Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Untuk Mengatasi Keracunan Al Pada Tanah Ultisol dan Meningkatkan Pertumbuhan Serta Serapan Hara Tanaman Kedelai Di Rumah Kaca

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Masam
Tanah masam adalah tanah yang memiliki pH≤ 5,5. Sekitar 25

- 30 %

tanah di dunia diklasifikasikan asam dan melambangkan beberapa daerah yang
paling penting dalammemproduksi pangan. Kemasaman tanah dalam sistem
budidaya tanaman disebabkan oleh: penggunaan pupuk, tanaman melepaskan
kation dalam pertukaran untuk H+, pencucian kation diganti oleh H+ dan
kemudian Al3+, dan residu dekomposisi bahan organik (Havlin et al., 1999).
Kemasaman tanah ditentukan oleh banyaknya aktifitas ion hidrogen (H+)
pada larutan tanah dan disebabkan oleh edafis, iklim, dan faktor biologi.
Kemasaman tanah ditingkatkan oleh penghilangan kation melalui pemanenan dan
presipitasi asam dari udara yang tercemar. Pendekomposisian bahan organik dari
bentuk asam karbonat dan asam lemah lainnya juga berkontribusi pada keasaman
(Hede et al., 2001).
Selain itu, pada reaksi hydrolisis, senyawa aluminium (seperti Al(OH)3)
bereaksi dengan ion hidrogen untuk melepaskan Al. Dengan kata lain, untuk
setiap ion Al, tiga ion hidrogen dapat dipakai, kemudian pH berubah secara

perlahan dibandingkan reaksi oksidasi. Al pada fase padat adalah bagian dari
setiap tanah dan tidak berbahaya atau bahkan menguntungkan, tapi dilarutan dapat
menjadi racun bagi tanaman (Harter, 2007).
Saatnilai pH lebih rendah dari 5,5 kemampuan tanah untukmenyangga
perubahan pH tergantung pada banyaknya Ca yangtersedia. Pada pH 5,5
kandungan Ca rendah. Oleh karena itu,dibawah pH 5,5 reaksi tanah yang lain

Universitas Sumatera Utara

mengambil alih peran reaksi penyangga. Pada reaksi hydrolisis, senyawa
aluminium (seperti Al(OH)3) bereaksi dengan ion hidrogen untuk melepaskan
aluminium. Dengan kata lain, untuk setiap ion aluminium, tiga ion hidrogen dapat
dipakai, kemudian pH berubah secara perlahan dibandingkan reaksi oksidasi.
Aluminium pada fase padat adalah bagian dari setiap tanah dan tidak berbahaya
atau bahkan menguntungkan, tapi dilarutan dapat menjadi racun bagi tanaman.
Pada jangka pendek hal ini dapat membuat ion ini lebih tersedia bagi tanaman,
tapi pada jangka panjang dapat membuat mereka lebih rentan terlepas dari tanah
melalui pencucian (Harter, 2007).
Pada tanah masam dengan kandungan mineral yang tinggi, faktor
pembatas utama pertumbuhan tanaman adalah keracunan Al. Fitotoksik Al dalam

hal penghambatan perpanjangan akar menurun jelas dengan meningkatnya
kekuatan ionik pada tanah ataupun dalam larutan hara, dimana terjadi penurunan
rasio Aln+/Al kompleks. Al dilepas dari tanah dalam bentuk Al(OH)2+, Al(OH)2+,
dan Al(OH)3+, yang terakhir ditulis sebagai Al3+. Terdapat tiga kategori fitotoksik
Al, yaitu (1) mononuclear Al seperti Al3+, (2) polinuklear Al seperti
triskaideaaluminum [AlO4Al12(OH)24(H2O)127+] yang dikenal sebagai Al13, dan
(3) kompleks Al-makro molekul, contohnya kompleks Al-asam organik. Bentuk
Al yang sangat toksik bagi tanaman adalah Al(H2O)63+ atau lebih dikenal sebagai
Al3+. Ion ini dominan terdapat pada larutan bernilai pH < 4,0; pH < 4,5; pH < 5
(Sopandie, 2014).
Bahan yang paling sering digunakan untuk meningkatkan pH tanah
adalah kapur. Bahan-bahan pengapuran yang umum adalah kalsit, dolomit, kapur
yang dihanguskan, kapur hidroksida, suspensi batu kapur, dan banyak lagi. Bahan

