang pendek.
2.7.2.a Lajur Lalu Lintas Rencana
Lajur lalu lintas rencana harus mempunyai lebar 2,75 m. jumlah
maksimum lajur lalu lintas yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa
dilihat pada tabel berikut, lajur lalu lintas rencana harus disusun sejajar dengan
sumbu memanjang jembatan.
Tabel 2.4 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana
Tipe jembatan

Lebar

(1)

(m) (2)

rencana (n1)

Satu lajur

4,0 – 5,0

1

Dua arah, tanpa median

5,5 - 8,25

2 (3)

11,3 – 15,0

4

8,25 – 11,25

3

11,3 – 15,0

4

15,1 – 18,75

5

18,8 – 22,5

6

Banyak arah

CATATAN (1)

kendaraan Jumlah lajur lalu lintas

unruk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana
harus

CATATAN (2)

jalur

ditentukan oleh instansi yang berwenang

lebar lajur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb
atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb /
rintangan / median dengan median untuk banyak arah

CATATAN (3)

lebar minimum yang aman untuk dua lajur kendaraan

Universitas Sumatera Utara

41

adalah 6.0 m. lebar jembatan antara 5.0 m sampai 6.0 m
harus dihindari oleh karena hal ini akan memberikan
kesan kepada pengemudi seolah olah memungkinkan
untuk menyiap.
(sumber : Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan, RSNI T-02-2005)
2.7.2.b Beban lajur “D”
Beban lajur “D” merupakan beban yang bekerja pada seluruh lebar lajur
kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu
iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Besarnya beban lajur bergantung pada
besarnya lebar jalur kendaraan rencana.
Beban lajur “D” terdiri atas 2 jenis yaitu beban terbagi rata (BTR) dan
beban garis (BGT).
1. Beban Terbagi Rata (BTR)
Beban ini dilambangkan q kPa dengan intensitas beban bergantung pada
panjang bentang total yang dibebani, besarnya beban yaitu sebagai berikut :
L ≤ 30 m ; q = 9,0 kPa
L > 30 m ; q dapat dilihat pada grafik dibawah
Dengan :
Q adalah intensitas beban terbagi rata dalam arah memanjang jembatan (kPa)
L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter)

Universitas Sumatera Utara

42

Gambar 2.13 Beban “D” : beban terbagi rata vs panjang bentang dibebani.
(sumber : Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan, RSNI T-02-2005)
2. Beban Garis (BGT)
Beban garis ini dilambangkan dengan ρ kN/m dengan arah yang tegak
lurus terhadap arus lalu lintas pada jembatan. Besar beban garis yaitu 49 kN/m.
Faktor beban dinamik (FBD) untuk beban lajur garis “D” dapat dilihat dalam
gambar berikut :

Gambar 2.14 Faktor beban dinamis untuk beban garis
untuk pembebanan lajur “D”
(sumber : Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan, RSNI T-02-2005)

Universitas Sumatera Utara

43

Sistem pembebanan beban terbagi rata dan beban garis dapat dilihat pada gambar
berikut :

Gambar 2.15 Beban Lajur “D”
(sumber : Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan, RSNI T-02-2005)
Beban “D” harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen BTR dan
BGT dari beban “D” pada arah melintang harus sama. Penempatan beban ini
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka
beban “D” harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 % .
2. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban “D” harus ditempatkan pada
jumlah lajur lalu lintas rencana (n1) yang berdekatan (tabel 2.3), dengan
intensitas 100 %. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar n1 x 2,75 q
kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar n1 x 2,75 ρ kN, kedua-duanya
bekerja berupa strip pada jalur selebar n1 x 2,75 m.

Universitas Sumatera Utara

44

3. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana
saja pada jalur jembatan. Beban “D” tambahan harus ditempatkan pada seluruh
lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50 %.
Susunan pembebanan ini bisa dilihat dalam gambar berikut :

Gambar 2.16 Penyebaran Pembebanan Pada Arah Melintang
(sumber : Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan, RSNI T-02-2005)
2.7.2.c Beban truk “T”
Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan
pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana (RSNI 2005). Dalam
perencanaan hanya diterapkan satu truk tiap lajur rencana. Jarak antara 2 as truk
tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m agar diperoleh pembebanan
maksimum pada arah memanjang jembatan. Besar pembebanan dapat dilihat pada
gambar berikut :

Universitas Sumatera Utara

45

Gambar 2.17 Pembebanan Truk “T” (500 kN)
(sumber : Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan, RSNI T-02-2005)

Universitas Sumatera Utara