Universitas Sumatera Utara

yang paling cocok tergantung pada kebutuhan magnesium tanah, kecepatan reaksi
yang diinginkan, dan biaya dari setiap bahan berdasarkan nilai relatif
netralisasinya. Faktor yang dipengaruhi oleh reaksi kapur dalam tanah adalah
ukuran partikel, derajat pencampuran, nilai netralisasi batu kapur dan kandungan

magnesium (Sopher and Braid, 1982).
Reaksi pengapuran dimulai dengan netralisasi H+ pada larutan tanah oleh
OH- atau HCO3- yang berasal dari bahan kapur. Keberlanjutan pelepasan H+ dari
larutan tanah akan menghasilkan presipitasi Al3+ dan Fe3+ sebagai Al(OH)3 dan
Fe(OH)3 dan menggantikan mereka pada kompleks jerapan tanah dengan Ca2+
atau Mg2+. Keseluruhan reaksi netralisasi kemasaman tanah dapat dituliskan
sebagai berikut:
Al3+

K+

Ca2+

Ca2+

Liat Mg2++ 3CaCO3 + 2H2O

Liat

Ca2+ + 2Al(OH)3 + 3CO2


K+

Mg2+

Al3+

Ca2+

(Havlin et al., 1999)
Kapur dapat diaplikasikan kapan saja, tapi kapur memerlukan waktu
untuk larut dan menetralisir keasaman tanah. Pengaplikasian yang lama
menguntungkan karena memberikan waktu agar kapur larut sebelum musim
tanam berikutnya. Pemberian dan penggabungan kapur sebulan atau lebih
sebelum pemberian pupuk, dapat mempengaruhi ketersediaan pupuk, terutama P
(Skousen and McDonald, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Keracunan Al pada Akar

Sistem perakaran yang berkembang dengan baik dibutuhkan untuk
menyerap air dan hara yang memadai, terutama ketika tanaman pada keadaan
stres. Secara keseluruhan peningkatan pada akar berkontribusi terhadap bobot
total tanaman dengan peningkatan P. Morfologi akar dipengaruhi oleh jumlah
pupuk N yang diaplikasikan dan faktor lain seperti temperatur. Massa akar kurang
dipengaruhi oleh N dibanding panjang akar. Namun pertumbuhan akar meningkat
dengan penambahan N. Selain N, peningkatan P juga dapat meningkatkan
pertumbuhan akar, namun pertumbuhan akar dapat menurun pada tingkat P yang
lebih tinggi, dan tanaman memiliki tingkat kebutuhan P tang berbeda untuk
mencapai pertumbuhan maksimum (Fageria dan Moreria, 2011).
Gejala kerusakan oleh Al tidak selalu mudah diidentifikasi. Dalam
beberapa tanaman, gejala daun menyerupai defisiensi P (tanaman kerdil; daun
berwarna hijau gelap dan kematangan yang terlambat; keunguan pada batang,
daun, dan urat daun; menguning dan keringnya ujung daun). Di sisi lain, toksisitas
Al muncul sebagai pengindinduksian defisiensi Ca atau mengurangi masalah
transportasi Ca (keriting atau penggulungan daun muda dan gugurnya titik
tumbuh atau tangkai daun). Akar yang dilukai aluminium memiliki ciri yang
khas, pendek dan rapuh. Ujung akar dan akar lateral menjadi menebal dan
berwarna coklat. Sistem akar secara keseluruhan koraloid, dengan banyak akar
lateral yang pendek serta kurang dalam baik percabangan. Akar tersebut tidak

efisien dalam menyerap nutrisi dan (Foy et al., 1978).

Universitas Sumatera Utara

Pietraszewska

(2001)

juga

menyatakan

bahwa

Al

dilaporkan

mengganggu sel bagian ujung akar dan akar lateral, meningkatkan ketebalan
dinding sel dengan menggabungsilangkan pektin, mengurangi replikasi DNA

dengan meningkatkan kekakuan rantai ganda. Al mengikat P menjadi tidak
tersedia pada tanah dan pada permukaan akar tanaman, menurunkan respirasi
akar, mengganggu sejumlah enzim, menurunkan endapan polisakarida dinding
sel, menurunkan produksi dan transportasi sitokinin. Modifikasi struktur dan
fungsi membran plasma, mengurangi pengambilan air, dan mengganggu
pengambilan, transportasi, dan metabolisme sejumlah unsur hara esensial.
Andersson (1988) menulis tingkat kerusakan akar oleh Al sebagai
berikut:
Tingkat 0 : Perkembangan normal, tidak ada kerusakan.
Tingkat 1 : Ujung akar primer telah rusak atau mati. Namun, tanaman dapat
mengembangkan akar baru dari jaringan utuh, dimana munculnya
cabang ditekan oleh dominansi apikal.
Tingkat 2 : Ujung akar menghitam, bengkak dan nekrotik. Rhizodermis hancur
dan korteks mudah lepas dari silinder pusat. Sejumlah besar cabang
pendek akar kadang-kadang muncul. Akar bergerombol (kerdil,
bengkok, rusak).
Tingkat 3 : Akar hampir mati atau mati. Akar sama sekali coklat dan nekrotik
tidak ada cabang terulur.
Pada cowpea toleransi keracunan Al dapat dilihat pada 0,1 µ M Al dan
menghambat seluruh pertumbuhan pada > 40 µ M. Proses toleransi Al sudah

diklasifikasikan secara luas sebagai yang menghalangi penyerapan Al oleh akar

Universitas Sumatera Utara

dan yang sudah mengakumulasikan Al pada sel. Spesies tanaman dan genotip
mengubah tanaman

secara luas dalam toleransi pada stress mineral yang

seringkali juga dikombinasikan dengan toleransi stress lain. Misalnya, tanaman
tahan Al dapat lebih tahan terhadap kekeringan dan membutuhkan pengapuran
dan pupuk P yang lebih rendah dibanding genotip toleran (Pietrazewska, 2001).
Translokasi ion Al3+ ke bagian atas tanaman berlangsung sangat lambat.
Kebanyakan tanaman mengandung Al tidak lebih dari 0,2 mg Al/g massa
kering. Keracunan terjadi bila kadar Al mencapai 30 mg Al/kg di daun kedelai,
dan 20 mg Al/kg di akar padi. Pada tanaman sorghum keracunan Al terjadi
pada kadar 640 mg Al/kg di daun bawah dan 1220 mg Al/kg di daun lebih atas
(Muklis dkk., 2011).
Selama beberapa dekade terakhir, beberapa laboratorium di dunia sudah
memfokuskan kerja mereka dalam mengidentifikasi dan mengkarakterisasi

mekanisme

yang

digunakan

tanaman

sehingga

memungkinkan

mereka

menoleransi keracunan Al pada tanah masam. Dari penelitian ini jelas bahwa ada
dua kelas mekanisme yang berbeda, yaitu dengan mengeluarkan Al dari ujung
akar dan yang mengijinkan tanaman untuk mentoleransi akumulasi Al di akar dan
symplasm tajuk. Pada tanaman gandum, pengeluaran malat oleh akar dengan
cepat diaktifkan oleh pencahayaan Al dan tidak ada peningkatan yang terlihat dari
laju penghabisan malat sepanjang waktu. Pola laju peningkatan dari pengeluaran

asam organik dengan pencahayaan Al dengan waktu yang lebih panjang selaras
dengan induksi gen toleransi Al yang berkontribusi dengan kapatistas peningkatan
ini (Kochian et al., 2004).

Universitas Sumatera Utara

Mekaninsme toleransi Al oleh tanaman dapat dikelompokkan menjadi
(a) mekanisme eksternal, yang merupakan ekslusi Al dari ujung akar dan
(b) mekanisme internal, suatu mekanisme yang menyebabkan tanaman memiliki
daya toleransi untuk mengakumulasi Al dalam sel. Mekanisme eksternal dapat
dicapai melalui imobilisasi Al pada dinding sel, selektivitas plasma membran
terhadap Al, induksi pH di rizosfer atau apoplas akar, sekresi senyawa organik
pengkelat Al.

Beberapa studi menunjukkan fakta yang kuat bahwa toleransi

terhadap Al pada kedelai, jagung, gandum, sorgum, talas dan soba dicapai melalui
sekresi asam organik yang mengkelat Al pada daerah eksternal. Resistensi internal
meliputi pengkelatan Al di sitoplasma oleh asam organik atau polipeptida,
kompartementasi Al di vakuola, sintesis protein pengikat Al, penurunan aktivitas

beberapa enzim tertentu, dan induksi akumulasi protein spesifik (Sopandie, 2014).
Pada perlakuan kapur terlihat bahwa penambahan dosis kapur
menurunkan ketersediaan P dalam tanah. Pengaruh pengapuran selain menaikkan
pH tanah juga berpengaruh terhadap ketersediaan P dalam tanah, dimana kenaikan
pH tanah akan meningkatkan juga ketersediaan P dalam tanah. Akan tetapi,
pengapuran dengan dosis yang terlalu tinggi berpengaruh terhadap ketersediaan P,
karena senyawa Ca yang dihasilkan kapur akan memfiksasi P sehingga
ketersediaannya dalam tanah menjadi rendah (Ardiyanto, 2009).
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan hara, yang
dalam jumlah sedikit dapat merangsang, menghambat dan mempengaruhi pola
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Istilah zat pengatur tumbuh dapat
mencakup baik zat-zat endogen maupun zat eksogen (sintetik) yang dapat

Universitas Sumatera Utara

mengubah pertumbuhan tanaman. Zat pengatur tumbuh ada yang berasal dari
tumbuhan itu sendiri yang disebut fitohormon. Sedangkan zat pengatur tumbuh
yang berasal dari luar tumbuhan disebut zat pengatur tumbuh sintetik (Harahap,
2011).
Senyawa-senyawa yang mendorong inisiasi proses-proses biokimia yang
akhirnya menyebabkan pembentukan organ dan aspek-aspek tumbuh lainnya,
secara keseluruhan disebut fitohormon. Senyawa-senyawa semacam ini
digolongkan dalam kelompok-kelompok berikut: auxin, giberelin, sitokinin, dan
fenolik. Disamping kelompok-kelompok tersebut ada dua senyawa lain, yaitu:
etilen dan asam absisik (Heddy, 1986).
Nama sitokinin disebutkan karena mereka secara khusus mendukung
pembelahan sel (sitokinesis). Penelitian-penelitian dilakukan untuk melihat
aktivitas sitokinin pada jaringan tanaman.Setelah dilakukan serangkaian
penelitian, maka ditemukan struktur formula dari kinetin. Setelah formula kinetin
ditemukan maka kelompok Winconsin membuat tiruan sintesis pertama dari
kinetin. Senyawa yang mereka sintesis adalah benzilaminopurine (BAP).

NH
C
N

C

HC

C
N

(Thimann, 1977).

Universitas Sumatera Utara

Selama fase vegetatif dari siklus hidup, sitokinin tampaknya disintesis di
akar, khususnya ketika mulai tumbuh dan ditranslokasikan pada bagian atas
tanaman. Sitokinin sering terdeteksi pada getah dari xylem yang tercucur dari luka
di permukaan atau di batang dan guntingan akar. Kita dapat menyimpulkan bahwa
sitokinin berlimpah-limpah di akar, daun muda, dan buah yang berkembang
(Devlin and Witham, 1983).
Fungsi utama sitokinin adalah untuk mendukung pembelahan sel.
Pertumbuhan normal batang dan akar diperkirakan membutuhkan sitokinin,
tapi sejumlah endogen kadang-kadang membatasi. Oleh karena itu, sitokinin
eksogen gagal meningkatkan pertumbuhan organ ini. Secara keseluruhan
pertumbuhan membutuhkan perkembangan sel dan pertumbuhan didukung
oleh sitokinin termasuk mempercepat perkembangan sel dan pembesaran sel
(Salisbury and Ross, 2002).
Sifat paling karakteristik yang berkaitan dengan sitokinin adalah
perangsangan mereka terhadap pembelahan sel pada kultur jaringan tanaman.
Efek-efek biologis tertentu yang diperlihatkan oleh sitokinin juga mempunyai
pembelahan sel sebagai motif yang menggarisbawahinya, dan sitokinin secara
luas disebut sebagai pengatur pembelahan sel. Selain pembelahan sel sitokinin
juga berperan dalam pembesaran sel. Pembesaran sel pada diskus daun yang layu
meningkat luar biasa dengan terdapatnya kinetin dan analog-analog tertentunya
aktifa didalam pembelahan sel (Wilkins, 1989).
Dalam beberapa kasus sitokinin merangsang pembentukan akar lateral
pada konsentrasi sama yang menghambat pertumbuhan sumbu utama. Sitokinin
bersama dengan zat-zat lainnya juga dapat merangsang pengeluaran awal akar.

Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian-penelitian lain juga didapatkan bahwa pada bagian dasar keratankeratan Acerrubrum menghambat pertumbuhan akar tetapi jika disemprotkan pada
daun mempunyai efek meningkatkan. Sedangkat pada penelitan dengan paku air
marsilea drummondii dilihat bahwa terjadi pengeluaran akar yang diinduksikan
oleh pemberian sitokinin. Kinetin pada 0,01 mg 1-1 menginduksi pembentukan
akar yang banyak sekali dari permukaan adaksial daun dari spora-spora kecil yang
dikulturkan secara aseptis di dalam medium cair (Fox, 1989).
Dalam penelitian Pan et al. (1986) kultivar sensitif Al, ransom, ditanam
pada tanah asam (aeric paleudult) disesuaikan pada 3 level Al yang dapat
dipertukarkan. Perkembangan sulur cabang pada cabang utama luas pada tanah
berkapur yang mengandung 0,06 cmol (+) kg-1Al. Hambatan ini oleh tingginya Al
atau kondisi pH yang rendah dibalikkan dengan pengaplikasian 20 µg/ml
benzylaminopurine yang diaplikasikan baik disemprotkan pada daun atau pada
daerah cabang meristem. Ketika sitokinin diaplikasikan, pertumbuhan tunas
lateral pada perlakuan tanpa kapur sebanding dengan atau lebih baik dari pada
yang diamati pada perlakuan dengan kapur tanpa sitokinin. Observasi ini
mendukung hipotesis keterlibatan stokinin pada adaptasi pertumbuhan tunas oleh
Al yang mengacu pada apeks akar, biosintesis sitokinin dan efek primer
keracunan Al.
Sedangkan pada penelitian Kuang et al. (1986) peningkatan lingkar
gagang bunga dan perpanjangan tangkai daun dilihat pada pusat tandan tanaman
kacang kedelai yang diberi perlakuan sitokinin, 6-benzilaminopurine (BAP).
Peningkatan yang berarti jumlah silang setempat area jaringan telah diamati pada
bintil yang lebih rendah setelah 11 hari. Pada tangkai daun yang diberi perlakuan

Universitas Sumatera Utara

sel procambial dari jaringan pembuluh yang pertama menanggapi perlakuan BAP,
hasil dari pembentukan dari penambahan xylem dan floem.
Sofia (2007) menunjukkan bahwa pemberian BAP pada konsentrasi
tertentu dapat membantu pembelahan sel-sel tanaman sehingga meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Namun, saat konsentrasi BAP terus ditingkatkan
pertumbuhan tanaman dapat menurun. Pemberian BAP dalam konsentrasi yang
lebih kecil akan berpengaruh positif pada beberapa parameter pertumbuhan
tanaman seperti tinggi tanaman, jumlah tunas, jumlah akar, berat akar, serta berat
total tanaman.
Pemberian BAP yang dengan konsentrasi yang tinggi dapat membuat
pertumbuhan tanaman terhambat. Hal ini dapat disebabkan karena tanaman juga
mensintesis sitokinin sendiri, dan sitokinin tersebut dapat memacu pertumbuhan
tanaman, sehingga ketika diberikan sitokinin dari luar sitokinin yang di dapat
tanaman menjadi berlebih. Rasio sitokinin dan auksin yang tidak berimbang
menghambat pertumbuhan tanaman (Nursetiadi, 2008).
Pemberian sitokinin dari luar mampu mempengaruhi proses-proses
seperti diferensiasi dan penuan yang membawa pada spekulasi yang luas diantara
fisiologi tanaman bahwa proses ini juga dapat dikontrol oleh kadar sitokinin
endogen. Sejumlah besar penelitian tentang sitokinin telah melihat bukti dari
peran sitokinin sebagai pengendali endogen dari pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Perbandingan yang rendah antara sitokinin dan auksin menyebabkan
pembentukan panjang akar. Perbandingan auksin dan sitokinin digunakan untuk
mempengaruhi pembentukan akar dan tajuk pada beberapa kultur kalur tanaman.
(Horgan, 1984).

Universitas Sumatera Utara

Stres lingkungan dapat meningkatkan bobot akar dibanding tajuk.
Penurunan ketersedian N, P, atau air meningkatkan rasio akar dan tajuk dari
Lolium parenne L. Walaupun defisiensi bebrapa mineral mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan hubungan akar-tajuk, tanpa terkecuali air dan defisiensi
N. Ketika tanaman mengalami defisiensi N, hasil fotosintat leibh banyak
digunakan oleh akar untuk mengembangkan panjang yang lebih sehingga tanaman
mampu mendapatkan N lebih banyak (Fageria dan Moreria, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Teknik Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh dan Umur Pindah Tanam Bibit TSS (True Shallot Seeds) terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium ascaloicum L.)

6 85 199

Pengaruh Berbagai Level Zat Pengatur Tumbuh Dekamon 22,43 L Dan Pupuk Kandang Domba Terhadap Produksi Dan Pertumbuhan Legum Stylo (Stylosanthes Gractlis)

0 34 66

Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Hydrasil Dan Pupuk Nitrophoska Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Semangka (Citrullus Vulgaris Schard)

0 41 71

Pengaruh Pemberian Pupuk Stadya Daun Dan Zat Pengatur Tumbuh Atonik 6,5 L Terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma Cacao L.)

0 41 96

Pengaruh Berbagai Level Zat Pengatur Tumbuh Dekamon 22,43 L dan Pupuk Kandang Domba Terhadap Kualitas Legum Stylo (Stylosanthes gracilis)

1 56 64

Pengarah campuran media tanam dan zat pengatur tumbuh Giberellin terhadap pertumbuhan bibit mengkudu (Morinda citrifolia L.)

0 27 84

Pengomposan Dan Pengaruh Pemberian Kompos, Pupuk Biologi Serta Amandemen Terhadap Pertumbuhan, Ketersediaan Dan Serapan Hara Tanaman Kedelai Pada Tanah Ultisol Langkat

1 17 82

Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Untuk Mengatasi Keracunan Al Pada Tanah Ultisol dan Meningkatkan Pertumbuhan Serta Serapan Hara Tanaman Kedelai Di Rumah Kaca

0 6 60

Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Untuk Mengatasi Keracunan Al Pada Tanah Ultisol dan Meningkatkan Pertumbuhan Serta Serapan Hara Tanaman Kedelai Di Rumah Kaca

0 0 12

Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Untuk Mengatasi Keracunan Al Pada Tanah Ultisol dan Meningkatkan Pertumbuhan Serta Serapan Hara Tanaman Kedelai Di Rumah Kaca

0 0 10